arkeologi 8

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 8. Tampilkan semua postingan

arkeologi 8










pemisahan, maka melalui rapat 
umum Kunstkring pada 2 Desember 1927, diputuskan untuk dipersatukan lagi 
dalam Bataviaasch Kunstkring (Bataviaasch Kunstkring, 1902-1932: 250).
Sejak tahun 1915, Bataviaasch Kunstkring berhasil mengadakan kegiatan 
konser sebanyak 250 kali, di antaranya 150 kali konser Kesenian Rakyat 
(volksconsert) dengan dirigen terkenal, Nico Gerhard dan J . de Ruyter 
Korver. Setelah Perang Dunia, Bataviaasch Kunstkring berhasil mendatangkan �seniman-seniman besar dari luar negeri. Selain itu, lembaga ini mengadakan 
pameran-pameran karya kesenian hias dan seni rupa, serta menyelenggarakan 
ceramah-ceramah tentang kesusastraan dan seni tari.
Hingga peringatan ke-30 tahun, yaitu tahun 1932 sampai masa voorzitter
Bataviaasch Kunstkring, J. Ph van Hasselt, program-program lembaga ter�sebut terus berjalan dengan baik. Sebenarnya, pada masa VOC di bawah 
Gubernur Jenderal Mossel, pertunjukan drama dilakukan dalam bangunan 
yang disebut Heerenlogem ent di Moorschen Gracht yang setelah tahun 
1757, Gabriel Besse du Pouget diberi izin mendirikan Schouwburg (Gedung 
Pertunjukan atau Kesenian). Jika pada tahun 1814, tempat pertunjukan drama 
dan konser musik diadakan dalam bangunan sederhana, maka pada tahun 
1820, Pemerintah Hindia-Belanda menyediakan tanah dan material untuk 
mem bangun teater baru di J alan Pos. Pada tahun 1911, Stadsschouwburg
(Gedung Kesenian Kota) itu diambil-alih oleh Gemeente Batavia.
Pada awal abad ke-20, dua bentuk kesenian rakyat mencapai sukses 
besar yang masih dikenang setiap orang, yaitu musik keroncong yang temanya 
diambil dari bangsa Portugis atau Mardijkers, dan bentuk khas opera di 
Jawa, yakni Komedi Stambul yang temanya diambil dari cerita Seribu Satu 
Malam dan namanya mengacu kepada nama ibukota Kekaisaran Ottoman 
(Denys Lombard, 1966: 224). 
Di Jawa, pemrakarsanya adalah seorang indo bernama Antonio Mahieu 
yang membentuk kelompoknya sendiri sekitar tahun 1892. Ia menyajikan 
cerita Ali Baba dan Aladin sebagai pertunjukan pertama, kemudian di susul 
pertunjukan Putri Salju dan Putri Tidur. J enis pertunjukan yang meng�ungkapkan hasrat kuat melebur sikap budaya di Nusantara dan mendapat 
sambutan besar di kalangan masyarakat. Demikian juga cerita Nyai Dasim ah 
dengan dramanya adalah pertunjukan yang menarik perhatian masyarakat 
di Jawa abad ke-19. Kegiatan-kegiatan kelembagaan Bataviaasch Kunstkring
berlangsung terus sampai masa Pergerakan Nasional sejak awal abad ke-20. 
Permuseuman
Telah diketahui bahwa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weten�schappen sudah mencakup pendirian museum dengan program mengadakan 
koleksi benda-benda purbakala, keramik, naskah-naskah kuno, numismatik, 
dan berbagai benda lainnya dari masyarakat di kepulauan Indonesia. Selain 
untuk dipelihara, koleksi tersebut juga digunakan untuk objek penelitian dan 
pengenalan sejarah kebudayaan masyarakat di kepulauan Indonesia. Salah 
seorang pendirinya adalah J.C.M. Rademacher yang menyumbangkan sebuah 
rumah di Kalibesar, Kota Lama Batavia. Ia juga menyumbangkan sejumlah 
peralatan ilmu alam, batu-batuan, hasil pertambangan, alat musik, dan buku�buku. �Museum yang ada dalam lingkungan Bataviaasch Genootschap van 
Kunsten en Wetenschappen itu mengalami kemajuan yang signiikan sehingga 
bangunan di Kalibesar itu sudah tidak memadai lagi. Sejalan dengan proses 
sejarah, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia diganti oleh kolonial Inggris 
(1811-1816). Sejak itu, direksi dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en 
Wetenschappen diketuai Letnan Jenderal Sir Thomas Stanford Rafles. Pada 
waktu itulah lembaga tersebut memperoleh gedung baru di Jalan Majapahit 
No. 3 Jakarta, bersebelahan dengan Wisma Nusantara sebelah barat Istana 
Merdeka. Di gedung inilah nama lembaga Bataviaasch Genootschap van 
Kunsten en Wetenschappen diubah menjadi Literary Society. Rafles juga 
mempunyai perhatian terhadap sejarah dan peninggalan arkeologi di Jawa. 
Ia juga menerbitkan buku yang sangat berharga, History of Java.
Setelah pemerintah kolonial Belanda kembali, perhatian terhadap 
kebudayaan makin meningkat dan benda-benda koleksi museum semakin 
banyak. Akibatnya, gedung di J alan Majapahit itu sudah tidak memadai 
untuk menampungnya. Maka, pada tahun 1862 pemerintah kolonial Belanda 
memutuskan untuk membuat bangunan baru yang berhasil didirikan tahun 
1868 di jalan yang sekarang dinamakan Jalan Merdeka Barat No. 12. Museum 
yang berada dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 
yang namanya kembali berfungsi baik dalam pemeliharaan atau pengawetan, 
pembinaan, pengembangan, maupun dalam penerbitan hasil-hasil penelitian 
yang dimuat dalam majalah seperti TBG, VBG, dan NBG. Sampai masa 
Pergerakan Nasional, kehidupan lembaga ini masih aktif. Bahkan setelah 
Perang Dunia I, masyarakat setempat yang didukung pemerintah Hindia�Belanda, menaruh perhatian terhadap pendirian museum di beberapa daerah 
di samping yang sudah berdiri di Batavia. 
Di antara museum-museum yang berada di beberapa daerah, terdapat 
mu seum yang didirikan pada masa sebelum dan sejak masa Pergerakan 
Nasional seperti (Museum di Indonesia, 1997): Pertam a, Museum Radya 
Pus taka di Solo, didirikan tahun 1890, terutama menyimpan benda-benda 
dan naskah-naskah kuno dari daerah Kesunanan Surakarta. Kedua, Museum 
Zoologi Bogor, didirikan pada tahun 1894 dan bergabung dengan laboratorium 
di Bogor dan dengan Stasiun Perikanan (Visserij Station) di Batavia. Museum 
ini bertujuan mengawetkan dan memamerkan binatang-binatang yang telah 
diawetkan dari jenis binatang menyusui dan burung-burung dari Jawa dan 
dari kepulauan lainnya. Contohnya adalah reptilia, amibia, dan ikan-ikan 
yang telah diawetkan; himpunan concyologia dari J awa pada khususnya, 
dan Hindia-Belanda pada umumnya; himpunan carcinalogia termasuk jenis 
kerang-kerang dari kepulauan Indonesia. Tugas dan kewajiban Museum 
Zoologi didasarkan pada Surat Keputusan Pemerintah tanggal 26 J anuari 
1908 No. 42 Departement van Landbouw (Departemen Pertanian) (Regerings �Almanak Nederlands-Indie, 1915: 358-359). Museum Zoologi seperti di Bogor 
itu juga didirikan di Bukittinggi pada tahun yang sama, tahun 1894.
Ketiga, Museum Mojokerto di Jawa Timur, yang didirikan pada tahun 
1912 atas-usul Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromodjojo Adinegoro. Ia adalah 
se orang pribumi yang mempunyai perhatian terhadap pendirian museum 
dan konservator benda- benda warisan budaya bangsanya, terutama terhadap 
peninggalan kebudayaan masa Indonesia-Hindu. Penelitian peninggalan 
dari masa itu, baik dari daerah Trowulan khususnya, maupun dari daerah 
Jawa Timur pada umumnya, dapat berkembang berkat dukungan penduduk 
pribumi. Keem pat, Museum Mangkunegaran di Surakarta yang didirikan 
tahun 1918 dan ditujukan untuk koleksi benda-benda Keraton Mangkunegara. 
Kelim a, Museum Rumoh Aceh, di Banda Aceh, didirikan tahun 1915 untuk 
koleksi benda-benda dari daerah bekas Kesultanan Aceh Darussalam. Keenam, 
Museum Trowulan yang didirikan tahun 1920, bertujuan untuk memelihara 
koleksi beragam benda temuan dari Trowulan dari situs yang dianggap bekas 
ibukota Kerajaan Majapahit. Museum ini didirikan oleh Ir. Maclaine Pont.
Ketujuh, Museum Geologi di Bandung yang didirikan tahun 1929 
sejalan dengan kemajuan penelitian geologi di Bandung waktu itu. Museum 
ini digunakan untuk menyimpan koleksi jenis batu-batuan dan fauna dari 
berbagai zaman. Kedelapan, Museum Bali di Denpasar yang didirikan tahun 
1932 untuk koleksi benda-benda dari daerah Bali. Kesem bilan, Museum 
Rumah Adat Banjuang di Bukittinggi yang didirikan tahun 1933 untuk pe�nyim panan, pemeliharaan, dan pengenalan budaya setempat. Kesepuluh, 
Museum Sonobudoyo di Yogyakarta yang didirikan tahun 1935 sebagai tempat 
penyimpanan, pemeliharaan, dan pengenalan koleksi benda-benda, termasuk 
naskah-naskah kuno dari daerah Yogyakarta dan juga koleksi benda-benda 
dari daerah lainnya. Kesebelas, Museum Simalungun di Pematang Siantar, 
Sumatera Utara yang didirikan tahun 1938. Di Museum ini ditempatkan, 
dipelihara, dan dikenalkan koleksi benda-benda termasuk naskah-naskah 
kuno dari daerah Batak.
Jika diperhatikan waktu pendirian permuseuman tersebut, ternyata ada 
yang berasal dari zaman kolonial termasuk juga zaman Pergerakan Nasional 
yang telah dimulai sejak 20 Mei 1908 dengan berdirinya Budi Utomo. 
Dengan semakin banyaknya pendirian museum yang diawali oleh berdirinya 
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, jelas sangat pen�ting dan menguntungkan bagi kemajuan ilmu pengetahuan, sejarah, arkeologi, 
dan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumya.
Komisi dan Dinas Purbakala (Commissie van Oudheidkundige Dienst)
Sejak pendiriannya, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 
telah memprogramkan pengisian museumnya dengan koleksi benda-benda �bersejarah dan kepurbakalaan (oudheiden). Baik dari kalangan pemerintah 
maupun masyarakat timbul dorongan untuk melakukan upaya pemeliharaan, 
penyelamatan, pengenalan, bahkan penelitian terhadap peninggalan sejarah 
dan kepurbakalaan (arkeologis), terhadap peninggalan masa prasejarah, masa 
Indonesia Hindu-Buddha, masa Islam, dan masa kolonial (Krom, 1923: 1-12; 
Monumenten Ordonnantie Stbl. 238, 1931 [tekst en toelichting], 1931: 100-
106; Soekmono, 1977: 1-25; Bernet Kempers, 1978: 12-23).
Di antara ahli-ahli Belanda yang mempunyai perhatian dan mengadakan 
pencatatan, pemberitaan, dan penelitian kepurbakalaan ialah Van Rijck tahun 
1785, Reimer tahun 1788, 1791, dan 1795, dan Francois van Boeckholtz yang 
dikenal sebagai orang pertama yang melakukan pencatatan Candi Prambanan 
pada tahun 1790 yang dapat diketahui dari karyanya, Beschrijving van het 
Eyland Groot Java. Upaya-upaya yang lebih maju berkenaan dengan perhatian 
serta pencatatan kepurbakalaan itu terjadi karena inisiatif Nicolas Engelhard 
ketika ia menjadi Gubernur pesisir timur laut Jawa (Gouverneur van Java’s 
Noord-Oostkust) tahun 1801 sampai 1808 M. Dari hasil perjalanannya ke 
keraton-keraton Jawa, ia tertarik pada reruntuhan Candi Prambanan. Maka, 
pada tahun 1805, Engelhard memerintahkan Letnan Insinyur H.C. Cornelius 
untuk melakukan penggambaran percandian itu.
Pada masa Pemerintahan Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas 
Stamford Raffles (1811-1816) yang juga menjabat pimpinan Bataviaasch 
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, perhatian Rafles makin meluas 
bukan hanya terhadap pencatatan dan pemeliharaan terhadap peninggalan 
ke pur bakalaan, tetapi juga terhadap penelitiannya. Kenyataan bahwa Rafles 
me miliki perhatian terhadap usaha-usaha kepurbakalaan dan cerita-cerita seja�rah, tergambar dalam bukunya History of Java, yang diterbitkan tahun 1917. 
Pengetahuan Rafles mengenai sejarah berdasarkan babad-babad dan epigrai, 
dibantu oleh Panembahan Sumenep. Sejak pemerintahan Rafles, be be rapa ahli 
mendapat tugas untuk melakukan penggambaran, pencatatan, dan penelitian 
terhadap peninggalan kepurbakalaan di Indonesia, terutama di Jawa.
Setelah transisi pemerintahan dari Inggris ke Hindia-Belanda, perhatian 
ter hadap peninggalan kepurbakalaan itu dilanjutkan. Pada waktu itu, Prof. 
C.G.C. Reinward yang datang ke Jawa pada tahun 1816, di samping diserahi 
tugas sebagai direktur masalah pertanian (landbouw), kesenian, dan ilmu 
pengetahuan (kunst en w etenschappen), juga bertugas mengurusi masalah�masalah kepurbakalaan (oudheiden). Karena itu, ia banyak mengunjungi 
situs puing-puing kepurbakalaan, seperti reruntuhan percandian. Ia ditemani 
ahli-ahli penggambaran antara lain A.J. Bik dan Th. Bik. Pada waktu itu, ada 
be berapa arca dari kesenian masa Indonesia Hindu-Buddha yang dijadikan 
sebagai contoh dan mewakili hasil seni patung yang indah yang dikirimkan 
ke Belanda. Pada abad ke-19, kegiatan-kegiatan kepurbakalaan bukan hanya �dilakukan terhadap percandian saja, tetapi juga terhadap epigrai, naskah�naskah kuno, dan benda-benda lainnya. 
Sejumlah ahli Belanda di bidang arkeologi, teknik, penggambaran, dan 
lainnya, telah melakukan pencatatan, penggambaran, kunjungan perjalanan, 
dan menulis karya-karya yang antara lain diterbitkan dalam TBG, NBG, dan 
VBG, terbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 
Sejumlah ahli-ahli itu adalah H.J. Domis, Van Braam, H.N. Sieburg, Van der 
Vlies, W.R. van Hoeevell, R.H.Th. Friederich, A. Shaefer, F.W Wilsen, Leemans, 
Brumund, Cohen Stuart, H. Kern, N.W. Hoepermans, J. Hageman, Isidore 
van Kinsbergen, P.J . Veth, Fergusson, J .L.A. Brandes, W.P. Groeneveldt, 
J.W. Ijzerman, Cephas, R.D.M. Verbeek, dan lain-lain. Di antara nama-nama 
tersebut, Isodore van Kinsbergen banyak memberikan sumbangannya dalam 
hasil pemotretan, penggambaran tinggalan arkeologis dari daerah Jawa Barat, 
Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang dilakukannya sejak tahun 1862. Ia bukan 
hanya ahli dalam fotograi tetapi juga dalam seni drama. 
Dengan adanya kemajuan tersebut, dan dalam pada itu, berdasarkan 
tulisan Serrurier yang menulis kepedihannya tentang keberadaan candi-candi 
terkenal di Jawa Tengah yang tak dapat dipertanggungjawabkan kelanjutan 
pemeliharaannya dan karena adanya perbandingan yang didorong terbentuknya 
organisasi khusus tentang peninggalan kepurbakalaan di Indocina, maka J.W. 
Ijzerman, dibantu oleh W.P. Groeneveldt, mengajukan nota kepada Minister 
Gremer untuk membentuk organisasi yang bertugas dalam penanganan 
masalah kepurbakalaan. Atas usulan itu, baik menteri maupun Pemerintah 
Hindia-Belanda, menyetujui pendirian suatu komisi melalui Surat Keputusan 
Pemerintah (Gouvernement Besluit) tanggal 18 Mei 1901 No. 4 yang disebut 
Commisie in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en 
Madoera. Yang ditunjuk sebagai pimpinan komisi itu ialah Dr. J.L.A. Brandes. 
Dan, sesuai dengan tugas komisi itu, dilakukanlah penyusunan penulisan 
kepurbakalaan di J awa dan Madura dari segi arkeologis dan arsitektonis, 
pembuatan gambar-gambar dan foto-foto, pembuatan acuan-acuannya dan 
pemberian peralatan untuk pemeliharaan peninggalan kepurbakalaan yang 
terdapat di Jawa dan Madura.
Dengan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 21 J uli 190 0 No. 17, 
dibentuklah suatu Komisi-Borobudur untuk menangani masalah candi yang 
terkenal itu. Pada masa komisi itulah, terbit beberapa monograi karya 
Brandes, Monographie Candi Jago (1904) dan Candi Singasari (1909). 
Setelah ia wafat, banyak artikel dan laporannya tentang kepurbakalaan yang 
diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 
dalam TBG, NBG, VBG. Kedudukan J.L.A. Brandes selaku Ketua Commissie 
in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera 
diganti oleh N.J. Krom pada tahun 1910. Krom merasa tugas kepurbakalaan�itu memerlukan sebuah badan yang tetap. Untuk itu, ia mendapat tugas dari 
pemerintahnya untuk mengadakan studi banding ke India. Sekembalinya 
dari India, ia mengajukan usulan agar dibentuk organisasi yang permanen 
dengan nama Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Dan Pemerintah 
Hindia-Belanda menyetujui usulannya dengan Surat Keputusan Pemerintah 
tanggal 14 J uni 1913 No. 62. Tugas Dinas tersebut ialah mengadakan 
inven tarisasi dan pengawasan terhadap peninggalan purbakala di Hindia�Belanda, merencanakan, dan melaksanakan upaya-upaya pemeliharaan 
dan perlindungan untuk mencegah keruntuhan lebih jauh, mengadakan 
penggambaran dan pengukuran-pengukuran serta melakukan penelitian 
secara umum dalam arti luas termasuk di bidang epigrai, meluaskan personil 
dan pembentukan bagian ilmu bangunan (bouw kundige) untuk pengawasan 
monumen-monumen baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. 
Hasil-hasil penelitian perlu diterbitkan dalam laporan tahunan dan 
laporan per kuartal tentang pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan. Perlu 
juga dilakukan penerbitan monograi-monograi tentang kepurbakalaan itu. 
N.J . Krom sendiri, melalui pekerjaannya, dapat menerbitkan karya utama 
mengenai pengantar kesenian Hindu-Jawa, yaitu Inleiding Tot De Hindoe�Javaansche Kunst I, II, III (1923) dan Sejarah Hindu-Jaw a atau Hindoe�Javaansche Geschiedenis (1931). Kedua buku itu hingga kini menjadi acuan 
bagi penelitan kesenian dan sejarah masa Indonesia-Hindu. 
Untuk tujuan konsolidasi, Oudheidkundige Dienst mengangkat F.D.K. 
Bosch, Ledy Melville, Perquin, de Vink, J.P. Moquette, Knebel, dan Van Erp, 
yang bertugas melakukan restorasi Candi Borobudur. Dengan pengembangan 
te naga ahli tersebut, pekerjaan dapat dilakukan tidak hanya terhadap pe�ning galan kepurbakalaan di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, termasuk 
pe ning galan Islam di daerah Aceh. Sejak tahun 1915, Dinas Purbakala itu di�pim pin oleh F.D.K. Bosch sampai tahun 1936. Sejak saat itu, terjadi banyak 
ke ma juan bukan hanya di bidang penelitian, tetapi juga di bidang restorasi 
atau pemugaran dan pemeliharaan peninggalan kepurbakalaan. F.D.K. Bosch 
ber hasil mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pembuat candi bukanlah 
orang-orang India, tetapi orang-orang Indonesia. Ia juga memberikan sum�bangan pemikirannya bahwa terdapat jati diri (local genius) dalam kesenian 
Jawa Kuno dengan diterbitkannya hasil penelitian epigrai Jawa-Kuno, hasil 
pemugaran candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan hasil-hasil 
penelitian dan pemugaran peninggalan Islam di daerah Aceh. Hasil pekerjaan 
Oudheidkundige Dienst diterbitkan dalam bentuk laporan, antara lain Rapport 
voor Oudheidkundige Dienst (ROD) dan Oudheidkundige Verslag (OV). 
Pada masa kepemimpinan F.D.K. Bosch, mulai dirasakan perlunya 
dibuat undang-undang untuk melindungi dan melestarikan peninggalan ke�purbakalaan di Hindia-Belanda dari bahaya kerusakan dan kemusnahan akibat �ulah manusia. Sehubungan dengan itu, terbitlah Monum enten Ordonnantie
(MO) Stbl. No. 238, Tahun 1931, yang pada waktu itu berlaku untuk Jawa 
dan Madura. Pada tahun 1992, MO 1931 itu diganti oleh Undang-Undang RI 
tentang Benda Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 dengan Peraturan Pemerintah 
untuk pelaksanaannya (PP No. 10 Tahun 1993). Sejak tahun 1936, W.F. 
Stutterheim menggantikan pimpinan Dinas Purbakala sampai 1939. Dalam 
waktu yang relatif singkat, oleh W.F. Stutterheim yang juga mengajar di AMS 
tentang sejarah kebudayaan Indonesia, Dinas Purbakala yang dipimpinnya, 
meskipun kekurangan dana, masih dapat meluaskan pemikirannya terhadap 
penelitian epigrai, keramik Islam, dan meneruskan pekerjaan pemugaran 
Candi Siwa di Prambanan atas dana dari Belanda. 
Penelitian terhadap Candi Gunung Wukir dan Candi Gebang dilakukan 
dan diteruskan dengan pekerjaan pemugarannya. Saat pendudukan Jepang, 
kantor pusat Dinas Purbakala di J akarta dalam bidang penelitian praktis 
berhenti. Hal itu dikarenakan kekurangan ahli arkeologi, meskipun R.M.Ng. 
Poerbatjaraka sem pat mem im pin dan m enghidupkannya kem bali. Di 
Yogyakarta, melalui kantor cabangnya, masih diteruskan pemugaran Candi 
Siwa. Penelitian serta ekskavasi arkeologis juga terus dilakukan terhadap per�candian di Plaosan Kidul, Ratu Boko bagian barat, dan makam Sunan Drajat 
di Jawa Timur. 
 Demikian dinamika kelembagaan yang menangani bidang kepurbakalaan 
di Indonesia pada masa kolonial, masa Pergerakan Nasional, masa Jepang, 
dan masa Kemerdekaan Indonesia. Sejak Republik Indonesia tegak, lembaga 
itu mengalami perubahan nama dari Dinas Purbakala, Lembaga Purbakala 
dan Peninggalan Nasional, dan kemudian dipisahkan menjadi dua lembaga 
sejak tahun 1975 menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala, Direktorat Per�lindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Direktorat 
J enderal Kebudayaan) dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang 
sehari-harinya dibawahi Direktorat Jenderal Kebudayaan dan secara organi�satoris berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Javaansche Instituut
Lembaga ini didirikan pada 4 Agustus 1919 oleh sebuah himpunan yang 
men dapat persetujuan pemerintah dengan Surat Keputusan (Gouv. Besluit) 
tanggal 17 Desember 1919 No. 75. Tempat kedudukan J avaansche Instituut, 
seba gaimana dinyatakan pada Pasal 1 Statuten-nya, ada di Surakarta. Menarik 
bahwa dua orang tokoh pribumi, yakni A.A.P. Prangwedono, Pimpinan 
Ke raton Mangkunegara, menjadi Ketua Kehormatan, dan R.A. Hoessein 
Djajadiningrat menjabat sebagai ketua yang beranggotakan F.D.K. Bosch, 
B.J.O Schrieke, dan P.A.J. Moojen. Javaansche Instituut Vereeniging tersebut 
berada di bawah lindungan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. �Melihat pengurus-pengurus utamanya yang beranggotakan kaum cende�kiawan Indonesia seperti P. Prangwedono dan R.A. Hoesein Djajadiningrat, 
maka upaya-upaya untuk mengangkat derajat dan nilai-nilai budaya bangsa 
Indonesia yang dimulai dari budaya Jawa, jelas memberikan harapan bagi 
kemajuan kelembagaan di bidang kebudayaan. Bagaimanapun, kehidupan 
kebudayaan keraton seperti di Surakarta, memberikan dorongan kemajuan 
kelembagaan kebudayaan di masa itu. Upaya-upaya tersebut dapat disimak 
dari tujuan didirikannya Javaansche Instituut itu (Darsiti Suratman, 2000) 
(Djawa Tijdschrift, 1921: 65-68, 117-119).
Tujuan pendirian Java Instituut ialah memajukan dan mengembangkan 
kebudayaan pribumi yang dalam arti luas untuk memajukan kebudayaan 
J awa, Madura, dan Bali. Dalam Pasal 4 Statuten dikatakan bahwa, untuk 
men capai tujuannya, himpunan J avaansche Instituut itu berusaha dengan 
cara: (1) menghimpun dan memasukkan bukti-bukti yang lengkap mengenai 
semua pernyataan kebudayaan J awa baik dari masa kini maupun masa 
lampau, (2) memajukan pengetahuan dan mendapatkan pandangan tentang 
ke budayaan J awa melalui kongres-kongres, pameran, pidato-pidato, pem�bacaan-pembacaan, kursus-kursus, penghargaan dan penulisan, (3) mem beri 
bantuan terhadap setiap usaha yang sungguh-sungguh dari pihak lain yang 
sejalan dengan himpunan (vereeniging), (4) melalui berbagai usaha yang 
dibenarkan menurut hukum di mana himpunan berkemampuan dan sesuai 
dengan tujuannya.
Dalam pada itu, himpunan Javaansche Instituut telah berusaha membuat 
penerbitan buku-buku dan majalah terutama mengenai bahasa, tanah, dan 
rakyat J awa pada tahun 1900 dan setelah tahun 1919. Di antara majalah 
yang pernah diterbitkan antara lain ialah Djaw a Tijdschrift di Bandung. 
Da lam Kongres I tahun 1921, telah dilakukan pameran hasil-hasil kerajinan 
kayu dari Sunda, Jawa, dan Madura. Majalah Djaw a yang diterbitkan sejak 
tahun 1921 sampai tahun-tahun berikutnya – yang terakhir tahun 1941 – 
bermuatan karya-karya ilmiah tentang berbagai aspek budaya Indonesia, 
terutama budaya Jawa.
Perhimpunan-Perhimpunan (Vereenigingen)
Beberapa perhimpunan yang belum disebutkan di atas dan didirikan pada 
zaman kolonial Belanda (Nederlandsch-Indie) ialah: pertam a, Vereeniging 
Bond van Nederlandsch-Indiesche Kunstkringen di Batavia, termasuk 
Bataviaasch Kunstkring yang diakui keberadaannya dengan Surat Keputusan 
Pemerintah tanggal 18 April 1918 No. 44. Kedua, Vereeniging tot Bevordering 
van het Bibliotheekwezen in Nederlandsch Indie (Perhimpunan untuk 
Memajukan Kehidupan Perpustakaan). Didirikan di Weltevreden dan disetujui 
oleh Pemerintah dengan Surat Keputusan tanggal 24 November 1916 No. 64. �
Seperti telah diketahui, perpustakaan awal sudah ada pada masa pendirian 
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en W etenschappen yang merupakan 
bagian kegiatan Bataviaasch Genootschap itu dengan struktur yang disebut 
Boekerij. Ketiga, Vereeniging van Oudheid, Land, Taal en Volkenkunde 
(Perhimpunan Kepurbakalaan, Negeri, Bahasa dan Ilmu Banga-Bangsa) di 
Yogyakarta dengan Surat Keputusan Tahun 1886 No. 198 dan diakui sebagai 
Badan Hukum. Keem pat, Oudkundige Vereeniging Madjapahit (Perhimpunan 
Kepurbakalaan Majapahit) yang didirikan atas prakarsa Ir. H. Maclaine Pont, 
di Trowulan (tahun 1924), dengan persetujuan Oudheidkundige Dienst (Dinas 
Purbakala). Kegiatannya lebih dikhususkan pada penelitian peninggalan�peninggalan bekas ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan.
Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848, pemerintah jajahan Hindia-Belanda mendapat kekuasaan 
dari raja untuk menggunakan uang sebesar f. 25.000 setiap tahunnya. Uang 
itu digunakan untuk keperluan sekolah-sekolah yang didirikan bagi bumiputra 
terutama anak-anak para priyayi yang diperlukan untuk pegawai-pegawai 
dalam kepentingan eksploitasi kolonial Belanda (Ajip Rosidi, 1986).
Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu, pendidikan menjadi meningkat 
dan timbullah kegemaran membaca di kalangan bangsa Indonesia. Melalui 
ke gemaran membaca dalam bahasa Belanda, mereka makin mengerti ke�duduk annya sebagai bangsa jajahan. Di antara mereka yang berbakat mulai 
menulis bermacam karya baik berupa cerita maupun uraian untuk mem�beri kan penerangan kepada rakyatnya. Muncul surat kabar dalam bahasa 
Melayu dan bahasa daerah, yang tersebar bukan hanya di daerah Melayu 
dan Jakarta saja, tetapi juga tersebar di berbagai kota. Misalnya, di Surabaya 
terbit surat kabar Bintang Tim oer (mulai tahun 1862), di Padang terbit surat 
kabar Pelita Kecil (mulai tahun 1882), di Batavia terbit Bianglala (mulai 
tahun 1867). 
Sesudah tahun 1900, terdapat surat kabar yang dapat digolongkan se�bagai karya sastra, misalnya surat kabar Medan Prijaji di Bandung yang 
me muat cerita bersambung berbentuk roman. Raden Mas (Djokonomo) 
Tirto Adhisoerjo (1875-1916), Pimpinan Redaksi Medan Prijaji, menulis dua 
buah cerita roman yang berjudul Busono (1910) dan Njai Perm ana (1912). 
Dengan makin banyaknya karangan-karangan penulis pribumi yang dirasakan 
pemerintah Hindia-Belanda berbau politik dan memberikan gambaran bersifat 
menghasut untuk berontak terhadap pemerintah jajahan, maka karya-karya 
tersebut dianggap sebagai “bacaan liar”. Sehubungan dengan kekhawatiran 
itulah, Pemerintah Hindia-Belanda sejak tahun 1908 membentuk Komisi 
Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) 
yang pada tahun 1917 berubah menjadi Bacaan Rakyat (Kantoor voor de �Volkslectuur) yang kemudian dikenal sebagai Balai Pustaka. Yang menjadi 
sekretaris pertama lembaga itu ialah Dr. A. Rinkes.
 Tugas utama dari komisi itu: (1) memeriksa dan mencetak naskah 
cerita-cerita rakyat terutama yang ditulis dalam bahasa daerah, (2) mencetak 
buku-buku terjemahan dan saduran atau ringkasan cerita-cerita klasik ke�pahlawanan Belanda atau Eropa. 
Tahun 1914 dan seterusnya, karangan-karangan berupa cerita daerah dan 
juga dalam bahasa Indonesia yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka 
adalah karya Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak 
Gadis (1920). Dua tahun kemudian, terbit karya Marah Rusli berjudul Siti 
Nurbaya (1922). Banyaklah karya-karya para pengarang bangsa Indonesia 
dalam bentuk cerita roman yang ditulis baik dalam bahasa Melayu maupun 
bahasa daerah lainnya oleh Balai Pustaka. Sejak tahun 1920 sampai 1922, 
Muhammad Yamin banyak menulis sajak, antara lain yang berjudul Bahasa, 
Bangsa. Sajak tersebut melukiskan perasaannya bahwa tiada bahasa, bangsa 
pun hilang. Kemudian ada juga sajaknya tentang Tanah Air yang dimuat 
tahun 1920 dalam Jong Sum atra dan kemudian diterbitkan lagi dalam buku 
kecil dengan judul sama pada tahun 1922. 
Dari tahun ke tahun, jumlah pengarang bangsa Indonesia makin me�ningkat dengan beragam karya sastranya sampai akhirnya lahir Pujangga Baru 
dengan majalah Pujangga Baru (933-1942) yang dipimpin oleh Armijn Pane, 
Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Sejak itulah majalah Pujangga 
Baru menjadi tempat berkumpulnya sejumlah budayawan, seniman, dan 
cendekiawan Indonesia seperti Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. 
Sumanang, Mr. Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.J.S. 
Poerwadarminta, dan H.B. Jassin. Para pembantu redaksi datang dari ber�bagai daerah dan golongan serta suku bangsa. Sehingga majalah Pujangga 
Baru itu mengalami perkembangan terus dan beredar menjangkau berbagai 
daerah di Nusantara. Dengan kehadiran Jepang, majalah yang sudah lama 
beredar itu dihentikan peredarannya karena dianggap “kebarat-baratan” oleh 
Jepang. 
Kemajuan penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia bagi 
karya-karya tulis terbitan Balai Pustaka sebenarnya didorong pula oleh 
faktor politis Pergerakan Nasional, terlebih sejak Kongres Pemuda tanggal 28 
Oktober 1928 dengan pernyataan Sum pah Pem uda. Dalam kongres-kongres 
kebudayaan dari tahun 1918 dan seterusnya dan juga dalam forum rapat�rapat di Volksraad, para pemimpin politik selalu berupaya untuk menegaskan 
ke harusan menggunakan bahasa Melayu (Indonesia). Sehingga, sejak masa 
Kemerdekaan, bahasa Indonesia berhasil dinyatakan secara konstusional 
men jadi bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana 
ter cantum dalam Pasal 36 UUD 1945. Demikian pula kebudayaan nasional �dan kebudayaan di daerah-daerah telah mendapat tempat dalam Pasal 32 
UUD 1945.
Lembaga-Lembaga Pendidikan
Lembaga Pendidikan sangat erat kaitannya dengan kebudayaan, bahkan me�rupakan sarana terpenting bagi transformasi kebudayaan dari satu generasi 
ke generasi berikutnya. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda 
sudah mempunyai perhatian terhadap pendirian lembaga pendidikan. Tetapi 
baru dapat direalisasikan pada pertengahan abad ke-19. Pendirian lembaga 
pendidikan di masa itu sesuai dengan kebutuhan yang muncul, baik di ka�langan pemerintah kolonial itu sendiri, maupun dari kalangan masyarakat 
swasta. 
Pada tahun 1848, di Batavia didirikan sekolah tingkat dasar bagi orang 
Eropa dan Indo-Eropa. Dua belas tahun kemudian (1860), didirikan sekolah 
tingkat menengah bagi anak-anak orang Eropa yang disebut Gymnasium 
Willem III (5 tahun). Sekelompok kecil anak-anak bumiputra diterima se�bagai peserta pendidikan, tetapi dikhususkan untuk anak-anak kaum priyayi 
tinggi. 
Perhatian pemerintah kolonial Belanda terhadap usaha pendirian lembaga 
pendidikan, makin meningkat dengan adanya pengangkatan Inspektur Pen�didikan Pribumi yang diikuti dengan didirikannya sebuah Departemen 
Pendidikan Agama dan Industri atau Kerajinan (Departement van Onderwijs, 
Eeredienst en Nijverheid) tahun 1867.
Perlu dikemukakan bahwa pada waktu itu diskriminasi masih cukup ketat. 
Banyak orang tua murid bangsa Eropa merasa keberatan jika anak-anaknya 
berada satu kelas dengan anak-anak bumiputra. Akibatnya, orang-orang 
bumi putra seringkali diberi nama Eropa agar dapat bergaul dengan orang 
Eropa di sekolah tersebut. Sebagai contoh adalah Achmad Djajadiningrat 
yang menjadi bupati (regent) Serang dan kemudian menjadi anggota Raad 
van Indie, mendapat panggilan Willem van Banten. 
Biasanya, setiap lulusan Gymnasium, secara tidak pandang bulu dapat 
diangkat untuk jabatan dalam pemerintahan Eropa. Namun, melihat ke�cerdasan orang bumiputra, tidak sedikit para pejabat Belanda yang merasa 
takut tersaingi, sehingga ada upaya menghalangi masuknya orang bumiputra 
ke dalam kalangan mereka. Kasus-kasus seperti itulah yang mungkin 
dianjurkan oleh penganjur “Politik Etis” dan “Politik Asosiasi” sebagai hasil 
pendidikan yang disebut “gescheiden sam engaan” (berjalan bersama tetapi 
terpisah).
Sekitar tahun 1850, pemerintah kolonial mulai membuka Sekolah Kelas 
I bagi anak-anak keluarga pangreh praja di kota-kota karesidenan seperti di 
Serang, Batavia, Bogor, Bandung, Cirebon, dan Semarang. Kemudian dibuka 
pula Hoofden School, yaitu sekolah untuk mendidik para calon pejabat 
pangreh praja yang dikhususkan untuk anak-anak bupati. Lulusan Sekolah 
Kelas I tersebut dapat melanjutkan ke Hoofden School. Pada tahun 1875, 
pemerintah kolonial Belanda membuka Sekolah Dokter J awa yang murid�muridnya diambil dari Sekolah Kelas I, setelah mereka mendapat tambahan 
pelajaran di Sekolah Rendah Belanda. 
Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda membuka Sekolah 
Kelas II (4 Tahun). Banyaknya pemerintah membuka sekolah-sekolah bagi 
kaum pribumi tidak terlepas dari situasi dan kondisi politik yang berkembang 
waktu itu, sejak diakhirinya Cultuurstelsel tahun 1870 dan sejalan dengan 
tuntutan sebagian masyarakat Belanda agar pemerintah memajukan kemak�muran masyarakat pribumi di daerah koloni. Upaya membuka sekolah�sekolah makin kuat terutama setelah munculnya tulisan van Deventer, Een 
Erenschuld dan Etische Politiek. Unsur pendidikan dalam Politik Etis itu pada 
dasarnya sejalan dengan kebutuhan pemerintah dan para pengusaha Belanda 
di Hindia-Belanda, yaitu terciptanya tenaga kerja yang terampil dan terdidik 
secara Barat. Hal ini berdampak pada upaya memuluskan jalannya pendirian 
sekolah-sekolah baru dan juga perubahan terhadap beberapa sekolah yang 
sudah ada sebelumnya, seperti Sekolah Dokter Djawa di Weltevreden yang 
diubah namanya menjadi School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen 
(STOVIA). 
Kemudian mulai dibuka sekolah-sekolah dasar dan menengah yang 
menggunakan bahasa Belanda seperti Holland Inlandsche School (HIS) yang 
disusul oleh sekolah tingkat menengah antara lain Meer Uitgebreid Lager 
Onderw ijs (MULO), Algem eene Middelbaar School (AMS), dan sekolah�sekolah lain yang bersifat kejuruan yang didirikan sejak awal tahun 1930-
an seperti Norm aal School (Sekolah Guru), Kw eek School, Hollandsche 
Inlandsche Kw eek School dan Am bacht School (Sekolah Pertukangan). 
Di samping pertumbuhan dan perkembangan sekolah-sekolah di 
atas, muncul pula sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan, 
berbarengan dengan gerakan emansipasi yang dipelopori Raden Ajeng Kartini 
(1879-1904). Contohnya adalah Sekolah Kartini. Pada tahun 1904, di Jawa 
Barat berdiri pula Sekolah Istri oleh Raden Dewi Sartika (1884-1947) yang 
kemudian berubah nama menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Melalui upaya 
Kartini Funds yang didirikan tahun 1912 oleh Tuan dan Nyonya C.Th. van 
Deventer, berdirilah sekolah-sekolah Kartini yang dimulai di Semarang pada 
tahun 1913 dan menyusul di kota-kota lainnya seperti di J akarta, Bogor, 
Malang, dan Madiun.
Sekolah-sekolah khusus anak-anak perempuan itu juga berdiri di 
Sumatera, yaitu di Kota Gadang, misalnya Sekolah Kerajinan Amal Setia 
tahun 1914. Di kota Padang berdiri pula Sekolah Keutamaan Istri pada tahun�
1914. Dengan banyaknya sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan, maka 
muncul pula perkumpulan-perkumpulan wanita. 
Sejak tahun 1920-an, pemerintah Hindia-Belanda membuka sekolah�sekolah untuk tingkat pendidikan tinggi seperti Technische Hoge School
(THS), Geneeskundige Hoge School (GHS), dan Rechtkundige Hoge School
(RHS). Pada 1 Oktober 1940, berdiri Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit 
der Letteren en Wijsbegeerte). Dan pada 1 September 1941, dibuka Landbouw 
Kundige Faculteit (Fakultas Pertanian) yang berlokasi di Bogor. Dalam pada 
itu, di Surabaya pada tahun 1940, dibuka Gouvernements Instituut voor 
Lichamelijke Opvoeding (GIVLO: Akademi Pendidikan Jasmani) (Departemen 
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, 1965: 1-8). 
Melalui usaha pengembangan sekolah-sekolah, pemerintah kolonial juga 
menjalankan ‘politik asosiasi’, sebagaimana dianjurkan Snouck Hurgronje, 
antara lain melalui pelajaran sejarah Hindia-Belanda agar supremasi Belanda 
atas bangsa pribumi tercerminkan. Upaya tersebut tercermin antara lain 
pada karya Colenbrander, Koloniale Geschiedenis (1926), dan karya Stapel 
cs., Geschiedenis van Nederlandsch-Indie (1938-1936) (Sartono Kartodirdjo, 
1982: 19, 38, 250). Sejak awal abad ke-20, pengembangan sekolah-sekolah 
pemerintah yang bersifat diskriminatif itu, mengalami tantangan dengan 
tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah swasta yang oleh pihak 
pemerintah kolonial disebut “Wilde Scholen” (Sekolah Liar).
Dengan dibukanya sekolah-sekolah Barat, maka pengaruh kebudayaan 
Barat pun menyebar antara lain pada karya-karya seni sastra dalam bentuk 
prosa yang sesuai dengan pola standar secara Barat. Sebagai contoh, di Jawa 
Barat, R. Haji Muhammad Musa menerbitkan W aw acan Radja Soedibja 
(1862) dan Carita Abdurahm an dan Abdurahim (1863) dalam bentuk 
prosa. Langkah tersebut termasuk berani, mengingat pada waktu itu, di 
kalang an cendekiawan Sunda masih berkembang pendapat bahwa penulisan 
w aw acan yang bermutu adalah dalam bentuk dangding (puisi) (Ajip Rosidi, 
1966: 107). Pada masa-masa berikutnya, perkembangan seni sastra dengan 
pengaruh kebudayaan Barat itu diantisipasi pemerintah kolonial dengan 
men dirikan Volkslectuur (1908) yang kemudian diubah namanya menjadi 
Balai Pustaka. 
Pengaruh lain dari kebudayaan Barat itu adalah munculnya pertanyaan�pertanyaan dari kalangan pribumi terhadap kebudayaannya sendiri, yakni apa�kah masih perlu mempelajari atau mempertahankan kebudayaan tradisional 
dan menggantikan kebudayaan Barat. Akhirnya, timbul polemik antara ke�lom pok yang ingin tetap mempelajari dan mengembangkan kebudayaan 
pri bumi dan pihak yang ingin mengembangkan kebudayaan Barat. Polemik 
kebudayaan tersebut mencapai puncaknya sekitar tahun 1930-an. �
Masa Pergerakan Nasional
Kelembagaan yang berhubungan dengan kebudayaan, sebagaimana telah di�urai kan di atas, pendirian dan perkembangannya sudah terjadi sejak ma�sa kolonial dan diteruskan pada masa Pergerakan Nasional. Di antaranya 
ada kelembagaan yang diteruskan sampai masa Kemerdekaan. Di antara 
ke lembagaan yang berasal dari masa kolonial, termasuk masa Pergerakan 
Nasio nal. Dan didasarkan kepada masa awalnya, muncul Pergerakan Nasional 
seperti Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Budi Utomo yang dianggap sebagai 
awal Pergerakan Nasional merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar 
STOVIA yang bertujuan memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. 
Sampai menjelang Kongres Pertama, sudah terdapat 8 cabang Budi Utomo, 
yaitu di J akarta, Bogor, Bandung, Yogya I, II, Magelang, Surabaya, dan 
Probolinggo. Keberhasilan politik yang dilancarkan Budi Utomo, ialah 
pendekatan dengan pemerintah Belanda untuk membentuk Volksraad di 
Hindia-Belanda yang terealisasi pada bulan Desember 1916. 
Pertumbuhan masa Pergerakan Nasional yang diawali Budi Utomo dan 
beberapa organisasi lain, terutama yang perjuangannya dititikberatkan pada 
bidang politik dan ekonomi seperti Sarikat Islam tahun 1911 di Solo, Indische 
Partj pada 25 Desember 1912 yang mengganti Indische Bond yang didirikan 
tahun 1898, Partai Nasional Indonesia (PNI) 4 J uli 1927, dan lain-lain, 
mendorong semangat nasionalisme untuk membebaskan bangsa Indonesia 
dari penjajahan Belanda untuk mencapai kemerdekaan di bidang politik, eko�nomi, dan kebudayaan. Para pelajar yang telah mendapat pendidikan tinggi 
dari sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, muncul sebagai tokoh-tokoh 
yang menentang politik penjajahan Belanda.
Kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam mendirikan sekolah-sekolah 
yang diskriminatif menimbulkan ketidakpuasan bagi beberapa kalangan bumi�putra, terutama dari kalangan pendidikan agama. Akibatnya, muncul gerakan 
pendidikan dan sosial. Di daerah Minangkabau, berdiri sekolah-sekolah yang 
berbasis keagamaan Islam yang didirikan oleh para cendekiawan Muslim, 
seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, 
dan Haji Abdullah Ahmad yang merupakan murid-murid Syeikh Ahmad 
Khatib. Di J awa, muncul pembaharu pendidikan Islam, yaitu Kiai Haji 
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta. Riwayat perjuangan 
para pembaharu di bidang pendidikan yang berlandaskan Islam itu, di satu 
pihak merupakan upaya mengantisipasi perkembangan sekolah-sekolah yang 
didirikan pemerintah kolonial Belanda. Dan di pihak lain sejalan dengan 
pertumbuhan dan perkembangan gerakan politik bangsa Indonesia yang 
dikenal dengan Pergerakan Nasional.
Para pembaharu pendidikan itu mengakui betapa pentingnya pendidikan 
untuk membina dan membangun generasi muda. Perubahan dalam pemikiran �
dan ide-ide tentulah akan mempunyai arti yang besar dan akan bertahan 
lama, apabila perubahan ini mendapat tempat dalam kalangan generasi muda. 
Para pembaharu tersebut khawatir pengaruh ulama dan pengaruh pemikiran 
Islam akan lenyap dari generasi muda dengan berdirinya sekolah-sekolah 
pemerintah yang secara resmi memang mengambil sikap yang netral terhadap 
agama. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh para pembaharu pendidikan di 
Minangkabau (Sumatera) antara lain: Sekolah Adabiah di Padang tahun 1909 
yang kemudian mengganti nama menjadi Hollandsch Maleischhe School 
Adabiyah tahun 1915, Surau Jembatan Besi yang berpengaruh banyak pada 
Sumatera Thawalib yang sejak tahun 1919 menggunakan sistem kelas dan 
cara-cara pengajaran modern yang dikenalkan oleh Haji Jalaluddin Thaib, 
Sekolah Diniyah, dan Madrasah al-Diniyah. 
Di J awa, muncul lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah J amiat 
Khair yang didirikan oleh masyarakat Arab pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Ke�mudian berdiri Al-Irsyad tahun 1913 dan mendapat pengakuan pemerintah 
pada 11 Agustus 1915. Lalu berdiri Muhammadiyah sebagai salah satu 
organisasi sosial Islam terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II.
Muhammadiyah didirikan pada 12 November 1912 di Yogyakarta oleh Kiai 
Haji Ahmad Dahlan atas saran murid-muridnya dan beberapa orang anggota 
Budi Utomo. Para penganjur berdirinya Muhammadiyah itu, tahun 1909, 
masuk menjadi anggotanya. Tujuan Muhammadiyah adalah memberikan 
pengajaran agama Islam. Muhammadiyah mengalami kemajuan dengan 
berdirinya sekolah-sekolah Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia 
(Deliar Noer, 1996: 84-95).
Meskipun pemerintah kolonial menyatakan netral terhadap agama, 
namun kenyataannya tidak demikian dengan terbitnya Goeroe Ordonnantie
(Stadblaad 1905 No. 550) yang isinya mewajibkan agar setiap penyelenggaraan 
pendidikan Islam harus dapat izin tertulis dari bupati atau pejabat yang 
setara kedudukannya. Di samping itu, setiap guru diwajibkan untuk membuat 
daftar murid-murid lengkap dengan segala keterangan yang harus dikirimkan 
secara periodik kepada pejabat yang bersangkutan. Ordonnantie tahun 1905 
tersebut dinilai oleh kaum Islam sebagai sikap diskriminatif pemerintah 
kolonial. Dalam Kongres Al-Islam tahun 1922, sikap pemerintah kolonial 
itu dianggap menghambat kegiatan pendidikan Islam. Karena adanya protes 
dari kalangan pendidikan Islam, pemerintah kolonial Belanda mencabut 
Ordonnantie tersebut melalui Stadsblaad tahun 1925 No. 219. Tetapi namanya 
tetap disebut Ordonansi Goeroe. 
Pada dasarnya, peraturan baru itu tidak berbeda dengan Ordonnantie. 
Yang membedakan hanyalah dalam masalah izin penyelenggaraan pendidikan 
Islam yang tidak lagi memerlukan izin bupati. Oleh karena itu, dalam 
Kongres Al-Islam tahun 1926, diambil keputusan untuk menolak bentuk �
pengawasan pemerintah kolonial seperti itu dan menuntut agar pemerintah 
segera mencabutnya. Tetapi pemerintah kolonial tetap tidak mau mencabut 
Ordonnantie dengan Stadsblaad 1925 itu. Bahkan sebaliknya, pada bulan 
J anuari 1927, peraturan yang semula hanya berlaku bagi daerah J awa, 
diperluas dan diberlakukan bagi daerah-daearah Aceh, Sumatera Utara, 
Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan pada tahun 1930-an diberlakukan 
juga di Bengkulu. Namun demikian, baik Goeroe Ordonnantie maupun Wilde 
Scholen Ordonnantie, juga dihapuskan. 
Selain menerbitkan serangkaian peraturan, pemerintah kolonial juga 
membentuk lembaga khusus untuk mengawasi perkembangan masyarakat 
Muslim. Lembaga tersebut dikenal dengan Adviseur voor Inlandsche Zaken 
yang semula bernama Arabische en Inlandsche Zaken. Lembaga inilah yang 
memberikan masukan dan pertimbangan kepada gubernur jenderal mengenai 
masalah-masalah keagamaan yang terjadi di kalangan masyarakat pribumi. 
Dalam menjalankan tugasnya, Kantor Voor Het Inlandsche Zaken sering 
mengalami kritikan dan tuntutan agar badan ini dihapuskan.
Dari kalangan pribumi seringkali timbul kesan bahwa kantor tersebut 
merupakan kantor mata-mata Belanda meskipun tidak disamakan dengan 
PID (Politieke Inlichtingen Dienst), sebuah Dinas Penerangan Politik yang 
didirikan tahun 1916 dan dibubarkan tahun 1919. H. Aqib Suminto dalam 
di sertasi nya, Politik Islam Hindia Belanda, memberikan kesimpulan bah wa 
Kantoor voor het Inlandsche Zaken adalah pelaksana politik Islam pe me�rintah Hindia-Belanda yang kehadirannya justru demi kepentingan penguasa 
kolonial dan sama sekali bukan untuk kepentingan umat Islam atau pribumi 
(H. Aqib Suminto, 1986: 205-211).
Demikian proses perjalanan sejarah lembaga-lembaga pendidikan 
sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari kegiatan lembaga-lembaga 
kebudayaan yang sudah berkiprah pada masa kolonial dan masa Pergerakan 
Nasional. Masa Pergerakan Nasional jelas memberikan dorongan untuk 
kemajuan masyarakat pribumi. Bukan hanya dalam kesadaran berpolitik, 
tetapi juga kesadaran berbangsa dan berbudaya. 
Lembaga-lembaga kebudayaan yang didirikan pada masa kolonial dan 
masih diteruskan pada masa Pergerakan Nasional antara lain: 
Pertam a, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang 
berdiri sejak tahun 1778 sampai masa Hindia-Belanda, masa Pergerakan 
Nasional, bahkan sampai masa Kemerdekaan RI yang dikenal sebagai 
Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional. Kedua, museum-museum 
yang telah didirikan sejak masa kolonial, selanjutnya masa Pergerakan 
Nasional bahkan sampai kini ialah Museum Radya Pustaka, Museum Zoologi 
di Bogor, Museum Mojokerto, Museum Mangkunegoro, Museum Rumoh 
Aceh, Museum Trowulan, Museum Geologi Bandung, Museum Bali, Museum �Rumah Adat Banjuang di Bukittinggi, Museum Sonobudoyo, dan Museum 
Simalungun. 
Ketiga, Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) yang didirikan pada 
14 Juni 1913, diteruskan sampai masa Pergerakan Nasional bahkan sampai 
masa Kemerdekaan dan masuk ke dalam struktur Departemen Pendidikan 
dan Kebudayaan dan selanjutnya dewasa ini masuk ke dalam struktur Ke�men terian Kebudayaan dan Pariwisata. Keem pat, Java Instituut yang berdiri 
tahun 1919 sampai tahun 1941 termasuk masa Pergerakan Nasional. Kelim a, 
Bataviaasch Kunstkring (Lingkar Seni Batavia) yang berdiri sejak tahun 1902, 
1914, dan seterusnya, dengan ulang tahun ke-30 pada 1932, juga berkembang 
pada masa Pergerakan Nasional. Keenam , Volkslectuur (Balai Pustaka) yang 
berdiri sejak tahun 1908 yang berarti sejak masa Pergerakan Nasional bahkan 
sampai masa Kemerdekaan dan kini sebagai BUMN di bawah Departemen 
Pendidikan Nasional.
Kongres Kebudayaan 
Penyelenggaraan kongres-kongres kebudayaan merupakan indikator bagi 
makin meningkatnya perhatian pemerintah kolonial dan masyarakat pribumi 
atas lembaga-lembaga kebudayaan. Kongres-kongres kebudayaan yang 
dimulai tahun 1918, yaitu Kongres I, meskipun dilakukan kolonial Belanda, 
namun prakarsanya timbul dari kaum terpelajar pribumi, yaitu dari P.A.A.P. 
Prangwadono bersama dengan tokoh-tokoh dari perkumpulan Budi Utomo. 
Ahli-ahli Belanda membiarkan penyelenggaraan kongres kebudayaan 
yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh Budi Utomo di Surakarta. Akhirnya, 
terselenggara juga Kongres Kebudayaan Jawa, yang waktu itu disebut Congres 
voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling, dari tanggal 5 sampai 7 Juli 1918 di 
Surakarta. Yang ditunjuk sebagai pembicara dalam kongres ialah Dr. Satiman 
Wirjosandjojo, R.M. Soetatmo, Soerjokoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, 
R.A. Notosoedirdjo, dan Karlinah. Dari ahli-ahli Belanda, yang ditunjuk 
sebagai pembicara adalah D. van Hinloopen Laberton, A. Muhlenfeld, J . 
Rottier dan Z. Stokvis. Penjelasan lebih jauh tentang Kongres Kebudayaan 
yang terjadi pada masa kolonial dan masa Pergerakan Nasional dapat dibaca 
dalam buku Kongres Kebudayaan Sebelum dan Sesudah Indonesia Merdeka
karya Nunus Supardi (Nunus Supardi, 2003: 22-69).
Kongres Kebudayaan I tahun 1918 dilanjutkan oleh Kongres Kebudayaan 
II yang diselenggarakan bulan Desember 1919 di Surakarta dengan pem�ba hasan tentang sejarah dan kebudayaan J awa, Madura, dan Bali. Dalam 
Kongres Kebudayaan II itu, F.D.K. Bosch memberikan pandangan me�ngenai bagaimana unsur-unsur budaya yang tercermin pada peninggalan 
ke purbakalaan dapat berfungsi kembali sebagai unsur yang hidup dalam 
alam ikiran bumiputra. Kongres kebudayaan inilah yang juga mendorong �berdirinya Java Instituut pada 4 Agustus 1919 lengkap dengan Statuten dan 
Reglementen yang tercantum pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah 
Tangga. Mengingat Kongres Kebudyaan II diperankan secara utama oleh 
Java Instituut, maka sejak itu kongres itu disebut Congres van Het Java�Instituut. Materi Kongres Kebudayaan II itu tidak hanya tentang kebudayaan 
Jawa saja, tetapi juga kebudayaan lainnya di Indonesia. 
Kongres-kongres kebudayaan selanjutnya adalah Kongres Kebudayaan 
III yang diselenggarakan tahun 1921. Yang dibicarakan dalam Kongres Java 
Instituut di Bandung itu adalah masalah pendidikan musik dan sejarah, 
khususnya untuk siswa bumiputra. Selanjutnya diadakan Kongres Kebudayaan 
IV yang diselenggarakan J ava Instituut di Yogyakarta pada 25 Desember 
1924, Kongres Kebudayaan V di Surabaya pada 25-27 September 1926, 
Kongres Kebudayaan VI di Solo pada 27-29 Desember 1929, dan Kongres 
Kebudayaan VII di Bali yang acaranya disusun pada tanggal 18 sampai 23 
Oktober 1937. 
Masa Jepang
Perkembangan lembaga kebudayaan pada masa J epang tidak berlangsung 
lama. Dengan masa pendudukan yang relatif singkat, pengaruh Jepang dalam 
upaya pembinaan dan pengembangan kelembagaan kebudayaan tidaklah 
sebagaimana proses perkembangan pada masa kolonial Belanda dan masa 
Pergerakan Nasional. Hal itu masuk akal karena Jepang, selama tiga tahun, 
dari tahun 1942 sampai 1945, menghadapi Perang Dunia II. Setelah serangan 
dan pendudukan tentara J epang di berbagai daerah, terutama setelah 
Tentara Angkatan Darat ke-16 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Imamura 
Hitashi di tiga tempat di J awa Banten, Eretan Wetan, Cirebon, Kragan di 
Jawa Tengah, dan selanjutnya pendudukan di Jawa Timur, akhirnya pada 8 
Maret 1942 Letnan Jenderal H. Ter Poorten selaku panglima tentara Sekutu 
di Hindia-Belanda, menandatangani penyerahan kekuasaan kolonial kepada 
Letnan J enderal Imamura yang diadakan di Kalijati, J awa Barat. Hindia�Belanda pun runtuh. Dan sejak pendudukan Jepang, nama Hindia-Belanda 
diganti menjadi Indonesia. Kota Batavia juga diganti menjadi J akarta. Di 
wilayah Indonesia, selain terdapat dua kesatuan Tentara Angkatan Darat 
Jepang yang memegang administrasi pemerintahan, terdapat juga Angkatan 
Laut Jepang yang juga menjadi pemegang administrasi pemerintahan. 
Pembagian wilayah pemerintahan itu ialah: (1) Pulau Sumatera di bawah 
Tentara Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 yang bermarkas di Bukit Tinggi, 
Sumatera Barat, (2) Pulau J awa dan Madura di bawah Tentara Angatan 
Darat ke-16 yang bermarkas di J akarta. Kedua wilayah ini ada di bawah 
komando Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besar di Singapura, 
(3) Kalimantan dan Indonesia bagian timur lainnya di bawah kekuasaan Ang�katan Laut (Kaigun Minsefu) Armada Selatan ke-2 yang bermarkas besar di 
Makassar. 
Pemerintahan pada masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh 
Kepala Staf Tentara (Armada) sebagai seorang gubernur militer (Gunseikan)
dan kantornya disebut Gunseikanbu. Selain itu, dalam pengisian jabatan 
ting gi yang pada masa Hindia-Belanda hanya diduduki oleh orang-orang 
Belanda, maka sejak pendudukan J epang banyak orang-orang Indonesia 
mulai menempati jabatan-jabatan tinggi dan kebanyakan mereka merupakan 
mantan guru, termasuk guru agama. Sebagai contoh di Serang, Banten, Kiai 
Haji Ajengan Ahmad Sanusi yang berkedudukan sebagai Wakil Residen 
Bogor. Menurut sejarawan Harry J . Benda, pengangkatan jabatan seperti 
itu menunjukkan suatu fenomena yang menarik. Belum pernah terjadi se�belum nya seorang pribumi diangkat lebih tinggi dari jabatan bupati. Hal 
ini sekaligus menunjukkan harapan bahwa J epang mempunyai perhatian 
khusus terhadap para ulama Islam. Perhatian Jepang terhadap keagamaan 
Islam akhirnya memang terwujud dengan didirikannya sebuah kantor urusan 
agama (Shum ubu) di Jawa.
Kebijakan di antara ketiga wilayah pemerintahan militer seperti telah 
dikemukakan di atas ternyata berbeda. Di antara ketiga wilayah itu, Pulau 
J awa lebih mendapat perhatian dari segi politik J epang karena dianggap 
paling maju. Sehingga, kebijakan-kebijakan pemerintah militer di Pulau Jawa 
juga menimbulkan kesadaran nasional yang jauh lebih mantap dibandingkan 
dengan kedua wilayah lainnya, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Karena Pulau 
Jawa dianggap begitu penting, wilayah ini mendapat perhatian ilmiah yang 
lebih besar dari pada pulau-pulau lainnya.
Pada masa pendudukan J epang, pada bulan Agustus 1942, dibentuk 
Departemen Propaganda yang dinamakan Sendenbu. Tujuan pembentukan 
itu ialah untuk mempropaganda bangsa Indonesia agar mendukung upaya 
pe perangan yang dilakukan J epang melawan Sekutu. Lembaga Sendenbu
mempunyai 3 seksi, yaitu (1) Seksi Administrasi, (2) Seksi Berita dan Pers, dan 
(3) Seksi Propaganda. Pada tahun 1943, lembaga ini membantu terbentuknya 
Lembaga Kebudayaan yang disebut Keim in Bunka Shidosho.
Dalam propagandanya, J epang mengaku sebagai “saudara tua” yang 
akan memperbaiki nasib bangsa Indonesia dan membebaskan Indonesia dari 
penjajahan Belanda. Jepang membiarkan penduduk Indonesia mengibarkan 
bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selain itu, 
Dinas Propaganda Jepang (Sendenbu) menganjurkan agar rakyat Indonesia 
memberikan dukungan penuh kepada saudara tuanya untuk memenangkan 
perang suci dan membangun kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. 
Namun retorika itu tidak berlangsung lama, karena J epang lebih 
mementingkan perangnya dari pada membiarkan benih-benih revolusi itu�berkembang terus yang tidak mustahil akan membahayakan kekuasaan 
J epang di Indonesia. J epang membubarkan semua organisasi yang ada. 
Keputusan ini diambil berdasarkan Undang-Undang No. 3 tanggal 20 
April 1942. Hanya beberapa organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang masih tetap 
diizinkan berdiri. Pengecualian itu dilakukan karena Jepang ingin mengambil 
hati kaum Muslim yang dianggapnya sebagai kekuatan budaya anti-Barat 
sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perangnya.
Pihak Jepang menyadari bahwa, jika mereka ingin memobilisasi rakyat 
Indonesia, khususnya Jawa, mereka harus memanfaatkan kharisma tokoh�tokoh nasionalis terkemuka, seperti Soekarno, M. Hatta, dan Syahrir. Pada 
waku itu, Hatta dan Syahrir telah dipulangkan dari Boven Digul ke Jawa oleh 
Belanda sebelum pecah Perang Pasiik, dan untuk sementara diasingkan di 
Sukabumi. Sedangkan Soekarno masih ditahan di Sumatera, tetapi kemudian 
dikirimkan ke Jawa pada 9 Juli 1942 atas permintaan Angkatan Darat ke-16. 
Tidak lama kemudian, berdirilah organisasi propaganda baru yang meng�gantikan Gerakan Tiga A, yaitu Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Untuk organisasi 
ini, empat serangkai – yaitu Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. 
Mas Mansyur – akan diserahi pimpinannya setelah me reka menyanggupi 
bersedia bekerja-sama dengan J epang. Organiasi Putera dibubarkan pada 
bulan Januari 1944 dan digantikan oleh organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai 
atau Persatuan Kebaktian J awa – di Sumatera disebut Sumatera Hokokai.
Tujuan pendirian organisasi ini tidak lain adalah untuk mengajak penduduk 
Jawa membaktikan diri secara sungguh-sungguh kepada Jepang yang pada 
waktu itu posisinya sudah makin terdesak oleh pihak Sekutu. Soekarno 
dan Kiai Hasyim Asy’ari diangkat sebagai penasihat organisasi. Sedangkan 
pengelolaannya diserahkan kepada Hatta dan Mas Mansyur. 
Apabila pada masa kolonial Belanda terdapat satu kebijakan untuk 
mengontrol kehidupan pers yang disebut “delik pers”, maka pada masa pen�dudukan Jepang juga terdapat sensor pers. Melalui Kantor Penerangannya 
(Hodokan), Jepang membuat peraturan pada tanggal 13 Mei 1942 yang isinya 
antara lain mengatur bahwa segala sesuatu yang akan dicetak, misalnya copy
buat harian, mingguan, dan majalah, buku pelajaran, dan lainnya, harus 
me lalui sensor tadi. Kontrol pers ini tertuang dalam Osam u Seirei No. 16 
Tahun 1942. Dengan terbitnya peraturan ini, dikatakan bahwa setiap artikel, 
termasuk iklan-iklan yang akan diterbitkan terlebih dahulu harus mendapat 
cap dari badan sensor ini meskipun beritanya berasal dari kantor berita 
Jepang (Domei).
Pada masa pendudukan Jepang, kebijakan persuratkabaran itu sendiri 
baru dimulai setelah kedatangan Suzuki Boensiro pada 10 Oktober 1942. 
Pada masa Jepang juga terdapat pusat kebudayaan Keim in Bunka Shidosho � yang dibentuk pemerintah Jepang tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Tujuannya 
untuk mengawasi kehidupan dan aktivitas para seniman bangsa Indonesia. 
Keim in Bunka Shidosho dikepalai seorang Sendenbu Tjo dan terbagi atas 5 
bagian: (1) Bagian Lukisan dan Ukiran, dengan anggota badan pimpinannya 
T. Kohno, (2) Bagian Kesusastraan, dengan anggota badan pimpinannya 
Takeda, (3) Bagian Musik dengan anggota badan pimpinannya N. Lida, (4) 
Bagian Sandiwara dan Tari-Menari, dengan anggota badan pimpinannya K. 
Yasoeda, (5) Bagian Film dengan anggota badan pimpinannya Soichi Oja.
Dari beberapa pimpinan bangsa Jepang yang turut aktif dalam meng�gerakkan kegiatan kebudayaan saat itu, dapat disimak pikiran dan pendapat 
mereka tentang proses pengembangan kebudayaan Indonesia sebagai suatu 
bangsa baru yang terlepas dari penjajahan Barat. Ini antara lain terlihat dari 
tulisan Seichi Oja selaku Kepala Bagian Pusat Kebudayaan tersebut dalam 
menyambut pendirian Keimin Bunka Shidosho pada April 1943:
“Oesaha Poesat Keboedajaan memimpin keboedajaan oemoem jang 
m aksoednja oentoek m eninggikan deradjat pendoedoek, teroetam a 
bermaksoed oentoek memelihara kesenian klasik dan kesenian-kesenian 
asli Indonesia dan disampingnja badan itoe akan beroesaha poela menanam 
dan menyebarkan kesenian dan kebudajaan Nippon. Selain daripada itoe, 
dimaksoedkan joega oentoek mendidik dan melatih para ahli kesenian di 
segala lapangan, serta menghargai dan menghadiahi pekerjaan ahli-ahli 
kesenian jang oetama. Poen dioesahakan agar mereka dapat dioetoes ke 
Nippon….” (Majalah Djaw a Baru No. 3 Jakarta, 2603).
Demikian pula T. Kohno, pimpinan Bagian Lukisan dan Ukiran, dalam 
artikelnya Kesenian jang Hidoep dalam Pem bangoenan Masjarakat Baroe, 
berpendapat bahwa kesenian lukisan dan ukiran pada masa itu banyak ke�kurangannya akibat politik penjajahan Belanda dahulu. Dikatakannya bahwa 
pengaruh Barat sudah meresap masuk tidak begitu besar, karena dalam 
tekniknya belum meresap. Seni lukis atau ukir di Indonesia adalah kertas 
putih sebelum dipimpin oleh bangsa Belanda. Disarankan agar kesenian 
Indonesia membentuk dasar kesenian lukisan dan ukiran yang sehat dalam 
arti rohani yang didasarkan pada kesadaran adanya kesenian yang baru, 
paham dunia baru yang didasarkan susunan baru untuk dijadikan salah satu 
usaha pusat kebudayaan dengan mengharapkan tenaga praktik yang akan 
disumbangkan oleh ahli lukisan dan ahli ukiran Indonesia.
Pada waktu berikutnya, setiap jabatan pimpinan bagian di Keim in 
Bunka Shidosho, didampingi oleh pimpinan bangsa Indonesia. Pada waktu 
itu, persoalan yang dihadapi Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) 
yang berdiri sejak tahun 1938, adalah karena para anggotanya memerlukan �pendidikan yang teratur tentang seni dan karenanya mendapat wadah 
penyalurannya di Keim in Bunka Shidosho. Bagian Seni Rupa memandang 
pen tingnya melindungi karya-karya seni rupa dan karenanya dibentuklah 
Badan Pemeliharaan Seni Rupa. Tujuannya adalah memberi kesempatan ke�pada pemuda-pemuda untuk menceburkan diri ke dalam lapangan seni rupa 
dan untuk menyelidiki masalah seni rupa baru dan kuno dengan pimpinan 
para ahli lukis Jepang dan Indonesia. 
Nama-nama pimpinan Badan Pemeliharaan Seni Rupa tersebut ialah, (1) 
Pemimpin: Kohno– Ono-Yashioka– Yamamoto (keluaran Akademi Seni Rupa 
J epang), (2) Pemimpin: R.M. Soebanto Soerjosoebandrio, (3) Pembantu: 
Setioso (Ketua), Emiria Soensa (penulis), Soekirno-Moh. Saleh-Toetoer�Soerono-Salam-Sastradiwirja (Majalah Keboedjaan Tim oer No. 2, J akarta 
26 Desember 2603).
Kegiatan kesenian lembaga ini menunjukkan prestasi yang tinggi. Hal 
ini tebukti dari catatan-catatan pameran yang dilangsungkan sebanyak 14 
kali dalam 20 bulan. Untuk kota Jakarta saja, dari jumlah pameran lukisan 
yang diadakan dari September 1942 sampai dengan April 1944, dianggap 
sebagai suatu periode singkat yang penuh dengan semangat pencarian dan 
pendalaman kesenian, baik dalam bentuk maupun dalam isi. Semangat 
beraktivitas dalam lembaga kesenian yang demikian tinggi seperti itu belum 
pernah terjadi sebelumnya. 
Salah satu pameran seni lukis yang disertai oleh lebih kurang 60 
pelukis muda, diadakan pada waktu peringatan hari lahir Kaisar J epang 
(Tenno Heika: Tencho-Setsu) di gedung Pusat Kebudayaan di Noordwijk 
No. 39 Jakarta (Jepang: tahun 2603). Pada waktu itu, pemerintah Jepang 
sendiri ingin membeli 9 buah lukisan untuk diikutsertakan dalam pameran 
keliling di Asia Timur Raya. Sikap pemerintah Jepang yang demikian itu jelas 
menanamkan rasa kesetiakawanan yang oleh seniman-seniman Indonesia 
dirasakan sebagai dorongan kuat untuk bekerja dan mencipta. Pada pameran 
ini pula tercatat jumlah pengunjung tertinggi dari khalayak sampai mencapai 
11.000 orang dalam sepuluh hari. Berarti, tidak kurang dari 1.100 pengunjung 
setiap harinya.
Di atas telah disebutkan tentang berdirinya Putera (Pusat Tenaga 
Rakyat) yang didirikan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara 
dan K.H. Mas Mansyur. Pada tahun 1943, badan yang dipimpin oleh 
pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia itu juga mempunyai perhatian atas 
kegiatan-kegiatan di bidang kebudayaan, antara lain di bidang seni lukis. 
Pelukis-pelukis yang tergabung dan memperkuat barisan Putera di antaranya 
adalah Affandi dan Dullah. Sudah tentu dalam menjalankan tugas pertahanan 
negara melalui seni lukis, Putera lebih mendasarkan pada perjuangan yang 
bersifat nasionalistis. � Sedangkan Keim in Bunka Shidosho yang dipimpin oleh seniman-se�niman Jepang seperti Suseo Ono, Yamamoto, Yoshioka, dipimpin juga oleh 
seniman-seniman Indonesia secara bergantian, yaitu oleh S. Sudjojono dan 
R.M. Subanto Surjobandrio. Apabila Putera yang seluruh pimpinannya adalah 
orang Indonesia dan merupakan badan untuk pembinaan dan pengembangan 
para seniman muda bangsa Indonesia untuk menjadi seniman yang matang, 
maka Keim in Bunka Shidosho juga mempunyai peranan dalam memberikan 
dorongan semangat untuk percaya diri sebagai bangsa yang waktu itu ingin 
segera mencapai kemerdekaan bangsanya. Pada masa itulah para seniman 
Indonesia, baik di bidang seni lukis, seni sastra, seni musik, dan seni drama, 
me mulai kariernya.
Penutup 
Dari uraian sejak awal masa kolonial, masa Pergerakan Nasional, dan masa 
Jepang, atau keseluruhannya dari masa pra-kemerdekaan, didapat gambaran 
berbagai nama institusi yang berkaitan dengan kegiatan kebudayaan dan 
dinamikanya, sejalan dengan proses pertumbuhan dan perkembangannya. 
Dari uraian itu, tampak bahwa, terutama sejak abad ke-18 dengan berdirinya 
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, J avaansche 
Instituut, Bataviaasche Kunstkring, Permuseuman, Oudheidkundige Dienst, 
kongres-kongres kebudayaan dan lainnya, kelompok-kelompok masyarakat 
termasuk lingkungan keraton maupun pemerintah kolonial dari masa ke 
masa, telah mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan 
erat dengan kebudayaan. Lebih-lebih sejak masa Pergerakan Nasional, bukan 
hanya tumbuh dan berkembang kesadaran bangsa Indonesia di bidang 
politik untuk berbangsa dan bernegara, tetapi juga muncul kesadaran untuk 
memelihara, membina, dan mengembangkan kebudayaannya untuk memupuk 
jati dirinya di bidang kebudayaan. �