Home » zarathustra 3 » zarathustra 3
a ke si lemah yang berpikir bahwa mereka itu
baik sebab mereka memiliki cakar-cakar yang puntul!
Kau harus berjuang bagi kebajikan saka: lebih tinggi dia berdiri, lebih indah
dia menjadi, dan lebih anggun - namun lebih keras di dalamnya dan sanggup
menopang lebih banyak beban.
Ya, kau manusia sublim, pada suatu waktu kau pula harus menjadi indah,
dan menggenggam cermin di hadapan keindahan kau.
Lalu jiwa kau bergetar dengan hasrat-hasrat mulia; dan akan ada pemujaan
bahkan pada kekenesan kau!
Ini adalah rahasianya jiwa kau: saat sang pahlawan telah meninggalkan
sang jiwa, maka di sana akan datang ke jiwanya dalam mimpi-mimpi – sang
mahapahlawan.
Ini seruan Zarathustra.
. Negeri Budaya
Terlalu jauh aku telah terbang, ke masa depan: horor mencengkeramku.
Dan saat aku melihat ke sekelilingku, perhatikan! Disana sang waktu ia
hanya sebayaku belaka.
Maka aku terbang kembali, menuju rumah – lebih cepat lagi. Lalu aku
datang pada kau, kau para manusia masa kini, dan ke negeri budaya.
Untuk pertama kalinya aku membawa sebiji mata untuk melihat kau, dan
hasrat-hasrat waras: sungguh, dengan penuh kerinduan di hatiku aku datang.
namun bagaimana kejadiannya bagiku? Walau sangat ketakutan – aku harus
tertawa! Mataku tidak pernah melihat sesuatu yang sangat berwarna-warni!
Aku tertawa dan tertawa, seraya kakiku tetap gemetaran, begitu pula hatiku.
„Disini mustilah rumahnya segala kaleng-kaleng cat!‟ aku berkata.
Dicat dengan lima puluh tutul-tutul di wajah dan kaki - maka kau duduk di
sana mennakjubkanku, kau para manusia masa kini!
Dan dengan lima puluh cermin di sekeliling kau, kau menyanjung
permainan warna kau dan mengulang-ulanginya lagi!
Sungguh, kau tidak dapat memakai topeng yang lebih baik dibandingkan wajah
kau sendiri, kau para manusia masakini! Siapa yang dapat – mengenali kau!
Terselubung oleh tanda-tanda masa lampau dan tanda-tanda ini terpulaskan
oleh tanda-tanda baru: maka kau menyembunyikan diri kau dengan baik dari
segala penafsir tanda-tanda!
Walau pun ia adalah seorang penguji tali kekang, siapa yang masih percaya
bahwa kau masih memiliki tali kekang! Kau dibuat dari aneka warna-warna yang
dibakar dan potongan-potongan kertas yang direkat bersama!
Segala zaman-zaman dan segala rakyat-rakyat memandang kebingungan ke
selubung-selubung kau; segala adat-adat dan segala kepercayaan-kepercayaan
berkata kebingungan ke gerak-gerik kau.
Ia yang mengupas cadar-cadar, kau selubung-selubung kau dan cat dan
gerak-gerik kau, yang tersisa darinya cukup untuk menakuti burung-burung
gagak.
Sungguh, aku sendiri adalah burung gagak yang takut itu yang saat aku
melihat kau telanjang tanpa cat; dan aku terbang jauh tatkala tengkorak bermain
mata denganku aku.
Aku lebih senang untuk menjadi buruh sehari di mercupada, dan di tengahtengah bayang-bayang masa lampau! – Sungguh para penduduk mercupada lebih
gemuk dibandingkan kau!
Ini, ya, ini adalah rasa pahit ke perutku, bahwa aku bisa tahan kau telanjang
atau berpakaian, kau para manusia masa kini!
Sesuatu yang tidak dikenal di masa depan, dan apa saja yang menakutkan
burung-burung yang tersesat, sungguh lebih dikenal dan lebih ramah dibandingkan
„realitas‟ kau.
Maka kau berseru: „kami adalah para realis sepenuhnya, tanpa kepercayaan
atau tahyul: maka kau mempersolek diri kau dengan bulu-bulu - duh! bahkan
tanpa bulu-bulu pula!
Sungguh, bagaimana kau bisa mempercayai, kau para manusia warnawarni! – kau adalah segala lukisan-lukisan yang dahulu pernah dipercaya!
Kau adalah bukti kesalahan yang berjalan, dari kepercayaan itu sendiri, dan
pikiran-pikiran yang tercecer-cecer. Tidak bisa di percaya: ini apa yang aku
namakan kau itu , kau para realis!
Segala masadepan-masadepan saling mengoceh bertentangan satu sama
lainnya di dalam spirit kau; dan semua impian dan semua ocehan segala zamanzaman itu lebih nyata dibandingkan kegugahan kau!
Kau tidak berbuah: maka kau tidak punya kepercayaan. namun ia yang harus
mencipta, selalu mempunyai ramalan mimpi dan bintang pertanda – dan percaya
pada kepercayaan!
Kau adalah pintu-pintu setengah terbuka, di mana para penggali lubang
kubur menunggu. Dan ini adalah realitas kau: „Segalanya patut punah‟.
Ah, bagaimana kau berdiri di depanku, kau para manusia yang tidak
berbuah, betapa kurus tulang iga kau! Dan, tentunya, banyak dari kau sudah tahu
akan hal ini.
Dan mereka berkata: „Mungkin tuhan secara diam-diam telah mengambil
sesuatu dariku saat aku sedang tidur? Sungguh, cukup untuk membentuk
seorang perempuan mungil baginya!
„Mengagumkan sekali kemiskinan tulang-tulang igaku!‟ beginilah para
manusia masa kini berkata.
Ya, kau adalah bahan tertawaan bagiku, kau para manusia masakini! Dan
khususnya saat kau terkagum-kagum pada diri kau sendiri!
Dan sengsaralah aku jika aku tidak dapat tertawa pada yang membuat kau
terkagum-kagum dan harus menelan segala yang menjijikan dari dalam perut
kau!
Namun, seperti apa adanya, aku mau membuat ringan kau, sejak aku punya
barang-barang berat untuk dipikul; dan perduli apa jika kumbang-kumbang dan
capung-capung duduk di atas buntalan bebanku!
Sungguh, tidak akan menjadi lebih berat bagiku sebab ini! Dan keletihan
besar tidak akan datang padaku dari kau, kau para manusia masakini.
Duh, kemanakah aku musti mendaki sekarang bersama kerinduanku? Dari
setiap gunung-gunung aku mencari tanah-tanah ibu-pertiwi dan tanah-tanah
bapak-pertiwi.
namun tidak di manapun aku menemukan rumah; aku tidak tentram di setiap
kota, dan aku pergi dari setiap gerbang.
Asing bagiku dan barang cemoohan, para manusia masakini, pernah dahulu
hatiku pernah terdorong ke mereka; dan aku telah dibuang dari tanah-tanah ibupertiwi dan tanah-tanah bapak-pertiwi.
Maka sekarang aku hanya cinta tanah-tanah-anakku, yang belum pernah
ditemukan di samudera terjauh: demi untuk itu aku mohon layarku untuk cari dan
cari ini.
Bagi anak-anakku aku mau membuat perbaikan-perbaikan - sebab telah
menjadi anak-anak bapak-bapakku: dan juga bagi semua masa depan – sebab
masa kini!
Ini seruan Zarathustra.
. Persepsi Mulus
saat sang rembulan timbul kemarin, aku pikir dia akan melahirkan sang
matahari. sangat besar dan penuh dia terbentang di cakrawala.
namun kehamilannya itu bohong; dan aku langsung percaya bahwa bulan itu
laki-laki bukan perempuan.
Tentunya, dia tidak banyak kelelakiannya, dia pengelana malam yang
penakut. Sungguh, dengan nurani buruk dia mengintai di atas atap-atap.
sebab dia rakus dan pencemburu, rahib di bulan, rakus bagi dunia dan bagi
segala sukacita para pecinta.
Tidak, aku tidak senang dia, kucing jantan di atas atap! Aku sangat
membenci segala yang menyelinap jendela-jendela yang setengah tertutup!
Dengan penuh ketakwaan dan membisu dia berjalan sepanjang permadanipermadani bintang: namun aku tidak suka kaki-kaki pelangkah-lembut di mana
bahkan tajinya pun tidak bergemerincingan.
Setiap langkah manusia jujur itu berseru lantang: namun, kucing mencuri di
sepanjang geladak. Perhatikan! Seperti kucing sang bulan itu datang tanpa
kejujuran.
Kias ini aku tujukan pada kau para munafik sendu, pada kau „pengetahuan
murni!‟ Aku namakan kau – rakus!
Kau juga mencintai dunia, dan keduniawian: aku telah terka kau dengan
baik! – namun rasa malu dan nurani buruk kau ada di dalam cinta kau - kau bak
rembulan!
Spirit kau telah dibujuk untuk membenci keduniawian, namun isi perut kau
tidak: ini, namun, bagian yang terkuat dalam diri kau!
Dan sekarang spirit kau malu bahwa dia musti melayani kemauan isi perut
kau, lalu mengambil jalan-jalan pintas dan jalan-jalan penuh dusta untuk
menghindari rasa malunya sendiri.
„Ini akan menjadi sesuatu yang tertinggi bagiku„ – maka berkata spirit kau
yang pembohong itu pada kau – „untuk memandang ke kehidupan tanpa hasrat,
dan tidak seperti anjing, dengan lidah melet!
Bahagia dalam memandang: dengan kemauan yang mati, bebas dari
cengkraman dan rakusnya egoisme – kelabu dan dingin sekujur badan, namun
dengan kemabukan mata-rembulan!
Ini akan menjadi sesuatu yang berharga bagiku‟ – maka yang tergoda
menggoda dirinya sendiri, - „untuk mencintai bumi seperti bulan mencintainya,
menyentuh keindahannya hanya dengan mata belaka.
Dan inilah yang aku namakan persepsi mulus dari segalanya: untuk tidak
menginginkan sesuatu apa pun dari mereka, namun diizinkan untuk berbaring di
hadapan mereka sebagai cermin dengan ratusan matanya.‟
Oh, kau para munafik sendu, kau para manusia tamak! Kau kurang polos
dalam menghasrat: lalu kau sekarang memfitnah hasrat sebab itu!
Sungguh, bukan seperti para pencipta, para prokreator, para manusia yang
penuh rasa sukacita memasuki eksistensi baru, kau mencintai dunia ini!
Di manakah kepolosan itu? Di mana ada kemauan pada prokreasi. Dan ia
yang mencipta melebihi dirinya, bagiku ia, memiliki kemauan yang termurni.
Di manakah keindahan itu? Di mana aku harus memaui dengan seluruh
Kemauanku; di mana aku mau mencinta dan binasa, bahwa citra tidak akan
menjadi citra belaka.
Mencinta dan binasa: ini telah tumbuh harmonis sejak abadi. Kemauan pada
cinta: ini bermakna untuk siap mati, pula. Maka aku serukan ini pada kau, kau
para pengecut!
namun kerlingan lemah mata kau sekarang mau dinamakan „renungan!‟
Dan apa saja yang dapat disentuh oleh mata pengecut kau musti dibaptis „indah!‟
Oh, kau para pengotor nama-nama mulia!
namun ini harus menjadi kutukan ke kau, kau para manusia mulus, kau dari
pengetahuan murni, bahwa kau tidak pernah melahirkan, bahkan jika kau
berbaring besar dan penuh di cakrawala!
Sungguh, kau memenuhi mulut kau dengan kata-kata mulia: lalu kita harus
percaya bahwa hati kau berlimpahan pula, kau para pembiasa berdusta?
namun kata-kataku adalah miskin, dibenci, kata-kata gagap: dengan senang
aku mengambil apa-apa yang jatuh dari meja makan perjamuan kau.
Walau demikian aku tetap bisa – berkata kebenaran pada para munafik! Ya,
tulang-tulang ikan, kulit-kulit kerang, dan dedaunan berduri akan – menggelitiki
hidung para munafik!
Udara buruk selalu ada di sekeliling kau dan di tengah-tengah perjamuanperjamuan kau: ketamakan pikiran-pikiran kau, dusta-dusta dan rahasia-rahasia
kau benar-benar bertebaran di udara!
Hanya berani percaya pada diri kau sendiri – pada diri kau dan batin kau! Ia
yang tidak percaya pada dirinya sendiri selalunya berdusta.
Kau memakai topeng tuhan, kau „orang murni‟: gelungan ular kau yang
menakutkan itu merayap masuk ke dalam topeng tuhan.
Sungguh, kau pembohong, kau „perenung‟! Bahkan Zarathustra dahulu
pernah menjadi korban dari Tuhan eksterior kau: ia tidak menyangka itu diisi oleh
gelung-gemelung ular-ular.
Ruh Tuhan, dahulu aku pikir demikian saat aku melihat permainan kau,
kau pengetahuan murni! Aku tidak pernah membayangkan seni yang lebih baik,
selain seni kau!
Ular-ular kotor dan bau busuk, dari kejauhan tidak kelihatan: seni kadal
merayap mencari mangsa di sekeliling dengan penuh rasa tamak.
namun aku mendekati kau: lalu fajar pagi mendatangiku, – dan sekarang
mendatangi kau – kisah kasih percintaan rembulan pun berakhir sudah!
Lihatlah di sana! Pucat, terheran-heran ia berdiri – di hadapan fajar!
sebab ia telah datang, sang pemancar sinar – cintanya pada dunia telah
datang! Polos, dan berhasrat kreatif, itu adalah cintanya sang surya!
Lihat disana dia datang tidak sabaran di seberang samudera! Tidakkah kau
merasai dahaganya dan nafas panas cintanya?
Ia mau menghisap samudera, dan minum kedalaman-kedalamannya ke atas
ketinggiannya: sekarang hasrat samudera menjulang tinggi dengan ribuan buahbuah dada.
Ia mau dicium dan dihisap oleh dahaganya sang surya; ia mau menjadi
udara, dan ketinggian, dan jalan cahaya, dan cahaya itu sendiri!
Sungguh, laksana sang surya aku mencintai kehidupan, dan semua
samudera-samudera dalam.
Dan ini berarti ilmu pengetahuan bagiku: segala yang dalam harus naik -
ke ketinggianku!
Para Sekolar
saat aku tidur rebahan, lalu seekor domba memakan rangkaian daun pasangpasang di atas kepalaku, – lalu berkata: „Zarathustra bukan lagi seorang sekolar.‟
Katanya dan pergi tegar dan angkuh. Seorang anak mengatakan ini padaku.
Aku senang rebahan di sini di mana banyak anak-anak bermain, di sisi
reruntuhan dinding, di antara duri-duri dan kembang-kembang popi merah.
Bagi anak-anak aku tetaplah seorang sekolar, juga bagi duri-duri dan
kembang-kembang popi merah. Mereka lugu, bahkan dalam kenakalannya.
namun bagi domba aku bukan lagi seorang sekolar: maka takdirku memaui
ini – berkahilah takdirku ini!
sebab ini yang sebenarnya: aku telah meninggalkan gedung kesekolaran
dan membanting pintunya pula.
Terlalu lama jiwaku duduk kelaparan di hadapan meja-meja mereka; tidak
seperti mereka aku belum lagi punya kepandaian untuk menginvestigasi, seperti
seorang yang membuka kulit kacang.
Aku cinta kebebasan, dan udara di atas tanah subur; aku malah senang tidur
di atas kulit-kulit sapi dibandingkan di atas martbat-martabat dan kehormatankehormatan mereka.
Aku terlalu panas dan terbakar oleh pikiran-pikiranku: bahkan kerap
mencoba mengambil napasku. Lalu aku harus pergi ke udara terbuka, jauh dari
segala kamar-kamar berdebu.
namun mereka duduk dingin ditudungi bayangan yang teduh: mereka mau
menjadi penonton saja pada segalanya, dan mereka menghindar untuk duduk di
mana sang surya memanasi tangga-tangga.
Bagai mereka yang nongkrong di jalan menatap ke orang banyak berlalulalang, maka mereka pun menunggu dan menatap ke pikiran-pikiran yang orang
lainnya pikirkan.
Jika seseorang menginterupsi mereka, mereka secara spontan menaburkan
debu bagai karung-karung terigu; namun siapa bisa menerka bahwa debu mereka
itu datang dari biji jagung, dan ladang-ladang musim panas yang mempesona?
saat mereka menganggap diri mereka arif, lalu kata-kata mereka dan
kebenaran picik mereka membuatku tertekan: dalam kebijaksanaan mereka selalu
ada aroma yang seolah-olah datang dari dari rawa-rawa: dan sungguh, aku bahkan
mendengar katak berkoak-koak dari dalamnya!
Mereka cerdik - mereka punya jejari cekatan: apalah kesederhanaanku
dibandingkan dengan keserbaragaman mereka? Jejari mereka mengerti untuk
menyulam dan merajut dan menenun: maka mereka menenun sarung-sarung
spirit!
Mereka jam-jam unggul: hanya berhati-hatilah memutar mereka! Maka
mereka akan mengatakan waktu tanpa keliru, dan membuat suara bersahaja dalam
melakukan ini semua.
Mereka bekerja seperti penggilingan dan alu: coba lempar biji jagung ke
dalam mereka! – mereka tahu bagaimana menggiling jagung menjadi kecil-kecil
dan membuat serbuk putih darinya.
Mereka saling memata-matai ke atas satu sama lainnya, saling tidak percaya
ke satu sama lainnya, dengan segenap kekuatanya. Panjang akal akan kecerdikan-
kecerdikan kecil, mereka mengintai mereka yang ilmu pengetahuannya berjalan di
atas kaki-kaki timpang – mereka mengintai bagai laba-laba.
Aku selalu melihat betapa berhati-hatinya mereka menyiapkan racun-racun
mereka; mereka selalu memakai sarung tangan pelindung.
Mereka tahu pula bagaimana untuk bermain dengan dadu tipuan; dan aku
mendapatkan mereka bermain dengan sangat giatnya, mereka berpeluhan.
Kita asing kesatu sama lainya, dan kebajikan-kebajikan mereka bahkan
lebih menjijikan ke seleraku dibandingkan kepalsuan mereka dan dadu tipuan mereka.
Dan saat aku hidup di antara mereka, aku hidup di atas mereka. Lalu
mereka membenciku sebab ini.
Mereka tidak mau tahu bahwa ada seseorang berjalan di atas kepala mereka;
lalu mereka meletakan kayu dan kotoran dan sampah di antara kepala mereka dan
aku.
Lalu mereka memudarkan suara langkah-langkah kakiku: dan semenjak itu
orang yang mendengarkanku dengan buruknya adalah mereka orang yang sangat
terpelajar.
Mereka letakan semua kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan
manusia di antara mereka dan aku – mereka menamakan ini – „langit-langit palsu‟
di rumah-rumah mereka.
Namun demikian aku berjalan bersama dengan pikiran-pikiranku di atas
kepala-kepala mereka; bahkan jika aku musti berjalan di atas kesalahankesalahanku, aku masih tetap di atas mereka dan kepala-kepala mereka.
sebab manusia itu tidak sama: maka berseru keadilan. Dan apa yang aku
ingini mungkin mereka tidak ingini!
Ini seruan Zarathustra.
. Para Pujangga
„Sejak aku mengerti tentang badan dengan lebih baik,„ ujar Zarathustra ke salah
satu penganutnya, „spirit telah telah menjadi simbul belaka bagiku; dan segala
yang “kekal” – ini pun hanya sekedar “citra” belaka.‟
„Aku pernah mendengar kau berkata seperti ini sekala lalu,„ jawab para
penganutnya; „lalu kau menambahkan: “Para pujangga terlalu banyak berbohong.”
Mengapa kau berkata bahwa para pujangga terlalu banyak berbohong?‟
„Mengapa?‟ kata Zarathustra. „Kau bertanya mengapa? Aku bukan salah
satu dari mereka yang mungkin dapat ditanyakan mengenai Mengapanya mereka.
Apa pengalaman-pengalamanku baru bermula kemarin? Sudah sebegitu
lamanya aku mengalami opini-opini akal budiku..
Tidak semustinyakah aku menjadi tong ingatan, jika aku ingin membawa
akal budiku, bersamaku?
Ini sudah sangat merepotkanku, lebih-lebih untuk menyimpan sebegitu
banyaknya opini-opiniku; dan banyak burung terbang jauh.
Kadang-kadang aku mendapatkan seekor burung pelarian, yang tidak aku
kenal, di sangkar burungku, gemetaran saat aku belai dia.
Namun apa yang telah Zarathustra katakan sekala lalu pada kau? Bahwa
para pujangga terlalu banyak berbohong? – namun Zarathustra adalah seorang
pujangga pula.
Percayakah kau bahwa Zarathusra berkata kebenaran? Mengapa kau
mempercayainya?‟
Sang penganut menjawab: „Aku percaya pada Zarathustra.‟ namun
Zarathustra menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
Kepercayaan tidak membuatku suci, katanya, apa lagi percaya pada diriku
sendiri.
Jika seandainya benar bahwa seseorang dengan segala keseriusannya
berkata bahwa para pujangga itu banyak berbohong: ia beenar – memang kita
terlalu banyak berbohong.
Kita juga hanya tahu sangat sedikit, dan murid-murid yang buruk: maka kita
wajib berbohong.
Dan siapa di antara kita para pujangga yang tidak mencampuri air
anggurnya? Banyak bauran racun telah dihasilkan di cellar-cellar kita, banyak
sesuatu yang tidak bisa diungkapkan telah dibuat di sana.
sebab kita hanya tahu sedikit, maka si miskin spirit pun menyenangkan
hati kita, khususnya saat ada para perempuan muda!
Bahkan sesuatu yang kita sangat hasrati, yang dibicarakan oleh para
perempuan tua satu sama lainnya di malam hari. Kita namakan ini kefemininan
abadi dalam diri kita.
Seolah-olah di sana ada akses tersembunyi ke ilmu pengetahuan yang
menghambat mereka yang belajar sesuatu, lalu kita percaya pada rakyat dan pada
„kebijaksanaan‟ mereka.
Namun inilah dipercayai oleh semua para pujangga: barang siapa berbaring
di rerumputan atau punjung-punjung sunyi, dan memasang telinga-telinganya
lebar-lebar, dapat menangkap sesuatu yang ada di antara surga dan dunia.
Dan jika mereka mengalami emosi-emosi halus, lalu para pujangga selalu
mengira bahwa alam ini sendiri jatuh cinta pada mereka:
Bahwa alam itu sendiri merangkak diam-diam ke dalam telinga mereka,
untuk membisikan rahasia-rahasia, dan tutur kata rayuan: akan ini mereka
bersolek diri, dan menyombongkan diri mereka di hadapan umat manusia!
Duh, ada sangat banyak sesuatu di antara surga dan dunia yang hanya para
pujangga saja yang telah memimpikannya!
Khususnya diatas surga: sebab segala tuhan-tuhan itu adalah simbulsimbulnya para pujangga, akal bulusnya para pujangga!
Sungguh, ini menarik kita ke atas selamanya – ini adalah, ke dunia awan
mega: diatasnya kita sediakan boneka-boneka beraneka warna, lalu menamakan
mereka tuhan-tuhan dan superman-superman.
Tidakkah mereka itu cukup ringan bagi kursi-kursi rapuh ini? – semua
tuhan-tuhan dan superman-superman ini?
Duh, alangkah letihnya aku akan segala yang tidak memadai ini yang
memaksa untuk dianggap sebagai realitas. Duh, alangkah letihnya aku akan para
pujangga!
saat Zarathustra berseru demikian, para penganutnya marah padanya,
namun diam membisu. Dan Zarathustra, pun, diam membisu; matanya ditujukan
pada dirinya sendiri, bagai jika ia memandang ke kejauhan. Beberapa lamanya ia
mengesah dan menarik nafas.
Aku adalah kala ini dan sedia kala, lalu ia berkata; namun ada sesuatu di
dalam diriku yang esok dan esok lusa dan yang musti menjadi.
Aku menjadi letih akan para pujangga, tua dan muda: bagiku mereka
semuanya picik seperti samudera-samudera dangkal lagi cetek.
Mereka tidak berpikir cukup dalam: maka perasaan mereka pun – belum
mencapai dasar kedalaman-kedalaman.
Sedikit menggiurkan, sedikit membosankan: hingga kini ini adalah segala
ide-ide terbaiknya mereka.
Segala petikan harpa mereka bagiku bagai desiran-desiran dan hembusanhembusan hantu; apa yang mereka tahu tentang semerbak nada-nada!
Mereka tidak cukup bersih bagiku: mereka mengacaukan air mereka supaya
mereka tampak dalam.
Meraka senang untuk disebut sebagai para pencipta kerukunan: namun
bagiku mereka adalah kaum mediator dan pencampur tangan, plin-plan dan tidak
murni!
Ah, aku lemparkan jalaku ke samudera mereka, bermaksud untuk
menangkap ikan baik; namun aku selalu mendapatkan, sebuah kepala Tuhan
purba.
Lalu sang samudera memberikan sebuah batu ke para manusia lapar. Dan
mereka sendiri pun mungkin berasal dari samudera.
Mustinya, seseorang menemukan mutiara-mutiara di dalam diri mereka: lalu
mereka sendiri itu pun lebih menyerupai kerang keras. Bukannya jiwa yang selalu
aku dapatkan, namun kerap kali lumpur amis.
Mereka telah belajar kecongkakan, pula, dari sang samudera: bukankah sang
samudera itu merak dari segala merak-merak?
Dia beberkan ekornya bahkan di hadapan banteng-banteng terburuk, dia
tidak pernah letih akan renda-renda kipasnya dari perak dan sutra.
Bahkan di hadapan yang terjelak pun seekor banteng menegakan ekornya:
dia tidak pernah letih akan kipas rendanya dari perak dan sutra.
Penuh penghinaan tatapannya banteng itu, jiwanya mirip dengan tanah,
lebih mirip dengan semak-semak, paling mirip dengan rawa-rawa.
Apa arti keindahan dan samudera dan kesemarakan burung merak itu
baginya? Aku serukan kiasan ini ke para pujangga.
Sungguh, spirit mereka sendiri adalah merak dari segala merak-merak, dan
samudera kesombongan!
Para penonton menginginkan spiritnya para pujangga, walau pun mereka
hanyalah banteng-banteng belaka!
namun aku letih akan spirit ini: dan aku melihat waktunya telah tiba saat
ia tumbuh letih akan dirinya sendiri.
Ya, aku melihat para pujangga ini berubah; dan tatapan mereka mengarah
ke diri mereka sendiri.
Aku melihat para spirit taubat bermunculan: mereka tumbuh dari para
pujangga.
Even-even Megah
Di sana ada sebuah pulau di tengah samudera – tidak jauh dari Kepulauan
Bahagianya Zarathustra – gunung berapi selalu berasap di puncaknya; di pulau itu
rakyat banyak, khususnya perempuan tua di sekitar mereka berkata, bahwa
gunung itu diletakan serupa batu karang di depan pintu gerbang mercupada, namun
melalui kawah itu sendiri ada jalan sempit kebawah menuju ke pintu gerbang itu.
Nah, saat Zarathustra berdiam di Kepulauan Bahagia, telah terjadi bahwa
kapal menaruh jangkarnya di pulau ini di mana gunung berasap itu berada; dan
para awaknya mendarat untuk berburu kelinci. Menjelang tengah hari, namun,
saat nakhoda dan awaknya berkumpul kembali, mereka sekonyong-konyong
melihat seorang datang ke arah mereka melalui udara, dan kumandang suaranya
berkata jelas: „Ini saatnya!‟ Ini saat yang tepat!‟ namun saat sosok ini dekat
dengan mereka (namun, dia terbang cepat meliwati, serupa bayangan, ke arah
gunung merapi), lalu mereka mengenalinya dengan rasa resah besar, bahwa itu
adalah Zarathustra; sebab mereka semua pernah melihatnya sebelumnya, kecuali
sang nakhoda kapal itu sendiri, dan mereka mencintainya bagai rakyat mencinta:
yaitu, dengan rasa cinta dan rasa takut yang sepadan.
„Perhatikan!‟ berkata juru-mudi tua, „itu Zarathustra pergi ke Neraka!‟
Hampir bersamaan dengan waktunya para pelaut itu mendarat di atas pulau
merapi, berita angin bertebaran bahwa Zarathustra menghilang; dan saat para
temannya ditanyakan tentang hal ini, mereka menjawab ia telah berlayar malam
hari tanpa mengatakan tujuan kepergiannya.
Maka timbul rasa gelisah; sesudah tiga hari, namun, kegelisahan ini
bertambah lagi sebab cerita para pelaut ini – lalu rakyat berkata bahwa Setan
telah menculik Zarathustra. Tentu saja, para penganutnya tertawa akan berita ini;
dan salah satu dari mereka bahkan berkata: „Aku malah percaya bahwa
Zarathustra yang menculik Setan itu.‟ namun dalam dasar jiwa mereka. mereka
penuh rasa takut dan rindu: sangat besar sukacita mereka saat , di hari kelima,
Zarathustra muncul di tengah-tengah mereka.
Dan ini adalah dongeng akan percakapan Zarathustra dengan anjing-api:
Bumi ini, katanya, punya kulit; dan kulit ini punya banyak penyakit. Salah
satu dari penyakit-penyakit ini, contohnya. di namakan „Manusia‟.
Dan penyakit lainnya dinamakan „anjing-api‟: mengenai manusia, manusia
itu banyak membohongi dirinya sendiri, lalu biarkan mereka dibohongi.
Untuk mengetahui rahasia ini aku berlayar menyeberangi samudera: dan aku
telah melihat kebenaran itu telanjang, sungguh! Telanjang dari ujung kaki hingga
ujung rambut.
Sekarang aku tahu segalanya tentang anjing-api; juga tentang setan
pemuntah dan setan bawah tanah, yang tidak saja ditakuti oleh semua perempuan
tua itu.
„Keluar kau, anjing-api, keluar dari kedalaman kau!‟ teriakku, „dan akui
betapa dalamnya kedalaman itu! Dari mana datangnya, apa yang kau denguskan?
Kau minum dari samudera dengan lahapnya: kefasihan lidah kau yang
berbicara pahit memperlihatkan ini! Sungguh, bagi seekor anjing dari kedalamankedalaman kau mengambil makanan kau terlalu banyak dari permukaan!
Lebih baik, aku anggap kau sebagai ventrilikuisnya bumi: dan saat aku
mendengar para setan bawah tanah dan para setan pemuntah itu berbicara, aku
selalu temui mereka serupa kau: pahit, pembohong, dan dangkal.
Kau mengerti bagaimana untuk melengking dan menggelapkan udara
dengan abu! Kau adalah pembual terbesar, dan telah cukup banyak belajar seni
untuk membuat buih mendidih.
Dimana ada kau di sana musti ada buih di sekitar, dan banyak yang lembik,
dangkal, dan mengental: mau merdeka.
”Merdeka”, kau semua sangat ingin untuk melengkingkan ini: namun aku
telah meninggalkan kepercayaanku pada “even-even megah,” bilamana ada
banyak lengkingan dan asap di sekitar mereka.
Dan percayalah padaku, rekan berisik! Even-even megah itu, bukanlah
suara-suara ribut kita namun saat terhening kita.
Dunia tidak berputar mengelilingi para pencipta suara ribut baru, namun
mengelilingi para pencipta nilai-nilai baru; berputar tanpasuara.
„Dan akuilah! Selalu hanya ada sedikit perubahan yang terjadi saat suara
ribut dan asap kau itu berlalu. Apa arti, sebuah kota dimumikan dan patung
digulingkan ke lumpur!
Dan aku serukan ini pada para pengguling patung-patung: Ini adalah satu
kebodohan untuk membuang garam ke samudera, dan membuang patung ke
lumpur.
Di lumpur kebencian kau, patung itu tergolek: namun ini adalah tepatnya
hukumnya, bahwa hidupnya dan keindahannya tumbuh kembali dari kebencian
kau!
Dengan bentuk-bentuk yang lebih indah dia sekarang bangkit kembali;
merayu dengan penderitaannya; dan sungguh! dia mau berterimakasih pada kau
atas penggulingan ini, kau para pengguling!
Namun, aku tawarkan, nasihat ini pada raja-raja dan gereja-gereja dan ke
segala yang lemah sebab umur atau kebajikan – biar diri kau digulingkan! Agar
kau dapat kembali lagi ke kehidupan, dan kebajikan itu – semoga dapat kembali
lagi kepada kau!‟
Maka aku berseru di hadapan anjing-api: lalu dia menyelangku muram dan
bertanya: „Gereja? Apa sih itu?‟
„Gereja? jawabku „adalah serupa negara, dan nyatanya adalah yang
mahapembohong. namun diam-diamlah, kau anjing munafik! Kau tentu tahu betul
macamnya kau!
Serupa kau, negara adalah anjing munafik; serupa kau suka berseru dengan
asap dan lengkingan - agar dipercaya, serupa kau, ia berbicara dari dalam hati
segala sesuatu.
sebab negara ingin untuk menjadi mahluk terpenting di dunia; dan rakyat
mengira demikian!‟
saat aku berseru seperti ini, si anjing-api bertingkah seolah-olah dia gila
sebab dengki. „Apa?‟ teriaknya, „mahluk terpenting di dunia? Dan rakyat
mengira demikian?‟ Dan banyak uap dan jeritan yang mengerikan keluar dari
tenggorokannya, aku kira dia akan tercekik oleh rasa jengkel dan dengki
Akhirnya dia menjadi tenang dan engahannya pun berhenti; namun setelah
dia tenang, aku tertawa berkata;
„Kau marah, anjing-api: maka aku benar mengenai kau!
Untuk membuktikan bahwa aku benar, dengarkanlah cerita dongeng tentang
anjing-api lainnya, dia benar-benar berbicara dari dalam hati dunia.
Buangan nafasnya adalah emas, dan hujan emas: begitulah hasrat hatinya
memaui ini. Apa itu abu dan asap dan buih panas baginya sekarang!
Tawa berkumandang darinya serupa aneka warna-warna mega; dia tidak
senang pada cegukan dan muntahan dan kejangan isi perut kau!
Emas dan tawa, namun, dia ambil dari dalam hati dunia: sebab , agar kau
tahu ini – hati dunia adalah emas.’
saat si anjing-api mendengar ini, dia tidak sanggup lagi mendengarkanku.
Bingung, dia menarik buntutnya, menyalak, „Gong-gong‟! dengan suara
ketakutan, dan merangkak ke dalam guhanya.
Begitulah dongengnya Zarathustra. namun para penganutnya hampir tidak
mendengarkannya, sangat besar hasrat mereka untuk berbicara mengenai para
pelaut, kelinci-kelinci dan manusia terbang.
„Apa yang aku pikirkan tentang itu?‟ kata Zarathustra. „Apakah aku ini
memang hantu?
namun itu mungkin bayanganku. Tentu kau pernah mendengar sesuatu
tentang sang Pengembara dan Bayangannya?
Namun, aku harus berjanji: aku musti atur ketat dia – jika tidak hantu ini
akan merusakan reputasiku.‟
Dan sekali lagi Zarathustra menggelengkan kepalanya dan heran. „Apa yang
aku pikirkan tentang ini?‟ katanya sekali lagi.
„Menghapa, lalu, hantu itu berteriak: „Ini saatnya! Ini saat yang tepat?”
Untuk apa, lalu – saat yang tepat itu?‟
Ini seruan Zarathustra.
. Sang junjungan
„Dan aku melihat kesedihan besar datang menimpa manusia. Sang manusia akhbar
menjadi letih akan karya-karya mereka.
Satu ajaran melangkah ke muka, satu kepercayaan lari di sisinya: Segalanya
adalah hampa, segalanya adalah satu, segalanya adalah masa lalu!‟
Dan dari setiap bukit bergema: segalanya adalah hampa, sega lanya adalah
satu, segalanya adalah masalalu!
Tentunya,Kita telah memaneni: namun mengapa semua buah-buahan kita
membusuk dan kelabu? Apa yang telah jatuh dari bulan jahat kemarin malam?
Semua karya-karya kita sia-sia, air anggur kita menjadi racun, pandangan
jahat telah menghanguskan ladang-ladang dan hati kita.
Kita semua telah menjadi kering; dan jika api jatuh ke atas kita, lalu kita
berubah menjadi debu – ya, kita telah membuat api itu sendiri letih.
Semua sumur-sumur kita telah mengering, bahkan samudera pun surut.
Bumi mau membelah, namun sang kedalaman-kedalaman tidak mau menelan!
„Duh, dimanakah sang samudera yangmana seseorang bisa tenggelam?
maka ratapan kita menggema – di seberang rawa-rawa dangkal.
Sungguh, kita sangat letih bahkan untuk mati; sekarang kita tetap gugah dan
terus hidup – dalam lubang-lubang kubur!‟
Maka Zarathustra mendengarkan sang junjungan itu berbicara; dan ramalan ini
masuk ke dalam hati Zarathustra dan ini merubahnya. Ia hidup penuh dengan
kesedihan, dan letih; dan telah menjadi seperti mereka yang sang junjungan telah
katakan.
„Sungguh,‟ katanya pada para penganutnya, „senja yang panjang telah
tiba. Duh, bagaimana aku bisa melindungi cahayaku melalui ini?
Semoga cahayaku tidak tercekik dalam kesedihan ini! Bagi dunia masa
depan dia harus menjadi cahaya, dan juga bagi malam-malam terjauh!
Lalu beginilah kehidupan Zarathustra, selalu meratap dan bersedih dalam
hatinya; dan selama tiga hari ia tidak makan maupun minum, tidak istirahat dan
lupa akan seruan-seruannya. Beberapa lamanya ini terjadi lalu ia pingsan tertidur.
namun para penganutnya duduk di sekeliling berjaga-jaga di malam hari, gelisah
menunggu untuk melihat jika ia bisa bangun kembali, dan berseru lagi dan
sembuh dari nestapanya.
Dan ini adalah seruan yang Zarathustra serukan saat ia bangun; suaranya,
namun, datang ke para penganutnya bagai datang dari jauh:
Mohon, dengarkanlah mimpiku yang aku mimpikan, para temanku, dan
tolonglah aku untuk menerka maknanya!
Ini tetap saja sebagai teka-teki bagiku; mimpi ini; maknanya tersembunyi di
dalamnya, dan terpenjara, dan belum lagi terbang dengan sayap-sayap bebas.
Aku telah menafikan kehidupan, begitulah mimpiku. Aku telah menjadi
seorang penjaga-malam, dan penjaga kubur, nun jauh di sana di atas bukit benteng
sunyi Kematian.
Di sanalah aku menjaga peti-peti mati: berdiri dengan kokoh kubah berbau
apek penuh dengan piala-piala kejayaan kematian. Dari dalam peti-peti mati kaca,
kehidupan yang sudah mati itu menatapku.
Aku menghirup aroma keabadian-keabadian yang tertutup debu: jiwaku
kegerahan dan tertutup debu. Dan siapa yang telah mengangin-anginkan jiwanya
ke sana?
Cahaya tengah malam selalu ada di sekitarku, sang kesunyian merangkak
diam-diam di sisinya; dan, yang ketiga, suara parau heningnya kematian, para
rekan terburukku.
Aku bawa kunci-kunci, kunci yang paling berkarat dari segala kunci-kunci;
dan aku tahu cara untuk membuka pintu-pintu yang sangat keriutan, dengan
kunci-kunci ini.
Seperti suara teriakan amarah yang berkeroak melalui sepanjang serambi,
daun-daun pintu itu terbuka: burung ini berteriak meradang, dia tidak mau
dibangunkan.
namun bahkan lebih menakutkan lagi dan lebih menegangkan hati saat ini
kembali membisu dan senyap di sekitar, dan aku duduk sendiri di kesenyapan
culas.
Maka sang waktu berlalu dan menyelinap meliwatiku, jika sang waktu
masih eksis: apa sih yang aku tahu tentang dia! namun akhirnya terjadi sesuatu
yang membangunkanku.
Tiga kali pintu itu diketuk menggelegar seperti geledek, tiga kali kubah itu
bergema dan melolong: lalu aku pergi mendekati pintu.
Alpha! teriakku, siapa yang membawa abunya ke gunung-gunung? Alpha!
Alpha! Siapa yang membawa abunya ke gunung-gunung?
Dan aku putar kuncinya, menarik pintu, dengan seluruh tenagaku. namun
tidak terbuka walau selebar jari:
Lalu suara lengkingan angin bengis meremuk-belahkan pintu berkepingkeping: berdesing, melengking dan mentulikan, dia melemparkan sebuah peti
mati hitam kepadaku:
Dan dalam lolongan dan desingan dan lengkingan ini, peti mati itu pecah
terbelah, dan memuntahkan ribuan kumandang tawa.
Dan ribuan topeng anak-anak, bidadari-bidadari, burung hantu, badudbadud dan kupu-kupu sebesar anak tertawa mengejek dan melolong padaku.
Ini sangat menakutkanku: ini melelahkanku. Dan aku menjerit ketakutn,
belum pernah aku menjerit seperti ini sebelumnya.
namun jeritanku ini membangunkanku – lalu aku sadar.
Maka Zarathustra mendongengkan mimpinya lalu terdiam: sebab ia tidak tahu
akan tafsir mimpinya. namun penganutnya yang ia sangat cintai bangkit dengan
segera, menggenggam lengan Zarathustra, dan berkata:
„Kehidupan kau sendirilah yang menafsirkan mimpi itu pada kita, O
Zarathustra!
Bukankah kau sendiri itu adalah angin yang berdesing melolong
menghancur-bukakan pintu-pintu benteng Kematian?
Bukankah kau sendiri itu adalah peti mati yang penuh dengan aneka warna
kedengkian dan topeng-topeng bidadari kehidupan?
Sungguh, serupa ribuan kumandang tawa anak-anak, Zarathustra datang
kesemua lubang-lubang kubur, tertawa pada para penjaga-malam, dan pada para
penjaga-kubur, dan pada siapa saja yang menderakan kunci-kunci muram.
Dengan gelak tawa kau, kau akan menakuti dan mengalahkan mereka :
pingsan dan bangun kembali ingin memperlihatkan kekuatan kau ke atas mereka.
Bahkan saat senja yang panjang itu tiba dan keletihan manusia itu datang,
kau tidak mau meninggalkan cakrawala kami, kau sang penasihat kehidupan!
Kau telah memperlihatkan pada kami bintang-bintang dan kejayaankejayaan barunya malam; sungguh, kau telah membeberkan tawa ke sekeliling
kami laksana aneka warna langit.
Selanjutnya akan selalu ada tawa anak-anak yang keluar dari peti-peti mati;
selanjutnya akan selalu ada angin-angin kuat yang datang dan berjaya, kesegala
keletihan umat manusia: oleh sebab itu kau sendirilah penjamin kami dan junjungan
kami!
Sungguh, merekalah yang kau mimpikan itu, musuh-musuh kau: mimpi
yang sangat melumpuhkan.
namun saat kau sadar dan siuman, lalu mereka pun sadar dari diri mereka
sendiri - lalu datang pada kau!‟
Ini seruan penganutnya; lalu semuanya mengerumuni Zarathustra, dan
menggenggam lengannya, mencoba membujuknya untuk meninggalkan
ranjangnya dan kesedihannya, kembali pada mereka. Namun, Zarathustra duduk
tegap di atas ranjangnya dengan ekspresi kosong. Serupa seseorang yang baru
balik kampung sehabis lama di tanah asing, ia melihat ke para penganutnya, dan
meneliti muka mereka; namun ia tetap tidak mengenali mereka. saat mereka
mengangkatnya dan memberdirikannya di atas kakinya, perhatikan, matanya tibatiba berubah; ia mengerti akan segala yang telah terjadi, mengusap janggutnya,
lalu berseru dengan suara lantang:
„Ayo! Memang semuanya itu ada waktunya; namun periksa pula, para
penganutku, bahwa kita punya makanan baik, cepat jangan ditunda-tunda! Aku
bermaksud untuk menebus mimpi-mimpi buruk itu!
Sang junjungan , namun, harus makan dan minum di sampingku: dan sungguh,
aku lalu akan memperlihatkan padanya samudera di mana ia bisa tenggelam!‟
Ini seruan Zarathustra. Lalu, ia memandang lama ke wajah penganutnya
yang telah menafsirkan mimpinya, dan menggelengkan kepalanya.
. Penebusan
saat Zarathustra sedang menyeberangi jembatan megah di suatu waktu, lalu
para manusia timpang dan para pengemis mengelilinginya, dan seorang bungkuk
berkata padanya demikian:
„Perhatikan, Zarathustra! Bahkan rakyat pun belajar dari kau, dan
mendapatkan kepercayaan dari ajaran kau: namun bagi rakyat untuk mempercayai
kau sepenuhnya, satu lagi masih dibutuhkan – kau pertamanya harus meyakinkan
kami bahkan para manusia cacat! Di sini sekarang kau punya pilihan baik, dan
sungguh, satu kesempatan yang tidak dapat diliwatkan! Kau bisa menyembuhkan
orang buta, dan membuat orang lumpuh berjalan; dan dari ia yang punya
berlebihan kau bisa ambil sedikit, pula, - ini aku pikir, adalah cara yang benar
untuk membuat orang-orang cacat percaya pada Zarathustra!‟
namun Zarathustra menjawab demikian padanya yang telah berkata itu:
Jika seseorang mengambil bongkolnya si bungkuk, lalu ia akan mengambil
darinya spiritnya – ini adalah yang rakyat ajarkan. Dan jika seseorang memberi
mata pada orang buta, lalu ia akan banyak melihat keburukan di dunia: ia akan
mengutuk ia yang menyembuhkannya. namun ia yang membuat orang lumpuh
berjalan, ini mengakibatkan rugi besar: sebab baru saja ia bisa jalan,
kejahatannya lari bersamanya – ini adalah apa yang rakyat ajarkan tentang para
manusia cacat. Dan mengapa Zarathustra tidak belajar dari rakyat pula, saat
rakyat juga belajar dari Zarathustra?
namun ini adalah hal kecil bagiku, sejak aku tingal bersama para manusia,
untuk melihat orang ini tidak punya mata, dan yang lainnya tidak punya kuping,
dan yang ketiga tidak punya kaki, yang tidak punya lidah, atau hidung, atau
kepala.
Aku melihat dan pernah melihat sesuatu yang lebih buruk lagi, dan banyak
dari mereka sangatlah menyeramkan, aku tidak mau menyerukan semua ini, tidak
pula akan membisu terhadap sebagian darinya; yaitu, para manusia yang
kekurangan segalanya kecuali satu, yangmana mereka punya berlebihan – para
manusia yang tidak lebih dari sebiji mata besar, atau mulut besar, atau perut besar,
atau sesuatu yang besar lainnya – aku menamakan para manusia demikian ini para
inversi manusia cacat.
Dan saat aku muncul dari tempat penyendirianku, dan menyeberang
jembatan ini untuk pertama kalinya, aku tidak percaya pada mataku sendiri, dan
meihat dan melihat lagi dan bertanya akhirnya: „Itu adalah telinga‟! Sebuah
telinga sebesar manusia!‟ Aku melihat lebih teliti lagi, dan nyatanya di bawah
telinga itu bergerak sesuatu yang sangat menyedihkan kecilnya, kurus dan
kerempeng. Dan sebenarnya, si telinga raksasa ini bertengger di atas tangkai kecil,
tangkai tipis – tangkai ini, namun, seorang manusia! Seseorang dengan kaca
pembesar, bahkan bisa melihat muka kecil ini penuh dengan dengki; dan juga
gelembung jiwa kecil yang teruntai di tangkainya. Namun, rakyat mengatakan
padaku, bahwa telinga besar ini bukan manusia biasa, namun manusia agung,
seorang jenius. namun aku tidak pernah mempercayai rakyat saat mereka
berbicara tentang para manusia agung – dan aku tetap yakin akan kepercayaanku
bahwa ini adalah inversi manusia cacat, ia yang punya sangat sedikit akan
segalanya, dan punya terlalu banyak akan satu.
saat Zarathustra berseru demikian pada si bungkuk, dan pada ia yang
dianggap mulut dan penasehat mereka, lalu ia menoleh ke para penganutnya
dengan sangat marahnya, dan berkata:
Sungguh, para temanku, aku berjalan di antara para manusia bagai di antara
penggalan-penggalan dan anggota-anggota badan manusia!
Inilah yang menakutkan mataku, bahwa aku telah menemukan para
manusia terpecah terpenggal-penggal, dan bertebaran di sana-sini, seolah-olah di
medan perang dan dipejagalan.
Dan saat mataku lari meninggalkan masakini dan pergi ke masalalu, dia
selalu menemui sesuatu yang serupa: penggalan-penggalan dan anggota-anggota
badan, dan keberuntungan-keberuntungan mengerikan – namun bukan manusia!
Masa kini dan masalalu di dunia ini – duh! Para temanku – ini adalah
bebanku yang sangat tidak bisa aku pikul; dan aku tidak akan bisa hidup,
seandainya aku bukanlah seorang resi peramal akan masadepan yang bakal
terjadi.
Sang resi, sang pemau, sang pencipta, sang masa depan itu sendiri, dan
jembatan ke masa depan ini – dan duh, serupa orang cacat di atas jembatan ini:
Zarathustra adalah semua ini
Dan bahkan kau sering bertanya pada diri kau:: „Siapakah Zarathustra itu
bagi kita? Apa yang musti kita namakan ia? Dan, serupaku, kau menjawab
pertanyaan-pertanyaan kau dengan pertanyaan-pertanyaan pula.
Apahkah ia seorang pembuat janji? Ataukah sang pemenuh janji? Seorang
penakluk? Ataukah seorang ahli waris? Sebuah panenan? Atau mata-bajak?
Seorang tabib? Ataukah seorang yang baru sembuh?
Apakah ia seorang pujangga? Ataukah seorang manusia sejati? Seorang
pembebas? Ataukah seorang penakluk? Orang baik? Ataukah orang jahat?
Aku berjalan di tengah-tengah para manusia bagai di tengah-tengah
penggalan-penggalan masa depan: masa depan yang aku teropong itu.
Dan segala seni dan cita-citaku, adalah untuk memadukan dan menghimpun
menjadi satu apa yang terpenggal-penggal dan teka-teki dan keberuntungan yang
mengerikan.
Dan bagaimana aku bisa berdaya untuk menjadi manusia, jika manusia itu
sendiri bukan pula pujangga dan penebak teka-teki teka-teki dan penebus
keberuntungan!
Untuk menebus masalalu, dan merubah setiap „Itu adalah dulu‟ menjadi
„Aku mau itu!‟ – ini sendiri yang aku namakan penebusan!
Kemauan – itu adalah nama panggilannya sang pembebas dan sang
pemberi sukacita: maka aku ajarkan kau, para temanku! namun sekarang
belajarlah ini pula: Kemauan itu sendiri masih terpenjara.
Memaui ini membebaskan: namun apa itu namanya yang mengikat sengkelasengkela bahkan ke para pembebas?
„Itu adalah dulu‟: ini adalah nama panggilan kedongkolannya kemauan, dan
kesengsaraannya kerinduannya. Tidak berdaya melawan apa yang telah terjadi -
seorang penonton yang mendengki pada segala sesuatu yang lampau.
Sang kemauan tidak bisa memaui mundur; bahwa dia tidak bisa
menghancurkan sang waktu dan hasratnya sang waktu – ini sendiri adalah
kesengsaraannya kerinduannya Kemauan.
Memaui ini membebaskan: apa yang sang kemauan ini upayakan untuk
membebaskan dirinya dari nestapanya, dan mengejek penjaranya?
Duh, setiap orang yang dipenjara akan menjadi bodoh! Secara bodoh pula
Kemauan yang terpenjara itu membebaskan dirinya.
Bahwa sang waktu tidak bisa berjalan mundur – ini adalah rasa bencinya;
„Itu adalah dulu‟ – ini adalah batu yang tidak bisa digulingkan itu.
Lalu, dari rasa bencinya dan keberangasannya itu, sang kemauan
menggulingkan batu-batu ke sana ke mari, dan mendendam ke sesiapa saja yang
tidak merasa benci dan berangas, seperti dia.
Maka sang kemauan, sang pembebas, menjadi si penyiksa: dan pada sesiapa
yang bisa menderita dia mendendam, sebab tidak bisa berjalan mundur.
Ini, ya, ini sendiri adalah dendam itu: rasa benci sang kemauan pada sang
waktu, dan pada „Itu adalah dulu‟nya sang waktu.
Sungguh, satu kebodohan besar hidup dalam Kemauan kita; bahwa
kebodohan itu mendapatkan spirit, ini telah menjadi kutukan bagi umat manusia.
Spirit dendam: para temanku, hingga kini, telah menjadi bahan pikiran
utama manusia; dan di mana ada penderitaan, ini selalu dianggap sebagai
hukuman.
Dendam menamakan dirinya „hukuman.‟ Dengan kata-kata bohong dia
berpura-pura punya hati nurani baik.
Dan sebab ada penderitaan di dalam dirisang pemau, sebab dia tidak bisa
memaui mundur – maka Memaui itu sendiri dan semua kehidupan dianggap
sebagai – hukuman!
Lalu mendung menggumpal-gumpal melindas sang spirit, hingga akhirnya
kegilaan mengkhotbah: „Semuanya berlalu, maka semuanya patut berlalu!‟
„Dan, hukum waktu itu sendiri adalah adil - bahwa waktu harus menelan
anak-anaknya‟: maka kegilaan mengkhotbah.
„Secara moral segala sesuatunya diatur oleh hukum dan keadilan. Oh,
mana kebebasan dari arus segala sesuatu dan dari “eksistensi” hukuman?‟ Maka
kegilaan mengkhotbah.
„Apa mungkin ada kebebasan, saat ada keadilan abadi? Duh, batu yang
tidak bisa digulingkan, “Itu adalah dulu”: abadi begitu pula hukuman!‟ Maka
kegilaan mengkhotbah.
„Tidak ada hasil perbuatan yang bisa dihapus: bagaimana itu bisa dihapus
melalui hukuman! Ini, inilah yang abadi dalam “eksistensi” hukuman, bahwa
eksistensi itu adalah abadi, hasil perbuatan dan dosa yang berulangan.
„Kecuali sang Kemauan akhirnya membebaskan dirinya, lalu Memaui
menjadi non-Memaui‟: namun kau, para saudaraku, tahu tentang tembang cerita
dongeng yang gila ini!
Aku tuntun kau jauh dari segala tembang-tembang cerita dongeng ini saat
aku mengajarkan kau: „Sang Kemauan adalah sang pencipta.‟
Segala „Itu adalah dulu‟ adalah kepingan, teka-teki, keberuntungan yang
menakutkan – hingga Kemuauan yang pencipta itu berkata: „namun aku suka
itu.‟
Hingga Kemauan yang pencipta berkata: „namun itu yang aku mau! Itulah
yang harus aku maui!‟
namun pernahkah dia berkata demikian? Dan kapan ini akan terjadi?
Telahkah sang Kemauan dibebaskan dari kebodohannya sendiri?
Telahkah sang Kemauan menjadi sang pembebas dirinya sendiri dan sang
pemberi sukacita? Telahkah dia melupakan spirit pendendam dan segala
kejengkelan-kejengkelan?
Dan siapakah yang telah mengajarkan dia untuk berekonsiliasi dengan sang
waktu, dan yang lebih tinggi dibandingkan semua rekonsiliasi?
Sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan setiap rekonsiliasi adalah Kemauan yang
memaui the Will to Power – namun bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang telah
mengajarkan dia untuk memaui mundur, pula?
namun dalam hal tersebut dalam diskursus ini, tidak disangka-sangka
Zarathustra tiba-tiba berhenti dan tampaknya seperti manusia yang sangat
ketakutan sekali. Dengan mata yang menakutkan ia pandang para penganutnya;
pandangannya seperti anak panah menembus pikiran-pikiran dan pikiran-pikiran
tersembunyi mereka. namun tidak berapa lama kemudian ia tertawa kembali, dan
berseru dengan suara tenang:
„Adalah sulit untuk hidup di tengah-tengah para manusia, sebab sangat sulit
untuk diam - khususnya bagi seorang pengoceh
Ini seruan Zarathustra. Si bungkuk, namun, mendengar pembicaraan ini lalu
menutup mukanya, seraya mendengarkan; namun saat ia mendengar Zarathustra
tertawa, ia menengadah ingin tahu, dan berkata perlahan:
„namun mengapa Zarathustra berseru pada kita berbeda dibandingkan berseru
pada penganutnya?‟
Zarathustra menjawab: „Apa yang aneh akan hal ini? Dengan orang
bungkuk seseorang beseru secara si bungkuk pula!‟
„Baik,‟ kata si bungkuk; „dan dengan murid-murid seseorang mungkin
bicara rumor di luar jam sekolah.
namun mengapa Zarathustra berseru berbeda pada murid-muridnya –
dibandingkan pada dirinya?‟
. Keberhati-hatian Lelaki
Bukanlah ketinggian, namun ngarai maha dalamlah yang sangat menakutkan!
Sang ngarai maha dalam di mana pandangan terjun kebawah dan lengan
meraih keatas. Disanalah sang hati tumbuh pening melalui dwirangkap
kemauannya.
Ah, para temanku, telahkah kau menerka dwirangkap kemauan hatiku?
Ini, ini, adalah ngarai maha dalamku dan marabahayaku, bahwa
pandanganku terjun ke puncak ketinggian, dan lenganku ingin memegang dan
bersandar – dasar kedalaman!
Kemauanku melekat ke manusia, dengan rantai-rantai aku ikat diriku ke
manusia, sebab aku tertarik keatas ke sang Superman: sebab kemauanku yang
lainnya ingin menarikku ke atas ke sang Superman.
Maka aku hidup secara membuta di sekeliling para manusia, seolah-olah aku
tidak mengenali mereka: Semoga lenganku tidak kehilangan kepercayaannya pada
kepastian hati.
Aku tidak mengenali kau para manusia: kemurungan dan pelipuran ini selalu
bertebaran disekelilingku.
Aku duduk di pintu gerbang menunggu setiap penjahat, dan bertanya: Siapa
mau menipuku?
Ini adalah keberhati-hatian lelaki pertamaku: Aku biarkan diriku ditipu
supaya tidak berjaga-jaga akan para penipu.
Ah, jika aku berjaga-jaga terhadap para manusia, bagaimana para manusia
bisa menjadi jangkar bagi bolaku? Aku akan dengan mudahnya terlempar dan
terombang-ambing!
Tuntunan ilahi ada di dalam takdirku: Aku harus tanpa keperdulian.
Dan ia yang tidak mau mati kehausan di sekitar para manusia, harus belajar
minum dari segala cawan-cawan; dan ia yang ingin tetap bersih di sekitar para
manusia, harus tahu bagaimana membersihkan dirinya bahkan dengan air kotor.
Dan aku selalu berseru seperti ini untuk melipur hatiku: „Keberanian!
Bergembiralah! hati tua! Satu ketidakbahagiaan gagal menghancurkan kau:
nikmatilah ini sebagai – satu kebahagiaan!
Ini, namun, keberhati-hatian lelaki keduaku: aku lebih memaklumi si genit
dibandingkan si sombong.
Bukankah kegenitan yang terluka itu bunda dari segala tragedi-tragedi?
Namun, di mana kesombongan itu terluka di sana tentu tumbuh sesuatu yang lebih
baik dibandingkan kesombongan.
Agar kehidupan ini enak untuk dilihat, permainannya harus dimainkan
dengan baik: untuk ini, para aktor baik dibutuhkan.
Aku mendapatkan bahwa semua manusia genit itu adalah para aktor baik:
mereka bertingkah, dan berhasrat agar orang lain memperhatikan mereka – segala
spirit mereka ada dalam hasrat ini.
Mereka mewakili diri mereka sendiri, mereka menciptakan diri mereka
sendiri; aku ingin melihat kehidupan mereka dari dekat – ini menyembuhkan rasa
sedih.
Maka aku memaklumi si genit sebab mereka adalah tabib-tabib bagi rasa
sedihku, dan melekat-eratkanku pada manusia bagai drama.
Dan lebih-lebih lagi: siapa yang bisa mengukur kedalaman
kerendahatiannya yang sepenuhnya manusia genit ini! Aku sangat menyukainya
dan bersimpati padanya sebab kerendahatiannya.
Dari kau ia ingin belajar untuk percaya pada dirinyasendiri; ia makan
pandangan-pandangan kau, ia makan puji-pujian dari lengan kau.
Ia bahkan percaya pada kebohongan-bohongan kau tatkala kau membohong
bagi keuntungannya: sebab dari kedalaman hatinya mengeluh: „Apa sih aku ini?‟
Dan jika ini adalah kebajikan sejatinya yang tidak sadar akan dirinya
sendiri: ayo, manusia genit ini tidak sadar akan kerendahatiannya!
Ini, namun, keberhati-hatian lelaki ketigaku: Aku tidak membiarkan rasa
kenikmatanku pada penjahat, itu padam sebab kepengecutan kau
Aku bahagia melihat banyak kesemarakan-kesemarakan yang
mengagumkan yang ditetaskan oleh cahaya hangat sinar surya: macan-macan,
pepohonan palem dan ular-ular derak.
Di antara para manusia, pula, ada keluarga baik dari cahaya hangat sinar
surya, dan banyak yang mengagumkan dalam diri sang penjahat.
Sebenarnya, bagiku, para manusia terarifnya kau itu tidak sangat bijaksana,
maka aku temui bahwa kejahatan manusia, pula, tidak diberi reputasi yang layak.
Dan kerap kali aku menggelengkan kepalaku dan bertanya: Mengapa tetap
berderak, kau ular-ular derak?
Sungguh, masih ada masa depan, bahkan bagi kejahatan! Dan benua Selatan
yang terhangat masih belum lagi ditemukan oleh manusia.
Begitu banyaknya sesuatu yang sekarang dinamakan kejahatan terburuk, itu
hanya dua belas kaki saja lebarnya dan tiga bulan panjangnya! Sekala, namun,
naga-naga lebih besar akan datang ke dunia ini.
Semoga, sang Superman tidak akan kekurangan naga-naganya, super naga
yang berharga baginya, lebih banyak lagi cahaya panas sang surya namun harus
membakar hutan-hutan lembab purba!
Kucing-kucing liar kau musti menjadi macan-macan, dan katak-katak
beracun kau menjadi buaya-buaya: sebab para pemburu handal musti punya
buruan bagus!
Dan sungguh, kau si baik dan si adil! Di dalam diri kau ada banyak yang
harus ditertawakan, khususnnya ketakutan kau pada ia yang hingga saat ini
dinamakan „Setan‟!
Jiwa kau sangat asing pada apa yang megah, maka sang Superman akanlah
menakutkan kau dalam kebaikannya!
Dan kau para manusia arif yang tercerahkan, kau akan lari dari
kebijaksanaan api panas sang surya yangmana sang Superman dengan segala
sukacitanya memandikan ketelanjangannya!
Kau para manusia tertinggi yang ada di hadapan mataku! Ini adalah
keraguanku pada kau, dan bahan tertawaan rahasiaku: aku menduga bahwa kau
akan menamakan sang Supermanku itu – setan!
Duh, aku menjadi letih akan mereka para manusia tertinggi dan manusia
terbaik: dari „ketinggian‟ mereka aku rindu untuk naik ke atas, ke luar, jauh ke
sang Superman!
Horor menghadangku saat aku melihat para mansuia terbaik ini telanjang:
lalu di sana tumbuh bagiku sayap untuk terbang jauh ke masadepan-masadepan
terjauh.
Ke masadepan-masadepan terjauh, ke lebih selatannya Selatan-selatan
dibandingkan yang para seniman pernah impikan: nun jauh di sana, di mana tuhantuhan malu akan segala pakaian-pakaian!
namun aku mau melihat kau menyamar, kau para tetangga dan para teman,
dan berpakaian bagus, bergaya dan terhormat, seperti „si baik dan si adil‟.
Dan menyamar aku ingin pula duduk bersama kau supaya aku tidak dapat
mengenali kau dan diriku: sebab ini adalah, keberhati-hatian lelakiku yang
terakhir.
Ini seruan Zarathustra.
. Masa Terhening
Apa yang telah terjadi padaku, para temanku? Kau telah melihat aku kesusahan,
diusir, dipaksa harus patuh, harus siap pergi – duh, pergi jauh dari, kau!
Ya, Zarathustra harus pergi ke tempat penyendiriannya sekali lagi: namun
kali ini beruang ini kembali ke guhanya tidak bahagia!
Apa yang telah terjadi padaku? Siapa yang telah menyuruh ini? – duh,
kekasihku menghendaki ini, begitulah katanya kepadaku; pernahkah aku katakan
namanya pada kau?
Kemarin menjelang malam masa terheningku bicara padaku: ini adalah
nama kekasihku yang menakutkan itu.
Inilah yang terjadi, sebab aku musti katakan segalanya pada kau, semoga
kau tidak sakit hati padaku sebab meninggalkan kau tiba-tiba!
Tahukah kau rasa takut yang menyerang ia yang sedang tidur?
Ia ketakutan hingga ke jempol kakinya, sebab dunia tampaknya ambruk,
mimpi pun bermula.
Maka aku berseru pada kau dalam kiasan. Kemarin, di masa terhening,
dunia tampaknya ambruk: lalu mimpiku pun bermula.
Jarum pendek jam bergerak, masa kehidupanku menahan nafasnya – aku
tidak pernah mendengar keheningan seperti ini di sekelilingku: maka hatiku
ketakutan.
Lalu, sesuatu berkata padaku tanpa suara: ‘Kau tahu, Zarathustra?’
Dan aku berteriak ketakutan pada bisikan itu, dan darah naik ke atas
mukaku: namun aku tetap membisu.
Lalu lagi, sesuatu berkata tanpa suara: „Kau tahu, Zarathustra, namun kau
tidak menyerukannya!‟
Dan aku menjawab akhirnya membangkang: „Ya, aku tahu, namun aku tidak
mau menyerukannya!‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Kau tidak mau, Zarathustra?
Benarkah ini? Jangan bersembunyi dalam bangkangan kau!‟
Dan aku menangis dan gemetaran serupa anak kecil dan berkata: „Duh, aku
memang mau, namun bagaimana aku bisa? Bebaskanlah diriku dari semua ini! Ini
melebihi kekuatanku!‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Ada apa dengan kau,
Zarathustra? Serukan ajaran kau dan mati!‟
Dan aku menjawab: „Ah apakah itu ajaranku? Siapa sih aku? Aku menunggu
seseorang yang lebih berharga; Aku tidak berharga bahkan untuk mati oleh
ajaranku.‟
Lagi sesuatu berkata tanpa suara padaku: „Ada pentingnya kau? Kau belum
lagi cukup rendah hati padaku. Kerendahan hati itu mempunyai kulit yang paling
keras.‟
Dan aku menjawab: „Apa yang kulit kerendahan hatiku belum lagi alami?
Di kaki ketinggian-ketinggianku aku hidup: seberapa tingginya sih puncakku?
Tidak seorang pun namun pernah katakan ini padaku. namun aku tahu lembahlembahku dengan baik.‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „O Zarathustra, ia yang musti
memindahkan gunung-gemunung memindahkan pula lembah-lembah dan tanahtanah datar.‟
Dan aku menjawab: „Kata-kataku namun belum lagi memindahkan gununggemunung dan apa yang aku serukan belum lagi sampai ke para manusia.
Memang, aku telah pergi ke para manusia, namun aku belum sampai ke mereka.‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: ‟Bagaimana kau tahu ini?
Embun jatuh ke atas rumput di malam terhening!‟
Dan aku menjawab: „Mereka mengejekku saat aku menemukan jalanku
dan berjalan di jalanku; dan sungguh lalu kakiku gemetaran.
Dan mereka berkata demikian padaku: Kau telah lupa jalan, sekarang kau
juga lupa bagaimana untuk berjalan!‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Apa pentingnya ejekan
mereka? Kau adalah seorang yang telah melupakan kepatuhan: sekarang kau
musti merintah!
Tahukah kau apa yang dibutuhkan oleh umat manusia? Seorang yang
memerintah sesuatu yang termegah!
Untuk melaksanakan sesuatu yang megah adalah sulit; namun tugas yang
lebih sulit adalah untuk memerintah sesuatu yang megah.
Ini adalah kekeras kepalaan kau yang sangat tidak dapat dimaafkan: Kau
punya power namun kau tidak mau memerintah.Dan aku menjawab: „Aku tidak punya raungan singa bagi perintahan.‟
Lalu lagi sesuatu berkata tanpa suara padaku bagai berbisik: „Adalah katakata terhening yang membawa badai. Pikiran-pikiran yang datang dengan kaki
burung merpati memandu dunia.
O Zarathustra, kau harus pergi seperti bayangan yang akan mendatang: lalu
kau akan merintah, dan yang memerintah berjalan paling depan.‟
Dan aku menjawab: „Aku malu.‟
Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Namun, kau musti menjadi
seorang anak kembali, dan tanpa malu.
„Keangkuhan remaja kau tetap ada dalam diri kau, kau terlambat muda:
namun ia yang mau menjadi seorang anak harus mengatasi bahkan keremajaannya.‟
Aku merenung cukup lama dan gemetaran. Akhirnya, namun, aku berkata
apa yang pernah aku katakan pertama: „Aku tidak mau.‟
Lalu tawa berkumandang di sekelilingku. Duh, bagaimana tawa ini
mencabik-cabik badanku dan merobek bukakan hatiku!
Dan untuk kali terakhir sesuatu berkata padaku: „O Zarathustra, buahbuahan kau telah matang namun kau belum matang bagi buah-buahan kau!
Maka kau harus kembali ke tempat penyendirian kau: sebab kau harus
menjadi lembut.‟
Dan lagi sesuatu tertawa, dan terbang: lalu menjadi hening sekelilingku
bagai jika dengan dwirangkap kesunyian. Aku, namun, berbaring di geladak dan
peluh mengalir dari kakiku.
Sekarang kau telah mendengar segalanya, dan mengapa itulah aku musti
kembali ke tempat penyendirianku. Aku tidak menyembunyikan apa-apa pada
kau, para temanku.
Dan kau telah mendengar, ini pula dariku, siapa manusia yang paling
terhening – dan tetap ingin demikian!
Ah, para temanku! Aku harus menyerukan sesuatu lebih banyak pada kau,
aku harus memberikan sesuatu lebih banyak bagi kau! Mengapa aku tidak
berikan? Apakah aku pelit?
Namun, setelah Zarathustra berseru kata-kata ini, kesedihan yang tiada
taranya dan kedekatannya pada kepergiannya dari teman-temannya melandanya,
lalu ia tersedu keras; tidak seorang pun tahu bagaimana untuk melipurnya. namun
malam itu ia pergi sendirian dan meninggalkan teman-temannya
Sang Pengembara
saat tengah malam tiba, Zarathustra memulai perjalanannya melalui punggung
bukit pulau, supaya ia bisa sampai ke pesisir pantai lainnya di awal fajar: sebab
di sana ia mau berlayar. sebab di sana ada pelabuhan yang baik dimana kapalkapal asing pun senang menaruhkan sauhnya: mereka mengambil banyak
penumpang yang mau meninggalkan Kepulauan Bahagia menyeberang samudera.
Saat ini, saat Zarathustra mendaki gunung-gemunung ia teringat akan
pengembaran-pengembaraan sepi yang ia pernah lakukan semasa mudanya,
banyak gunung-gunung, bukit-bukit dan puncak-puncak yang ia pernah daki.
Aku adalah seorang pengembara dan seorang pendaki gunung (ia berkata
pada hatinya), aku tidak senang dataran-dataran dan tampaknya aku tidak bisa
duduk lama dan tenang.
Dan apa saja yang akan datang padaku ini bagai takdir dan pengalaman –
termasuk pengembaraan dan pendakian gunung: pada akhirnya seseorang
mengalami pengalaman itu sendiri belaka.
Masa saat aksiden-aksiden yang bisa menimpaku telah berlalu: dan apa
yang akan terjadi pada takdirku bukankah ini sudah bagianku?
Itu semua kembali, dan akhirnya kembali padaku – Diriku sendiri, yang
telah lama berada di luar, dan terpencar-pencar di tengah-tengah sesuatu dan
aksiden-aksiden.
Dan aku tahu lebih banyak lagi: aku sekarang berdiri di hadapan puncak
terakhirku, dan di hadapan sesuatu yang sudah lama disiapkan bagiku. Duh, aku
musti mendaki jalan tersulitku! Duh, aku mulai melangkah kepengembaraanku
yang tersepi!
namun seorang lelaki yang semacamku tidak menghindari masa-masa serupa
ini: sang waktu yang berkata padanya: „Hanya sekaranglah kau melangkah jalan
ke kemegahan kau! Puncak dan ngarai – sekarang telah menjadi satu!
„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: yang dahulunya bahaya
terakhir kau sekarang menjadi tempat perlindungan terakhir kau!
„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: ini sekarang harus menjadi
keberanian kau bahwa tidak ada lagi jalan di belakang kau!
„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: tidak ada seorang pun akan
mencuri dari kau di sini! Kaki kau sendiri telah menghapus jalan di belakang kau,
dan di atasnya tertulis kata: Mustahil.
Dan saat semua tangga-tangga menghilang, kau musti belajar untuk
mendaki dengan kepala kau sendiri: jika tidak bagaimana kau bisa mendaki ke
atas?
Di atas kepala kau, dan melebihi hati kau! Sekarang bagian yang terhalus
kau harus menjadi yang terkeras.
Ia yang selalu memanjakan diri, akhirnya muak akan pemanjaan diri. Segala
puji bagi yang membuat apa-apa keras! Aku tidak memuji negeri yang di mana
mentega dan madu – mengalir!
Belajar untuk melihat keluar dirinya, adalah penting agar bisa melihat
banyak sesuatu: – setiap pendaki gunung butuh kekerasan seperti ini.
Namun ia yang tercerahkan namun matanya jelalatan, bagaimana ia bisa
melihat sesuatu lebih banyak lagi selain permukaan kulit!
Namun, kau, O Zarathustra, ingin melihat segala permukaan kulit dan latar
belakang mereka: maka kau musti mendaki melebihi diri kau – atas dan teratas,
sehingga bahkan pula bintang-bintang kau ada di bawah kau!
Ya! Untuk menghina diriku, bahkan bintang-bintangku: hanya inilah yang
aku namakan puncakku, yang akan selalu demikian bagiku, sebagai puncak
terakhirku!
Ini seruan Zarathustra pada dirinya sendiri seraya ia mendaki, melipur
hatinya dengan kata-kata tegar: sebab hatinya terluka seperti tidak pernah terluka
sebelumnya. Dan saat ia sampai di puncak punggung gunung, perhatikan, nun
di sana di hadapannya terbentang samudera yang lainnya: dan ia berdiri dengan
tenang dan terdiam. Namun, malam hari di ketinggian adalah dingin, dan bersih
dan terang benderang dengan bintang-bintang.
Aku tahu takdirku ia berkata akhirnya. Baiklah! Aku siap. Sekarang
kesendirian terakhirku baru saja bermula.
Ah, kemurungan ini, samudera yang sedih, di bawahku! Ah, kemurungan
kejengkelan malam hari! Ah, takdir dan samudera! Kepada kau sekarang aku
harus turun!
Di hadapan gunung tertinggiku aku berdiri, dan dihadapan pengembaraan
yang terlamaku: maka pertamanya akau harus turun lebih dalam dibandingkan yang
aku pernah turun,
- lebih dalam ke dukacita dibandingkan yang pernah aku turun, bahkan ke dalam
aliran yang terhitam! Maka takdirku memaui ini. Ayo! Aku siap.
Darimana munculnya gunung-gemunung tertinggi? Aku sekala bertanya.
Lalu aku belajar bahwa mereka muncul dari samudera.
Testimoni i ini tertulis di atas batu-batuan mereka, dan di dinding puncakpuncak mereka. Dari yang terdalam, yang tertinggi harus muncul ke
ketinggiannya.
Ini seruan Zarathustra di atas punggung gunung, di sana sangat dingin;
namun, saat ia dekat dengan samudera, dan berdiri sendirian di sekeliling
jurang-jurang terjal, ia menjadi letih, lebih rindu, dibandingkan sebelumnya.
Segalanya masih tertidur, katanya: bahkan sang samudera pun tidur.
Matanya yang mengantuk dan aneh itu menatapku.
namun dia bernafas dengan hangatnya; aku merasakannya. Dan aku merasa,
pula, bahwa dia bermimpi. Bermimpi ia melontakan diri kesana kemari di atas
bantal-bantal keras.
Dengar! Dengar! Bagaimana dia merintih dengan kenangan-kenangan jahat!
Atau dengan harapan-harapan jahat?
Ah, aku ikut bersedih pada kau, monster hitam, bahkan marah pada diriku
sendiri demi kau.
Duh, bahwa lenganku kurang punya tenaga! Sebenarnya, aku sangat ingin
untuk membebaskan kau dari impian-impian buruk kau!
Seraya Zarathustra berseru demikian, ia tertawa pada dirinya sendiri, dengan
murung dan pahit. Apa! Zarathustra, katanya, maukah kau menembang lagu
pelipuran hati bahkan ke sang samudera?
Ah, kau pecinta dungu, Zarathustra, kau sangat kebelet untuk mempercayai!
namun kau selalunya seperti ini: selalu mendekati dengan rasa penuh percaya diri
ke segala sesuatu yang menakutkan.
Kau selalu ingin membelai setiap monster. Kepulan nafas hangat, seuntai
bulu halus di atas kakinya – dan langsung kau siap untuk mencintai dan
merayunya.
Cinta adalah bahaya bagi manusia maha penyendiri, cinta pada apa saja,
seandainuya itu hidup! Sungguh, kebodohanku dan kebersahajaanku dalam cinta
adalah lucu!
Ini seruan Zarathustra, dan tertawa lagi untuk kedua kalinya. namun lalu ia
memikirkan teman-temannya yang ia telah tinggalkan - dan ia marah pada dirinya
seolah-olah pikiran-pikirannya telah melukai hati teman-temannya. Lalu manusia
yang tertawa ini pun menangis – dengan marah dan rindu Zarathustra menangis
tersedu.
. Visi dan Teka-teki
saat ini menjadi desas-desus di antara para pelaut bahwa Zarathustra ada di
kapal – sebab seorang dari Kepulauan Bahagia naik kapal bersama dengannya –
kemudian rasa keingintahuan dan harapan besar pun timbul. namun Zarathustra
membisu dua hari, kedinginan dan ketulian sebab sedih, lalu ia tidak menjawab,
tidak melihat atau pun bertanya-tanya. namun di malam kedua, ia membuka
telinganya lagi, walau ia tetap membisu: sebab banyak sesuatu yang janggal dan
berbahaya untuk didengar di kapal ini, yangmana datang dari jauh, namun masih
punya perjalanan jauh. Zarathustra, namun, sangat senang pada mereka yang
membuat perjalanan-perjalanan jauh, dan tidak suka untuk hidup tanpa bahaya.
Dan perhatikan! saat mendengarkan, lidahnya akhirnya melonggar, dan hati
esnya pun patah: maka ia mulai berseru demikian:
Kepada kau, para pengelana pemberani, para petualang dan sesiapa saja
yang telah berlayar dengan layar-layar cerdik di samudera-samudera yang
menakutkan,
Kepada kau yang mabuk oleh teka-teki, penikmat-senja, yang jiwanya
terbujuk oleh tiupan seruling kesetiap ngarai berbahaya –
sebab kau tidak ingin untuk meraba tali dengan rasa takut; dan di mana kau
bisa menerka kau benci untuk menghitung-hitung –
Kepada kau belaka aku serukan teka-teki yang aku lihat ini – visinya
manusia mahapenyendiri.
Belakangan-belakangan ini aku berjalan muram melalui senja pucat kelabu -
muram dan geram, dengan bibir cemberut. Bukan saja sebuah matahari yang telah
terbenam bagiku.
Sebuah jalan terjal membandel melalui puing-puing dan bebatuan, jalan
jahat, jalan tersendiri, yang tidak lagi disukai oleh semak-semak atau pepohonan:
jalan setapak pegunungan remuk di bawah kakiku yang bandel ini.
Membisu ia melangkah di atas ejekan dentingan kerikil-kerikil, menginjak
bebatuan yang membuat mereka tergelincir: demikianlah kakiku memaksa dirinya
naik ke atas.
Ke atas – walau sang spirit mendorongnya ke bawah, mendorongnya ke arah
ngarai, si Spirit Gayaberat, setan dan musuh bebuyutanku.
Ke atas – walau ia duduk di atasku, setengah kerdil, setengah tikus buntet;
lumpuh, melumpuhkan; menuangkan timah hitam ke dalam telingaku, dan
pikiran-pikiranku, seperti tetesan timah hitam ke dalam otakku.
„O Zarathustra,‟ ia berkata mengejek, kata demi kata, „kau batu
kebijaksanaan! Kau telah melemparkan diri kau tinggi-tinggi, namun setiap batu
yang dilempar pasti – jatuh!
O Zarathustra, kau batu kebijaksanaan, kau katapel, kau penghancurbintang! Kau telah melemparkan diri kau tinggi-tinggi, namun setiap batu yang
dilempar - pasti jatuh!
Dikutuk oleh diri kau sendiri, dan bagi pelemparan batu kau: O Zarathustra,
sangat jauh kau melempar batu kau, namun ke atas kau batu ini akan jatuh
kembali!‟
Lalu si kerdil pun terdiam; lama terdiam. namun kemembisuannya, ini
menekanku; dan untuk seperti ini di antara teman, sungguh lebih kesepian
dibandingkan sendirian!
Aku mendaki, aku mendaki, aku bermimpi, aku berpikir, namun segala
sesuatunya menekanku. Aku semacam orang sakit, letih akan luka derita, dan
terbangunkan oleh mimpi-mimpi buruk.
namun ada sesuatu dalam diriku yang aku namakan keberanian: dia selalu
menghancurkan setiap kepengecutan dalam diriku. Sang keberanian ini, akhirnya
memohon padaku untuk berhenti dan berkata: „Kerdil! Kau! atau Aku!‟
sebab sang keberanian adalah sang penghancur terunggul – keberanian
yang menyerang: sebab di setiap serangannya ada pekikan kejayaan.
Manusia, namun, adalah binatang yang paling berani: lalu ia mengatasi
setiap binatang. Dengan pekikan kejayaan ia mengatasi setiap dukacita; dukacita
manusia, namun, adalah luka yang terdalam.
Sang keberanian juga menghancurkan kepeningan di ngarai-ngarai: dan
dimanakah manusia itu berada jika tidak berdiri di ngarai-ngarai? Tidakkah
penglihatan itu sendiri – melihat ngarai-ngarai?
Sang keberanian adalah sang penghancur terunggul: sang keberanian pula
menghancurkan penderitaan. Dan penderitaan adalah ngarai terdalam: sedalamdalamnya manusia melihat ke kehidupan, sangat dalam pula ia melihat ke
penderiitaan.
Sang keberanian, namun, adalah sang penghancur terunggul, keberanian
yang menyerang: ia menghancurkan bahkan kematian pula, sebab ia berkata:
„Itukah kehidupan? Ayo! Sekali lagi!‟
namun dalam kata-kata seperti ini, ada banyak pekikan kejayaan. Ia yang punya
telinga untuk mendengar, biar ia mendengar.
„Berhenti kerdil!‟ tukasku. „Aku! atau kau! namun aku adalah yang terkuat di
antara kita – kau tidak tahu pikiran terdalamku! Pikiran itu – tidak bisa kau
tahan!
Lalu sesuatu terjadi yang meringankanku: sebab si kerdil me lompat dari
bahuku, si kerdil yang mau tahu segala! Dan ia duduk di bawah di atas batu di
hadapanku. Dan di mana kita berhenti di sana ada pintu gerbang .
„Perhatikan pintu gerbang ini, kerdil!‟ Aku meneruskan: „punya dua aspek.
Dua jalur saling berdatangan ke sini: namun tidak satu pun pernah mencapai ke
keakhirannya.
Jalur panjang di belakang: ini terus hingga abadi. Dan jalur panjang di depan
– itu adalah keabadian lainnya lagi.
Jalur-jalur ini saling berlawanan, jalur-jalur ini saling berdampingan; dan di
sinilah, di pintu gerbang ini keduaya saling bertemu. Nama pintu gerbang ini
tertulis di atas: “Momen.”
namun jika seseorang mengikuti jalur-jalur ini - jauh dan semakin jauh: apa
yang kau pikir, kerdil, bahwa jalan ini akan berlawanan abadi?‟
„Segala sesuatu yang lurus itu bohong,‟ gerutu si kerdil menghina. „Setiap
kebenaran adalah bengkok; sang waktu itu sendiri adalah lingkaran.‟
„Kau spirit Gayaberat!‟ aku berkata marah, „jangan anggap enteng! Atau aku
akan tinggalkan kau bergeladak di sini, kaki timpang – dan aku telah membawa
kau tinggi !
„Perhatikan Momen ini!‟ aku teruskan. „Dari pintu gerbang Moment, jalur
panjang abadi ini berlari balik kembali: keabadian ada di belakang kita.
Tidak semustinyakah segala sesuatu yang bisa lari, pernah berlari sepanjang
jalur ini? Tidak semustinyakah segala sesuatu yang bisa terjadi pernah terjadi,
berakhir, meliwat?
Dan jika segalanya pernah ada di sini sebelumnya: apa yang kau pikir
tentang Momen ini, kerdil? Tidak semustinyakah pintu gerbang ini, pula, pernah
ada di sini – sebelumnya?
„Dan tidakkah segalanya terikat erat bersama secara khas bahwa Momen ini
menarik segala yang akan datang ke hadapannya? Maka - menarik dirinya pula?
sebab segala sesuatu yang bisa lari musti pula sekali lagi lari sepanjang
jalur ini!
„Dan labah-labah lamban ini yang merangkak beranjak di cahaya bulan, dan
cahaya bulan itu sendiri, dan aku dan kau di pintu gerbang ini berbisik bersama,
berbisik tentang sesuatu yang abadi – tidak semustinyakah kita semua pernah ada
di sini sebelumnya?
- Dan tidak semustinyakah kita kembali lagi dan lari di sepanjang jalur
lainnya di hadapan kita, di jalur panjang yang aneh itu – tidak semustinyakah
kita kembali lagi abadi?‟
Maka aku berseru, dan lebih halus lagi: sebab aku takut akan pikiranpikiranku sendiri, dan pikiran-pikiran tersembunyiku. Lalu, sekonyong-konyong,
aku mendengar anjing melengking di dekatku
Pernahkah aku mendengar anjing melengking seperti ini? Pikiran-pikiranku
datang kembali. Ya! saat aku masih kanak-kanak, di masa kecilku dahulu:
- Lalu aku mendengar anjing melengking seperti ini. Dan aku lihat anjing
ini, bergidik bulunya, kepalanya terangkat, pula, gemetaran di tengah malam
terhening, walau pun anjing percaya pada hantu-hantu:
- Maka ini membangkitkan rasa simpatiku. sebab sang bulan purnama
baru saja meliwati rumah, hening bagai kematian; baru saja berhenti anteng, sinar
bundar, berhenti anteng di atas atap datar, bagai di atas hak kepemilikan orang
lain:
Inilah yang menakutkan anjing itu: sebab anjing percaya pada pencuri dan
hantu-hantu. Dan saat aku mendengar lengkingan ini sekali lagi, ini
menggerakanku ke rasa simpati.
Kemana si kerdil itu sekarang? Dan pintu gerbang? Dan sang labah-labah?
Dan segala bisikan-bisikan? Apakah aku bermimpi? Apakah aku terbangun? Di
tengah-tengah batu cadas kasar, tiba-tiba aku berdiri seorang diri, suram di sinar
bulan tersuram.
namun di sana seorang lelaki terbaring! Dan di sana! Seekor anjing,
melompat, bulunya bergidik, melengking; melihat aku datang – lalu melengking
lagi, lalu menggonggong – pernahkah aku mendengar anjing menggonggong
demikian minta pertolongan?
Dan sunguh, aku tidak pernah melihat sesuatu seperti yang aku lihat. Aku
lihat seorang penggembala muda menggelepar, tercekik, mukanya lusuh; dan
seekor ular hitam berat, bergantungan dari dalam mulutnya.
Pernahkah aku melihat muka pucat penuh dengan ketakutan dan kebencian?
namun ia, mungkin, tertidur? Lalu sang ular merayap ke dalam kerongkongannya
– dan di sana menggigit ianya dengan cepat.
Lenganku menarik dan menarik ular ini – sia-sia! Aku tidak bisa menarik
keluar ular ini dari kerongkongan sang penggembala. Lalu suara berteriak dari
dalam diriku: „Gigit! Gigit!
„Potong kepalanya! Gigit!‟ – maka suara berteriak dari dalam diriku,
ngeriku, benciku, jijikku, belas kasihanku, segala kebaikan dan kejahatanku
berteriak dari dalam diriku dengan satu teriakan.
Kau manusia pemberani di sekelilingku! Kau para musafir, para petualang,
dan mereka semua yang telah berlayar dengan layar-layar pintar ke samuderasamudera yang belum pernah dijelajahi! Kau yang mengambil kenikmatan dalam
teka-teki!
Tebak bagiku teka-teki yang aku lihat ini, tafsir bagiku visi dari manusia
mahapenyendiri ini!
sebab ini adalah visi dan pratanda: apa yang telah aku lihat dalam kiasan
ini? Dan siapa yang musti datang di suatu hari nanti?
Siapakah sang penggembala itu yang kedalam kerongkongannya semua
yang terberat, kemauan yang terhitam ini lalu merayap?
Sang penggembala, namun, menggigit sebagaimana teriakanku telah
anjurkannya; ia gigit dengan gigitan keras! Jauh ia muntahkan kepala ular itu –
dan berdiri melompat.
Bukan lagi seorang penggembala, bukan lagi seorang manusia – satu
prajadian, di kelilingi oleh nur cahaya, yang tertawa! Tidak pernah namun di
dunia ini ada manusia yng tertawa bagai ia tertawa!
O para saudaraku, aku mendengar satu tawaan yang bukanlah tawaan
manusia – dan sekarang aku dihadang dahaga, ini adalah satu kerinduan yang
tidak pernah hening itu.
Rinduku pada tawaan ini menghadangku: oh, bagaimana aku masih dapat
berdaya untuk hidup! Dan bagaimana aku bisa berdaya untuk mati sekarang!
Kebahagiaan yang Spontan
Dengan teka-teki dan getiran-getiran seperti itu di dalam hatinya, Zarathustra
berlayar mengarungi samudera. Namun, setelah empat hari diperjalanannya dari
Kepulauan Bahagia dan dari teman-temannya, ia pun mengatasi segala
dukacitanya – dengan berjaya dan dengan kaki kokoh ia berdiri kembali di atas
takdirnya. Lalu Zarathustra berseru demikian ke nuraninya yang gembira :
Aku seorang diri lagi, dan ingin demikian, seorang diri dengan sang langit
murni, dan sang samudera terbuka; dan lagi ini adalah siang hari di sekelilingku.
Di siang hari saat aku sekala menemui teman-temanku untuk pertama
kalinya, di siang hari, pula, saat aku menemui mereka untuk kedua kalinya – di
masa mana saat segala cahaya tumbuh lebih hening.
sebab kebahagiaan apa saja yang masih menjelajah antara langit dan bumi,
sekarang mencari tempat perlindungan ke dalam jiwa benderang: bersama
kebahagiaan semua cahaya sekarang tumbuh lebih hening.
O siang hari kehidupanku! Sekala kebahagiaanku, pula, turun ke bawah ke
dalam lembah untuk mencari tempat perlindungan: lalu di sana ia temukan jiwajiwa terbuka, jiwa-jiwa legawa.
O siang hari kehidupanku! Apa yang tidak pernah aku berikan agar aku
punya sesuatu: kebun kehidupan pikiran-pikiranku, dan harapan mahatinggiku
yang menyingsing ini!
Sekala sang pencipta mencari teman-teman, dan anak-anak dari harapannya:
dan perhatikan, ternyata ia tidak bisa menemukan mereka, kecuali ia sendiri yang
pada awalnya menciptakan mereka.
Maka aku di tengah karyaku, pergi ke para anakku, dan kembali dari
mereka: demi anak-anaknya Zarathustra harus menyempurnakan dirinya.
sebab dari dalam hati seseorang, seorang mencintai hanya anaknya dan
karyanya; dan di mana ada cinta megah ke diri sendiri, lalu ini adalah tanda
kemengandungan: maka aku temui ini.
Para anakku masih hijau di musim semi pertamanya, berdiri saling
berdekatan bersama-sama, dan tergoyangkan serentak oleh angin-angin,
pepohonan kebunku dan tanah terbaikku.
Dan sungguh! Di mana ada pepohonan semacam ini berdiri bersama-sama,
di sanalah Kepulauan Bahagia itu berada!
namun sekala aku mau mencabut akar mereka, dan meletakan mereka satu
persatu seorang diri, supaya bisa belajar berkesendirian, dan menentang dan
keberhati-hatian.
Berkenyal-kenyal dan berkeluk-keluk dan keras namun lentur ia harus
berdiri di depan samudera, sebuah mercu suar hidup dari kehidupan yang digjaya.
Nun jauh di sana, di mana badai nyemplung ke dalam samudera, dan
moncong gunung menenggak air, di sana satu persatu harus berjaga-jaga siang
dan malam, untuk ia diuji dan dikenali.
Harus diuji dan dikenali satu persatu, untuk melihat apakah ia sejenisku
dan seketurunanku – apakah ia tuan dari kemauannya yang berkelanjutan, senyap bahkan saat ia berbicara, dan dalam caranya ia memberi ia mengambil dalam
memberi –
Semoga di suatu waktu ia menjadi mitraku, dan rekan-pencipta dan rekanpenyukacitanya Zarathustra – seperti ia yang menggoreskan kemauanku di atas
prasastiku: bagi kesempurnaan megah segala sesuatunya.
Dan demi ini, dan bagi mereka yang serupanya, aku harus menyempurnakan
diriku: maka sekarang aku menghindari kebahagiaanku, dan mempersembahkan
diriku pada segala ketidak bahagiaan – untuk aku akhirnya diuji dan dikenali.
Dan sungguh, tiba sudah saatnya aku pergi; dan bayangan sang pengembara
dan sang perjalanan jauh yang menjemukan dan masa terhening – mereka semua
berkata padaku: „Ini waktu yang tepat!‟
Kata-kata meniup ke aku melalui lubang kunci dan berkata: „Mari!‟ Pintu
berayun perlahan, dan berkata: „Ayo!‟
namun aku terbaring tersengkela oleh cinta pada anak-anakku: sang hasrat
menyiapkan sengkelanya bagiku - hasrat bagi cinta - supaya aku menjadi mangsa
anak-anakku dan kehilangan diriku melalui mereka.
Untuk menghasrat – ini sekarang bermakna bagiku: untuk kehilangan diriku.
Kau adalah milikku, anak- anakku! Dalam memiliki segalanya harus pasti bukan
hasrat semata.
namun berbaring bermuram durja cahaya surya cintaku padaku, Zarathustra
merasakan akibat dari perbuatannya sendiri, – lalu bayang-bayang dan sangsisangsi terbang melayang meliwatiku.
Aku rindu akan musim dingin dan beku: „Oh musim dingin dan beku ini
akan sekali lagi membuatku merintih dan mengerkah!‟ Aku meresah: lalu kabut es
keluar dariku.
Masa laluku mendobrak kuburannya, banyak dukacita yang terkubur hiduphidup tergugah: mereka hanya tertidur saja, tersembunyi dalam gulungan kainkain kafan.
Maka dalam simbul-simbul semuanya memanggilku: „Ini waktunya!‟ namun
aku – tidak mendengar ini: hingga akhirnya ngaraiku tergoncangkan, dan pikiranpikiranku menggigitku.
Duh, pikiran dalamku, ini adalah pikiranku! Bila aku bisa mendapatkan
tenaga untuk mendengarkan kau mengubang menggerogoti liang dan tidak lagi
gemetaran?
Hatiku berdebar hingga ke tenggorokanku saat aku mendengarkan kau
menggali liang! Bahkah kemembisuan kau mengancam mencekikku, kau pikiran
bisu yang dalam!
Hingga kini aku belum berani memanggil kau: cukuplah sudah bahwa aku –
telah membawa kau bersamaku! Hingga kini aku belum lagi cukup kuat bagi
kenakalan singa dan gurau candanya.
Berat kau selalu cukup menakutkanku: namun sekala aku akan mendapatkan
tenaga dan suara singa untuk memanggil kau!
saat aku telah mengatasi diriku dalam hal ini, lalu aku mau mengatasi
diriku dalam perkara yang lebih besar lagi; dan kejayaan musti menjadi segelnya
kesempurnaanku!
Sementara ini, aku menjelajah ke samudera-samudera yang tidak dikenal;
lidah-manis kans merayuku; ke depan dan belakang, aku menanap - tetap saja aku
tidak melihat akhir.
Hingga kini masa perjuangan terakhirku belum lagi tiba – atau mungkin
baru saja tiba padaku? Sungguh, dengan keindahan palsu sang samudera dan sang
kehidupan menatapku di sekeliling!
O siang hari kehidupanku! O kebahagian menjelang malam! O tempat
bersinggah di tengah samudera! O kedamaian dalam ketidak menentuan! Betapa
aku tidak mempercayai kau semua!
Sungguh, aku tidak precaya pada keindahan palsu kau! Aku serupa sang
pecinta yang tidak percaya pada segala senyuman-senyuman yang terlalu manis.
Serupa manusia yang cemburu mendorong ia yang ia sangat cintai jauh
darinya, lembut bahkan dalam kekasarannya – maka aku dorong masa bahagiaku
jauh dariku!
Enyah kau, masa bahagia! Bersama dengan kau datanglah Kebahagiaan
yang Spontan! Aku berdiri di sini siap bagi dukacita terdalamku – kau datang
salah waktu!
Enyah kau, masa bahagia! Malah cari perlindungan nun jauh di sana,
bersama anak-anakku! Cepat, dan berkahilah mereka sebelum malam menjelang
dengan kebahagiaanku!
Di sana, malam hari telah tiba: sang surya tenggelam. Enyah –
kebahagiaanku!
Ini seruan Zarathustra. Dan ia menunggu ketidak bahagiannya semalaman:
namun ia menunggu sia-sia. Sang malam tetap jernih dan hening, dan sang
kebahagiaan itu sendiri datang semakin dekat dan lebih dekat kepadanya.
Menjelang pagi, namun, Zarathustra tertawa ke hatinya, dan berkata mengejek:
„Sang kebahagiaan mengejarku. Ini sebab aku tidak mengejar perempuan.
Kebahagiaan, namun, adalah perempuan.
. Sebelum Matahari Terbit
O sang Langit di atasku, kau murni, kau langit dalam! Kau ngarai cahaya!
Memandang kau, aku gemetaran dengan hasrat-hasrat agung.
Untuk melontarkan diriku ke ketinggian kau - ini kedalamanku! Untuk
menyembunyikan diriku dalam kemurnian kau – ini kepolosanku!
Tuhan itu diselubungi oleh keindahannya sendiri: maka kau sembunyikan
bintang-bintang kau. Kau tidak bicara: maka kau ikrarkan padaku kebijaksanaan
kau.
Membisu di seberang samudera kau telah datang kepadaku hari ini; cinta
kau dan kesederhanaan kau mengungkapkan rahasia pada jiwaku yang gusar..
Bahwa kau datang padaku, indah, terselubung dalam keindahan kau; bahwa
kau berkata padaku membisu, dengan jelas dalam kebijaksanaan kau:
Oh, bagaimana aku bisa gagal untuk menerka kesederhanaan jiwa kau!
Sebelum matahari terbit kau datang - ke manusia mahapenyendiri.
Kita telah berteman sejak awal: kita berbagi rasa duka, dan rasa takut, dan
dunia bersama; bahkan kita miliki matahari ini bersama;
Kita tidak berbicara kesatu sama lainnya, sebab kita tahu terlalu banyak;
kita saling membisu ke satu sama lainnya, tersenyum pengetahuan kita ke satu
sama lainnya.
Bukankah kau itu sinar apiku? Tidakkah kau punya saudara-sejiwa
perempuan dari perasaanku?
Bersama kita belajar segala sesuatuya; bersama kita belajar mendaki
melebihi diri kita ke dalam diri kita, lalu tersenyum bening –
Tersenyum bening ke bawah dari mata-mata yang benderang dan dari
kejauhan, saat di bawah kita, paksaan dan maksud dan dosa-dosa mengalir
serupa hujan.
Mengembara aku seorang diri, apa yang jiwaku laparkan di tengah malam,
dan di tengah-tengah labirin-labirin? Aku mendaki gunung-gemunung, siapakah
yang aku selalu cari, jika bukan kau, di atas gunung-gemunung?
Dan segala pengembaraanku dan pendakian gunung: hanyalah kebutuhan,
untuk mengisi waktu belaka: Untuk terbang – ini yang diinginkan oleh seluruh
kemauanku – untuk terbang hanya kepada kau!
Dan apa yang paling aku benci melebihi lalu lalang mendung-mendung, dan
semua yang mencemari kau? Dan aku membenci bahkan pada kebencianku,
sebab dia mencemari kau!
Lalu lalang mendung-mendung aku benci - mereka kucing-kucing
pemangsa diam-diam: mereka mencuri dari kau dan dariku apa yang kita miliki
bersama – deklarasi terbesar dan tidak terbatas Ya dan Amin.
Para mediator dan para pencampur tangan aku benci - lalu lalang
mendung-mendung: mereka yang setengah-setengah, yang belum belajar
memberkahi atau pun mengutuk dari dalam hati.
Aku malah duduk di dalam gentong di bawah langit tertutup, malah duduk
di ngarai tanpa langit, dibandingkan melihat kau, kau langit benderang, tercemari oleh
lalu lalang mendung-mendung!
Dan sering kali aku rindu untuk mengikat kuat mereka dengan kawat-kawat
emas kilat bergerigi, agar aku, serupa sang petir, bisa memukul perut-perut buncit
mereka yang seperti gendang itu –
Seorang pemukul gendang yang murka, sebab mereka merampas dariku
Ya! dan Amin! kau - O sang langit di atasku, kau murni, kau langit terang! Kau
ngarai cahaya! – sebab mereka merampas kau Ya dan Amin Ku!
Aku malah senang kutukan yang ribut menggelegar lagi menggeledek
dibandingkan ia yang hati-hati, kucing tidur tak jelas; dan di antara para manusia, pula,
aku sangat benci pada semua para penjinjit, dan para setengah-setengah, dan para
peragu, pembimbang, si lalu lalang mendung-mendung.
Dan „Ia yang tidak bisa memberkahi harus belajar mengutuk!‟ – ajaran
bersih ini jatuh padaku dari sang langit bening, bintang ini berdiri di langitku
bahkan di malam-malam kelam.
Namun, aku adalah sang pemberi berkah dan pengikrar Ya, hanya jika kau
ada di sekelilingku, kau murni, langit benderang! Kau ngarai cahaya! – lalu
kedalam semua ngarai-ngarai aku emban amanat sakral Ya ku.
Sang pemberi berkah aku telah menjadi dan sang pengikrar Ya: untuk itu
aku lama bergulat dan dahulunya seorang pegulat, supaya aku sekala akan punya
lengan-lengan bebas untuk memberi berkah.
Ini, namun, berkahku: Untuk berdiri di atas puncak segalanya sebagai
langitnya sendiri, atap bundarnya, cungkup-langit-birunya dan keniscayaan
abadinya: dan bahagialah ia yang memberi berkah!
sebab segala sesuatunya dibaptis di air mancur keabadian, melebihi
kebaikan dan kejahatan; kebaikan dan kejahatan itu sendiri, namun adalah
bayang-bayang penyelak dan kabut-kabut derita dan lalu lalang mendungmendung.
Sungguh, ini adalah berkah bukan penghujatan tatkala aku ajarkan bahwa:
„Di atas segalanya berdiri langit keberuntungan, langit polos, langit risiko, langit
bengal.‟
„Dewa keberuntungan‟ – ia adalah kemuliaan tertua di dunia, aku telah
berikan kembali pada segala sesuatunya; aku membebaskan mereka dari
perbudakan dengan maksud tertentu.
Kebebasan dan ketentraman surgawi ini telah aku taruh bagai kubahlangit-biru ke atas segala sesuatunya, saat aku ajarkan bahwa tidak ada
„Kemauan abadi‟ memaui.
Kenakalan dan kebodohan ini aku taruh sebagai pengganti Kemauan itu,
saat aku ajarkan: „Dalam segala sesuatunya ada satu yang tidak mungkin –
rasionalitas!‟
Intelek kecil, tentunya, sebutir benih kebijaksanaan terpencar-pencar dari
bintang ke bintang – ragi ini bercampur dengan segala sesuatunya: demi
kebodohan, kebijaksanaan bercampur dengan segala sesuatunya!
Kebijaksanaan kecil memang mungkin; namun keniscayaan yang terberkahi
ini aku temukan di dalam segalanya, bahwa mereka lebih senang – untuk menari
di atas kaki keberuntungan.
O langit di atasku! kau murni, langit mulia! Ini adalah kemurnian kau
bagiku sekarang, bahwa tidak ada intelek-aba-laba dan intelek jaring laba-laba
yang abadi -
Bahwa kau bagiku adalah panggung-menari bagi keberuntungankeberuntungan agung, bahwa kau bagiku adalah meja tuhan-tuhan bagi dadu
agung dan para pemain dadu!
namun kau tersipu? Apa aku telah berkata sesuatu yang tidak dapat
dikatakan? Apa aku menghina kau, saat aku ingin memberkahi kau?
Ataukah ini rasa malu kita bersama yang membuat kau tersipu? Apa kau
memintaku untuk pergi dan membisu, sebab sekarang – sang hari pagi telah
tiba?
Dunia adalah dalam: dan lebih dalam dibandingkan sang hari pagi pernah
mengerti. Tidak segalanya bisa diperserukan dikehadiran hari pagi. namun hari
pagi datang: maka marilah kita berpisah!
O langit diatasku, kau yang sederhana, langit benderang! O kau, sang
kebahagiaanku sebelum matahari terbit! Sang hari pagi datang: maka marilah kita
berpisah!
Spirit Gayaberat
Mulutku – adalah mulut rakyat; terlalu kasar dan terlalu hangat aku berseru pada
kelinci-kelinci berbulu sutra. Bahkan janggal kedengarannya kata-kataku bagi
segala ikan tinta dan serigala-serigala penggurit.
Tanganku - ini tangan si tolol: terkutuklah segala tabel-tabel dan dindingdinding dan apa saja yang punya ruang bagi guritan-guritan si tolol, tulisan cakar
ayam si tolol!
Kakiku – ini kaki kuda: dengan ini aku menginjak-injak ranting dan
bebatuan, melangkah ke atas bukit, ke bawah lembah, ke sana dan ke sini di
padang-padang, dan aku Kesetanan sebab sukacita saat berderap cepat.
Perutku – tentunya ini perut burung elang! sebab dia senang daging
kambing dari segalanya. Pasti ini perut burung.
Diasuh dengan benda-benda bersahaja ala kadarnya, siap dan tidak sabaran
untuk terbang, untuk terbang jauh – inilah kodratku: bagaimana tidak musti ada
watak burung di dalamnya!
Dan khususnya aku musuhnya spirit gaya berat, ini adalah sifat alami
burung: - sungguh, musuh abadi, musuh bebuyutan, musuh dari lahir! Oh, ke
mana ia melarikan dirinya dan tersesat musuhku ini!
Tentang ini aku bisa menembang sebuah lagu – dan akan menembang
sebuah lagu: walau pun aku sendiri di rumah kosong, dan harus menembang ke
telingaku sendiri.
Ada biduan-biduan lainnya, tentunya, hanya di rumah yang penuh lalu
suaranya merdu, lengannya gemulai, matanya berbicara, hatinya tergugah: aku
tidak seperti itu.
Ia yang pada suatu ketka nanti mengajarkan manusia untuk terbang harus
memindahkan semua tapal-tapal batas; kepadanyalah segala tapal-tapal batas itu
ingin terbang ke udara; ia mau membaptiskan dunia ini baru – sebagai „benda
ringan.‟
Burung unta lari lebih cepat dibandingkan kuda yang paling cepat, namun dia
membenamkan kepalanya ke dalam tanah berat: beginilah manusia yang belum
bisa terbang itu.
Dunia dan kehidupan tampaknya berat baginya: sang Spirit Gayaberat
menginginkannya demikian! namun ia yang mau menjadi ringan dan menjadi
burung, harus mencintai dirinya – maka aku ajarkan ini.
Bukan, tentunya, dengan cintanya si sakit dan penyakit: sebab dengan
mereka bahkan cinta-diri itu berbau tengik!
Seseorang harus belajar mencintai dirinya – maka aku ajarkan ini - dengan
cinta yang utuh dan sehat: agar ia dapat menjadi bersama dirinya sendiri, dan
tidak kelayapan.
Kelayapan seperti ini membaptiskan dirinya sebagai „cinta pada tetangga‟:
dan kata-kata ini telah banyak menghasilkan kebohongan besar dan kemunafikan,
khususnya mereka yang dianggap berat oleh dunia.
Dan sungguh, ini bukanlah satu perintah untuk dijalankan sekarang atau
esok, untuk belajar mencintai diri sendiri itu. Malahan dari segala seni yang ada,
ini adalah seni yang terelok, terlembut, mahautama, yang paling sabar.
sebab bagi si pemiliknya, segala miliknya itu sangat tersembunyi; dan dari
segala tambang-tambang harta, tambangnya sendirilah yang terakhir digali –
sang Spirit Gayaberat penyebabnya.
Nyaris sejak kita masih dalam buaian, kata-kata dan nilai-nilai suram
ditanamkan pada kita: „kebaikan‟ dan „kejahatan‟ – mas kawin ini menamakan
dirinya sendiri demikian. Dan demi ini kita dimaafkan untuk dapat terus hidup.
Dan untuk alasan ini seseorang mengizinkan anak-anak kecil datang
kepadanya, untuk mencegah mereka sejak dini mencintai diri mereka: sang Spirit
Gayaberat penyebabnya.
Dan kita – kita secara setia memikul apa yang telah diberikan pada kita, ke
atas bahu keras, melalui gunung-gunung terjal! Dan saat kita berkeringatan,
lalu kita dibilangi: „Ya, hidup itu adalah berat untuk dipikul!‟
namun hanya manusialah yang berat untuk dipikul!‟ Alasannya adalah
sebab ia banyak memikul sesuatu yang asing di atas pundaknya. Serupa seekor
unta, dia berlutut dan membiarkan dirinya diberati penuh beban.
Khususnya si kuat, si manusia pemikul beban yang senang memikul berat,
yang punya rasa hormat. Terlalu banyak ia mengusung kata-kata dan nilai-nilai
asing yang berat ke atas dirinya – lalu sekarang hidup baginya bagai padang
pasir!
Dan sungguh! Banyak sesuatu yang kepunyaannya sendiri itu adalah
beban yang berat untuk dipikul! Dan apa yang ada di dalam diri manusia itu
banyak menyerupai tiram, yakni menjijikan dan licin dan sulit untuk digenggam.
–
Maka kulit kerang yang anggun dengan hiasan yang anggun harus ikut
ambil bagian. namun seseorang harus mempelajari seni ini juga: untuk memiliki
kulit kerang, dan penampilan indah, dan keberhati-hatian buta!
Namun, ada banyak hal yang memperdayakan dalam diri manusia, banyak
kulit kerang yang hina dan menyedihkan, dan terlalu berlebihan bagi sebuah kulit
kerang. Banyak kebaikan dan kekuatan yang tersembunyi itu tidak pernah
diketahui; yang halus terjuwita tidak pernah menemukan sang pengecapnya!
Para perempuan, yang terjuwita tahu ini: sedikit lebih gemuk, sedikit lebih
kurus – oh, begitu banyak takdir yang ada di dalam yang sangat kecil!
Lelaki sulit ditemukan, terlebih-lebih bagi dirinya sendiri: sering berkata
bohong sang spirit mengenai jiwa. Sang Spirit Gayaberat penyebabnya.
namun , ia telah menemukan dirinya yang berkata: Ini adalah kebaikan dan
kejahatanku: maka dengan demikian ia telah menutup mulut si tikus mondok dan
si kerdil, yang berkata: „Kebaikan bagi semua, kejahatan bagi semua.‟
Sungguh, aku tidak suka mereka yang menamakan segalanya baik, dan
dunia ini terbaik dari segalanya. Mereka aku namakan si yang selalu hanya puas.
Hanya kepuasan, yang tahu mengecap segalanya: itu bukan kecapan yang
terbaik! Aku hormat ia si keras kepala, lidah-lidah rewel dan perut-perut yang
belajar untuk berkata „Aku‟ dan „Ya‟ dan „Tidak‟.
Namun untuk mengunyah dan menelan segalanya – ini adalah watak asli
babi! Selalu berkata Yea – hanya keledai dan mereka yang seperti keledai yang
telah mempelajari hal ini.
Kuning emas dan merah api - ini yang disenangi oleh seleraku – ini
mencampur darah dengan segala warna-warna. namun ia yang memutihkan
rumahnya memperlihatkan padaku jiwa gundul.
Seseorang mencintai mumi-mumi, yang lainnya hantu-hantu; keduanya
musuh ke segala darah dan daging – oh, bagaimana keduanya merusak seleraku!
sebab aku mencintai darah.
Aku tidak mau tinggal dan hidup di mana setiap orangnya muntah dan
meludah: ini sekarang adalah seleraku – aku malah ingin hidup di antara para
pencuri dan penipu. Tidak seorang pun membawa emas di mulutnya.
Lebih melukaiku, namun, semua para penjilat ludah; dan manusia binatang
yang sangat menjijikan yang aku pernah temui aku baptiskan „benalu‟: dia tidak
mau mencinta, namun ingin hidup oleh cinta.
Aku namakan mereka tidak bahagia, mereka yang hanya punya satu
pilihan: untuk menjadi binatang jahat, atau penjinak binatang yang jahat: Di
antara mereka aku tidak mau untuk membangun tempat peribadahanku.
Aku namakan mereka tidak bahagia, pula, mereka yang selalu musti
menunggu – mereka menjijikan seleraku: semua para pemungut pajak dan para
sodagar, raja-raja, para tuan tanah dan para pedagang lainnya.
Sungguh, aku juga pernah belajar untuk menunggu, aku mempelajarinya
dengan sepenuh hati, namun hanya untuk menunggu diriku. Dan di atas segalanya
aku belajar berdiri, berjalan, berlari, melompat dan mendaki dan menari.
Ini, namun, ajaranku: ia yang pada suatu saat ingin bisa terbang, harus
pertamanya belajar berdiri, berjalan, berlari dan mendaki dan menari – seseorang
tidak bisa terbang dengan berterbangan!
Dengan tangga tali aku belajar mendaki ke banyak jendela-jendela, dengan
kaki-kaki gesit aku mendaki ke atas tiang-tiang tinggi: untuk duduk di atas tiangtiang tinggi pengetahuan ini tampaknya bagiku bukanlah kebahagiaan kecil –
Untuk berkelap-kelip serupa pelita kecil di atas tiang-tiang tinggi: satu
cahaya kecil, tentunya, namun pelipur megah bagi awak kapal dan kapal karam!
Melalui berbagai macam arah dan cara aku berhasil sampai ke kebenaranku:
bukan dengan sebuah tangga aku mendaki ke ketinggian di mana mataku
menerawang ke kejauhan.
Hanya dengan secara enggan aku menanyakan jalanku – ini selalu melukai
seleraku! Aku malah memberi pertanyaan dan menguji jalan-jalan itu sendiri.
Segala perjalananku adalah menguji dan memberi pertanyaan – dan sungguh
seseorang musti belajar bagaimana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti itu! Ini, namun seleraku:
Bukan selera baik, bukan pula selera buruk, namun seleraku, yang tidak lagi
aku sembunyikan dan mengenai ini aku tidak malu.
„Ini - adalah jalanku sekarang: mana jalan kau?‟ Maka aku menjawab
mereka yang bertanya „jalan‟. sebab jalan – itu tidak eksis!
Ini seruan Zarathustra.
. Tabel -Tabel Hukum Lama dan Baru
Di sini aku duduk dan menunggu, pecahan tabel-tabel hukum lama di sekelilingku
juga tabel-tabel hukum baru setengah tertulis. Bila waktuku tiba?
- Waktu turun-kebawahku: sebab sekali lagi aku mau pergi ke para
manusia.
Untuk itu aku sekarang menunggu: sebab pertamanya sebuah tanda harus
datang padaku, yaitu waktuku– yakni, tawa singa bersama kerumunan burungburung merpati.
Sementara ini aku berbicara pada diriku, seolah-olah punya banyak waktu.
Tidak seorang pun mengatakan padaku akan sesuatu yang baru; maka aku berseru
pada diriku sendiri.
saat aku menyambangi para manusia, aku mendapatkan mereka duduk di atas
kecongkakan tua: setiap orangnya mengira ia sudah tahu sedari dahulu apa itu
kebaikan dan kejahatan bagi manusia.
Segala pembicaraan mengenai kebajikan bagi mereka ini seperti satu
perkara tentang barang rongsokan tua; dan ia yang mengharap untuk tidur
nyenyak berbicara mengenai „kebaikan‟ dan „kejahatan‟ sebelum tidur.
Aku ganggu si pengantuk ini saat aku ajarkan: apa itu kebaikan dan
kejahatan tidak ada seorang pun yang tahu – kecuali sang penciptanya!
Namun, itu adalah ia, yang menciptakan tujuan bagi manusia, dan memberi
dunia makna dan masa depannya: ia pertamanya menciptakan kemungkinankemungkinan bahwa sesuatu itu baik dan jahat.
Dan aku mohon mereka untuk menggulingkan kursi-kursi keprofesoran
mereka, di mana saja kecongkakan tua itu pernah duduk. Aku mohon mereka
untuk tertawa pada para moralis akhbar mereka, para santo mereka, para
pujangga mereka, dan para Juru Selamat mereka.
Ke guru-guru muram mereka, aku mohon mereka tertawa, dan pada siapa
saja yang pernah duduk bertengger memberi peringatan-peringatan bak orangorangan hitam penakut burung-burung di pohon kehidupan.
Di jalan-jalan suram megah mereka aku duduk, bahkan di sisi bangkai dan
burung-burung pemakan bangkai – dan aku tertawa ke atas segala „masalalu‟
mereka, dan ke kejayaan mereka yang membusuk.
Sungguh, seperti para pengkhotbah penyesalan dosa dan si tolol aku
berteriak marah dan malu atas segala sesuatu yang besar dan kecilnya mereka.
Oh, kebaikan mereka sangat kecil! Oh, keburukan mereka sangat kecil. Maka aku
tertawa.
Lalu kerinduan liarku, yang dilahirkan di atas gunung-gemunung, berteriak
dan tertawa di dalam diriku; hasratku yang bijaksana, yang dilahirkan diatas
gunung-gemunung; sungguh, kebijaksanaan liar! – sayap-sayap megahku,
mengepak-ngepak, rindu meraung-raung
Dan kerap kali menggeretku ke muka dan ke atas dan jauh, saat aku
sedang tertawa: lalu aku terbang seperti panah yang bergetar terintoksikasi oleh
pesona sang surya:
Jauh ke masadepan-masadepan, di mana tidak ada satu impian pun pernah
melihatnya, di Selatan yang lebih hangat dibandingkan yang para seniman pernah
impikan - di mana tuhan-tuhan menari, malu akan segala pakaian-pakaian:
(Semoga aku bisa berseru dalam kiasan-kiasan, pincang dan gagap bak para
pujangga: dan sunguh, aku malu bahwa tetap saja harus menjadi seorang
pujangga!)
Di mana segala yang akan eksis bagiku itu seperti tariannya tuhan-tuhan,
dan candanya tuhan-tuhan, dan dunia tampaknya melonggarkan diri, penuh
kenakalan, seolah-olah dia sedang melarikan diri balik kembali ke dirinya –
Seperti melarikan diri abadi dan saling mencari kembali abadi tuhan-tuhan,
secara bahagia saling mengkontradiksi, sekali lagi saling mendengarkan kembali,
sekali lagi saling berdekatan.
Di mana setiap waktu itu bagiku seperti olok-olok detik yang
menyenangkan, dimana kebutuhan itu adalah kebebasan itu sendiri, yang bermain
dengan gembira bersama taji kebebasan –
Di mana aku temukan kembali setan tuaku dan musuh bebuyutanku, sang
Spirit Gayaberat, dan semua yang ia ciptakan: paksaan, dogma, kebutuhan, sebab
dan akibat dan kemauan dan kebaikan dan kejahatan:
sebab tidak semustinyakah di sana ada ia yang menari diatasnya, menari
melebihinya? Tidak semustinyakah demi si gesit dan si tergesit, - ada tikus
mondok dan para manusia kerdil berat?
Di sana pula aku menemukan kata „Superman,‟ bahwa manusia adalah sesuatu
yang musti di atasi,
Bahwa manusia itu adalah jembatan bukan tujuan - merayakan tengah
hari dan malam-malamnya, sebagai jalan ke fajar-fajar baru:
Kata-kata Zarathustra mengenai tengah hari megah, dan apa saja yang aku
gantungkan di atas para manusia, laksana cahaya lembayung sesudah matahari
terbenam.
Sungguh, bintang-bintang baru, aku perlihatkan pada mereka, bersama
dengan malam-malam baru – dan di atas awan, dan setiap pagi dan malam aku
sebarkan tawa laksana tirai-tirai berwarna.
Aku ajarkan mereka segala seniku dan cita-citaku: untuk menyusun dan
menampung menjadi satu kesatuan segala fragmen-fragmen, dan teka-teki dan
keberuntungan-keberuntungan yang mengerikan dalam diri manusia –
Seperti seorang pujangga, pembaca teka-teki, penebus keberuntungankeberuntungan, aku ajarkan mereka untuk menciptakan masadepan, dan menebus
segala masalalu dengan mencipta.
Untuk menebus masalalu manusia, dan merubah setiap „Itu adalah dulu,‟
sehingga sang kemauan berkata: „namun aku mau itu! Maka aku harus mau itu –„
Ini apa yang aku namakan penebusan itu; ini sajalah yang aku ajarkan pada
mereka untuk menamakannya penebusan.
Sekarang aku menunggu penebusanku – supaya aku bisa pergi ke mereka
kali terakhir.
sebab sekali lagi aku mau pergi ke manusia: di tengah-tengah mereka aku
mau turun-kebawah; di detik-detik kematianku aku mau memberi mereka hadiah
yang paling berharga!
Dari sang surya, aku belajar ini, saat dia turun ke bawah, bintang yang
berlimpahan itu: dia lalu, dari kekayaannya yang tidak akan habis-habisnya itu,
menumpahkan emas ke lautan.
Maka nelayan yang termiskin pun mendayung dengan dayung emas! sebab
sekala aku melihat ini, tidak henti-hentinya aku tersedu menyaksikan ini.
Laksana sang surya Zarathustra ingin pula turun-kebawah: sekarang ia
duduk di sini dan menunggu, pecahan tabel-tabel hukum lama di sekelilingnya
juga tabel-tabel hukum baru – setengah tertulis.
Perhatikan, di sini ada satu table hukum baru: namun di manakah para saudaraku
yang akan memikulnya bersamaku ke lembah-lembah dan ke sosok hati?
Maka meminta cinta megahku pada para manusia yang terjauh: Jangan
kecualikan tetangga kau! Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi.
Disana ada berbagai macam cara dan sarana bagi pengatasan: cobalah kau
cari! namun hanya badud yang berpikir: „Manusia bisa juga dilompati.‟
Atasilah diri kau bahkan dalam tetangga kau: dan hak yang berhasil kau
rebut bagi diri kau, jangan kau anggap ini sebagai hadiah!
Apa yang kau sudah lakukan, tidak seorang pun bisa melakukannya kembali
terhadap kau. Perhatikan, tidak ada ganjaran.
Ia yang tidak bisa memerintah dirinya sendiri dia harus patuh. Dan banyak
orang bisa memerintah dirinya sendiri, namun sangat lalai mematuhi perintahnya
sendiri!
Inilah keinginan mereka yang berjiwa mulia: mereka tidak menginginkan sesuatu
yang gratis, apa lagi kehidupan ini.
Ia yang dari gerombolan ingin hidup gratis; namun, kita yang lainnya, d
mana kehidupan itu telah memberikan dirinya – kita selalu memikirkan apa yang
terbaik yang kita dapat berikan kembali!
Dan sungguh, ini adalah seruan mulia yang berkata: „Apa yang kehidupan
telah janjikan pada kita, janji itu akan kita pegang – bagi kehidupan!‟
Seseorang tidak seharusnya mengharap untuk bersenang-senang, saat ia
tidak memberi kesenangan. Dan ia tidak harus mengharap kesenangan!
sebab kesenangan dan keluguan itu adalah sesuatu yang pemalu. Mereka
tidak mau dicari. Seseorang harus memilikinya – seseorang malah harus mencari
dosa dan duka!
O para saudaraku, ia yang pertama dilahirkan selalu dikorbankan. Namun,
sekarang kita adalah kelahiran pertama!
Kita semua berdarah-darah di meja-meja pengorbanan rahasia, kita semua
terbakar dan terpanggang demi menghormat berhala-berhala purba.
Sesuatu yang terbaiknya kita masih muda: ini merangsang selera-selera tua.
Daging kita empuk, kulit kita hanya kulit domba: - bagaimana kita tidak musti
merangsang berhala purba para pandita!
Dalam diri kita ia masih hidup, berhala tua pandita ini, yang memanggang
sesuatu yang terbaiknya kita untuk pestanya. Duh, para saudaraku, bagaimana kita
kelahiran-pertama tidak musti dikorbankan!
namun jenis yang semacam kita menghendaki hal demikian; dan aku cinta
mereka yang tidak mengharap untuk mempreservasi diri, mereka yang turun
kebawah yang aku cintai dengan sepenuh cintaku: sebab mereka pergi jauh.
Untuk menjadi benar – sedikit yang bisa melakukan ini! Dan ia yang bisa, tidak
akan mau! Apa lagi, si baik bisa melakukan ini.
Oh, para manusia baik ini! Orang baik tidak pernah berkata kebenaran.
Bagi spirit, untuk menjadi baik seperti ini, ini adalah penyakit.
Mereka pasrah, para manusia baik ini, mereka lepas tangan, hati mereka
meniru, jiwa mereka patuh: namun ia yang patuh, tidak mendengarkan dirinya
sendiri!
Semua yang dinamakan kejahatan oleh si baik, harus datang serentak agar
satu kebenaran dapat lahir: O para saudaraku, apa kau, juga, cukup jahat bagi
kebenaran ini?
Sang pemberani mencoba sangsi berkepanjangan, kata-kata kejam Tidak,
rasa jenuh, yang memotong kehidupan – alangkah jarangnya ini datang serentak!
Namun, dari benih serupa inilah – kebenaran itu lahir!
Di sisi nurani buruk hingga saat ini semua ilmu pengetahuan itu tumbuh!
Hancurkan, hancurkan, kau para manusia tercerahkan, tabel-tabel hukum lama!
Jika papan menjembatani air, jika titian dan tangga tergeletak melampaui sungai:
sungguh, ia tidak akan dipercaya ia yang berkata: „Segalanya mengalir.‟
Bahkan orang-orang pandir menyangkalnya. „Apa?‟ kata orang-orang
pandir, „segalanya mengalir? Papan dan titian ada di atas sungai!
‘Di atas sungai segalanya fiks, segala nilai-nilai sesuatu, jembatan-jembatan dan
konsep-konsep, segala “Kebaikan” dan “Kejahatan”: segalanya fiks!‟
Datanglah musim dingin yang amat sangat, sang penjinak-binatang sungai,
lalu manusia terpandai pun belajar untuk tidak mempercayai; dan sungguh, bukan
saja orang-orang pandir yang berkata ini: „Tidak semustinyakah segalanya itu –
berdiri tetap?‟
„Pada dasarnya, segala sesuatunya berdiri tetap‟ – ini memang doktrin
musim dingin itu, sesuatu yang baik bagi musim-musim yang tidak subur, satu
pelipur yang baik bagi para tukang tidur dan bagi orang yang senang duduk di
depan perapian.
„Pada dasarnya, segalanya berdiri tetap‟ – : namun sebaliknya sang angin
hangat itu mengkhotbah!
Angin hangat, seekor lembu namun bukan lembu pembajak – lembu
pengamuk, sang penghancur, yang dengan tanduk-tanduk murkanya memecahkan
es! Es, namun, memecahkan titian!
O para saudaraku, tidakkah segalanya sekarang mengalir! Tidakkah semua
tangga dan titian itu jatuh ke dalam air? Siapa yang akan tetap berpegangan
pada „kebaikan‟ dan „kejahatan‟?
„Terkutuklah kita! Hiduplah kita! Sang angin hangat berhembus!‟ –
Berkhotbahlah demikian, O para saudaraku, melalui setiap jalan!
Ada sebuah ilusi purba - yang dinamakan kebaikan dan kejahatan. Ilusi ini
berputar mengelilingi para junjungan dan para penujum bintang, hingga saat ini.
Sekala rakyat percaya pada junjungan -junjungan dan penujum-penujum bintang: lalu
rakyat percaya: „Segalanya adalah takdir: kau akan, sebab kau harus!‟
Kemudian sekali lagi rakyat tidak mempercayai semua junjungan -junjungan dan para
penujum bintang: lalu rakyat percaya: „Semuanya adalah kebebasan: kau bisa,
sebab kau mau!‟
O para saudaraku, mengenai bintang-bintang dan masadepan hingga kini
semua itu hanyalah ilusi, dan bukan pengetahuan; maka mengenai kebaikan dan
kejahatan hingga kini itu hanyalah ilusi, bukan pengetahuan!
Kau tidak boleh merampok! Kau tidak boleh membunuh! – ajaran-ajaran ini
dahulu dianggap suci; dihadapannya rakyat berlutut dan bersujud dan
melepaskan sepatunya.
namun aku tanya kau: Di mana pernah ada banyak perampok dan pembunuh
yang terhandal di dunia selain di sana dimana ajaran-ajaran suci itu berada?
Bukankah segala kehidupan itu sendiri – adalah perampokan dan
pembunuhan? Dan saat ajaran-ajaran itu dinamakan suci tidakkah kebenaran itu
sendiri – dibunuh?
Atau itukah sabda kematian yang menamakn suci apa yang melawan dan
menyangkal kehidupan? – O para saudaraku, hancurkan, hancurkan tabel-tabel
hukum lama!‟
Itu adalah belas kasihanku bagi segala masalalu yang sekarang aku lihat telah
ditinggalkan –
Ditinggalkan pada yang disenangi, sang spirit dan kegilaannya setiap
generasi penerus, dan menafsirkan segala masalalu sebagai jembatannya!
Seorang yang sangat zalim bisa muncul, setan licik, yang dengan
kesenangan dan ketidaksenangannya bisa memaksa dan mendesak segala yang
masalalu, hingga menjadi jembatan baginya, inspirasinya, pewartanya dan kokok
ayam jantannya.
Ini, namun, marabahaya yang lainnya dan belas kasihanku yang lainnya
lagi: ia yang dari gerombolan, pikirannya-pikirannya mengingat balik ke
leluhurnya – dengan leluhurnya, namun, waktu berhenti.
Maka beginilah segala yang masalalu ini ditinggalkan: sebab di suatu
waktu mungkin saja si gerombolan itu menjadi tuan, lalu membenamkan sang
waktu ke air dangkal.
Maka, O para saudaraku, keningratan baru dibutuhkan, untuk melawan
segala peraturan-peraturan gerombolan dan manusia zalim, dan menuliskan
sesuatu yang baru di atas tabel-tabel hukum baru kata „Ningrat‟.
sebab banyak manusia ningrat dibutuhkan, juga manusia ningrat macam
apa pun, demi keningratan itu eksis! Atau, seperti yang aku pernah serukan dalam
kias: „Tepatnya ini adalah ketuhanan itu, bahwa ada tuhan-tuhan, namun tidak
Tuhan esa!
O para saudaraku, aku nobatkan dan pandu kau ke keningratan baru: kau harus
menjadi para penghasil dan para penggarap dan para penabur benih masadepan –
Sungguh, bukan keningratan yang kau bisa beli seperti para pedagang,
dengan emas-emasnya para pedagang; sebab kecil nilainya segala yang memiliki
harga.
Bukan dari mana kau berasal yang menjadi kehormatan kau, namun kemana
kau hendak pergi! Kemauan kau dan kaki kau yang berhasrat untuk melangkah
melebihi kau dan mengatasi kau – biar ini menjadi kehormatan baru kau!
Sungguh, bukan sebab kau pernah melayani seorang pangeran – apa
pentingnya pangeran-pangeran sekarang! – atau kau telah menjadi benteng
pertahanan yang sekarang berdiri, supaya ini bisa berdiri lebih kokoh lagi.
Bukan pula keluarga kau telah menjadi santun di istana-istana, dan kau
telah belajar berdiri berjam-jam lamanya di kolam-kolam cetek, beraneka warna,
bak burung flaminggo:
(sebab kesanggupan untuk berdiri itu adalah kecakapannya para abdiabdi; dan segala abdi-abdi percaya bahwa sebagian dari kebahagiannya sehabis
mati adalah – untuk diperkenankan duduk!)
Dan itu bukanlah hantu, yang dinamakan suci, yang memimpin para leluhur
kau ke tanah-tanah harapan yang aku tidak puji: sebab di tanah-tanah di mana
pohon-pohon terburuk, Salib, itu tumbuh – di sana tidak ada yang patut dipuji! –
Dan sungguh, kemana saja „Roh Kudus‟ memimpin satria-satrianya, dalam
krusade, semacam itu - kambing-kambing dan bebek-bebek, dan manusia berotak
miring, dan si orang isi kepala salah selalu berada paling depan !
O para saudaraku, tidak melihat ke belakang keningratan kau itu, namun ke
depan! Kau harus menjadi pelarian dari segala tanah-tanah bapak dan tanah-tanah
leluhur!
Tanah anak-anak kau yang harus kau cintai: biar cinta ini menjadi
keningratan baru kau, – tanah yang belum ditemui di samudera terjauh! Aku
mohon, layar-layar kau untuk mencari dan mencari tanah ini!
Bagi anak-anak kau, kau harus membuat perbaikan-perbaikan demi
menjadi anak-anak bapak-bapak kau: maka kau bisa menebus segala masa lalu!
Tabel hukum baru ini aku letakan di atas kau!
„Mengapa harus hidup? Segalanya sia-sia! Untuk hidup – ini bermakna mengirik
jerami; untuk hidup – ini bermakna membakar diri namun tidak menjadi hangat.‟
Kata-kata kosong kuno seperti ini tetap dianggap sebagai „kebijaksanaan‟;
sebab ini tua dan berbau kelembaban lalu lebih dihormati. Bahkan jamur pun
terningratkan.
Anak-anak mungkin berkata demikian: mereka menghindari api sebab
telah membakar mereka! Ada banyak kekanak-kanakan dalam kitab-kitab
kebijaksanaan tua.
Dan ia yang selalu „mengirik jerami,‟ mengapa ia diijinkan untuk
mengumpat pengirikan! Orang bodoh seperti ini harus disumbat mulutnya!
Orang serupa ini duduk makan malam, namun tidak membawa apa- apa,
bahkan tidak pula selera baik – sekarang mereka mengumpat berkata: „Segalanya
sia-sia!‟
namun untuk makan dan minum dengan baik! O para saudaraku, ini sungguh
bukan seni yang sia-sia! Hancurkan, hancurkan tabel-tabel hukumnya orang yang
tidak pernah bersukacita!
„Bagi orang yang bersih segala sesuatunya bersih‟ – maka berkata rakyat. Namun
aku serukan pada kau: Bagi babi segala sesuatunya jadi membabi!
Maka mengkhotbahlah para pemimpi dan si kepala bengkok (yang hatinya
pun bengkok): „Dunia ini sendiri adalah monster jorok.‟
sebab mereka semua adalah spirit kotor; khususnya mereka yang tidak
mempunyai rasa damai atau tenang, jika mereka tidak melihat dunia dari
belakang - mereka para manusia dunia-kemudian!
Aku katakan ini ke muka mereka, walau terdengarnya tidak menyenangkan:
Dunia ini menyerupai manusia, yangmana punya bagian belakang - begitu
menyerupainya ini benar!
Ada banyak kotoran di dunia: sebegitu banyaknya ini benar! namun dunia ini
sendiri belum lagi menjadi monster jorok sebab itu!
Ada kebijaksanaan yang nyatanya membuat banyak bau-bau busuk di dunia:
kejijikan ini sendiri menciptakan sayap-sayap, dan tenaga-tenaga pencari air!
Bahkan di yang terbaik pun ada sesuatu yang merangsang rasa jijik; bahkan
yang terbaik itu pun musti diatasi!
O para saudaraku, ada banyak kebijaksanaan nyatanya sehingga ada banyak
kotoran di dunia!
Perkataan ini aku dengar dari para manusia dunia-kemudian yang saleh berkata
pada hati nurani mereka, dan sungguh tanpa rasa dengki atau dusta, walau tidak
ada yang lebih pendengki dan pendusta di dunia ini selain mereka.
„Biar dunia ini menjadi seperti apa adanya! Jangan mengacungkan satu jari
pun untuk melawannya!‟
„Biarkan sesiapa yang mau mencekik, menikam, dan mencincang rakyat:
jangan mengacungkan satu jari pun untuk melawannya! Maka mereka akan
belajar menafikan dunia.‟
„Dan akal budi kau sendiri – akan kau cekik dan bekap dia; sebab ini
adalah akal budi dunia – maka kau sendiri harus belajar menafikan dunia.
Hancurkan, O hancurkan saudaraku, hancurkan table-tabel hukum kuno para
manusia saleh! Hancurkan dengan ajaran-ajaran kau ujaran-ujaran para
pengumpat dunia!
„Ia yang telah belajar banyak, meninggalkan segala hasrat-hasrat beringas‟ –
begitulah rakyat berbisik ke satu sama lainnya sekarang di setiap jalan-jalan gelap.
„Kebijaksanaan membuat letih, tidak ada yang berharga; kau tidak harus
menghasrat!‟ – tabel hukum baru ini akau temui bergantungan bahkan di pasarpasar rakyat.
Hancurkan, O para saudaraku, hancurkan tabel hukum baru ini pula! Orang
letih dan si pengkhotbah kematian menegakan hukum ini, juga para sipir penjara:
sebab perhatikan, ini adalah sabda menganjurkan perbudakan:
sebab mereka belajar dengan buruknya dan bukan yang terbaik, dan
segalanya terlalu awal dan terlalu cepat: mereka makan dengan buruknya – oleh
sebab itulah perut mereka rusak –
Spirit mereka adalah perut rusak: ini menganjurkan kematian! sebab
sungguh, para saudaraku, sang spirit itu adalah perut!
Hidup adalah sumur yang mempesona, namun semua sumur-sumur
teracunkan bagi seseorang bila si perut rusak, bapak kenestapaan, itu berbicara.
Untuk mengetahui: ini mempesona kemauan singa! namun ia yang tumbuh
letih ia hanya „dimaui‟, ia hanya menjadi bulan-bulanan setiap gelombang.
Dan ini selalunya kodrat para manusia lemah: mereka kehilangan diri
mereka di jalannya sendiri. Dan akhirnya keletihannya bertanya: „Mengapa kita
selalu pergi ke jalan ini? Semuanya sama!‟
Ini terdengarnya menyenangkan saat di khotbahkan ke telinga-telinga
mereka: „Tidak ada yang berharga! Kau musti tidak memaui!‟ Ini namun, sabda
memaksa perbudakan.
O para saudaraku, Zarathustra datang bagai angin-angin keras yang segar,
ke semua manusia-manusia letih; ia mau membuat banyak hidung-hidung bersin!
Bahkan menghembus menembus dinding-dinding nafas bebasku ini, dan ke
dalam enjara-penjara dan ke para spirit terbelenggu pula!
Memaui ini membebaskan: sebab memaui adalah mencipta: maka aku
ajarkan ini. Dan hanya untuk menciptalah kau belajar!
Dan mulanya kau harus belajar hanya dariku, untuk belajar dengan baik! –
Ia yang punya telinga untuk mendengar, biar ia mendengar!
Di sana perahu tergeletak – di seberang sana, mungkin arah-jalan ke Kehampaan
megah. namun siapa yang mau melangkah ke „mungkin‟ ini?
Tidak satu pun dari kau mau melangkah ke perahu-kematian! Lalu mengapa
kau mau menjadi seorang pembosan-hidup?
Pembosan-hidup! Dan kau belum lagi berpisah dari dunia! Aku selalu
menemui kau tetap tamak bagi dunia, tetap cinta pada pembosan- hidup kau!
Tidaklah sia-sia lidah kau bergelantungan: – satu harapan kecil
keduniawian tetap menggelantung! Dan di dalam mata kau – tidakkah awan kecil
kebersukacitaan duniawi yang tidak terlupakan itu tetap mengapung-apung di
sana?
Di dunia ini ada sangat banyak penemuan-penemuan yang baik, banyak
yang berguna, banyak yang menyenangkan: demi ini semua dunia patut dicintai.
Dan ada banyak penemuan-penemuan disana, mereka laksana buah dada
perempuan: yang berguna dan pada saat yang sama, juga menyenangkan.
Namun kau para pembosan! Kau para pemalas! Kau harus dipecut dengan
rotan! Dengan dipecut kaki kau harus sigap kembali!
sebab jika kau bukanlah orang cacat, atau manusia lesu kepayahan
yangmana dunia ini letih sebab itu, maka kau adalah si pemalas cerdik atau
pemalas manis, kucing tamak penyelinap. Dan jika kau tidak mau lari dan
bergembira lagi lalu kau harus – mati!
Seseorang harus tidak mau menjadi tabib orang yang tidak bisa
disembuhkan: ini ajaran Zarathustra: - maka kau harus mati!
namun membutuhkan banyak keberanian untuk membuat satu kesimpulan
dibandingkan membuat satu syair baru: dan semua tabib-tabib dan pujangga tahu akan
hal ini.
O para saudaraku, ada table-tabel hukum dibingkai oleh keletihan dan table-tabel
hukum dibingkai oleh kemalasan, kemalasan yang merusak: walau mereka berkata
serupa satu sama lainnya, namun mereka mau didengar berlainan.
Lihat ke manusia layu ini! Ia hanya sejengkal dari golnya, namun sebab
keletihannya ia rebahan dan membandel di sini di tanah berdebu, manusia
perkasa ini!
Dari keletihannya ia menguap ke jalan, ke dunia juga ke tujuannya, dan
dirinya: ia tidak mau melangkahkan kakinya agi – manusia perkasa ini!
Sekarang sang surya membakarnya, dan anjing-anjing menjilati peluhnya:
namun ia rebahan di sana si kepala batu ini, malah ingin bermalas-malasan –
Bermalas-malasan sejengkal dari tujuannya! Sungguh, kau harus
menjenggut rambutnya menyeretnya ke surganya – sang pahlawan ini!
Lebih baik meninggalkannya rebahan di mana ia merebahkan diri, maka
sang tidur, sang pelipur, bisa datang kepadanya bersama dengan suara rintik-rintik
air hujan yang sejuk:
Biar ia berbaring, hingga ia terbangun dengan sendirinya, hingga dengan
sendirinya ia meninggalkan segala keletihannya, dan apa yang keletihan ajarkan
padanya!
Hanya, para saudaraku, takutilah anjing-anjing itu jauh darinya, para
pengendap malas, dan semua gerumutan kutu-kutu –
Semua gerumutan kutu “orang terpelajar,‟ yang hidup dari peluh setiap
pahlawan!
Aku membentuk lingkaran-lingkaran dan batas-batas suci di sekelilingku; sedikit
dan lebih sedikit lagi yang mendaki denganku ke atas gunung-gemunung tinggi
dan lebih tinggi: aku buat satu gugusan gunung dari gunung-gemunung suci dan
mahasuci.
namun kemana saja kau mau mendaki bersamaku, O para saudaraku,
perhatikan bahwa tidak ada benalu mendaki bersama kau!
Benalu: ini adalah ulat, ulat perangkak, ulat gelung, yang mau tumbuh
gemuk di tempat-tempat yang sakit dan di luka-luka kau.
Dan ini adalah seninya: menduga-duga di mana jiwa yang mendaki itu
letih: dalam kesulitan, dalam kesedihan dan dalam kebersahajaan lembut kau. dia
lalu membuat sangkarnya yang menjijikan.
Di mana manusia kuat itu lemah, di mana orang mulia itu terlalu lembut - di
sana dia membuat sangkarnya yang menjijikan: benalu hidup di mana manusia
perkasa punya banyak luka-luka kecil.
Spesis kehidupan manakah yang tertinggi dan manakah yang terendah?
Benalu adalah spesis yang terendah; namun ia, yang dari jenis spesis tertinggi
menyusui mahabenalu-benalu.
Bagi jiwa yang memiliki tangga terpanjang, dan bisa turun ke yang
terdalam: tidakkah ini wajar bahwa mahabenalu-benalu duduk menempel di
atasnya?
Sang jiwa yang mahameliput ini, yang bisa berlari dan tersesat dan
berkeliaran sangat jauh ke dalam dirinya sendiri; sang jiwa yang mahautama,
yang dari rasa sukacitanya melemparkan dirinya ke dalam kemungkinankemungkinan –
Sang jiwa yang mencintai Kehidupan ini lalu menceburkan dirinya ke
dalam Kemenjadian; sang jiwa yang kaya ini ingin tumbuh mendapatkan hasrat
dan keinginannya –
Sang jiwa melarikan diri dari dirinya, lalu menemukan kembali dirinya di
kawasan-kawasan terluas; sang jiwa yang mahabijaksana, dimana kebodohan
berbicara padanya dengan sangat manisnya –
Sang jiwa yang sangat mencintai dirinya, yang memiliki arus dan anti-arus,
pasang dan surut: - oh, tidakkah wajar jika jiwa yang luhur ini memiliki benalubenalu terburuk?
O para saudaraku, apa aku lalu kejam? namun aku serukan: Apa yang akan jatuh
mustilah didorong pula!
Segalanya sekarang – akan jatuh, membusuk: siapa yang mau
mempreservasikan ini? namun aku – mau mendorong ini pula!
Tahukah kau kenikmatan menggulingkan bebatuan ke jurang-jurang terjal?
– Para manusia zaman sekarang ini, lihat saja bagaimana mereka bergelimpangan
ke dalam jurang-jurangku!
Aku adalah prelude bagi para aktor yang lebih baik, O para saudaraku!
Sebuah teladan! Beraktinglah menurut teladan-teladanku!
Dan ia yang kau tidak ajarkan untuk terbang, ajarkan ia – untuk jatuh lebih
cepat!
Aku cinta manusia pemberani: namun tidak cukup untuk menjadi seorang pendekar
- seseorang musti tahu pula lawan siapa ia menjadi pendekar itu!
Dan kerap kali adalah lebih dibandingkan keberanian untuk menahan diri dan
meliwati: demi menyempatkan dirinya bagi musuh-musuh yang lebih berharga!
Kau musti punya musuh-musuh yang kau benci; namun bukan musuh-musuh
yang kau hina: kau musti bangga akan musuh-musuh kau: maka aku ajarkan kau
sekala lalu.
Kau musti menyempatkan diri kau, O para temanku, bagi musuh yang lebih
berharga: maka kau musti meliwati banyak sesuatu,
Khususnya kau musti meliwati banyak gerombolan, yang berkoar di telinga
kau mengenai rakyat dan rakyat-rakyat.
Jaga mata kau bersih dari Pro dan Kontranya mereka! Ada banyak benarnya,
ada banyak salahnya: sesiapa tetap memperhatikannya jadi marah.
Melihat ke sekeliling, dan menempa mereka – mereka sama saja: maka
pergilah ke hutan-hutan dan tidur baringkan pedang kau!
Pergilah ke jalan-jalan kau! Dan biar rakyat dan rakyat-rakyat pergi ke
jalan-jalan mereka! – jalan-jalan gelap, tentunya, di mana tidak ada satu harapan
pun bersinar lagi!
Biar si pedagang memerintah, di mana segala yang tetap bersinar adalah –
emasnya si pedagang! Zamannya raja-raja sudah berlalu: apa yang sekarang
menamakan dirinya rakyat tidak layak punya raja.
Lihat saja bagaimana rakyat ini sekarang bertingkah seperti para pedagang:
mereka menuai keuntungan-keuntungan kecil dari mengais segala macam
tumpukan sampah-sampah.
Mereka saling menghadang satu sama lainnya, mereka saling membenci
satu sama lainnya – mereka menamakan ini „bertetangga baik.‟ Oh berkahilah,
masa yang terjauh saat rakyat berkata pada dirinya sendiri: „Aku ingin menjadi
tuannya rakyat!‟
sebab , para saudaraku: yang terunggul musti memerintah, sang terunggul
juga ingin memerintah! Dan di mana ini diajarkan sebaliknya, di sana – sang
terunggul tidak ada.
Jika mereka – punya roti gratisan, duh! – apa yang mereka teriakan itu!
Pemeliharaan mereka – ini memang hiburan mereka; dan kehidupan harus keras
bagi mereka!
Mereka adalah binatang pemangsa: bahkan dalam „kerja‟ mereka – ada
perampasan, bahkan dalam „penghasilan‟ mereka – ada penipuan pula! Maka
kehidupan harus keras bagi mereka!
Mereka harus menjadi para binatang pemangsa yang lebih unggul, lebih
halus, lebih pandai, lebih serupa manusia: sebab manusia adalah binatang
pemangsa terunggul.
Manusia telah merampas kebajikan-kebajikan para binatang: mengapa
itulah, dari segala binatang-binatang, kehidupan itu paling keras bagi manusia.
Hanya burung-burung tetap di atasnya. Dan jika manusia harus belajar
terbang, duh! Ke ketinggian apa – keserakahannya harus terbang!
Ini bagaimana aku inginkan dari lelaki dan perempuan: yang satu siap untuk
berperang, yang lainnya sigap mengasuh anak, namun keduanya piawai untuk
menari dengan kepala dan tumit.
Dan tidak ada hari tanpa menari bagi kita! Dan kebenaran itu palsu bila
tidak didan i tawa.
Akad nikah kau: perhatikan ini bukanlah perakadan buruk! Terlalu cepat kau
menikah : dan akibatnya – perceraian.
Lebih baik bercerai dibandingkan membengkokan pernikahan, mengkhianati
pernikahan! – Seorang perempuan berkata padaku: „Memang, aku bercerai namun
pertamanya pernikahan itu – yang membuatku bercerai!‟
sebab sebab inilah aku ingin rakyat yang jujur berkata ke satu sama
lainnya: „Kita mencintai satu sama lainnya: mari kita menjaga agar kita tetap
saling mencintai! Atau mustikah ikrar pernikahan kita menjadi pengkhianatan?
„Berikanlah kita waktu percobaan dan pernikahan kecil, sehingga kita bisa
melihat apakah kita layak bagi pernikahan besar! Adalah sesuatu yang besar
untuk selalu bersama!‟
Maka aku menganjurkan semua rakyat yang jujur; lalu untuk apa cintaku ke
sang Superman, dan ke segala yang akan datang, jika aku harus menganjurkan dan
berseru sebaliknya!
Tidak saja kau bentangkan diri kau ke depan namun juga keatas – O para
saudaraku, semoga taman pernikahan ini membantu kau!
Ia yang tumbuh arif mengenai asal-usul purba, perhatikan, ia akhirnya ingin
mencari mata air masadepan dan asal-usul baru.
O para saudaraku, tidak lama lagi, rakyat baru akan bangkit, lalu mata airmata air baru akan mengalir ke kedalaman-kedalamkan baru.
sebab sang gempa bumi – yang menyumpal banyak sumur-sumur, dan
menyebabkan banyak dahaga – juga mengungkapkan kekuatan-kekuatan batin
dan kegaiban-kegaiban sesuatu.
Sang gempa bumi menyingkapkan mata-air mata-air baru. Di gempa
buminya para rakyat purba, mata-air mata-air baru menyembur keluar.
Dan sesiapa yang berteriak di sana: „Perhatikan, ini adalah sumur bagi
mereka yang dahaga, hati bagi mereka yang merindu, kemauan bagi banyak
instrumen‟ – di sekeliling ianya berkumpul rakyat, ini yang dikatakan: para
pencoba.
Siapa yang bisa memberi aba-aba, siapa yang harus patuh – ini dicoba di
sini! Memang, dengan penyelidikan yang berkepanjangan dan keberhasilan dan
kegagalan dengan mempelajari dan mencoba-coba sekali lagi!
Masyarakat manusia: adalah satu percobaan, maka aku ajarkan – satu
penelitian yang lama berkepanjangan: ini, namun, mencari sang panglima! –
Satu percobaan, O para saudaraku! Bukan sebuah „perjanjian‟! Hancurkan,
hancurkan kata-kata si manusia berhati-lembut dan si setengah-setengah itu!
O para saudaraku! Ada di tangan siapakah marabahaya seluruh masa depan itu?
Bukankah ini ada di tangan si baik dan adil? –
Di tangan mereka yang berkata dan merasa di hati mereka: „Kami sudah
tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu, kami telah miliki ini pula; terkutuk
mereka yang tetap mencar-cari!‟
Dan kerugian apa saja yang dilakukan si penjahat, kerugian yang dilakukan
si baik adalah yang paling merugikan!
Dan kerugian apa saja yang dilakukan si penghasut, kerugian yang
dilakukan si baik adalah yang paling merugikan!
O para suadaraku, ke dalam lubuk hati si baik dan adil suatu saat
seseorang melihat mereka dan berkata: „Mereka kaum Farisi‟ namun ia tidak
dimengerti orang banyak.
Si baik dan adil mereka sendiri tidak bisa mengerti: spirit mereka terpenjara
dalam nurani baik mereka. Kebodohan si baik dan adil tidaklah terkira cerdiknya.
Namun ini adalah benar, bahwa si baik musti menjadi Farisi mereka tidak
punya pilihan lain!
Si baik harus menyalibkan ia yang merekayasakan kebajikannya sendiri!
Ini adalah benar!
Namun, orang kedua, yang menemukan negeri mereka - tanah-air, hati dan
tanah si baik dan adil - ia yang bertanya: „Siapakah yang sangat dibenci
mereka?‟
Sang pencipta yang mereka sangat benci, ia yang mendobrak tabel-tabel
hukum dan nilai-nilai lama, sang pendobrak, – mereka menamakannya sang
pendobrak hukum.
sebab si baik – tidak bisa mencipta: mereka selalunya awal dari akhir: -
Mereka menyalibkan ia yang menuliskan nilai-nilai baru di atas tabel-tabel
hukum baru, bagi mereka sendiri mereka mengorbankan masadepan – mereka
meyalibkan seluruh masadepan manusia!
Si baik – selalunya awal dari akhir.
O para saudaraku, sudahkah kau mengerti seruan ini? Dan apa yang sekala aku
katakan tentang sang „Manusia Moderen‟?
Ada di tangan siapakah marabahaya masa depan manusia itu? Bukankah ada
di tangan si baik dan adil?
Hancurkan, hancurkan si baik dan adil – O para saudaraku, sudahkah kau
mengerti seruan ini?
Kau lari dariku? Kau takut? Kau gemetaran akan seruan ini?
O para saudaraku, saat aku mohon kau untuk menghancurkan si baik, dan
tabel-tabel hukum si baik, kemudian aku akan membawa manusia ketengah
samudera luas.
Lalu akan datang kepadanya teror megah, prospek megah, penyakit megah,
kejijikan megah, mabuk laut megah.
Pesisir-pesisir palsu dan keamanan-keamanan palsu yang si baik telah
ajarkan kepada kau; dalam dusta-dusta si baik kau dilahirkan dan dihidupkan.
Segalanya telah dilencengkan dan disembelitkan hingga ke akar-akarnya oleh si
baik.
namun ia yang menemui negerinya „Manusia‟, juga menemui negerinya
„Masadepan Manusia‟. Sekarang kau harus menjadi para pelaut bagiku, pelaut
yang berani, pelaut yang sabar!
Berdirilah dengan tegak selamanya , O para saudaraku, belajar untuk berdiri
tegak! Samudera membadai: banyak yang mau menegakan diri mereka lagi
dengan bantuan kau.
Samudera membadai: segalanya ada di samudera. Lalu ayo! Mari, kau hati
para pelaut tua!
Apa itu tanah-bapak! Kemudi kita mau mengarung jauh, jauh ke dimana
tanah anak-anak kita berada! Pergi jauh, lebih membadai dibandingkan samudera,
badai adalah kerinduan megah kita!
„Mengapa sangat keras?‟ kata arang di suatu waktu pada intan; „tidakkah kita ini
keluarga dekat?
Mengapa sangat lunak? O para saudaraku, maka aku tanya kau: bukankah
kau – saudaraku?
Mengapa sangat lunak, sangat pasrah dan menyerah? Mengapa ada banyak
penafian dan pengunduran diri dalam hati kau? Mengapa hanya ada sedikit takdir
dalam tatap pandangan kau?
Dan jika kau tidak mau menjadi takdir-takdir dan keras: bagaimana bisa kau
– menaklukan bersamaku?
Dan jika kekerasan kau tidak mau menyala dan memecahkan dan memotong
hingga berkeping-keping: bagaimana kau bisa sekala – mencipta bersamaku?
sebab para pencipta adalah keras. Dan ini kelihatannya seperti sesuatu
yang sangat menyenangkan kau bahwa lengan-lengan kau menekan ke atas
kemauan yang ribuan tahun usianya bagai ke atas lilin,
Bahagia menulis ke atas kemauan yang berusia ribuan tahun bagai ke atas
perunggu – lebih keras dari perunggu, lebih mulia dibandingkan perunggu. Hanya yang
termulialah yang terkeras.
Tabel hukum baru ini aku letakan ke atas kau, O para saudaraku: Jadilah
keras!
O kau, Kemauanku! Hakikatku, keutamaanku, penghalau kebutuhan! Jaga aku
dari segala kejayaan-kejayaan kecil!
O nasib jiwaku, yang aku namakan takdir! Kau Di dalamku! Di atasku!
Jamin dan beri aku satu takdir megah!
Dan kemegahan akhir kau, Kemauanku, simpanlah bagi detik akhir kau –
supaya kau bisa menjadi keras di dalam kejayaan kau! Ah, siapa yang tidak
pernah menyerah pada kejayaannya sendiri!
Ah, mata siapa yang tidak redup dikemabukan senja! Ah, kaki siapa yang
tidak pernah tersandung dan dalam kejayaannya lupa - bagaimana untuk berdiri!
Supaya aku sekala siap dan matang di tengah hari megah: siap dan matang
laksana nyala biji besi, laksana awan pembawa kilat, laksana gelembung ambingambing susu –
Siap bagi diriku dan bagi Kemauan rahasiaku: busur rindu bagi panahnya,
panah rindu bagi bintangnya –
Bintang, siap dan matang di tengah harinya, menyala, bahagia, tembus oleh
anak-anak panah sang surya yang membinaskan –
Sang surya sendiri, dan kemauan teguhnya sang surya, siap membinaskan
demi kejayaan!
O Kemauanku, hakikatku, keutamaanku, penghalau kebutuhan! Beri aku
satu kejayaan megah!
Manusia yang Menyembuh
Di pagi hari saat ia baru saja kembali ke guhanya, Zarathustra meloncat dari
ranjangnya seperti orang gila, berteriak suara menakutkan, dan bertingkah
seolah-olah ada seseorang yang berbaring di ranjangnya dan tidak mau bangkit;
dan suara Zarathustra bergema sedemikian rupa sehingga binatang-binatangnya
berdatangan padanya ketakutan, dan dari segala guha-guha dan tempat-tempat
persembunyian di sekitar guha Zarathustra semua mahluk-mahluk menyelinap,
terbang, menggelepar, merayap, melompat, menurut macam kaki atau sayap apa
yang telah diberikan pada masing-masing. Zarathustra, namun, berseru kata-kata
ini:
Bangun, pikiran terdalam, bangun dari kedalaman-kedalamanku! Aku
adalah ayam jantan dan fajar kau, cacing ngantuk: bangun! bangun! Suara
kokokanku musti membangunkan kau!
Longgarkan sengkela-sengkela telinga kau: dengar! sebab aku mau
mendengarkan kau! Bangun! Bangun! Cukup bergemuruh di sini bahkan kuburan
pun mendengar!
Dan lenyapkan sang kantuk dan segala kesuraman dan kebutaan dari mata
kau! Dengarkan pula aku dengan mata kau: suaraku adalah obat bahkan bagi
mereka yang buta dari lahir.
Dan sekali kau gugah, kau musti tetap gugah seumur hidup. Itu bukanlah
caraku untuk menggugahkan nenek-nenek kau dari tidurnya demi memohon
mereka – tidur kembali!
Apa kau sedang mengulet, merentangkan diri kau, mendesah? Bangun!
Bangun! Kau tidak boleh mendesah, – namun berkata padaku! Zarathustra
memanggil kau, Zarathustra yang tidakbertuhan!
Aku Zarathustra, sang penasihat kehidupan, sang penasihat kesengsaraan,
sang penasihat siklus – aku panggil kau, pikiran-pikiran terdalamku!
Hiduplah aku ! Kau datang – aku dengar kau! Ngaraiku berbicara, aku telah
merubah kedalaman terakhirku menjadi sang cahaya!
Hiduplah aku! Mari sini! Berikan lengan kau – ha! Lepaskan! Ha, ha! –
Jijik, jijik, jijik – oh tidak!
Namun, belum lagi Zarathustra menghabiskan seruan kata-katanya, ia jatuh
seperti orang mati dan tetap seperti orang mati beberapa lamanya. namun saat ia
siuman, ia pucat dan gemetaran tetap rebahan untuk beberapa lamanya tidak mau
makan tidak juga minum. Keadaan ini berlangsung tujuh hari; para binatangnya,
namun, tetap bersamanya pagi atau malam, kecuali sang elang terbang mencari
makanan. Dan apa saja yang dia ambil dan kumpulkan dibaringkan di hadapan
ranjang Zarathustra: maka akhirnya Zarathustra rebahan di tengah-tengah buah
arbei-arbei kuning dan merah, anggur, apel-apel merah, ramu-ramuan berbau
manis dan buah pohon cemara. Di kakinya, namun, dua ekor kambing
dibentangkan, yang sang elang dapatkan dengan susah payahnya, dirampas dari
para penggembala.
Akhirnya, setelah tujuh hari, Zarathustra bangkit dari ranjangnya,
mengambil apel merah dengan tangannya, menciuminya, dan menemui baunya
menyenangkan. Lalu para binatangnya berpikir bahwa waktunya telah tiba untuk
berbicara padanya.
„O Zarathustra,‟ kata mereka, „kau rebahan serupa ini tujuh hari, dengan
mata berat: tidak maukah kau sekarang berdiri di atas kaki kau lagi?
Melangkahlah keluar guha kau: dunia menunggu kau laksana taman. Bada i
dimuati dengan wewangian tajam yang rindu pada kau; dan segala anak sungai
ingin lari ke kau.
Segalanya merindukan kau, sejak kau menyendiri tujuh hari – melangkahlah
keluar dari guha kau! Segalanya mau menjadi tabib kau!
Mungkinkah satu pengetahuan baru datang pada kau, pengetahuan pahit
yang memilukan? Serupa adonan ragi kau rebahan, jiwa kau naik dan membanjiri
tepian.‟
O para binatangku, jawab Zarathustra, terus bicara biar aku mendengar! Ini
menyegarkanku untuk mendengar kau berbicara: di mana ada pembicaran, dunia
seperti taman bagiku.
Betapa menyenangkan, bahwa kata-kata dan suara-suara musik itu ada:
bukankah kata-kata dan musik itu pelangi-pelangi dan jembatan-jembatan antara
sesuatu yang terpisah abadi?
Setiap jiwa memiliki dunianya sendiri; bagi setiap jiwa setiap jiwa lainnya
adalah dunia asing.
„Diantara sesuatu yang sangat serupa, ilusi mengatakan dengan manisnya
kebohongannya; sebab jurang yang terkecil pun sulit untuk dijembatani.
„Bagiku – bagaimana ada yang di luar diriku? Tidak ada luar! namun kita
lupa ini, saat kita mendengar musik; alangkah manisnya ini lalu kita lupa!
„Tidakkah segala sesuatunya itu diberi nama-nama dan suara-suara musik,
lalu manusia bisa menyegarkan dirinya bersama sesuatunya? Kata-kata adalah
keindahan dungu: dengannya manusia menari di atas segala sesuatunya.
Alangkah manisnya segala kata-kata dan segala kepalsuan musik! Dengan
musik cinta kita menari di atas aneka warna pelangi-pelangi‟
„O Zarathustra,‟ berkata para binatangnya kemudian, „bagi mahluk yang
berpikiran serupa kita, segala sesuatunya mendekat dengan menari: mereka
datang dan mempersembahkan lengan mereka, tertawa dan mundur – dan
kembali lagi.
Segala sesuatunya pergi, segala sesuatunya kembali; roda kehidupan
berputar selamanya. Segala sesuatuya akan mati, segala sesuatunya akan
memekar baru; era kehidupan selalu berputar abadi.
Segala sesuatunya patah, segala sesuatunya menyatu membaru kembali;
rumah kehidupan yang sama itu sendiri membangun dirinya sendiri abadi. Segala
sesuatunya berpisah, segala sesuatunya bertemu kembali; siklus kehidupan itu
benar pada dirinya sendiri abadi
Di setiap saat Kehidupan bermula; di setiap Sini menggelinding bola ke
setiap Sana. Tengah-tengah ada dimana-mana. Berliku-liku jalan ke keabadian.‟
O kau badud-badud dan tong-tong orgel!‟ jawab Zarathustra, dan tersenyum
kembali; „betapa kau tahu apa yang musti dihasilkan dalam tujuh hari:
„Dan bagaimana monster ini merayap ke tenggorokanku dan mencekikku!
namun aku gigit kepalanya dan memuntah jauhkannya.
Dan kau – membuat lagu keroncongan pula tentang ini? Namun, aku
sekarang berbaring di sini, tetap letih sebab gigitan dan pemuntahan ini, tetap
sakit dengan penebusanku.
Dan kau hanya menonton ini semua? O para binatangku, apakah kau, pula,
kejam? Apa kau ingin pula menonton dukacita megahku, bagai yang dikerjakan
para manusia? sebab manusia adalah binatang yang paling kejam.
Sandiwara-sandiwara tragedi, adu-adu banteng, dan penyaliban-penyaliban
ini sangat disenangi manusia melebihi segala sesuatunya di dunia; dan saat ia
menciptakan Neraka baginya sendiri, perhatikan, itu surganya di dunia.
saat seorang manusia akhbar menjerit, langsung datang berlarian
manusia kecil; lidahnya bergelantungan dari mulutnya penuh nafsu. Namun, ia
menamakan ini “belas kasihan” nya.
Manusia kecil, khususnya sang pujangga – betapa bersemangatnya ia
menghujat kehidupan dalam kata-kata! Dengarkanlah ia, namun jangan sampai
tidak mendengar nafsunya dalam segala hujatan-hujatannya!
Para penghujat kehidupan ini dikalahkan oleh kehidupan, dengan kerlingan
matanya. “Apa kau mencintaiku?” kata si genit ini; “tunggu sebentar, aku namun
tidak punya waktu bagi kau.”
Bagi dirinya sendiri manusia adalah binatang paling kejam; dan mereka
yang menamakan diri mereka “para pendosa” dan “para pengemban Salib” dan
“para penyesal,” jangan sampai tidak mendengar nafsu gairahnya dalam jeritan
dan hujatan mereka!
Dan aku sendiri – apa aku mau menjadi penghujat manusia? Ah, para
binatangku, ini saja yang aku telah pelajari hingga kini, bahwa bagi manausia
kejahatan itu adalah perlu bagi kebaikannya,
Bahwa segala yang terjahat dalam dirinya itu adalah kekuatan terbaiknya,
dan batu terkeras bagi sang pencipta agung; dan manusia harus tumbuh lebih baik
dan lebih jahat:
„Bukan di atas salib yang membuat aku tersiksa, lalu aku tahu bahwa
manusia itu jahat – namun aku berteriak bagai tidak ada seorang pun pernah
berteriak sebelumnya:
„Duh, kemahajahatannya sangat kecil! Duh, kemahabaikannya sangat kecil!‟
Kejijikan megah pada manusia – ini mencekikku dan merangkak ke dalam
tenggorokanku: dan apa yang sang junjungan ramalkan: “Semua adalah satu, tidak ada
yang berharga, pengetahuan mencekik.”
Senja yang berkepanjangan berjalan timpang di hadapanku, keletihan abadi,
kesedihan abadi yang memabukan yang berbicara dengan mulut yang menguap
menahan kantuk.
„Secara abadi ia kembali, manusia yang sebab nya kau letih, si manusia
kecil‟ – maka kesedihanku menguap, dan menyeret kakinya dan tidak bisa tidur.Menjadi guha, dunianya manusia bagiku, dadanya ambruk, segala sesuatu
yang hidup bagiku menjadi debu manusia dan tulang-belulang dan reruntuhan
masalampau.
Kesahan-kesahanku duduk di atas kuburan-kuburan manusia, dan tidak bisa
lagi berdiri; kesahan-kesahanku dan pertanyaan-pertanyaanku berkeroak dan
tercekik, dan menggerogoti dan meratap pagi dan malam:
„Duh, manusia ada kembali abadi! Si manusia kerdil pun ada kemba li
abadi!‟
Aku melihat mereka keduanya telanjang, manusia termegah dan manusia
terkecil: semuanya sangat serupa satu sama lainnya, bahkan yang termegah pun
sangat manusiawi!
Semuanya sangat kecil bahkan yang mahamegah sekali pun! – ini
kejijikanku pada segala eksistensi!
Ah, Jijik! Jijik! Jijik!‟ ini seruan Zarathustra, mengesah dan risi; sebab ia
teringat akan sakitnya. Maka para binatangnya mencegahnya untuk berseru lebih
lanjut.
„Jangan berseru lagi, kau manusia yang menyembuh!‟ – jawab para
binatangnya, „namun pergilah keluar di mana dunia menunggu kau laksana taman.
Pergilah keluar pada kembang-kembang mawar, dan pada kumbangkumbang dan pada kumpulan merpati-merpati! Khususnya, pergilah keluar pada
burung-burung pengicau, untuk belajar menembang dari mereka!
sebab menembang adalah bagi manusia yang menyembuh; yang sehat
boleh bicara. Dan saat manusia sehat, juga, ingin lagu, ia ingin lagu yang
berbeda dibandingkan manusia yang menyembuh.‟
„O kau badud-badud dan tong-tong orgel, tolong diam!‟ jawab Zarathustra,
dan tersenyum ke para binatangnya. „Tahu benar kau pelipur apa yang aku telah
upayakan bagi diriku dalam tujuh hari!
Bahwa aku musti menembang sekali lagi – pelipuran itu, dan penyembuhan
ini aku rekayasakan bagi diriku: apa kau mau membuat lagu keroncongan akan
ini, pula?‟
„Jangan berseru lagi,„ para binatangnya menjawab sekali lagi: „malah,
mulanya siapkan diri kau sebuah harpa, manusia yang menyembuh, harpa baru!
„sebab perhatikan, O Zarathustra! Untuk lagu-lagu baru kau dibutuhkan
harpa-harpa baru.
Menembanglah dan meleter, O Zarathustra, obati jiwa kau dengan lagulagu baru, agar kau dapat mengemban takdir megah kau, yang tidak pernah
menjadi takdir manusia lain!
sebab para binatang kau tahu betul, siapa kau itu dan apa yang akan
menjadi: perhatikan, kau adalah guru mengenai siklus abadi, nah ini, adalah
takdir kau itu!
Bahwa kau musti menjadi manusia pertama yang mengajarkan doktrin ini –
bagaimana takdir megah ini tidak musti pula menjadi bahaya megah dan penyakit
kau!
Perhatikan, kami tahu apa yang kau ajarkan: segala sesuatunya bersiklus
abadi, dan kami sendiri bersama mereka, dan kami pernah eksis berkali-kali abadi,
dan segala sesuatunya bersama kamu
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 Comments :
Posting Komentar