zarathustra 4

Tampilkan postingan dengan label zarathustra 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zarathustra 4. Tampilkan semua postingan

zarathustra 4


a ke si lemah yang berpikir bahwa mereka itu 

baik sebab  mereka memiliki cakar-cakar yang puntul!

Kau harus berjuang bagi kebajikan saka: lebih tinggi dia berdiri, lebih indah

dia menjadi, dan lebih anggun - namun  lebih keras di dalamnya dan  sanggup 

menopang lebih banyak beban.

Ya, kau manusia sublim, pada suatu waktu kau pula harus menjadi indah,

dan menggenggam cermin di hadapan keindahan kau.

Lalu jiwa kau bergetar dengan hasrat-hasrat mulia; dan akan ada pemujaan 

bahkan pada kekenesan kau! 

Ini adalah rahasianya jiwa kau: saat  sang pahlawan telah meninggalkan 

sang jiwa, maka di sana akan datang ke jiwanya dalam mimpi-mimpi – sang 

mahapahlawan.

Ini seruan Zarathustra.

  . Negeri Budaya

Terlalu jauh aku telah terbang, ke masa depan: horor mencengkeramku.

Dan saat  aku melihat ke sekelilingku, perhatikan! Disana sang waktu ia 

hanya sebayaku belaka.
Maka aku terbang kembali, menuju rumah – lebih cepat lagi. Lalu aku 

datang pada kau, kau para manusia masa kini, dan ke negeri budaya.

Untuk pertama kalinya aku membawa sebiji mata untuk melihat kau, dan 

hasrat-hasrat waras: sungguh, dengan penuh kerinduan di hatiku aku datang.

namun  bagaimana kejadiannya bagiku? Walau sangat ketakutan – aku harus

tertawa! Mataku tidak pernah melihat sesuatu yang sangat berwarna-warni! 

Aku tertawa dan tertawa, seraya kakiku tetap gemetaran, begitu pula hatiku. 

„Disini mustilah rumahnya segala kaleng-kaleng cat!‟ aku berkata.

Dicat dengan lima puluh tutul-tutul di wajah dan kaki - maka kau duduk di

sana mennakjubkanku, kau para manusia masa kini!

Dan dengan lima puluh cermin di sekeliling kau, kau menyanjung

permainan warna kau dan mengulang-ulanginya lagi!

Sungguh, kau tidak dapat memakai topeng yang lebih baik dibandingkan  wajah 

kau sendiri, kau para manusia masakini! Siapa yang dapat – mengenali kau!

Terselubung oleh tanda-tanda masa lampau dan tanda-tanda ini terpulaskan 

oleh tanda-tanda baru: maka kau menyembunyikan diri kau dengan baik dari 

segala penafsir tanda-tanda!

Walau pun ia adalah seorang penguji tali kekang, siapa yang masih percaya 

bahwa kau masih memiliki tali kekang! Kau dibuat dari aneka warna-warna yang 

dibakar dan potongan-potongan kertas yang direkat bersama!

Segala zaman-zaman dan segala rakyat-rakyat memandang kebingungan ke 

selubung-selubung kau; segala adat-adat dan segala kepercayaan-kepercayaan 

berkata kebingungan ke gerak-gerik kau.

Ia yang mengupas cadar-cadar, kau selubung-selubung kau dan cat dan 

gerak-gerik kau, yang tersisa darinya cukup untuk menakuti burung-burung

gagak.

Sungguh, aku sendiri adalah burung gagak yang takut itu yang saat  aku 

melihat kau telanjang tanpa cat; dan aku terbang jauh tatkala tengkorak bermain 

mata denganku aku.

Aku lebih senang untuk menjadi buruh sehari di mercupada, dan di tengah￾tengah bayang-bayang masa lampau! – Sungguh para penduduk mercupada lebih 

gemuk dibandingkan  kau!

Ini, ya, ini adalah rasa pahit ke perutku, bahwa aku bisa tahan kau telanjang 

atau berpakaian, kau para manusia masa kini!

Sesuatu yang tidak dikenal di masa depan, dan apa saja yang menakutkan 

burung-burung yang tersesat, sungguh lebih dikenal dan  lebih ramah dibandingkan  

„realitas‟ kau.

Maka kau berseru: „kami adalah para realis sepenuhnya, tanpa kepercayaan 

atau tahyul: maka kau mempersolek diri kau dengan bulu-bulu - duh! bahkan 

tanpa bulu-bulu pula!

Sungguh, bagaimana kau bisa mempercayai, kau para manusia warna￾warni! – kau adalah segala lukisan-lukisan yang dahulu pernah dipercaya!

Kau adalah bukti kesalahan yang berjalan, dari kepercayaan itu sendiri, dan 

pikiran-pikiran yang tercecer-cecer. Tidak bisa di percaya: ini apa yang aku 

namakan kau itu , kau para realis!

Segala masadepan-masadepan saling mengoceh bertentangan satu sama 

lainnya di dalam spirit kau; dan semua impian dan semua ocehan segala zaman￾zaman itu lebih nyata dibandingkan  kegugahan kau!
Kau tidak berbuah: maka kau tidak punya kepercayaan. namun  ia yang harus 

mencipta, selalu mempunyai ramalan mimpi dan bintang pertanda – dan percaya 

pada kepercayaan!

Kau adalah pintu-pintu setengah terbuka, di mana para penggali lubang 

kubur menunggu. Dan ini adalah realitas kau: „Segalanya patut punah‟.

Ah, bagaimana kau berdiri di depanku, kau para manusia yang tidak

berbuah, betapa kurus tulang iga kau! Dan, tentunya, banyak dari kau sudah tahu 

akan hal ini.

Dan mereka berkata: „Mungkin tuhan secara diam-diam telah mengambil 

sesuatu dariku saat  aku sedang tidur? Sungguh, cukup untuk membentuk

seorang perempuan mungil baginya!

„Mengagumkan sekali kemiskinan tulang-tulang igaku!‟ beginilah para 

manusia masa kini berkata.

Ya, kau adalah bahan tertawaan bagiku, kau para manusia masakini! Dan 

khususnya saat  kau terkagum-kagum pada diri kau sendiri!

Dan sengsaralah aku jika aku tidak dapat tertawa pada yang membuat kau 

terkagum-kagum dan harus menelan segala yang menjijikan dari dalam perut 

kau!

Namun, seperti apa adanya, aku mau membuat ringan kau, sejak aku punya

barang-barang berat untuk dipikul; dan perduli apa jika kumbang-kumbang dan 

capung-capung duduk di atas buntalan bebanku!

Sungguh, tidak akan menjadi lebih berat bagiku sebab  ini! Dan keletihan 

besar tidak akan datang padaku dari kau, kau para manusia masakini.

Duh, kemanakah aku musti mendaki sekarang bersama kerinduanku? Dari 

setiap gunung-gunung aku mencari tanah-tanah ibu-pertiwi dan tanah-tanah 

bapak-pertiwi.

namun  tidak di manapun aku menemukan rumah; aku tidak tentram di setiap 

kota, dan aku pergi dari setiap gerbang.

Asing bagiku dan barang cemoohan, para manusia masakini, pernah dahulu

hatiku pernah terdorong ke mereka; dan aku telah dibuang dari tanah-tanah ibu￾pertiwi dan tanah-tanah bapak-pertiwi. 

Maka sekarang aku hanya cinta tanah-tanah-anakku, yang belum pernah 

ditemukan di samudera terjauh: demi untuk itu aku mohon layarku untuk cari dan 

cari ini.

Bagi anak-anakku aku mau membuat perbaikan-perbaikan - sebab  telah 

menjadi anak-anak bapak-bapakku: dan juga bagi semua masa depan – sebab 

masa kini!

Ini seruan Zarathustra.

  . Persepsi Mulus

saat  sang rembulan timbul kemarin, aku pikir dia akan melahirkan sang 

matahari. sangat besar dan penuh dia terbentang di cakrawala.
namun  kehamilannya itu bohong; dan aku langsung percaya bahwa bulan itu 

laki-laki bukan perempuan.

Tentunya, dia tidak banyak kelelakiannya, dia pengelana malam yang 

penakut. Sungguh, dengan nurani buruk dia mengintai di atas atap-atap.

sebab  dia rakus dan pencemburu, rahib di bulan, rakus bagi dunia dan bagi 

segala sukacita para pecinta.

Tidak, aku tidak senang dia, kucing jantan di atas atap! Aku sangat 

membenci segala yang menyelinap jendela-jendela yang setengah tertutup!

Dengan penuh ketakwaan dan membisu dia berjalan sepanjang permadani￾permadani bintang: namun  aku tidak suka kaki-kaki pelangkah-lembut di mana 

bahkan tajinya pun tidak bergemerincingan.

Setiap langkah manusia jujur itu berseru lantang: namun, kucing mencuri di 

sepanjang geladak. Perhatikan! Seperti kucing sang bulan itu datang tanpa 

kejujuran.

Kias ini aku tujukan pada kau para munafik sendu, pada kau „pengetahuan

murni!‟ Aku namakan kau – rakus!

Kau juga mencintai dunia, dan keduniawian: aku telah terka kau dengan 

baik! – namun  rasa malu dan nurani buruk kau ada di dalam cinta kau - kau bak 

rembulan!

Spirit kau telah dibujuk untuk membenci keduniawian, namun  isi perut kau 

tidak: ini, namun, bagian yang terkuat dalam diri kau!

Dan sekarang spirit kau malu bahwa dia musti melayani kemauan isi perut

kau, lalu mengambil jalan-jalan pintas dan jalan-jalan penuh dusta untuk 

menghindari rasa malunya sendiri.

„Ini akan menjadi sesuatu yang tertinggi bagiku„ – maka berkata spirit kau 

yang pembohong itu pada kau – „untuk memandang ke kehidupan tanpa hasrat,

dan tidak seperti anjing, dengan lidah melet!

Bahagia dalam memandang: dengan kemauan yang mati, bebas dari 

cengkraman dan rakusnya egoisme – kelabu dan dingin sekujur badan, namun  

dengan kemabukan mata-rembulan!

Ini akan menjadi sesuatu yang berharga bagiku‟ – maka yang tergoda 

menggoda dirinya sendiri, - „untuk mencintai bumi seperti bulan mencintainya, 

menyentuh keindahannya hanya dengan mata belaka.

Dan inilah yang aku namakan persepsi mulus dari segalanya: untuk tidak 

menginginkan sesuatu apa pun dari mereka, namun  diizinkan untuk berbaring di 

hadapan mereka sebagai cermin dengan ratusan matanya.‟

Oh, kau para munafik sendu, kau para manusia tamak! Kau kurang polos 

dalam menghasrat: lalu kau sekarang memfitnah hasrat sebab  itu!

Sungguh, bukan seperti para pencipta, para prokreator, para manusia yang 

penuh rasa sukacita memasuki eksistensi baru, kau mencintai dunia ini!

Di manakah kepolosan itu? Di mana ada kemauan pada prokreasi. Dan ia 

yang mencipta melebihi dirinya, bagiku ia, memiliki kemauan yang termurni.

Di manakah keindahan itu? Di mana aku harus memaui dengan seluruh 

Kemauanku; di mana aku mau mencinta dan binasa, bahwa citra tidak akan 

menjadi citra belaka.

Mencinta dan binasa: ini telah tumbuh harmonis sejak abadi. Kemauan pada 

cinta: ini bermakna untuk siap mati, pula. Maka aku serukan ini pada kau, kau 

para pengecut!
namun  kerlingan lemah mata kau sekarang mau dinamakan „renungan!‟ 

Dan apa saja yang dapat disentuh oleh mata pengecut kau musti dibaptis „indah!‟

Oh, kau para pengotor nama-nama mulia!

namun  ini harus menjadi kutukan ke kau, kau para manusia mulus, kau dari 

pengetahuan murni, bahwa kau tidak pernah melahirkan, bahkan jika kau 

berbaring besar dan penuh di cakrawala!

Sungguh, kau memenuhi mulut kau dengan kata-kata mulia: lalu kita harus 

percaya bahwa hati kau berlimpahan pula, kau para pembiasa berdusta?

namun  kata-kataku adalah miskin, dibenci, kata-kata gagap: dengan senang

aku mengambil apa-apa yang jatuh dari meja makan perjamuan kau.

Walau demikian aku tetap bisa – berkata kebenaran pada para munafik! Ya, 

tulang-tulang ikan, kulit-kulit kerang, dan dedaunan berduri akan – menggelitiki 

hidung para munafik!

Udara buruk selalu ada di sekeliling kau dan di tengah-tengah perjamuan￾perjamuan kau: ketamakan pikiran-pikiran kau, dusta-dusta dan rahasia-rahasia 

kau benar-benar bertebaran di udara!

Hanya berani percaya pada diri kau sendiri – pada diri kau dan batin kau! Ia 

yang tidak percaya pada dirinya sendiri selalunya berdusta.

Kau memakai topeng tuhan, kau „orang murni‟: gelungan ular kau yang 

menakutkan itu merayap masuk ke dalam topeng tuhan. 

Sungguh, kau pembohong, kau „perenung‟! Bahkan Zarathustra dahulu 

pernah menjadi korban dari Tuhan eksterior kau: ia tidak menyangka itu diisi oleh 

gelung-gemelung ular-ular.

Ruh Tuhan, dahulu aku pikir demikian saat  aku melihat permainan kau, 

kau pengetahuan murni! Aku tidak pernah membayangkan seni yang lebih baik, 

selain seni kau! 

Ular-ular kotor dan bau busuk, dari kejauhan tidak kelihatan: seni kadal 

merayap mencari mangsa di sekeliling dengan penuh rasa tamak.

namun  aku mendekati kau: lalu fajar pagi mendatangiku, – dan sekarang 

mendatangi kau – kisah kasih percintaan rembulan pun berakhir sudah!

Lihatlah di sana! Pucat, terheran-heran ia berdiri – di hadapan fajar!

sebab  ia telah datang, sang pemancar sinar – cintanya pada dunia telah 

datang! Polos, dan berhasrat kreatif, itu adalah cintanya sang surya!

Lihat disana dia datang tidak sabaran di seberang samudera! Tidakkah kau 

merasai dahaganya dan  nafas panas cintanya?

Ia mau menghisap samudera, dan minum kedalaman-kedalamannya ke atas 

ketinggiannya: sekarang hasrat samudera menjulang tinggi dengan ribuan buah￾buah dada.

Ia mau dicium dan dihisap oleh dahaganya sang surya; ia mau menjadi 

udara, dan ketinggian, dan jalan cahaya, dan  cahaya itu sendiri!

Sungguh, laksana sang surya aku mencintai kehidupan, dan semua

samudera-samudera dalam.

Dan ini berarti ilmu pengetahuan bagiku: segala yang dalam harus naik -

ke ketinggianku!

Para Sekolar

saat  aku tidur rebahan, lalu seekor domba memakan rangkaian daun pasang￾pasang di atas kepalaku, – lalu berkata: „Zarathustra bukan lagi seorang sekolar.‟

Katanya dan pergi tegar dan angkuh. Seorang anak mengatakan ini padaku.

Aku senang rebahan di sini di mana banyak anak-anak bermain, di sisi 

reruntuhan dinding, di antara duri-duri dan kembang-kembang popi merah.

Bagi anak-anak aku tetaplah seorang sekolar, juga bagi duri-duri dan 

kembang-kembang popi merah. Mereka lugu, bahkan dalam kenakalannya.

namun  bagi domba aku bukan lagi seorang sekolar: maka takdirku memaui 

ini – berkahilah takdirku ini!

sebab  ini yang sebenarnya: aku telah meninggalkan gedung kesekolaran 

dan membanting pintunya pula.

Terlalu lama jiwaku duduk kelaparan di hadapan meja-meja mereka; tidak 

seperti mereka aku belum lagi punya kepandaian untuk menginvestigasi, seperti 

seorang yang membuka kulit kacang.

Aku cinta kebebasan, dan udara di atas tanah subur; aku malah senang tidur 

di atas kulit-kulit sapi dibandingkan  di atas martbat-martabat dan kehormatan￾kehormatan mereka.

Aku terlalu panas dan terbakar oleh pikiran-pikiranku: bahkan kerap 

mencoba mengambil napasku. Lalu aku harus pergi ke udara terbuka, jauh dari 

segala kamar-kamar berdebu.

namun  mereka duduk dingin ditudungi bayangan yang teduh: mereka mau 

menjadi penonton saja pada segalanya, dan mereka menghindar untuk duduk di

mana sang surya memanasi tangga-tangga.

Bagai mereka yang nongkrong di jalan menatap ke orang banyak berlalu￾lalang, maka mereka pun menunggu dan menatap ke pikiran-pikiran yang orang 

lainnya pikirkan.

Jika seseorang menginterupsi mereka, mereka secara spontan menaburkan 

debu bagai karung-karung terigu; namun  siapa bisa menerka bahwa debu mereka 

itu datang dari biji jagung, dan ladang-ladang musim panas yang mempesona?

saat  mereka menganggap diri mereka arif, lalu kata-kata mereka dan 

kebenaran picik mereka membuatku tertekan: dalam kebijaksanaan mereka selalu 

ada aroma yang seolah-olah datang dari dari rawa-rawa: dan sungguh, aku bahkan 

mendengar katak berkoak-koak dari dalamnya!

Mereka cerdik - mereka punya jejari cekatan: apalah kesederhanaanku

dibandingkan dengan keserbaragaman mereka? Jejari mereka mengerti untuk 

menyulam dan merajut dan  menenun: maka mereka menenun sarung-sarung

spirit!

Mereka jam-jam unggul: hanya berhati-hatilah memutar mereka! Maka 

mereka akan mengatakan waktu tanpa keliru, dan membuat suara bersahaja dalam 

melakukan ini semua.

Mereka bekerja seperti penggilingan dan alu: coba lempar biji jagung ke

dalam mereka! – mereka tahu bagaimana menggiling jagung menjadi kecil-kecil

dan membuat serbuk putih darinya.

Mereka saling memata-matai ke atas satu sama lainnya, saling tidak percaya 

ke satu sama lainnya, dengan segenap kekuatanya. Panjang akal akan kecerdikan-
kecerdikan kecil, mereka mengintai mereka yang ilmu pengetahuannya berjalan di

atas kaki-kaki timpang – mereka mengintai bagai laba-laba.

Aku selalu melihat betapa berhati-hatinya mereka menyiapkan racun-racun 

mereka; mereka selalu memakai sarung tangan pelindung.

Mereka tahu pula bagaimana untuk bermain dengan dadu tipuan; dan aku 

mendapatkan mereka bermain dengan sangat giatnya, mereka berpeluhan.

Kita asing kesatu sama lainya, dan kebajikan-kebajikan mereka bahkan 

lebih menjijikan ke seleraku dibandingkan  kepalsuan mereka dan dadu tipuan mereka.

Dan saat  aku hidup di antara mereka, aku hidup di atas mereka. Lalu 

mereka membenciku sebab  ini.

Mereka tidak mau tahu bahwa ada seseorang berjalan di atas kepala mereka; 

lalu mereka meletakan kayu dan kotoran dan sampah di antara kepala mereka dan 

aku.

Lalu mereka memudarkan suara langkah-langkah kakiku: dan semenjak itu 

orang yang mendengarkanku dengan buruknya adalah mereka orang yang sangat 

terpelajar.

Mereka letakan semua kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan 

manusia di antara mereka dan aku – mereka menamakan ini – „langit-langit palsu‟ 

di rumah-rumah mereka.

Namun demikian aku berjalan bersama dengan pikiran-pikiranku di atas

kepala-kepala mereka; bahkan jika aku musti berjalan di atas kesalahan￾kesalahanku, aku masih tetap di atas mereka dan kepala-kepala mereka.

sebab  manusia itu tidak sama: maka berseru keadilan. Dan apa yang aku 

ingini mungkin mereka tidak ingini!

Ini seruan Zarathustra.

  . Para Pujangga

„Sejak aku mengerti tentang badan dengan lebih baik,„ ujar Zarathustra ke salah 

satu penganutnya, „spirit telah telah menjadi simbul belaka bagiku; dan segala 

yang “kekal” – ini pun hanya sekedar “citra” belaka.‟

„Aku pernah mendengar kau berkata seperti ini sekala lalu,„ jawab para 

penganutnya; „lalu kau menambahkan: “Para pujangga terlalu banyak berbohong.”

Mengapa kau berkata bahwa para pujangga terlalu banyak berbohong?‟

„Mengapa?‟ kata Zarathustra. „Kau bertanya mengapa? Aku bukan salah 

satu dari mereka yang mungkin dapat ditanyakan mengenai Mengapanya mereka.

Apa pengalaman-pengalamanku baru bermula kemarin? Sudah sebegitu 

lamanya aku mengalami opini-opini akal budiku..

Tidak semustinyakah aku menjadi tong ingatan, jika aku ingin membawa

akal budiku, bersamaku?

Ini sudah sangat merepotkanku, lebih-lebih untuk menyimpan sebegitu 

banyaknya opini-opiniku; dan banyak burung terbang jauh.

Kadang-kadang aku mendapatkan seekor burung pelarian, yang tidak aku 

kenal, di sangkar burungku, gemetaran saat  aku belai dia.
Namun apa yang telah Zarathustra katakan sekala lalu pada kau? Bahwa 

para pujangga terlalu banyak berbohong? – namun  Zarathustra adalah seorang 

pujangga pula.

Percayakah kau bahwa Zarathusra berkata kebenaran? Mengapa kau 

mempercayainya?‟

Sang penganut menjawab: „Aku percaya pada Zarathustra.‟ namun  

Zarathustra menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

Kepercayaan tidak membuatku suci, katanya, apa lagi percaya pada diriku

sendiri.

Jika seandainya benar bahwa seseorang dengan segala keseriusannya

berkata bahwa para pujangga itu banyak berbohong: ia beenar – memang kita

terlalu banyak berbohong.

Kita juga hanya tahu sangat sedikit, dan murid-murid yang buruk: maka kita 

wajib berbohong.

Dan siapa di antara kita para pujangga yang tidak mencampuri air

anggurnya? Banyak bauran racun telah dihasilkan di cellar-cellar kita, banyak 

sesuatu yang tidak bisa diungkapkan telah dibuat di sana.

sebab  kita hanya tahu sedikit, maka si miskin spirit pun menyenangkan

hati kita, khususnya saat  ada para perempuan muda!

Bahkan sesuatu yang kita sangat hasrati, yang dibicarakan oleh para 

perempuan tua satu sama lainnya di malam hari. Kita namakan ini kefemininan 

abadi dalam diri kita.

Seolah-olah di sana ada akses tersembunyi ke ilmu pengetahuan yang 

menghambat mereka yang belajar sesuatu, lalu kita percaya pada rakyat dan pada 

„kebijaksanaan‟ mereka.

Namun inilah dipercayai oleh semua para pujangga: barang siapa berbaring 

di rerumputan atau punjung-punjung sunyi, dan memasang telinga-telinganya

lebar-lebar, dapat menangkap sesuatu yang ada di antara surga dan dunia.

Dan jika mereka mengalami emosi-emosi halus, lalu para pujangga selalu 

mengira bahwa alam ini sendiri jatuh cinta pada mereka: 

Bahwa alam itu sendiri merangkak diam-diam ke dalam telinga mereka, 

untuk membisikan rahasia-rahasia, dan tutur kata rayuan: akan ini mereka 

bersolek diri, dan menyombongkan diri mereka di hadapan umat manusia!

Duh, ada sangat banyak sesuatu di antara surga dan dunia yang hanya para 

pujangga saja yang telah memimpikannya!

Khususnya diatas surga: sebab  segala tuhan-tuhan itu adalah simbul￾simbulnya para pujangga, akal bulusnya para pujangga!

Sungguh, ini menarik kita ke atas selamanya – ini adalah, ke dunia awan

mega: diatasnya kita sediakan boneka-boneka beraneka warna, lalu menamakan 

mereka tuhan-tuhan dan superman-superman.

Tidakkah mereka itu cukup ringan bagi kursi-kursi rapuh ini? – semua

tuhan-tuhan dan superman-superman ini?

Duh, alangkah letihnya aku akan segala yang tidak memadai ini yang 

memaksa untuk dianggap sebagai realitas. Duh, alangkah letihnya aku akan para 

pujangga!

saat  Zarathustra berseru demikian, para penganutnya marah padanya, 

namun  diam membisu. Dan Zarathustra, pun, diam membisu; matanya ditujukan 
pada dirinya sendiri, bagai jika ia memandang ke kejauhan. Beberapa lamanya ia 

mengesah dan menarik nafas.

Aku adalah kala ini dan sedia kala, lalu ia berkata; namun  ada sesuatu di

dalam diriku yang esok dan esok lusa dan yang musti menjadi.

Aku menjadi letih akan para pujangga, tua dan muda: bagiku mereka 

semuanya picik seperti samudera-samudera dangkal lagi cetek.

Mereka tidak berpikir cukup dalam: maka perasaan mereka pun – belum 

mencapai dasar kedalaman-kedalaman.

Sedikit menggiurkan, sedikit membosankan: hingga kini ini adalah segala 

ide-ide terbaiknya mereka.

Segala petikan harpa mereka bagiku bagai desiran-desiran dan hembusan￾hembusan hantu; apa yang mereka tahu tentang semerbak nada-nada!

Mereka tidak cukup bersih bagiku: mereka mengacaukan air mereka supaya 

mereka tampak dalam.

Meraka senang untuk disebut sebagai para pencipta kerukunan: namun  

bagiku mereka adalah kaum mediator dan pencampur tangan, plin-plan dan tidak 

murni!

Ah, aku lemparkan jalaku ke samudera mereka, bermaksud untuk 

menangkap ikan baik; namun  aku selalu mendapatkan, sebuah kepala Tuhan 

purba.

Lalu sang samudera memberikan sebuah batu ke para manusia lapar. Dan 

mereka sendiri pun mungkin berasal dari samudera.

Mustinya, seseorang menemukan mutiara-mutiara di dalam diri mereka: lalu 

mereka sendiri itu pun lebih menyerupai kerang keras. Bukannya jiwa yang selalu 

aku dapatkan, namun  kerap kali lumpur amis.

Mereka telah belajar kecongkakan, pula, dari sang samudera: bukankah sang 

samudera itu merak dari segala merak-merak?

Dia beberkan ekornya bahkan di hadapan banteng-banteng terburuk, dia 

tidak pernah letih akan renda-renda kipasnya dari perak dan sutra.

Bahkan di hadapan yang terjelak pun seekor banteng menegakan ekornya: 

dia tidak pernah letih akan kipas rendanya dari perak dan sutra.

Penuh penghinaan tatapannya banteng itu, jiwanya mirip dengan tanah, 

lebih mirip dengan semak-semak, paling mirip dengan rawa-rawa. 

Apa arti keindahan dan samudera dan kesemarakan burung merak itu 

baginya? Aku serukan kiasan ini ke para pujangga.

Sungguh, spirit mereka sendiri adalah merak dari segala merak-merak, dan 

samudera kesombongan!

Para penonton menginginkan spiritnya para pujangga, walau pun mereka

hanyalah banteng-banteng belaka!

namun  aku letih akan spirit ini: dan aku melihat waktunya telah tiba saat  

ia tumbuh letih akan dirinya sendiri.

Ya, aku melihat para pujangga ini berubah; dan tatapan mereka mengarah 

ke diri mereka sendiri.

Aku melihat para spirit taubat bermunculan: mereka tumbuh dari para 

pujangga.
Even-even Megah

Di sana ada sebuah pulau di tengah samudera – tidak jauh dari Kepulauan 

Bahagianya Zarathustra – gunung berapi selalu berasap di puncaknya; di pulau itu 

rakyat banyak, khususnya perempuan tua di sekitar mereka berkata, bahwa 

gunung itu diletakan serupa batu karang di depan pintu gerbang mercupada, namun  

melalui kawah itu sendiri ada jalan sempit kebawah menuju ke pintu gerbang itu.

Nah, saat  Zarathustra berdiam di Kepulauan Bahagia, telah terjadi bahwa 

kapal menaruh jangkarnya di pulau ini di mana gunung berasap itu berada; dan 

para awaknya mendarat untuk berburu kelinci. Menjelang tengah hari, namun, 

saat  nakhoda dan awaknya berkumpul kembali, mereka sekonyong-konyong 

melihat seorang datang ke arah mereka melalui udara, dan kumandang suaranya

berkata jelas: „Ini saatnya!‟ Ini saat yang tepat!‟ namun  saat  sosok ini dekat 

dengan mereka (namun, dia terbang cepat meliwati, serupa bayangan, ke arah 

gunung merapi), lalu mereka mengenalinya dengan rasa resah besar, bahwa itu 

adalah Zarathustra; sebab  mereka semua pernah melihatnya sebelumnya, kecuali 

sang nakhoda kapal itu sendiri, dan mereka mencintainya bagai rakyat mencinta: 

yaitu, dengan rasa cinta dan rasa takut yang sepadan.

„Perhatikan!‟ berkata juru-mudi tua, „itu Zarathustra pergi ke Neraka!‟

Hampir bersamaan dengan waktunya para pelaut itu mendarat di atas pulau 

merapi, berita angin bertebaran bahwa Zarathustra menghilang; dan saat  para 

temannya ditanyakan tentang hal ini, mereka menjawab ia telah berlayar malam 

hari tanpa mengatakan tujuan kepergiannya.

Maka timbul rasa gelisah; sesudah tiga hari, namun, kegelisahan ini 

bertambah lagi sebab  cerita para pelaut ini – lalu rakyat berkata bahwa Setan

telah menculik Zarathustra. Tentu saja, para penganutnya tertawa akan berita ini; 

dan salah satu dari mereka bahkan berkata: „Aku malah percaya bahwa 

Zarathustra yang menculik Setan itu.‟ namun  dalam dasar jiwa mereka. mereka 

penuh rasa takut dan  rindu: sangat besar sukacita mereka saat , di hari kelima, 

Zarathustra muncul di tengah-tengah mereka.

Dan ini adalah dongeng akan percakapan Zarathustra dengan anjing-api:

Bumi ini, katanya, punya kulit; dan kulit ini punya banyak penyakit. Salah 

satu dari penyakit-penyakit ini, contohnya. di namakan „Manusia‟.

Dan penyakit lainnya dinamakan „anjing-api‟: mengenai manusia, manusia 

itu banyak membohongi dirinya sendiri, lalu biarkan mereka dibohongi.

Untuk mengetahui rahasia ini aku berlayar menyeberangi samudera: dan aku 

telah melihat kebenaran itu telanjang, sungguh! Telanjang dari ujung kaki hingga 

ujung rambut.

Sekarang aku tahu segalanya tentang anjing-api; juga tentang setan

pemuntah dan setan bawah tanah, yang tidak saja ditakuti oleh semua perempuan 

tua itu.

„Keluar kau, anjing-api, keluar dari kedalaman kau!‟ teriakku, „dan akui 

betapa dalamnya kedalaman itu! Dari mana datangnya, apa yang kau denguskan?
Kau minum dari samudera dengan lahapnya: kefasihan lidah kau yang 

berbicara pahit memperlihatkan ini! Sungguh, bagi seekor anjing dari kedalaman￾kedalaman kau mengambil makanan kau terlalu banyak dari permukaan!

Lebih baik, aku anggap kau sebagai ventrilikuisnya bumi: dan saat  aku 

mendengar para setan bawah tanah dan para setan pemuntah itu berbicara, aku 

selalu temui mereka serupa kau: pahit, pembohong, dan dangkal.

Kau mengerti bagaimana untuk melengking dan menggelapkan udara 

dengan abu! Kau adalah pembual terbesar, dan telah cukup banyak belajar seni 

untuk membuat buih mendidih.

Dimana ada kau di sana musti ada buih di sekitar, dan banyak yang lembik, 

dangkal, dan mengental: mau merdeka.

”Merdeka”, kau semua sangat ingin untuk melengkingkan ini: namun  aku 

telah meninggalkan kepercayaanku pada “even-even megah,” bilamana ada 

banyak lengkingan dan asap di sekitar mereka.

Dan percayalah padaku, rekan berisik! Even-even megah itu, bukanlah 

suara-suara ribut kita namun  saat terhening kita.

Dunia tidak berputar mengelilingi para pencipta suara ribut baru, namun  

mengelilingi para pencipta nilai-nilai baru; berputar tanpasuara.

„Dan akuilah! Selalu hanya ada sedikit perubahan yang terjadi saat  suara 

ribut dan asap kau itu berlalu. Apa arti, sebuah kota dimumikan dan patung 

digulingkan ke lumpur!

Dan aku serukan ini pada para pengguling patung-patung: Ini adalah satu 

kebodohan untuk membuang garam ke samudera, dan membuang patung ke 

lumpur.

Di lumpur kebencian kau, patung itu tergolek: namun  ini adalah tepatnya 

hukumnya, bahwa hidupnya dan  keindahannya tumbuh kembali dari kebencian 

kau!

Dengan bentuk-bentuk yang lebih indah dia sekarang bangkit kembali; 

merayu dengan penderitaannya; dan sungguh! dia mau berterimakasih pada kau 

atas penggulingan ini, kau para pengguling!

Namun, aku tawarkan, nasihat ini pada raja-raja dan gereja-gereja dan ke 

segala yang lemah sebab  umur atau kebajikan – biar diri kau digulingkan! Agar

kau dapat kembali lagi ke kehidupan, dan kebajikan itu – semoga dapat kembali 

lagi kepada kau!‟

Maka aku berseru di hadapan anjing-api: lalu dia menyelangku muram dan 

bertanya: „Gereja? Apa sih itu?‟

„Gereja? jawabku „adalah serupa negara, dan nyatanya adalah yang 

mahapembohong. namun  diam-diamlah, kau anjing munafik! Kau tentu tahu betul 

macamnya kau!

Serupa kau, negara adalah anjing munafik; serupa kau suka berseru dengan 

asap dan lengkingan - agar dipercaya, serupa kau, ia berbicara dari dalam hati

segala sesuatu.

sebab  negara ingin untuk menjadi mahluk terpenting di dunia; dan rakyat

mengira demikian!‟

saat  aku berseru seperti ini, si anjing-api bertingkah seolah-olah dia gila 

sebab  dengki. „Apa?‟ teriaknya, „mahluk terpenting di dunia? Dan rakyat 

mengira demikian?‟ Dan banyak uap dan jeritan yang mengerikan keluar dari 

tenggorokannya, aku kira dia akan tercekik oleh rasa jengkel dan dengki
Akhirnya dia menjadi tenang dan engahannya pun berhenti; namun setelah 

dia tenang, aku tertawa berkata;

„Kau marah, anjing-api: maka aku benar mengenai kau! 

Untuk membuktikan bahwa aku benar, dengarkanlah cerita dongeng tentang 

anjing-api lainnya, dia benar-benar berbicara dari dalam hati dunia.

Buangan nafasnya adalah emas, dan hujan emas: begitulah hasrat hatinya 

memaui ini. Apa itu abu dan asap dan buih panas baginya sekarang!

Tawa berkumandang darinya serupa aneka warna-warna mega; dia tidak 

senang pada cegukan dan muntahan dan kejangan isi perut kau!

Emas dan tawa, namun, dia ambil dari dalam hati dunia: sebab , agar kau 

tahu ini – hati dunia adalah emas.’

saat  si anjing-api mendengar ini, dia tidak sanggup lagi mendengarkanku. 

Bingung, dia menarik buntutnya, menyalak, „Gong-gong‟! dengan suara 

ketakutan, dan merangkak ke dalam guhanya.

Begitulah dongengnya Zarathustra. namun  para penganutnya hampir tidak 

mendengarkannya, sangat besar hasrat mereka untuk berbicara mengenai para 

pelaut, kelinci-kelinci dan manusia terbang.

„Apa yang aku pikirkan tentang itu?‟ kata Zarathustra. „Apakah aku ini 

memang hantu?

namun  itu mungkin bayanganku. Tentu kau pernah mendengar sesuatu 

tentang sang Pengembara dan Bayangannya?

Namun, aku harus berjanji: aku musti atur ketat dia – jika tidak hantu ini 

akan merusakan reputasiku.‟

Dan sekali lagi Zarathustra menggelengkan kepalanya dan heran. „Apa yang 

aku pikirkan tentang ini?‟ katanya sekali lagi.

„Menghapa, lalu, hantu itu berteriak: „Ini saatnya! Ini saat yang tepat?”

Untuk apa, lalu – saat yang tepat itu?‟

Ini seruan Zarathustra.

  . Sang junjungan 

„Dan aku melihat kesedihan besar datang menimpa manusia. Sang manusia akhbar

menjadi letih akan karya-karya mereka.

Satu ajaran melangkah ke muka, satu kepercayaan lari di sisinya: Segalanya 

adalah hampa, segalanya adalah satu, segalanya adalah masa lalu!‟

Dan dari setiap bukit bergema: segalanya adalah hampa, sega lanya adalah 

satu, segalanya adalah masalalu!

Tentunya,Kita telah memaneni: namun  mengapa semua buah-buahan kita 

membusuk dan kelabu? Apa yang telah jatuh dari bulan jahat kemarin malam?

Semua karya-karya kita sia-sia, air anggur kita menjadi racun, pandangan

jahat telah menghanguskan ladang-ladang dan  hati kita.

Kita semua telah menjadi kering; dan jika api jatuh ke atas kita, lalu kita 

berubah menjadi debu – ya, kita telah membuat api itu sendiri letih.
Semua sumur-sumur kita telah mengering, bahkan samudera pun surut. 

Bumi mau membelah, namun  sang kedalaman-kedalaman tidak mau menelan!

„Duh, dimanakah sang samudera yangmana seseorang bisa tenggelam?

maka ratapan kita menggema – di seberang rawa-rawa dangkal.

Sungguh, kita sangat letih bahkan untuk mati; sekarang kita tetap gugah dan 

terus hidup – dalam lubang-lubang kubur!‟

Maka Zarathustra mendengarkan sang junjungan  itu berbicara; dan ramalan ini 

masuk ke dalam hati Zarathustra dan ini merubahnya. Ia hidup penuh dengan 

kesedihan, dan letih; dan telah menjadi seperti mereka yang sang junjungan  telah 

katakan.

„Sungguh,‟ katanya pada para penganutnya, „senja yang panjang telah 

tiba. Duh, bagaimana aku bisa melindungi cahayaku melalui ini?

Semoga cahayaku tidak tercekik dalam kesedihan ini! Bagi dunia masa 

depan dia harus menjadi cahaya, dan juga bagi malam-malam terjauh!

Lalu beginilah kehidupan Zarathustra, selalu meratap dan bersedih dalam 

hatinya; dan selama tiga hari ia tidak makan maupun minum, tidak istirahat dan 

lupa akan seruan-seruannya. Beberapa lamanya ini terjadi lalu ia pingsan tertidur.

namun  para penganutnya duduk di sekeliling berjaga-jaga di malam hari, gelisah 

menunggu untuk melihat jika ia bisa bangun kembali, dan berseru lagi dan 

sembuh dari nestapanya.

Dan ini adalah seruan yang Zarathustra serukan saat  ia bangun; suaranya, 

namun, datang ke para penganutnya bagai datang dari jauh:

Mohon, dengarkanlah mimpiku yang aku mimpikan, para temanku, dan 

tolonglah aku untuk menerka maknanya!

Ini tetap saja sebagai teka-teki bagiku; mimpi ini; maknanya tersembunyi di

dalamnya, dan terpenjara, dan belum lagi terbang dengan sayap-sayap bebas.

Aku telah menafikan kehidupan, begitulah mimpiku. Aku telah menjadi 

seorang penjaga-malam, dan penjaga kubur, nun jauh di sana di atas bukit benteng 

sunyi Kematian.

Di sanalah aku menjaga peti-peti mati: berdiri dengan kokoh kubah berbau 

apek penuh dengan piala-piala kejayaan kematian. Dari dalam peti-peti mati kaca,

kehidupan yang sudah mati itu menatapku.

Aku menghirup aroma keabadian-keabadian yang tertutup debu: jiwaku 

kegerahan dan tertutup debu. Dan siapa yang telah mengangin-anginkan jiwanya 

ke sana?

Cahaya tengah malam selalu ada di sekitarku, sang kesunyian merangkak 

diam-diam di sisinya; dan, yang ketiga, suara parau heningnya kematian, para 

rekan terburukku.

Aku bawa kunci-kunci, kunci yang paling berkarat dari segala kunci-kunci; 

dan aku tahu cara untuk membuka pintu-pintu yang sangat keriutan, dengan 

kunci-kunci ini.

Seperti suara teriakan amarah yang berkeroak melalui sepanjang serambi, 

daun-daun pintu itu terbuka: burung ini berteriak meradang, dia tidak mau 

dibangunkan.
namun  bahkan lebih menakutkan lagi dan lebih menegangkan hati saat  ini 

kembali membisu dan senyap di sekitar, dan aku duduk sendiri di kesenyapan

culas.

Maka sang waktu berlalu dan menyelinap meliwatiku, jika sang waktu 

masih eksis: apa sih yang aku tahu tentang dia! namun  akhirnya terjadi sesuatu 

yang membangunkanku.

Tiga kali pintu itu diketuk menggelegar seperti geledek, tiga kali kubah itu

bergema dan melolong: lalu aku pergi mendekati pintu.

Alpha! teriakku, siapa yang membawa abunya ke gunung-gunung? Alpha! 

Alpha! Siapa yang membawa abunya ke gunung-gunung?

Dan aku putar kuncinya, menarik pintu, dengan seluruh tenagaku. namun  

tidak terbuka walau selebar jari:

Lalu suara lengkingan angin bengis meremuk-belahkan pintu berkeping￾keping: berdesing, melengking dan mentulikan, dia melemparkan sebuah peti 

mati hitam kepadaku:

Dan dalam lolongan dan desingan dan  lengkingan ini, peti mati itu pecah 

terbelah, dan memuntahkan ribuan kumandang tawa.

Dan ribuan topeng anak-anak, bidadari-bidadari, burung hantu, badud￾badud dan kupu-kupu sebesar anak tertawa mengejek dan melolong padaku.

Ini sangat menakutkanku: ini melelahkanku. Dan aku menjerit ketakutn, 

belum pernah aku menjerit seperti ini sebelumnya.

namun  jeritanku ini membangunkanku – lalu aku sadar.

Maka Zarathustra mendongengkan mimpinya lalu terdiam: sebab  ia tidak tahu 

akan tafsir mimpinya. namun  penganutnya yang ia sangat cintai bangkit dengan 

segera, menggenggam lengan Zarathustra, dan berkata:

„Kehidupan kau sendirilah yang menafsirkan mimpi itu pada kita, O 

Zarathustra!

Bukankah kau sendiri itu adalah angin yang berdesing melolong 

menghancur-bukakan pintu-pintu benteng Kematian?

Bukankah kau sendiri itu adalah peti mati yang penuh dengan aneka warna 

kedengkian dan topeng-topeng bidadari kehidupan?

Sungguh, serupa ribuan kumandang tawa anak-anak, Zarathustra datang 

kesemua lubang-lubang kubur, tertawa pada para penjaga-malam, dan pada para 

penjaga-kubur, dan pada siapa saja yang menderakan kunci-kunci muram.

Dengan gelak tawa kau, kau akan menakuti dan mengalahkan mereka : 

pingsan dan bangun kembali ingin memperlihatkan kekuatan kau ke atas mereka.

Bahkan saat  senja yang panjang itu tiba dan keletihan manusia itu datang, 

kau tidak mau meninggalkan cakrawala kami, kau sang penasihat kehidupan!

Kau telah memperlihatkan pada kami bintang-bintang dan kejayaan￾kejayaan barunya malam; sungguh, kau telah membeberkan tawa ke sekeliling 

kami laksana aneka warna langit.

Selanjutnya akan selalu ada tawa anak-anak yang keluar dari peti-peti mati; 

selanjutnya akan selalu ada angin-angin kuat yang datang dan berjaya, kesegala 

keletihan umat manusia: oleh sebab  itu kau sendirilah penjamin kami dan junjungan  

kami!
Sungguh, merekalah yang kau mimpikan itu, musuh-musuh kau: mimpi 

yang sangat melumpuhkan.

namun  saat  kau sadar dan siuman, lalu mereka pun sadar dari diri mereka 

sendiri - lalu datang pada kau!‟

Ini seruan penganutnya; lalu semuanya mengerumuni Zarathustra, dan 

menggenggam lengannya, mencoba membujuknya untuk meninggalkan 

ranjangnya dan kesedihannya, kembali pada mereka. Namun, Zarathustra duduk 

tegap di atas ranjangnya dengan ekspresi kosong. Serupa seseorang yang baru 

balik kampung sehabis lama di tanah asing, ia melihat ke para penganutnya, dan 

meneliti muka mereka; namun ia tetap tidak mengenali mereka. saat  mereka 

mengangkatnya dan memberdirikannya di atas kakinya, perhatikan, matanya tiba￾tiba berubah; ia mengerti akan segala yang telah terjadi, mengusap janggutnya, 

lalu berseru dengan suara lantang:

„Ayo! Memang semuanya itu ada waktunya; namun  periksa pula, para 

penganutku, bahwa kita punya makanan baik, cepat jangan ditunda-tunda! Aku 

bermaksud untuk menebus mimpi-mimpi buruk itu!

Sang junjungan , namun, harus makan dan minum di sampingku: dan sungguh, 

aku lalu akan memperlihatkan padanya samudera di mana ia bisa tenggelam!‟

Ini seruan Zarathustra. Lalu, ia memandang lama ke wajah penganutnya 

yang telah menafsirkan mimpinya, dan menggelengkan kepalanya.

  . Penebusan

saat  Zarathustra sedang menyeberangi jembatan megah di suatu waktu, lalu 

para manusia timpang dan para pengemis mengelilinginya, dan seorang bungkuk 

berkata padanya demikian:

„Perhatikan, Zarathustra! Bahkan rakyat pun belajar dari kau, dan 

mendapatkan kepercayaan dari ajaran kau: namun  bagi rakyat untuk mempercayai 

kau sepenuhnya, satu lagi masih dibutuhkan – kau pertamanya harus meyakinkan 

kami bahkan para manusia cacat! Di sini sekarang kau punya pilihan baik, dan 

sungguh, satu kesempatan yang tidak dapat diliwatkan! Kau bisa menyembuhkan 

orang buta, dan membuat orang lumpuh berjalan; dan dari ia yang punya 

berlebihan kau bisa ambil sedikit, pula, - ini aku pikir, adalah cara yang benar

untuk membuat orang-orang cacat percaya pada Zarathustra!‟

namun  Zarathustra menjawab demikian padanya yang telah berkata itu:

Jika seseorang mengambil bongkolnya si bungkuk, lalu ia akan mengambil 

darinya spiritnya – ini adalah yang rakyat ajarkan. Dan jika seseorang memberi 

mata pada orang buta, lalu ia akan banyak melihat keburukan di dunia: ia akan 

mengutuk ia yang menyembuhkannya. namun  ia yang membuat orang lumpuh 

berjalan, ini mengakibatkan rugi besar: sebab  baru saja ia bisa jalan, 

kejahatannya lari bersamanya – ini adalah apa yang rakyat ajarkan tentang para 
manusia cacat. Dan mengapa Zarathustra tidak belajar dari rakyat pula, saat  

rakyat juga belajar dari Zarathustra?

namun  ini adalah hal kecil bagiku, sejak aku tingal bersama para manusia, 

untuk melihat orang ini tidak punya mata, dan yang lainnya tidak punya kuping,

dan yang ketiga tidak punya kaki, yang tidak punya lidah, atau hidung, atau 

kepala.

Aku melihat dan pernah melihat sesuatu yang lebih buruk lagi, dan banyak 

dari mereka sangatlah menyeramkan, aku tidak mau menyerukan semua ini, tidak 

pula akan membisu terhadap sebagian darinya; yaitu, para manusia yang 

kekurangan segalanya kecuali satu, yangmana mereka punya berlebihan – para 

manusia yang tidak lebih dari sebiji mata besar, atau mulut besar, atau perut besar,

atau sesuatu yang besar lainnya – aku menamakan para manusia demikian ini para 

inversi manusia cacat.

Dan saat  aku muncul dari tempat penyendirianku, dan menyeberang 

jembatan ini untuk pertama kalinya, aku tidak percaya pada mataku sendiri, dan 

meihat dan melihat lagi dan  bertanya akhirnya: „Itu adalah telinga‟! Sebuah

telinga sebesar manusia!‟ Aku melihat lebih teliti lagi, dan nyatanya di bawah 

telinga itu bergerak sesuatu yang sangat menyedihkan kecilnya, kurus dan 

kerempeng. Dan sebenarnya, si telinga raksasa ini bertengger di atas tangkai kecil, 

tangkai tipis – tangkai ini, namun, seorang manusia! Seseorang dengan kaca 

pembesar, bahkan bisa melihat muka kecil ini penuh dengan dengki; dan juga

gelembung jiwa kecil yang teruntai di tangkainya. Namun, rakyat mengatakan 

padaku, bahwa telinga besar ini bukan manusia biasa, namun  manusia agung, 

seorang jenius. namun  aku tidak pernah mempercayai rakyat saat  mereka 

berbicara tentang para manusia agung – dan aku tetap yakin akan kepercayaanku 

bahwa ini adalah inversi manusia cacat, ia yang punya sangat sedikit akan 

segalanya, dan punya terlalu banyak akan satu.

saat  Zarathustra berseru demikian pada si bungkuk, dan pada ia yang 

dianggap mulut dan penasehat mereka, lalu ia menoleh ke para penganutnya 

dengan sangat marahnya, dan berkata:

Sungguh, para temanku, aku berjalan di antara para manusia bagai di antara 

penggalan-penggalan dan anggota-anggota badan manusia!

Inilah yang menakutkan mataku, bahwa aku telah menemukan para 

manusia terpecah terpenggal-penggal, dan bertebaran di sana-sini, seolah-olah di 

medan perang dan dipejagalan.

Dan saat  mataku lari meninggalkan masakini dan pergi ke masalalu, dia 

selalu menemui sesuatu yang serupa: penggalan-penggalan dan anggota-anggota

badan, dan  keberuntungan-keberuntungan mengerikan – namun  bukan manusia!

Masa kini dan masalalu di dunia ini – duh! Para temanku – ini adalah 

bebanku yang sangat tidak bisa aku pikul; dan aku tidak akan bisa hidup, 

seandainya aku bukanlah seorang resi peramal akan masadepan yang bakal 

terjadi.

Sang resi, sang pemau, sang pencipta, sang masa depan itu sendiri, dan 

jembatan ke masa depan ini – dan duh, serupa orang cacat di atas jembatan ini: 

Zarathustra adalah semua ini
Dan bahkan kau sering bertanya pada diri kau:: „Siapakah Zarathustra itu 

bagi kita? Apa yang musti kita namakan ia? Dan, serupaku, kau menjawab 

pertanyaan-pertanyaan kau dengan pertanyaan-pertanyaan pula.

Apahkah ia seorang pembuat janji? Ataukah sang pemenuh janji? Seorang 

penakluk? Ataukah seorang ahli waris? Sebuah panenan? Atau mata-bajak? 

Seorang tabib? Ataukah seorang yang baru sembuh?

Apakah ia seorang pujangga? Ataukah seorang manusia sejati? Seorang 

pembebas? Ataukah seorang penakluk? Orang baik? Ataukah orang jahat?

Aku berjalan di tengah-tengah para manusia bagai di tengah-tengah

penggalan-penggalan masa depan: masa depan yang aku teropong itu.

Dan segala seni dan cita-citaku, adalah untuk memadukan dan menghimpun

menjadi satu apa yang terpenggal-penggal dan teka-teki dan keberuntungan yang 

mengerikan.

Dan bagaimana aku bisa berdaya untuk menjadi manusia, jika manusia itu 

sendiri bukan pula pujangga dan penebak teka-teki teka-teki dan penebus

keberuntungan!

Untuk menebus masalalu, dan merubah setiap „Itu adalah dulu‟ menjadi 

„Aku mau itu!‟ – ini sendiri yang aku namakan penebusan!

Kemauan – itu adalah nama panggilannya sang pembebas dan sang 

pemberi sukacita: maka aku ajarkan kau, para temanku! namun  sekarang 

belajarlah ini pula: Kemauan itu sendiri masih terpenjara.

Memaui ini membebaskan: namun  apa itu namanya yang mengikat sengkela￾sengkela bahkan ke para pembebas?

„Itu adalah dulu‟: ini adalah nama panggilan kedongkolannya kemauan, dan 

kesengsaraannya kerinduannya. Tidak berdaya melawan apa yang telah terjadi -

seorang penonton yang mendengki pada segala sesuatu yang lampau.

Sang kemauan tidak bisa memaui mundur; bahwa dia tidak bisa 

menghancurkan sang waktu dan  hasratnya sang waktu – ini sendiri adalah 

kesengsaraannya kerinduannya Kemauan.

Memaui ini membebaskan: apa yang sang kemauan ini upayakan untuk 

membebaskan dirinya dari nestapanya, dan mengejek penjaranya?

Duh, setiap orang yang dipenjara akan menjadi bodoh! Secara bodoh pula 

Kemauan yang terpenjara itu membebaskan dirinya.

Bahwa sang waktu tidak bisa berjalan mundur – ini adalah rasa bencinya; 

„Itu adalah dulu‟ – ini adalah batu yang tidak bisa digulingkan itu. 

Lalu, dari rasa bencinya dan keberangasannya itu, sang kemauan 

menggulingkan batu-batu ke sana ke mari, dan mendendam ke sesiapa saja yang 

tidak merasa benci dan berangas, seperti dia.

Maka sang kemauan, sang pembebas, menjadi si penyiksa: dan pada sesiapa 

yang bisa menderita dia mendendam, sebab  tidak bisa berjalan mundur.

Ini, ya, ini sendiri adalah dendam itu: rasa benci sang kemauan pada sang 

waktu, dan pada „Itu adalah dulu‟nya sang waktu.

Sungguh, satu kebodohan besar hidup dalam Kemauan kita; bahwa 

kebodohan itu mendapatkan spirit, ini telah menjadi kutukan bagi umat manusia.

Spirit dendam: para temanku, hingga kini, telah menjadi bahan pikiran

utama manusia; dan di mana ada penderitaan, ini selalu dianggap sebagai 

hukuman.
Dendam menamakan dirinya „hukuman.‟ Dengan kata-kata bohong dia 

berpura-pura punya hati nurani baik.

Dan sebab  ada penderitaan di dalam dirisang pemau, sebab  dia tidak bisa 

memaui mundur – maka Memaui itu sendiri dan semua kehidupan dianggap

sebagai – hukuman!

Lalu mendung menggumpal-gumpal melindas sang spirit, hingga akhirnya 

kegilaan mengkhotbah: „Semuanya berlalu, maka semuanya patut berlalu!‟

„Dan, hukum waktu itu sendiri adalah adil - bahwa waktu harus menelan 

anak-anaknya‟: maka kegilaan mengkhotbah.

„Secara moral segala sesuatunya diatur oleh hukum dan keadilan. Oh, 

mana kebebasan dari arus segala sesuatu dan dari “eksistensi” hukuman?‟ Maka 

kegilaan mengkhotbah.

„Apa mungkin ada kebebasan, saat  ada keadilan abadi? Duh, batu yang 

tidak bisa digulingkan, “Itu adalah dulu”: abadi begitu pula hukuman!‟ Maka 

kegilaan mengkhotbah.

„Tidak ada hasil perbuatan yang bisa dihapus: bagaimana itu bisa dihapus

melalui hukuman! Ini, inilah yang abadi dalam “eksistensi” hukuman, bahwa 

eksistensi itu adalah abadi, hasil perbuatan dan dosa yang berulangan.

„Kecuali sang Kemauan akhirnya membebaskan dirinya, lalu Memaui 

menjadi non-Memaui‟: namun  kau, para saudaraku, tahu tentang tembang cerita 

dongeng yang gila ini!

Aku tuntun kau jauh dari segala tembang-tembang cerita dongeng ini saat  

aku mengajarkan kau: „Sang Kemauan adalah sang pencipta.‟

Segala „Itu adalah dulu‟ adalah kepingan, teka-teki, keberuntungan yang 

menakutkan – hingga Kemuauan yang pencipta itu berkata: „namun  aku suka 

itu.‟

Hingga Kemauan yang pencipta berkata: „namun  itu yang aku mau! Itulah 

yang harus aku maui!‟

namun  pernahkah dia berkata demikian? Dan kapan ini akan terjadi? 

Telahkah sang Kemauan dibebaskan dari kebodohannya sendiri?

Telahkah sang Kemauan menjadi sang pembebas dirinya sendiri dan sang 

pemberi sukacita? Telahkah dia melupakan spirit pendendam dan segala 

kejengkelan-kejengkelan?

Dan siapakah yang telah mengajarkan dia untuk berekonsiliasi dengan sang 

waktu, dan yang lebih tinggi dibandingkan  semua rekonsiliasi?

Sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan  setiap rekonsiliasi adalah Kemauan yang 

memaui the Will to Power – namun  bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang telah 

mengajarkan dia untuk memaui mundur, pula?

namun  dalam hal tersebut dalam diskursus ini, tidak disangka-sangka 

Zarathustra tiba-tiba berhenti dan tampaknya seperti manusia yang sangat 

ketakutan sekali. Dengan mata yang menakutkan ia pandang para penganutnya; 

pandangannya seperti anak panah menembus pikiran-pikiran dan pikiran-pikiran 

tersembunyi mereka. namun  tidak berapa lama kemudian ia tertawa kembali, dan 

berseru dengan suara tenang:

„Adalah sulit untuk hidup di tengah-tengah para manusia, sebab  sangat sulit

untuk diam - khususnya bagi seorang pengoceh
Ini seruan Zarathustra. Si bungkuk, namun, mendengar pembicaraan ini lalu 

menutup mukanya, seraya mendengarkan; namun  saat  ia mendengar Zarathustra 

tertawa, ia menengadah ingin tahu, dan berkata perlahan:

„namun  mengapa Zarathustra berseru pada kita berbeda dibandingkan  berseru

pada penganutnya?‟

Zarathustra menjawab: „Apa yang aneh akan hal ini? Dengan orang 

bungkuk seseorang beseru secara si bungkuk pula!‟

„Baik,‟ kata si bungkuk; „dan dengan murid-murid seseorang mungkin 

bicara rumor di luar jam sekolah.

namun  mengapa Zarathustra berseru berbeda pada murid-muridnya –

dibandingkan  pada dirinya?‟

  . Keberhati-hatian Lelaki

Bukanlah ketinggian, namun  ngarai maha dalamlah yang sangat menakutkan!

Sang ngarai maha dalam di mana pandangan terjun kebawah dan lengan 

meraih keatas. Disanalah sang hati tumbuh pening melalui dwirangkap 

kemauannya.

Ah, para temanku, telahkah kau menerka dwirangkap kemauan hatiku?

Ini, ini, adalah ngarai maha dalamku dan  marabahayaku, bahwa 

pandanganku terjun ke puncak ketinggian, dan lenganku ingin memegang dan 

bersandar – dasar kedalaman!

Kemauanku melekat ke manusia, dengan rantai-rantai aku ikat diriku ke 

manusia, sebab  aku tertarik keatas ke sang Superman: sebab  kemauanku yang 

lainnya ingin menarikku ke atas ke sang Superman.

Maka aku hidup secara membuta di sekeliling para manusia, seolah-olah aku 

tidak mengenali mereka: Semoga lenganku tidak kehilangan kepercayaannya pada 

kepastian hati.

Aku tidak mengenali kau para manusia: kemurungan dan pelipuran ini selalu 

bertebaran disekelilingku.

Aku duduk di pintu gerbang menunggu setiap penjahat, dan bertanya: Siapa 

mau menipuku?

Ini adalah keberhati-hatian lelaki pertamaku: Aku biarkan diriku ditipu 

supaya tidak berjaga-jaga akan para penipu.

Ah, jika aku berjaga-jaga terhadap para manusia, bagaimana para manusia 

bisa menjadi jangkar bagi bolaku? Aku akan dengan mudahnya terlempar dan 

terombang-ambing!

Tuntunan ilahi ada di dalam takdirku: Aku harus tanpa keperdulian.

Dan ia yang tidak mau mati kehausan di sekitar para manusia, harus belajar 

minum dari segala cawan-cawan; dan ia yang ingin tetap bersih di sekitar para 

manusia, harus tahu bagaimana membersihkan dirinya bahkan dengan air kotor.

Dan aku selalu berseru seperti ini untuk melipur hatiku: „Keberanian! 

Bergembiralah! hati tua! Satu ketidakbahagiaan gagal menghancurkan kau: 

nikmatilah ini sebagai – satu kebahagiaan!
Ini, namun, keberhati-hatian lelaki keduaku: aku lebih memaklumi si genit

dibandingkan  si sombong.

Bukankah kegenitan yang terluka itu bunda dari segala tragedi-tragedi? 

Namun, di mana kesombongan itu terluka di sana tentu tumbuh sesuatu yang lebih 

baik dibandingkan  kesombongan.

Agar kehidupan ini enak untuk dilihat, permainannya harus dimainkan

dengan baik: untuk ini, para aktor baik dibutuhkan.

Aku mendapatkan bahwa semua manusia genit itu adalah para aktor baik: 

mereka bertingkah, dan berhasrat agar orang lain memperhatikan mereka – segala 

spirit mereka ada dalam hasrat ini.

Mereka mewakili diri mereka sendiri, mereka menciptakan diri mereka 

sendiri; aku ingin melihat kehidupan mereka dari dekat – ini menyembuhkan rasa 

sedih.

Maka aku memaklumi si genit sebab  mereka adalah tabib-tabib bagi rasa 

sedihku, dan melekat-eratkanku pada manusia bagai drama.

Dan lebih-lebih lagi: siapa yang bisa mengukur kedalaman 

kerendahatiannya yang sepenuhnya manusia genit ini! Aku sangat menyukainya

dan bersimpati padanya sebab  kerendahatiannya.

Dari kau ia ingin belajar untuk percaya pada dirinyasendiri; ia makan 

pandangan-pandangan kau, ia makan puji-pujian dari lengan kau.

Ia bahkan percaya pada kebohongan-bohongan kau tatkala kau membohong 

bagi keuntungannya: sebab  dari kedalaman hatinya mengeluh: „Apa sih aku ini?‟

Dan jika ini adalah kebajikan sejatinya yang tidak sadar akan dirinya

sendiri: ayo, manusia genit ini tidak sadar akan kerendahatiannya!

Ini, namun, keberhati-hatian lelaki ketigaku: Aku tidak membiarkan rasa 

kenikmatanku pada penjahat, itu padam sebab  kepengecutan kau

Aku bahagia melihat banyak kesemarakan-kesemarakan yang 

mengagumkan yang ditetaskan oleh cahaya hangat sinar surya: macan-macan, 

pepohonan palem dan ular-ular derak.

Di antara para manusia, pula, ada keluarga baik dari cahaya hangat sinar 

surya, dan banyak yang mengagumkan dalam diri sang penjahat.

Sebenarnya, bagiku, para manusia terarifnya kau itu tidak sangat bijaksana, 

maka aku temui bahwa kejahatan manusia, pula, tidak diberi reputasi yang layak.

Dan kerap kali aku menggelengkan kepalaku dan bertanya: Mengapa tetap 

berderak, kau ular-ular derak?

Sungguh, masih ada masa depan, bahkan bagi kejahatan! Dan benua Selatan 

yang terhangat masih belum lagi ditemukan oleh manusia.

Begitu banyaknya sesuatu yang sekarang dinamakan kejahatan terburuk, itu 

hanya dua belas kaki saja lebarnya dan tiga bulan panjangnya! Sekala, namun, 

naga-naga lebih besar akan datang ke dunia ini.

Semoga, sang Superman tidak akan kekurangan naga-naganya, super naga 

yang berharga baginya, lebih banyak lagi cahaya panas sang surya namun harus 

membakar hutan-hutan lembab purba!

Kucing-kucing liar kau musti menjadi macan-macan, dan katak-katak 

beracun kau menjadi buaya-buaya: sebab  para pemburu handal musti punya 

buruan bagus!
Dan sungguh, kau si baik dan si adil! Di dalam diri kau ada banyak yang 

harus ditertawakan, khususnnya ketakutan kau pada ia yang hingga saat ini 

dinamakan „Setan‟!

Jiwa kau sangat asing pada apa yang megah, maka sang Superman akanlah 

menakutkan kau dalam kebaikannya!

Dan kau para manusia arif yang tercerahkan, kau akan lari dari 

kebijaksanaan api panas sang surya yangmana sang Superman dengan segala

sukacitanya memandikan ketelanjangannya!

Kau para manusia tertinggi yang ada di hadapan mataku! Ini adalah 

keraguanku pada kau, dan bahan tertawaan rahasiaku: aku menduga bahwa kau 

akan menamakan sang Supermanku itu – setan!

Duh, aku menjadi letih akan mereka para manusia tertinggi dan manusia 

terbaik: dari „ketinggian‟ mereka aku rindu untuk naik ke atas, ke luar, jauh ke 

sang Superman!

Horor menghadangku saat  aku melihat para mansuia terbaik ini telanjang: 

lalu di sana tumbuh bagiku sayap untuk terbang jauh ke masadepan-masadepan 

terjauh.

Ke masadepan-masadepan terjauh, ke lebih selatannya Selatan-selatan 

dibandingkan  yang para seniman pernah impikan: nun jauh di sana, di mana tuhan￾tuhan malu akan segala pakaian-pakaian!

namun  aku mau melihat kau menyamar, kau para tetangga dan para teman, 

dan berpakaian bagus, bergaya dan terhormat, seperti „si baik dan si adil‟.

Dan menyamar aku ingin pula duduk bersama kau supaya aku tidak dapat

mengenali kau dan  diriku: sebab  ini adalah, keberhati-hatian lelakiku yang 

terakhir.

Ini seruan Zarathustra.

  . Masa Terhening

Apa yang telah terjadi padaku, para temanku? Kau telah melihat aku kesusahan, 

diusir, dipaksa harus patuh, harus siap pergi – duh, pergi jauh dari, kau!

Ya, Zarathustra harus pergi ke tempat penyendiriannya sekali lagi: namun  

kali ini beruang ini kembali ke guhanya tidak bahagia!

Apa yang telah terjadi padaku? Siapa yang telah menyuruh ini? – duh, 

kekasihku menghendaki ini, begitulah katanya kepadaku; pernahkah aku katakan 

namanya pada kau?

Kemarin menjelang malam masa terheningku bicara padaku: ini adalah 

nama kekasihku yang menakutkan itu.

Inilah yang terjadi, sebab  aku musti katakan segalanya pada kau, semoga

kau tidak sakit hati padaku sebab  meninggalkan kau tiba-tiba!

Tahukah kau rasa takut yang menyerang ia yang sedang tidur?

Ia ketakutan hingga ke jempol kakinya, sebab  dunia tampaknya ambruk,

mimpi pun bermula.

Maka aku berseru pada kau dalam kiasan. Kemarin, di masa terhening, 

dunia tampaknya ambruk: lalu mimpiku pun bermula.
Jarum pendek jam bergerak, masa kehidupanku menahan nafasnya – aku 

tidak pernah mendengar keheningan seperti ini di sekelilingku: maka hatiku 

ketakutan.

Lalu, sesuatu berkata padaku tanpa suara: ‘Kau tahu, Zarathustra?’

Dan aku berteriak ketakutan pada bisikan itu, dan darah naik ke atas 

mukaku: namun  aku tetap membisu.

Lalu lagi, sesuatu berkata tanpa suara: „Kau tahu, Zarathustra, namun  kau 

tidak menyerukannya!‟

Dan aku menjawab akhirnya membangkang: „Ya, aku tahu, namun  aku tidak 

mau menyerukannya!‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Kau tidak mau, Zarathustra? 

Benarkah ini? Jangan bersembunyi dalam bangkangan kau!‟

Dan aku menangis dan  gemetaran serupa anak kecil dan berkata: „Duh, aku 

memang mau, namun  bagaimana aku bisa? Bebaskanlah diriku dari semua ini! Ini

melebihi kekuatanku!‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Ada apa dengan kau, 

Zarathustra? Serukan ajaran kau dan mati!‟

Dan aku menjawab: „Ah apakah itu ajaranku? Siapa sih aku? Aku menunggu 

seseorang yang lebih berharga; Aku tidak berharga bahkan untuk mati oleh 

ajaranku.‟

Lagi sesuatu berkata tanpa suara padaku: „Ada pentingnya kau? Kau belum 

lagi cukup rendah hati padaku. Kerendahan hati itu mempunyai kulit yang paling 

keras.‟

Dan aku menjawab: „Apa yang kulit kerendahan hatiku belum lagi alami? 

Di kaki ketinggian-ketinggianku aku hidup: seberapa tingginya sih puncakku? 

Tidak seorang pun namun pernah katakan ini padaku. namun  aku tahu lembah￾lembahku dengan baik.‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „O Zarathustra, ia yang musti 

memindahkan gunung-gemunung memindahkan pula lembah-lembah dan  tanah￾tanah datar.‟

Dan aku menjawab: „Kata-kataku namun belum lagi memindahkan gunung￾gemunung dan apa yang aku serukan belum lagi sampai ke para manusia. 

Memang, aku telah pergi ke para manusia, namun  aku belum sampai ke mereka.‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: ‟Bagaimana kau tahu ini? 

Embun jatuh ke atas rumput di malam terhening!‟

Dan aku menjawab: „Mereka mengejekku saat  aku menemukan jalanku

dan berjalan di jalanku; dan sungguh lalu kakiku gemetaran.

Dan mereka berkata demikian padaku: Kau telah lupa jalan, sekarang kau 

juga lupa bagaimana untuk berjalan!‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Apa pentingnya ejekan 

mereka? Kau adalah seorang yang telah melupakan kepatuhan: sekarang kau 

musti merintah!

Tahukah kau apa yang dibutuhkan oleh umat manusia? Seorang yang 

memerintah sesuatu yang termegah!

Untuk melaksanakan sesuatu yang megah adalah sulit; namun  tugas yang 

lebih sulit adalah untuk memerintah sesuatu yang megah.

Ini adalah kekeras kepalaan kau yang sangat tidak dapat dimaafkan: Kau 

punya power namun  kau tidak mau memerintah.Dan aku menjawab: „Aku tidak punya raungan singa bagi perintahan.‟

Lalu lagi sesuatu berkata tanpa suara padaku bagai berbisik: „Adalah kata￾kata terhening yang membawa badai. Pikiran-pikiran yang datang dengan kaki 

burung merpati memandu dunia.

O Zarathustra, kau harus pergi seperti bayangan yang akan mendatang: lalu 

kau akan merintah, dan yang memerintah berjalan paling depan.‟

Dan aku menjawab: „Aku malu.‟

Lalu lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: „Namun, kau musti menjadi 

seorang anak kembali, dan tanpa malu.

„Keangkuhan remaja kau tetap ada dalam diri kau, kau terlambat muda: 

namun  ia yang mau menjadi seorang anak harus mengatasi bahkan keremajaannya.‟

Aku merenung cukup lama dan gemetaran. Akhirnya, namun, aku berkata 

apa yang pernah aku katakan pertama: „Aku tidak mau.‟

Lalu tawa berkumandang di sekelilingku. Duh, bagaimana tawa ini 

mencabik-cabik badanku dan  merobek bukakan hatiku!

Dan untuk kali terakhir sesuatu berkata padaku: „O Zarathustra, buah￾buahan kau telah matang namun  kau belum matang bagi buah-buahan kau!

Maka kau harus kembali ke tempat penyendirian kau: sebab  kau harus 

menjadi lembut.‟

Dan lagi sesuatu tertawa, dan terbang: lalu menjadi hening sekelilingku 

bagai jika dengan dwirangkap kesunyian. Aku, namun, berbaring di geladak dan 

peluh mengalir dari kakiku.

Sekarang kau telah mendengar segalanya, dan mengapa itulah aku musti 

kembali ke tempat penyendirianku. Aku tidak menyembunyikan apa-apa pada 

kau, para temanku.

Dan kau telah mendengar, ini pula dariku, siapa manusia yang paling 

terhening – dan tetap ingin demikian!

Ah, para temanku! Aku harus menyerukan sesuatu lebih banyak pada kau, 

aku harus memberikan sesuatu lebih banyak bagi kau! Mengapa aku tidak 

berikan? Apakah aku pelit?

Namun, setelah Zarathustra berseru kata-kata ini, kesedihan yang tiada 

taranya dan  kedekatannya pada kepergiannya dari teman-temannya melandanya, 

lalu ia tersedu keras; tidak seorang pun tahu bagaimana untuk melipurnya. namun 

malam itu ia pergi sendirian dan meninggalkan teman-temannya

Sang Pengembara

saat  tengah malam tiba, Zarathustra memulai perjalanannya melalui punggung

bukit pulau, supaya ia bisa sampai ke pesisir pantai lainnya di awal fajar: sebab  

di sana ia mau berlayar. sebab  di sana ada pelabuhan yang baik dimana kapal￾kapal asing pun senang menaruhkan sauhnya: mereka mengambil banyak 

penumpang yang mau meninggalkan Kepulauan Bahagia menyeberang samudera. 

Saat ini, saat  Zarathustra mendaki gunung-gemunung ia teringat akan 
pengembaran-pengembaraan sepi yang ia pernah lakukan semasa mudanya, 

banyak gunung-gunung, bukit-bukit dan puncak-puncak yang ia pernah daki.

Aku adalah seorang pengembara dan seorang pendaki gunung (ia berkata 

pada hatinya), aku tidak senang dataran-dataran dan tampaknya aku tidak bisa 

duduk lama dan tenang.

Dan apa saja yang akan datang padaku ini bagai takdir dan pengalaman –

termasuk pengembaraan dan pendakian gunung: pada akhirnya seseorang 

mengalami pengalaman itu sendiri belaka.

Masa saat  aksiden-aksiden yang bisa menimpaku telah berlalu: dan apa 

yang akan terjadi pada takdirku bukankah ini sudah bagianku?

Itu semua kembali, dan akhirnya kembali padaku – Diriku sendiri, yang 

telah lama berada di luar, dan  terpencar-pencar di tengah-tengah sesuatu dan 

aksiden-aksiden.

Dan aku tahu lebih banyak lagi: aku sekarang berdiri di hadapan puncak 

terakhirku, dan di hadapan sesuatu yang sudah lama disiapkan bagiku. Duh, aku 

musti mendaki jalan tersulitku! Duh, aku mulai melangkah kepengembaraanku 

yang tersepi!

namun  seorang lelaki yang semacamku tidak menghindari masa-masa serupa 

ini: sang waktu yang berkata padanya: „Hanya sekaranglah kau melangkah jalan 

ke kemegahan kau! Puncak dan ngarai – sekarang telah menjadi satu!

„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: yang dahulunya bahaya 

terakhir kau sekarang menjadi tempat perlindungan terakhir kau!

„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: ini sekarang harus menjadi 

keberanian kau bahwa tidak ada lagi jalan di belakang kau!

„Kau melangkah ke arah jalan kemegahan kau: tidak ada seorang pun akan 

mencuri dari kau di sini! Kaki kau sendiri telah menghapus jalan di belakang kau, 

dan di atasnya tertulis kata: Mustahil.

Dan saat  semua tangga-tangga menghilang, kau musti belajar untuk 

mendaki dengan kepala kau sendiri: jika tidak bagaimana kau bisa mendaki ke

atas?

Di atas kepala kau, dan melebihi hati kau! Sekarang bagian yang terhalus 

kau harus menjadi yang terkeras.

Ia yang selalu memanjakan diri, akhirnya muak akan pemanjaan diri. Segala 

puji bagi yang membuat apa-apa keras! Aku tidak memuji negeri yang di mana 

mentega dan madu – mengalir!

Belajar untuk melihat keluar dirinya, adalah penting agar bisa melihat 

banyak sesuatu: – setiap pendaki gunung butuh kekerasan seperti ini.

Namun ia yang tercerahkan namun  matanya jelalatan, bagaimana ia bisa 

melihat sesuatu lebih banyak lagi selain permukaan kulit!

Namun, kau, O Zarathustra, ingin melihat segala permukaan kulit dan latar 

belakang mereka: maka kau musti mendaki melebihi diri kau – atas dan teratas, 

sehingga bahkan pula bintang-bintang kau ada di bawah kau!

Ya! Untuk menghina diriku, bahkan bintang-bintangku: hanya inilah yang 

aku namakan puncakku, yang akan selalu demikian bagiku, sebagai puncak 

terakhirku!
Ini seruan Zarathustra pada dirinya sendiri seraya ia mendaki, melipur 

hatinya dengan kata-kata tegar: sebab  hatinya terluka seperti tidak pernah terluka 

sebelumnya. Dan saat  ia sampai di puncak punggung gunung, perhatikan, nun 

di sana di hadapannya terbentang samudera yang lainnya: dan ia berdiri dengan 

tenang dan  terdiam. Namun, malam hari di ketinggian adalah dingin, dan bersih 

dan terang benderang dengan bintang-bintang.

Aku tahu takdirku ia berkata akhirnya. Baiklah! Aku siap. Sekarang 

kesendirian terakhirku baru saja bermula.

Ah, kemurungan ini, samudera yang sedih, di bawahku! Ah, kemurungan 

kejengkelan malam hari! Ah, takdir dan samudera! Kepada kau sekarang aku 

harus turun!

Di hadapan gunung tertinggiku aku berdiri, dan dihadapan pengembaraan 

yang terlamaku: maka pertamanya akau harus turun lebih dalam dibandingkan  yang 

aku pernah turun,

- lebih dalam ke dukacita dibandingkan  yang pernah aku turun, bahkan ke dalam

aliran yang terhitam! Maka takdirku memaui ini. Ayo! Aku siap.

Darimana munculnya gunung-gemunung tertinggi? Aku sekala bertanya. 

Lalu aku belajar bahwa mereka muncul dari samudera.

Testimoni i ini tertulis di atas batu-batuan mereka, dan di dinding puncak￾puncak mereka. Dari yang terdalam, yang tertinggi harus muncul ke 

ketinggiannya.

Ini seruan Zarathustra di atas punggung gunung, di sana sangat dingin; 

namun, saat  ia dekat dengan samudera, dan berdiri sendirian di sekeliling 

jurang-jurang terjal, ia menjadi letih, lebih rindu, dibandingkan  sebelumnya.

Segalanya masih tertidur, katanya: bahkan sang samudera pun tidur. 

Matanya yang mengantuk dan aneh itu menatapku.

namun  dia bernafas dengan hangatnya; aku merasakannya. Dan aku merasa, 

pula, bahwa dia bermimpi. Bermimpi ia melontakan diri kesana kemari di atas 

bantal-bantal keras.

Dengar! Dengar! Bagaimana dia merintih dengan kenangan-kenangan jahat! 

Atau dengan harapan-harapan jahat?

Ah, aku ikut bersedih pada kau, monster hitam, bahkan marah pada diriku 

sendiri demi kau.

Duh, bahwa lenganku kurang punya tenaga! Sebenarnya, aku sangat ingin 

untuk membebaskan kau dari impian-impian buruk kau!

Seraya Zarathustra berseru demikian, ia tertawa pada dirinya sendiri, dengan 

murung dan pahit. Apa! Zarathustra, katanya, maukah kau menembang lagu 

pelipuran hati bahkan ke sang samudera?

Ah, kau pecinta dungu, Zarathustra, kau sangat kebelet untuk mempercayai! 

namun  kau selalunya seperti ini: selalu mendekati dengan rasa penuh percaya diri 

ke segala sesuatu yang menakutkan.

Kau selalu ingin membelai setiap monster. Kepulan nafas hangat, seuntai 

bulu halus di atas kakinya – dan langsung kau siap untuk mencintai dan 

merayunya.
Cinta adalah bahaya bagi manusia maha penyendiri, cinta pada apa saja, 

seandainuya itu hidup! Sungguh, kebodohanku dan kebersahajaanku dalam cinta 

adalah lucu!

Ini seruan Zarathustra, dan tertawa lagi untuk kedua kalinya. namun  lalu ia 

memikirkan teman-temannya yang ia telah tinggalkan - dan ia marah pada dirinya 

seolah-olah pikiran-pikirannya telah melukai hati teman-temannya. Lalu manusia 

yang tertawa ini pun menangis – dengan marah dan rindu Zarathustra menangis 

tersedu.

  . Visi dan Teka-teki

 

saat  ini menjadi desas-desus di antara para pelaut bahwa Zarathustra ada di 

kapal – sebab  seorang dari Kepulauan Bahagia naik kapal bersama dengannya –

kemudian rasa keingintahuan dan harapan besar pun timbul. namun  Zarathustra 

membisu dua hari, kedinginan dan ketulian sebab  sedih, lalu ia tidak menjawab, 

tidak melihat atau pun bertanya-tanya. namun  di malam kedua, ia membuka 

telinganya lagi, walau ia tetap membisu: sebab  banyak sesuatu yang janggal dan 

berbahaya untuk didengar di kapal ini, yangmana datang dari jauh, namun masih 

punya perjalanan jauh. Zarathustra, namun, sangat senang pada mereka yang 

membuat perjalanan-perjalanan jauh, dan tidak suka untuk hidup tanpa bahaya. 

Dan perhatikan! saat  mendengarkan, lidahnya akhirnya melonggar, dan hati 

esnya pun patah: maka ia mulai berseru demikian:

Kepada kau, para pengelana pemberani, para petualang dan sesiapa saja 

yang telah berlayar dengan layar-layar cerdik di samudera-samudera yang 

menakutkan,

Kepada kau yang mabuk oleh teka-teki, penikmat-senja, yang jiwanya 

terbujuk oleh tiupan seruling kesetiap ngarai berbahaya –

sebab  kau tidak ingin untuk meraba tali dengan rasa takut; dan di mana kau 

bisa menerka kau benci untuk menghitung-hitung –

Kepada kau belaka aku serukan teka-teki yang aku lihat ini – visinya 

manusia mahapenyendiri.

Belakangan-belakangan ini aku berjalan muram melalui senja pucat kelabu -

muram dan geram, dengan bibir cemberut. Bukan saja sebuah matahari yang telah 

terbenam bagiku.

Sebuah jalan terjal membandel melalui puing-puing dan bebatuan, jalan 

jahat, jalan tersendiri, yang tidak lagi disukai oleh semak-semak atau pepohonan: 

jalan setapak pegunungan remuk di bawah kakiku yang bandel ini.

Membisu ia melangkah di atas ejekan dentingan kerikil-kerikil, menginjak 

bebatuan yang membuat mereka tergelincir: demikianlah kakiku memaksa dirinya 

naik ke atas.

Ke atas – walau sang spirit mendorongnya ke bawah, mendorongnya ke arah 

ngarai, si Spirit Gayaberat, setan dan musuh bebuyutanku.
Ke atas – walau ia duduk di atasku, setengah kerdil, setengah tikus buntet; 

lumpuh, melumpuhkan; menuangkan timah hitam ke dalam telingaku, dan 

pikiran-pikiranku, seperti tetesan timah hitam ke dalam otakku.

„O Zarathustra,‟ ia berkata mengejek, kata demi kata, „kau batu 

kebijaksanaan! Kau telah melemparkan diri kau tinggi-tinggi, namun  setiap batu 

yang dilempar pasti – jatuh!

O Zarathustra, kau batu kebijaksanaan, kau katapel, kau penghancur￾bintang! Kau telah melemparkan diri kau tinggi-tinggi, namun  setiap batu yang 

dilempar - pasti jatuh!

Dikutuk oleh diri kau sendiri, dan bagi pelemparan batu kau: O Zarathustra, 

sangat jauh kau melempar batu kau, namun  ke atas kau batu ini akan jatuh

kembali!‟

Lalu si kerdil pun terdiam; lama terdiam. namun  kemembisuannya, ini 

menekanku; dan untuk seperti ini di antara teman, sungguh lebih kesepian

dibandingkan  sendirian!

Aku mendaki, aku mendaki, aku bermimpi, aku berpikir, namun  segala 

sesuatunya menekanku. Aku semacam orang sakit, letih akan luka derita, dan 

terbangunkan oleh mimpi-mimpi buruk.

namun  ada sesuatu dalam diriku yang aku namakan keberanian: dia selalu 

menghancurkan setiap kepengecutan dalam diriku. Sang keberanian ini, akhirnya 

memohon padaku untuk berhenti dan berkata: „Kerdil! Kau! atau Aku!‟

sebab  sang keberanian adalah sang penghancur terunggul – keberanian 

yang menyerang: sebab  di setiap serangannya ada pekikan kejayaan.

Manusia, namun, adalah binatang yang paling berani: lalu ia mengatasi 

setiap binatang. Dengan pekikan kejayaan ia mengatasi setiap dukacita; dukacita

manusia, namun, adalah luka yang terdalam.

Sang keberanian juga menghancurkan kepeningan di ngarai-ngarai: dan 

dimanakah manusia itu berada jika tidak berdiri di ngarai-ngarai? Tidakkah 

penglihatan itu sendiri – melihat ngarai-ngarai?

Sang keberanian adalah sang penghancur terunggul: sang keberanian pula 

menghancurkan penderitaan. Dan penderitaan adalah ngarai terdalam: sedalam￾dalamnya manusia melihat ke kehidupan, sangat dalam pula ia melihat ke 

penderiitaan.

Sang keberanian, namun, adalah sang penghancur terunggul, keberanian 

yang menyerang: ia menghancurkan bahkan kematian pula, sebab  ia berkata: 

„Itukah kehidupan? Ayo! Sekali lagi!‟

namun  dalam kata-kata seperti ini, ada banyak pekikan kejayaan. Ia yang punya 

telinga untuk mendengar, biar ia mendengar.

 

„Berhenti kerdil!‟ tukasku. „Aku! atau kau! namun  aku adalah yang terkuat di 

antara kita – kau tidak tahu pikiran terdalamku! Pikiran itu – tidak bisa kau 

tahan!
Lalu sesuatu terjadi yang meringankanku: sebab  si kerdil me lompat dari 

bahuku, si kerdil yang mau tahu segala! Dan ia duduk di bawah di atas batu di 

hadapanku. Dan di mana kita berhenti di sana ada pintu gerbang .

„Perhatikan pintu gerbang ini, kerdil!‟ Aku meneruskan: „punya dua aspek. 

Dua jalur saling berdatangan ke sini: namun tidak satu pun pernah mencapai ke 

keakhirannya.

Jalur panjang di belakang: ini terus hingga abadi. Dan jalur panjang di depan 

– itu adalah keabadian lainnya lagi.

Jalur-jalur ini saling berlawanan, jalur-jalur ini saling berdampingan; dan di 

sinilah, di pintu gerbang ini keduaya saling bertemu. Nama pintu gerbang ini 

tertulis di atas: “Momen.”

namun  jika seseorang mengikuti jalur-jalur ini - jauh dan semakin jauh: apa 

yang kau pikir, kerdil, bahwa jalan ini akan berlawanan abadi?‟

„Segala sesuatu yang lurus itu bohong,‟ gerutu si kerdil menghina. „Setiap 

kebenaran adalah bengkok; sang waktu itu sendiri adalah lingkaran.‟

„Kau spirit Gayaberat!‟ aku berkata marah, „jangan anggap enteng! Atau aku 

akan tinggalkan kau bergeladak di sini, kaki timpang – dan aku telah membawa

kau tinggi !

„Perhatikan Momen ini!‟ aku teruskan. „Dari pintu gerbang Moment, jalur 

panjang abadi ini berlari balik kembali: keabadian ada di belakang kita.

Tidak semustinyakah segala sesuatu yang bisa lari, pernah berlari sepanjang 

jalur ini? Tidak semustinyakah segala sesuatu yang bisa terjadi pernah terjadi, 

berakhir, meliwat?

Dan jika segalanya pernah ada di sini sebelumnya: apa yang kau pikir 

tentang Momen ini, kerdil? Tidak semustinyakah pintu gerbang ini, pula, pernah 

ada di sini – sebelumnya?

„Dan tidakkah segalanya terikat erat bersama secara khas bahwa Momen ini 

menarik segala yang akan datang ke hadapannya? Maka - menarik dirinya pula?

sebab  segala sesuatu yang bisa lari musti pula sekali lagi lari sepanjang 

jalur ini!

„Dan labah-labah lamban ini yang merangkak beranjak di cahaya bulan, dan 

cahaya bulan itu sendiri, dan aku dan kau di pintu gerbang ini berbisik bersama, 

berbisik tentang sesuatu yang abadi – tidak semustinyakah kita semua pernah ada 

di sini sebelumnya?

- Dan tidak semustinyakah kita kembali lagi dan lari di sepanjang jalur

lainnya di hadapan kita, di jalur panjang yang aneh itu – tidak semustinyakah 

kita kembali lagi abadi?‟

Maka aku berseru, dan lebih halus lagi: sebab  aku takut akan pikiran￾pikiranku sendiri, dan pikiran-pikiran tersembunyiku. Lalu, sekonyong-konyong, 

aku mendengar anjing melengking di dekatku

Pernahkah aku mendengar anjing melengking seperti ini? Pikiran-pikiranku 

datang kembali. Ya! saat  aku masih kanak-kanak, di masa kecilku dahulu:

- Lalu aku mendengar anjing melengking seperti ini. Dan aku lihat anjing 

ini, bergidik bulunya, kepalanya terangkat, pula, gemetaran di tengah malam 

terhening, walau pun anjing percaya pada hantu-hantu:

- Maka ini membangkitkan rasa simpatiku. sebab  sang bulan purnama 

baru saja meliwati rumah, hening bagai kematian; baru saja berhenti anteng, sinar 
bundar, berhenti anteng di atas atap datar, bagai di atas hak kepemilikan orang 

lain:

Inilah yang menakutkan anjing itu: sebab  anjing percaya pada pencuri dan 

hantu-hantu. Dan saat  aku mendengar lengkingan ini sekali lagi, ini 

menggerakanku ke rasa simpati.

Kemana si kerdil itu sekarang? Dan pintu gerbang? Dan sang labah-labah? 

Dan segala bisikan-bisikan? Apakah aku bermimpi? Apakah aku terbangun? Di

tengah-tengah batu cadas kasar, tiba-tiba aku berdiri seorang diri, suram di sinar 

bulan tersuram.

namun  di sana seorang lelaki terbaring! Dan di sana! Seekor anjing, 

melompat, bulunya bergidik, melengking; melihat aku datang – lalu melengking 

lagi, lalu menggonggong – pernahkah aku mendengar anjing menggonggong 

demikian minta pertolongan?

Dan sunguh, aku tidak pernah melihat sesuatu seperti yang aku lihat. Aku 

lihat seorang penggembala muda menggelepar, tercekik, mukanya lusuh; dan 

seekor ular hitam berat, bergantungan dari dalam mulutnya.

Pernahkah aku melihat muka pucat penuh dengan ketakutan dan kebencian? 

namun  ia, mungkin, tertidur? Lalu sang ular merayap ke dalam kerongkongannya 

– dan di sana menggigit ianya dengan cepat.

Lenganku menarik dan menarik ular ini – sia-sia! Aku tidak bisa menarik 

keluar ular ini dari kerongkongan sang penggembala. Lalu suara berteriak dari 

dalam diriku: „Gigit! Gigit!

„Potong kepalanya! Gigit!‟ – maka suara berteriak dari dalam diriku, 

ngeriku, benciku, jijikku, belas kasihanku, segala kebaikan dan kejahatanku 

berteriak dari dalam diriku dengan satu teriakan.

Kau manusia pemberani di sekelilingku! Kau para musafir, para petualang, 

dan mereka semua yang telah berlayar dengan layar-layar pintar ke samudera￾samudera yang belum pernah dijelajahi! Kau yang mengambil kenikmatan dalam 

teka-teki!

Tebak bagiku teka-teki yang aku lihat ini, tafsir bagiku visi dari manusia 

mahapenyendiri ini!

sebab  ini adalah visi dan pratanda: apa yang telah aku lihat dalam kiasan 

ini? Dan siapa yang musti datang di suatu hari nanti?

Siapakah sang penggembala itu yang kedalam kerongkongannya semua

yang terberat, kemauan yang terhitam ini lalu merayap?

Sang penggembala, namun, menggigit sebagaimana teriakanku telah 

anjurkannya; ia gigit dengan gigitan keras! Jauh ia muntahkan kepala ular itu –

dan berdiri melompat.

Bukan lagi seorang penggembala, bukan lagi seorang manusia – satu 

prajadian, di kelilingi oleh nur cahaya, yang tertawa! Tidak pernah namun di 

dunia ini ada manusia yng tertawa bagai ia tertawa!

O para saudaraku, aku mendengar satu tawaan yang bukanlah tawaan 

manusia – dan sekarang aku dihadang dahaga, ini adalah satu kerinduan yang 

tidak pernah hening itu.

Rinduku pada tawaan ini menghadangku: oh, bagaimana aku masih dapat 

berdaya untuk hidup! Dan bagaimana aku bisa berdaya untuk mati sekarang!

Kebahagiaan yang Spontan

Dengan teka-teki dan getiran-getiran seperti itu di dalam hatinya, Zarathustra 

berlayar mengarungi samudera. Namun, setelah empat hari diperjalanannya dari 

Kepulauan Bahagia dan  dari teman-temannya, ia pun mengatasi segala 

dukacitanya – dengan berjaya dan dengan kaki kokoh ia berdiri kembali di atas 

takdirnya. Lalu Zarathustra berseru demikian ke nuraninya yang gembira :

Aku seorang diri lagi, dan ingin demikian, seorang diri dengan sang langit 

murni, dan sang samudera terbuka; dan lagi ini adalah siang hari di sekelilingku.

Di siang hari saat  aku sekala menemui teman-temanku untuk pertama 

kalinya, di siang hari, pula, saat  aku menemui mereka untuk kedua kalinya – di 

masa mana saat  segala cahaya tumbuh lebih hening.

sebab  kebahagiaan apa saja yang masih menjelajah antara langit dan bumi,

sekarang mencari tempat perlindungan ke dalam jiwa benderang: bersama 

kebahagiaan semua cahaya sekarang tumbuh lebih hening.

O siang hari kehidupanku! Sekala kebahagiaanku, pula, turun ke bawah ke 

dalam lembah untuk mencari tempat perlindungan: lalu di sana ia temukan jiwa￾jiwa terbuka, jiwa-jiwa legawa.

O siang hari kehidupanku! Apa yang tidak pernah aku berikan agar aku 

punya sesuatu: kebun kehidupan pikiran-pikiranku, dan harapan mahatinggiku 

yang menyingsing ini!

Sekala sang pencipta mencari teman-teman, dan anak-anak dari harapannya: 

dan perhatikan, ternyata ia tidak bisa menemukan mereka, kecuali ia sendiri yang 

pada awalnya menciptakan mereka.

Maka aku di tengah karyaku, pergi ke para anakku, dan kembali dari 

mereka: demi anak-anaknya Zarathustra harus menyempurnakan dirinya.

sebab  dari dalam hati seseorang, seorang mencintai hanya anaknya dan 

karyanya; dan di mana ada cinta megah ke diri sendiri, lalu ini adalah tanda 

kemengandungan: maka aku temui ini.

Para anakku masih hijau di musim semi pertamanya, berdiri saling 

berdekatan bersama-sama, dan tergoyangkan serentak oleh angin-angin, 

pepohonan kebunku dan tanah terbaikku.

Dan sungguh! Di mana ada pepohonan semacam ini berdiri bersama-sama, 

di sanalah Kepulauan Bahagia itu berada!

namun  sekala aku mau mencabut akar mereka, dan meletakan mereka satu 

persatu seorang diri, supaya bisa belajar berkesendirian, dan menentang dan

keberhati-hatian.

Berkenyal-kenyal dan berkeluk-keluk dan keras namun  lentur ia harus 

berdiri di depan samudera, sebuah mercu suar hidup dari kehidupan yang digjaya.

Nun jauh di sana, di mana badai nyemplung ke dalam samudera, dan

moncong gunung menenggak air, di sana satu persatu harus berjaga-jaga siang

dan malam, untuk ia diuji dan dikenali.

Harus diuji dan dikenali satu persatu, untuk melihat apakah ia sejenisku 

dan seketurunanku – apakah ia tuan dari kemauannya yang berkelanjutan, senyap bahkan saat  ia berbicara, dan dalam caranya ia memberi ia mengambil dalam 

memberi –

Semoga di suatu waktu ia menjadi mitraku, dan rekan-pencipta dan rekan￾penyukacitanya Zarathustra – seperti ia yang menggoreskan kemauanku di atas 

prasastiku: bagi kesempurnaan megah segala sesuatunya.

Dan demi ini, dan bagi mereka yang serupanya, aku harus menyempurnakan 

diriku: maka sekarang aku menghindari kebahagiaanku, dan mempersembahkan 

diriku pada segala ketidak bahagiaan – untuk aku akhirnya diuji dan dikenali.

Dan sungguh, tiba sudah saatnya aku pergi; dan bayangan sang pengembara 

dan sang perjalanan jauh yang menjemukan dan  masa terhening – mereka semua 

berkata padaku: „Ini waktu yang tepat!‟

Kata-kata meniup ke aku melalui lubang kunci dan berkata: „Mari!‟ Pintu 

berayun perlahan, dan berkata: „Ayo!‟

namun  aku terbaring tersengkela oleh cinta pada anak-anakku: sang hasrat 

menyiapkan sengkelanya bagiku - hasrat bagi cinta - supaya aku menjadi mangsa 

anak-anakku dan  kehilangan diriku melalui mereka.

Untuk menghasrat – ini sekarang bermakna bagiku: untuk kehilangan diriku. 

Kau adalah milikku, anak- anakku! Dalam memiliki segalanya harus pasti bukan

hasrat semata.

namun  berbaring bermuram durja cahaya surya cintaku padaku, Zarathustra 

merasakan akibat dari perbuatannya sendiri, – lalu bayang-bayang dan sangsi￾sangsi terbang melayang meliwatiku.

Aku rindu akan musim dingin dan beku: „Oh musim dingin dan beku ini

akan sekali lagi membuatku merintih dan mengerkah!‟ Aku meresah: lalu kabut es 

keluar dariku.

Masa laluku mendobrak kuburannya, banyak dukacita yang terkubur hidup￾hidup tergugah: mereka hanya tertidur saja, tersembunyi dalam gulungan kain￾kain kafan.

Maka dalam simbul-simbul semuanya memanggilku: „Ini waktunya!‟ namun  

aku – tidak mendengar ini: hingga akhirnya ngaraiku tergoncangkan, dan pikiran￾pikiranku menggigitku.

Duh, pikiran dalamku, ini adalah pikiranku! Bila aku bisa mendapatkan 

tenaga untuk mendengarkan kau mengubang menggerogoti liang dan tidak lagi 

gemetaran?

Hatiku berdebar hingga ke tenggorokanku saat  aku mendengarkan kau 

menggali liang! Bahkah kemembisuan kau mengancam mencekikku, kau pikiran 

bisu yang dalam!

Hingga kini aku belum berani memanggil kau: cukuplah sudah bahwa aku –

telah membawa kau bersamaku! Hingga kini aku belum lagi cukup kuat bagi 

kenakalan singa dan  gurau candanya.

Berat kau selalu cukup menakutkanku: namun  sekala aku akan mendapatkan 

tenaga dan suara singa untuk memanggil kau!

saat  aku telah mengatasi diriku dalam hal ini, lalu aku mau mengatasi 

diriku dalam perkara yang lebih besar lagi; dan kejayaan musti menjadi segelnya

kesempurnaanku!

Sementara ini, aku menjelajah ke samudera-samudera yang tidak dikenal; 

lidah-manis kans merayuku; ke depan dan belakang, aku menanap - tetap saja aku 

tidak melihat akhir.
Hingga kini masa perjuangan terakhirku belum lagi tiba – atau mungkin 

baru saja tiba padaku? Sungguh, dengan keindahan palsu sang samudera dan sang 

kehidupan menatapku di sekeliling!

O siang hari kehidupanku! O kebahagian menjelang malam! O tempat 

bersinggah di tengah samudera! O kedamaian dalam ketidak menentuan! Betapa

aku tidak mempercayai kau semua!

Sungguh, aku tidak precaya pada keindahan palsu kau! Aku serupa sang 

pecinta yang tidak percaya pada segala senyuman-senyuman yang terlalu manis.

Serupa manusia yang cemburu mendorong ia yang ia sangat cintai jauh 

darinya, lembut bahkan dalam kekasarannya – maka aku dorong masa bahagiaku 

jauh dariku!

Enyah kau, masa bahagia! Bersama dengan kau datanglah Kebahagiaan 

yang Spontan! Aku berdiri di sini siap bagi dukacita terdalamku – kau datang 

salah waktu!

Enyah kau, masa bahagia! Malah cari perlindungan nun jauh di sana,

bersama anak-anakku! Cepat, dan berkahilah mereka sebelum malam menjelang 

dengan kebahagiaanku!

Di sana, malam hari telah tiba: sang surya tenggelam. Enyah –

kebahagiaanku!

Ini seruan Zarathustra. Dan ia menunggu ketidak bahagiannya semalaman: 

namun  ia menunggu sia-sia. Sang malam tetap jernih dan hening, dan sang 

kebahagiaan itu sendiri datang semakin dekat dan lebih dekat kepadanya. 

Menjelang pagi, namun, Zarathustra tertawa ke hatinya, dan berkata mengejek: 

„Sang kebahagiaan mengejarku. Ini sebab  aku tidak mengejar perempuan. 

Kebahagiaan, namun, adalah perempuan.

  . Sebelum Matahari Terbit

O sang Langit di atasku, kau murni, kau langit dalam! Kau ngarai cahaya! 

Memandang kau, aku gemetaran dengan hasrat-hasrat agung.

Untuk melontarkan diriku ke ketinggian kau - ini kedalamanku! Untuk 

menyembunyikan diriku dalam kemurnian kau – ini kepolosanku!

Tuhan itu diselubungi oleh keindahannya sendiri: maka kau sembunyikan 

bintang-bintang kau. Kau tidak bicara: maka kau ikrarkan padaku kebijaksanaan 

kau.

Membisu di seberang samudera kau telah datang kepadaku hari ini; cinta 

kau dan kesederhanaan kau mengungkapkan rahasia pada jiwaku yang gusar..

Bahwa kau datang padaku, indah, terselubung dalam keindahan kau; bahwa 

kau berkata padaku membisu, dengan jelas dalam kebijaksanaan kau:

Oh, bagaimana aku bisa gagal untuk menerka kesederhanaan jiwa kau!

Sebelum matahari terbit kau datang - ke manusia mahapenyendiri.

Kita telah berteman sejak awal: kita berbagi rasa duka, dan rasa takut, dan 

dunia bersama; bahkan kita miliki matahari ini bersama;
Kita tidak berbicara kesatu sama lainnya, sebab  kita tahu terlalu banyak; 

kita saling membisu ke satu sama lainnya, tersenyum pengetahuan kita ke satu 

sama lainnya.

Bukankah kau itu sinar apiku? Tidakkah kau punya saudara-sejiwa 

perempuan dari perasaanku?

Bersama kita belajar segala sesuatuya; bersama kita belajar mendaki 

melebihi diri kita ke dalam diri kita, lalu tersenyum bening –

Tersenyum bening ke bawah dari mata-mata yang benderang dan dari 

kejauhan, saat  di bawah kita, paksaan dan maksud dan  dosa-dosa mengalir 

serupa hujan.

Mengembara aku seorang diri, apa yang jiwaku laparkan di tengah malam,

dan di tengah-tengah labirin-labirin? Aku mendaki gunung-gemunung, siapakah

yang aku selalu cari, jika bukan kau, di atas gunung-gemunung?

Dan segala pengembaraanku dan pendakian gunung: hanyalah kebutuhan,

untuk mengisi waktu belaka: Untuk terbang – ini yang diinginkan oleh seluruh 

kemauanku – untuk terbang hanya kepada kau!

Dan apa yang paling aku benci melebihi lalu lalang mendung-mendung, dan 

semua yang mencemari kau? Dan aku membenci bahkan pada kebencianku, 

sebab  dia mencemari kau!

Lalu lalang mendung-mendung aku benci - mereka kucing-kucing 

pemangsa diam-diam: mereka mencuri dari kau dan dariku apa yang kita miliki 

bersama – deklarasi terbesar dan tidak terbatas Ya dan Amin.

Para mediator dan para pencampur tangan aku benci - lalu lalang

mendung-mendung: mereka yang setengah-setengah, yang belum belajar 

memberkahi atau pun mengutuk dari dalam hati.

Aku malah duduk di dalam gentong di bawah langit tertutup, malah duduk 

di ngarai tanpa langit, dibandingkan  melihat kau, kau langit benderang, tercemari oleh 

lalu lalang mendung-mendung!

Dan sering kali aku rindu untuk mengikat kuat mereka dengan kawat-kawat

emas kilat bergerigi, agar aku, serupa sang petir, bisa memukul perut-perut buncit

mereka yang seperti gendang itu –

Seorang pemukul gendang yang murka, sebab  mereka merampas dariku 

Ya! dan Amin! kau - O sang langit di atasku, kau murni, kau langit terang! Kau 

ngarai cahaya! – sebab  mereka merampas kau Ya dan Amin Ku!

Aku malah senang kutukan yang ribut menggelegar lagi menggeledek

dibandingkan  ia yang hati-hati, kucing tidur tak jelas; dan di antara para manusia, pula, 

aku sangat benci pada semua para penjinjit, dan para setengah-setengah, dan para 

peragu, pembimbang, si lalu lalang mendung-mendung.

Dan „Ia yang tidak bisa memberkahi harus belajar mengutuk!‟ – ajaran 

bersih ini jatuh padaku dari sang langit bening, bintang ini berdiri di langitku 

bahkan di malam-malam kelam.

Namun, aku adalah sang pemberi berkah dan pengikrar Ya, hanya jika kau 

ada di sekelilingku, kau murni, langit benderang! Kau ngarai cahaya! – lalu 

kedalam semua ngarai-ngarai aku emban amanat sakral Ya ku.

Sang pemberi berkah aku telah menjadi dan sang pengikrar Ya: untuk itu

aku lama bergulat dan dahulunya seorang pegulat, supaya aku sekala akan punya 

lengan-lengan bebas untuk memberi berkah.
Ini, namun, berkahku: Untuk berdiri di atas puncak segalanya sebagai 

langitnya sendiri, atap bundarnya, cungkup-langit-birunya dan keniscayaan

abadinya: dan bahagialah ia yang memberi berkah!

sebab  segala sesuatunya dibaptis di air mancur keabadian, melebihi 

kebaikan dan kejahatan; kebaikan dan kejahatan itu sendiri, namun adalah 

bayang-bayang penyelak dan  kabut-kabut derita dan lalu lalang mendung￾mendung.

Sungguh, ini adalah berkah bukan penghujatan tatkala aku ajarkan bahwa: 

„Di atas segalanya berdiri langit keberuntungan, langit polos, langit risiko, langit 

bengal.‟

„Dewa keberuntungan‟ – ia adalah kemuliaan tertua di dunia, aku telah 

berikan kembali pada segala sesuatunya; aku membebaskan mereka dari 

perbudakan dengan maksud tertentu.

Kebebasan dan ketentraman surgawi ini telah aku taruh bagai kubah￾langit-biru ke atas segala sesuatunya, saat  aku ajarkan bahwa tidak ada 

„Kemauan abadi‟ memaui.

Kenakalan dan  kebodohan ini aku taruh sebagai pengganti Kemauan itu, 

saat  aku ajarkan: „Dalam segala sesuatunya ada satu yang tidak mungkin –

rasionalitas!‟

Intelek kecil, tentunya, sebutir benih kebijaksanaan terpencar-pencar dari 

bintang ke bintang – ragi ini bercampur dengan segala sesuatunya: demi 

kebodohan, kebijaksanaan bercampur dengan segala sesuatunya!

Kebijaksanaan kecil memang mungkin; namun  keniscayaan yang terberkahi 

ini aku temukan di dalam segalanya, bahwa mereka lebih senang – untuk menari 

di atas kaki keberuntungan.

O langit di atasku! kau murni, langit mulia! Ini adalah kemurnian kau 

bagiku sekarang, bahwa tidak ada intelek-aba-laba dan  intelek jaring laba-laba

yang abadi -

Bahwa kau bagiku adalah panggung-menari bagi keberuntungan￾keberuntungan agung, bahwa kau bagiku adalah meja tuhan-tuhan bagi dadu 

agung dan para pemain dadu!

namun  kau tersipu? Apa aku telah berkata sesuatu yang tidak dapat 

dikatakan? Apa aku menghina kau, saat  aku ingin memberkahi kau?

Ataukah ini rasa malu kita bersama yang membuat kau tersipu? Apa kau 

memintaku untuk pergi dan membisu, sebab  sekarang – sang hari pagi telah 

tiba? 

Dunia adalah dalam: dan lebih dalam dibandingkan  sang hari pagi pernah 

mengerti. Tidak segalanya bisa diperserukan dikehadiran hari pagi. namun  hari 

pagi datang: maka marilah kita berpisah!

O langit diatasku, kau yang sederhana, langit benderang! O kau, sang 

kebahagiaanku sebelum matahari terbit! Sang hari pagi datang: maka marilah kita 

berpisah!




Spirit Gayaberat

 

Mulutku – adalah mulut rakyat; terlalu kasar dan terlalu hangat aku berseru pada 

kelinci-kelinci berbulu sutra. Bahkan janggal kedengarannya kata-kataku bagi 

segala ikan tinta dan serigala-serigala penggurit.

Tanganku - ini tangan si tolol: terkutuklah segala tabel-tabel dan  dinding￾dinding dan apa saja yang punya ruang bagi guritan-guritan si tolol, tulisan cakar 

ayam si tolol!

Kakiku – ini kaki kuda: dengan ini aku menginjak-injak ranting dan 

bebatuan, melangkah ke atas bukit, ke bawah lembah, ke sana dan ke sini di 

padang-padang, dan aku Kesetanan sebab  sukacita saat  berderap cepat.

Perutku – tentunya ini perut burung elang! sebab  dia senang daging 

kambing dari segalanya. Pasti ini perut burung.

Diasuh dengan benda-benda bersahaja ala kadarnya, siap dan  tidak sabaran 

untuk terbang, untuk terbang jauh – inilah kodratku: bagaimana tidak musti ada 

watak burung di dalamnya!

Dan khususnya aku musuhnya spirit gaya berat, ini adalah sifat alami 

burung: - sungguh, musuh abadi, musuh bebuyutan, musuh dari lahir! Oh, ke 

mana ia melarikan dirinya dan tersesat musuhku ini!

Tentang ini aku bisa menembang sebuah lagu – dan akan menembang 

sebuah lagu: walau pun aku sendiri di rumah kosong, dan harus menembang ke 

telingaku sendiri.

Ada biduan-biduan lainnya, tentunya, hanya di rumah yang penuh lalu 

suaranya merdu, lengannya gemulai, matanya berbicara, hatinya tergugah: aku 

tidak seperti itu.

 

Ia yang pada suatu ketka nanti mengajarkan manusia untuk terbang harus

memindahkan semua tapal-tapal batas; kepadanyalah segala tapal-tapal batas itu 

ingin terbang ke udara; ia mau membaptiskan dunia ini baru – sebagai „benda 

ringan.‟

Burung unta lari lebih cepat dibandingkan  kuda yang paling cepat, namun  dia 

membenamkan kepalanya ke dalam tanah berat: beginilah manusia yang belum 

bisa terbang itu.
Dunia dan kehidupan tampaknya berat baginya: sang Spirit Gayaberat

menginginkannya demikian! namun  ia yang mau menjadi ringan dan menjadi 

burung, harus mencintai dirinya – maka aku ajarkan ini.

Bukan, tentunya, dengan cintanya si sakit dan penyakit: sebab  dengan 

mereka bahkan cinta-diri itu berbau tengik!

Seseorang harus belajar mencintai dirinya – maka aku ajarkan ini - dengan 

cinta yang utuh dan sehat: agar ia dapat menjadi bersama dirinya sendiri, dan 

tidak kelayapan.

Kelayapan seperti ini membaptiskan dirinya sebagai „cinta pada tetangga‟: 

dan kata-kata ini telah banyak menghasilkan kebohongan besar dan kemunafikan,

khususnya mereka yang dianggap berat oleh dunia.

Dan sungguh, ini bukanlah satu perintah untuk dijalankan sekarang atau 

esok, untuk belajar mencintai diri sendiri itu. Malahan dari segala seni yang ada,

ini adalah seni yang terelok, terlembut, mahautama, yang paling sabar.

sebab  bagi si pemiliknya, segala miliknya itu sangat tersembunyi; dan dari 

segala tambang-tambang harta, tambangnya sendirilah yang terakhir digali –

sang Spirit Gayaberat penyebabnya.

Nyaris sejak kita masih dalam buaian, kata-kata dan nilai-nilai suram 

ditanamkan pada kita: „kebaikan‟ dan „kejahatan‟ – mas kawin ini menamakan

dirinya sendiri demikian. Dan demi ini kita dimaafkan untuk dapat terus hidup.

Dan untuk alasan ini seseorang mengizinkan anak-anak kecil datang 

kepadanya, untuk mencegah mereka sejak dini mencintai diri mereka: sang Spirit 

Gayaberat penyebabnya.

Dan kita – kita secara setia memikul apa yang telah diberikan pada kita, ke 

atas bahu keras, melalui gunung-gunung terjal! Dan saat  kita berkeringatan,

lalu kita dibilangi: „Ya, hidup itu adalah berat untuk dipikul!‟

namun  hanya manusialah yang berat untuk dipikul!‟ Alasannya adalah 

sebab  ia banyak memikul sesuatu yang asing di atas pundaknya. Serupa seekor 

unta, dia berlutut dan membiarkan dirinya diberati penuh beban.

Khususnya si kuat, si manusia pemikul beban yang senang memikul berat, 

yang punya rasa hormat. Terlalu banyak ia mengusung kata-kata dan nilai-nilai 

asing yang berat ke atas dirinya – lalu sekarang hidup baginya bagai padang 

pasir!

Dan sungguh! Banyak sesuatu yang kepunyaannya sendiri itu adalah 

beban yang berat untuk dipikul! Dan apa yang ada di dalam diri manusia itu 

banyak menyerupai tiram, yakni menjijikan dan licin dan sulit untuk digenggam.


Maka kulit kerang yang anggun dengan hiasan yang anggun harus ikut 

ambil bagian. namun  seseorang harus mempelajari seni ini juga: untuk memiliki

kulit kerang, dan penampilan indah, dan  keberhati-hatian buta!

Namun, ada banyak hal yang memperdayakan dalam diri manusia, banyak 

kulit kerang yang hina dan menyedihkan, dan terlalu berlebihan bagi sebuah kulit 

kerang. Banyak kebaikan dan kekuatan yang tersembunyi itu tidak pernah 

diketahui; yang halus terjuwita tidak pernah menemukan sang pengecapnya!

Para perempuan, yang terjuwita tahu ini: sedikit lebih gemuk, sedikit lebih

kurus – oh, begitu banyak takdir yang ada di dalam yang sangat kecil!

Lelaki sulit ditemukan, terlebih-lebih bagi dirinya sendiri: sering berkata 

bohong sang spirit mengenai jiwa. Sang Spirit Gayaberat penyebabnya.
namun , ia telah menemukan dirinya yang berkata: Ini adalah kebaikan dan 

kejahatanku: maka dengan demikian ia telah menutup mulut si tikus mondok dan 

si kerdil, yang berkata: „Kebaikan bagi semua, kejahatan bagi semua.‟

Sungguh, aku tidak suka mereka yang menamakan segalanya baik, dan 

dunia ini terbaik dari segalanya. Mereka aku namakan si yang selalu hanya puas.

Hanya kepuasan, yang tahu mengecap segalanya: itu bukan kecapan yang 

terbaik! Aku hormat ia si keras kepala, lidah-lidah rewel dan perut-perut yang 

belajar untuk berkata „Aku‟ dan „Ya‟ dan „Tidak‟.

Namun untuk mengunyah dan menelan segalanya – ini adalah watak asli 

babi! Selalu berkata Yea – hanya keledai dan mereka yang seperti keledai yang 

telah mempelajari hal ini.

Kuning emas dan merah api - ini yang disenangi oleh seleraku – ini 

mencampur darah dengan segala warna-warna. namun  ia yang memutihkan 

rumahnya memperlihatkan padaku jiwa gundul.

Seseorang mencintai mumi-mumi, yang lainnya hantu-hantu; keduanya 

musuh ke segala darah dan daging – oh, bagaimana keduanya merusak seleraku! 

sebab  aku mencintai darah.

Aku tidak mau tinggal dan hidup di mana setiap orangnya muntah dan 

meludah: ini sekarang adalah seleraku – aku malah ingin hidup di antara para 

pencuri dan penipu. Tidak seorang pun membawa emas di mulutnya.

Lebih melukaiku, namun, semua para penjilat ludah; dan manusia binatang 

yang sangat menjijikan yang aku pernah temui aku baptiskan „benalu‟: dia tidak 

mau mencinta, namun ingin hidup oleh cinta.

Aku namakan mereka tidak bahagia, mereka yang hanya punya satu 

pilihan: untuk menjadi binatang jahat, atau penjinak binatang yang jahat: Di 

antara mereka aku tidak mau untuk membangun tempat peribadahanku.

Aku namakan mereka tidak bahagia, pula, mereka yang selalu musti 

menunggu – mereka menjijikan seleraku: semua para pemungut pajak dan para 

sodagar, raja-raja, para tuan tanah dan para pedagang lainnya.

Sungguh, aku juga pernah belajar untuk menunggu, aku mempelajarinya 

dengan sepenuh hati, namun  hanya untuk menunggu diriku. Dan di atas segalanya

aku belajar berdiri, berjalan, berlari, melompat dan mendaki dan  menari.

Ini, namun, ajaranku: ia yang pada suatu saat  ingin bisa terbang, harus 

pertamanya belajar berdiri, berjalan, berlari dan mendaki dan  menari – seseorang 

tidak bisa terbang dengan berterbangan!

Dengan tangga tali aku belajar mendaki ke banyak jendela-jendela, dengan 

kaki-kaki gesit aku mendaki ke atas tiang-tiang tinggi: untuk duduk di atas tiang￾tiang tinggi pengetahuan ini tampaknya bagiku bukanlah kebahagiaan kecil –

Untuk berkelap-kelip serupa pelita kecil di atas tiang-tiang tinggi: satu 

cahaya kecil, tentunya, namun pelipur megah bagi awak kapal dan kapal karam!

Melalui berbagai macam arah dan cara aku berhasil sampai ke kebenaranku: 

bukan dengan sebuah tangga aku mendaki ke ketinggian di mana mataku 

menerawang ke kejauhan.

Hanya dengan secara enggan aku menanyakan jalanku – ini selalu melukai 

seleraku! Aku malah memberi pertanyaan dan menguji jalan-jalan itu sendiri.

Segala perjalananku adalah menguji dan memberi pertanyaan – dan sungguh 

seseorang musti belajar bagaimana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

seperti itu! Ini, namun seleraku:
Bukan selera baik, bukan pula selera buruk, namun  seleraku, yang tidak lagi 

aku sembunyikan dan mengenai ini aku tidak malu.

„Ini - adalah jalanku sekarang: mana jalan kau?‟ Maka aku menjawab 

mereka yang bertanya „jalan‟. sebab  jalan – itu tidak eksis!

Ini seruan Zarathustra.

  . Tabel -Tabel Hukum Lama dan Baru

 

Di sini aku duduk dan menunggu, pecahan tabel-tabel hukum lama di sekelilingku 

juga tabel-tabel hukum baru setengah tertulis. Bila waktuku tiba?

- Waktu turun-kebawahku: sebab  sekali lagi aku mau pergi ke para 

manusia.

Untuk itu aku sekarang menunggu: sebab  pertamanya sebuah tanda harus

datang padaku, yaitu waktuku– yakni, tawa singa bersama kerumunan burung￾burung merpati.

Sementara ini aku berbicara pada diriku, seolah-olah punya banyak waktu. 

Tidak seorang pun mengatakan padaku akan sesuatu yang baru; maka aku berseru 

pada diriku sendiri.

 

saat  aku menyambangi para manusia, aku mendapatkan mereka duduk di atas 

kecongkakan tua: setiap orangnya mengira ia sudah tahu sedari dahulu apa itu 

kebaikan dan kejahatan bagi manusia.

Segala pembicaraan mengenai kebajikan bagi mereka ini seperti satu 

perkara tentang barang rongsokan tua; dan ia yang mengharap untuk tidur 

nyenyak berbicara mengenai „kebaikan‟ dan „kejahatan‟ sebelum tidur.

Aku ganggu si pengantuk ini saat  aku ajarkan: apa itu kebaikan dan 

kejahatan tidak ada seorang pun yang tahu – kecuali sang penciptanya!

Namun, itu adalah ia, yang menciptakan tujuan bagi manusia, dan memberi 

dunia makna dan masa depannya: ia pertamanya menciptakan kemungkinan￾kemungkinan bahwa sesuatu itu baik dan jahat.

Dan aku mohon mereka untuk menggulingkan kursi-kursi keprofesoran 

mereka, di mana saja kecongkakan tua itu pernah duduk. Aku mohon mereka 

untuk tertawa pada para moralis akhbar mereka, para santo mereka, para 

pujangga mereka, dan para Juru Selamat mereka.

Ke guru-guru muram mereka, aku mohon mereka tertawa, dan pada siapa 

saja yang pernah duduk bertengger memberi peringatan-peringatan bak orang￾orangan hitam penakut burung-burung di pohon kehidupan.

Di jalan-jalan suram megah mereka aku duduk, bahkan di sisi bangkai dan 

burung-burung pemakan bangkai – dan aku tertawa ke atas segala „masalalu‟ 

mereka, dan ke kejayaan mereka yang membusuk.
Sungguh, seperti para pengkhotbah penyesalan dosa dan si tolol aku 

berteriak marah dan malu atas segala sesuatu yang besar dan kecilnya mereka. 

Oh, kebaikan mereka sangat kecil! Oh, keburukan mereka sangat kecil. Maka aku 

tertawa.

Lalu kerinduan liarku, yang dilahirkan di atas gunung-gemunung, berteriak 

dan tertawa di dalam diriku; hasratku yang bijaksana, yang dilahirkan diatas 

gunung-gemunung; sungguh, kebijaksanaan liar! – sayap-sayap megahku, 

mengepak-ngepak, rindu meraung-raung 

Dan kerap kali menggeretku ke muka dan ke atas dan jauh, saat  aku 

sedang tertawa: lalu aku terbang seperti panah yang bergetar terintoksikasi oleh 

pesona sang surya:

Jauh ke masadepan-masadepan, di mana tidak ada satu impian pun pernah 

melihatnya, di Selatan yang lebih hangat dibandingkan  yang para seniman pernah 

impikan - di mana tuhan-tuhan menari, malu akan segala pakaian-pakaian:

(Semoga aku bisa berseru dalam kiasan-kiasan, pincang dan gagap bak para 

pujangga: dan sunguh, aku malu bahwa tetap saja harus menjadi seorang 

pujangga!)

Di mana segala yang akan eksis bagiku itu seperti tariannya tuhan-tuhan,

dan candanya tuhan-tuhan, dan dunia tampaknya melonggarkan diri, penuh 

kenakalan, seolah-olah dia sedang melarikan diri balik kembali ke dirinya –

Seperti melarikan diri abadi dan saling mencari kembali abadi tuhan-tuhan, 

secara bahagia saling mengkontradiksi, sekali lagi saling mendengarkan kembali,

sekali lagi saling berdekatan.

Di mana setiap waktu itu bagiku seperti olok-olok detik yang 

menyenangkan, dimana kebutuhan itu adalah kebebasan itu sendiri, yang bermain 

dengan gembira bersama taji kebebasan –

Di mana aku temukan kembali setan tuaku dan musuh bebuyutanku, sang 

Spirit Gayaberat, dan semua yang ia ciptakan: paksaan, dogma, kebutuhan, sebab

dan akibat dan kemauan dan kebaikan dan kejahatan:

sebab  tidak semustinyakah di sana ada ia yang menari diatasnya, menari 

melebihinya? Tidak semustinyakah demi si gesit dan si tergesit, - ada tikus 

mondok dan para manusia kerdil berat?

 

Di sana pula aku menemukan kata „Superman,‟ bahwa manusia adalah sesuatu 

yang musti di atasi,

Bahwa manusia itu adalah jembatan bukan tujuan - merayakan tengah 

hari dan malam-malamnya, sebagai jalan ke fajar-fajar baru:

Kata-kata Zarathustra mengenai tengah hari megah, dan apa saja yang aku 

gantungkan di atas para manusia, laksana cahaya lembayung sesudah matahari 

terbenam.

Sungguh, bintang-bintang baru, aku perlihatkan pada mereka, bersama 

dengan malam-malam baru – dan di atas awan, dan setiap pagi dan malam aku 

sebarkan tawa laksana tirai-tirai berwarna.
Aku ajarkan mereka segala seniku dan cita-citaku: untuk menyusun dan 

menampung menjadi satu kesatuan segala fragmen-fragmen, dan teka-teki dan 

keberuntungan-keberuntungan yang mengerikan dalam diri manusia –

Seperti seorang pujangga, pembaca teka-teki, penebus keberuntungan￾keberuntungan, aku ajarkan mereka untuk menciptakan masadepan, dan menebus 

segala masalalu dengan mencipta.

Untuk menebus masalalu manusia, dan merubah setiap „Itu adalah dulu,‟ 

sehingga sang kemauan berkata: „namun  aku mau itu! Maka aku harus mau itu –„

Ini apa yang aku namakan penebusan itu; ini sajalah yang aku ajarkan pada 

mereka untuk menamakannya penebusan.

Sekarang aku menunggu penebusanku – supaya aku bisa pergi ke mereka 

kali terakhir.

sebab  sekali lagi aku mau pergi ke manusia: di tengah-tengah mereka aku 

mau turun-kebawah; di detik-detik kematianku aku mau memberi mereka hadiah 

yang paling berharga!

Dari sang surya, aku belajar ini, saat  dia turun ke bawah, bintang yang 

berlimpahan itu: dia lalu, dari kekayaannya yang tidak akan habis-habisnya itu,

menumpahkan emas ke lautan.

Maka nelayan yang termiskin pun mendayung dengan dayung emas! sebab  

sekala aku melihat ini, tidak henti-hentinya aku tersedu menyaksikan ini.

Laksana sang surya Zarathustra ingin pula turun-kebawah: sekarang ia 

duduk di sini dan menunggu, pecahan tabel-tabel hukum lama di sekelilingnya 

juga tabel-tabel hukum baru – setengah tertulis. 

 

Perhatikan, di sini ada satu table hukum baru: namun  di manakah para saudaraku 

yang akan memikulnya bersamaku ke lembah-lembah dan ke sosok hati?

Maka meminta cinta megahku pada para manusia yang terjauh: Jangan 

kecualikan tetangga kau! Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi.

Disana ada berbagai macam cara dan sarana bagi pengatasan: cobalah kau 

cari! namun  hanya badud yang berpikir: „Manusia bisa juga dilompati.‟

Atasilah diri kau bahkan dalam tetangga kau: dan hak yang berhasil kau 

rebut bagi diri kau, jangan kau anggap ini sebagai hadiah!

Apa yang kau sudah lakukan, tidak seorang pun bisa melakukannya kembali 

terhadap kau. Perhatikan, tidak ada ganjaran.

Ia yang tidak bisa memerintah dirinya sendiri dia harus patuh. Dan banyak 

orang bisa memerintah dirinya sendiri, namun  sangat lalai mematuhi perintahnya 

sendiri!

 

Inilah keinginan mereka yang berjiwa mulia: mereka tidak menginginkan sesuatu 

yang gratis, apa lagi kehidupan ini.
Ia yang dari gerombolan ingin hidup gratis; namun, kita yang lainnya, d

mana kehidupan itu telah memberikan dirinya – kita selalu memikirkan apa yang 

terbaik yang kita dapat berikan kembali!

Dan sungguh, ini adalah seruan mulia yang berkata: „Apa yang kehidupan 

telah janjikan pada kita, janji itu akan kita pegang – bagi kehidupan!‟

Seseorang tidak seharusnya mengharap untuk bersenang-senang, saat  ia 

tidak memberi kesenangan. Dan ia tidak harus mengharap kesenangan!

sebab  kesenangan dan keluguan itu adalah sesuatu yang pemalu. Mereka 

tidak mau dicari. Seseorang harus memilikinya – seseorang malah harus mencari

dosa dan duka!

 

O para saudaraku, ia yang pertama dilahirkan selalu dikorbankan. Namun, 

sekarang kita adalah kelahiran pertama!

Kita semua berdarah-darah di meja-meja pengorbanan rahasia, kita semua 

terbakar dan terpanggang demi menghormat berhala-berhala purba.

Sesuatu yang terbaiknya kita masih muda: ini merangsang selera-selera tua. 

Daging kita empuk, kulit kita hanya kulit domba: - bagaimana kita tidak musti 

merangsang berhala purba para pandita!

Dalam diri kita ia masih hidup, berhala tua pandita ini, yang memanggang 

sesuatu yang terbaiknya kita untuk pestanya. Duh, para saudaraku, bagaimana kita 

kelahiran-pertama tidak musti dikorbankan!

namun  jenis yang semacam kita menghendaki hal demikian; dan aku cinta 

mereka yang tidak mengharap untuk mempreservasi diri, mereka yang turun 

kebawah yang aku cintai dengan sepenuh cintaku: sebab  mereka pergi jauh.

 

Untuk menjadi benar – sedikit yang bisa melakukan ini! Dan ia yang bisa, tidak 

akan mau! Apa lagi, si baik bisa melakukan ini.

Oh, para manusia baik ini! Orang baik tidak pernah berkata kebenaran.

Bagi spirit, untuk menjadi baik seperti ini, ini adalah penyakit.

Mereka pasrah, para manusia baik ini, mereka lepas tangan, hati mereka 

meniru, jiwa mereka patuh: namun  ia yang patuh, tidak mendengarkan dirinya 

sendiri!

Semua yang dinamakan kejahatan oleh si baik, harus datang serentak agar

satu kebenaran dapat lahir: O para saudaraku, apa kau, juga, cukup jahat bagi 

kebenaran ini?

Sang pemberani mencoba sangsi berkepanjangan, kata-kata kejam Tidak, 

rasa jenuh, yang memotong kehidupan – alangkah jarangnya ini datang serentak! 

Namun, dari benih serupa inilah – kebenaran itu lahir!

Di sisi nurani buruk hingga saat ini semua ilmu pengetahuan itu tumbuh! 

Hancurkan, hancurkan, kau para manusia tercerahkan, tabel-tabel hukum lama!

Jika papan menjembatani air, jika titian dan tangga tergeletak melampaui sungai: 

sungguh, ia tidak akan dipercaya ia yang berkata: „Segalanya mengalir.‟

Bahkan orang-orang pandir menyangkalnya. „Apa?‟ kata orang-orang 

pandir, „segalanya mengalir? Papan dan titian ada di atas sungai!

‘Di atas sungai segalanya fiks, segala nilai-nilai sesuatu, jembatan-jembatan dan 

konsep-konsep, segala “Kebaikan” dan “Kejahatan”: segalanya fiks!‟

Datanglah musim dingin yang amat sangat, sang penjinak-binatang sungai,

lalu manusia terpandai pun belajar untuk tidak mempercayai; dan sungguh, bukan 

saja orang-orang pandir yang berkata ini: „Tidak semustinyakah segalanya itu –

berdiri tetap?‟

„Pada dasarnya, segala sesuatunya berdiri tetap‟ – ini memang doktrin 

musim dingin itu, sesuatu yang baik bagi musim-musim yang tidak subur, satu 

pelipur yang baik bagi para tukang tidur dan bagi orang yang senang duduk di 

depan perapian.

„Pada dasarnya, segalanya berdiri tetap‟ – : namun  sebaliknya sang angin 

hangat itu mengkhotbah!

Angin hangat, seekor lembu namun  bukan lembu pembajak – lembu 

pengamuk, sang penghancur, yang dengan tanduk-tanduk murkanya memecahkan 

es! Es, namun, memecahkan titian!

O para saudaraku, tidakkah segalanya sekarang mengalir! Tidakkah semua

tangga dan titian itu jatuh ke dalam air? Siapa yang akan tetap berpegangan 

pada „kebaikan‟ dan „kejahatan‟?

„Terkutuklah kita! Hiduplah kita! Sang angin hangat berhembus!‟ –

Berkhotbahlah demikian, O para saudaraku, melalui setiap jalan!

 

Ada sebuah ilusi purba - yang dinamakan kebaikan dan kejahatan. Ilusi ini 

berputar mengelilingi para junjungan  dan para penujum bintang, hingga saat ini.

Sekala rakyat percaya pada junjungan -junjungan  dan penujum-penujum bintang: lalu 

rakyat percaya: „Segalanya adalah takdir: kau akan, sebab  kau harus!‟

Kemudian sekali lagi rakyat tidak mempercayai semua junjungan -junjungan  dan para 

penujum bintang: lalu rakyat percaya: „Semuanya adalah kebebasan: kau bisa, 

sebab  kau mau!‟

O para saudaraku, mengenai bintang-bintang dan masadepan hingga kini 

semua itu hanyalah ilusi, dan bukan pengetahuan; maka mengenai kebaikan dan 

kejahatan hingga kini itu hanyalah ilusi, bukan pengetahuan!
Kau tidak boleh merampok! Kau tidak boleh membunuh! – ajaran-ajaran ini 

dahulu dianggap suci; dihadapannya rakyat berlutut dan bersujud dan  

melepaskan sepatunya.

namun  aku tanya kau: Di mana pernah ada banyak perampok dan pembunuh 

yang terhandal di dunia selain di sana dimana ajaran-ajaran suci itu berada?

Bukankah segala kehidupan itu sendiri – adalah perampokan dan 

pembunuhan? Dan saat  ajaran-ajaran itu dinamakan suci tidakkah kebenaran itu 

sendiri – dibunuh?

Atau itukah sabda kematian yang menamakn suci apa yang melawan dan  

menyangkal kehidupan? – O para saudaraku, hancurkan, hancurkan tabel-tabel

hukum lama!‟

  

Itu adalah belas kasihanku bagi segala masalalu yang sekarang aku lihat telah 

ditinggalkan –

Ditinggalkan pada yang disenangi, sang spirit dan kegilaannya setiap 

generasi penerus, dan  menafsirkan segala masalalu sebagai jembatannya!

Seorang yang sangat zalim bisa muncul, setan licik, yang dengan 

kesenangan dan ketidaksenangannya bisa memaksa dan mendesak segala yang 

masalalu, hingga menjadi jembatan baginya, inspirasinya, pewartanya dan kokok 

ayam jantannya.

Ini, namun, marabahaya yang lainnya dan belas kasihanku yang lainnya

lagi: ia yang dari gerombolan, pikirannya-pikirannya mengingat balik ke 

leluhurnya – dengan leluhurnya, namun, waktu berhenti.

Maka beginilah segala yang masalalu ini ditinggalkan: sebab  di suatu 

waktu mungkin saja si gerombolan itu menjadi tuan, lalu membenamkan sang 

waktu ke air dangkal.

Maka, O para saudaraku, keningratan baru dibutuhkan, untuk melawan 

segala peraturan-peraturan gerombolan dan manusia zalim, dan menuliskan 

sesuatu yang baru di atas tabel-tabel hukum baru kata „Ningrat‟.

sebab  banyak manusia ningrat dibutuhkan, juga manusia ningrat macam 

apa pun, demi keningratan itu eksis! Atau, seperti yang aku pernah serukan dalam 

kias: „Tepatnya ini adalah ketuhanan itu, bahwa ada tuhan-tuhan, namun  tidak 

Tuhan esa!

  

O para saudaraku, aku nobatkan dan pandu kau ke keningratan baru: kau harus

menjadi para penghasil dan para penggarap dan  para penabur benih masadepan –
Sungguh, bukan keningratan yang kau bisa beli seperti para pedagang,

dengan emas-emasnya para pedagang; sebab  kecil nilainya segala yang memiliki

harga.

Bukan dari mana kau berasal yang menjadi kehormatan kau, namun  kemana 

kau hendak pergi! Kemauan kau dan kaki kau yang berhasrat untuk melangkah 

melebihi kau dan mengatasi kau – biar ini menjadi kehormatan baru kau!

Sungguh, bukan sebab  kau pernah melayani seorang pangeran – apa 

pentingnya pangeran-pangeran sekarang! – atau kau telah menjadi benteng 

pertahanan yang sekarang berdiri, supaya ini bisa berdiri lebih kokoh lagi.

Bukan pula keluarga kau telah menjadi santun di istana-istana, dan kau 

telah belajar berdiri berjam-jam lamanya di kolam-kolam cetek, beraneka warna,

bak burung flaminggo:

(sebab  kesanggupan untuk berdiri itu adalah kecakapannya para abdi￾abdi; dan segala abdi-abdi percaya bahwa sebagian dari kebahagiannya sehabis 

mati adalah – untuk diperkenankan duduk!)

Dan itu bukanlah hantu, yang dinamakan suci, yang memimpin para leluhur 

kau ke tanah-tanah harapan yang aku tidak puji: sebab  di tanah-tanah di mana 

pohon-pohon terburuk, Salib, itu tumbuh – di sana tidak ada yang patut dipuji! –

Dan sungguh, kemana saja „Roh Kudus‟ memimpin satria-satrianya, dalam 

krusade, semacam itu - kambing-kambing dan bebek-bebek, dan manusia berotak 

miring, dan si orang isi kepala salah selalu berada paling depan !

O para saudaraku, tidak melihat ke belakang keningratan kau itu, namun  ke

depan! Kau harus menjadi pelarian dari segala tanah-tanah bapak dan tanah-tanah 

leluhur!

Tanah anak-anak kau yang harus kau cintai: biar cinta ini menjadi 

keningratan baru kau, – tanah yang belum ditemui di samudera terjauh! Aku 

mohon, layar-layar kau untuk mencari dan mencari tanah ini!

Bagi anak-anak kau, kau harus membuat perbaikan-perbaikan demi 

menjadi anak-anak bapak-bapak kau: maka kau bisa menebus segala masa lalu! 

Tabel hukum baru ini aku letakan di atas kau!

  

„Mengapa harus hidup? Segalanya sia-sia! Untuk hidup – ini bermakna mengirik 

jerami; untuk hidup – ini bermakna membakar diri namun tidak menjadi hangat.‟

Kata-kata kosong kuno seperti ini tetap dianggap sebagai „kebijaksanaan‟; 

sebab  ini tua dan berbau kelembaban lalu lebih dihormati. Bahkan jamur pun 

terningratkan.

Anak-anak mungkin berkata demikian: mereka menghindari api sebab  

telah membakar mereka! Ada banyak kekanak-kanakan dalam kitab-kitab 

kebijaksanaan tua.

Dan ia yang selalu „mengirik jerami,‟ mengapa ia diijinkan untuk

mengumpat pengirikan! Orang bodoh seperti ini harus disumbat mulutnya!
Orang serupa ini duduk makan malam, namun  tidak membawa apa- apa, 

bahkan tidak pula selera baik – sekarang mereka mengumpat berkata: „Segalanya 

sia-sia!‟

namun  untuk makan dan minum dengan baik! O para saudaraku, ini sungguh 

bukan seni yang sia-sia! Hancurkan, hancurkan tabel-tabel hukumnya orang yang 

tidak pernah bersukacita!

  

„Bagi orang yang bersih segala sesuatunya bersih‟ – maka berkata rakyat. Namun 

aku serukan pada kau: Bagi babi segala sesuatunya jadi membabi!

Maka mengkhotbahlah para pemimpi dan si kepala bengkok (yang hatinya 

pun bengkok): „Dunia ini sendiri adalah monster jorok.‟

sebab  mereka semua adalah spirit kotor; khususnya mereka yang tidak 

mempunyai rasa damai atau tenang, jika mereka tidak melihat dunia dari 

belakang - mereka para manusia dunia-kemudian!

Aku katakan ini ke muka mereka, walau terdengarnya tidak menyenangkan: 

Dunia ini menyerupai manusia, yangmana punya bagian belakang - begitu 

menyerupainya ini benar!

Ada banyak kotoran di dunia: sebegitu banyaknya ini benar! namun  dunia ini 

sendiri belum lagi menjadi monster jorok sebab  itu!

Ada kebijaksanaan yang nyatanya membuat banyak bau-bau busuk di dunia: 

kejijikan ini sendiri menciptakan sayap-sayap, dan tenaga-tenaga pencari air!

Bahkan di yang terbaik pun ada sesuatu yang merangsang rasa jijik; bahkan 

yang terbaik itu pun musti diatasi!

O para saudaraku, ada banyak kebijaksanaan nyatanya sehingga ada banyak 

kotoran di dunia!

  

Perkataan ini aku dengar dari para manusia dunia-kemudian yang saleh berkata 

pada hati nurani mereka, dan sungguh tanpa rasa dengki atau dusta, walau tidak 

ada yang lebih pendengki dan pendusta di dunia ini selain mereka.

„Biar dunia ini menjadi seperti apa adanya! Jangan mengacungkan satu jari 

pun untuk melawannya!‟

„Biarkan sesiapa yang mau mencekik, menikam, dan mencincang rakyat: 

jangan mengacungkan satu jari pun untuk melawannya! Maka mereka akan 

belajar menafikan dunia.‟

„Dan akal budi kau sendiri – akan kau cekik dan bekap dia; sebab  ini 

adalah akal budi dunia – maka kau sendiri harus belajar menafikan dunia.
Hancurkan, O hancurkan saudaraku, hancurkan table-tabel hukum kuno para 

manusia saleh! Hancurkan dengan ajaran-ajaran kau ujaran-ujaran para 

pengumpat dunia!

  

„Ia yang telah belajar banyak, meninggalkan segala hasrat-hasrat beringas‟ –

begitulah rakyat berbisik ke satu sama lainnya sekarang di setiap jalan-jalan gelap.

„Kebijaksanaan membuat letih, tidak ada yang berharga; kau tidak harus 

menghasrat!‟ – tabel hukum baru ini akau temui bergantungan bahkan di pasar￾pasar rakyat.

Hancurkan, O para saudaraku, hancurkan tabel hukum baru ini pula! Orang 

letih dan si pengkhotbah kematian menegakan hukum ini, juga para sipir penjara: 

sebab  perhatikan, ini adalah sabda menganjurkan perbudakan: 

sebab  mereka belajar dengan buruknya dan bukan yang terbaik, dan 

segalanya terlalu awal dan terlalu cepat: mereka makan dengan buruknya – oleh 

sebab  itulah perut mereka rusak –

Spirit mereka adalah perut rusak: ini menganjurkan kematian! sebab  

sungguh, para saudaraku, sang spirit itu adalah perut!

Hidup adalah sumur yang mempesona, namun  semua sumur-sumur 

teracunkan bagi seseorang bila si perut rusak, bapak kenestapaan, itu berbicara.

Untuk mengetahui: ini mempesona kemauan singa! namun  ia yang tumbuh 

letih ia hanya „dimaui‟, ia hanya menjadi bulan-bulanan setiap gelombang.

Dan ini selalunya kodrat para manusia lemah: mereka kehilangan diri 

mereka di jalannya sendiri. Dan akhirnya keletihannya bertanya: „Mengapa kita 

selalu pergi ke jalan ini? Semuanya sama!‟

Ini terdengarnya menyenangkan saat  di khotbahkan ke telinga-telinga 

mereka: „Tidak ada yang berharga! Kau musti tidak memaui!‟ Ini namun, sabda 

memaksa perbudakan.

O para saudaraku, Zarathustra datang bagai angin-angin keras yang segar, 

ke semua manusia-manusia letih; ia mau membuat banyak hidung-hidung bersin!

Bahkan menghembus menembus dinding-dinding nafas bebasku ini, dan ke 

dalam enjara-penjara dan ke para spirit terbelenggu pula!

Memaui ini membebaskan: sebab  memaui adalah mencipta: maka aku 

ajarkan ini. Dan hanya untuk menciptalah kau belajar!

Dan mulanya kau harus belajar hanya dariku, untuk belajar dengan baik! –

Ia yang punya telinga untuk mendengar, biar ia mendengar!

  

Di sana perahu tergeletak – di seberang sana, mungkin arah-jalan ke Kehampaan 

megah. namun  siapa yang mau melangkah ke „mungkin‟ ini?

Tidak satu pun dari kau mau melangkah ke perahu-kematian! Lalu mengapa

kau mau menjadi seorang pembosan-hidup?
Pembosan-hidup! Dan kau belum lagi berpisah dari dunia! Aku selalu 

menemui kau tetap tamak bagi dunia, tetap cinta pada pembosan- hidup kau!

Tidaklah sia-sia lidah kau bergelantungan: – satu harapan kecil 

keduniawian tetap menggelantung! Dan di dalam mata kau – tidakkah awan kecil 

kebersukacitaan duniawi yang tidak terlupakan itu tetap mengapung-apung di 

sana?

Di dunia ini ada sangat banyak penemuan-penemuan yang baik, banyak 

yang berguna, banyak yang menyenangkan: demi ini semua dunia patut dicintai.

Dan ada banyak penemuan-penemuan disana, mereka laksana buah dada 

perempuan: yang berguna dan pada saat yang sama, juga menyenangkan.

Namun kau para pembosan! Kau para pemalas! Kau harus dipecut dengan 

rotan! Dengan dipecut kaki kau harus sigap kembali!

sebab  jika kau bukanlah orang cacat, atau manusia lesu kepayahan 

yangmana dunia ini letih sebab  itu, maka kau adalah si pemalas cerdik atau

pemalas manis, kucing tamak penyelinap. Dan jika kau tidak mau lari dan 

bergembira lagi lalu kau harus – mati!

Seseorang harus tidak mau menjadi tabib orang yang tidak bisa 

disembuhkan: ini ajaran Zarathustra: - maka kau harus mati!

namun  membutuhkan banyak keberanian untuk membuat satu kesimpulan 

dibandingkan  membuat satu syair baru: dan semua tabib-tabib dan pujangga tahu akan 

hal ini.

  

O para saudaraku, ada table-tabel hukum dibingkai oleh keletihan dan table-tabel

hukum dibingkai oleh kemalasan, kemalasan yang merusak: walau mereka berkata

serupa satu sama lainnya, namun  mereka mau didengar berlainan.

Lihat ke manusia layu ini! Ia hanya sejengkal dari golnya, namun  sebab 

keletihannya ia rebahan dan membandel di sini di tanah berdebu, manusia 

perkasa ini!

Dari keletihannya ia menguap ke jalan, ke dunia juga ke tujuannya, dan 

dirinya: ia tidak mau melangkahkan kakinya agi – manusia perkasa ini!

Sekarang sang surya membakarnya, dan anjing-anjing menjilati peluhnya: 

namun  ia rebahan di sana si kepala batu ini, malah ingin bermalas-malasan –

Bermalas-malasan sejengkal dari tujuannya! Sungguh, kau harus 

menjenggut rambutnya menyeretnya ke surganya – sang pahlawan ini!

Lebih baik meninggalkannya rebahan di mana ia merebahkan diri, maka 

sang tidur, sang pelipur, bisa datang kepadanya bersama dengan suara rintik-rintik 

air hujan yang sejuk: 

Biar ia berbaring, hingga ia terbangun dengan sendirinya, hingga dengan 

sendirinya ia meninggalkan segala keletihannya, dan apa yang keletihan ajarkan 

padanya!

Hanya, para saudaraku, takutilah anjing-anjing itu jauh darinya, para 

pengendap malas, dan semua gerumutan kutu-kutu –

Semua gerumutan kutu “orang terpelajar,‟ yang hidup dari peluh setiap 

pahlawan!
Aku membentuk lingkaran-lingkaran dan batas-batas suci di sekelilingku; sedikit 

dan lebih sedikit lagi yang mendaki denganku ke atas gunung-gemunung tinggi 

dan lebih tinggi: aku buat satu gugusan gunung dari gunung-gemunung suci dan 

mahasuci.

namun  kemana saja kau mau mendaki bersamaku, O para saudaraku,

perhatikan bahwa tidak ada benalu mendaki bersama kau!

Benalu: ini adalah ulat, ulat perangkak, ulat gelung, yang mau tumbuh 

gemuk di tempat-tempat yang sakit dan di luka-luka kau.

Dan ini adalah seninya: menduga-duga di mana jiwa yang mendaki itu 

letih: dalam kesulitan, dalam kesedihan dan dalam kebersahajaan lembut kau. dia 

lalu membuat sangkarnya yang menjijikan.

Di mana manusia kuat itu lemah, di mana orang mulia itu terlalu lembut - di 

sana dia membuat sangkarnya yang menjijikan: benalu hidup di mana manusia 

perkasa punya banyak luka-luka kecil.

Spesis kehidupan manakah yang tertinggi dan manakah yang terendah? 

Benalu adalah spesis yang terendah; namun  ia, yang dari jenis spesis tertinggi 

menyusui mahabenalu-benalu.

Bagi jiwa yang memiliki tangga terpanjang, dan bisa turun ke yang 

terdalam: tidakkah ini wajar bahwa mahabenalu-benalu duduk menempel di 

atasnya?

Sang jiwa yang mahameliput ini, yang bisa berlari dan tersesat dan 

berkeliaran sangat jauh ke dalam dirinya sendiri; sang jiwa yang mahautama, 

yang dari rasa sukacitanya melemparkan dirinya ke dalam kemungkinan￾kemungkinan –

Sang jiwa yang mencintai Kehidupan ini lalu menceburkan dirinya ke 

dalam Kemenjadian; sang jiwa yang kaya ini ingin tumbuh mendapatkan hasrat

dan keinginannya –

Sang jiwa melarikan diri dari dirinya, lalu menemukan kembali dirinya di 

kawasan-kawasan terluas; sang jiwa yang mahabijaksana, dimana kebodohan

berbicara padanya dengan sangat manisnya –

Sang jiwa yang sangat mencintai dirinya, yang memiliki arus dan anti-arus,

pasang dan surut: - oh, tidakkah wajar jika jiwa yang luhur ini memiliki benalu￾benalu terburuk?

  

O para saudaraku, apa aku lalu kejam? namun  aku serukan: Apa yang akan jatuh 

mustilah didorong pula!

Segalanya sekarang – akan jatuh, membusuk: siapa yang mau 

mempreservasikan ini? namun  aku – mau mendorong ini pula!

Tahukah kau kenikmatan menggulingkan bebatuan ke jurang-jurang terjal? 

– Para manusia zaman sekarang ini, lihat saja bagaimana mereka bergelimpangan

ke dalam jurang-jurangku!
Aku adalah prelude bagi para aktor yang lebih baik, O para saudaraku! 

Sebuah teladan! Beraktinglah menurut teladan-teladanku!

Dan ia yang kau tidak ajarkan untuk terbang, ajarkan ia – untuk jatuh lebih 

cepat!

  

Aku cinta manusia pemberani: namun  tidak cukup untuk menjadi seorang pendekar

- seseorang musti tahu pula lawan siapa ia menjadi pendekar itu!

Dan kerap kali adalah lebih dibandingkan  keberanian untuk menahan diri dan

meliwati: demi menyempatkan dirinya bagi musuh-musuh yang lebih berharga!

Kau musti punya musuh-musuh yang kau benci; namun  bukan musuh-musuh 

yang kau hina: kau musti bangga akan musuh-musuh kau: maka aku ajarkan kau 

sekala lalu.

Kau musti menyempatkan diri kau, O para temanku, bagi musuh yang lebih 

berharga: maka kau musti meliwati banyak sesuatu,

Khususnya kau musti meliwati banyak gerombolan, yang berkoar di telinga 

kau mengenai rakyat dan rakyat-rakyat.

Jaga mata kau bersih dari Pro dan Kontranya mereka! Ada banyak benarnya,

ada banyak salahnya: sesiapa tetap memperhatikannya jadi marah.

Melihat ke sekeliling, dan menempa mereka – mereka sama saja: maka 

pergilah ke hutan-hutan dan tidur baringkan pedang kau!

Pergilah ke jalan-jalan kau! Dan biar rakyat dan rakyat-rakyat pergi ke 

jalan-jalan mereka! – jalan-jalan gelap, tentunya, di mana tidak ada satu harapan 

pun bersinar lagi!

Biar si pedagang memerintah, di mana segala yang tetap bersinar adalah –

emasnya si pedagang! Zamannya raja-raja sudah berlalu: apa yang sekarang 

menamakan dirinya rakyat tidak layak punya raja.

Lihat saja bagaimana rakyat ini sekarang bertingkah seperti para pedagang: 

mereka menuai keuntungan-keuntungan kecil dari mengais segala macam 

tumpukan sampah-sampah.

Mereka saling menghadang satu sama lainnya, mereka saling membenci 

satu sama lainnya – mereka menamakan ini „bertetangga baik.‟ Oh berkahilah, 

masa yang terjauh saat  rakyat berkata pada dirinya sendiri: „Aku ingin menjadi 

tuannya rakyat!‟

sebab , para saudaraku: yang terunggul musti memerintah, sang terunggul 

juga ingin memerintah! Dan di mana ini diajarkan sebaliknya, di sana – sang 

terunggul tidak ada.

  

Jika mereka – punya roti gratisan, duh! – apa yang mereka teriakan itu!

Pemeliharaan mereka – ini memang hiburan mereka; dan kehidupan harus keras 

bagi mereka!
Mereka adalah binatang pemangsa: bahkan dalam „kerja‟ mereka – ada 

perampasan, bahkan dalam „penghasilan‟ mereka – ada penipuan pula! Maka 

kehidupan harus keras bagi mereka!

Mereka harus menjadi para binatang pemangsa yang lebih unggul, lebih 

halus, lebih pandai, lebih serupa manusia: sebab  manusia adalah binatang 

pemangsa terunggul.

Manusia telah merampas kebajikan-kebajikan para binatang: mengapa 

itulah, dari segala binatang-binatang, kehidupan itu paling keras bagi manusia.

Hanya burung-burung tetap di atasnya. Dan jika manusia harus belajar 

terbang, duh! Ke ketinggian apa – keserakahannya harus terbang!

  

Ini bagaimana aku inginkan dari lelaki dan perempuan: yang satu siap untuk

berperang, yang lainnya sigap mengasuh anak, namun  keduanya piawai untuk

menari dengan kepala dan tumit.

Dan tidak ada hari tanpa menari bagi kita! Dan kebenaran itu palsu bila 

tidak didan i tawa.

  

Akad nikah kau: perhatikan ini bukanlah perakadan buruk! Terlalu cepat kau 

menikah : dan akibatnya – perceraian.

Lebih baik bercerai dibandingkan  membengkokan pernikahan, mengkhianati 

pernikahan! – Seorang perempuan berkata padaku: „Memang, aku bercerai namun  

pertamanya pernikahan itu – yang membuatku bercerai!‟

sebab  sebab inilah aku ingin rakyat yang jujur berkata ke satu sama 

lainnya: „Kita mencintai satu sama lainnya: mari kita menjaga agar kita tetap 

saling mencintai! Atau mustikah ikrar pernikahan kita menjadi pengkhianatan?

„Berikanlah kita waktu percobaan dan pernikahan kecil, sehingga kita bisa 

melihat apakah kita layak bagi pernikahan besar! Adalah sesuatu yang besar 

untuk selalu bersama!‟

Maka aku menganjurkan semua rakyat yang jujur; lalu untuk apa cintaku ke 

sang Superman, dan ke segala yang akan datang, jika aku harus menganjurkan dan 

berseru sebaliknya!

Tidak saja kau bentangkan diri kau ke depan namun  juga keatas – O para 

saudaraku, semoga taman pernikahan ini membantu kau!

  

Ia yang tumbuh arif mengenai asal-usul purba, perhatikan, ia akhirnya ingin 

mencari mata air masadepan dan asal-usul baru.
O para saudaraku, tidak lama lagi, rakyat baru akan bangkit, lalu mata air￾mata air baru akan mengalir ke kedalaman-kedalamkan baru. 

sebab  sang gempa bumi – yang menyumpal banyak sumur-sumur, dan 

menyebabkan banyak dahaga – juga mengungkapkan kekuatan-kekuatan batin 

dan  kegaiban-kegaiban sesuatu.

Sang gempa bumi menyingkapkan mata-air mata-air baru. Di gempa

buminya para rakyat purba, mata-air mata-air baru menyembur keluar.

Dan sesiapa yang berteriak di sana: „Perhatikan, ini adalah sumur bagi 

mereka yang dahaga, hati bagi mereka yang merindu, kemauan bagi banyak 

instrumen‟ – di sekeliling ianya berkumpul rakyat, ini yang dikatakan: para 

pencoba.

Siapa yang bisa memberi aba-aba, siapa yang harus patuh – ini dicoba di 

sini! Memang, dengan penyelidikan yang berkepanjangan dan keberhasilan dan

kegagalan dengan mempelajari dan mencoba-coba sekali lagi!

Masyarakat manusia: adalah satu percobaan, maka aku ajarkan – satu 

penelitian yang lama berkepanjangan: ini, namun, mencari sang panglima! –

Satu percobaan, O para saudaraku! Bukan sebuah „perjanjian‟! Hancurkan, 

hancurkan kata-kata si manusia berhati-lembut dan si setengah-setengah itu!

  

O para saudaraku! Ada di tangan siapakah marabahaya seluruh masa depan itu? 

Bukankah ini ada di tangan si baik dan adil? –

Di tangan mereka yang berkata dan merasa di hati mereka: „Kami sudah 

tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu, kami telah miliki ini pula; terkutuk 

mereka yang tetap mencar-cari!‟

Dan kerugian apa saja yang dilakukan si penjahat, kerugian yang dilakukan

si baik adalah yang paling merugikan!

Dan kerugian apa saja yang dilakukan si penghasut, kerugian yang 

dilakukan si baik adalah yang paling merugikan!

O para suadaraku, ke dalam lubuk hati si baik dan adil suatu saat  

seseorang melihat mereka dan berkata: „Mereka kaum Farisi‟ namun  ia tidak 

dimengerti orang banyak.

Si baik dan adil mereka sendiri tidak bisa mengerti: spirit mereka terpenjara 

dalam nurani baik mereka. Kebodohan si baik dan adil tidaklah terkira cerdiknya.

Namun ini adalah benar, bahwa si baik musti menjadi Farisi mereka tidak 

punya pilihan lain!

Si baik harus menyalibkan ia yang merekayasakan kebajikannya sendiri! 

Ini adalah benar!

Namun, orang kedua, yang menemukan negeri mereka - tanah-air, hati dan 

tanah si baik dan adil - ia yang bertanya: „Siapakah yang sangat dibenci

mereka?‟

Sang pencipta yang mereka sangat benci, ia yang mendobrak tabel-tabel

hukum dan nilai-nilai lama, sang pendobrak, – mereka menamakannya sang 

pendobrak hukum.

sebab  si baik – tidak bisa mencipta: mereka selalunya awal dari akhir: -
Mereka menyalibkan ia yang menuliskan nilai-nilai baru di atas tabel-tabel 

hukum baru, bagi mereka sendiri mereka mengorbankan masadepan – mereka 

meyalibkan seluruh masadepan manusia!

Si baik – selalunya awal dari akhir.

  

O para saudaraku, sudahkah kau mengerti seruan ini? Dan apa yang sekala aku 

katakan tentang sang „Manusia Moderen‟?

Ada di tangan siapakah marabahaya masa depan manusia itu? Bukankah ada 

di tangan si baik dan adil?

Hancurkan, hancurkan si baik dan adil – O para saudaraku, sudahkah kau 

mengerti seruan ini?

  

Kau lari dariku? Kau takut? Kau gemetaran akan seruan ini?

O para saudaraku, saat  aku mohon kau untuk menghancurkan si baik, dan 

tabel-tabel hukum si baik, kemudian aku akan membawa manusia ketengah 

samudera luas.

Lalu akan datang kepadanya teror megah, prospek megah, penyakit megah, 

kejijikan megah, mabuk laut megah.

Pesisir-pesisir palsu dan keamanan-keamanan palsu yang si baik telah 

ajarkan kepada kau; dalam dusta-dusta si baik kau dilahirkan dan dihidupkan. 

Segalanya telah dilencengkan dan disembelitkan hingga ke akar-akarnya oleh si 

baik.

namun  ia yang menemui negerinya „Manusia‟, juga menemui negerinya 

„Masadepan Manusia‟. Sekarang kau harus menjadi para pelaut bagiku, pelaut 

yang berani, pelaut yang sabar!

Berdirilah dengan tegak selamanya , O para saudaraku, belajar untuk berdiri 

tegak! Samudera membadai: banyak yang mau menegakan diri mereka lagi 

dengan bantuan kau.

Samudera membadai: segalanya ada di samudera. Lalu ayo! Mari, kau hati 

para pelaut tua!

Apa itu tanah-bapak! Kemudi kita mau mengarung jauh, jauh ke dimana 

tanah anak-anak kita berada! Pergi jauh, lebih membadai dibandingkan  samudera, 

badai adalah kerinduan megah kita!

  

„Mengapa sangat keras?‟ kata arang di suatu waktu pada intan; „tidakkah kita ini 

keluarga dekat?
Mengapa sangat lunak? O para saudaraku, maka aku tanya kau: bukankah 

kau – saudaraku?

Mengapa sangat lunak, sangat pasrah dan menyerah? Mengapa ada banyak 

penafian dan pengunduran diri dalam hati kau? Mengapa hanya ada sedikit takdir 

dalam tatap pandangan kau?

Dan jika kau tidak mau menjadi takdir-takdir dan keras: bagaimana bisa kau 

– menaklukan bersamaku?

Dan jika kekerasan kau tidak mau menyala dan memecahkan dan memotong 

hingga berkeping-keping: bagaimana kau bisa sekala – mencipta bersamaku?

sebab  para pencipta adalah keras. Dan ini kelihatannya seperti sesuatu 

yang sangat menyenangkan kau bahwa lengan-lengan kau menekan ke atas 

kemauan yang ribuan tahun usianya bagai ke atas lilin,

Bahagia menulis ke atas kemauan yang berusia ribuan tahun bagai ke atas 

perunggu – lebih keras dari perunggu, lebih mulia dibandingkan  perunggu. Hanya yang 

termulialah yang terkeras.

Tabel hukum baru ini aku letakan ke atas kau, O para saudaraku: Jadilah 

keras!

  

O kau, Kemauanku! Hakikatku, keutamaanku, penghalau kebutuhan! Jaga aku 

dari segala kejayaan-kejayaan kecil!

O nasib jiwaku, yang aku namakan takdir! Kau Di dalamku! Di atasku! 

Jamin dan beri aku satu takdir megah!

Dan kemegahan akhir kau, Kemauanku, simpanlah bagi detik akhir kau –

supaya kau bisa menjadi keras di dalam kejayaan kau! Ah, siapa yang tidak 

pernah menyerah pada kejayaannya sendiri!

Ah, mata siapa yang tidak redup dikemabukan senja! Ah, kaki siapa yang 

tidak pernah tersandung dan dalam kejayaannya lupa - bagaimana untuk berdiri!

Supaya aku sekala siap dan matang di tengah hari megah: siap dan matang 

laksana nyala biji besi, laksana awan pembawa kilat, laksana gelembung ambing￾ambing susu –

Siap bagi diriku dan bagi Kemauan rahasiaku: busur rindu bagi panahnya, 

panah rindu bagi bintangnya –

Bintang, siap dan matang di tengah harinya, menyala, bahagia, tembus oleh 

anak-anak panah sang surya yang membinaskan –

Sang surya sendiri, dan kemauan teguhnya sang surya, siap membinaskan

demi kejayaan!

O Kemauanku, hakikatku, keutamaanku, penghalau kebutuhan! Beri aku 

satu kejayaan megah!

Manusia yang Menyembuh

 

Di pagi hari saat  ia baru saja kembali ke guhanya, Zarathustra meloncat dari 

ranjangnya seperti orang gila, berteriak suara menakutkan, dan  bertingkah 

seolah-olah ada seseorang yang berbaring di ranjangnya dan tidak mau bangkit; 

dan suara Zarathustra bergema sedemikian rupa sehingga binatang-binatangnya 

berdatangan padanya ketakutan, dan dari segala guha-guha dan tempat-tempat 

persembunyian di sekitar guha Zarathustra semua mahluk-mahluk menyelinap, 

terbang, menggelepar, merayap, melompat, menurut macam kaki atau sayap apa 

yang telah diberikan pada masing-masing. Zarathustra, namun, berseru kata-kata 

ini:

Bangun, pikiran terdalam, bangun dari kedalaman-kedalamanku! Aku 

adalah ayam jantan dan fajar kau, cacing ngantuk: bangun! bangun! Suara 

kokokanku musti membangunkan kau!

Longgarkan sengkela-sengkela telinga kau: dengar! sebab  aku mau 

mendengarkan kau! Bangun! Bangun! Cukup bergemuruh di sini bahkan kuburan 

pun mendengar!

Dan lenyapkan sang kantuk dan segala kesuraman dan  kebutaan dari mata 

kau! Dengarkan pula aku dengan mata kau: suaraku adalah obat bahkan bagi 

mereka yang buta dari lahir.

Dan sekali kau gugah, kau musti tetap gugah seumur hidup. Itu bukanlah 

caraku untuk menggugahkan nenek-nenek kau dari tidurnya demi memohon 

mereka – tidur kembali!

Apa kau sedang mengulet, merentangkan diri kau, mendesah? Bangun! 

Bangun! Kau tidak boleh mendesah, – namun  berkata padaku! Zarathustra 

memanggil kau, Zarathustra yang tidakbertuhan!

Aku Zarathustra, sang penasihat kehidupan, sang penasihat kesengsaraan, 

sang penasihat siklus – aku panggil kau, pikiran-pikiran terdalamku!

Hiduplah aku ! Kau datang – aku dengar kau! Ngaraiku berbicara, aku telah 

merubah kedalaman terakhirku menjadi sang cahaya!

Hiduplah aku! Mari sini! Berikan lengan kau – ha! Lepaskan! Ha, ha! –

Jijik, jijik, jijik – oh tidak!

 

Namun, belum lagi Zarathustra menghabiskan seruan kata-katanya, ia jatuh 

seperti orang mati dan tetap seperti orang mati beberapa lamanya. namun  saat  ia 

siuman, ia pucat dan gemetaran tetap rebahan untuk beberapa lamanya tidak mau 

makan tidak juga minum. Keadaan ini berlangsung tujuh hari; para binatangnya, 

namun, tetap bersamanya pagi atau malam, kecuali sang elang terbang mencari 

makanan. Dan apa saja yang dia ambil dan kumpulkan dibaringkan di hadapan 

ranjang Zarathustra: maka akhirnya Zarathustra rebahan di tengah-tengah buah
arbei-arbei kuning dan merah, anggur, apel-apel merah, ramu-ramuan berbau 

manis dan  buah pohon cemara. Di kakinya, namun, dua ekor kambing 

dibentangkan, yang sang elang dapatkan dengan susah payahnya, dirampas dari 

para penggembala.

Akhirnya, setelah tujuh hari, Zarathustra bangkit dari ranjangnya, 

mengambil apel merah dengan tangannya, menciuminya, dan menemui baunya 

menyenangkan. Lalu para binatangnya berpikir bahwa waktunya telah tiba untuk 

berbicara padanya.

„O Zarathustra,‟ kata mereka, „kau rebahan serupa ini tujuh hari, dengan 

mata berat: tidak maukah kau sekarang berdiri di atas kaki kau lagi?

Melangkahlah keluar guha kau: dunia menunggu kau laksana taman. Bada i 

dimuati dengan wewangian tajam yang rindu pada kau; dan segala anak sungai 

ingin lari ke kau.

Segalanya merindukan kau, sejak kau menyendiri tujuh hari – melangkahlah 

keluar dari guha kau! Segalanya mau menjadi tabib kau!

Mungkinkah satu pengetahuan baru datang pada kau, pengetahuan pahit 

yang memilukan? Serupa adonan ragi kau rebahan, jiwa kau naik dan membanjiri 

tepian.‟

O para binatangku, jawab Zarathustra, terus bicara biar aku mendengar! Ini 

menyegarkanku untuk mendengar kau berbicara: di mana ada pembicaran, dunia 

seperti taman bagiku. 

Betapa menyenangkan, bahwa kata-kata dan suara-suara musik itu ada: 

bukankah kata-kata dan musik itu pelangi-pelangi dan jembatan-jembatan antara 

sesuatu yang terpisah abadi?

Setiap jiwa memiliki dunianya sendiri; bagi setiap jiwa setiap jiwa lainnya 

adalah dunia asing.

„Diantara sesuatu yang sangat serupa, ilusi mengatakan dengan manisnya 

kebohongannya; sebab  jurang yang terkecil pun sulit untuk dijembatani.

„Bagiku – bagaimana ada yang di luar diriku? Tidak ada luar! namun  kita 

lupa ini, saat  kita mendengar musik; alangkah manisnya ini lalu kita lupa!

„Tidakkah segala sesuatunya itu diberi nama-nama dan suara-suara musik, 

lalu manusia bisa menyegarkan dirinya bersama sesuatunya? Kata-kata adalah 

keindahan dungu: dengannya manusia menari di atas segala sesuatunya.

Alangkah manisnya segala kata-kata dan segala kepalsuan musik! Dengan 

musik cinta kita menari di atas aneka warna pelangi-pelangi‟

„O Zarathustra,‟ berkata para binatangnya kemudian, „bagi mahluk yang 

berpikiran serupa kita, segala sesuatunya mendekat dengan menari: mereka 

datang dan mempersembahkan lengan mereka, tertawa dan mundur – dan 

kembali lagi.

Segala sesuatunya pergi, segala sesuatunya kembali; roda kehidupan 

berputar selamanya. Segala sesuatuya akan mati, segala sesuatunya akan 

memekar baru; era kehidupan selalu berputar abadi.

Segala sesuatunya patah, segala sesuatunya menyatu membaru kembali; 

rumah kehidupan yang sama itu sendiri membangun dirinya sendiri abadi. Segala 

sesuatunya berpisah, segala sesuatunya bertemu kembali; siklus kehidupan itu 

benar pada dirinya sendiri abadi
Di setiap saat Kehidupan bermula; di setiap Sini menggelinding bola ke 

setiap Sana. Tengah-tengah ada dimana-mana. Berliku-liku jalan ke keabadian.‟

O kau badud-badud dan tong-tong orgel!‟ jawab Zarathustra, dan tersenyum 

kembali; „betapa kau tahu apa yang musti dihasilkan dalam tujuh hari:

„Dan bagaimana monster ini merayap ke tenggorokanku dan mencekikku! 

namun  aku gigit kepalanya dan memuntah jauhkannya.

Dan kau – membuat lagu keroncongan pula tentang ini? Namun, aku 

sekarang berbaring di sini, tetap letih sebab  gigitan dan pemuntahan ini, tetap 

sakit dengan penebusanku.

Dan kau hanya menonton ini semua? O para binatangku, apakah kau, pula, 

kejam? Apa kau ingin pula menonton dukacita megahku, bagai yang dikerjakan 

para manusia? sebab  manusia adalah binatang yang paling kejam.

Sandiwara-sandiwara tragedi, adu-adu banteng, dan  penyaliban-penyaliban

ini sangat disenangi manusia melebihi segala sesuatunya di dunia; dan saat  ia 

menciptakan Neraka baginya sendiri, perhatikan, itu surganya di dunia.

saat  seorang manusia akhbar menjerit, langsung datang berlarian 

manusia kecil; lidahnya bergelantungan dari mulutnya penuh nafsu. Namun, ia

menamakan ini “belas kasihan” nya.

Manusia kecil, khususnya sang pujangga – betapa bersemangatnya ia 

menghujat kehidupan dalam kata-kata! Dengarkanlah ia, namun  jangan sampai 

tidak mendengar nafsunya dalam segala hujatan-hujatannya!

Para penghujat kehidupan ini dikalahkan oleh kehidupan, dengan kerlingan 

matanya. “Apa kau mencintaiku?” kata si genit ini; “tunggu sebentar, aku namun 

tidak punya waktu bagi kau.”

Bagi dirinya sendiri manusia adalah binatang paling kejam; dan mereka 

yang menamakan diri mereka “para pendosa” dan “para pengemban Salib” dan 

“para penyesal,” jangan sampai tidak mendengar nafsu gairahnya dalam jeritan

dan hujatan mereka!

Dan aku sendiri – apa aku mau menjadi penghujat manusia? Ah, para 

binatangku, ini saja yang aku telah pelajari hingga kini, bahwa bagi manausia 

kejahatan itu adalah perlu bagi kebaikannya,

Bahwa segala yang terjahat dalam dirinya itu adalah kekuatan terbaiknya,

dan batu terkeras bagi sang pencipta agung; dan manusia harus tumbuh lebih baik 

dan lebih jahat:

„Bukan di atas salib yang membuat aku tersiksa, lalu aku tahu bahwa 

manusia itu jahat – namun  aku berteriak bagai tidak ada seorang pun pernah 

berteriak sebelumnya:

„Duh, kemahajahatannya sangat kecil! Duh, kemahabaikannya sangat kecil!‟

Kejijikan megah pada manusia – ini mencekikku dan merangkak ke dalam 

tenggorokanku: dan apa yang sang junjungan  ramalkan: “Semua adalah satu, tidak ada 

yang berharga, pengetahuan mencekik.”

Senja yang berkepanjangan berjalan timpang di hadapanku, keletihan abadi, 

kesedihan abadi yang memabukan yang berbicara dengan mulut yang menguap 

menahan kantuk.

„Secara abadi ia kembali, manusia yang sebab nya kau letih, si manusia 

kecil‟ – maka kesedihanku menguap, dan menyeret kakinya dan tidak bisa tidur.Menjadi guha, dunianya manusia bagiku, dadanya ambruk, segala sesuatu 

yang hidup bagiku menjadi debu manusia dan tulang-belulang dan reruntuhan

masalampau.

Kesahan-kesahanku duduk di atas kuburan-kuburan manusia, dan tidak bisa 

lagi berdiri; kesahan-kesahanku dan pertanyaan-pertanyaanku berkeroak dan 

tercekik, dan menggerogoti dan meratap pagi dan malam:

„Duh, manusia ada kembali abadi! Si manusia kerdil pun ada kemba li 

abadi!‟

Aku melihat mereka keduanya telanjang, manusia termegah dan manusia 

terkecil: semuanya sangat serupa satu sama lainnya, bahkan yang termegah pun 

sangat manusiawi!

Semuanya sangat kecil bahkan yang mahamegah sekali pun! – ini 

kejijikanku pada segala eksistensi!

Ah, Jijik! Jijik! Jijik!‟ ini seruan Zarathustra, mengesah dan risi; sebab  ia 

teringat akan sakitnya. Maka para binatangnya mencegahnya untuk berseru lebih 

lanjut.

„Jangan berseru lagi, kau manusia yang menyembuh!‟ – jawab para

binatangnya, „namun  pergilah keluar di mana dunia menunggu kau laksana taman.

Pergilah keluar pada kembang-kembang mawar, dan pada kumbang￾kumbang dan pada kumpulan merpati-merpati! Khususnya, pergilah keluar pada 

burung-burung pengicau, untuk belajar menembang dari mereka!

sebab  menembang adalah bagi manusia yang menyembuh; yang sehat 

boleh bicara. Dan saat  manusia sehat, juga, ingin lagu, ia ingin lagu yang 

berbeda dibandingkan  manusia yang menyembuh.‟

„O kau badud-badud dan tong-tong orgel, tolong diam!‟ jawab Zarathustra,

dan tersenyum ke para binatangnya. „Tahu benar kau pelipur apa yang aku telah 

upayakan bagi diriku dalam tujuh hari!

Bahwa aku musti menembang sekali lagi – pelipuran itu, dan penyembuhan 

ini aku rekayasakan bagi diriku: apa kau mau membuat lagu keroncongan akan 

ini, pula?‟

„Jangan berseru lagi,„ para binatangnya menjawab sekali lagi: „malah,

mulanya siapkan diri kau sebuah harpa, manusia yang menyembuh, harpa baru!

„sebab  perhatikan, O Zarathustra! Untuk lagu-lagu baru kau dibutuhkan 

harpa-harpa baru.

Menembanglah dan meleter, O Zarathustra, obati jiwa kau dengan lagu￾lagu baru, agar kau dapat mengemban takdir megah kau, yang tidak pernah 

menjadi takdir manusia lain!

sebab  para binatang kau tahu betul, siapa kau itu dan apa yang akan 

menjadi: perhatikan, kau adalah guru mengenai siklus abadi, nah ini, adalah 

takdir kau itu!

Bahwa kau musti menjadi manusia pertama yang mengajarkan doktrin ini –

bagaimana takdir megah ini tidak musti pula menjadi bahaya megah dan penyakit 

kau!

Perhatikan, kami tahu apa yang kau ajarkan: segala sesuatunya bersiklus 

abadi, dan kami sendiri bersama mereka, dan kami pernah eksis berkali-kali abadi,

dan segala sesuatunya bersama kamu