zarathustra 1

Tampilkan postingan dengan label zarathustra 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zarathustra 1. Tampilkan semua postingan

zarathustra 1


Sains

Maka menembanglah sang ahli sihir; dan semua yang hadir menjadi serupa 

burung-burung yang tidak waspada masuk terperangkap kedalam kegasangan jala melankolis dan kecerdikannya. Hanya si manusia ahli spirit yang tidak tertangkap: 

langsung ia merebut harpa dari sang ahli sihir dan berteriak: „Udara! Biar masuk 

udara segar! Biar masuk Zarathustra! Kau membuat guha ini gerah dan berbisa, 

kau ahli sihir jahat!

Kau menggoda ke hasrat-hasrat dan ke gurun-gurun yang tidak diketahui, 

kau palsu, kau manusia halus. Duh, saat  manusia semacam kau itu berbual dan  

berbuat sesuatu mengenai kebenaran!

Terkutuklah semua spirit bebas yang lengah, tidak berjaga-jaga terhadap 

para ahli sihir semacam ini! Kebebasan mereka akan sirna: kau mengajarkan dan 

menggoda mereka kembali ke dalam penjara-penjara,

Kau setan tua murung, Dari suara ratapan kau yang merdu bagai suara

kicauan burung keluarlah kata-kata yang menggoda, kau serupa mereka yang 

dengan puji-pujian mengenai kesucian dengan diam-diam mengundang nafsu

gairah!‟

Ini perkataan sang manusia ahli spirit itu; sang ahli sihir tua, namun, melihat 

ke sekitarnya, senang akan kemenangannya, dan dalam hal ini memaklumi walau 

dengan kecewa apa yang telah dikatakan oleh manusia ahli spirit. „Diam!‟ ia 

berkata dengan suara lembut, „tembangan-tembangan baik mau mengalun dan 

bergema dengan baik; setelah tembangan-tembangan baik seseorang harus 

terdiam lama.

Lalu mereka pun hening terdiam beberapa lamanya, mereka para Manusia 

Utama. namun  kau, mungkin, mengerti sedikit akan tembanganku? Ada sedikit 

jiwa penyihir dalam diri kau.‟

„Kau memujiku‟, jawab manusia ahli spirit, „saat  kau memisahkan diriku 

dari diri kau sendiri. Ayo! namun  kau yang lainnya, apa yang aku lihat? Kau 

semua masih tetap saja duduk di sana, dengan mata penuh nafsu berahi:

Kau para jiwa bebas, kemana kebebasan kau telah pergi sekarang? Kau 

nyaris serupa para manusia yang memandang terlalu lama ke para gadis nakal 

menari telanjang: jiwa kau sendiri pun ikut menari!

Musti ada lebih banyak, apa yang dinamakan oleh sang ahli sihir sebagai 

jiwa penyihir jahat dan penipuan, di dalam diri kau, kau para Manusia Utama –

memang kita pastilah berbeda.

Dan sungguh, kita sudah cukup banyak berbicara dan berpikir bersama, 

sebelum Zarathustra kembali ke rumah ke guhanya ini, untuk aku sadari bahwa 

kita pastilah berbeda.

„Kita mencari sesuatu yang berbeda – bahkan di atas sini, aku dan kau. 

sebab  aku mencari lebih banyak keselamatan, mengapa itulah aku datang ke 

Zarathustra. sebab  ia adalah menara dan kemauan yang selalu berdiri teguh.

Hari ini, saat  segalanya berjalan terhuyung-huyung, saat  bumi 

bergempa. namun  kau, saat  aku melihat tatapan kau, nyaris tampaknya kau 

bagiku lebih banyak mencarai ketidakselamatan, 

Lebih banyak horor, lebih banyak keberbahayaan, lebih banyak gempa￾gempa bumi. Menurutku, kau punya satu hasrat (maafkan aku bagi dugaan ini, 

kau para Manusia Utama),

Kau punya satu hasrat untuk hidup penuh dengan bahaya, yang sangat 

menakutkanku, bagi kehidupan binatang-binatang buas, bagi hutan-hutan, guha￾guha, gunung-gemunung terjal dan  labirin-labirin.
Dan mereka yang kau senangi itu bukanlah mereka yang memimpin kau 

keluar dari bahaya, namun  mereka yang memimpin kau tersesat dari segala jalan￾jalan, si pemimpin salah. namun  jika kau nyatanya mengingini hasrat-hasrat yang 

sedemikian, namun itu semua tampaknya bagiku adalah mustahil.

sebab  rasa takut – adalah awal dan dasar perasaan manusia; segalanya 

dijelaskan oleh rasa takut, dosa awal dan kebajikan asal. Dari rasa takut pula 

tumbuhlah kebajikanku, yang dinamakan: Sains.

sebab  rasa takut akan binatang-binatang buas – ini telah digarap paling 

lama dalam diri manusia, termasuk sang binatang yang disembunyikan dan 

ditakutkan dalam dirinya sendiri – Zarathustra namakan ini “sang binatang buas 

dalam diri”.

„Rasa takut yang berkepanjangan ini, rasa ketakutan purba ini sebegitu 

lamanya akhirnya tumbuh halus, membatin, mengintelek – sekarang, tampaknya 

bagiku, dimanakan: Sains!‟

Beginilah perkataannya sang manusia ahli spirit itu; namun  Zarathustra, yang 

baru saja kembali ke guhanya itu, mendengar dan mengerti diskursus terakhir ini, 

lalu melemparkan segenggam bunga mawar ke sang manusia ahli spirit dan 

tertawa akan “kebenarannya”. „Apa!‟ teriaknya, „apa yang baru saja aku dengar? 

Sungguh, aku pikir kau itu dungu, atau aku sendiri orang bodoh: dan secara diam￾diam dan secara cepat aku akan memberdirikan “kebenaran” kau itu di atas 

kepalanya.

sebab  rasa takut – ini adalah sebuah eksepsi dalam diri kita. Keberanian, 

dan kepetualangan juga kebersukaan pada yang tidak diketahui, pada yang tidak 

pernah dicoba – keberanian tampaknya bagiku adalah prasejarahnya umat 

manusia.

Ia iri pada bintang yang terliar, binatang yang paling berani lalu merampas 

seluruh kebajikan mereka dari mereka: hanya dengan demikian lalu ia menjadi –

manusia.

Kebaranian ini, sebegitu lamanya akhirnya tumbuh halus, membatin, 

mengintelek, keberanian manusia ini, dengan sayap-sayap elang dan 

kebijaksanaan ular: ini tampaknya padaku, hari ini dinamakan –„

„Zarathustra!‟ teriak mereka semua yang berkumpul di sana, seolah-olah

suara itu datang dari satu mulut, dan pada saat yang sama meledak menjadi tawa; 

namun, dari mereka muncul awan mendung berat. Bahkan sang ahli sihir pun 

tertawa, dan berkata secara bijaksana : „Mari! Spirit jahatku sudah pergi!

Dan bukankah aku sendiri sudah memperingatkan kau akan dia, saat  aku 

berkata bahwa dia adalah seorang pengecoh, si spirit penipu dan pembohong?

Khususnya saat  dia memperlihatkan dirinya telanjang. namun  apa yang 

aku bisa lakukan akan tipu-tipuannya! Apakah aku telah menciptakan dia dan 

dunia ini?

Ayo! Mari kita berbaikan, dan bergembira sekali lagi! Dan walau 

Zarathustra kelihatannya marah – lihatlah ia! Ia membenciku:

Sebelum malam tiba ia mau lagi belajar untuk mencintai dan memujiku, ia 

tidak bisa hidup lama tanpa melibatkan dirinya pada kedungu-dunguan serupa ini.

Ia – mencintai musuh-musuhnya: ia lebih tahu seni ini dibandingkan  setiap 

manusia yang pernah aku temui. namun  ia membalas dendam untuk itu, ke atas 

teman-temannya!
Ini seruan sang ahli sihir tua, dan para Manusia Utama memujinya bertepuk 

tangan: lalu Zarathustra berjalan ke sekeliling dengan nakalnya dan  dengan 

sayangnya menjabat tangan para temannya, serupa seorang yang musti membuat 

perbaikan-perbaikan dan memohon maaf pada setiap orang bagi sesuatu yang ia 

telah lakukan. Seraya ia dekat pintu guhanya, perhatikanlah, ia merasakan satu 

hasrat lagi bagi udara segar di luar dan bagi para binatangnya, dan ia sangat ingin 

untuk menyelinap keluar.

  . Di Antara Para Putri Padang Pasir

 

„Jangan pergi!‟ kata sang pengembara yang menamakan dirinyan bayangan 

Zarathustra, „tinggal bersama kita, jika tidak sang kenestapaan tua, muram akan 

menyerang kita lagi.

Sang ahli sihir tua telah memberikan kita sesuatu yang terburuk demi 

kebaikan kita, dan lihatlah, si baik itu, paus takwa itu, ada genangan air mata di 

matanya, dan telah pula mengarungi samudera melankoli.

Disana raja-raja masih saja berlagak gagah di hadapan kita: sebab  diantara 

kita yang hadir hari ini, mereka telah belajar dengan lebih baik! namun  tidak ada 

seorang pun yang melihat mereka, aku berani bertaruh bahwa, perkara pahit akan 

mulai lagi –

Perkara pahit akan awan yang melayang, melankoli yang basah lembab, 

tirai langit, matahari curian, desiran angin-angin musim gugur,

Perkara pahit akan raungan dan lolongan duka kita: tinggal bersama kita, O 

Zarathustra! Di sini ada banyak penderitaan yang tersembunyi yang sangat ingin 

untuk bicara, banyak malam, banyak mendung, banyak udara lembab!

Kau telah menyuapi kita dengan makanan-makanan sehat untuk para lelaki 

sejati, dan kata-kata mutiara penggugah semangat: jangan biarkan spirit 

kewanitaan yang lemah itu menyerang kita lagi di padang pasir ini!

Kau sendiri yang membuat udara di sekeliling kau segar dan bersih!

Pernahkah aku temui di dunia ini udara semacam ini selain bersama kau di dalam 

guha kau?

Aku banyak melihat negera-negara, hidungku sudah belajar untuk menguji 

dan menilai bermacam-macam udara: namun  bersama kau lubang hidungku 

merasakan kenikmatan besar!

Kecuali, kecuali - oh maafkan kenangan tua ini! Maafkan aku satu tembang 

tua sehabis-makan-malam, yang aku sadur di antara para putri padang pasir –

sebab  bersama mereka di sana ada udara segar juga, udara bersih, udara 

orang Timur; di sana aku jauh dari mendung-mendung, kelembaban-kelembaban, 

melankoli Eropa tua!

saat  itu aku mencintai gadis-gadis Timur semacam itu dan kerajaan surga 

biru, di sana tidak ada awan-awan atau pun pikiran-pikiran yang bergelantungan..

Kau tidak akan percaya alangkah manisnya mereka duduk di sana saat  

mereka tidak menari, dalam, namun  tanpa pikiran, serupa misteri kecil, serupa teka￾teki teka-teki yang dihiasi, serupa kacang sehabis makan malam 
Beraneka warna dan sangat asing sekali! namun  tanpa awan-awan mendung: 

teka-teki teka-teki yang setiap orang pun bisa terka: untuk menyenangkan para 

gadis semaca ini aku lalu menggubah sebuah mazmur sehabis makan malam.‟

Ini seruan sang pengembara yang menamakan dirinya bayangan

Zarathustra; dan sebelum ada seseorang yang menjawabnya, ia dengan cepat 

merenggut harpa sang ahli sihir tua itu, menyilangkan kakinya, dan menatap ke 

sekeliling dengan tenang semacam resi – namun, dengan perlahan dan  penuh 

tanya, lubang hidungnya, menghirup udara serupa seorang yang sedang 

merasakan udara janggal di negeri-negeri asing. Lalu ia mulai menembang serupa 

raungan.

 

Padang pasir itu tumbuh: sengsaralah ia yang mengharapkan padang-padang pasir!

Ha! Serius!

Sungguh serius!

Satu awal yang berharga!

Serius ala Afrika!

Serupa singa

Atau serupa lengkingan-beruk bermoral

- namun  ini adalah nol bagi kau,

Kau para gadis perawan yang paling aku sayangi,

Di depan kakinya aku,

Untuk pertama kalinya,

Seorang bangsa Eropa di bawah pepohonan palem,

Aku diizinkan duduk. Silah.

Indah, sungguh!

Di sini sekarang aku duduk,

Dekat padang pasir, namun aku

Masih sangat jauh dari padang pasir,

Tetap utuh tidak hancur:

sebab , aku ditelan bulat-bulat

Oleh oasis terkecil ini:

- Dia dengan mudahnya membuka, mengangakan,

Mulut termanisnya,

Mulut kecil-beraroma termanis dari segala mulut-mulut kecil:

Lalu aku jatuh ke dalamnya,

Ke bawah, langsung ke bawah – ke tengah-tengah kau,

Kau para gadis perawan yang paling aku sayangi! Silah.

Hidup ikan paus! Hidup ikan paus itu!

Agar tamunya senang

Membuat kenyamanan! – kau mengerti
Tentunya, kiasanku yang bijak inikan?

Hidup perutnya

Seolah-olah

Semanis perut-oasis

Seperti ini: namun aku meragukannya,

- Sejak aku datang dari Eropa-Tua,

Keraguan ini lebih bergelora dibandingkan 

Setiap perempuan tua yang sudah menikah.

Semoga Tuhan perbaiki ini!

Amin!

Di sini sekarang aku duduk,

Di dalam oasis terkecil,

Persis seperti buah kurma,

Coklat, sangat manis, membuih keemasan,

Rindu bagi mulut bulat gadis,

namun  lebih rindu bagi keremajaan, kegadisan,

Gigi yang seputih salju, sedingin es,

Gigi seri: bagi semua ini

Hati segala buah kurma bernafsu mendambakannya. Silah.

Persis serupa, segala yang semacam

Buah-buahan benua selatan tersebut di atas

Aku berbaring di sini, dekat dengan

Serangga-serangga kecil yang berterbangan

Diendusi dan dipermainkan,

Bahkan oleh yang terkecil,

Harapan-harapan dan fantasi-fantasi

Lebih bodoh dan lebih jahat,

Terkepung oleh kau,

Kau pendiam, pertanda

Kucing betina 

Dudu dan Suleika,

- Jadilah seperti Sphinx, supaya kedalam satu kata

aku bisa menjejalkan banyak perasaan:

(Ampunilah aku, O Tuhan Dosa-kata ini!)

Aku duduk di sini mengendus udara tersegar,

Udara surgawi, sungguh,

Udara benderang, ringan, tersadur emas,

Sesegar udara selayaknya yang 

Jatuh dari bulan –

sebab  keberuntungan,

Atau sebab  kecongkakan?

Seperti yang dikatakan para pujanga tua itu.

Aku, sang peragu, namun, ingin menyelidikinya;

Sejak aku datang 

Dari Eropa,

Keraguan ini lebih bergelora dibandingkan 
Setiap perempuan tua yang sudah menikah.

Semoga Tuhan perbaiki ini!

Amin!

Minum di udara tersegar,

Dengan cuping hidung merekah bagai piala,

Tanpa masa depan, tanpa memori,

Maka aku duduk di sini, wahai kau

Para gadis perawan yang paling aku sayangi,

Dan melihat pohon palem nun di sana,

Alangkah menyerupai seorang penari wanita,

Dia meliuk, membungkuk dan bergoyangan pinggulnya, 

- Jika seseorang memperhatikan lama ia akan ikut-ikutan!

Serupa sang penari yang tampaknya bagiku,,

Sudah terlama, bersikeras membahayakan,

Berdiri di atas satu kaki?

- Maka ia lupa, ini tampaknya,

Kakinya yang satunya lagi?

Sekurang-kurangnya, dalam kesia-siaan

Aku mencari permata kembar

Yang hilang itu

- Yakni, kaki yang lainnya –

Di sekitar kesucian

Dekat rok kesayangannya, yang sangat lembut,

Terumbai, berkibar, 

Ya, jika kau ingin betul percaya padaku, wahai

Kau para gadis perawan manis:

Ia telah kehilangannya!

Hu! Hu! Hu! Hu! Hu!

Itu telah lenyap!

Lenyap selamanya!

Kaki yang satunya itu!

Oh, kasihan kaki manis yang satunya lagi!

Di mana dia sekarang berada, sedih ditinggalkan?

Kaki kesepian itu?

Mungkin takut akan 

Singa monster

Pirang bersurai, penuh amarah? Atau mungkin bahkan

Terkunyah, hancur berkeping –

Memelas, duh! duh! hancur berkeping! Silah.

Oh jangan menangis,

Hati lembut!

Jangan menangis, kau

Hati-buah kurma! Dada bersusu!

Kau hati-manis

Kantung kecil!

Jangan menangis lagi kau,
Dudu pucat!

Jadilah lelaki, Suleika! Berani! Berani!

Atau mungkin di sana

Sesuatu menguatkan, menguatkan-hati,

Ditempatkan di sini?

Beberapa wejangan yang memberi inspirasi?

Beberapa nasihat yang serius?

Ha! Bangun sekarang! Kehormatan!

Moral kehormatan! Moral bangsa Eropa!

Tiup, tiup lagi,

Kebajikan ubub!

Ha!

Raung sekali lagi,

Raungan bermoral kau!

Seperti singa yang bermoral itu

Di hadapan para putri padang pasir ini, meraung!

Bagi lengkingan kebajikan,

Kau para gadis perawan tersayang,

Lebih bergereget dibandingkan 

Geregetnya bangsa Eropa, selera bangsa Eropa!

Dan di sini aku sekarang berdiri,

Sebagai orang Eropa,

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, maka tolonglah aku Tuhan!

Amin!











Tujuh Segel

(atau: Tembang Ya dan Amin)

 

Jika aku adalah seorang junjungan  dan penuh dengan spirit kejunjungan an, mengembara di 

lereng-lereng gunung curam, di antara dua samudera,

Mengembara di antara masalalu dan masadepan laksana mendung berat, 

musuh ke dataran-dataran rendah panas, dan ke segala yang letih yang tidak bisa 

hidup atau mati:

Siap bagi kilat di dalam dada gelapnya, dan bagi sinar cahaya penebusan, 

hamil kilat yang mengatakan Ya! Yang tertawa Ya! Siap bagi gebyaran kilat 

kejunjungan an:

namun  berkahilah ia yang lalu hamil seperti itu! Dan, sungguh, ia harus 

bergelantungan lama di atas gunung-gemunung bak badai kuat, ia yang mau

menyalakan cahaya masadepan!

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi Keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!

Namun tidak pernah aku menemui perempuan olehmana aku mau punya 

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta, sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!

 

Jika amarahku pernah memecah bukakan kubur-kubur, memindahkan batu-batu 

batas, memecahkan dan menghumbal tabel-tabel hukum lama ke dalam jurang￾jurang dalam:

Jika cemoohanku pernah menghembus jauhkan kata-kata usang, jika aku 

datang seperti sapu ke para laba-laba Silang dan bagai angin penyapu bersih ke 

makam-makam tua:

Jika aku pernah duduk ceria di mana tuhan-tuhan purba terbaring di kubur, 

pemberi berkah-dunia, pecinta-dunia, di sisi tugu-tugu para penghujat dunia:

Bahkan gereja-gereja dan kuburan-kuburan tuhan aku cinta, hanya jika sang 

langit melihat, melalui atap pecah mereka, dengan mata-murninya; aku suka 

duduk bak rumput dan bunga popi merah di atas reruntuhan puing-puing gereja:

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!

Namun tidak pernah aku menemui perempuan olehmana aku mau punya 

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian! Jika pernah sehirupan nafas dari nafas kreatif dan sehirupan nafas nesesitas 

surgawi pernah datang padaku, yang bahkan mendorong keberuntungan menari di 

kitaran bintang:

Jika aku pernah tertawa, tawaan kilat sang pencipta, yangmana diikuti oleh 

petirnya perbuatan, menggerutu namun  patuh, taat:

Jika aku pernah bermain dadu bersama tuhan-tuhan di meja mereka, dunia 

ini, sehingga dunia ini bergetar dan bergairah, dan mendengus mengeluakan 

cairan api:

sebab  bumi itu adalah mejanya tuhan, dan bergetar dengan kata-kata baru 

yang kreatif dan lemparan-lemparan dadu tuhan-tuhan: 

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkran-lingkaran – lingkaran siklus!

Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!

 

Jika aku pernah minum seteguk campuran ramuan berbusa semangkuk penuh, di 

dalam mana setiap sesuatunya bercampur:

Jika lenganku pernah menuangkan yang terjauh ke yang terdekat, api ke 

spirit, sukacita ke dukacita, dan mahajahat ke mahalembut;

Jika aku sendiri adalah sebutir garam penyelamat yang membuat setiap 

sesuatunya bercampur mesra bersama di dalam mangkuk:

sebab  ada sebutir garam yang menyatukan kebaikan dan kejahatan; bahkan 

sang terjahat pun berharga sebagai bumbu dan luber buih akhir.

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!

Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!

 

Jika aku mencintai sang samudera, dan segalanya yang seperti samudera, dan 

sangat mencintainya saat  ia marah menentangku:

Jika kenikmatan dalam mencari itu ada dalam diriku, yang mendorong layar 

perahu menuju ke yang belum di temukan, jika kenikmatan sang pelaut ada dalam 

kenikmatanku:

Jika pernah kegembiraanku berteriak: „Pesisir telah menghilang – sekarang 

sengkela terakhirku pun jatuh dariku,

„Sang tanpabatas meraung-raung di sekelilingku, ruang dan waktu berseri￾seri padaku nun jauh di sana, lalu, ayo! hati tua!‟

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!

Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!

 

Jika kebajikanku itu adalah kebajikan sang penari, dan jika aku sering melompat

dengan kedua kaki ke dalam rasa kegembiran jamrud-keemasan:

Jika kejahatanku itu adalah gelak-tawa jahat, di rumah di tengah-tengah 

kebun bunga mawar dan pagar bunga bakung:

sebab  dalam gelak-tawa semua kejahatan itu hadir, namun  disucikan, dan 

diampuni dosanya oleh kebahagiannya sendiri:

Dan jika ini adalah Alpha dan Omegaku maka setiap yang berat akan 

menjadi ringan, setiap orang penari, setiap spirit menjadi burung: dan, sungguh, 

ini adalah Alpha dan Omegaku!

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!

Tidak pernah namun aku menemui perempuan oleh mana aku mau punya

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!

 

Jika aku pernah membentangkan langit hening di atasku, dan terbang dengan 

sayap-sayapku sendiri ke dalam langit biruku:

Jika aku pernah berenang secara bermain-main dalam lautan cahaya, dan 

jika burung kebijaksanaanku datang padaku: 

namun  lalu berkata burung-kebijaksanaan itu: „Perhatikan, tidak ada atas, 

tidak ada bawah! Lemparkan diri kau ke sana kemari, keluar, kebelakang, kau 

burung tanpa berat! Tembang! Jangan berkata lagi! 

„Tidakkah segala kata-kata dibuat untuk yang berat? Tidakkah segala kata￾kata berbohong pada yang ringan? Tembang! Jangan berkata lagi!‟

Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi 

perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku meneemui perempuan olehmana aku mau punya

anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab  aku cinta kau, O 

Keabadian!

sebab  aku cinta kau, O Keabadian!










Kerinduan Megah

O jiwaku, aku telah mengajarkan kau untuk berkata „sekarang‟ sebaiknya „sekala‟ 

dan „dahulu,‟ dan untuk menarikan tarian kau di atas setiap Sini dan Situ dan  

Atas-situ.

O jiwaku, aku telah membebaskan kau dari setiap pojokan-pojokan, aku 

telah menyapu debu-debu, laba-laba dan senja jauh dari kau O jiwaku, aku telah membersihkan aib kecil dan kebajikan-pojok jauh dari 

kau dan membujuk kau untuk berdiri telanjang di hadapan mata sang surya.

Dengan sang badai yang dinamakan „spirit‟ aku telah berlayar menyeberangi

samudera ganas kau; aku telah menghembus jauh-jauh segala mendung-mendung

darinya, bahkan aku telah mencekik burung pencekik itu yang dinamakan 

„dosa‟.

O jiwaku, aku telah memberikan kau hak untuk berkata Tidak laksana sang 

badai, dan untuk berkata Ya laksana langit terbuka berkata Ya: tenang seperti 

cahaya kau sekarang berdiri, dan kau sekarang berjalan menembus sang badai 

penyangkal.

O jiwaku, aku telah memberikan kembali kebebasan kepada sesuatu yang 

dapat diciptakan dan  kepada yang tidak dapat diciptakan: dan siapa yang tahu,

seperti yang kau tahu tentang gairahnya masa depan?

O jiwaku, aku telah ajarkan kau kebencian yang datangnya bukan seperti 

keripan ulat, namun  kebencian megah, kebencian yang mencinta, yang 

mahamencinta saat  dia mahamembenci.

O jiwaku, aku telah ajarkan kau untuk membujuk bahkan kau membujuk 

tanah untuk datang pada kau; laksana sang surya yang membujuk samudera untuk 

bangkit naik ke ketinggiannya.

O jiwaku, aku telah menyingkirkan dari kau segala kepatuhan, keberlututan, 

dan keperhambaan; aku sendiri telah berikan kau sebuah nama „Sang penghalau

Keperdulian‟ dan „Takdir‟.

O jiwaku, aku telah berikan nama-nama baru dan mainan aneka warna baru, 

aku telah namakan kau „Takdir‟ dan „Lingkaran dari Lingkaran-lingkaran‟ „Tali 

puser sang waktu‟ dan „Cungkup-langit-biru‟.

O jiwaku, aku telah memberikan tanah kau segala kebijaksanaanku untuk 

diminum, segala air-air anggur baru, dan juga segala air-air anggur tua

kebijaksanaan.

O Jiwaku, aku telah tuangkan ke atas diri kau setiap matahari dan setiap 

malam hari, setiap keheningan dan setiap kerinduan: - lalu kau tumbuh bagiku 

bagai setangkai pohon anggur.

O jiwaku, sekarang kau berdiri berlimpahan dan berat, setangkai pohon 

anggur dengan ambing-ambing menggelembung berdekapan saling berdesakan 

anggur-anggur coklat keemasn:

Penuh dan  terberatkan ke bawah oleh kebahagiaan kau, menunggu sebab 

keberlimpahan, namun malu akan penantian kau.

O jiwaku, sekarang tidak ada jiwa di manapun juga yang lebih mencinta, 

dan lebih luas dan mencakup segalanya! Di manakah masadepan dan masalalu 

bisa saling lebih berdekatan selain bersama diri kau?

O jiwaku, aku telah berikan kau segalanya, dan lenganku jadi kosong sebab 

kau: dan sekarang! Sekarang kau bertanya padaku, tersenyum dan penuh 

melankoli: „Siapa diantara kita yang harus berterimakasih?

Apakah sang pemberi tidak berterimakasih pada sang penerima sebab  

menerima? Bukankah memberi itu suatu kebutuhan? Bukankah menerima itu –

belas kasihan?

O jiwaku, aku mengerti senyum melankoli kau: keberlimpahan kau ini 

sendiri sekarang menjangkau meraih lengan-lengan kerinduan!  Keberlimpahan kau menatap jauh keseberang samudera-samudera gerang, 

mencari-cari dan  menunggu-nunggu; kerinduan kemahaberlimpahan menatap

jauh dengan tersenyum dari mata kau yang bagaikan langit itu!

Dan sungguh, O jiwaku! Siapa yang bisa memperhatikan senyuman kau dan 

tidak luluh menjadi air mata? Para bidadari pun luluh menjadi air mata melalui 

senyuman mahalembut kau.

Kelembutan dan kemahalembutan kau itulah yang tidak ingin untuk 

mengeluh atau pun menangis: namun, senyuman kau rindu bagi air mata, O 

jiwaku, dan getaran mulut kau bagi isak tangis.

„Bukankah segala tangisan itu keluhan? Dan segala keluhan itu tuduhan?‟ 

Maka kau berkata pada diri kau sendiri, dan oleh sebab  itu, O jiwaku, kau malah 

tersenyum dibandingkan  menumpahkan semua penderitaan kau,

Menumpahkan semua penderitan kau yang berupa tetesan air mata ke atas 

keberlimpahan kau dan ke atas kerinduannya pohon-pohon anggur pada sang 

pemanen dan sabit-sabitnya!

namun  jika kau tidak mau menangis tidak pula melampiaskan kesedihan 

muram jingga kau, kau harus menembang, O jiwaku! Perhatikan, aku sendiri 

tersenyum, sebab  mengatakan hal ini pada kau sebelumnya:

Kau harus menembang dengan tembangan yang penuh gairah, sehingga 

segala samudera menjadi tenang mendengar rasa rindu kau,

Hingga, di atas ketenangan samudera-samudera kerinduan, sebuah perahu 

meluncur, keemasan mengagumkan, dan di sekitar emas ini segala yang baik, 

yang buruk, sesuatu yang mengagumkan meloncat:

Dan banyak binatang-binatang besar maupun kecil, dan setiap sesuatu yang 

memiliki kaki-kaki lincah mengagumkan, sehingga bisa lari di atas jalan-jalan 

ungu,

Pergi menuju ke perahu emas, perahu kemauan bebas, dan ketuannya: ia, 

namun, sang pemanen yang menunggu dengan sabit berlian,

Sang Juru Selamat megah kau, O jiwaku, yang tidak bernama itu, hanya 

tembangan-tembangan masa depanlah yang akan memberinya sebuah nama! Dan 

sungguh, nafas kau sendiri sudah berbau harum semerbak dengan tembangan￾tembangan masadepan,

Sudah pula kau bersinar menyala dan bermimpi, sudah pula kau minum 

dengan penuh dahaga dari air sumur-sumur dalam yang menggemakan

kesentausaan, sudah pula kesenduan kau rebahan di tembangan-tembangan 

bahagia masadepan!

O jiwaku, sekarang aku telah beri kau segalanya, bahkan milikku yang 

terakhir,ini, dan lenganku telah menjadi kosong melalui kau: - bahwa aku mohon 

kau menembang, perhatikan, ini adalah pemberianku yang terakhir yang aku musti 

berikan!

Bahwa aku mohon kau untuk menembang, sekarang katakanlah, katakan ini

saja: Siapa di anatara kita – yang harus berterimakasih sekarang? namun  lebih 

baik lagi: menembanglah bagiku, menembanglah, O jiwaku! Dan biarlah aku 

berterimaksih pada kau!

Tembang Tari Kedua

 

„Baru-baru ini aku menatap mata kau, O Kehidupan: aku melihat emas 

bergemerlapan di mata kau – hatiku terpukau terpesona:

Aku melihat perahu emas bergemerlapan di atas air hitam, perahu 

tenggelam, terangkat, tengelam lagi, bergoyangan perahu emas!

Di kakiku, kaki gila-penariku, kau melontarkan tatapan sekilas, tatapan 

jenaka, penuh tanya, meluluhkan, menggoda: 

Hanya dua kali saja kau angkat marakas kau di tangan mungil kau – lalu 

kakiku siap bergoyangan di tarian gila.

Tumitku terangkat sendiri, jari-jari kakiku menggeliat mendengarkan kau: 

sebab  sang penari menaruh telinganya – di jari-jari kakinya!

Aku melompat ke sisi kau: lalu kau menghindar, mundur dengan 

tangkasnya; hanya jilatan lidah ujung rambut kau yang menguntai dan

melambai-lambai di hadapanku!

Jauh dari kau dan dari rambut kau yang seperti ular aku melompat: lalu 

dan  merta kau berdiri menyamping, mata kau penuh cumbu.

Dengan senyum bengkok kau – kau ajarkan aku jalan-jalan bengkok, di atas 

jalan-jalan bengkok itu pula kakiku belajar – berkilah!

Aku takut kau bila kau dekat, aku cinta kau bila kau jauh; pelarian kau 

menggodaku, pencarianan kau menentramkanku: Aku sengsara, namun  demi kau 

dengan senang hati menderita!

Bagi kau, kesejukan membakar, kebencian menggoda, pelarian 

mengundang, cemoohan kau – membujuk:

Siapa yang tidak akan membenci kau, perempuan yang mengikat kita, 

membelit kita, mencari kita, menemukan kita! Siapa yang tidak akan mencintai 

kau, kau lugu, tidak sabaran, angin cepat, mata kekanakan pendosa!

Kemana kau hendak membawaku sekarang, kau suri teladan yang tidak 

tahu aturan? Dan lagi kau meninggalkanku, kau manis, kucing liar yang tidak 

tahu bersyukur!

Aku menari di belakang kau, aku mengikuti bahkan saat  hanya ada 

sedikit jejak setapak. Di manakah kau? Berikan aku lengan kau! Atau satu jari 

saja!

Di sini ada guha-guha dan semak-semak: kita mustilah tersesat! Berhenti! 

Jangan bergerak! Tidakkah kau melihat burung-burung hantu dan  kelelawar￾kelawar di udara?

Kau kelelawar! Kau burung hantu! Kau membodohiku? Di manakah kita? 

Dari anjing-anjing kau belajar untuk menggonggong dan melolong?

Kau mengatupkan gigi mungil putih dengan manisnya padaku, dari balik

bulu surai keriting kau, mata jahat kau membeliak padaku!

Ini adalah tarian di atas lembah dan bukit: aku sang pemburu – maukah kau 

menjadi anjingku, atau buruanku?

Sekarang di sisiku! Dan dengan cepat, kau pengembara jahat! Sekarang 

melompat ke atas! Dan menyilang! – Duh! Aku sendiri jatuh terpental

terpelanting!
Oh, lihatlah aku terbaring, kau arogan, ampunilah aku! Aku dengan senang 

hati akan mengikuti kau berjalan ke tempat yang lebih menyenangkan! –

Ke jalan cinta, melalui aneka warna bunga-bunga yang hening rapih! Atau 

di sana di pinggir danau, di mana ikan-ikan emas menari dan berenang!

Apa kau letih sekarang? Nun jauh di sana ada kambing dan matahari 

terbenam: bukankah ini manis untuk tidur, saat  sang penggembala memainkan 

serulingnya?

Apa kau sangat letih? Aku panggul kau ke sana, biar bahu kau terguntai! 

Dan jika kau haus – aku punya sesuatu, namun  mulut kau tidak mau minum ini! 


Oh ular terkutuk ini, ular luwes, gesit, leyak licin! Pergi tanpa jejak? namun  

aku merasakan dari lengan kau, dua bintik-bintik merah di mukaku!

Aku sungguh letih sebab  itu, harus selalu menjadi penggembalanya kau! 

Kau leyak, jika aku pernah hingga kini menembang untuk kau, sekarang kau 

harus – berteriak untukku!

Pada irama pecutanku kau harus menari dan berteriak! Apa aku lupa 

cemetiku? – Aku tidak lupa!

 

Lalu Kehidupan menjawabku demikian, menutupi telinga lembutnya: 

„O Zarathustra! Jangan pukulkan cemeti kau terlalu keras! Kau tentu tahu: 

suara bising membunuh pikiran – dan sekarang pikiran lembut ini datang padaku.

Kita berdua memang betul-betul tidak berguna dan tidak merugikan siapa￾siapa. Melebihi kebaikan dan kejahatan kita temukan pulau kita dan padang 

rumput kita – kita saja berdua! Maka kita harus saling mencintai satu sama 

lainnya!

Bahkan jika kita tidak saling mencintai dari dalam hati kita, apakah kita

musti saling membenci jika kita tidak saling mencintai dari dalam hati?

Dan aku menyukai kau dan kerap menyukai kau sangat berlebihan, kau tahu 

ini kan: sebab  aku cemburu akan Kebijaksanaan kau. Ah, Kebijaksanaan bodoh 

tua gila ini!

Jika Kebijaksanaan kau sekala meninggalkan kau, duh! Lalu cintaku akan 

segera pula meninggalkan kau.‟

Lalu, Hidup memandang penuh perhatian ke belakangnya dan sekeliling, 

lalu berkata dengan lembut: „O Zarathustra, kau tidak cukup setia padaku!

Kau tidak cukup mencintaiku sebesar yang kau selalu katakan; aku tahu kau 

berniat untuk meninggalkanku segera.

Di sana ada lonceng tua, berat, menggelegar berat: ini menggelegar di 

malam hari ke guha kau:

Tatkala kau mendengar lonceng ini menabuh waktu tengah malam, maka 

kau kira ini di antara satu dan dua belas –

Kau berniat, O Zarathustra, aku tahu, meninggalkanku segera!‟

„Ya,‟ aku menjawab ragu-ragu, „namun  kau juga tahukan.‟ Dan aku 

membisikan sesuatu ke telinganya, di tengah-tengah gelungan rambut kusut, 

kuning yang tidak senonoh itu.
Kau tahu ini, O Zarathustra? Tidak ada seorang pun yang tahu ini.‟

Dan kita saling menatap muka satu sama lainnya dan memandang ke padang 

rumput hijau, di atas mana malam dingin mulai membentang, lalu menangis 

bersama. Lalu Kehidupan lebih menyayangiku dibandingkan  Kebijaksanaan.

Ini seruan Zarathustra.

 

Satu!

O Manusia, Perhatikan!

Dua!

Apa yang suara tengah malam sepi katakan?

Tiga!

„Dari dalam tidurnya,

Empat!

„Dari kedalam mimpi aku bangun dan memohon:

Lima!

„Dunia adalah dalam,

Enam!

„Lebih dalam dibandingkan  sang hari bisa mengerti.

Tujuh!

„Dalam adalah penderitaannya,

Delapan!

„Sukacita – lebih dalam dibandingkan  dukacita:

Sembilan!

„Derita berkata: Lenyap! Pergi!

Sepuluh!

„namun  segala sukacita ingin keabadian,

Sebelas!

„ Ingin keabadian yang dalam, dalam, dalam!‟

Dua belas!




















Kebajikan yang Membuat Kecil

 

saat  Zarathustra sekali lagi ada di dataran kering, ia tidak langsung pergi ke 

gunung-gunung dan guanya, namun  membuat banyak perjalanan-perjalanan dan  

banyak bertanya-tanya, dan memeriksa ini dan itu; lalu ia berkata pada dirinya 

bergurau: „Perhatikan sungai yang mengalir balik ke sumbernya itu melalui 

banyak liku-liku!‟ sebab  ia ingin tahu apa yang telah terjadi diantara para 

manusia saat  ia pergi jauh: apakah mereka telah menjadi lebih besar atau lebih 

kecil. Dan saat  ia melihat barisan rumah-rumah baru, ia takjub, dan  berseru:

„Apa arti rumah-rumah ini? Sugguh, bukan manusia berjiwa besar yang 

mendirikan rumah-rumah ini sebagai citra dirinya!

Apa mungkin seorang anak dungu mengambil ini dari kotak-mainannya? 

Semoga anak lainnya akan menaruh rumah-rumah ini kembali ke dalam 

kotaknya!

Dan kamar-kamar duduk dan kamar-kamar tidur ini: apa para manusia bisa 

keluar-masuk darinya? Ini semua tampaknya dibuat bagi boneka-boneka sutera; 

atau bagi para pengutil kecil yang mungkin membiarkan diri mereka sendiri 

dikutili.‟

Dan Zarathustra berhenti dan berpikir. Akhirnya ia berkata dengan sedih: 

„Di sana segalanya telah menjadi lebih kecil!

Di mana-mana aku melihat pintu-pintu yang lebih rendah: semua yang 

sejenis aku tetap bisa masuk melaluinya, namun  – ia harus membungkuk!

„Oh, bilakah aku kembali ke rumahku lagi, di mana aku tidak lagi harus 

membungkuk – tidak harus lagi membungkuk di hadapan para manusia kecil!‟ 

Dan Zarathustra mengesah. dan memandang ke kejauhan.

Pada hari yang sama, namun, ia berseru tentang diskursusnya mengenai 

kebajikan yang membuat kecil.

 

Aku pergi ketengah-tengah rakyat ini dan membuka mataku lebar-lebar: 

mereka tidak memaafkanku sebab  aku tidak cemburu pada kebajikan-kebajikan 

mereka.

Mereka menggigitku sebab  aku katakan pada mereka, bahwa bagi manusia 

kecil kebajikan kecil itu perlu – sebab  sulit bagiku untuk mengerti bahwa 

manusia kecil itu perlu!
Di sini aku tetap seperti seekor ayam jantan di ladang janggal, yang dipatuk￾patuki ayam-ayam betina; namun  aku tidak marah pada ayam-ayam betina dalam 

hal ini.

Aku sopan pada mereka, seperti pada setiap gangguan kecil; untuk menjadi 

berduri pada sesuatu yang kecil, bagiku ini kebijaksanaannya landak.

Mereka semua membicarakanku saat  mereka duduk-duduk di sekeliling 

api di malam hari – mereka membicarakanku, namun  tidak seorang pun 

memikirkanku!

Ini adalah kemembisuan baru yang aku telah pelajari: suara ribut mereka 

menebarkan selubung ke atas pikiran-pikiranku!

Mereka saling teriak: „Apa yang mendung suram ini inginkan dari kita? 

Marilah kita lihat pula bahwa ini tidak akan memberikan kita wabah penyakit!‟

Dan baru-baru ini seorang perempuan menarik anaknya yang datang ke

arahku: „Jauhi anak ini!‟ teriaknya; mata seperti ini menghanguskan jiwa anak￾anak.‟

Mereka batuk-batuk saat  aku berseru: mereka pikir batuk-batuk ini 

penentang angin-angin keras – mereka tidak tahu sama sekali tentang 

keberingasan kebahagiaanku!

„Kita namun tidak punya waktu bagi Zarathustra‟ – maka mereka 

menentang; namun  apa artinya sebuah waktu yang „tidak punya waktu‟ bagi 

Zarathustra?

Bahkan jika mereka memuji-mujiku: bagaimana aku bisa tidur di atas puji￾pujian mereka? Seperti sabuk berduri bagiku puji-pujian mereka itu: mencakarku 

bahkan saat  aku lepaskan.

Dan ini pula aku telah belajar di tengah-tengah mereka: ia yang memuji￾muji berpura-pura untuk memberi kembali, namun sebenanya ia minta untuk 

diberi lebih banyak lagi!

Tanya pada kakiku jika ia suka pada sanjungan-sanjungan dan iming-iming 

mereka! Sungguh, kakiku tidak suka dengan irama tik-tok tik-tok ini tidak juga 

suka untuk menari dan berdiri.

Mereka mau memikat dan menganjurkanku kebajikan kecil; Kepada nada 

irama tik-tok tik-tok kebahagiaan kecil, mereka ingin membujuk kakiku.

Aku pergi ke tengah-tengah rakyat ini dan membuka mataku lebar-lebar: 

mereka telah menjadi lebih kecil, dan masih akan mengecil lagi: doktrin mereka 

tentang kebahagiaan dan kebajikan itulah peyebabnya.

sebab  mereka moderat bahkan dalam kebajikan, – sebab  mereka ingin 

santai. namun  hanya kebajikan yang moderat sajalah yang cocok dengan 

kesantaian.

Tentunya, mereka juga belajar dengan cara mereka sendiri untuk 

melangkah dan berjalan ke depan: ini, aku namakan kepincangan mereka. 

Dengan ini mereka menjadi penghalang bagi siapa saja yang tergesa-gesa.

Dan sebagian besar dari mereka maju ke depan dan pada saat yang sama

melihat kebelakang, dengan leher kaku: aku mau tabrak mereka.

Kaki dan mata tidak harus berbohong, tidak pula membohongi satu sama 

lainnya. namun  ada banyak kebohongan-kebohongan di tengah-tengah rakyat 

kecil.

Banyak dari mereka memaui, namun  sebagian besar dari mereka dipermaui

belaka. Banyak dari mereka sejati, namun  sebagian besar dari mereka aktor buruk.
Mereka adalah para aktor tanpa disadari, dan para aktor tanpa disengaja –

yang sejati selalunya langka, khususnya para aktor sejati.

Hanya ada sedikit kejantanan di sini: maka para perempuannya membuat 

diri mereka kelelaki-lakian. sebab  hanya ia yang cukup jantan sajalah, yang 

akan – menyelamatkan perempuan dalam perempuan.

Dan inilah kemunafikan yang terburuk yang aku temukan di antara 

mereka: bahkan mereka yang memerintah berpura-pura berkebajikan seperti 

mereka yang melayani.

„Aku melayani, kau melayani, kita melayani‟ – maka di sini 

bersenandunglah para penguasa yang munafik itu – duh, jika sang penguasa yang 

pertama itu hanyalah pelayan yang pertama belaka!

Ah, bahkan ke atas kemunfikan mereka pula rasa keingintahuan mataku itu 

hinggap; dan aku telah menerka dengan baik segala kebahagiaan-lalat mereka, dan 

mendengungan di sekeliling kaca jendela hangat.

Ada banyak kebaikan ada banyak kelemahan, aku lihat. Ada banyak 

keadilan dan belas kasihan, ada banyak kelemahan.

Terus terang, jujur, dan lemah lembut mereka pada sesamanya, seperti 

butir-butir pasir memaklumi butir-butir pasir lainnya.

Dengan sederhana memeluk satu kebahagiaan kecil – ini yang mereka 

namakan „kepasrahan‟! Dan pada saat yang sama mereka mencari secara 

sederhana pula kebahagiaan kecil baru lainnya.

Dalam hati mereka, mereka hanya ingin satu ini saja dari segalanya: bahwa 

tidak seorang pun akan mencelakakan mereka. Maka untuk itu mereka saling 

dahulu mendahului dan  berbuat baik pada siapa saja.

Ini, namun, kepengecutan walau ini dinamakan „kebajikan.‟

Dan saat  mereka berbicara secara kasar, rakyat kecil ini, lalu aku 

mendengar hanya suara serak mereka belaka – nyatanya, setiap ada tiupan angin, 

membuat mereka serak.

Memang mereka cerdas, kebajikan-kebajikan mereka punya jejari terampil. 

namun  mereka tidak punya kepalan-kepalan tinju, jari-jari mereka tidak tahu cara 

untuk mengepal.

Kebajikan bagi mereka adalah sesuatu yang membuat bersahaja dan jinak: 

dengan ini mereka membuat serigala menjadi anjing, dan manusia sendiri menjadi 

binatang peliharaan terbaik.

„Kita menaruh kursi kita di tengah‟ – maka seringaian mereka berkata 

padaku – „dan sejauh-jauhnya dari para satria yang sekarat juga dari babi-babi 

rakus.‟

Namun, ini adalah – mediokritas: walau ini dinamakan kebersahajaan.

 

Aku pergi ketengah-tengah rakyat banyak lalu menebar banyak kata-kata

di sana; namun  mereka tidak tahu bagaimana untuk mengambil atau pun

menyimpannya.

Mereka takjub bahwa aku datang tidak untuk mencerca ketamakan dan 

kejahatan mereka; sungguh, tidak pula aku datang untuk memperingatkan mereka 

akan pencuri dompet!
Mereka takjub mengapa aku tidak siap untuk memajukan dan mengasah

kecerdasan mereka: seolah-olah mereka belum cukup lihay, dan suara-suara 

mereka mengilukan telingaku bagai goresan gerip di atas sabak!

Dan saat  aku berteriak: „Kutuk segala setan-setan penakut yang ada di 

dalam diri kau, yang ingin meratap dan  menekap tangan mereka dan memuja,‟ 

lalu mereka berteriak: „Zarathustra tidakbertuhan.‟

Dan ini khususnya para guru yang mengajarkan kepasrahan diri yang 

berteriak demikian; namun  tepatnya ke dalam telinga-telinga mereka aku senang 

untuk berteriak: Ya! Aku adalah Zarathustra, yang tidakbertuhan!‟

Para guru tentang kepasrahan diri ini! Di mana saja ada yang kecil, atau

sakit, atau keropengan, di sana mereka merayap seperti kutu; hanya kejijikankulah 

yang menghentikan untuk memecahkan mereka.

Ayo! Ini adalah wejanganku ke telinga-telinga mereka: Aku Zarathustra 

yang tidakbertuhan, yang berseru „Siapa yang lebih tidak bertuhan dibandingkan ku, 

yang ajaran-ajarannya bisa menggembirakanku?‟

Aku Zarathustra yang tidakbertuhan: di mana aku bisa menemui manusia 

yang setara denganku? Dan mereka adalah setara denganku, mereka yang telah 

memberikan pada diri mereka sendiri Kemauan mereka, dan melepaskan semua 

kepasrahan diri. 

Aku Zarathustra yang tidakbertuhan! Aku masak setiap keberuntungan

dalam periukku. Dan hanya saat  cukup matang aku akan merimanya sebagai 

makananku.

Dan sungguh, banyak keberuntungan-keberuntungan datang dengan 

sombongnya kepadaku: namun  dengan lebih sombong lagi Kemauanku berseru 

padanya, lalu ia berlutut memohon dengan sangat –

Memohon supaya bisa mendapatkan perlindungan, dan kasih sayang dariku, 

dan berkata merayu: „Lihat saja, O Zarathustra, bagaimana seorang teman datang 

ke temannya!‟

namun  mengapa aku berseru di mana tidak seorang pun punya telinga 

serupaku? Lalu aku mau meneriakan ini dengan sekuat tenaga ke empat penjuru 

angin:

Kau akan menjadi lebih kecil dan kecil, kau rakyat kecil! Kau akan hancur 

remuk, kau rakyat santai! Nanti kau akan punah –

Melalui banyak kebajikan-kebajikan kecil kau, melalui banyak kelalaian￾kelalaian kau, dan melalui kepasrahan-kepasrahan kecil kau!

Terlalu pemurah, terlalu lunak: ini adalah keadaan tanah kau! namun  agar 

pohon itu tumbuh besar, dia ingin untuk membelitkan akar-akar kuatnya ke 

sekeliling batu-batu cadas keras!

Bahkan apa-apa yang kau jauhkan itu akan menjadi rajutan jaring

masadepan seluruh kemanusiaan; bahkan kehampaan kau itu pun adalah jaring 

laba-laba, dan laba-laba yang hidup dari darah masadepan.

Dan saat  kau mengambil, ini serupa mencuri, kau rakyat kecil yang baik; 

meski pun di antara para durjana, sang kehormatan berkata: „Seseorang harus 

mencuri saat  seseorang tidak bisa merampok.‟

„Ini diberikan‟ – ini pula doktrin kepasrahan diri itu. namun  aku serukan 

pada kau, kau rakyat santai: ini diambil, dan ini akan diambil lebih banyak dan 

banyak lagi dari kau
Oh, semoga kau membuang jauh-jauh segala kemauan yang setengah￾setengah dari dalam diri kau, dan bersikap tegas dalam kelesuan kau seperti kau 

bersikap tegas dalam tindakan!

Ah, kau mengerti seruanku: „Selalu kerjakan apa yang kau maui – namun  

mulanya jadilah laksana yang bisa memaui.

Selalu mencintai tetangga kau sebagai diri kau sendiri – namun  mulanya 

jadilah laksana cinta itu sendiri –

Laksana cinta dengan cinta megah, laksana cinta dengan kebencian megah!‟

Maka berseru Zarathustra yang tidakbertuhan.

namun  mengapa aku berseru, saat  tidak ada seorang pun yang punya 

telinga serupaku? Namun saatnya masih terlalu dini bagiku di sini.

Aku adalah pertandaku sendiri di tengah-tengah rakyat ini, suara kokok 

ayam jantanku di lorong-lorong gelap.

namun  waktu mereka pun tiba! Dan waktuku pun tiba pula! Dari waktu ke 

waktu mereka akan mengerdil, lebih miskin, lebih mandul – semak-semak miskin! 

tanah miskin!

Dan segera mereka harus berdiri di hadapanku serupa rumput kering dan 

padang datar, dan sungguh! letih akan diri mereka sendiri – dan rindu malah bagi 

api dibandingkan  air!

O berkahilah saat kedatangan sang kilat! O misteri menjelang tengah hari! 

Gulungan api aku akan menjadikan mereka pada suatu hari nanti, dan pewarta￾pewarta berlidah bara –

Suatu saat  mereka musti berikrar dengan lidah-lidah api: ini akan tiba, 

ini sudah dekat, tengah hari megah!

Ini seruan Zarathustra.

  . Di Atas Gunung Zaitun

Sang musim dingin, si tamu buruk, duduk di rumahku; lenganku membiru sebab  

jabatan tangan ramahnya.

Aku menghormat dia, tamu buruk ini, namun  dengan senangnya aku

membiarkan dia duduk seorang diri. Dengan senangnya aku lari menjauhinya; dan 

jika kau lari dengan baik kau bisa bebas darinya!

Dengan kaki hangat dan pikiran–pikiran hangat aku lari nun jauh ke sana di 

mana angin bertiup hening - ke tempat yang hangat di atas gunung zaitunku.

Di sana aku tertawa ke tamu tegarku, dan aku tetap mencintainya, sebab  dia 

mengusir jauh lalat-lalat, dan  membungkamkan banyak suara-suara bising kecil.

sebab  dia tidak mentolelir bahkah seagas pun untuk mendengung di 

sekitar, apa lagi dua agas; dan dia membuat jalan-jalan lengang, maka sinar 

rembulan takut di sana di malam hari.

Dia adalah tamu keras, namun  aku hormati dia, dan aku tidak menyembah 

pada perut-buncit berhala-api, seperti yang dilakukan oleh para manusia lemah.

Lebih baik bergemeretakan gigi sedikit dibandingkan  memuja berhala! – maka 

kodratku memaui ini. Dan khususnya aku membenci semua para manusia yang 

penuh nafsu, penaik darah, berbau apek berhala-berhala api.Sesiapa yang aku cintai, aku lebih mencintainya di musim dingin dibandingkan  

di musim panas; sekarang aku mencemooh para musuhku dengan lebih baik, dan 

dengan sepenuh hati, saat  sang musim dingin ada di rumahku.

Dengan sepenuh hati, sungguh, bahkan saat  aku merangkak ke atas 

ranjangku – : di sana tetap saja tertawa dan nakal kebahagiaan tersembunyiku; 

bahkan mimpi yang memperdayakanku tertawa pula.

Aku, seorang - perangkak? Tidak pernah selama hidupku aku merangkak 

di depan penguasa; dan jika aku pernah bohong, aku bohong sebab  cinta. Oleh 

sebab  ini aku penuh dengan rasa sukacita bahkan di ranjang musim dinginku.

Ranjang sederhana lebih menghangatkanku dibandingkan  ranjang mewah, 

sebab  aku cemburu akan kemiskinanku. Dan di musim dingin dia sangat setia 

padaku.

Dengan kenakalan aku mulai setiap pagi: aku mencemooh sang musim 

dingin dengan mandi air dingin: oleh sebab  itu teman tegarku ini menggerutu.

Aku senang pula menggelitikinya dengan lilin: agar dia akhirnya mau 

melepas bebaskan sang langit dari cengkeraman kehitaman senja kelabu.

sebab  aku khususnya nakal di pagi hari: di awal pagi saat  ember 

bergemerincingan di sumur, dan kuda meringkik hangat di lorong-lorong kelabu.

Lalu tidak sabar aku menunggu, hingga sang langit benderang akhirnya 

menyingsing bagiku, sang musim dingin berjanggut putih, orang tua, berkepala

putih –

Sang langit musim dingin, sang langit musim dingin yang pendiam, yang 

bahkan sering menyembunyikan sang suryanya sendiri!

Mungkinkah aku telah belajar, kemembisuan yang lama dan benderang 

darinya? Ataukah dia belajar dariku? Ataukah kita masing-masing

mengupayakannya sendiri?

Asal usul dari semua kebaikan itu beribu-ribu rangkap – semua kenakalan 

yang baik melompat dengan sukacita ke dalam eksistensi: bagaimana mereka

musti mengerjakan ini - satu kali saja?

Kenakalan yang baik adalah juga kemembisuan yang berkepanjangan, dan 

untuk melihat, seperti langit musim dingin, dari biji mata-bulat muka yang 

benderang –

Serupa dia, untuk menyembunyikan sang suryanya, dan  kemauan tegar

sang suryanya: sungguh, seni ini dan kenakalan musim dingin ini, aku telah 

pelajari dengan baik!

Ini adalah kejahatan dan seni yang paling aku senangi, bahwa 

kemembisuanku telah belajar untuk tidak memperlihatkan dirinya dengan 

membisu.

Kertak-kertuk dengan artikulasi dan dadu aku telah memperdayakan para 

tamu heningku: kemauanku dan maksudku harus menghindari para pengamat 

tegar ini. 

Supaya tidak seorang pun bisa melihat ke bawah ke kedalamnku dan ke 

kemauan terakhirku – mengapa itulah aku mengupayakan kemembisuan yang 

lama dan  benderang.

Aku mendapatkan banyak para manusia lihay: ia menyelubungi muka 

mereka dan mengucek butek air mereka, supaya tidak seorang pun bisa melihat 

menembus ke bawah dasarnya.
namun  tepatnya kepada merekalah datang para manusia penyangsi yang 

lebih lihay lagi dan para perekah-kacang-kacang: langsung saja mereka 

memancing ikan terbaik yang disembunyian mereka!

namun  si jernih, si tulus, si bening – mereka tampaknya bagiku si yang 

terlihay, para manusia pembisu: mereka yang kedalamannya sangat dalam bahkan 

air jernih pun tidak bisa – memperlihatkan dasar kedalamannya.

Kau janggut putih, yang membisu, salju musim dingin, kau mata bulat, 

berkepala putih di atasku! Oh, kau citra surgawi jiwaku dan  kenakalannya!

Tidakkah aku harus menyembunyikan diriku, seperti seorang yang telah 

menelan emas - agar jiwaku tidak dibelek?

Tidakkah aku harus memakai enggrang, agar mereka tidak memperhatikan

kaki panjangku – mereka semua rakyat pendengki dan peluka disekelilingku?

Mereka para jiwa busuk, berasap, lelah, dengki, tidak sehat – bagaimana 

bisa dengki mereka tahan kebahagiaanku?

Maka aku hanya memperlihatkan es pada mereka dan  musim dingin di 

puncak-puncakku – bukankah itu gunungku pula yang membelit sabuk-sabuk 

sinar surya disekelilingnya!

Mereka hanya mendengar siulan badai-badai musim dinginku: dan tidak 

tahu bahwa aku pun juga berlayar mengarungi samudera-semudera hangat, 

seperti angin selatan yang panas, berat penuh rasa rindu.

Mereka bahkan membelas kasihani aksiden-aksiden dan keberuntungan￾keberuntunganku: namun  seruanku berkata: „Biar keberuntungan itu datang 

padaku: dia lugu seperti anak kecil!‟

Bagaimana mereka bisa tahan kebahagiaanku, jika aku tidak membungkus 

kebahagiaanku dengan aksiden-aksiden, dan nestapa-nestapa musim dingin, dan 

topi-topi bulu, dan mantel salju!

- Jika saja aku sendiri tidak bersimpati pada belas kasihannya mereka, 

belas kasihannya rakyat pendengki dan peluka!

- Jika saja aku sendiri tidak meresah di hadapan mereka, dan 

bergemeratakan gigi, dan dengan sabar membiarkan diriku dibalut oleh belas 

kasihan mereka!

Ini kenakalanku yang bijaksana dan  kemurahan hati jiwaku: ia tidak 

menyembunyikan musim dinginnya dan badai-badai bekunya: tidak pula dia 

menyembunyikan bengkak-bengkatnya.

Bagi seseorang, penyendirian itu adalah pelariannya orang sakit; bagi yang 

lainnya, penyendirian itu adalah pelariannya dari orang sakit.

Biar mereka mendengar aku bergemeretakan dan mengesah bersama musim 

dingin, mereka miskin, mata juling penipu di sekelilingku! Dengan kesahan dan 

gemeretakan serupa ini aku melarikan diri dari kamar-kamar panas mereka.

Biar mereka bersimpati dan  mengesah akan bengkak-bengkakku: „Di atas 

es pengetahuan ia nanti akan mati membeku!‟ – lalu mereka meratap.

Sementara itu, aku berlarian dengan kaki hangat ke sana dan ke mari di atas 

gunung zaitunku: di bagian terhangat gunung zaitunku aku menembang dan 

mencemooh segala belas kasihan 
Meliwati

Lalu, dengan perlahan melalui banyak rakyat dan melalui beberapa kota 

melanjutkan perjalanannya, Zarathustra secara tidak langsung pulang kembali ke 

gunung-gemunung dan  guhanya. Dan perhatikan, ia tidak sadar sampai ke 

ambang gapura kota megah. Di sini, namun, si pembual bodoh dengan lengan 

terbuka, melompat ke hadapannya menghalangi jalan. Ia adalah si bodoh itu 

yang rakyat menamakannya „si peniru Zarathustra‟: sebab  ia telah belajar darinya 

mengenai komposisi kalimat dan  susunan bahasa dan mungkin pula ingin untuk 

meminjam sesuatu dari gudang kebijaksanaannya. Si bodoh, namun, berseru 

demikian pada Zarathustra:

O Zarathustra, ini adalah kota megah: di sini tidak ada yang dapat kau cari 

dan segalanya adalah kerugian.

Mengapa kau ingin mencercah melalui lumpur ini? Belas kasihanilah kaki 

kau! Malah ludahi pintu gerbang ini dan – kembali!

Di sini adalah Nereka bagi pikiran-pikiran sang petapa: di sini pikiran￾pikiran direbus hidup-hidup dan dimasak kecil-kecil.

Di sini segala emosi-emosi megah membusuk: di sini hanya emosi-emosi 

kecil dan  emosi-emosi kering diperkenankan untuk berderik!

Tidakkah kau mencium bau rumah-rumah-pejagalan dan toko-toko pemasak 

spirit? Tidakkah kota ini berbau asap-asap busuk dari spirit yang terjagal?

Tidakkah kau melihat jiwa-jiwa bergantungan serupa gombalan-gombalan

compang-camping? – Dan mereka membuat koran pula dari compang-camping

ini!

Belumkah kau dengar bagaimana sang spirit di sini telah menjadi permainan 

kata-kata? Ia memuntahkan air kotor cucian kata-kata menjijikan! – Mereka 

membuat koran pula dari air kotor cucian kata-kata ini.

Mereka saling memburu satu sama lainnya, dan tidak tahu di mana! Mereka 

saling memprovokasi satu sama lainnya, dan tidak tahu mengapa! Mereka 

menggelintingkan kaleng-kaleng mereka, mereka menggerincingkan emas-emas 

mereka.

Mereka dingin, dan mencari kehangatan di air-air yang telah disuling; 

mereka terbakar dan mencari kesejukan di spirit-spirit yang membeku; mereka 

semua sakit dan kecanduan opini rakyat banyak.

Segala nafsu-nafsu dan kejahatan-kejahatan hidup satu atap di sini; namun  

ada pula manusia berbudi luhur di sini, ada banyak kebajikan-kebajikan yang 

cekatan dan berguna:

Banyak kebajikan-kebajikan yang cekatan berjari penggurit, dan  berpantat 

keras kebanyakan duduk dan menunggu, bahagia sebab  dikarunia hiasan bintang

di dada kecil mereka, para perawan tepos, yang bokongnya yang disumpel.

Banyak pula kesalehan di sini, dan keimanan menjilat-air-liur dan 

menyanjung-nyanjung di hadapan Yahweh.

„Dari atas,‟ meneteslah bintang, dan air liur yang pemurah itu; untuk „ke 

atas‟ setiap dada yang tidak berbintang merindu.
Bulan memiliki istana, dan di istana ada beberapa orang tolol: rakyat yang 

suka mengemis dan kebajikan yang cekatan yang suka minta-minta mereka berdoa 

bahwa segalanya akan datang dari istana.

„Aku melayani, kau melayani, kita melayani‟ – maka segala kebajikan yang 

cekatan berdoa pada sang pangeran: lalu bintang jasa akhirnya disematkan di atas 

dada-dada tipis.

namun  bulan tetap berkisar mengelilingi apa-apa yang duniawi: maka sang 

pangeran, pun, tetap berputar mengelilingi apa-apa yang terduniawi dari segalanya 

- ini, adalah emasnya para pedagang.

Yahweh bukan tuhan batang-batang emas; sang pangeran menganjurkan, 

namun  si pedagang – menentukan!

Bersama dengan segala yang benderang dan kokoh lagi baik dalam diri kau, 

O Zarathustra! Ludahilah kota para pedagang dan pulanglah!

Di sini semua darah mengalir busuk dan suam-suam kuku, membuih melalui

nadi-nadi: ludahilah kota megah ini, dimana semua sampah-sampah mampet, di 

mana semua buih sampah membusa bersama!

Ludahilah kotanya jiwa-jiwa sempit dan dada-dada tipis ini, kotanya si mata 

tajam dan si para pencopet –

Kotanya orang-orang yang sok menonjol, tidak tahu malu, si agitator dalam 

lisan maupun tulisan, berambisi terlalu panas:

Dimana segalanya merapuh, rusak, penuh nafsu, tidak bisa dipercaya, 

terlalu matang, bernanah dan berkomplot berkhianat – ludahilah kota megah ini 

dan pulanglah!

namun  di sini Zarathustra menyelang bualan berbusa si bodoh dan 

membekap mulutnya.

Cukup! teriak Zarathustra. Perkataan kau dan orang semacam kau sudah 

lama menjijikanku!

Mengapa kau hidup sangat lama di rawa-rawa ini, dan kau sendiri telah 

menjadi katak dan bangkong?

Tidakkah darah busuk, buih rawa itu sekarang mengalir melalui urat nadi 

kau sendiri, lalu kau belajar berkoar dan merintih serupa ini?

Mengapa kau tidak pergi ke hutan? Atau membajak tanah? Tidakkah 

samudera itu penuh dengan pulau-pulau hijau? 

Aku benci kebencian kau; dan saat  kau memperingatkanku - mengapa 

kau tidak memperingatkan diri kau sendiri?

Dari cinta itu sendirilah kebencianku dan burung pertandaku itu terbang ; 

bukan dari rawa-rawa!

Mereka menamakan kau si peniruku, kau pembual bodoh: namun  aku 

namakan kau babi pendengusku – dengan mendengus kau merusakan bahkan puji￾pujianku tentang kebodohan.

Apa, yang lalu, memulakan kau untuk mendengus? sebab  tidak ada 

seorang pun yang cukup merayu kau: - maka kau duduk, di sisi sampah kotor ini, 

supaya kau bisa punya alasan untuk lebih mendengus lagi –

Supaya kau bisa punya alasan untuk lebih mendendam lagi! sebab  segala 

bualan kau, kau sombong bodoh, itu adalah dendam; Aku telah terka kau betul!
namun  kebodohan ajaran kau ini sangat menyakitkanku, bahkan jika kau 

benar! Walau pun ajaran Zarathustra itu seratus kali terbukti benar, kau akan tetap 

– menggunakan ajaranku secara salah!

Ini seruan Zarathustra. Lalu ia melihat ke kota megah ini, mengesah dan 

terdiam lama. Akhirnya ia berseru demikian:

Bukan saja si bodoh yang aku benci, namun  juga kota megah ini. Di 

keduanya tidak ada yang membuat sesuatunya menjadi lebih baik, tidak ada yang 

membuat sesuatunya menjadi lebih buruk.

Tertuklah kota megah ini! Dan aku berharap aku bisa menyaksikan saka￾saka api yang akan membakarnya!

sebab  saka-saka api seperti ini harus memulakan tengah hari megah. 

Namun ini ada waktunya dan  takdirnya.

namun  aku persembahkan kau diperpisahan ini sebuah ajaran, kau bodoh: 

Dimana seseorang tidak lagi mencintai, maka seseorang musti – meliwati!

Ini seruan Zarathustra dan ia meliwati si bodoh dan kota megah.

  . Para Murtad

 

Ah, terbaring sudah segala sesuatu yang sudah layu dan kelabu, yang baru-baru 

ini segar menghijau dan beraneka warna di atas padang rumput ini! Alangkah 

banyak madu harapan yang telah aku bawa dari sini ke sarang-sarang tawonku!

Semua hati muda telah tumbuh tua – bukan tua! hanya letih, jenuh, santai: 

mereka menjelaskan: „Kita telah menjadi saleh lagi.‟

namun  belakangan ini aku melihat mereka berlarian di pagi buta dengan 

kaki-kaki perkasa: namun  kaki pengetahuan mereka menjadi letih, dan sekarang 

mereka bahkan memfitnah keperkasaan pagi mereka!

Sungguh, banyak dari mereka sekala mengangkat kaki mereka seperti 

seorang penari; kepada mereka tawa kebijaksanaanku mengerling: - lalu mereka 

mempertimbangkan kembali. Dan barusan tadi aku melihat mereka berlutut –

merangkak ke Salib.

Di sekeliling cahaya dan di sekeliling kebebasan sekala mereka mengibas￾ngibas serupa lalat kecil dan para pujangga muda. Sedikit lebih tua, sedikit lebih 

dingin: lalu mereka menjadi para pembuat desas-desus di dalam kegelapan, para 

pengoceh dan menggerombol berdesak-desakan dekat tungku perapian.

Apakah hati mereka mungkin putus-asa, sebab  tempat penyendirianku

menelanku seperti ikan paus? Apakah telinga mereka mungkin sia-sia

mendengarkanku, dan terlalu lama merindukanku dan bagi tiupan suara terompet 

dan panggilan sang pewartaku?

Duh! Selalu ada mereka yang sedikit, yang hatinya punya daya keberanian 

dan  semangat yang berkesinambungan; dan sang spirit yang serupa itu - adalah

sabar. Sisanya, namun, adalah pengecut.
Sisanya: ini selalunya si mayoritas, orang umum, si mubasir, si kebanyakan 

– mereka semuanya adalah si pengecut!

Ia yang sejenisku, akan pula menghadapi pengalaman-pengalaman 

sepertiku: maka teman-teman pertamanya mustilah mayat-mayat dan badud￾badud.

Teman keduanya, namun, akan menamakan diri mereka penganut￾penganutnya: kumpulan orang banyak, penuh dengan rasa cinta, penuh dengan 

kebodohan, penuh dengan kepemujaan ala remaja.

Pada para penganut-penganut seperti itu, ia yang berada di tengah-tengah 

para manusia, ia yang sejenisku, harus tidak merekatkan hatinya; pada musim￾musim bunga dan pada aneka warna padang-padang rumput ia harus tidak 

percaya, ia yang tahu akan sifat manusia yang pengecut!

Jika mereka bisa berbuat yang lainnya, mereka akan berbuat yang lainnya. 

Si setengah-setengah merusak setiap keutuhan. Dedaunan akan menjadi layu -

apa gunanya berkeluh-kesah tentangnya?

Biar mereka berguguran, biar mereka pergi, O Zarathustra, dan jangan 

mengeluh! Malah hembus ketengah-tengah mereka dengan desiran angin-angin –

Hembus ketengah-tengah dedaunan ini, O Zarathustra: maka segala yang 

layu akan melarikan diri jauh dari kau lebih cepat!

 

„Kita telah menjadi saleh lagi‟ – maka para murtad mengaku; dan masih banyak 

dari mereka yang masih tetap sangat takut untuk mengakui ini.

Ke mata mereka, aku menatap, di hadapan mereka, dan ke kesipuan pipi 

mereka lalu aku berseru : Kau adalah orang yang berdoa lagi!

namun  adalah memalukan untuk berdoa! Bukan bagi setiap orangnya, namun  

bagi kau, dan bagi yang memiliki hati nurani di dalam kepalanya. Bagi kau adalah 

memalukan untuk berdoa!

Kau tahu betul ini: sang setan yang penakut dalam diri kau, yang senang 

mendekapkan dan  melipat tangannya ke dadanya, dan menganggap mudah 

segalanya: - itu adalah setan yang pengecut yang membujuk kau: „Ada Tuhan!‟

Namun, melalui ini, kau telah menjadi salah satu dari mereka yang takut 

akan cahaya, yangmana sang cahaya tidak pernah membiarkan kau tenang; 

sekarang kau harus membenamkan kepala kau lebih dalam lagi setiap hari ke 

dalam malam dan kabut!

Dan sungguh, kau telah memilih waktu ini dengan baik: sebab  baru saja

burung-burung-malam sekali lagi terbang jauh. Waktunya telah tiba bagi semua 

rakyat yang takut cahaya, waktu malam dan waktu yang khidmat saat  mereka 

tidak - „khidmat‟.

Aku mendengar dan mencium baunya: waktunya telah tiba _ waktu berburu 

dan upacaranya mereka; bukan bagi perburuan liar, namun  bagi perburuan jinak,

timpang, mengendus-ngendus, mengejar dengan langkah-halus, dan  doa-doa￾lembut –
Untuk memburu jiwa-jiwa kecil: semua perangkap tikus untuk hati 

sekarang sekali lagi dipersiapkan! Dan kapan saja aku buka tirai, seekor ngengat￾malam mengibas keluar darinya.

Mungkinkah ia meringkukan diri di sana bersama dengan ngengat-ngengat 

kecil lainnya? sebab  di mana saja aku mencium komunitas-komunitas kecil yang 

tersembunyi; dan di mana saja ada pondok-pondok kecil, di sana ada penganut￾penganut baru dan suasana kepenganutan.

Mereka duduk bersama semalaman, dan berkata: „Mari kita sekali lagi 

menjadi seperti anak kecil dan berkata, „Tuhan sayang!‟ – rusaklah mulut dan 

perut oleh gula-gulanya si saleh.

Atau mereka mengamati di malam-malam panjang, Laba-laba Silang, yang 

cerdik, yang mengintai, dan mengkhotbahkan keberhati-hatian ke para laba-laba 

itu sendiri, dan mengajarkan: „Di bawah Salib-salib itu bagus untuk merajut jala!‟

Atau mereka duduk seharian dengan tangkai pancing di sisi rawa-rawa, dan 

bagi alasan ini mereka berpikir bahwa mereka itu dalam; namun  sesiapa yang 

mancing di mana tidak ada ikannya, bahkan aku tidak menamakan ia dangkal!

Atau mereka belajar secara saleh, secara bergembira untuk memetik harpa

dari para pujangga penulis lagu yang ingin merayu ke dalam hati para perempuan

muda – sebab  ia telah tumbuh letih akan para perempuan tua dan pujian-pujian 

mereka.

Atau mereka belajar untuk gentar ke seorang pandita setengah gila, yang 

menunggu di kamar-kamar gelap agar para spirit bisa datang kepadanya – dan 

sang spirit benar-benar telah lari!

Atau mereka mendengar raungan seorang gelandangan pengelana tua, 

peniup seruling, yang telah belajar dari angin-angin sedih nada-nada kesedihan; 

sekarang ia memainkan serulingnya serupa angin, dan mengkhotbahkan derita 

dalam nada-nada duka.

Dan sebagian dari mereka bahkan telah menjadi para penjaga malam: 

sekarang mereka tahu bagaimana meniup terompet, dan berkeliling di tengah 

malam membangunkan sang purbakala yang telah lama tertidur.

Lima perkataan tentang sesuatu yang purba, aku dengar kemarin di sisi 

dinding taman: itu datangnya dari para penjaga malam tua, yang kering, nestapa.

„Bagi seorang bapak ia tidak cukup memperhatikan anak-anaknya: bapak 

yang manusiawi berbuat lebih baik!‟

„Ia terlalu tua! Ia tidak lagi memperhatikan anak-anaknya!‟ – maka penjaga 

malam lainnya menjawab demikian.

„Apakah ia punya anak? Tidak seorang pun bisa membuktikannya, kecuali 

ia sendiri yang membuktikannya! Aku berharap bahwa ia bisa membuktikannya 

secara seksama, untuk selama-lamanya.‟

„Bukti? Kapan ia pernah membuktikan apa-apa! Untuk membuktikan 

sesuatu ini adalah sulit baginya; ia sangat menekankan bahwa rakyat musti 

mempercayainya.‟

„Ya!ya! Kepercayaan membuatnya bahagia, percaya padanya. Ini adalah 

cara orang tua! Maka kita harus demikian, pula!‟

Maka berkata satu sama lainnya, dua para penjaga malam tua dan pengusir

cahaya, lalu meniupkan terompetnya dengan penuh kesedihan: maka ini terjadi 

kemarin malam di sisi dinding taman. Hatiku, namun, terpingkal-pingkal dengan tawa, seperti ingin pecah, tidak 

tahu kemana untuk pergi, dan tenggelam ke dalam kegelian.

Sungguh, ini akan menyebabkan kematianku - tercekik oleh tawa saat  

aku melihat keledai-keledai mabuk, dan mendengar para penjaga malam lalu 

meragukan Tuhan.

sebab  bukankah ada waktunya dahulu bagi segala keragu-raguan seperti 

itu? Siapa sekarang yang ingin untuk tetap membangunkan sang purbakala, si 

penghindar cahaya ini?

Masanya tuhan-tuhan purba sudah berakhir lama,– dan sungguh, satu 

kematian yang bagus, kematian tuhan yang penuh dengan kegembiraan!

Mereka tidak sirna di „senjakala‟ – seperti yang dikatakan oleh rakyat! 

Sebaliknya: mereka sekala – tertawa sampai mati!

Itu terjadi saat  perkataan anti ketuhanan datang dari Tuhan ini sendiri, 

kata-kata: „Hanya ada satu Tuhan! Kau tidak harus mempunyai tuhan-tuhan lain 

selainku!‟ -

Tuhan tua berjanggut suram, tuhan pencemburu, dengan ini ia lalu lupa akan 

dirinya:

Lalu semua tuhan-tuhan pun tertawa, dan bergoyangan di kursi-kursi 

goyang mereka, dan berteriak: „Tidakkah ini tepatnya ketuhanan itu, bahwa ada 

tuhan-tuhan namun  tidak satu Tuhan?‟

Ia yang punya telinga untuk mendengar, biar ia mendengar.

Ini seruan Zarathustra di kota yang ia cintai, yang dinamakan „Lembu 

Belang‟. sebab  dari sini ia punya waktu dua hari perjalanan untuk sampai ke 

guhanya dan ke binatang-binatangnya; dan jiwanya, tidak henti-hentinya 

bersukacita sebab  tidak lama lagi ia akan pulang kembali kerumahnya.

  . Kembali Ke Rumah

O Kesendirian! rumahku, kesendirian! Terlalu lama aku hidup dengan liar di 

tanah-tanah janggal liar, untuk kembali kepada kau tanpa tetesan air mata!

Sekarang marahi aku dengan jari, seperti layaknya seorang ibu lakukan, 

sekarang senyumlah padaku bagai yang para ibu tersenyum, sekarang katakanlah 

ini saja: „siapa itu yang sekala seperti badai lari terburu-buru jauh dariku?

Siapa yang pergi sambil teriak: „terlalu lama aku duduk dengan sang 

Kesendirian, di sana aku telah belajar meninggalkan cara untuk membisu!‟

Tentu kau sudah belajar ini – sekarang!

O Zarathustra, aku tahu segalanya: dan kau lebih kesepian di tengah-tengah 

orang banyak, kau sang penyendiri, dibandingkan  bersamaku!

Kesepian adalah satu hal, dan hal yang lainnya adalah kesendirian: kau telah 

belajar ini – sekarang! Dan di tengah-tengah para manusia kau akan selalunya liar 

dan janggal:

Liar dan janggal bahkan saat  mereka mencintai kau: sebab  di atas 

segalanya mereka ingin di manja!

Namun, di sini kau ada di depan perapian kau dan rumah kau sendiri; di sini 

kau bisa mengutarakan apa saja, dan menuangkan segala macam alasan; tidak ada sesuatu apapun yang harus dimalui di sini akan perasaan-perasaan yang 

tersembunyi, dan yang sudah mengeras.

Di sini segalanya datang membelai kata-kata kau dan  merayu kau: mereka 

mau menunggang punggung kau. Di atas setiap kiasan kau menunggang ke setiap 

kebenaran.

Secara tulus dan terbuka kau bias berbicara pada segalanya di sini: dan 

sungguh, ini terdengarnya bagai pujian ke telinga-telinga mereka, bahwa 

seseorang berbicara kesegalanya dengan – tulus!

Namun, hal lain lagi, adalah kesepian. sebab  ingatkah kau, O Zarathustra? 

saat  burung kau berteriak di atas kau, saat  kau berdiri di hutan, kebingungan, 

tidak tahu kemana harus pergi, di sisi sebuah mayat.

saat  kau berseru: Semoga, binatang-binatangku memimpinku! Aku 

mendapatkan bahwa hidup di antara para manusia itu lebih berbahaya dibandingkan  

hidup di antara binatang-binatang. Itu adalah kesepian!

Dan ingatkah kau, O Zarathustra? saat  kau berada di pulau kau, sebuah 

sumur air anggur di antara ember-ember kosong, memberi dan mengabulkan, 

melimpahkan dan menuangkan angggur di antara orang-orang yang kehausan;

Hingga pada akhirnya kau duduk sendirian kehausan di tengah-tengah 

orang-orang yang mabuk dan mengeluh setiap malam: „Tidakkah lebih bahagia 

untuk menerima dibandingkan  memberi? Dan lebih bahagia untuk mencuri dibandingkan  

menerima?” – Itu adalah kesepian!

Dan ingatkah kau, O Zarathustra? saat  masa terhening kau tiba dan 

mencabik-cabik diri kau, saat  ia mengatakan bisikan jahatnya: „Berserulah dan 

mati!‟ –

saat  dia membuat kau merasa bersalah akan segala penantian dan 

kemembisuan kau, dan  menakutkan keberanian yang bersahaja kau: Itu adalah 

kesepian!

O Kesendirian! Rumahku, kesendirian,! Betapa menyenangkan dan 

lembutnya suara kau berkata padaku!

Kita tidak saling tanya menanya, kita tidak saling keluh mengeluh, kita 

saling terbuka melalui pintu-pintu terbuka.

sebab  bersama kau segalanya terbuka dan bening; bahkan di sini sang 

waktu berlari dengan kaki-kaki yang lebih ringan. sebab  sang waktu lebih berat 

terbebankan dikegelapan dibandingkan  di cahaya terang.

Di sini, semua eksistensi kata-kata dan lemari kata-kata membukakan 

dirinya padaku: semua eksistensi di sini mau menjadi kata-kata, semua eksistensi 

di sini mau belajar padaku bagaimana cara berseru.

Di bawah sana, namun – segala seruan adalah sia-sia! Di sana, 

kebijaksanaan terbaik adalah melupai dan meliwati: Aku telah belajar itu –

sekarang!

Ia yang mau mengerti segalanya di tengah-tengah para manusia musti 

menyentuh apa-apa. namun  lenganku terlalu bersih untuk itu.

Bahkan aku tidak suka untuk bernafas di sekeliling nafas-nafas mereka; duh, 

aku sudah terlalu lama hidup di tengah-tengah suara bising mereka dan bau nafas 

busuk mereka! 

O berkahilah sang keheningan di sekelilingku! O aroma murni di 

sekelilingku! Oh, bagaimana sang keheningan ini menarik nafas murninya dari 

dalam dada! Oh, dia mendengarkan, sang keheningan yang menyenangkan ini  namun  di bawah sana – segalanya berseru, segalanya tidak didengar. Jika 

seseorang mengumandangkan kebijaksanaannya dengan lonceng-lonceng – si 

pedagang di pasar akan membuat suara lebih keras dengan recehan-recehan!

Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, tidak ada satu pun 

yang tahu lagi bagaimana untuk mengerti. Segalanya jatuh ke dalam air, tidak ada 

lagi yang jatuh ke sumur-sumur dalam.

Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, tidak ada lagi yang 

makmur dan berhasil. Segalanya berkotek-kotek, namun  siapa yang masih mau 

duduk mengeram di sangkarnya dan menetaskan telur?

Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, segalanya disangkal. 

Dan apa yang kemarin masih tetap keras bagi sang waktu dan gigi-giginya, 

sekarang dikunyah dan dipetik dari mulut para manusia masa kini.

Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, segala sesuatunya 

dibuka. Dan apa yang sekala dinamakan rahasia dan rahasianya para jiwa 

mahadalam, kini dimiliki oleh para peniup terompet jalanan dan kupu-kupu 

lainnya.

O kemanusiaan yang berisik, kau sesuatu yang janggal! Kau adalah suara 

bising di jalan-jalan gelap! Sekarang kau sekali lagi berbaring di belakangku: –

marabahayaku berbaring di belakangku!

Dalam pemanjaan diri dan membelas kasihani berbaringlah marabahayaku 

selalu; dan semua manusia yang berisik ingin untuk dimanja dan  dibelas 

kasihani.

Dengan menyembunyikan kebenaran-kebenaran, dengan lengan bodoh dan 

hati yang tergila-gila, kaya akan belas kasihan-belas kasihan palsu - begitulah aku 

hidup di tengah-tengah para manusia.

Menyamar aku hidup di tengah-tengah mereka, siap untuk menyalah artikan 

diriku supaya aku bisa bertahan dari mereka, dan senang berkata pada diriku: 

„Kau bodoh, kau tidak tahu para manusia!‟

Seseorang lupa apa yang ia telah pelajari mengenai manusia, saat  

seseorang hidup di tengah-tengah manusia: ada banyak penampilan-penampilan

dalam diri manusia – apa yang dapat dikerjakan oleh mata yang berpenglihatan 

jauh, dan mata yang merindu jauh di sana!

Dan, aku bagaikan orang bodoh saat  mereka menyalah artikanku, oleh 

sebab  itu aku lebih memanjakan mereka dibandingkan  diriku: aku terbiasa keras pada 

diriku sendiri, bahkan sering membalas dendam pada diriku sebab  pemanjaan ini.

Seluruh tubuh tersengat oleh lalat-lalat berbisa, dan  tercekungkan seperti 

batu oleh banyak tetesan-tetesan kejahatan: seperti itulah aku hidup di sekitar 

mereka, dan tetap berkata pada diriku: „segala sesuatu yang kecil itu tidak sadar 

akan kekecilannya!‟

Khususnya mereka yang menamakan diri mereka “si baik,” aku 

mendapatkan mereka adalah lalat-lalat yang paling berbisa: mereka menyengat 

secara tidak disadari, mereka berbohong secara tidak disadari; bagaimana mereka 

bisa – adil terhadapku!

Ia yang hidup di tengah-tengah si baik - belas kasihan mengajarkan ia untuk 

berbohong. Belas kasihan membuat udara sumpek bagi semua para jiwa bebas. 

sebab  kebodohan si baik tidak terkira dalamnya.
Untuk menyembunyikan diriku dan kekayaanku – itu aku telah pelajari di 

bawah sana: sebab  aku mendapatkan bahwa setiap orangnya masih miskin spirit. 

Itu adalah dusta-dusta belas kasihanku, bahwa aku mengenal semua orang.

Bahwa aku melihat dan mencium di setiap orangnya, spirit apa yang layak

baginya, dan spirit apa yang berlebihan baginya!

Para manusia kaku yang bijaksananya mereka: aku namakan mereka 

bijaksana, bukan kaku – maka aku belajar untuk menelan kata-kata. Para penggali 

lubang kubur mereka: aku namakan mereka para penyelidik dan para sekolar –

maka aku belajar mengacaukan kata-kata.

Para penggali lubang kubur menggali penyakit-penyakit bagi diri mereka 

sendiri. Di bawah sampah-sampah tua tergeletak aroma busuk. Seseorang tidak 

seharusnya mengucak rawa-rawa. Seseorang harus hidup di atas gunung￾gemunung.

Dengan cuping hidung yang berbahagia aku bernafas udara kebebasan￾gunung sekali lagi! Hidungku akhirnya terbebaskan dari segala bau-bauan 

kemanusiaan yang berisik! 

Tergelitiki oleh tiupan angin kencang, seperti kelap-kelipnya gelembung air 

anggur, jiwaku bersin – bersin dan berteriak pada diri sendiri: Berkahi aku!

Ini seruan Zarathustra.

  . Tiga Kejahatan

 

Dalam mimpiku, impian terakhir pagiku, aku berdiri di atas sebuah tanjung – di 

atas dunia, aku menggenggam neraca lalu menimbang dunia.

Oh, sang fajar datang padaku terlalu dini! Menyinariku hingga aku 

terbangunkan, sang fajar pencemburu! Ia selalu cemburu pada pancaran cahaya

impian-impian pagiku.

Terukur padanya yang punya waktu, tertimbang pada sang penimbang baik, 

terjangkau oleh sayap-sayap kuat, terterka oleh para perekah kacang unggul: maka 

impianku menemukan dunia ini.

Impianku, sang pelaut perkasa, setengah kapal, setengah badai, bisu laksana 

kupu-kupu, tidak sabaran laksana elang: kenapa ia punya begitu banyak waktu 

dan  kesabaran untuk menimbang dunia ini sekarang?

Apa mungkin kebijaksanaanku berseru padanya diam-diam, tawaku, 

kebijaksanaan-gugahan-pagiku, yang mencemooh segala „dunia-dunia infinit‟? 

Dia berkata: „Di mana ada daya, di sana angka menjadi penguasa: dia menjadi 

lebih lebih berdaya.‟

Betapa yakinnya impianku menatap dunia finit ini, tidak mendambakan 

sesuatu yang baru, tidak pula yang lama, tidak takut, tidak pula meminta-minta –

Bagai jika sebuah apel bulat mempersembahkan dirinya ke tanganku, apel 

emas yang matang, dengan kulit sehalus beludru, sejuk: - maka dunia 

mempersembahkan dirinya padaku
Bagai jika setangkai pohon melambai-lambai padaku, berbatang besar, 

pohon berkemauan-kuat, melengkung tempat untuk bersandar maupun untuk 

penunjang kaki bagi para pengembara-letih: maka dunia berdiri di atas tanjungku -

Bagai jika dua lengan halus memberiku sebuah kotak yang terbuka - kotak 

untuk dinikmati oleh mata elok bersahaja: maka dunia mempersembahkan dirinya 

ke hadapanku hari ini -

Bukan sesuatu yang sulit dimengerti sehingga menakut-nakuti cinta 

manusia jauh darinya, bukan sesuatu yang sangat jelas sehingga menidurkan 

kebijaksanaan manusia: – dia adalah sesuatu yang manusiawi, yang baik, ini 

adalah dunia bagiku sekarang, dunia ini yang telah banyak dikatakan jahat!

Betapa bersyukurnya aku pada impian pagiku, bahwa hari ini di mula pagi 

aku lalu menimbang dunia! Sebagai sesuatu yang baik, manusiawi, dia datang 

padaku, impian dan pelipur hati ini!

Semoga aku bisa mengerjakan sesuatu seperti itu hari ini, belajar dan  

mencontoh teladan-teladan terbaiknya, aku sekarang mau menaruh tiga 

mahakejahatan di atas neraca, dan menimbangnya dengan baik secara manusiawi.

Ia yang mengajarkan cara untuk memberkahi juga mengajarkan cara untuk 

mengutuk: yang manakah di antara tiga ini yang sangat di kutuk di dunia ini? Aku 

letakan ini di atas neraca.

Sex, nafsu untuk berkuasa, dan egoisme: tiga hal ini, hingga saat ini sangat 

dikutuk, dihujat, dijelek-jelekan reputasinya – tiga hal ini aku akan timbang 

dengan baik dan secara manusiawi pula.

Ayo! Ini adalah tanjungku, dan di sana adalah samudera: dia menggulung￾gulung menuju aku, kusut kusau, mengibas-ngibas ekor, anjing monster tua 

bermuka seratus yang setia yang aku cintai!

Ayo! Di sini aku mau menggenggam neraca di atas gelombang samudera: 

dan aku pilih satu saksi, pula, untuk melihat semua ini – kau, pohon penyendiri, 

kau, wewangian keras, pohon yang melengkung lebar yang aku cintai!

Di atas jembatan apakah masakini menyeberang ke masadepan? Keharusan 

apa yang mendorong yang tinggi untuk membungkuk pada yang rendah? Dan apa 

yang memerintahkan yang tertinggi – untuk tumbuh lebih tinggi lagi?

Sekarang neraca berdiri seimbang dan tetap: tiga pertanyaan-pertanyaan 

berat, sudah aku letakan; tiga jawaban berat ada di atas neraca.

 

Sex: bagi segala petapa pembenci badan, ini duri dan tiang eksekusi; dan di 

kutuk sebagai „dunia,‟ oleh para manusia dunia-kemudian: sebab  ini mengejek 

dan mengelabui semua para guru kekacaubalauan dan kekeliruan.

Sex: bagi gerombolan, ini bara api kecil di atas mana mereka terpanggang; 

bagi segala ulat pemakan kayu, bagi segala compangan-compangan busuk, kawah 

nafsu berahi yang siap merebus.
Sex: bagi semua hati bebas, sesuatu yang lugas dan bebas, taman 

kebahagiaan di dunia, satu limpahan rasa syukur dari masa depan bagi masa kini.

Sex: bagi yang layu, ini racun manis belaka; bagi sang kemauan singa, 

namun itu adalah penyegar megah bagi hati, dan  air anggur yang disimpan dan 

dihormati dari segala air-air anggur.

Sex: simbul kebahagiaan megah dari kebahagiaan yang lebih tinggi dan 

harapan tertinggi. Bagi semua orang perkawinan itu dijanjikan, dan ini lebih 

dibandingkan  perkawinan –

Bagi semua orang yang lebih merasa asing ke satu sama lainnya dibandingkan  

antara lelaki dan perempuan: dan mengerti sepenuhnya betapa asingnya lelaki dan 

perempuan itu ke satu sama lainnya!

Sex: namun  aku ingin membuat pagar di sekeliling pikiran-pikiranku, bahkan 

juga di sekeliling kata-kataku: agar babi-babi dan para pemberahi panas tidak bisa 

menjebol tamanku!

Nafsu untuk berkuasa: cemeti panas terkeras dari hati yang keras; siksaan 

kejam menakutkan yang dicadangkan bagi yang terkejam; nyala hitam api-api 

unggun panas.

Nafsu untuk berkuasa: lalat jahat yang duduk di atas para manusia 

sombong; sang pencemooh segala kebajikan-kebajikan yang tidak jelas; yang 

menunggang setiap kuda dan setiap kesombongan.

Nafsu untuk berkuasa: gempa bumi yang memecahkan dan menghancur 

bukakan segala yang membusuk dan keropos; si penghumbal, si penggemuruh, si 

pendera penghancur kubur-kubur kepalsuan; kilapan tanda tanya di sisi jawaban 

yang prematur.

Nafsu untuk berkuasa: di hadapan pandangan sekilasnya, manusia 

merangkak dan membungkuk dan  membanting tulang, dan menjadi lebih rendah 

dibandingkan  babi atau ular – hingga akhirnya teriakan kebencian besar keluar darinya.

Nafsu untuk berkuasa: guru kebencian megah yang menakutkan, yang 

mengkhotbahkan di hadapan muka-muka mereka dan kota-kota dan kerajaan￾kerajaan! Enyah kau!‟ – hingga akhirnya berteriak mereka sendiri: „Enyah aku!‟

Nafsu untuk berkuasa: yangmana, namun, muncul mengoda bahkan pada 

yang murni dan tersendiri, dan pada ketinggian yang sembada, berkilauan serupa 

cinta yang menggoda yang memberi warna lembayung pada kebahagian awan￾awan dunia.

Nafsu untuk berkuasa: namun  siapa yang mau menamakan ini nafsu, saat  

ketinggian rindu untuk membungkuk bagi power! Sungguh, ini bukanlah nafsu 

bukan pula penyakit, saat  merindu dan  membungkuk seperti ini!

Bahwa ketinggian yang tersendiri mungkin tidak selamanya tersendiri dan 

serba sembada; bahwa sang gunung mungkin turun ke lembah dan sang angin dari 

ketinggian-ketinggian ke dataran-dataran rendah –

Oh, siapa yang dapat menemukan nama baptis dan nama mulia yang layak

bagi kerinduan serupa ini! „Amal Kebajikan‟ – ini adalah nama yang Zarathustra 

pernah berikan pada yang tidak bisa dinamakan itu.

Lalu ini terjadi pula – dan sungguh, ini terjadi untuk pertama kalinya! –

bahwa ajarannya mengagungkan egoisme, yang waras, egoisme yang sehat yang 

datang dari jiwa yang kokoh 
Dari jiwa yang kokoh, yang dimiliki oleh badan yang mulia, badan yang 

indah, berjaya, badan sehat, yang di sekelilingnya segala sesuatunya menjadi 

cermin;

Badan yang luwes, lagi persuasif, sang penari yang citra dan esensinya 

adalah jiwa yang menyukai-diri-sendiri. Bagi badan dan jiwa yang serupa ini sang 

menyukai-diri-sendiri ini menamakan dirinya: „Kebajikan.‟

Dengan doktrin kebaikan dan keburukannya sendiri, sang menyukai-diri￾sendiri melindungi dirinya seperti sebuah rumpun belukar sakral; dengan nama￾nama kebahagiaannya ia menghancurkan dari dalam dirinya segala yang 

menjijikan.

Dari dalam dirinya sendiri dia menghancurkan segala yang pengecut; dan 

berkata: „Buruk – artinya adalah pengecut!‟ Tampaknya menjijikan baginya, ia 

yang selalu meresah, mengeluh, menuduh, dan sesiapa yang mengumpulkan 

keuntungan-keuntungan kecil.

Dia juga membenci segala kebijaksanaan yang berkubang dalam dukacita: 

sebab  sungguh, ada pula kebijaksanaan yang memekar di kegelapan, 

kebijaksanaan bayang malam, yang selalu mengesah: „Segalanya sia-sia!‟

Kecurigaan yang selalu takut-takut dianggap rendah olehnya, dan semua 

orang yang minta sumpah-sumpah selain dibandingkan  wajah dan tangan; dan semua

kebijaksanaan yang terlalu mencurigai, sebab  ini kodratnya para jiwa pengecut.

Namun, menganggap lebih rendah pada orang-orang yang cepat 

menyenangkan, penjilat, seperti anjing yang langsung menggolekan 

punggungnya, manusia rendah hati; ada pula kebijaksanaan yang rendah hati dan 

seperti anjing dan kesalehan dan yang cepat untuk menyenangkan.

Sama sekali jijik, dan membenci orang yang tidak mau mempertahankan 

dirinya, yang menelan ludah berbisa dan tatapan-tatapan buruk, si manusia 

tersabar yang menerima segala apa saja, puas dengan apa saja: sebab  ini adalah 

wataknya budak.

Apakah mereka itu membudak di hadapan tuhan-tuhan dan tendangan￾tendangan agungnya, atau di hadapan para manusia dan opini-opini bodoh para 

manusia: ke segala macam budak apapun, dia meludah, egoisme yang jaya ini!

Buruk: ini adalah nama dari segala yang hina, membudak, terbelenggu, 

mengejap-ngejapkan mata, hati tertekan, manusia bergaya pura-pura pasrah, yang 

mencium dengan bibir-bibir lebar penakut.

Dan kebijaksanaan palsu: ini adalah nama dari segala kebijaksanaan yang 

dianut oleh para budak, para manusia tua dan para manusia letih; khususnya 

manusia penuh tipu daya, licik, penuh dengan keingintahuan, kebodohannya para 

pandita!

Manusia bijaksana yang palsu, namun, adalah para pandita, manusia letih, 

dan mereka yang jiwanya keperempuan-perempuanan dan berwatak budak – oh, 

bagaimana akal muslihat mereka selalu mempermainkan egoisme!

Akal muslihat mereka yang selalu mempermainkan egoisme – tepatnya 

inilah yang telah dianggap sebagai kebajikan, dan dinamakan kebajikan. Dan 

„tanpa ego‟ – ini adalah, yang sangat didambakan dengan sepenuh hati oleh para 

pengecut yang letih hidup dan laba-laba silang itu!

namun  bagi mereka semua, waktu pun tiba, sang perubahan, sang pedang 

pembuat keputusan, sang tengah hari megah: lalu banyak sesuatu akan 

diungkapkan!
Dan ia yang menyatakan Egonya sehat dan suci, dan egonya mulia –

sungguh, ia adalah seorang junjungan , nyatanya ia menyerukan apa yang ia ketahui: 

„Perhatikan, ini tiba, ini dekat, sang tengah hari megah!‟









Anak dengan Cermin
Setelah itu Zarathustra pergi kembali ke gunung-gunung dan ke guha tempat 
penyendiriannya, dan mengundurkan diri dari manusia: menunggu laksana 
penyawur yang telah menabur benihnya. Jiwanya, namun, menjadi tidak sabaran
dan penuh rasa rindu pada yang ia cintai: sebab  ia masih punya banyak 
pemberian untuk mereka. Ini, nyatanya, adalah yang tersulit bagi sang pemberi:
untuk menutup tangan terbukanya cinta dan harus bersahaja.
Maka bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu meliwati sang 
penyendiri; namun kebijaksanaannya bertambah dan ini menjadikannya sakit oleh
keberlimpahannya.
Si suatu pagi, namun, ia bangun sebelum fajar, bermeditasi lama di atas 
ranjangnya, dan akhirnya ia berseru pada hatinya:
Mengapa aku ketakutan dalam mimpiku lalu aku terbangun? Tidakkah 
seorang anak datang padaku membawa cermin?
„O Zarathustra,‟ kata anak itu padaku, „lihatlah diri kau di cermin ini!‟
namun  saat  aku melihat cermin ini, aku berteriak, hatiku berdebar: sebab  
aku tidak melihat diriku, aku melihat seringai olok-olok setan.
Sunguh, aku mengerti akan isyarat dan pertanda mimpi dengan baik; 
doktrinku ada dalam bahaya, semak-semak mau dinamakan gandum!
Musuh-musuhku telah tumbuh kuat dan telah merusakan makna doktrinku, 
maka mereka yang aku sayangi malu akan hadiah yang telah aku berikan pada 
mereka.
Teman-temanku telah kehilanganku; tibalah waktunya untuk mencari 
mereka yang kehilanganku!
Dengan kata-kata ini Zarathustra bangkit – namun, bukan seperti seorang 
yang sedih mencari tempat untuk bernaung namun  serupa resi dan biduan yang 
spiritnya telah terilhami. Terheran-heran burung elang dan ularnya 
memperhatikan ini: sebab  sang kebahagiaan menyinari mukanya laksana fajar.
Apa yang telah terjadi padaku, para binatangku? kata Zarathustra. 
Bukankah aku telah berubah? Bukankah kebahagiaanku datang padaku laksana
badai!
Kebahagiaanku adalah bodoh, dan mau berseru banyak kebodohan￾kebodohan: dia masih terlalu muda – maka bersabarlah dengannya!
Kebahagiaanku telah melukaiku: semua para penderita musti menjadi para 
tabib bagiku!
Kepada teman-temanku Aku dapat pergi ke bawah sekali lagi dan juga ke 
musuh-musuhku! Zarathustra bisa berseru dan memberi lagi, dan memperlihatkan 
cinta yang terbaiknya pada mereka yang ia cintai!
Ketidak sabaran cintaku meluap deras ke bawah, ke kala pagi dan malam
hari. Mengalir dari gunung-gemunung bisu dan dari badai-badai derita, bergegas 
jiwaku ke lembah-lembah.
Terlalu lama aku merindukan dan memandangi kejauhan. Terlalu lama
penyendirianku menguasaiku, maka aku lupa bagaimana untuk membisu.Aku telah menjadi kata-kata belaka, dan bunyi ceplakan aliran air dari 
cadas-cadas tinggi: kebawah ke lembah-lembah aku mau lontarkan kata-kataku.
Dan biar aliran cintaku menyapu ke celah-celah yang tidak pernah 
didatangi! Pasti aliran ini akan menemui jalannya ke samudera akhirnya!
Tentu, di sana ada telaga di dalam diriku, tersembunyi dan swasembada; 
namun  aliran cintaku membawa telaga ini bersamanya, ke bawah – ke samudera!
Ke jalan-jalan baru aku pergi, satu seruan baru datang padaku; aku menjadi 
letih, seperti semua para pencipta, akan lidah-lidah kuno. Spiritku tidak mau lagi 
berjalan dengan terompah tua.
Semua seruan berlari terlalu perlahan bagiku – aku melompat ke kereta
perang kau, O kau badai! Bahkan aku mau pecut kau dengan bisaku!
Seperti jeritan dan teriakan sukacita aku akan mengarungi samudera￾samudera luas, hingga aku menemui Kepulauan Bahagia, dimana temanku 
menunggu –
Dan musuh-musuhku di sekeliling mereka! Betapa aku mencintai setiap 
manusia yang mana aku dapat berseru sekarang! Bahkan musuh-musuhku pun 
sebagian dari kebahagiaanku.
Dan kerika aku mau menunggang kuda terliarku, maka tombakku inilah 
yang menolongku naik dengan baik; dia adalah pelayan kakiku yang selalu siap 
sedia–
Tombak yang aku lemparkan ke musuh-musuhku! Betapa aku bersyukur ke 
musuh-musuhku sekarang bahwa akhirnya aku bisa lemparkan tombak ini!
Begitu besarnya tekanan awan mendungku; di antara gemuruh jeritan tawa 
kilat aku mau lemparkan hujan-hujan es ke kedalaman-kedalaman.
Dengan berang lalu dadaku akan membusung, dengan berang dadaku akan 
menghembuskan badainya jauh ke balik gunung-gemunung; lalu akan 
mendatangkan kedamaian.
Sungguh, laksana badai kebahagianku dan kebebasanku itu datang! namun 
musuh-musuhku akan berpikir bahwa Si Setan meraung-raung di atas kepala￾kepala mereka.
Ya, kau pula, para temanku, akan menjadi ketakutan oleh kebijaksanaan 
liarku; dan mungkin kau akan lari darinya, bersama musuh-musuhku pula.
Ah, seandainya aku tahu cara untuk menggoda kau untuk kembali, dengan
seruling-seruling gembala! Ah, seandainya singa betina kebijaksanaanku telah 
belajar meraung sayang! Dan kita telah belajar banyak antar satu sama lainnya!
Kebijaksanaan liarku menjadi bunting di kesunyian gunung-gemunung; di 
atas bebatuan kasar inilah ia melahirkan anak termudanya.
Sekarang ia lari seenaknya ke padang pasir gersang, mencari dan mencari 
cari padang rumput yang lembut – Kebijaksanaan tuaku yang liar ini!
Di atas padang rumput lembut hati kau, para temanku! – di atas cinta kau, ia 
suka untuk membaringkan anak kesayangannya!
Di Kepulauan Bahagia
Buah-buah kurma berjatuhan dari pohonnya, halus dan manis rasanya seraya 
berjatuhan kulit-kulitnya merekah. Aku adalah angin utara bagi buah-buah kurma 
yang matang.
Maka, seperti buah-buah kurma, doktrin-doktrinku berjatuhan untuk kau, 
para temanku: minumlah sarinya sekarang dan makan daging manisnya! Ini 
adalah musim gugur di sekeliling, dan langit bersih dan tengah hari.
Perhatikan, betapa sempurnanya di sekitar kita! Dan dari tengah-tengah 
keberlimpahan ini, sangat menyenangkan untuk melihat samudera-samudera 
jauh. 
Sekala manusia berkata „Tuhan,‟ saat  mereka menatap ke samudera￾samudera jauh; namun  sekarang aku mengajarkan kau untuk berkata „Superman‟.
Tuhan adalah dugaan; namun  aku tidak mau dugaan kau itu meraih sesuatu 
yang melebihi kemauan menciptakannya kau.
Dapatkah kau menciptakan Tuhan? – Maka, aku minta dengan sangat, 
jangan berkata apa-apa mengenai segala tuhan-tuhan! namun  kau bisa saja
menciptakan sang Superman.
Mungkin bukan kau, para saudaraku! namun  kau bisa merubah diri kau 
menjadi seperti para leluhur dan para turunan sang Superman: dan biar ini sebagai 
ciptaan yng terindah kau!
Tuhan adalah dugaan: namun  aku mau dugaan kau ini dibatasi oleh akal 
pengertian.
Bisakah kau mengerti tuhan? – namun  semoga kemauan pada kebenaran itu 
bermakna ini bagi kau: bahwa segala sesuatunya musti dirubah menjadi 
pengertian yang manusiawi, bukti yang manusiawi, pikiran sehat yang manusiawi! 
Kau musti ikuti pikiran kau hingga akhir!
Dan apa yang kau namakan dunia itu harus diciptakan oleh kau: oleh akal 
budi kau, citra kau, kemauan kau dan cinta kau! Dan sungguh, untuk 
kebahagiaan kau, kau para manusia tercerahkan!
Dan bagaimana kau bisa berdaya untuk hidup tanpa harapan itu, kau para 
manusia tercerahkan? Bukan di dalam yang tidak dapat dipahami bukan pula di 
dalam yang tidak berdasarkan akal kau telah dilahirkan.
namun  aku ingin untuk menyingkapkan seluruh isi hatiku pada kau, teman￾temanku: jika ada tuhan-tuhan, bagaimana aku bisa tahan untuk tidak menjadi 
tuhan! Maka tidak ada tuhan-tuhan.
Ya, Aku telah menarik kesimpulan ini; namun  sekarang kesimpulan ini 
menarikku.
Tuhan adalah dugaan: namun  siapa yang bisa minum rasa pahitnya dugaan 
ini, tanpa kematian? Mustikah sang pencipta dirampas imannya, dan burung elang
yang membungbung ke ketinggian-ketinggian dirampas penerbangannya?
Tuhan adalah sebuah ide, yang membuat segala yang lurus menjadi 
bengkok dan segala yang berdiri, pening. Apa? Sang waktu akan pergi, dan 
segala yang sementara itu hanya dusta?
Untuk mengira bahwa ini adalah kegamangan dan sakit kepala bagi tubuh
manusia, bahkan muntahan bagi perut: sungguh, aku namakan ini penyakit 
kepala bagi segala dugaan yang sedemikian. Aku namakan ini kejahatan dan kebencian pada manusia: segala ajaran 
mengenai yang satu, dan yang penuh, yang tidak bergerak, yang serba mencukupi 
dan yang abadi!
Segala yang abadi adalah – yaitu hanyalah citra semata! Dan para pujangga
terlalu banyak berdusta.
namun  citra-citra dan kiasan-kiasan yang terbaik harus berbicara tentang
waktu dan kemenjadian: sebagai pujian dan pengabsahan bagi segala 
kesementaraan.
Penciptaan – adalah sang maha penyelamat dari penderitaan, dan 
meningkatkan kehidupan. namun  agar sang pencipta itu eksis, ia sendiri butuh 
kesengsaraan dan banyak perubahan-perubahan.
Ya, musti ada banyak kesekaratan pahit dalam kehidupan kau, kau para 
pencipta! Lalu kau akan menjadi sang pengadvokasi dan pengabsah segala 
kesementaraan. 
Bagi sang pencipta ini sendiri untuk menjadi anak yang baru dilahirkan, ia 
musti berikhtiar untuk menjadi bunda, dan menahan rasa sakit melahirkan.
Sungguh, aku telah pergi ke arah jalanku melalui beratus-ratus jiwa dan 
melalui beratus-ratus ayunan bayi, dan  rasa nyeri melahirkan. Aku banyak 
mengucapkan selamat jalan, aku tahu bahwa kekecewaan makan waktu lama
untuk sembuh.
namun  kemauanku yang pencipta, takdirku, memauinya demikian. Atau, 
berseru dengan lebih jujur: kemauanku mau dengan pasti takdir yang sedemikian.
Semua perasaan menderita di dalam diriku, dan  terpenjara: namun  
kemauanku selalu datang padaku sebagai sang pembebasku dan sang pemberi 
kesukacitaan.
Memaui adalah membebaskan: ini adalah doktrin sejatinya kemauan dan 
kebebasan itu - maka Zarathustra mengajarkan kau.
Untuk tidak lagi memaui, untuk tidak lagi menilai, dan untuk tidak lagi 
mencipta! Ah, semoga semua kelemahan ini selalu jauh dariku!
Dan dalam keinginan untuk mengetahui, aku hanya merasakan kemauanku 
yang senang menghasilkan dan menjadikan; dan jika ada keluguan dalam 
pengetahuanku ini sebab  kemauan untuk menghasilkan itu ada di dalamnya.
Kemauan ini menggodaku untuk menjauhi Tuhan dan tuhan-tuhan; sebab  
apa yang bisa diciptakan jika tuhan-tuhan itu – eksis!
namun  ini mendorongku ke manusia selalu, sang kemauanku yang pencipta
yang penuh semangat itu, lalu mengayunkan palunya ke atas batu.
Ah, kau para manusia, aku melihat sebuah citra terbaring di dalam batu, 
citra dari visiku! Ah, ia musti terbaring di dalam batu terkeras, batu terjelek!
Sekarang paluku gerang sangat menakutkan melawan penjara ini. Kepingan￾kepingan berterbangan dari batu: apa ini artinya bagiku?
Aku mau menyelsaikannya: sebab  sebuah bayangan datang padaku –
sesuatu yang paling hening, yang paling ringan dari segala benda sekala datang 
padaku!
Sang keindahannya sang Superman datang padaku sebagai bayangan. Ah, 
para saudaraku! Apa pulalah arti tuhan-tuhan bagiku sekarang!
 Sang Pemurah
Para temanku, teman kau telah mendengar ujaran menyindir: „Coba lihat 
Zarathustra! Tidakkah ia pergi ke antara kita seperti binatang di antara binatang￾binatang?‟
namun  lebih baik dikatakan seperti ini: „Manusia tercerahkan pergi ke antara 
para manusuia seperti ke antara binatang-binatang.‟
Manusia tercerahkan menamakan para manusia lainnya: binatang berpipi 
merah.
Bagaimana ini bisa terjadi pada manusia? Tidakkah ini sebab  ia musti malu 
selalu?
Oh para temanku! Maka berkata manusia tercerahkan ini: „Malu, malu, malu 
– ini adalah sejarahnya manusia!‟
Dan oleh sebab  itu orang mulia memutuskan untuk tidak membuat orang 
lainnya malu: ia memutuskan untuk merasa malu di hadapan segala yang 
sengsara.
Sungguh, aku tidak suka mereka, sang pemurah yang kebahagiaannya ada 
dalam membelas kasihan: mereka pun kurang malu.
Jika aku harus menjadi sang pemurah aku sama sekali tidak mau dinamakan 
sang pemurah; dan jika aku ini pemurah lebih baik ini datang dari jauh.
Dan aku lebih senang jika kepalaku ditutupi dan lari jauh sebelum aku 
dikenali: dan aku mohon kau demikian pula, para temanku!
Semoga takdirku selalu memimpin mereka yang tidak menderita seperti kau 
ke arah jalanku, yang dengan mereka aku bisa punya harapan dan makanan dan 
madu bersama!
Sungguh, aku telah berbuat ini dan itu bagi yang menderita; namun  selalu 
tampaknya aku telah berbuat sesuatu lebih baik saat  aku belajar untuk bersuka 
diri dengan baik.
Sejak para manusia itu eksis, manusia kurang bisa menikmati dirinya: ini 
sendirilah, para saudaraku, dosa asal itu!
Dan saat  kita telah belajar dengan lebih baik untuk menikmati diri kita, 
maka alangkah baiknya jika kita juga belajar meninggalkan segala tipu muslihat 
dan cara merugikan orang lain.
Maka aku mencuci bersih tanganku sehabis membantu yang menderita, 
dengan demikian aku basuh jiwaku bersih pula.
saat  melihat orang yang sengsara itu sengsara, lalu aku malu sebab  
aibnya; dan tatkala aku tolong ia, lalu aku melukakan keangkuhannya secara 
menyedihkan.
Kewajiban-kewajiban besar tidak membuat manusia berterima kasih, malah
membuat ia mendendam; dan jika kebaikan-kebaikan kecil tidak dilupakan, ini 
akan menjadi ulat yang menggerogoti.
„Berhati-hati dalam menerima! Hormat dengan menerima!‟ – maka aku 
anjurkan mereka yang tidak punya apa-apa untuk diberi.
Aku, namun, sang pemberi: dengan senang hati aku memberi laksana 
teman pada teman-temannya. Namun, para manusia asing, dan manusia miskin 
boleh memetik buah dari pohonku: ini tidak menyebabkan malu besar.
Para pengemis, namun, harus dibasmi! Sunguh, sangat menjengkelkan
untuk memberi dan juga mejengkelkan untuk tidak memberi pada mereka.
Begitu juga juga dengan para pendosa dan nurani-nurani buruk! Percayalah 
padaku, para temanku: sengatan nurani mengajarkan seseorang untuk menyengat.
Nmun, yang terburuk dari segalanya adalah pikiran-pikiran kerdil. Sungguh, 
lebih baik untuk berbuat kejahatan dibandingkan  berpikir kerdil!
Untuk lebih tentu, kau berkata: „Gembira dalam kejahatan-kejahatan kecil, 
luangkan untuk kita satu kejahatan besar.‟ namun  di sini seseorang tidak musti 
mengharap untuk dikecualikan.
Perbuatan jahat itu seperti bisul: gatal, mendongkolkan dan pecah terbuka –
berbicara dengan hormat.
„Perhatikan, aku adalah penyakit‟ – maka berseru si perbuatan jahat; ini 
adalah kejujurannya.
namun  pikiran-pikiran kerdil itu seperti kanker: merangkak dan 
bersembunyi, mau muncul tidak di mana pun jua – sehingga seluruh badan 
membusuk dan layu oleh kanker-kanker kecil ini.
namun  ia yang kemasukan setan aku bisikan anjuran ini ke telinga kau: 
„Lebih baik bagi kau untuk mengatur setan kau! Bagi kau masih ada jalan ke 
kemegahan!‟
Ah, para saudaraku! Seseorang tahu sebegitu banyaknya mengenai setiap 
orang! Dan sebegitu banyak manusia yang telah menjadi jelas ke kita tetap saja 
tidak mudah ditembus.
Adalah sangat berat untuk hidup di tengah-tengah para manusia, sebab  
menjaga kemembisuan sangatlah berat.
Dan bukan pada yang kita tidak senangi kita sangat tidak adil, namun  pada 
yang kita sama sekali peduli.
namun  jika kau punya teman yang sengsara, jadilah tempat peristirahatan 
bagi kesengsaraannya, tempat peristirahatan seperti ranjang keras, ranjang kemah: 
maka kau akan melayaninya dengan baik.
Dan saat  teman kau berbuat kesalahan ke kau, lalu berkatalah : „Aku 
maafkan kau apa yang kau telah kerjakan padaku; namun  kau telah kerjakan ini 
terhadap diri kau sendiri – bagaimana aku bisa maafkan ini?‟
Begitulah seruan segala cinta megah: dia bahkan mengatasi maaf dan belas 
kasihan.
Seseorang musti melekat erat ke hatinya; sebab  jika seseorang melepaskan 
hatinya, dengan cepatnya seseorang akan kehilangan kepalanya, pula!
Duh, dimanakah di dunia ini pernah terjadi suatu kebodohan lebih besar 
selain dibandingkan  kebodohan si pemurah? Astaga, apa yang menyebabkan lebih 
banyak penderitaan di dunia ini selain dibandingkan  kebodohan-kebodohan si 
pemurah?
Terkutuklah segala pecinta yang tidak bisa mengatasi belas kasihan!
Lalu berkata Setan padaku sekala: „Bahkan Tuhan mempunyai Nerakanya: 
ini adalah cintanya pada manusia.‟
Dan baru-baru ini aku mendengar ia berkata kata-kata ini: „Tuhan sudah 
mati; Tuhan sudah mati sebab  belas kasihannya pada manusia!‟
Maka waspadalah terhadap belas kasihan: sebab  akan datang mendung 
berat ke manusia! Sungguh, aku mengerti tanda-tanda cuaca!
namun  catat, pula, kata-kata ini: Segala cinta megah melebihi belas kasihan: 
sebab  ia mau – menciptakan apa yang ia cintai!
„Aku persembahkan diriku pada yang aku cintai, dan tetanggaku sebagai 
diriku‟ – ini adalah bahasa semua para pencipta.
Semua para pencipta, namun, adalah keras.









Perempuan Tua dan Muda
„Mengapa kau menyelinap sembunyi-sembunyi di senja kala, Zarathustra? Dan 
apa yang kau sembunyikan dalam jubah kau?
Apakah ini harta karun yang seseorang telah berikan pada kau? Ataukah 
bayi yang telah kau lahirkan? Atau apa kau sedang melakukan misi mencuri, kau 
teman penjahat?‟
Sungguh, saudaraku, seru Zarathustra. ini adalah harta karun yang telah 
diberikan padaku: ini adalah kebenaran kecil yang aku bawa.
namun  ia nakal seperti anak kecil, dan jika aku tidak tutup mulutnya ia akan 
menjerit sangat keras.
Hari ini seraya aku berjalan seorang diri, pada waktu matahari terbenam, 
seorang perempuan tua datang mendekatiku, dan berkata demikian ke jiwaku:
„Zarathustra juga banyak berbicara pada kita perempuan, namun  ia tidak 
pernah berbicara pada kita mengenai perempuan.‟
Dan aku menjawab: „Seseorang hanya berbicara mengenai perempuan pada 
lelaki‟.
„Berserulah padaku tentang perempuan‟, katanya; „Aku cukup tua dan 
segera akan melupakan semua ini.‟
Dan aku penuhi permintaan perempuan tua ini dan berseru padanya 
demikian:
Segalanya mengenai perempuan adalah teka-teki, dan segalanya mengenai 
perempuan punya satu jawaban: ini dinamakan bunting.
Laki-laki bagi perempuan itu berarti alat: tujuannya selalunya adalah anak. 
namun  apa sih perempuan itu bagi lelaki?
Dua hal yang lelaki sejati inginkan: bahaya dan hiburan. Maka ia 
menginginkan perempuan, perempuan sebagai hiburan yang paling berbahaya.
Lelaki musti dilatih untuk perang, sedangkan perempuan untuk rekreasinya 
sang satria: kalu tidak begitu itu bodoh namanya.
Buah yang terlalu manis, tidak disukai oleh sang satria. Maka ia suka 
perempuan; bahkan perempuan yang termanis pun tetap saja pahit rasanya.
Perempuan lebih mengerti tentang anak dibandingkan  lelaki, namun  lelaki lebih
kekanak-kanakan dibandingkan  perempuan.
Di dalam diri lelaki yang sejati bersembunyi seorang anak: ia ingin main. 
Mari kau para perempuan, temukanlah keanakan dalam diri lelaki!
Biar perempuan itu menjadi barang mainan, halus dan murni laksana batu 
permata berharga disinari kebajikan-kebajikan dunia yang belum lagi ada.
Biar cahaya terang bintang berkilauan dalam cinta kau! Biar harapan kau 
berkata: „Semoga aku melahirkan sang Superman!‟
Biar ada keberanian di dalam cinta kau! Dengan cinta kau kau musti serang 
ia yang menyulut rasa takut kau.
Biar ada rasa hormat dalam cinta kau! Sedikit perempuan yang akan 
mengerti kehormatan, jika tidak. Biar kehormatan kau itu menjadi: selalu lebih 
mencintai dibandingkan  yang mencintai kau, jangan sampai ketinggalan. 
Biar lelaki takut pada perempuan saat  perempuan ini mencinta. Lalu 
perempuan ini akan membuat segala pengorbanan, dan segalanya ia anggap tidak 
berharga.
Biar lelaki takut pada perempuan saat  perempuan ini membenci: sebab 
dasar jiwa lelaki itu adalah jahat, sedangkan perempuan adalah buruk.
Siapakah yang sangat dibenci perempuan? – Maka berkata besi pada 
magnet: „Aku sangat membenci kau, sebab  kau menarikku, namun  tidak cukup 
kuat untuk menyeretku pada kau.‟
Kebahagiaan lelaki: Aku mau. Kebahagiaan perempuan: Laki-laki itu mau.
„Perhatikan, sekarang dunia menjadi sempurna!‟ – pikir setiap perempuan
saat  perempuan itu patuh dengan sepenuh cintanya. 
Perempuan itu harus patuh dan menemukan kedalamannya bagi 
permukaannya. Jiwa perempuan adalah permukaan, berubah-ubah, selaput tipis 
yang bergejolak di atas air dangkal.
namun  jiwa lelaki adalah dalam, alirannya menyembur deras dari guha-guha 
bawah tanah: perempuan merasakan kekuatannya namun  tidak mengerti.
Lalu perempuan tua ini menjawab: „Zarathustra telah banyak berkata akan 
segala yang baik, khususnya bagi mereka yang cukup muda untuk ini.
„Janggal, Zarathustra tahu hanya sedikit tentang perempuan, namun ia benar 
mengenai mereka! Apakah, sebab  dengan perempuan, tidak ada sesuatu yang 
tidak mungkin?
„Dan sekarang terimalah satu kebenaran kecil ini sebagai rasa 
terimakasihku! Aku cukup tua untuk ini!
„Bungkuslah dan tutup mulutnya: jika tidak demikan akan berteriak sangat 
keras, kebenaran kecil ini.‟
„Berikan aku kebenaran kecil kau itu, perempuan!‟ aku berkata. Lalu 
berkatalah perempuan tua ini:
„Kau mengunjungi perempuan? Jangan lupa cemeti kau!‟

Gigitan Ular Beludak
Pada suatu hari Zarathustra tertidur di bawah pohon kurma, sebab  panas dan
menaruh lengannya ke atas mukanya. Lalu seekor ular beludak datang dan 
menggigit lehernya, dan Zarathustra berteriak kesakitan. saat  ia mengangkat
lengannya dari mukanya, ia melihat ular ini: ia mengenali mata Zarathustra, 
mundur menggeliat mencoba untuk melarikan diri. „Jangan pergi,‟ kata 
Zarathustra; „kau belum lagi menerima rasa syukurku!‟ Kau telah 
membangunkanku di waktu yang tepat, perjalananku masih panjang. „Perjalanan 
kau pendek,‟ ujar ular beludak sedih, „bisaku mematikan.‟ Zarathustra tersenyum. 
„Bilakah naga pernah mati oleh bisa ular?‟ katanya. „namun  ambilah kembali bisa 
kau ini! Kau tidak cukup kaya untuk diberikan padaku!‟ Lalu ular ini turun 
kembali ke lehernya dan menjilat lukanya.
Tatkala Zarathustra menceritakan ini ke para penganutnya, mereka 
bertanya: „Dan apakah, O Zarathustra, moral dari cerita ini?‟ Dan Zarathustra 
menjawab pertanyaan ini demikian:
Si baik dan si adil menamakanku sang penghancur moral: ceritaku tidak 
bermoral.
Namun, saat  kau punya musuh, jangan membalas kejahatannya dengan 
kebaikan: ini hanya akan membuatnya malu.namun  buktikanlah bahwa ia telah 
berbuat sesuatu kebaikan pada kau.
Dan lebih baik marah dibandingkan  membuat malu seseorang! Dan saat  kau 
dikutuk, aku tidak suka kau jika kau lalu ingin memberkahinya. Malah kutuklah 
kembali walau sedikit!
Dan jika ketidakadilan besar dilakukan terhadap kau, lalu cepat kerjakan 
lima ketidakadilan kecil di samping itu. Sangat mengerikan untuk melihat, ia yang 
seorang diri mengemban ketidakadilan. 
Tahukah kau ini? Ketidakadilan yang berbagi adalah setengah keadilan. Dan 
ia yang bisa mengembannya, harus merasakan ketidakadilan ke atas dirinya 
sendiri!
Dendam walau kecil itu lebih manusiawi dibandingkan  tidak mendendam sama 
sekali. Dan jika hukuman ini bukan pula suatu hak dan kehormatan bagi musuh 
kau, lalu aku tidak suka hukuman kau itu.
Adalah lebih mulia untuk menyatakan diri kau salah dibandingkan  mengakui kau 
tetap benar, khususnya saat  kau memang benar. Hanya kau musti cukup kaya 
untuk ini.
Aku tidak suka keadilan dingin kau; dari mata para hakim kau itu, selalu 
ada pandangan mata algojo dan besi dinginnya.
Katakan padaku, dimana kita dapat menemukan keadilan yaitu cinta yang
bisa melihat?
Maka ciptakanlah untukku, cinta yang tidak saja bisa mengemban hukuman 
namun  juga segala dosa-sosa! 
Maka ciptakanlah untukku, keadilan yang membebaskan setiap manusia 
kecuali para hakim!
Maukah kau belajar ini, pula? Bagi ia yang ingin untuk menjadi adil dari 
dalam hatinya, bahkan dusta pun menjadi filantropi.
namun  bagaimana aku bisa adil dari dalam hati? Bagaimana aku bisa 
memberi pada setiap manusia apa yang sudah kepunyaannya? Biar ini mencukupi
bagiku: Aku memberi pada setiap manusia kepunyaanku.
Akhirnya, para saudaraku, jagalah diri kau untuk berbuat salah pada sang 
petapa! Bagaimana sang petapa itu bisa lupa? Bagaimana ia bisa membalas?
Bagaikan sumur dalam sang petapa itu. Adalah mudah untuk melempar 
batu kedalamnya; namun , katakanlah padaku, siapa yang bisa mengambilnya
kembali?
Jagalah diri kau agar tidak melukai sang petapa! namun  jika kau telah 
melakukannya, baiklah kemudian, bunuhlah ia pula!
Pernikahan dan Anak Turunan
Aku punya satu pertanyaan hanya bagi kau seorang, wahai saudaraku: Aku 
lemparkan pertanyaan ini seperti bandul pemberat ke dalam jiwa kau, agar aku 
tahu seberapa dalam jiwa kau itu.
Kau muda, dan menghasrati pernikahan dan anak turunan. namun  aku tanya 
kau: apakah kau lelaki yang berhak menghasrati anak?
Apakah kau sang pemenang, sang penakluk diri sendiri, sang penguasa 
emosi kau, dewa kebajikan-kebajikan kau? Maka akau tanya kau.
Ataukah kebinatangan kau dan  kebutuhan kau bicara dari dalam hasrat 
kau? Ataukah kesepian kau? Ataukah kerancuan pada diri kau?
Aku ingin kejayan dan kebebasan kau merindukan anak. Kau musti 
membangun monumen-monumen hidup bagi kejayaan dan kebebasan kau.
Kau harus membangun melebihi diri kau, namun  terlebih dahulu kau harus 
membangun diri kau sendiri sebuah badan dan jiwa yang persegi empat.
Tidak saja kau harus merebak ke depan, namun  juga ke atas! Demi ini, 
semoga taman perkawinan kau membantu kau!
Kau musti mencipta sebuah badan yang lebih tinggi, gerak mula, roda 
swaputar – kau harus mencipta sang pencipta.
Pernikahan: ini adalah apa yang aku namakan dua kemauan untuk mencipta
satu kemauan melebihi mereka yang menciptakannya. Saling hormat ke satu sama
lainnya, seperti mereka yang menjalankan kemauan itu – aku namakan ini 
pernikahan.
Biar ini menjadi makna dan kebenarannya pernikahan kau itu. namun  apa 
yang dinamakan pernikahan oleh manusia kebanyakan, manusia yang mubazir 
itu– ah, apa yang harus aku namakan?
Ah, kemiskinan jiwa dalam persekutuan! Ah, kekotoran jiwa dalam 
persekutuan! Ah, kesantaian yang menyedihkan dalam persekutuan!
Mereka menamakannya pernikahan: dan mereka berkata pernikahan mereka 
datang dari Surga!
Wah, aku tidak suka ini, Surga manusia yang mubazir! Tidak, aku tidak 
suka mereka, binatang-binatang ini terjerat oleh kesenangan untuk membanting 
tulang!
Dan biarlah Tuhan yang timpang kesana-sini menjauh dariku, memberkahi 
sesiapa saja yang belum ia jodohkan!
Jangan tertawa kepernikahan seperti ini! Anak mana yang tidak punya 
alasan untuk menangis akan kedua orang tuanya?
Lelaki ini tampaknya matang, dan berharga bagi makna dunia: namun  saat  
aku melihat istrinya, dunia tampaknya bagiku seperti tempat bagi orang-orang 
sinting.
Ya, aku harap bumi bergetar dengan ledakan saat  santo dan angsa saling 
berpasangan bersama.
Lelaki ini bersedia mencari kebenaran seperti pahlawan, dan akhirnya
menangkap dusta manis kecil. Ia menamakan ini pernikahnnya. Lelaki ini berhati-hati dalam urusannya dan memilah-milih pilihannya. 
namun  sekali gus ia merusak hubungannya selamanya: ia menamakan ini 
pernikahnnya
Lelaki lainnya lagi mencari dayang yang mempunyai kebajikan-kebajikan 
bidadari. namun  serentak ia menjadi dayang perempuan ini, dan sekarang ia mau 
menjadi bidadari pula.
Aku telah mendapatkan bahwa semua para pembeli itu berhati-hati, dan 
mereka semua punya mata tajam. namun  bahkan lelaki yang punya mata tertajam 
pun membeli istrinya saat  masih dibungkus.
Banyak kebodohan-kebodohan singkat – ini yang kau namakan cinta itu. 
Dan pernikahan kau ini mengakhiri kebodohan-kebodohan singkat itu menjadi 
kedunguan yang berkepanjangan. 
Cinta kau bagi perempuan dan cinta perempuan bagi lelaki: ah, apakah itu 
hanya sekedar belas kasihan pada penderitaan dan pada tuhan-tuhan Yang 
terselubung! namun  pada umumnya dua binatang itu saling mengerti satu sama 
lainnya.
namun  bahkan cinta terbaik kau pun hanyalah gairah palsu dan gereget yang 
menyakitkan. Itu adalah obor yang menerangi jalan kau ke arah lebih tinggi.
Suatu saat  kau harus mencintai melebihi diri kau! Maka terlebih dahulu
belajarlah untuk mencintai! Demi ini kau musti minum rasa pahitnya cinta kau.
Ada rasa pahit bahkan dalam cinta yang terbaik sekali pun: maka ini 
merangsang rindu ke sang Superman, maka ini merangsang dahaga dalam diri 
kau, sang pencipta!
Dahaganya sang pencipta, anak panah, dan kerinduan ke sang Superman: 
katakanlah padaku, saudaraku, apakah ini kemauan kau pada pernikahan?
Aku namakan kemauan dan pernikahan serupa ini, suci.







Berhala Baru
Masih banyak rakyat dan gembalaan di mana-mana, namun  tidak dengan kita, para 
saudaraku: di sini ada negara-negara.
Negara? Apa sih ini? Ayo! Sekarang buka telinga kau, sebab  sekarang aku 
mau serukan pada kau tentang kematiannya rakyat.
Negara adalah sesuatu yang terdingin dari segala monster-monster dingin. 
Dengan dinginnya, pula, dia membohong; dan kebohongan ini merangkak diam￾diam dari mulutnya; „Aku negara, aku rakyat.‟
Ini adalah kebohongan! Ini adalah para pencipta yang menciptakan rakyat￾rakyat dan menggantungkan sebuah keyakinan dan satu kecintaan ke atas 
mereka: lalu mereka melayani kehidupan.
Itu adalah kaum perusak yang menyiapkan perangkap bagi orang banyak: 
mereka menggantungkan sebilah pedang dan beratus-ratus keinginan-keinginan 
di atas kepala mereka.
Di mana rakyat itu masih ada, di sana negara tidak dimengerti dan rakyat 
membencinya bak mata jahat dan berdosa melawan hukum dan adat istiadat.
Tanda ini aku berikan pada kau: setiap orang berbicara tentang bahasa 
kebaikan dan kejahatannya sendiri: dan tetangganya tidak mengerti bahasa ini. 
Dia menciptakan bahasa ini bagi dirinya sendiri dalam bentuk adat istiadat mau 
pun hukum.
namun  negara berbohong dalam segala bahasa-bahasa kebaikan dan 
kejahatan; dan apa saja yang dikatakannya, ini kebohongan – dan apa saja yang 
dia miliki, ini yang dia telah curi.
Segala sesuatu mengenainya adalah palsu; dia menggigit dengan gigi-gigi 
curiannya. Bahkan perutnya pun palsu pula.
Kerancuan akan bahasa kebaikan dan kejahatan; ini adalah tanda yang aku 
berikan pada kau sebagai tanda sebuah negara. Sungguh, ini adalah tanda yang 
menandakan kemauan pada kematian! Sungguh, ini mengundang para 
pengkhotbah kematian!
Manusia kebanyakan terlahirkan: negara dibentuk untuk manusia yang 
tidak berguna!
Lihat saja bagaimana dia membujuk mereka, si manusia kebanyakan! 
Bagaimana dia menelan mereka, dan mengunyah mereka, mengunyah kembali 
mereka!
„Di dunia ini tidak ada yang lebih megah selain aku: itu adalah aku, sang 
\pengatur jari Tuhan‟ – maka monster-monster ini meraung. Tidak saja si telinga 
tuli dan si cadok bertekuk lutut di hadapannya!
Ah, dia membisikan dusta-dusta yang menyedihkan pada kau pula, kau para 
jiwa megah! Ah, dia mendapatkan hati kau yang berlimpahan yang ingin 
dihambur-hamburkan oleh mereka!
Ya, dia menemukan kau pula, kau para penakluk Tuhan purba! Kau tumbuh 
letih dalam pertempuran dan sekarang keletihan kau melayani si berhala baru ini!
Dia ingin menjejerkan para pahlawan dan para manusia terhormat di
sekelilingnya, berhala baru ini! Dia senang menjemur memandikan dirinya di
sinar terang kebaikan hati – monster dingin ini!Dia akan memberikan kau apa saja jika kau puja dia, berhala baru ini: maka 
dia membeli bagi dirinya semarak kebajikan kau dan  pandangan angkuh mata 
kau.
Dia ingin mempergunakan kau untuk membujuk manusia kebanyakan. Ya, 
suatu upaya kecerdikan jahat disini direkayasakan, kuda kematian yang 
bergemerincingan dengan solek hiasan kehormatan agung!‟
Ya, kematian bagi semua telah direkayasakan di sini, yang mengagungkan 
dirinya sebagai kehidupan: sungguh, melayani dengan sepenuh hati ke para 
pengkhotbah kematian!
Aku namakan ini negara di mana setiap manusia, baik dan buruk, adalah si 
peminum racun: negara, di mana semuanya kehilangan dirinya, si baik dan si 
buruk: negara, dimana bunuh diri secara lambat dan bersama itu dinamakan –
kehidupan.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka mencuri karya-karya para 
pencipta dan harta-harta manusia bijaksana bagi diri mereka sendiri: mereka 
menamakan barang curian ini budaya – dan segalanya menjadi sakit dan bencana
bagi mereka.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka selalu saja sakit, mereka 
memuntahkan air empedu mereka dan menamakannya koran. Mereka menelan 
satu sama lainnya walau mereka tidak dapat mencernanya.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka mempunyai kekayaan 
namun  membuat diri mereka lebih miskin dengan itu. Mereka mencari-cri
kekuatan, khususnya kekuatan pengungkit, duit banyak – mereka rakyat lemah!
Lihat mereka memanjat, kera-kera gesit ini! Mereka memanjat di atas kepala
satu sama lainnya lalu baku hantam ke lumpur dan ngarai maha dalam.
Mereka semua berjuang menuju ke singgasana: ini adalah kegilan mereka – 
seolah-olah kebahagiaan itu duduk di atas singgasana! Kerap kali kotoran duduk 
di atas singgasana – dan kerap kali pula singgasana duduk di atas kotoran.
Menurutku mereka tampaknya seperti orang gila dan kera-kera pemanjat 
garang, penuh nafsu. Berhala mereka, berbau tidak menyedapkan bagiku, monster 
dingin: mereka semuanya, semua para pemuja ini, bagiku berbau tidak sedap.
Para saudaraku, maukah kau tercekik mati lemas di dalam asap mulut-mulut 
binatang dan selera nafsu makan mereka? Lebih baik pecahkan jendela dan 
melompat ke udara terbuka.
Hindarilah bau busuk ini! Tinggalkanlah cara pemujaan para manusia tidak 
berguna ini!
Hindarilah bau busuk ini! Tinggalkanlah uap-uap korbanan manusia!
Dunia masih tetap terbuka bagi para jiwa megah. Banyak tempat-tempat 
yang masih kosong - bagi para petapa dan petapa berpasangan berbau samudera 
ketenangan yang berhembus di sekeliling mereka.
Satu kehidupan bebas masih terbuka bagi jiwa megah. Sungguh, ia yang 
punya sedikit sangat sedikit menjadi kalap: pujilah kemiskinan yang bersahaja!
Hanya di sana, di mana negara itu runtuh, manusia yang tidak mubasir 
bermula: tembangan manusia sederhana, melodi yang khas dan abadi, bermula.
Di sana, di mana negara itu runtuh – cobalah lihat di sana itu, para 
saudaraku. Tidakkah kau melihatnya: pelangi dan jembatan-jembatan ke sang 
Superman?
Lalat-lalat di Pasar
Larilah, temanku ke tempat penyendirian kau! Aku melihat kau telah tertulikan
oleh teriakan sang manusia megah dan tersengat oleh teriakan manusia kecil.
Sangat mengagumkan, hutan dan batu karang tahu untuk membisu dengan 
kau. Jadilah seperti pohon lagi, pohon rimbun bercabang-cabang yang kau cintai
itu: membisu dan  penuh perhatian condong ke muka samudera.
Di mana tempat penyendirian itu berakhir, di sana pasar bermula; dan di
mana pasar bermula, di sana pun mulai teriakan-teriakan para aktor megah dan 
dengungan lalat-lalat berbisa.
Di dunia ini bahkan sesuatu yang terbaik pun tidak berharga tanpa ia yang 
mewakilinya: rakyat menamakan para perantara ini „orang besar‟.
Rakyat mengerti sedikit akan apa arti besar itu, yakni: agen pencipta. namun  
mereka mempunyai selera bagi semua para perantara dan para aktor dari apa-apa 
yang besar saja.
Dunia mengelilingi sang pencipta nilai-nilai baru: tidak dirasakan ini 
berkeliling. namun  rakyat dan keagungan mengelilingi sang aktor: ini adalah 
„jalannya dunia‟.
Sang aktor mempunyai spirit namun  spirit yang berhati nurani kecil. Ia selalu 
percaya pada kepercayaan yang ia dengan segala tenaga hasilkan – menciptakan
kepercayaan - dalam dirinya!
Esok ia akan punya kepercayaan baru dan lusa sesuatu yang lebih baru lagi. 
Ia cepat mengerti, seperti rakyat yang bertabiat tidak terduga-duga.
Untuk mengacau baginya ini berarti: untuk membuktikan. Untuk mengamuk 
– baginya ini bermakna: untuk meyakinkan. Dan darah dianggap olehya sebagai 
cara perdebatan yang terbaik.
Kebenaran yang masuk menembus hanya ke telinga-telinga halus ia 
namakan kebohongan dan bukan apa-apa. Sungguh, ia percaya hanya pada tuhan￾tuhan yang membuat suara bising di dunia!
Pasar penuh dengan para badud berisik – dan rakyat mengagungkan para 
manusia megah ini! Mereka adalah para pahlawan waktu ini!
namun  waktu memburu mereka: maka mereka memburu kau. Dan dari kau 
pula mereka membutuhkan kata Ya atau Tidak. Duh! maukah kau menaruh kursi 
kau di antara Setuju dan Tidaksetuju.
Jangan menjadi iri, kau para pecinta kebenaran, pada para manusia kaku dan 
penindas ini! Kebenaran namun tidak pernah ada di tangan manusia kaku.
Kembalilah ke ketenteraman kau sebab  manusia kasar ini: hanyakah di 
pasar seseorang menyerang dengan kata Ya? atau Tidak?
Semua sumur-sumur yang dalam lambat mengalami sesuatu: mereka musti 
menunggu lama hingga mereka tahu apa yang jatuh ke dalam kedalaman mereka.
Sesuatu yang besar itu terjadi jauh dari pasar dan dari keagungan: para 
pencipta nilai-nilai baru selalu hidup jauh dari pasar dan dari keagungan.Larilah, temanku, ke tempat penyendirian kau: aku melihat kau disengat
habis oleh lalat-lalat berbisa. Larilah, temanku, ke dimana, angin keras dan kuat 
bertiup!
Larilah ke tempat penyendirian kau. Kau telah hidup terlalu dekat dengan
para manusia kerdil dan para manusia yang memelas. Larilah dari balas dendam
tersembunyi mereka! Terhadap kau mereka bukan apa-apa hanya balas dendam
belaka.
Tidak lagi mengangkat lengan kau melawan mereka! Mereka sangat banyak,
dan bukan takdir kau untuk menjadi pembasmi lalat.
Tidak terbilang jumlah mereka para manusia kerdil dan manusia yang 
memelas ini; tetesan-tetesan hujan dan semak-semak liar menjadi penyebab
kehancuran kebanyak bangunan-bangunan kokoh.
Kau bukan batu, namun tidak terkirakan banyaknya tetesan-tetesan ini 
membuat kau cekung. Kau akan patah dan hancur lebur berkeping-keping melalui 
banyaknya tetesan-tetesan ini.
Aku melihat kau kelelahan sebab  lalat-lalat berbisa, aku melihat kau 
tercabik-cabik ratusan darah percikan; dan keangkuhan kau bahkan menolak 
untuk menjadi marah.
Mereka menginginkan darah kau, dengan segala rasa lugas, jiwa mereka 
yang tidak punya darah haus akan darah – lalu mereka menyengat dengan rasa 
lugas.
namun  kau, sangat dalam, kau menderita sangat dalamnya, bahkan dari luka 
kecil pun; dan sebelum kau bisa sembuh, ulat berbisa yang sama ini sekali lagi 
merayap di atas lengan kau.
Kau terlalu angkuh untuk membinasakan mahluk bermulut madu ini. namun  
jaga agar ini tidak menjadi takdir kau untuk memikul semua bisa-bisa 
ketidakadilan mereka!
Mereka mendengung di sekeliling kau bahkan dengan puji-pujian mereka:
puji-pujian mereka sangat menjengkelkan. Mereka mau dekat kulit badan kau dan 
darah kau.
Mereka memuji kau, seperti memuji tuhan atau setan; mereka merengek￾rengek di hadapan kau, seperti dihdapan tuhan atau setan. Apa arti ini semua! 
Meraka adalah penjilat dan perengek, tidak lebih dari ini.
Dan kerap kali juga mereka lembut pada kau. namun  ini adalah keberhati￾hatiannya para pengecut. Ya, si pengecut sangat berhati-hati sekali!
Mereka sangat memikirkan kau dengan jiwa picik mereka – maka kau selalu 
dicurigai mereka. Segala yang dipikir-pikir sebegitu banyaknya akhirnya mengira 
curiga.
Mereka mendera kau sebab  semua kebajikan-kebajikan kau. Mereka 
memaafkan kau dari dalam lubuk hati yang terdalam mereka – kesalahan￾kesalahan kau belaka.
sebab  kau sangat lembut dan berpikiran jujur, kau berkata: „Mereka tidak 
harus disalahkan akan kekerdilan eksistensi mereka.‟ namun  jiwa kerdil mereka 
berpikir: „semua eksistensi yang megah pantas dihujat‟
Bahkan tatkala kau lembut ke mereka, mereka tetap saja merasakan kau 
menghina mereka; lalu mereka membalas kelembutan kau dengan kejahilan 
tersembunyi.Keangkuhan kau yang membisu selalu menyakitkan selera mereka; mereka 
gembira jika kau cukup merendah diri berulah tidak karuan.
Apa yang kita ketahui dalam diri seseorang, kita juga menjengkelkanya. 
Maka waspadalah ke para manusia rendah!
Di hadapan kau, mereka merasa kecil, dan kerendahan hati mereka bersinar 
dan berkilauan melawan kau dalam pembalasan dendam tersembunyi mereka.
Tidakkah kau melihat bagaimana kerapnya mereka membisu saat  kau 
datangi mereka, dan bagaimana tenaga mereka melarikan diri dari mereka serupa 
asap dari api yang akan mati?
Ya, temanku, kau adalah nurani buruk bagi para tetanggga kau: sebab  
mereka tidak berharga bagi kau. Maka mereka membenci kau, dan mau dengan 
sepenuh hati menghisap darah kau.
Tetangga kau itu selalunya adalah lalat-lalat berbisa: bahwa kau ini megah, 
ini sendiri musti membuat mereka menjadi lebih seperti lalat dan lebih berbisa 
lagi.
Larilah, temanku, ke tempat penyendirian kau dan ke dimana udara segar, 
keras berhembus! Bukan takdir kau jadi pembasmi lalat.




Para Pengkhotbah Kematian
Ada para pengkhotbah kematian: dan dunia penuh dengan mereka yang 
keberangkatan dari hidup ini musti dikhotbahkan.
Dunia ini penuh dengan orang yang tidak berguna, hidup telah dikorupsikan 
oleh si orang kebanyakan. Semoga mereka terpikat ke „kehidupan abadi‟ di luar 
hidup ini!
„Para manusia kuning atau hitam: ini nama bagi para pengkhotbah kematian
itu. namun  aku mau perlihatkan pada kau pula dalam warna-warna lain.
Ada mahluk-mahluk yang menakutkan yang membawa binatang pencari 
mangsa bersama dalam dirinya, dan tidak ada pilihan lain kecuali mengumbar 
nafsu dan menyiksa diri. Bahkan nafsu-nafsu mereka adalah penyiksaan diri.
Mereka belum lagi menjadi manusia, mahluk-mahluk menakutkan ini. Biar 
mereka mengkhotbahkan keberangkatan dari hidup ini dan berangkatlah mereka 
sendiri!
Mereka para jiwa yang sia-sia: mereka nyaris belum dilahirkan sebelum 
mereka mati, dan rindu akan doktrin-doktrin keletihan dan penafian.
Mereka ingin mati, dan kita musti setuju akan keinginan mereka itu! Mari 
kita berjaga-jaga untuk tidak membangunkan para manusia mati ini, dan tidak 
menghancurkan peti-peti mati hidup ini!
Mereka berpapasan dengan si lumpuh atau orang tua atau mayat; segera 
mereka berkata „Hidup tersangkal!‟
namun  mereka hanyalah yang tersangkal, dan mata mereka hanya melihat ke 
satu aspek eksistensi. 
Terselubung dalam kesedihan yang tebal, dan rindu akan musibah-musibah 
kecil yang membawa kematian: maka mereka menunggu dan menggeram.
Atau: mereka merenggut gula-gula dan dalam berbuat demikian mereka 
mengejek kekanak-kanakan mereka: mereka melekatkan diri mereka ke jerami 
kehidupan dan mengejek bahwa mereka masih melekat ke jerami ini.
Kebijaksanaan mereka adalah: „Ia yang terus hidup adalah dungu, namun  kita 
adalah kedunguan ini! Dan tepatnya ini adalah yang terdungu dalam kehidupan!‟
„Hidup adalah penderitaan belaka‟ – maka yang lainnya dari mereka 
berkata, dan mereka tidak berdusta: maka buktikan bahwa kau berhenti hidup! 
Maka buktikanlah bahwa hidup yang penuh penderitaan belaka ini berhenti!
Dan biarkan ajaran kebajikan kau itu menjadi: „Kau musti membunuh diri 
kau sendiri! Maka kau musti menipu diri sendiri!‟
„Nafsu adalah dosa‟ – maka berkata beberapa dari mereka yang 
mengkhotbahkan kematian – „mari kita berpisah dan tidak melahirkan anak!‟
„Memberi kelahiran itu melelahkan‟ – kata beberapa dari mereka –
„mengapa kita musti terus memberi kelahiran? Seseorang melahirkan anak-anak 
yang tidak bahagia belaka!‟ Dan mereka pun akan menjadi para pengkhotbah 
kematian nantinya.
„Belas kasihan adalah penting‟ – kata mereka yang lainnya. „Ambil apa 
yang aku punya! Ambil aku apa adanya! Semakin sedikit aku terikat pada
kehidupan ini!Jika mereka benar-benar penuh dengan belas kasihan lalu mereka akan 
mencoba untuk membuat tetangga mereka bosan hidup. Menjadi jahat - ini akan 
menjadi kebaikan yang sejatinya mereka.
namun  mereka mau lari dari kehidupan: perdulikah mereka itu jika mereka 
mengikat orang lain lebih erat lagi dengan rantai-rantai dan hadiah-hadiah 
mereka?
Dan kau pula, dimana hidup kau itu adalah pekerjaan berat dan  keresahan
melulu: tidakkah kau sangat letih akan kehidupan? Tidakkah kau sangat matang 
bagi sabda kematian?
Kau semua, yang mengaggap kerja keras ini amat berharga, cepat, baru, dan
janggal, kau memperlakukan dirimu dengan jelek, kerajinan kau adalah pelarian 
dan kemauan untuk melupakan diri kau.
Jika kau lebih percaya pada kehidupan, lalu kau akan mencurahkan diri kau 
sedikit ke detik ini. namun  kau tidak cukup punya kesanggupan untuk menunggu –
atau bahkan bermalas-malasan!
Dimana-mana bergaung suara-suara mereka yang mengkhotbahkan 
kematian: dan dunia ini penuh dengan para manusia yangmana kematian itu musti 
dikhotbahkan.
Atau: „kehidupan abadi‟: ini semua sama bagiku – asalkan saja mereka mati
cepat!
Satria dan Perang
Kita tidak mau dikecualikan oleh musuh-musuh terbaik kita, tidak pula oleh 
mereka yang kita cintai dari dalam hati! Maka izinkanlah aku berseru kebenaran!
Para saudaraku dalam perang! Aku mencintai kau dari dalam hati, aku 
selalunya adalah teman kau. Dan aku juga musuh terhebat kau. Maka izinkanlah 
aku berseru kebenaran!
Aku tahu akan kebencian dan kedengkian hati kau. Kau tidak cukup megah 
untuk tidak tahu tentang kebencian dan kedengkian. Maka jadilah cukup megah 
untuk tidak malu akan ini!
Dan jika kau tidak bisa menjadi santo-santo ilmu pengetahuan, sekurang￾kurangnya jadilah satria-satrianya. Mereka adalah mitra-mitra dan pelopor
kesantoan seperti ini.
Aku melihat banyak bala tentara: semoga aku dapat melihat banyak pula 
satria-satria. Pakaian “seragam,” itulah yang mereka kenakan di badan mereka: 
semoga apa yang mereka sembunyikan di baliknya bukan seragam pula!
Kau musti menjadi para manusia yang matanya selalu mencari musuh –
musuh kau. Dan pada beberapa dari kau ada benci pada pandangan pertama.
Kau musti mencari musuh kau, kau harus berperang, perang kau, perang 
bagi opini-opini kau. Dan jika opini-opini kau kalah, kejujuran kau dengan 
demikian harus tetap meneriakan kejayaan!
Kau musti mencintai perdamaian sebagai sarana bagi perang-perang baru. 
Dan perdamaian yang singkat dibandingkan  lama
Aku menganjurkan kau untuk tidak bekerja namun  bertempur. Aku 
menganjurkan kau untuk tidak berdamai namun  berjaya. Semoga kerja kau menjadi 
pertempuran, semoga perdamaian kau menjadi kejayaan!
Seseorang bisa membisu dan duduk hening hanya saat  ia mempunyai 
panah dan busur: jika tidak seseorang akan mengoceh dan berselisih. Semoga 
perdamaian kau menjadi kejayaan!
Kau berkata bahwa itu adalah alasan yang baik yang mensucikan perang? 
Aku katakan pada kau: itu adalah perang yang baik yang mensucikan setiap 
alasan.
Perang dan keberanian menciptakan banyak kemegahan pada sesuatu
dibandingkan  caritas. Bukan rasa simpati kau namun  keberanian kau yang telah 
menolong manusia malang hingga kini.
„Apa sih kebaikan itu?‟ tanya kau. Menjadi berani adalah kebaikan. Biar 
para anak gadis berkata: „Menjadi baik itu adalah menjadi cantik dan pada saat 
yang bersamaan menyentuh perasaan.‟
Mereka menamakan kau tidak punya hati: namun  hati kau sejati, dan aku 
mencintai kebersahajaan lembut hati kau. Kau merasa malu akan arus pasang kau, 
sewaktu yang lainnya malu akan kesurutannya.
Apa kau jelek? Ayo, para saudaraku! Copot kemuliaan kau, sarung si jelek
itu!
Dan saat  jiwa kau tumbuh megah, lalu menjadi arogan, dan di dalam 
kemuliaan kau ada kekejaman. Aku tahu kau.
Dalam kekejaman, si arogan dan si manusia lemah bertemu. namun  mereka 
tidak mengerti satu sama lainya. Aku tahu kau.
Kau boleh punya musuh-musuh kau yang kau benci, namun  bukan musuh￾musuh yang kau hina. Kau musti bangga akan musuh kau: lalu keberhasilan 
musuh kau akan menjadi keberhasilan kau pula.
Untuk memberontak - ini keistimewaannya kaum budak. Biar keistimewaan
kau memperlihatkan dirinya dalam kepatuhan! Biar aba-aba perintah kau itu 
menjadi aba-aba kepatuhan kau!
Bagi satria yang sejati, „Kau kudu‟ terdengarnya lebih menyenangkan
dibandingkan  „Aku mau‟. Dan segala sesuatu yang sangat berharga bagi kau, 
pertamanya harus patuh pada kau.
Biar cinta kau terhadap kehidupan ini menjadi cinta kau terhadap harapan 
tertinggi kau: dan biar harapan tertinggi kau menjadi ide tertinggi kehidupan! 
Namun, ide tertinggi kau itu, kau dapati dari apa yang aku perintahkan pada 
kau – dan itu adalah: Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi.
Maka jalanilah kehidupan kau pada kepatuhan dan perang! Apa baiknya 
hidup lama? Satria macam apa mau dikecualikan?
Aku tidak mengecualikan kau, aku mencintai kau dari dalam lubuk hatiku, 
para saudaraku dalam perang!









Tatkala Zarathustra berusia tiga puluh tahun, ia meninggalkan rumah dan danau 
rumahnya pergi ke gunung-gunung. Sepuluh tahun lamanya ia di sini bersuka￾cita akan spiritnya dan  penyendiriannya, sama sekali tidak merasa letih. namun  
akhirnya hatinya berubah – dan pada suatu pagi ia bangkit bersama fajar 
melangkah ke hadapan sang surya, lalu berseru padanya demikian:
Bintang megah! Apa yang akan menjadi kebahagiaan kau, jika tidak ada 
mereka yang kau sinari!
Kau telah datang ke atas guhaku sini, sepuluh tahun: kau akan menjadi letih 
akan cahaya kau dan perjalanan kau, jika itu bukan untukku, elangku dan ularku.
Sungguh kami telah menunggu kau setiap pagi, telah mengambil dari kau, 
keberlimpahan kau dan memberkahi kau bagi ini.
Perhatikan! Aku letih akan kebijaksanaanku, bak kumbang yang
kebanyakan mengumpul madu; aku butuh lengan-lengan untuk menjangkau 
madu-madu ini.
Aku mau berikan dan bagi-bagikan madu ini, hingga manusia bijaksana di 
antara para manusia akan bahagia lagi dalam kebodohannya dan manusia miskin 
bahagia dalam kekayaannya.
Bagi tujuan ini, aku musti turun ke kedalaman-kedalaman: bagai yang kau 
lakukan di sore hari, tatkala kau pergi ke belakang samudera dan memberi cahaya 
ke mercupada pula, wahai bintang maha berlimpah!
Seperti kau, aku musti turun-kebawah – sebagaimana yang manusia
katakan, pada merekalah aku ingin turun!
Maka berkahilah aku, mata hening, kau yang bisa melihat kebahagiaan yang 
mahaberlimpahan tanpa rasa iri!
Berkahilah cawan yang ingin meluap ini, semoga airnya yang keemasan itu
mengalir darinya, membawa pantulan suka-cita kau ke seluruh penjuru!
Perhatikan! Cawan ini mau menjadi kosong lagi, dan Zarathustra ingin 
menjadi manusia lagi.
Lalu mulailah Zarathustra turun-kebawahZarathustra lalu pergi turun gunung seorang diri, dan tidak ada satu pun yang 
bertemu dengannya. namun  saat  ia memasuki hutan, seorang tua, yang telah
meninggalkan pondok sucinya untuk mencari akar-akar pohon di dalam hutan, 
sekonyong-konyong berdiri di hadapannya. Dan orang tua ini berseru demikian ke 
Zarathustra:
„Musafir ini tidak asing bagiku: ia pernah melalui jalan ini bertahun-tahun
lalu. Zarathustra namanya; namun  kini ia telah berubah.
Dahulu kau membawa abu kau ke gunung-gunung: akankah kau kali ini 
membawa api kau ke lembah-lembah? Tidakkah kau takut akan hukum larangan 
membawa api?
Ya, aku kenali Zarathustra. Kedua matanya bersih, dan tidak ada kejijikan 
bersembunyi di sekeliling mulutnya. Tidakkah ia melangkah laksana seorang 
penari?
Zarathustra telah berubah! Zarathustra telah menjadi seorang anak –
Zarathustra telah tergugah: apa yang kau inginkan di dunia para tukang tidur?
„Bagai dalam samudera kau hidup menyendiri, dan samudera telah 
melahirkan kau. Duh, maukah kau pergi ke pesisir? Duh, maukah diri kau sendiri 
menyeret tubuh kau lagi?‟
Zarathustra menjawab: ‟Aku mencintai manusia.‟
„Mengapa‟, kata santo ini, „bukankah aku pergi ke hutan dan padang pasir? 
Bukankah sebab  aku terlalu mencintai manusia?
Sekarang aku mencintai Tuhan: aku tidak mencintai manusia. Manusia 
adalah sesuatu yang sangat tidak sempurna bagiku. Mencintai manusia bisa
menghancurkanku.‟
Zarathustra menjawab: „Apa yang telah aku katakan mengenai cinta? Aku 
membawa hadiah untuk manusia.‟
„Jangan beri mereka apa-apa,‟ kata santo ini. „Malah ambil sebagian dari 
beban mereka, dan bawalah bersama mereka – ini akan sangat menyenangkan 
mereka; jika ini juga menyenangkan kau!
Dan jika kau mau memberi mereka, beri mereka tidak lebih dibandingkan  
sedekah, dan biar mereka meminta-minta untuk ini.‟
„Tidak,‟ jawab Zarathustra, „aku tidak memberi sedekah. Aku belum terlalu 
miskin untuk itu.‟
Santo ini tertawa ke Zarathustra, dan berseru demikian: „Lalu buktikanlah 
bahwa mereka menerima harta berharga kau! Mereka tidak percaya pada para 
petapa, dan tidak percaya bahwa kita datang untuk memberi hadiah.
Derap ayunan langkah kita terdengar senyap di jalan-jalan mereka. Di
malam hari saat  mereka di ranjang mereka mendengar seorang berjalan 
menjelang fajar, mereka mungkin bertanya-tanya tentang kita: hendak kemana 
pencuri itu pergi?
Jangan pergi ke manusia, namun  tinggalah di hutan! Malah pergi ke binatang￾binatang! Mengapa kau tidak mau menjadi serupaku – beruang di antara beruang￾beruang, burung di antara burung-burung?‟
„Dan apa yang santo kerjakan di hutan ini?‟ tanya Zarathustra.
Santo menjawab: „Aku membuat hymne dan menyanyikannya, saat 
membuat hymne, aku tertawa, menangis, dan berkomat-kamit: demikianlah aku 
memuja Tuhan.
Dengan nyanyian, tangisan, tawaan, dan komat-kamit aku memuja Tuhan 
yang memanglah Tuhanku. namun  apa yang kau bawa untuk kami sebagai 
hadiah?‟
Tatkala Zarathustra mendengar kata-kata ini, ia menghormat santo ini dan 
berkata: „Apa yang musti aku berikan pada kau! namun  biarkanlah aku pergi 
segera, semoga aku tidak mengambil apa-apa dari kau!‟ Lalu mereka berpisah satu 
sama lainnya, santo dan Zarathustra tertawa bak dua anak lelaki tertawa.
namun  tatkala Zarathustra seorang diri, ia berseru ke hatinya:
Apa mungkin santo tua ini di dalam hutannya belum lagi tahu bahwa Tuhan 
sudah mati!
 
Tatkala Zarathustra tiba di kota terdekat di seberang hutan itu, ia mendapatkan di 
tempat itu banyak manusia berkumpul di alun-alun pasar: sebab  telah 
dicanangkan bahwa si akrobat peniti tali akan beratraksi. Dan Zarathustra lalu 
berseru ke rakyat:
Aku ajarkan kau akan Superman. Manusia adalah sesuatu yang musti 
diatasi. Apa yang telah kau kerjakan untuk mengatasi manusia?
Segala mahluk hidup hingga kini telah menciptakan sesuatu melebihi diri 
mereka: lalu kau mau menjadi air surut dari air pasang besar, dan kembali ke 
dunia binatang dibandingkan  mengatasi manusia?
Apa kera itu bagi para manusia? Bahan tertawaan atau aib memalukan.
Begitu pula manusia bagi Superman: bahan tertawaan, sesuatu yang memalukan.
Kau telah membuat diri kau dari ulat menjadi manusia, dan banyak di dalam 
diri kau tetap saja serupa ulat. Sekala kau adalah kera, bahkan hingga kini pun 
manusia lebih menyerupi kera dibandingkan  kera-kera lain.
Bahkan ia yang paling bijaksana di antara kau pun, ia hanyalah ketidak 
harmonisan dan hibrida antara tumbuh-tumbuhan dan hantu. namun  apa aku 
tawarkan kau untuk menjadi hantu-hantu dan tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan, aku ajarkan kau tentang sang Superman.
Sang Superman adalah makna dunia. Biar kemauan kau berkata: sang 
Superman musti menjadi makna dunia ini!
Aku mohon kau, para saudaraku, selalu sejati ke dunia, jangan percaya pada 
mereka yang berkata ke kau akan harapan-harapan super dunia! Mereka adalah 
para peracun, apa mereka tahu atau tidak.
Mereka adalah para pembenci kehidupan, yang membusuk dan manusia
beracun, sebab  merekalah dunia ini kelelahan: maka usir mereka!
Sekala menghujat melawan Tuhan adalah penghujatan terbesar, namun  Tuhan
sudah mati, lalu para penghujat Tuhan pun mati pula. Untuk menghujat dunia
sekarang adalah dosa yang paling mengerikan, begitu pula untuk memuliakan isi
hati yang Tidak-bisa-diketahui melebihi makna dunia ini.
Sekala jiwa melihat dengan rasa hina ke badan: lalu rasa hina ini menjadi 
sesuatu yang termulia – jiwa menginginkan badan menjadi kurus, menakutkan, 
kelaparan. Lalu jiwa berpikir bahwa ia bisa lari dari badan dan dunia.
Oh, jiwa ini sendiri pun kurus, menakutkan, kelaparan: dan kekejaman telah 
menjadi pesona jiwa!
namun  katakanlah padaku, para saudaraku: Apa yang badan kau telah 
katakan mengenai jiwa kau? Bukankah jiwa kau itu kemiskinan, polusi dan 
kepuasan diri yang menyedihkan?
Sesungguhnya, manusia itu seperti sungai yang terpolusi. Maka seseorang
musti menjadi samudera, untuk menerima sungai yang tercemar, tanpa ternodai.
Perhatikan, aku ajarkan kau sang Superman: ia adalah samudera itu, 
padanyalah kebencian besar kau bisa tenggelam.Sesuatu yang besar seperti apa yang kau bisa alami? Di detik-detik
kebencian besar. Detik-detik saat  bahkan kebahagiaan kau dan kebajikan kau 
membenci kau, begitu pula akal budi kau.
Detik-detik saat  kau berkata: „Apa sih baiknya kebahagiaanku? Itu cuma 
kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan. namun  kebahagiaanku 
musti membuktikan eksistensi itu sendiri!‟
Detik-detik saat  kau berkata: „Apa sih baiknya akal budiku? Tidakkah 
akal budiku itu rindu bagi pengetahuan bagai singa rindu bagi makanannya? Itu
adalah kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan!
Detik-detik saat  kau berkata: „Apa sih baiknya kebajikanku? Ini belum 
lagi menjadikanku gila! Alangkah letihnya aku akan kebaikan dan kejahatanku. 
Ini adalah kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan!
Detik-detik saat  kau berkata: „apa sih baiknya keadilanku? Aku tidak 
melihat bahwa aku adalah bara-bara panas! namun  manusia adil adalah api dan 
bara-bara panas!‟
Detik-detik saat  kau berkata: „Apa sih baiknya belas kasihanku? 
Bukankah belas kasihan itu adalah salib di atas mana ia yang mencintai manusia 
dipakukan? namun  belas kasihanku bukanlah penyaliban!‟
Pernahkah kau berseru begitu? Pernahkah kau melolong seperti itu? Ah, aku 
dengar kau melolong demikian!
Ini semua bukanlah dosa-dosa kau, namun  pemuasan hati diri kau melolong 
ke surga, keberhati-hatian kau akan dosa melolong ke surga!
Dimanakah sang kilat untuk menjilat kau dengan lidahnya? Dimanakah 
kegilaan, dengan mana kau musti dibersihkan?
Perhatikan, aku ajarkan kau tentang sang Superman: ia adalah kilat, ia
adalah kegilaan ini!
saat  Zarathustra berseru demikian, salah satu dari rakyat berteriak: 
„Sekarang kita telah cukup mendengar tentang si akrobat peniti tali itu; sudah 
waktunya kita melihatnya!‟ Dan semua orang tertawa ke Zarathustra. namun  si 
peniti tali, yang berpikir bahwa semua seruan-seruan ini ditujukan baginya, lalu 
mulai dengan atraksinya.
 
namun  Zarathustra melihat ke rakyat dan takjub. Lalu ia berseru demikian:
Manusia adalah tali, diikat di antara binatang dan Superman – seutas tali di 
atas jurang maha dalam.
Bahaya pergi menyeberang, bahaya mengembara, bahaya menoleh 
belakang, bahaya gemetaran dan diam berhenti.
Apa yang megah dalam diri manusia bahwa ia adalah jembatan bukan 
tujuan; apa yang patut dicintai dalam diri manusia bahwa ia adalah perjalanan 
naik-keatas dan turun- kebawah.
Aku cinta mereka yang tidak tahu bagaimana untuk hidup kecuali hidup 
mereka adalah turun-kebawah sebab  ada mereka yang naik-keatas.Aku cinta para pembenci besar, sebab  mereka para pemuja besar dan anak￾anak panah kerinduan ke tepian pesisir seberang sana.
Aku cinta mereka yang tidak terlebih dahulunya mencari-cari alasan 
melebihi bintang-bintang untuk turun-kebawah, untuk dikorbankan: namun  
mengorbankan diri mereka bagi dunia, lalu dunianya Superman bisa bisa 
terwujud dimasa depan.
Aku cinta ia yang hidup untuk mengetahui sesuatu dan berusaha untuk 
mengetahui sesuatu agar Superman bisa hidup di masa depan. Lalu ia memaui 
kejatuhannya.
Aku cinta ia yang bekerja dan menciptakan supaya ia bisa membuat rumah
bagi Superman,dan menyiapkan baginya bumi, binatang-binatang dan tumbuh￾tumbuhan: maka ia berusahan bagi dirinya kejatuhannya.
Aku cinta ia yang mencintai kebajikannya: sebab  kebajikan adalah 
kemauan untuk jatuh dan anak panah kerinduannya.
Aku cinta ia yang tidak menghemat-hemat jatuhan tetesan spiritnya bagi 
dirinya, namun  mau menjadi spirit seutuhnya dari kebajikannya: lalu ia melangkah 
sebagai spirit menyeberangi jembatan. 
Aku cinta ia yang membuat kebajikannya itu sebagai kecenderungan dan 
takdirnya: lalu demi kebajikannya ia ingin hidup atau tidak ingin hidup.
Aku cinta ia yang tidak mau punya banyak kebajikan. Satu kebajikan adalah 
kebajikan yang besar, lebih dari dua kebajikan, sebab  ini lebih dari sekedar 
simpul tali bagi takdir untuk berpegangan.
Aku cinta ia yang jiwanya berlimpahan, yang tidak ingin rasa terimakasih 
atau pun membalas pemberian: sebab  ia selalu memberi dan tidak menyimpan 
untuk dirinya sendiri.
Aku cinta ia yang malu tatkala menerka dadu dengan benar lalu bertanya: 
Apa aku penipu? – sebab  ia mau punah.
Aku cinta ia yang melontarkan kata-kata keemasan sebelum tindakannya 
dan selalu mengerjakan lebih dari janjinya: sebab  ia memaui kejatuhannya.
Aku cinta ia yang membuktikan para manusia masa depan dan menebus 
para manusia masa lampau: sebab  ia mau punah oleh para manusia masa kini.
Aku cinta ia yang menyiksa Tuhannya sebab  ia cinta Tuhannya: sebab  ia 
musti punah dengan kemarahan Tuhannya.
Aku cinta ia yang jiwanya dalam bahkan saat  ia terluka dan mungkin akan 
jatuh sebab  sesuatu yang kecil: maka ia gembira pergi menyeberang jembatan.
Aku cinta ia yang jiwanya meluap lalu ia lupa akan dirinya, dan segalanya 
ada dalam dirinya: maka segala sesuatunya akan menjadi kejatuhannya.
Aku cinta ia yang spirit dan hatinya bebas: maka kepalanya hanyalah perut 
hatinya, namun  hatinya menggerakannya ke kejatuhannya.
Aku cinta mereka yang serupa tetesan berat jatuh satu persatu dari mendung 
hitam yang bergelantungan di atas kemanusiaan: mereka meramalkan kedatangan 
kilat, bagai para junjungan  mereka punah.
Perhatikan, aku adalah junjungan  kilat dan tetesan berat dari mendung itu: namun  
kilat ini dinamakan sang Superman.
Setelah Zarathustra berseru demikian, ia melihat ke rakyat lalu terdiam. Di sana 
mereka berdiri (ia berkata pada hatinya), di sana mereka tertawa: mereka tidak 
mengerti aku, aku bukanlah mulut ke telinga-telinga mereka.
Mustikah seorang terlebih dahulunya menghancurkan telinga-telinga mereka
untuk mengajarkan mereka mendengar dengan mata mereka? Mustikah seseorang 
bergemuruh serupa tambur-tambur dan para pengkhotbah rasa penyesalan? Atau 
mereka hanya percaya pada mereka yang latah?
Mereka punya sesuatu yang membuat mereka angkuh. Apa itu namanya 
yang membuat mereka angkuh? Mereka menamakannya, budaya; ini yang 
membedakan mereka dari para penggembala.
Maka mereka tidak senang untuk mendengar kata “hina” ditujukan pada
mereka. Lalu aku mau berbicara ke keangkuhan mereka.
Aku akan berseru pada mereka akan manusia yang sangat hina dina: dan itu 
adalah Manusia Moderen.
Lalu Zarathustra berseru ke rakyat:
Ini saatnya bagi manusia untuk menentukan tujuannnya. Ini saatnya bagi 
manusia untuk menanam bibit harapan tertingginya.
Tanahnya masih cukup subur bagi ini. namun  tanah ini suatu saat  akan 
menjadi miskin dan kelelahan; tidak ada lagi pohon tinggi akan bisa tumbuh 
darinya.
Duh! Saatnya akan tiba tatkala manusia tidak akan lagi melesatkan anak 
panah kerinduannya melampaui kemanusiaan, dan tali busurnya akan lupa 
bagaimana untuk berdesing!
Aku katakan pada kau: seseorang musti punya kekacauan dalam dirinya, 
untuk melahiran bintang yang menari. Aku katakan pada kau: kau masih tetap 
punya kekacauan dalam diri kau.
Duh! Saatnya akan tiba saat  manusia tidak akan lagi melahirkan bintang￾bintang. Duh! Waktu bagi manusia terhina akan datang, manusia yang tidak bisa 
lagi membenci dirinya.
Perhatikan! Aku akan perlihatkan pada kau Manusia Moderen.
„Apa sih cinta itu? Apa sih kreasi itu? Apa sih kerinduan itu?‟ - maka
bertanya Manusia Moderen dan mengejap-ngejapkan matanya.
Dunia pun lalu mengecil, dan di atasnya melompat-lompat si Manusia 
Moderen, yang membuat segala sesuatunya menjadi kecil. Rasnya bagai kutu 
yang tidak dapat dibasmi; hidup si Manusia Moderen paling lama.
„Kita telah menemukan kebahagiaan,‟ kata Manusia Moderen dan 
mengejap-ngejapkan matanya.
Mereka telah meninggalkan tempat tinggalnya di mana hidup itu berat: 
sebab  mereka butuh kehangatan. Seseorang tetap saja mencintai tetangganya dan 
menggosokan badannya ke tetangga-tetangganya: sebab  seseorang butuh 
kehangatan.
Jatuh sakit dan tidak menpercayai, ini mereka anggap sebagai dosa: 
seseorang kemana-mana harus waspada. Ia adalah dungu yang selalu tersandung 
batu-batu atau manusia-manusia!
Sedikit racun kadang-kadang: yang menghasilkan impian-impian senang. 
Dan banyak racun akhirnya bagi kematian senang.
Mereka tetap saja bekerja, sebab  kerja adalah hiburan. namun  mereka 
berjaga-jaga agar