Tampilkan postingan dengan label zarathustra 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zarathustra 1. Tampilkan semua postingan
Home » Posts filed under zarathustra 1
Sains
Maka menembanglah sang ahli sihir; dan semua yang hadir menjadi serupa
burung-burung yang tidak waspada masuk terperangkap kedalam kegasangan jala melankolis dan kecerdikannya. Hanya si manusia ahli spirit yang tidak tertangkap:
langsung ia merebut harpa dari sang ahli sihir dan berteriak: „Udara! Biar masuk
udara segar! Biar masuk Zarathustra! Kau membuat guha ini gerah dan berbisa,
kau ahli sihir jahat!
Kau menggoda ke hasrat-hasrat dan ke gurun-gurun yang tidak diketahui,
kau palsu, kau manusia halus. Duh, saat manusia semacam kau itu berbual dan
berbuat sesuatu mengenai kebenaran!
Terkutuklah semua spirit bebas yang lengah, tidak berjaga-jaga terhadap
para ahli sihir semacam ini! Kebebasan mereka akan sirna: kau mengajarkan dan
menggoda mereka kembali ke dalam penjara-penjara,
Kau setan tua murung, Dari suara ratapan kau yang merdu bagai suara
kicauan burung keluarlah kata-kata yang menggoda, kau serupa mereka yang
dengan puji-pujian mengenai kesucian dengan diam-diam mengundang nafsu
gairah!‟
Ini perkataan sang manusia ahli spirit itu; sang ahli sihir tua, namun, melihat
ke sekitarnya, senang akan kemenangannya, dan dalam hal ini memaklumi walau
dengan kecewa apa yang telah dikatakan oleh manusia ahli spirit. „Diam!‟ ia
berkata dengan suara lembut, „tembangan-tembangan baik mau mengalun dan
bergema dengan baik; setelah tembangan-tembangan baik seseorang harus
terdiam lama.
Lalu mereka pun hening terdiam beberapa lamanya, mereka para Manusia
Utama. namun kau, mungkin, mengerti sedikit akan tembanganku? Ada sedikit
jiwa penyihir dalam diri kau.‟
„Kau memujiku‟, jawab manusia ahli spirit, „saat kau memisahkan diriku
dari diri kau sendiri. Ayo! namun kau yang lainnya, apa yang aku lihat? Kau
semua masih tetap saja duduk di sana, dengan mata penuh nafsu berahi:
Kau para jiwa bebas, kemana kebebasan kau telah pergi sekarang? Kau
nyaris serupa para manusia yang memandang terlalu lama ke para gadis nakal
menari telanjang: jiwa kau sendiri pun ikut menari!
Musti ada lebih banyak, apa yang dinamakan oleh sang ahli sihir sebagai
jiwa penyihir jahat dan penipuan, di dalam diri kau, kau para Manusia Utama –
memang kita pastilah berbeda.
Dan sungguh, kita sudah cukup banyak berbicara dan berpikir bersama,
sebelum Zarathustra kembali ke rumah ke guhanya ini, untuk aku sadari bahwa
kita pastilah berbeda.
„Kita mencari sesuatu yang berbeda – bahkan di atas sini, aku dan kau.
sebab aku mencari lebih banyak keselamatan, mengapa itulah aku datang ke
Zarathustra. sebab ia adalah menara dan kemauan yang selalu berdiri teguh.
Hari ini, saat segalanya berjalan terhuyung-huyung, saat bumi
bergempa. namun kau, saat aku melihat tatapan kau, nyaris tampaknya kau
bagiku lebih banyak mencarai ketidakselamatan,
Lebih banyak horor, lebih banyak keberbahayaan, lebih banyak gempagempa bumi. Menurutku, kau punya satu hasrat (maafkan aku bagi dugaan ini,
kau para Manusia Utama),
Kau punya satu hasrat untuk hidup penuh dengan bahaya, yang sangat
menakutkanku, bagi kehidupan binatang-binatang buas, bagi hutan-hutan, guhaguha, gunung-gemunung terjal dan labirin-labirin.
Dan mereka yang kau senangi itu bukanlah mereka yang memimpin kau
keluar dari bahaya, namun mereka yang memimpin kau tersesat dari segala jalanjalan, si pemimpin salah. namun jika kau nyatanya mengingini hasrat-hasrat yang
sedemikian, namun itu semua tampaknya bagiku adalah mustahil.
sebab rasa takut – adalah awal dan dasar perasaan manusia; segalanya
dijelaskan oleh rasa takut, dosa awal dan kebajikan asal. Dari rasa takut pula
tumbuhlah kebajikanku, yang dinamakan: Sains.
sebab rasa takut akan binatang-binatang buas – ini telah digarap paling
lama dalam diri manusia, termasuk sang binatang yang disembunyikan dan
ditakutkan dalam dirinya sendiri – Zarathustra namakan ini “sang binatang buas
dalam diri”.
„Rasa takut yang berkepanjangan ini, rasa ketakutan purba ini sebegitu
lamanya akhirnya tumbuh halus, membatin, mengintelek – sekarang, tampaknya
bagiku, dimanakan: Sains!‟
Beginilah perkataannya sang manusia ahli spirit itu; namun Zarathustra, yang
baru saja kembali ke guhanya itu, mendengar dan mengerti diskursus terakhir ini,
lalu melemparkan segenggam bunga mawar ke sang manusia ahli spirit dan
tertawa akan “kebenarannya”. „Apa!‟ teriaknya, „apa yang baru saja aku dengar?
Sungguh, aku pikir kau itu dungu, atau aku sendiri orang bodoh: dan secara diamdiam dan secara cepat aku akan memberdirikan “kebenaran” kau itu di atas
kepalanya.
sebab rasa takut – ini adalah sebuah eksepsi dalam diri kita. Keberanian,
dan kepetualangan juga kebersukaan pada yang tidak diketahui, pada yang tidak
pernah dicoba – keberanian tampaknya bagiku adalah prasejarahnya umat
manusia.
Ia iri pada bintang yang terliar, binatang yang paling berani lalu merampas
seluruh kebajikan mereka dari mereka: hanya dengan demikian lalu ia menjadi –
manusia.
Kebaranian ini, sebegitu lamanya akhirnya tumbuh halus, membatin,
mengintelek, keberanian manusia ini, dengan sayap-sayap elang dan
kebijaksanaan ular: ini tampaknya padaku, hari ini dinamakan –„
„Zarathustra!‟ teriak mereka semua yang berkumpul di sana, seolah-olah
suara itu datang dari satu mulut, dan pada saat yang sama meledak menjadi tawa;
namun, dari mereka muncul awan mendung berat. Bahkan sang ahli sihir pun
tertawa, dan berkata secara bijaksana : „Mari! Spirit jahatku sudah pergi!
Dan bukankah aku sendiri sudah memperingatkan kau akan dia, saat aku
berkata bahwa dia adalah seorang pengecoh, si spirit penipu dan pembohong?
Khususnya saat dia memperlihatkan dirinya telanjang. namun apa yang
aku bisa lakukan akan tipu-tipuannya! Apakah aku telah menciptakan dia dan
dunia ini?
Ayo! Mari kita berbaikan, dan bergembira sekali lagi! Dan walau
Zarathustra kelihatannya marah – lihatlah ia! Ia membenciku:
Sebelum malam tiba ia mau lagi belajar untuk mencintai dan memujiku, ia
tidak bisa hidup lama tanpa melibatkan dirinya pada kedungu-dunguan serupa ini.
Ia – mencintai musuh-musuhnya: ia lebih tahu seni ini dibandingkan setiap
manusia yang pernah aku temui. namun ia membalas dendam untuk itu, ke atas
teman-temannya!
Ini seruan sang ahli sihir tua, dan para Manusia Utama memujinya bertepuk
tangan: lalu Zarathustra berjalan ke sekeliling dengan nakalnya dan dengan
sayangnya menjabat tangan para temannya, serupa seorang yang musti membuat
perbaikan-perbaikan dan memohon maaf pada setiap orang bagi sesuatu yang ia
telah lakukan. Seraya ia dekat pintu guhanya, perhatikanlah, ia merasakan satu
hasrat lagi bagi udara segar di luar dan bagi para binatangnya, dan ia sangat ingin
untuk menyelinap keluar.
. Di Antara Para Putri Padang Pasir
„Jangan pergi!‟ kata sang pengembara yang menamakan dirinyan bayangan
Zarathustra, „tinggal bersama kita, jika tidak sang kenestapaan tua, muram akan
menyerang kita lagi.
Sang ahli sihir tua telah memberikan kita sesuatu yang terburuk demi
kebaikan kita, dan lihatlah, si baik itu, paus takwa itu, ada genangan air mata di
matanya, dan telah pula mengarungi samudera melankoli.
Disana raja-raja masih saja berlagak gagah di hadapan kita: sebab diantara
kita yang hadir hari ini, mereka telah belajar dengan lebih baik! namun tidak ada
seorang pun yang melihat mereka, aku berani bertaruh bahwa, perkara pahit akan
mulai lagi –
Perkara pahit akan awan yang melayang, melankoli yang basah lembab,
tirai langit, matahari curian, desiran angin-angin musim gugur,
Perkara pahit akan raungan dan lolongan duka kita: tinggal bersama kita, O
Zarathustra! Di sini ada banyak penderitaan yang tersembunyi yang sangat ingin
untuk bicara, banyak malam, banyak mendung, banyak udara lembab!
Kau telah menyuapi kita dengan makanan-makanan sehat untuk para lelaki
sejati, dan kata-kata mutiara penggugah semangat: jangan biarkan spirit
kewanitaan yang lemah itu menyerang kita lagi di padang pasir ini!
Kau sendiri yang membuat udara di sekeliling kau segar dan bersih!
Pernahkah aku temui di dunia ini udara semacam ini selain bersama kau di dalam
guha kau?
Aku banyak melihat negera-negara, hidungku sudah belajar untuk menguji
dan menilai bermacam-macam udara: namun bersama kau lubang hidungku
merasakan kenikmatan besar!
Kecuali, kecuali - oh maafkan kenangan tua ini! Maafkan aku satu tembang
tua sehabis-makan-malam, yang aku sadur di antara para putri padang pasir –
sebab bersama mereka di sana ada udara segar juga, udara bersih, udara
orang Timur; di sana aku jauh dari mendung-mendung, kelembaban-kelembaban,
melankoli Eropa tua!
saat itu aku mencintai gadis-gadis Timur semacam itu dan kerajaan surga
biru, di sana tidak ada awan-awan atau pun pikiran-pikiran yang bergelantungan..
Kau tidak akan percaya alangkah manisnya mereka duduk di sana saat
mereka tidak menari, dalam, namun tanpa pikiran, serupa misteri kecil, serupa tekateki teka-teki yang dihiasi, serupa kacang sehabis makan malam
Beraneka warna dan sangat asing sekali! namun tanpa awan-awan mendung:
teka-teki teka-teki yang setiap orang pun bisa terka: untuk menyenangkan para
gadis semaca ini aku lalu menggubah sebuah mazmur sehabis makan malam.‟
Ini seruan sang pengembara yang menamakan dirinya bayangan
Zarathustra; dan sebelum ada seseorang yang menjawabnya, ia dengan cepat
merenggut harpa sang ahli sihir tua itu, menyilangkan kakinya, dan menatap ke
sekeliling dengan tenang semacam resi – namun, dengan perlahan dan penuh
tanya, lubang hidungnya, menghirup udara serupa seorang yang sedang
merasakan udara janggal di negeri-negeri asing. Lalu ia mulai menembang serupa
raungan.
Padang pasir itu tumbuh: sengsaralah ia yang mengharapkan padang-padang pasir!
Ha! Serius!
Sungguh serius!
Satu awal yang berharga!
Serius ala Afrika!
Serupa singa
Atau serupa lengkingan-beruk bermoral
- namun ini adalah nol bagi kau,
Kau para gadis perawan yang paling aku sayangi,
Di depan kakinya aku,
Untuk pertama kalinya,
Seorang bangsa Eropa di bawah pepohonan palem,
Aku diizinkan duduk. Silah.
Indah, sungguh!
Di sini sekarang aku duduk,
Dekat padang pasir, namun aku
Masih sangat jauh dari padang pasir,
Tetap utuh tidak hancur:
sebab , aku ditelan bulat-bulat
Oleh oasis terkecil ini:
- Dia dengan mudahnya membuka, mengangakan,
Mulut termanisnya,
Mulut kecil-beraroma termanis dari segala mulut-mulut kecil:
Lalu aku jatuh ke dalamnya,
Ke bawah, langsung ke bawah – ke tengah-tengah kau,
Kau para gadis perawan yang paling aku sayangi! Silah.
Hidup ikan paus! Hidup ikan paus itu!
Agar tamunya senang
Membuat kenyamanan! – kau mengerti
Tentunya, kiasanku yang bijak inikan?
Hidup perutnya
Seolah-olah
Semanis perut-oasis
Seperti ini: namun aku meragukannya,
- Sejak aku datang dari Eropa-Tua,
Keraguan ini lebih bergelora dibandingkan
Setiap perempuan tua yang sudah menikah.
Semoga Tuhan perbaiki ini!
Amin!
Di sini sekarang aku duduk,
Di dalam oasis terkecil,
Persis seperti buah kurma,
Coklat, sangat manis, membuih keemasan,
Rindu bagi mulut bulat gadis,
namun lebih rindu bagi keremajaan, kegadisan,
Gigi yang seputih salju, sedingin es,
Gigi seri: bagi semua ini
Hati segala buah kurma bernafsu mendambakannya. Silah.
Persis serupa, segala yang semacam
Buah-buahan benua selatan tersebut di atas
Aku berbaring di sini, dekat dengan
Serangga-serangga kecil yang berterbangan
Diendusi dan dipermainkan,
Bahkan oleh yang terkecil,
Harapan-harapan dan fantasi-fantasi
Lebih bodoh dan lebih jahat,
Terkepung oleh kau,
Kau pendiam, pertanda
Kucing betina
Dudu dan Suleika,
- Jadilah seperti Sphinx, supaya kedalam satu kata
aku bisa menjejalkan banyak perasaan:
(Ampunilah aku, O Tuhan Dosa-kata ini!)
Aku duduk di sini mengendus udara tersegar,
Udara surgawi, sungguh,
Udara benderang, ringan, tersadur emas,
Sesegar udara selayaknya yang
Jatuh dari bulan –
sebab keberuntungan,
Atau sebab kecongkakan?
Seperti yang dikatakan para pujanga tua itu.
Aku, sang peragu, namun, ingin menyelidikinya;
Sejak aku datang
Dari Eropa,
Keraguan ini lebih bergelora dibandingkan
Setiap perempuan tua yang sudah menikah.
Semoga Tuhan perbaiki ini!
Amin!
Minum di udara tersegar,
Dengan cuping hidung merekah bagai piala,
Tanpa masa depan, tanpa memori,
Maka aku duduk di sini, wahai kau
Para gadis perawan yang paling aku sayangi,
Dan melihat pohon palem nun di sana,
Alangkah menyerupai seorang penari wanita,
Dia meliuk, membungkuk dan bergoyangan pinggulnya,
- Jika seseorang memperhatikan lama ia akan ikut-ikutan!
Serupa sang penari yang tampaknya bagiku,,
Sudah terlama, bersikeras membahayakan,
Berdiri di atas satu kaki?
- Maka ia lupa, ini tampaknya,
Kakinya yang satunya lagi?
Sekurang-kurangnya, dalam kesia-siaan
Aku mencari permata kembar
Yang hilang itu
- Yakni, kaki yang lainnya –
Di sekitar kesucian
Dekat rok kesayangannya, yang sangat lembut,
Terumbai, berkibar,
Ya, jika kau ingin betul percaya padaku, wahai
Kau para gadis perawan manis:
Ia telah kehilangannya!
Hu! Hu! Hu! Hu! Hu!
Itu telah lenyap!
Lenyap selamanya!
Kaki yang satunya itu!
Oh, kasihan kaki manis yang satunya lagi!
Di mana dia sekarang berada, sedih ditinggalkan?
Kaki kesepian itu?
Mungkin takut akan
Singa monster
Pirang bersurai, penuh amarah? Atau mungkin bahkan
Terkunyah, hancur berkeping –
Memelas, duh! duh! hancur berkeping! Silah.
Oh jangan menangis,
Hati lembut!
Jangan menangis, kau
Hati-buah kurma! Dada bersusu!
Kau hati-manis
Kantung kecil!
Jangan menangis lagi kau,
Dudu pucat!
Jadilah lelaki, Suleika! Berani! Berani!
Atau mungkin di sana
Sesuatu menguatkan, menguatkan-hati,
Ditempatkan di sini?
Beberapa wejangan yang memberi inspirasi?
Beberapa nasihat yang serius?
Ha! Bangun sekarang! Kehormatan!
Moral kehormatan! Moral bangsa Eropa!
Tiup, tiup lagi,
Kebajikan ubub!
Ha!
Raung sekali lagi,
Raungan bermoral kau!
Seperti singa yang bermoral itu
Di hadapan para putri padang pasir ini, meraung!
Bagi lengkingan kebajikan,
Kau para gadis perawan tersayang,
Lebih bergereget dibandingkan
Geregetnya bangsa Eropa, selera bangsa Eropa!
Dan di sini aku sekarang berdiri,
Sebagai orang Eropa,
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, maka tolonglah aku Tuhan!
Amin!
Tujuh Segel
(atau: Tembang Ya dan Amin)
Jika aku adalah seorang junjungan dan penuh dengan spirit kejunjungan an, mengembara di
lereng-lereng gunung curam, di antara dua samudera,
Mengembara di antara masalalu dan masadepan laksana mendung berat,
musuh ke dataran-dataran rendah panas, dan ke segala yang letih yang tidak bisa
hidup atau mati:
Siap bagi kilat di dalam dada gelapnya, dan bagi sinar cahaya penebusan,
hamil kilat yang mengatakan Ya! Yang tertawa Ya! Siap bagi gebyaran kilat
kejunjungan an:
namun berkahilah ia yang lalu hamil seperti itu! Dan, sungguh, ia harus
bergelantungan lama di atas gunung-gemunung bak badai kuat, ia yang mau
menyalakan cahaya masadepan!
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi Keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Namun tidak pernah aku menemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta, sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Jika amarahku pernah memecah bukakan kubur-kubur, memindahkan batu-batu
batas, memecahkan dan menghumbal tabel-tabel hukum lama ke dalam jurangjurang dalam:
Jika cemoohanku pernah menghembus jauhkan kata-kata usang, jika aku
datang seperti sapu ke para laba-laba Silang dan bagai angin penyapu bersih ke
makam-makam tua:
Jika aku pernah duduk ceria di mana tuhan-tuhan purba terbaring di kubur,
pemberi berkah-dunia, pecinta-dunia, di sisi tugu-tugu para penghujat dunia:
Bahkan gereja-gereja dan kuburan-kuburan tuhan aku cinta, hanya jika sang
langit melihat, melalui atap pecah mereka, dengan mata-murninya; aku suka
duduk bak rumput dan bunga popi merah di atas reruntuhan puing-puing gereja:
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Namun tidak pernah aku menemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian! Jika pernah sehirupan nafas dari nafas kreatif dan sehirupan nafas nesesitas
surgawi pernah datang padaku, yang bahkan mendorong keberuntungan menari di
kitaran bintang:
Jika aku pernah tertawa, tawaan kilat sang pencipta, yangmana diikuti oleh
petirnya perbuatan, menggerutu namun patuh, taat:
Jika aku pernah bermain dadu bersama tuhan-tuhan di meja mereka, dunia
ini, sehingga dunia ini bergetar dan bergairah, dan mendengus mengeluakan
cairan api:
sebab bumi itu adalah mejanya tuhan, dan bergetar dengan kata-kata baru
yang kreatif dan lemparan-lemparan dadu tuhan-tuhan:
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Jika aku pernah minum seteguk campuran ramuan berbusa semangkuk penuh, di
dalam mana setiap sesuatunya bercampur:
Jika lenganku pernah menuangkan yang terjauh ke yang terdekat, api ke
spirit, sukacita ke dukacita, dan mahajahat ke mahalembut;
Jika aku sendiri adalah sebutir garam penyelamat yang membuat setiap
sesuatunya bercampur mesra bersama di dalam mangkuk:
sebab ada sebutir garam yang menyatukan kebaikan dan kejahatan; bahkan
sang terjahat pun berharga sebagai bumbu dan luber buih akhir.
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Jika aku mencintai sang samudera, dan segalanya yang seperti samudera, dan
sangat mencintainya saat ia marah menentangku:
Jika kenikmatan dalam mencari itu ada dalam diriku, yang mendorong layar
perahu menuju ke yang belum di temukan, jika kenikmatan sang pelaut ada dalam
kenikmatanku:
Jika pernah kegembiraanku berteriak: „Pesisir telah menghilang – sekarang
sengkela terakhirku pun jatuh dariku,
„Sang tanpabatas meraung-raung di sekelilingku, ruang dan waktu berseriseri padaku nun jauh di sana, lalu, ayo! hati tua!‟
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku menemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Jika kebajikanku itu adalah kebajikan sang penari, dan jika aku sering melompat
dengan kedua kaki ke dalam rasa kegembiran jamrud-keemasan:
Jika kejahatanku itu adalah gelak-tawa jahat, di rumah di tengah-tengah
kebun bunga mawar dan pagar bunga bakung:
sebab dalam gelak-tawa semua kejahatan itu hadir, namun disucikan, dan
diampuni dosanya oleh kebahagiannya sendiri:
Dan jika ini adalah Alpha dan Omegaku maka setiap yang berat akan
menjadi ringan, setiap orang penari, setiap spirit menjadi burung: dan, sungguh,
ini adalah Alpha dan Omegaku!
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku menemui perempuan oleh mana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Jika aku pernah membentangkan langit hening di atasku, dan terbang dengan
sayap-sayapku sendiri ke dalam langit biruku:
Jika aku pernah berenang secara bermain-main dalam lautan cahaya, dan
jika burung kebijaksanaanku datang padaku:
namun lalu berkata burung-kebijaksanaan itu: „Perhatikan, tidak ada atas,
tidak ada bawah! Lemparkan diri kau ke sana kemari, keluar, kebelakang, kau
burung tanpa berat! Tembang! Jangan berkata lagi!
„Tidakkah segala kata-kata dibuat untuk yang berat? Tidakkah segala katakata berbohong pada yang ringan? Tembang! Jangan berkata lagi!‟
Oh, bagaimana aku tidak musti bernafsu bagi keabadian dan bagi
perkawinan lingkaran-lingkaran – lingkaran siklus!
Tidak pernah namun aku meneemui perempuan olehmana aku mau punya
anak, selain dari perempuan ini, yang aku cinta: sebab aku cinta kau, O
Keabadian!
sebab aku cinta kau, O Keabadian!
Kerinduan Megah
O jiwaku, aku telah mengajarkan kau untuk berkata „sekarang‟ sebaiknya „sekala‟
dan „dahulu,‟ dan untuk menarikan tarian kau di atas setiap Sini dan Situ dan
Atas-situ.
O jiwaku, aku telah membebaskan kau dari setiap pojokan-pojokan, aku
telah menyapu debu-debu, laba-laba dan senja jauh dari kau O jiwaku, aku telah membersihkan aib kecil dan kebajikan-pojok jauh dari
kau dan membujuk kau untuk berdiri telanjang di hadapan mata sang surya.
Dengan sang badai yang dinamakan „spirit‟ aku telah berlayar menyeberangi
samudera ganas kau; aku telah menghembus jauh-jauh segala mendung-mendung
darinya, bahkan aku telah mencekik burung pencekik itu yang dinamakan
„dosa‟.
O jiwaku, aku telah memberikan kau hak untuk berkata Tidak laksana sang
badai, dan untuk berkata Ya laksana langit terbuka berkata Ya: tenang seperti
cahaya kau sekarang berdiri, dan kau sekarang berjalan menembus sang badai
penyangkal.
O jiwaku, aku telah memberikan kembali kebebasan kepada sesuatu yang
dapat diciptakan dan kepada yang tidak dapat diciptakan: dan siapa yang tahu,
seperti yang kau tahu tentang gairahnya masa depan?
O jiwaku, aku telah ajarkan kau kebencian yang datangnya bukan seperti
keripan ulat, namun kebencian megah, kebencian yang mencinta, yang
mahamencinta saat dia mahamembenci.
O jiwaku, aku telah ajarkan kau untuk membujuk bahkan kau membujuk
tanah untuk datang pada kau; laksana sang surya yang membujuk samudera untuk
bangkit naik ke ketinggiannya.
O jiwaku, aku telah menyingkirkan dari kau segala kepatuhan, keberlututan,
dan keperhambaan; aku sendiri telah berikan kau sebuah nama „Sang penghalau
Keperdulian‟ dan „Takdir‟.
O jiwaku, aku telah berikan nama-nama baru dan mainan aneka warna baru,
aku telah namakan kau „Takdir‟ dan „Lingkaran dari Lingkaran-lingkaran‟ „Tali
puser sang waktu‟ dan „Cungkup-langit-biru‟.
O jiwaku, aku telah memberikan tanah kau segala kebijaksanaanku untuk
diminum, segala air-air anggur baru, dan juga segala air-air anggur tua
kebijaksanaan.
O Jiwaku, aku telah tuangkan ke atas diri kau setiap matahari dan setiap
malam hari, setiap keheningan dan setiap kerinduan: - lalu kau tumbuh bagiku
bagai setangkai pohon anggur.
O jiwaku, sekarang kau berdiri berlimpahan dan berat, setangkai pohon
anggur dengan ambing-ambing menggelembung berdekapan saling berdesakan
anggur-anggur coklat keemasn:
Penuh dan terberatkan ke bawah oleh kebahagiaan kau, menunggu sebab
keberlimpahan, namun malu akan penantian kau.
O jiwaku, sekarang tidak ada jiwa di manapun juga yang lebih mencinta,
dan lebih luas dan mencakup segalanya! Di manakah masadepan dan masalalu
bisa saling lebih berdekatan selain bersama diri kau?
O jiwaku, aku telah berikan kau segalanya, dan lenganku jadi kosong sebab
kau: dan sekarang! Sekarang kau bertanya padaku, tersenyum dan penuh
melankoli: „Siapa diantara kita yang harus berterimakasih?
Apakah sang pemberi tidak berterimakasih pada sang penerima sebab
menerima? Bukankah memberi itu suatu kebutuhan? Bukankah menerima itu –
belas kasihan?
O jiwaku, aku mengerti senyum melankoli kau: keberlimpahan kau ini
sendiri sekarang menjangkau meraih lengan-lengan kerinduan! Keberlimpahan kau menatap jauh keseberang samudera-samudera gerang,
mencari-cari dan menunggu-nunggu; kerinduan kemahaberlimpahan menatap
jauh dengan tersenyum dari mata kau yang bagaikan langit itu!
Dan sungguh, O jiwaku! Siapa yang bisa memperhatikan senyuman kau dan
tidak luluh menjadi air mata? Para bidadari pun luluh menjadi air mata melalui
senyuman mahalembut kau.
Kelembutan dan kemahalembutan kau itulah yang tidak ingin untuk
mengeluh atau pun menangis: namun, senyuman kau rindu bagi air mata, O
jiwaku, dan getaran mulut kau bagi isak tangis.
„Bukankah segala tangisan itu keluhan? Dan segala keluhan itu tuduhan?‟
Maka kau berkata pada diri kau sendiri, dan oleh sebab itu, O jiwaku, kau malah
tersenyum dibandingkan menumpahkan semua penderitaan kau,
Menumpahkan semua penderitan kau yang berupa tetesan air mata ke atas
keberlimpahan kau dan ke atas kerinduannya pohon-pohon anggur pada sang
pemanen dan sabit-sabitnya!
namun jika kau tidak mau menangis tidak pula melampiaskan kesedihan
muram jingga kau, kau harus menembang, O jiwaku! Perhatikan, aku sendiri
tersenyum, sebab mengatakan hal ini pada kau sebelumnya:
Kau harus menembang dengan tembangan yang penuh gairah, sehingga
segala samudera menjadi tenang mendengar rasa rindu kau,
Hingga, di atas ketenangan samudera-samudera kerinduan, sebuah perahu
meluncur, keemasan mengagumkan, dan di sekitar emas ini segala yang baik,
yang buruk, sesuatu yang mengagumkan meloncat:
Dan banyak binatang-binatang besar maupun kecil, dan setiap sesuatu yang
memiliki kaki-kaki lincah mengagumkan, sehingga bisa lari di atas jalan-jalan
ungu,
Pergi menuju ke perahu emas, perahu kemauan bebas, dan ketuannya: ia,
namun, sang pemanen yang menunggu dengan sabit berlian,
Sang Juru Selamat megah kau, O jiwaku, yang tidak bernama itu, hanya
tembangan-tembangan masa depanlah yang akan memberinya sebuah nama! Dan
sungguh, nafas kau sendiri sudah berbau harum semerbak dengan tembangantembangan masadepan,
Sudah pula kau bersinar menyala dan bermimpi, sudah pula kau minum
dengan penuh dahaga dari air sumur-sumur dalam yang menggemakan
kesentausaan, sudah pula kesenduan kau rebahan di tembangan-tembangan
bahagia masadepan!
O jiwaku, sekarang aku telah beri kau segalanya, bahkan milikku yang
terakhir,ini, dan lenganku telah menjadi kosong melalui kau: - bahwa aku mohon
kau menembang, perhatikan, ini adalah pemberianku yang terakhir yang aku musti
berikan!
Bahwa aku mohon kau untuk menembang, sekarang katakanlah, katakan ini
saja: Siapa di anatara kita – yang harus berterimakasih sekarang? namun lebih
baik lagi: menembanglah bagiku, menembanglah, O jiwaku! Dan biarlah aku
berterimaksih pada kau!
Tembang Tari Kedua
„Baru-baru ini aku menatap mata kau, O Kehidupan: aku melihat emas
bergemerlapan di mata kau – hatiku terpukau terpesona:
Aku melihat perahu emas bergemerlapan di atas air hitam, perahu
tenggelam, terangkat, tengelam lagi, bergoyangan perahu emas!
Di kakiku, kaki gila-penariku, kau melontarkan tatapan sekilas, tatapan
jenaka, penuh tanya, meluluhkan, menggoda:
Hanya dua kali saja kau angkat marakas kau di tangan mungil kau – lalu
kakiku siap bergoyangan di tarian gila.
Tumitku terangkat sendiri, jari-jari kakiku menggeliat mendengarkan kau:
sebab sang penari menaruh telinganya – di jari-jari kakinya!
Aku melompat ke sisi kau: lalu kau menghindar, mundur dengan
tangkasnya; hanya jilatan lidah ujung rambut kau yang menguntai dan
melambai-lambai di hadapanku!
Jauh dari kau dan dari rambut kau yang seperti ular aku melompat: lalu
dan merta kau berdiri menyamping, mata kau penuh cumbu.
Dengan senyum bengkok kau – kau ajarkan aku jalan-jalan bengkok, di atas
jalan-jalan bengkok itu pula kakiku belajar – berkilah!
Aku takut kau bila kau dekat, aku cinta kau bila kau jauh; pelarian kau
menggodaku, pencarianan kau menentramkanku: Aku sengsara, namun demi kau
dengan senang hati menderita!
Bagi kau, kesejukan membakar, kebencian menggoda, pelarian
mengundang, cemoohan kau – membujuk:
Siapa yang tidak akan membenci kau, perempuan yang mengikat kita,
membelit kita, mencari kita, menemukan kita! Siapa yang tidak akan mencintai
kau, kau lugu, tidak sabaran, angin cepat, mata kekanakan pendosa!
Kemana kau hendak membawaku sekarang, kau suri teladan yang tidak
tahu aturan? Dan lagi kau meninggalkanku, kau manis, kucing liar yang tidak
tahu bersyukur!
Aku menari di belakang kau, aku mengikuti bahkan saat hanya ada
sedikit jejak setapak. Di manakah kau? Berikan aku lengan kau! Atau satu jari
saja!
Di sini ada guha-guha dan semak-semak: kita mustilah tersesat! Berhenti!
Jangan bergerak! Tidakkah kau melihat burung-burung hantu dan kelelawarkelawar di udara?
Kau kelelawar! Kau burung hantu! Kau membodohiku? Di manakah kita?
Dari anjing-anjing kau belajar untuk menggonggong dan melolong?
Kau mengatupkan gigi mungil putih dengan manisnya padaku, dari balik
bulu surai keriting kau, mata jahat kau membeliak padaku!
Ini adalah tarian di atas lembah dan bukit: aku sang pemburu – maukah kau
menjadi anjingku, atau buruanku?
Sekarang di sisiku! Dan dengan cepat, kau pengembara jahat! Sekarang
melompat ke atas! Dan menyilang! – Duh! Aku sendiri jatuh terpental
terpelanting!
Oh, lihatlah aku terbaring, kau arogan, ampunilah aku! Aku dengan senang
hati akan mengikuti kau berjalan ke tempat yang lebih menyenangkan! –
Ke jalan cinta, melalui aneka warna bunga-bunga yang hening rapih! Atau
di sana di pinggir danau, di mana ikan-ikan emas menari dan berenang!
Apa kau letih sekarang? Nun jauh di sana ada kambing dan matahari
terbenam: bukankah ini manis untuk tidur, saat sang penggembala memainkan
serulingnya?
Apa kau sangat letih? Aku panggul kau ke sana, biar bahu kau terguntai!
Dan jika kau haus – aku punya sesuatu, namun mulut kau tidak mau minum ini!
–
Oh ular terkutuk ini, ular luwes, gesit, leyak licin! Pergi tanpa jejak? namun
aku merasakan dari lengan kau, dua bintik-bintik merah di mukaku!
Aku sungguh letih sebab itu, harus selalu menjadi penggembalanya kau!
Kau leyak, jika aku pernah hingga kini menembang untuk kau, sekarang kau
harus – berteriak untukku!
Pada irama pecutanku kau harus menari dan berteriak! Apa aku lupa
cemetiku? – Aku tidak lupa!
Lalu Kehidupan menjawabku demikian, menutupi telinga lembutnya:
„O Zarathustra! Jangan pukulkan cemeti kau terlalu keras! Kau tentu tahu:
suara bising membunuh pikiran – dan sekarang pikiran lembut ini datang padaku.
Kita berdua memang betul-betul tidak berguna dan tidak merugikan siapasiapa. Melebihi kebaikan dan kejahatan kita temukan pulau kita dan padang
rumput kita – kita saja berdua! Maka kita harus saling mencintai satu sama
lainnya!
Bahkan jika kita tidak saling mencintai dari dalam hati kita, apakah kita
musti saling membenci jika kita tidak saling mencintai dari dalam hati?
Dan aku menyukai kau dan kerap menyukai kau sangat berlebihan, kau tahu
ini kan: sebab aku cemburu akan Kebijaksanaan kau. Ah, Kebijaksanaan bodoh
tua gila ini!
Jika Kebijaksanaan kau sekala meninggalkan kau, duh! Lalu cintaku akan
segera pula meninggalkan kau.‟
Lalu, Hidup memandang penuh perhatian ke belakangnya dan sekeliling,
lalu berkata dengan lembut: „O Zarathustra, kau tidak cukup setia padaku!
Kau tidak cukup mencintaiku sebesar yang kau selalu katakan; aku tahu kau
berniat untuk meninggalkanku segera.
Di sana ada lonceng tua, berat, menggelegar berat: ini menggelegar di
malam hari ke guha kau:
Tatkala kau mendengar lonceng ini menabuh waktu tengah malam, maka
kau kira ini di antara satu dan dua belas –
Kau berniat, O Zarathustra, aku tahu, meninggalkanku segera!‟
„Ya,‟ aku menjawab ragu-ragu, „namun kau juga tahukan.‟ Dan aku
membisikan sesuatu ke telinganya, di tengah-tengah gelungan rambut kusut,
kuning yang tidak senonoh itu.
Kau tahu ini, O Zarathustra? Tidak ada seorang pun yang tahu ini.‟
Dan kita saling menatap muka satu sama lainnya dan memandang ke padang
rumput hijau, di atas mana malam dingin mulai membentang, lalu menangis
bersama. Lalu Kehidupan lebih menyayangiku dibandingkan Kebijaksanaan.
Ini seruan Zarathustra.
Satu!
O Manusia, Perhatikan!
Dua!
Apa yang suara tengah malam sepi katakan?
Tiga!
„Dari dalam tidurnya,
Empat!
„Dari kedalam mimpi aku bangun dan memohon:
Lima!
„Dunia adalah dalam,
Enam!
„Lebih dalam dibandingkan sang hari bisa mengerti.
Tujuh!
„Dalam adalah penderitaannya,
Delapan!
„Sukacita – lebih dalam dibandingkan dukacita:
Sembilan!
„Derita berkata: Lenyap! Pergi!
Sepuluh!
„namun segala sukacita ingin keabadian,
Sebelas!
„ Ingin keabadian yang dalam, dalam, dalam!‟
Dua belas!
Kebajikan yang Membuat Kecil
saat Zarathustra sekali lagi ada di dataran kering, ia tidak langsung pergi ke
gunung-gunung dan guanya, namun membuat banyak perjalanan-perjalanan dan
banyak bertanya-tanya, dan memeriksa ini dan itu; lalu ia berkata pada dirinya
bergurau: „Perhatikan sungai yang mengalir balik ke sumbernya itu melalui
banyak liku-liku!‟ sebab ia ingin tahu apa yang telah terjadi diantara para
manusia saat ia pergi jauh: apakah mereka telah menjadi lebih besar atau lebih
kecil. Dan saat ia melihat barisan rumah-rumah baru, ia takjub, dan berseru:
„Apa arti rumah-rumah ini? Sugguh, bukan manusia berjiwa besar yang
mendirikan rumah-rumah ini sebagai citra dirinya!
Apa mungkin seorang anak dungu mengambil ini dari kotak-mainannya?
Semoga anak lainnya akan menaruh rumah-rumah ini kembali ke dalam
kotaknya!
Dan kamar-kamar duduk dan kamar-kamar tidur ini: apa para manusia bisa
keluar-masuk darinya? Ini semua tampaknya dibuat bagi boneka-boneka sutera;
atau bagi para pengutil kecil yang mungkin membiarkan diri mereka sendiri
dikutili.‟
Dan Zarathustra berhenti dan berpikir. Akhirnya ia berkata dengan sedih:
„Di sana segalanya telah menjadi lebih kecil!
Di mana-mana aku melihat pintu-pintu yang lebih rendah: semua yang
sejenis aku tetap bisa masuk melaluinya, namun – ia harus membungkuk!
„Oh, bilakah aku kembali ke rumahku lagi, di mana aku tidak lagi harus
membungkuk – tidak harus lagi membungkuk di hadapan para manusia kecil!‟
Dan Zarathustra mengesah. dan memandang ke kejauhan.
Pada hari yang sama, namun, ia berseru tentang diskursusnya mengenai
kebajikan yang membuat kecil.
Aku pergi ketengah-tengah rakyat ini dan membuka mataku lebar-lebar:
mereka tidak memaafkanku sebab aku tidak cemburu pada kebajikan-kebajikan
mereka.
Mereka menggigitku sebab aku katakan pada mereka, bahwa bagi manusia
kecil kebajikan kecil itu perlu – sebab sulit bagiku untuk mengerti bahwa
manusia kecil itu perlu!
Di sini aku tetap seperti seekor ayam jantan di ladang janggal, yang dipatukpatuki ayam-ayam betina; namun aku tidak marah pada ayam-ayam betina dalam
hal ini.
Aku sopan pada mereka, seperti pada setiap gangguan kecil; untuk menjadi
berduri pada sesuatu yang kecil, bagiku ini kebijaksanaannya landak.
Mereka semua membicarakanku saat mereka duduk-duduk di sekeliling
api di malam hari – mereka membicarakanku, namun tidak seorang pun
memikirkanku!
Ini adalah kemembisuan baru yang aku telah pelajari: suara ribut mereka
menebarkan selubung ke atas pikiran-pikiranku!
Mereka saling teriak: „Apa yang mendung suram ini inginkan dari kita?
Marilah kita lihat pula bahwa ini tidak akan memberikan kita wabah penyakit!‟
Dan baru-baru ini seorang perempuan menarik anaknya yang datang ke
arahku: „Jauhi anak ini!‟ teriaknya; mata seperti ini menghanguskan jiwa anakanak.‟
Mereka batuk-batuk saat aku berseru: mereka pikir batuk-batuk ini
penentang angin-angin keras – mereka tidak tahu sama sekali tentang
keberingasan kebahagiaanku!
„Kita namun tidak punya waktu bagi Zarathustra‟ – maka mereka
menentang; namun apa artinya sebuah waktu yang „tidak punya waktu‟ bagi
Zarathustra?
Bahkan jika mereka memuji-mujiku: bagaimana aku bisa tidur di atas pujipujian mereka? Seperti sabuk berduri bagiku puji-pujian mereka itu: mencakarku
bahkan saat aku lepaskan.
Dan ini pula aku telah belajar di tengah-tengah mereka: ia yang memujimuji berpura-pura untuk memberi kembali, namun sebenanya ia minta untuk
diberi lebih banyak lagi!
Tanya pada kakiku jika ia suka pada sanjungan-sanjungan dan iming-iming
mereka! Sungguh, kakiku tidak suka dengan irama tik-tok tik-tok ini tidak juga
suka untuk menari dan berdiri.
Mereka mau memikat dan menganjurkanku kebajikan kecil; Kepada nada
irama tik-tok tik-tok kebahagiaan kecil, mereka ingin membujuk kakiku.
Aku pergi ke tengah-tengah rakyat ini dan membuka mataku lebar-lebar:
mereka telah menjadi lebih kecil, dan masih akan mengecil lagi: doktrin mereka
tentang kebahagiaan dan kebajikan itulah peyebabnya.
sebab mereka moderat bahkan dalam kebajikan, – sebab mereka ingin
santai. namun hanya kebajikan yang moderat sajalah yang cocok dengan
kesantaian.
Tentunya, mereka juga belajar dengan cara mereka sendiri untuk
melangkah dan berjalan ke depan: ini, aku namakan kepincangan mereka.
Dengan ini mereka menjadi penghalang bagi siapa saja yang tergesa-gesa.
Dan sebagian besar dari mereka maju ke depan dan pada saat yang sama
melihat kebelakang, dengan leher kaku: aku mau tabrak mereka.
Kaki dan mata tidak harus berbohong, tidak pula membohongi satu sama
lainnya. namun ada banyak kebohongan-kebohongan di tengah-tengah rakyat
kecil.
Banyak dari mereka memaui, namun sebagian besar dari mereka dipermaui
belaka. Banyak dari mereka sejati, namun sebagian besar dari mereka aktor buruk.
Mereka adalah para aktor tanpa disadari, dan para aktor tanpa disengaja –
yang sejati selalunya langka, khususnya para aktor sejati.
Hanya ada sedikit kejantanan di sini: maka para perempuannya membuat
diri mereka kelelaki-lakian. sebab hanya ia yang cukup jantan sajalah, yang
akan – menyelamatkan perempuan dalam perempuan.
Dan inilah kemunafikan yang terburuk yang aku temukan di antara
mereka: bahkan mereka yang memerintah berpura-pura berkebajikan seperti
mereka yang melayani.
„Aku melayani, kau melayani, kita melayani‟ – maka di sini
bersenandunglah para penguasa yang munafik itu – duh, jika sang penguasa yang
pertama itu hanyalah pelayan yang pertama belaka!
Ah, bahkan ke atas kemunfikan mereka pula rasa keingintahuan mataku itu
hinggap; dan aku telah menerka dengan baik segala kebahagiaan-lalat mereka, dan
mendengungan di sekeliling kaca jendela hangat.
Ada banyak kebaikan ada banyak kelemahan, aku lihat. Ada banyak
keadilan dan belas kasihan, ada banyak kelemahan.
Terus terang, jujur, dan lemah lembut mereka pada sesamanya, seperti
butir-butir pasir memaklumi butir-butir pasir lainnya.
Dengan sederhana memeluk satu kebahagiaan kecil – ini yang mereka
namakan „kepasrahan‟! Dan pada saat yang sama mereka mencari secara
sederhana pula kebahagiaan kecil baru lainnya.
Dalam hati mereka, mereka hanya ingin satu ini saja dari segalanya: bahwa
tidak seorang pun akan mencelakakan mereka. Maka untuk itu mereka saling
dahulu mendahului dan berbuat baik pada siapa saja.
Ini, namun, kepengecutan walau ini dinamakan „kebajikan.‟
Dan saat mereka berbicara secara kasar, rakyat kecil ini, lalu aku
mendengar hanya suara serak mereka belaka – nyatanya, setiap ada tiupan angin,
membuat mereka serak.
Memang mereka cerdas, kebajikan-kebajikan mereka punya jejari terampil.
namun mereka tidak punya kepalan-kepalan tinju, jari-jari mereka tidak tahu cara
untuk mengepal.
Kebajikan bagi mereka adalah sesuatu yang membuat bersahaja dan jinak:
dengan ini mereka membuat serigala menjadi anjing, dan manusia sendiri menjadi
binatang peliharaan terbaik.
„Kita menaruh kursi kita di tengah‟ – maka seringaian mereka berkata
padaku – „dan sejauh-jauhnya dari para satria yang sekarat juga dari babi-babi
rakus.‟
Namun, ini adalah – mediokritas: walau ini dinamakan kebersahajaan.
Aku pergi ketengah-tengah rakyat banyak lalu menebar banyak kata-kata
di sana; namun mereka tidak tahu bagaimana untuk mengambil atau pun
menyimpannya.
Mereka takjub bahwa aku datang tidak untuk mencerca ketamakan dan
kejahatan mereka; sungguh, tidak pula aku datang untuk memperingatkan mereka
akan pencuri dompet!
Mereka takjub mengapa aku tidak siap untuk memajukan dan mengasah
kecerdasan mereka: seolah-olah mereka belum cukup lihay, dan suara-suara
mereka mengilukan telingaku bagai goresan gerip di atas sabak!
Dan saat aku berteriak: „Kutuk segala setan-setan penakut yang ada di
dalam diri kau, yang ingin meratap dan menekap tangan mereka dan memuja,‟
lalu mereka berteriak: „Zarathustra tidakbertuhan.‟
Dan ini khususnya para guru yang mengajarkan kepasrahan diri yang
berteriak demikian; namun tepatnya ke dalam telinga-telinga mereka aku senang
untuk berteriak: Ya! Aku adalah Zarathustra, yang tidakbertuhan!‟
Para guru tentang kepasrahan diri ini! Di mana saja ada yang kecil, atau
sakit, atau keropengan, di sana mereka merayap seperti kutu; hanya kejijikankulah
yang menghentikan untuk memecahkan mereka.
Ayo! Ini adalah wejanganku ke telinga-telinga mereka: Aku Zarathustra
yang tidakbertuhan, yang berseru „Siapa yang lebih tidak bertuhan dibandingkan ku,
yang ajaran-ajarannya bisa menggembirakanku?‟
Aku Zarathustra yang tidakbertuhan: di mana aku bisa menemui manusia
yang setara denganku? Dan mereka adalah setara denganku, mereka yang telah
memberikan pada diri mereka sendiri Kemauan mereka, dan melepaskan semua
kepasrahan diri.
Aku Zarathustra yang tidakbertuhan! Aku masak setiap keberuntungan
dalam periukku. Dan hanya saat cukup matang aku akan merimanya sebagai
makananku.
Dan sungguh, banyak keberuntungan-keberuntungan datang dengan
sombongnya kepadaku: namun dengan lebih sombong lagi Kemauanku berseru
padanya, lalu ia berlutut memohon dengan sangat –
Memohon supaya bisa mendapatkan perlindungan, dan kasih sayang dariku,
dan berkata merayu: „Lihat saja, O Zarathustra, bagaimana seorang teman datang
ke temannya!‟
namun mengapa aku berseru di mana tidak seorang pun punya telinga
serupaku? Lalu aku mau meneriakan ini dengan sekuat tenaga ke empat penjuru
angin:
Kau akan menjadi lebih kecil dan kecil, kau rakyat kecil! Kau akan hancur
remuk, kau rakyat santai! Nanti kau akan punah –
Melalui banyak kebajikan-kebajikan kecil kau, melalui banyak kelalaiankelalaian kau, dan melalui kepasrahan-kepasrahan kecil kau!
Terlalu pemurah, terlalu lunak: ini adalah keadaan tanah kau! namun agar
pohon itu tumbuh besar, dia ingin untuk membelitkan akar-akar kuatnya ke
sekeliling batu-batu cadas keras!
Bahkan apa-apa yang kau jauhkan itu akan menjadi rajutan jaring
masadepan seluruh kemanusiaan; bahkan kehampaan kau itu pun adalah jaring
laba-laba, dan laba-laba yang hidup dari darah masadepan.
Dan saat kau mengambil, ini serupa mencuri, kau rakyat kecil yang baik;
meski pun di antara para durjana, sang kehormatan berkata: „Seseorang harus
mencuri saat seseorang tidak bisa merampok.‟
„Ini diberikan‟ – ini pula doktrin kepasrahan diri itu. namun aku serukan
pada kau, kau rakyat santai: ini diambil, dan ini akan diambil lebih banyak dan
banyak lagi dari kau
Oh, semoga kau membuang jauh-jauh segala kemauan yang setengahsetengah dari dalam diri kau, dan bersikap tegas dalam kelesuan kau seperti kau
bersikap tegas dalam tindakan!
Ah, kau mengerti seruanku: „Selalu kerjakan apa yang kau maui – namun
mulanya jadilah laksana yang bisa memaui.
Selalu mencintai tetangga kau sebagai diri kau sendiri – namun mulanya
jadilah laksana cinta itu sendiri –
Laksana cinta dengan cinta megah, laksana cinta dengan kebencian megah!‟
Maka berseru Zarathustra yang tidakbertuhan.
namun mengapa aku berseru, saat tidak ada seorang pun yang punya
telinga serupaku? Namun saatnya masih terlalu dini bagiku di sini.
Aku adalah pertandaku sendiri di tengah-tengah rakyat ini, suara kokok
ayam jantanku di lorong-lorong gelap.
namun waktu mereka pun tiba! Dan waktuku pun tiba pula! Dari waktu ke
waktu mereka akan mengerdil, lebih miskin, lebih mandul – semak-semak miskin!
tanah miskin!
Dan segera mereka harus berdiri di hadapanku serupa rumput kering dan
padang datar, dan sungguh! letih akan diri mereka sendiri – dan rindu malah bagi
api dibandingkan air!
O berkahilah saat kedatangan sang kilat! O misteri menjelang tengah hari!
Gulungan api aku akan menjadikan mereka pada suatu hari nanti, dan pewartapewarta berlidah bara –
Suatu saat mereka musti berikrar dengan lidah-lidah api: ini akan tiba,
ini sudah dekat, tengah hari megah!
Ini seruan Zarathustra.
. Di Atas Gunung Zaitun
Sang musim dingin, si tamu buruk, duduk di rumahku; lenganku membiru sebab
jabatan tangan ramahnya.
Aku menghormat dia, tamu buruk ini, namun dengan senangnya aku
membiarkan dia duduk seorang diri. Dengan senangnya aku lari menjauhinya; dan
jika kau lari dengan baik kau bisa bebas darinya!
Dengan kaki hangat dan pikiran–pikiran hangat aku lari nun jauh ke sana di
mana angin bertiup hening - ke tempat yang hangat di atas gunung zaitunku.
Di sana aku tertawa ke tamu tegarku, dan aku tetap mencintainya, sebab dia
mengusir jauh lalat-lalat, dan membungkamkan banyak suara-suara bising kecil.
sebab dia tidak mentolelir bahkah seagas pun untuk mendengung di
sekitar, apa lagi dua agas; dan dia membuat jalan-jalan lengang, maka sinar
rembulan takut di sana di malam hari.
Dia adalah tamu keras, namun aku hormati dia, dan aku tidak menyembah
pada perut-buncit berhala-api, seperti yang dilakukan oleh para manusia lemah.
Lebih baik bergemeretakan gigi sedikit dibandingkan memuja berhala! – maka
kodratku memaui ini. Dan khususnya aku membenci semua para manusia yang
penuh nafsu, penaik darah, berbau apek berhala-berhala api.Sesiapa yang aku cintai, aku lebih mencintainya di musim dingin dibandingkan
di musim panas; sekarang aku mencemooh para musuhku dengan lebih baik, dan
dengan sepenuh hati, saat sang musim dingin ada di rumahku.
Dengan sepenuh hati, sungguh, bahkan saat aku merangkak ke atas
ranjangku – : di sana tetap saja tertawa dan nakal kebahagiaan tersembunyiku;
bahkan mimpi yang memperdayakanku tertawa pula.
Aku, seorang - perangkak? Tidak pernah selama hidupku aku merangkak
di depan penguasa; dan jika aku pernah bohong, aku bohong sebab cinta. Oleh
sebab ini aku penuh dengan rasa sukacita bahkan di ranjang musim dinginku.
Ranjang sederhana lebih menghangatkanku dibandingkan ranjang mewah,
sebab aku cemburu akan kemiskinanku. Dan di musim dingin dia sangat setia
padaku.
Dengan kenakalan aku mulai setiap pagi: aku mencemooh sang musim
dingin dengan mandi air dingin: oleh sebab itu teman tegarku ini menggerutu.
Aku senang pula menggelitikinya dengan lilin: agar dia akhirnya mau
melepas bebaskan sang langit dari cengkeraman kehitaman senja kelabu.
sebab aku khususnya nakal di pagi hari: di awal pagi saat ember
bergemerincingan di sumur, dan kuda meringkik hangat di lorong-lorong kelabu.
Lalu tidak sabar aku menunggu, hingga sang langit benderang akhirnya
menyingsing bagiku, sang musim dingin berjanggut putih, orang tua, berkepala
putih –
Sang langit musim dingin, sang langit musim dingin yang pendiam, yang
bahkan sering menyembunyikan sang suryanya sendiri!
Mungkinkah aku telah belajar, kemembisuan yang lama dan benderang
darinya? Ataukah dia belajar dariku? Ataukah kita masing-masing
mengupayakannya sendiri?
Asal usul dari semua kebaikan itu beribu-ribu rangkap – semua kenakalan
yang baik melompat dengan sukacita ke dalam eksistensi: bagaimana mereka
musti mengerjakan ini - satu kali saja?
Kenakalan yang baik adalah juga kemembisuan yang berkepanjangan, dan
untuk melihat, seperti langit musim dingin, dari biji mata-bulat muka yang
benderang –
Serupa dia, untuk menyembunyikan sang suryanya, dan kemauan tegar
sang suryanya: sungguh, seni ini dan kenakalan musim dingin ini, aku telah
pelajari dengan baik!
Ini adalah kejahatan dan seni yang paling aku senangi, bahwa
kemembisuanku telah belajar untuk tidak memperlihatkan dirinya dengan
membisu.
Kertak-kertuk dengan artikulasi dan dadu aku telah memperdayakan para
tamu heningku: kemauanku dan maksudku harus menghindari para pengamat
tegar ini.
Supaya tidak seorang pun bisa melihat ke bawah ke kedalamnku dan ke
kemauan terakhirku – mengapa itulah aku mengupayakan kemembisuan yang
lama dan benderang.
Aku mendapatkan banyak para manusia lihay: ia menyelubungi muka
mereka dan mengucek butek air mereka, supaya tidak seorang pun bisa melihat
menembus ke bawah dasarnya.
namun tepatnya kepada merekalah datang para manusia penyangsi yang
lebih lihay lagi dan para perekah-kacang-kacang: langsung saja mereka
memancing ikan terbaik yang disembunyian mereka!
namun si jernih, si tulus, si bening – mereka tampaknya bagiku si yang
terlihay, para manusia pembisu: mereka yang kedalamannya sangat dalam bahkan
air jernih pun tidak bisa – memperlihatkan dasar kedalamannya.
Kau janggut putih, yang membisu, salju musim dingin, kau mata bulat,
berkepala putih di atasku! Oh, kau citra surgawi jiwaku dan kenakalannya!
Tidakkah aku harus menyembunyikan diriku, seperti seorang yang telah
menelan emas - agar jiwaku tidak dibelek?
Tidakkah aku harus memakai enggrang, agar mereka tidak memperhatikan
kaki panjangku – mereka semua rakyat pendengki dan peluka disekelilingku?
Mereka para jiwa busuk, berasap, lelah, dengki, tidak sehat – bagaimana
bisa dengki mereka tahan kebahagiaanku?
Maka aku hanya memperlihatkan es pada mereka dan musim dingin di
puncak-puncakku – bukankah itu gunungku pula yang membelit sabuk-sabuk
sinar surya disekelilingnya!
Mereka hanya mendengar siulan badai-badai musim dinginku: dan tidak
tahu bahwa aku pun juga berlayar mengarungi samudera-semudera hangat,
seperti angin selatan yang panas, berat penuh rasa rindu.
Mereka bahkan membelas kasihani aksiden-aksiden dan keberuntungankeberuntunganku: namun seruanku berkata: „Biar keberuntungan itu datang
padaku: dia lugu seperti anak kecil!‟
Bagaimana mereka bisa tahan kebahagiaanku, jika aku tidak membungkus
kebahagiaanku dengan aksiden-aksiden, dan nestapa-nestapa musim dingin, dan
topi-topi bulu, dan mantel salju!
- Jika saja aku sendiri tidak bersimpati pada belas kasihannya mereka,
belas kasihannya rakyat pendengki dan peluka!
- Jika saja aku sendiri tidak meresah di hadapan mereka, dan
bergemeratakan gigi, dan dengan sabar membiarkan diriku dibalut oleh belas
kasihan mereka!
Ini kenakalanku yang bijaksana dan kemurahan hati jiwaku: ia tidak
menyembunyikan musim dinginnya dan badai-badai bekunya: tidak pula dia
menyembunyikan bengkak-bengkatnya.
Bagi seseorang, penyendirian itu adalah pelariannya orang sakit; bagi yang
lainnya, penyendirian itu adalah pelariannya dari orang sakit.
Biar mereka mendengar aku bergemeretakan dan mengesah bersama musim
dingin, mereka miskin, mata juling penipu di sekelilingku! Dengan kesahan dan
gemeretakan serupa ini aku melarikan diri dari kamar-kamar panas mereka.
Biar mereka bersimpati dan mengesah akan bengkak-bengkakku: „Di atas
es pengetahuan ia nanti akan mati membeku!‟ – lalu mereka meratap.
Sementara itu, aku berlarian dengan kaki hangat ke sana dan ke mari di atas
gunung zaitunku: di bagian terhangat gunung zaitunku aku menembang dan
mencemooh segala belas kasihan
Meliwati
Lalu, dengan perlahan melalui banyak rakyat dan melalui beberapa kota
melanjutkan perjalanannya, Zarathustra secara tidak langsung pulang kembali ke
gunung-gemunung dan guhanya. Dan perhatikan, ia tidak sadar sampai ke
ambang gapura kota megah. Di sini, namun, si pembual bodoh dengan lengan
terbuka, melompat ke hadapannya menghalangi jalan. Ia adalah si bodoh itu
yang rakyat menamakannya „si peniru Zarathustra‟: sebab ia telah belajar darinya
mengenai komposisi kalimat dan susunan bahasa dan mungkin pula ingin untuk
meminjam sesuatu dari gudang kebijaksanaannya. Si bodoh, namun, berseru
demikian pada Zarathustra:
O Zarathustra, ini adalah kota megah: di sini tidak ada yang dapat kau cari
dan segalanya adalah kerugian.
Mengapa kau ingin mencercah melalui lumpur ini? Belas kasihanilah kaki
kau! Malah ludahi pintu gerbang ini dan – kembali!
Di sini adalah Nereka bagi pikiran-pikiran sang petapa: di sini pikiranpikiran direbus hidup-hidup dan dimasak kecil-kecil.
Di sini segala emosi-emosi megah membusuk: di sini hanya emosi-emosi
kecil dan emosi-emosi kering diperkenankan untuk berderik!
Tidakkah kau mencium bau rumah-rumah-pejagalan dan toko-toko pemasak
spirit? Tidakkah kota ini berbau asap-asap busuk dari spirit yang terjagal?
Tidakkah kau melihat jiwa-jiwa bergantungan serupa gombalan-gombalan
compang-camping? – Dan mereka membuat koran pula dari compang-camping
ini!
Belumkah kau dengar bagaimana sang spirit di sini telah menjadi permainan
kata-kata? Ia memuntahkan air kotor cucian kata-kata menjijikan! – Mereka
membuat koran pula dari air kotor cucian kata-kata ini.
Mereka saling memburu satu sama lainnya, dan tidak tahu di mana! Mereka
saling memprovokasi satu sama lainnya, dan tidak tahu mengapa! Mereka
menggelintingkan kaleng-kaleng mereka, mereka menggerincingkan emas-emas
mereka.
Mereka dingin, dan mencari kehangatan di air-air yang telah disuling;
mereka terbakar dan mencari kesejukan di spirit-spirit yang membeku; mereka
semua sakit dan kecanduan opini rakyat banyak.
Segala nafsu-nafsu dan kejahatan-kejahatan hidup satu atap di sini; namun
ada pula manusia berbudi luhur di sini, ada banyak kebajikan-kebajikan yang
cekatan dan berguna:
Banyak kebajikan-kebajikan yang cekatan berjari penggurit, dan berpantat
keras kebanyakan duduk dan menunggu, bahagia sebab dikarunia hiasan bintang
di dada kecil mereka, para perawan tepos, yang bokongnya yang disumpel.
Banyak pula kesalehan di sini, dan keimanan menjilat-air-liur dan
menyanjung-nyanjung di hadapan Yahweh.
„Dari atas,‟ meneteslah bintang, dan air liur yang pemurah itu; untuk „ke
atas‟ setiap dada yang tidak berbintang merindu.
Bulan memiliki istana, dan di istana ada beberapa orang tolol: rakyat yang
suka mengemis dan kebajikan yang cekatan yang suka minta-minta mereka berdoa
bahwa segalanya akan datang dari istana.
„Aku melayani, kau melayani, kita melayani‟ – maka segala kebajikan yang
cekatan berdoa pada sang pangeran: lalu bintang jasa akhirnya disematkan di atas
dada-dada tipis.
namun bulan tetap berkisar mengelilingi apa-apa yang duniawi: maka sang
pangeran, pun, tetap berputar mengelilingi apa-apa yang terduniawi dari segalanya
- ini, adalah emasnya para pedagang.
Yahweh bukan tuhan batang-batang emas; sang pangeran menganjurkan,
namun si pedagang – menentukan!
Bersama dengan segala yang benderang dan kokoh lagi baik dalam diri kau,
O Zarathustra! Ludahilah kota para pedagang dan pulanglah!
Di sini semua darah mengalir busuk dan suam-suam kuku, membuih melalui
nadi-nadi: ludahilah kota megah ini, dimana semua sampah-sampah mampet, di
mana semua buih sampah membusa bersama!
Ludahilah kotanya jiwa-jiwa sempit dan dada-dada tipis ini, kotanya si mata
tajam dan si para pencopet –
Kotanya orang-orang yang sok menonjol, tidak tahu malu, si agitator dalam
lisan maupun tulisan, berambisi terlalu panas:
Dimana segalanya merapuh, rusak, penuh nafsu, tidak bisa dipercaya,
terlalu matang, bernanah dan berkomplot berkhianat – ludahilah kota megah ini
dan pulanglah!
namun di sini Zarathustra menyelang bualan berbusa si bodoh dan
membekap mulutnya.
Cukup! teriak Zarathustra. Perkataan kau dan orang semacam kau sudah
lama menjijikanku!
Mengapa kau hidup sangat lama di rawa-rawa ini, dan kau sendiri telah
menjadi katak dan bangkong?
Tidakkah darah busuk, buih rawa itu sekarang mengalir melalui urat nadi
kau sendiri, lalu kau belajar berkoar dan merintih serupa ini?
Mengapa kau tidak pergi ke hutan? Atau membajak tanah? Tidakkah
samudera itu penuh dengan pulau-pulau hijau?
Aku benci kebencian kau; dan saat kau memperingatkanku - mengapa
kau tidak memperingatkan diri kau sendiri?
Dari cinta itu sendirilah kebencianku dan burung pertandaku itu terbang ;
bukan dari rawa-rawa!
Mereka menamakan kau si peniruku, kau pembual bodoh: namun aku
namakan kau babi pendengusku – dengan mendengus kau merusakan bahkan pujipujianku tentang kebodohan.
Apa, yang lalu, memulakan kau untuk mendengus? sebab tidak ada
seorang pun yang cukup merayu kau: - maka kau duduk, di sisi sampah kotor ini,
supaya kau bisa punya alasan untuk lebih mendengus lagi –
Supaya kau bisa punya alasan untuk lebih mendendam lagi! sebab segala
bualan kau, kau sombong bodoh, itu adalah dendam; Aku telah terka kau betul!
namun kebodohan ajaran kau ini sangat menyakitkanku, bahkan jika kau
benar! Walau pun ajaran Zarathustra itu seratus kali terbukti benar, kau akan tetap
– menggunakan ajaranku secara salah!
Ini seruan Zarathustra. Lalu ia melihat ke kota megah ini, mengesah dan
terdiam lama. Akhirnya ia berseru demikian:
Bukan saja si bodoh yang aku benci, namun juga kota megah ini. Di
keduanya tidak ada yang membuat sesuatunya menjadi lebih baik, tidak ada yang
membuat sesuatunya menjadi lebih buruk.
Tertuklah kota megah ini! Dan aku berharap aku bisa menyaksikan sakasaka api yang akan membakarnya!
sebab saka-saka api seperti ini harus memulakan tengah hari megah.
Namun ini ada waktunya dan takdirnya.
namun aku persembahkan kau diperpisahan ini sebuah ajaran, kau bodoh:
Dimana seseorang tidak lagi mencintai, maka seseorang musti – meliwati!
Ini seruan Zarathustra dan ia meliwati si bodoh dan kota megah.
. Para Murtad
Ah, terbaring sudah segala sesuatu yang sudah layu dan kelabu, yang baru-baru
ini segar menghijau dan beraneka warna di atas padang rumput ini! Alangkah
banyak madu harapan yang telah aku bawa dari sini ke sarang-sarang tawonku!
Semua hati muda telah tumbuh tua – bukan tua! hanya letih, jenuh, santai:
mereka menjelaskan: „Kita telah menjadi saleh lagi.‟
namun belakangan ini aku melihat mereka berlarian di pagi buta dengan
kaki-kaki perkasa: namun kaki pengetahuan mereka menjadi letih, dan sekarang
mereka bahkan memfitnah keperkasaan pagi mereka!
Sungguh, banyak dari mereka sekala mengangkat kaki mereka seperti
seorang penari; kepada mereka tawa kebijaksanaanku mengerling: - lalu mereka
mempertimbangkan kembali. Dan barusan tadi aku melihat mereka berlutut –
merangkak ke Salib.
Di sekeliling cahaya dan di sekeliling kebebasan sekala mereka mengibasngibas serupa lalat kecil dan para pujangga muda. Sedikit lebih tua, sedikit lebih
dingin: lalu mereka menjadi para pembuat desas-desus di dalam kegelapan, para
pengoceh dan menggerombol berdesak-desakan dekat tungku perapian.
Apakah hati mereka mungkin putus-asa, sebab tempat penyendirianku
menelanku seperti ikan paus? Apakah telinga mereka mungkin sia-sia
mendengarkanku, dan terlalu lama merindukanku dan bagi tiupan suara terompet
dan panggilan sang pewartaku?
Duh! Selalu ada mereka yang sedikit, yang hatinya punya daya keberanian
dan semangat yang berkesinambungan; dan sang spirit yang serupa itu - adalah
sabar. Sisanya, namun, adalah pengecut.
Sisanya: ini selalunya si mayoritas, orang umum, si mubasir, si kebanyakan
– mereka semuanya adalah si pengecut!
Ia yang sejenisku, akan pula menghadapi pengalaman-pengalaman
sepertiku: maka teman-teman pertamanya mustilah mayat-mayat dan badudbadud.
Teman keduanya, namun, akan menamakan diri mereka penganutpenganutnya: kumpulan orang banyak, penuh dengan rasa cinta, penuh dengan
kebodohan, penuh dengan kepemujaan ala remaja.
Pada para penganut-penganut seperti itu, ia yang berada di tengah-tengah
para manusia, ia yang sejenisku, harus tidak merekatkan hatinya; pada musimmusim bunga dan pada aneka warna padang-padang rumput ia harus tidak
percaya, ia yang tahu akan sifat manusia yang pengecut!
Jika mereka bisa berbuat yang lainnya, mereka akan berbuat yang lainnya.
Si setengah-setengah merusak setiap keutuhan. Dedaunan akan menjadi layu -
apa gunanya berkeluh-kesah tentangnya?
Biar mereka berguguran, biar mereka pergi, O Zarathustra, dan jangan
mengeluh! Malah hembus ketengah-tengah mereka dengan desiran angin-angin –
Hembus ketengah-tengah dedaunan ini, O Zarathustra: maka segala yang
layu akan melarikan diri jauh dari kau lebih cepat!
„Kita telah menjadi saleh lagi‟ – maka para murtad mengaku; dan masih banyak
dari mereka yang masih tetap sangat takut untuk mengakui ini.
Ke mata mereka, aku menatap, di hadapan mereka, dan ke kesipuan pipi
mereka lalu aku berseru : Kau adalah orang yang berdoa lagi!
namun adalah memalukan untuk berdoa! Bukan bagi setiap orangnya, namun
bagi kau, dan bagi yang memiliki hati nurani di dalam kepalanya. Bagi kau adalah
memalukan untuk berdoa!
Kau tahu betul ini: sang setan yang penakut dalam diri kau, yang senang
mendekapkan dan melipat tangannya ke dadanya, dan menganggap mudah
segalanya: - itu adalah setan yang pengecut yang membujuk kau: „Ada Tuhan!‟
Namun, melalui ini, kau telah menjadi salah satu dari mereka yang takut
akan cahaya, yangmana sang cahaya tidak pernah membiarkan kau tenang;
sekarang kau harus membenamkan kepala kau lebih dalam lagi setiap hari ke
dalam malam dan kabut!
Dan sungguh, kau telah memilih waktu ini dengan baik: sebab baru saja
burung-burung-malam sekali lagi terbang jauh. Waktunya telah tiba bagi semua
rakyat yang takut cahaya, waktu malam dan waktu yang khidmat saat mereka
tidak - „khidmat‟.
Aku mendengar dan mencium baunya: waktunya telah tiba _ waktu berburu
dan upacaranya mereka; bukan bagi perburuan liar, namun bagi perburuan jinak,
timpang, mengendus-ngendus, mengejar dengan langkah-halus, dan doa-doalembut –
Untuk memburu jiwa-jiwa kecil: semua perangkap tikus untuk hati
sekarang sekali lagi dipersiapkan! Dan kapan saja aku buka tirai, seekor ngengatmalam mengibas keluar darinya.
Mungkinkah ia meringkukan diri di sana bersama dengan ngengat-ngengat
kecil lainnya? sebab di mana saja aku mencium komunitas-komunitas kecil yang
tersembunyi; dan di mana saja ada pondok-pondok kecil, di sana ada penganutpenganut baru dan suasana kepenganutan.
Mereka duduk bersama semalaman, dan berkata: „Mari kita sekali lagi
menjadi seperti anak kecil dan berkata, „Tuhan sayang!‟ – rusaklah mulut dan
perut oleh gula-gulanya si saleh.
Atau mereka mengamati di malam-malam panjang, Laba-laba Silang, yang
cerdik, yang mengintai, dan mengkhotbahkan keberhati-hatian ke para laba-laba
itu sendiri, dan mengajarkan: „Di bawah Salib-salib itu bagus untuk merajut jala!‟
Atau mereka duduk seharian dengan tangkai pancing di sisi rawa-rawa, dan
bagi alasan ini mereka berpikir bahwa mereka itu dalam; namun sesiapa yang
mancing di mana tidak ada ikannya, bahkan aku tidak menamakan ia dangkal!
Atau mereka belajar secara saleh, secara bergembira untuk memetik harpa
dari para pujangga penulis lagu yang ingin merayu ke dalam hati para perempuan
muda – sebab ia telah tumbuh letih akan para perempuan tua dan pujian-pujian
mereka.
Atau mereka belajar untuk gentar ke seorang pandita setengah gila, yang
menunggu di kamar-kamar gelap agar para spirit bisa datang kepadanya – dan
sang spirit benar-benar telah lari!
Atau mereka mendengar raungan seorang gelandangan pengelana tua,
peniup seruling, yang telah belajar dari angin-angin sedih nada-nada kesedihan;
sekarang ia memainkan serulingnya serupa angin, dan mengkhotbahkan derita
dalam nada-nada duka.
Dan sebagian dari mereka bahkan telah menjadi para penjaga malam:
sekarang mereka tahu bagaimana meniup terompet, dan berkeliling di tengah
malam membangunkan sang purbakala yang telah lama tertidur.
Lima perkataan tentang sesuatu yang purba, aku dengar kemarin di sisi
dinding taman: itu datangnya dari para penjaga malam tua, yang kering, nestapa.
„Bagi seorang bapak ia tidak cukup memperhatikan anak-anaknya: bapak
yang manusiawi berbuat lebih baik!‟
„Ia terlalu tua! Ia tidak lagi memperhatikan anak-anaknya!‟ – maka penjaga
malam lainnya menjawab demikian.
„Apakah ia punya anak? Tidak seorang pun bisa membuktikannya, kecuali
ia sendiri yang membuktikannya! Aku berharap bahwa ia bisa membuktikannya
secara seksama, untuk selama-lamanya.‟
„Bukti? Kapan ia pernah membuktikan apa-apa! Untuk membuktikan
sesuatu ini adalah sulit baginya; ia sangat menekankan bahwa rakyat musti
mempercayainya.‟
„Ya!ya! Kepercayaan membuatnya bahagia, percaya padanya. Ini adalah
cara orang tua! Maka kita harus demikian, pula!‟
Maka berkata satu sama lainnya, dua para penjaga malam tua dan pengusir
cahaya, lalu meniupkan terompetnya dengan penuh kesedihan: maka ini terjadi
kemarin malam di sisi dinding taman. Hatiku, namun, terpingkal-pingkal dengan tawa, seperti ingin pecah, tidak
tahu kemana untuk pergi, dan tenggelam ke dalam kegelian.
Sungguh, ini akan menyebabkan kematianku - tercekik oleh tawa saat
aku melihat keledai-keledai mabuk, dan mendengar para penjaga malam lalu
meragukan Tuhan.
sebab bukankah ada waktunya dahulu bagi segala keragu-raguan seperti
itu? Siapa sekarang yang ingin untuk tetap membangunkan sang purbakala, si
penghindar cahaya ini?
Masanya tuhan-tuhan purba sudah berakhir lama,– dan sungguh, satu
kematian yang bagus, kematian tuhan yang penuh dengan kegembiraan!
Mereka tidak sirna di „senjakala‟ – seperti yang dikatakan oleh rakyat!
Sebaliknya: mereka sekala – tertawa sampai mati!
Itu terjadi saat perkataan anti ketuhanan datang dari Tuhan ini sendiri,
kata-kata: „Hanya ada satu Tuhan! Kau tidak harus mempunyai tuhan-tuhan lain
selainku!‟ -
Tuhan tua berjanggut suram, tuhan pencemburu, dengan ini ia lalu lupa akan
dirinya:
Lalu semua tuhan-tuhan pun tertawa, dan bergoyangan di kursi-kursi
goyang mereka, dan berteriak: „Tidakkah ini tepatnya ketuhanan itu, bahwa ada
tuhan-tuhan namun tidak satu Tuhan?‟
Ia yang punya telinga untuk mendengar, biar ia mendengar.
Ini seruan Zarathustra di kota yang ia cintai, yang dinamakan „Lembu
Belang‟. sebab dari sini ia punya waktu dua hari perjalanan untuk sampai ke
guhanya dan ke binatang-binatangnya; dan jiwanya, tidak henti-hentinya
bersukacita sebab tidak lama lagi ia akan pulang kembali kerumahnya.
. Kembali Ke Rumah
O Kesendirian! rumahku, kesendirian! Terlalu lama aku hidup dengan liar di
tanah-tanah janggal liar, untuk kembali kepada kau tanpa tetesan air mata!
Sekarang marahi aku dengan jari, seperti layaknya seorang ibu lakukan,
sekarang senyumlah padaku bagai yang para ibu tersenyum, sekarang katakanlah
ini saja: „siapa itu yang sekala seperti badai lari terburu-buru jauh dariku?
Siapa yang pergi sambil teriak: „terlalu lama aku duduk dengan sang
Kesendirian, di sana aku telah belajar meninggalkan cara untuk membisu!‟
Tentu kau sudah belajar ini – sekarang!
O Zarathustra, aku tahu segalanya: dan kau lebih kesepian di tengah-tengah
orang banyak, kau sang penyendiri, dibandingkan bersamaku!
Kesepian adalah satu hal, dan hal yang lainnya adalah kesendirian: kau telah
belajar ini – sekarang! Dan di tengah-tengah para manusia kau akan selalunya liar
dan janggal:
Liar dan janggal bahkan saat mereka mencintai kau: sebab di atas
segalanya mereka ingin di manja!
Namun, di sini kau ada di depan perapian kau dan rumah kau sendiri; di sini
kau bisa mengutarakan apa saja, dan menuangkan segala macam alasan; tidak ada sesuatu apapun yang harus dimalui di sini akan perasaan-perasaan yang
tersembunyi, dan yang sudah mengeras.
Di sini segalanya datang membelai kata-kata kau dan merayu kau: mereka
mau menunggang punggung kau. Di atas setiap kiasan kau menunggang ke setiap
kebenaran.
Secara tulus dan terbuka kau bias berbicara pada segalanya di sini: dan
sungguh, ini terdengarnya bagai pujian ke telinga-telinga mereka, bahwa
seseorang berbicara kesegalanya dengan – tulus!
Namun, hal lain lagi, adalah kesepian. sebab ingatkah kau, O Zarathustra?
saat burung kau berteriak di atas kau, saat kau berdiri di hutan, kebingungan,
tidak tahu kemana harus pergi, di sisi sebuah mayat.
saat kau berseru: Semoga, binatang-binatangku memimpinku! Aku
mendapatkan bahwa hidup di antara para manusia itu lebih berbahaya dibandingkan
hidup di antara binatang-binatang. Itu adalah kesepian!
Dan ingatkah kau, O Zarathustra? saat kau berada di pulau kau, sebuah
sumur air anggur di antara ember-ember kosong, memberi dan mengabulkan,
melimpahkan dan menuangkan angggur di antara orang-orang yang kehausan;
Hingga pada akhirnya kau duduk sendirian kehausan di tengah-tengah
orang-orang yang mabuk dan mengeluh setiap malam: „Tidakkah lebih bahagia
untuk menerima dibandingkan memberi? Dan lebih bahagia untuk mencuri dibandingkan
menerima?” – Itu adalah kesepian!
Dan ingatkah kau, O Zarathustra? saat masa terhening kau tiba dan
mencabik-cabik diri kau, saat ia mengatakan bisikan jahatnya: „Berserulah dan
mati!‟ –
saat dia membuat kau merasa bersalah akan segala penantian dan
kemembisuan kau, dan menakutkan keberanian yang bersahaja kau: Itu adalah
kesepian!
O Kesendirian! Rumahku, kesendirian,! Betapa menyenangkan dan
lembutnya suara kau berkata padaku!
Kita tidak saling tanya menanya, kita tidak saling keluh mengeluh, kita
saling terbuka melalui pintu-pintu terbuka.
sebab bersama kau segalanya terbuka dan bening; bahkan di sini sang
waktu berlari dengan kaki-kaki yang lebih ringan. sebab sang waktu lebih berat
terbebankan dikegelapan dibandingkan di cahaya terang.
Di sini, semua eksistensi kata-kata dan lemari kata-kata membukakan
dirinya padaku: semua eksistensi di sini mau menjadi kata-kata, semua eksistensi
di sini mau belajar padaku bagaimana cara berseru.
Di bawah sana, namun – segala seruan adalah sia-sia! Di sana,
kebijaksanaan terbaik adalah melupai dan meliwati: Aku telah belajar itu –
sekarang!
Ia yang mau mengerti segalanya di tengah-tengah para manusia musti
menyentuh apa-apa. namun lenganku terlalu bersih untuk itu.
Bahkan aku tidak suka untuk bernafas di sekeliling nafas-nafas mereka; duh,
aku sudah terlalu lama hidup di tengah-tengah suara bising mereka dan bau nafas
busuk mereka!
O berkahilah sang keheningan di sekelilingku! O aroma murni di
sekelilingku! Oh, bagaimana sang keheningan ini menarik nafas murninya dari
dalam dada! Oh, dia mendengarkan, sang keheningan yang menyenangkan ini namun di bawah sana – segalanya berseru, segalanya tidak didengar. Jika
seseorang mengumandangkan kebijaksanaannya dengan lonceng-lonceng – si
pedagang di pasar akan membuat suara lebih keras dengan recehan-recehan!
Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, tidak ada satu pun
yang tahu lagi bagaimana untuk mengerti. Segalanya jatuh ke dalam air, tidak ada
lagi yang jatuh ke sumur-sumur dalam.
Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, tidak ada lagi yang
makmur dan berhasil. Segalanya berkotek-kotek, namun siapa yang masih mau
duduk mengeram di sangkarnya dan menetaskan telur?
Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, segalanya disangkal.
Dan apa yang kemarin masih tetap keras bagi sang waktu dan gigi-giginya,
sekarang dikunyah dan dipetik dari mulut para manusia masa kini.
Segala sesuatunya di tengah-tengah mereka berbicara, segala sesuatunya
dibuka. Dan apa yang sekala dinamakan rahasia dan rahasianya para jiwa
mahadalam, kini dimiliki oleh para peniup terompet jalanan dan kupu-kupu
lainnya.
O kemanusiaan yang berisik, kau sesuatu yang janggal! Kau adalah suara
bising di jalan-jalan gelap! Sekarang kau sekali lagi berbaring di belakangku: –
marabahayaku berbaring di belakangku!
Dalam pemanjaan diri dan membelas kasihani berbaringlah marabahayaku
selalu; dan semua manusia yang berisik ingin untuk dimanja dan dibelas
kasihani.
Dengan menyembunyikan kebenaran-kebenaran, dengan lengan bodoh dan
hati yang tergila-gila, kaya akan belas kasihan-belas kasihan palsu - begitulah aku
hidup di tengah-tengah para manusia.
Menyamar aku hidup di tengah-tengah mereka, siap untuk menyalah artikan
diriku supaya aku bisa bertahan dari mereka, dan senang berkata pada diriku:
„Kau bodoh, kau tidak tahu para manusia!‟
Seseorang lupa apa yang ia telah pelajari mengenai manusia, saat
seseorang hidup di tengah-tengah manusia: ada banyak penampilan-penampilan
dalam diri manusia – apa yang dapat dikerjakan oleh mata yang berpenglihatan
jauh, dan mata yang merindu jauh di sana!
Dan, aku bagaikan orang bodoh saat mereka menyalah artikanku, oleh
sebab itu aku lebih memanjakan mereka dibandingkan diriku: aku terbiasa keras pada
diriku sendiri, bahkan sering membalas dendam pada diriku sebab pemanjaan ini.
Seluruh tubuh tersengat oleh lalat-lalat berbisa, dan tercekungkan seperti
batu oleh banyak tetesan-tetesan kejahatan: seperti itulah aku hidup di sekitar
mereka, dan tetap berkata pada diriku: „segala sesuatu yang kecil itu tidak sadar
akan kekecilannya!‟
Khususnya mereka yang menamakan diri mereka “si baik,” aku
mendapatkan mereka adalah lalat-lalat yang paling berbisa: mereka menyengat
secara tidak disadari, mereka berbohong secara tidak disadari; bagaimana mereka
bisa – adil terhadapku!
Ia yang hidup di tengah-tengah si baik - belas kasihan mengajarkan ia untuk
berbohong. Belas kasihan membuat udara sumpek bagi semua para jiwa bebas.
sebab kebodohan si baik tidak terkira dalamnya.
Untuk menyembunyikan diriku dan kekayaanku – itu aku telah pelajari di
bawah sana: sebab aku mendapatkan bahwa setiap orangnya masih miskin spirit.
Itu adalah dusta-dusta belas kasihanku, bahwa aku mengenal semua orang.
Bahwa aku melihat dan mencium di setiap orangnya, spirit apa yang layak
baginya, dan spirit apa yang berlebihan baginya!
Para manusia kaku yang bijaksananya mereka: aku namakan mereka
bijaksana, bukan kaku – maka aku belajar untuk menelan kata-kata. Para penggali
lubang kubur mereka: aku namakan mereka para penyelidik dan para sekolar –
maka aku belajar mengacaukan kata-kata.
Para penggali lubang kubur menggali penyakit-penyakit bagi diri mereka
sendiri. Di bawah sampah-sampah tua tergeletak aroma busuk. Seseorang tidak
seharusnya mengucak rawa-rawa. Seseorang harus hidup di atas gununggemunung.
Dengan cuping hidung yang berbahagia aku bernafas udara kebebasangunung sekali lagi! Hidungku akhirnya terbebaskan dari segala bau-bauan
kemanusiaan yang berisik!
Tergelitiki oleh tiupan angin kencang, seperti kelap-kelipnya gelembung air
anggur, jiwaku bersin – bersin dan berteriak pada diri sendiri: Berkahi aku!
Ini seruan Zarathustra.
. Tiga Kejahatan
Dalam mimpiku, impian terakhir pagiku, aku berdiri di atas sebuah tanjung – di
atas dunia, aku menggenggam neraca lalu menimbang dunia.
Oh, sang fajar datang padaku terlalu dini! Menyinariku hingga aku
terbangunkan, sang fajar pencemburu! Ia selalu cemburu pada pancaran cahaya
impian-impian pagiku.
Terukur padanya yang punya waktu, tertimbang pada sang penimbang baik,
terjangkau oleh sayap-sayap kuat, terterka oleh para perekah kacang unggul: maka
impianku menemukan dunia ini.
Impianku, sang pelaut perkasa, setengah kapal, setengah badai, bisu laksana
kupu-kupu, tidak sabaran laksana elang: kenapa ia punya begitu banyak waktu
dan kesabaran untuk menimbang dunia ini sekarang?
Apa mungkin kebijaksanaanku berseru padanya diam-diam, tawaku,
kebijaksanaan-gugahan-pagiku, yang mencemooh segala „dunia-dunia infinit‟?
Dia berkata: „Di mana ada daya, di sana angka menjadi penguasa: dia menjadi
lebih lebih berdaya.‟
Betapa yakinnya impianku menatap dunia finit ini, tidak mendambakan
sesuatu yang baru, tidak pula yang lama, tidak takut, tidak pula meminta-minta –
Bagai jika sebuah apel bulat mempersembahkan dirinya ke tanganku, apel
emas yang matang, dengan kulit sehalus beludru, sejuk: - maka dunia
mempersembahkan dirinya padaku
Bagai jika setangkai pohon melambai-lambai padaku, berbatang besar,
pohon berkemauan-kuat, melengkung tempat untuk bersandar maupun untuk
penunjang kaki bagi para pengembara-letih: maka dunia berdiri di atas tanjungku -
Bagai jika dua lengan halus memberiku sebuah kotak yang terbuka - kotak
untuk dinikmati oleh mata elok bersahaja: maka dunia mempersembahkan dirinya
ke hadapanku hari ini -
Bukan sesuatu yang sulit dimengerti sehingga menakut-nakuti cinta
manusia jauh darinya, bukan sesuatu yang sangat jelas sehingga menidurkan
kebijaksanaan manusia: – dia adalah sesuatu yang manusiawi, yang baik, ini
adalah dunia bagiku sekarang, dunia ini yang telah banyak dikatakan jahat!
Betapa bersyukurnya aku pada impian pagiku, bahwa hari ini di mula pagi
aku lalu menimbang dunia! Sebagai sesuatu yang baik, manusiawi, dia datang
padaku, impian dan pelipur hati ini!
Semoga aku bisa mengerjakan sesuatu seperti itu hari ini, belajar dan
mencontoh teladan-teladan terbaiknya, aku sekarang mau menaruh tiga
mahakejahatan di atas neraca, dan menimbangnya dengan baik secara manusiawi.
Ia yang mengajarkan cara untuk memberkahi juga mengajarkan cara untuk
mengutuk: yang manakah di antara tiga ini yang sangat di kutuk di dunia ini? Aku
letakan ini di atas neraca.
Sex, nafsu untuk berkuasa, dan egoisme: tiga hal ini, hingga saat ini sangat
dikutuk, dihujat, dijelek-jelekan reputasinya – tiga hal ini aku akan timbang
dengan baik dan secara manusiawi pula.
Ayo! Ini adalah tanjungku, dan di sana adalah samudera: dia menggulunggulung menuju aku, kusut kusau, mengibas-ngibas ekor, anjing monster tua
bermuka seratus yang setia yang aku cintai!
Ayo! Di sini aku mau menggenggam neraca di atas gelombang samudera:
dan aku pilih satu saksi, pula, untuk melihat semua ini – kau, pohon penyendiri,
kau, wewangian keras, pohon yang melengkung lebar yang aku cintai!
Di atas jembatan apakah masakini menyeberang ke masadepan? Keharusan
apa yang mendorong yang tinggi untuk membungkuk pada yang rendah? Dan apa
yang memerintahkan yang tertinggi – untuk tumbuh lebih tinggi lagi?
Sekarang neraca berdiri seimbang dan tetap: tiga pertanyaan-pertanyaan
berat, sudah aku letakan; tiga jawaban berat ada di atas neraca.
Sex: bagi segala petapa pembenci badan, ini duri dan tiang eksekusi; dan di
kutuk sebagai „dunia,‟ oleh para manusia dunia-kemudian: sebab ini mengejek
dan mengelabui semua para guru kekacaubalauan dan kekeliruan.
Sex: bagi gerombolan, ini bara api kecil di atas mana mereka terpanggang;
bagi segala ulat pemakan kayu, bagi segala compangan-compangan busuk, kawah
nafsu berahi yang siap merebus.
Sex: bagi semua hati bebas, sesuatu yang lugas dan bebas, taman
kebahagiaan di dunia, satu limpahan rasa syukur dari masa depan bagi masa kini.
Sex: bagi yang layu, ini racun manis belaka; bagi sang kemauan singa,
namun itu adalah penyegar megah bagi hati, dan air anggur yang disimpan dan
dihormati dari segala air-air anggur.
Sex: simbul kebahagiaan megah dari kebahagiaan yang lebih tinggi dan
harapan tertinggi. Bagi semua orang perkawinan itu dijanjikan, dan ini lebih
dibandingkan perkawinan –
Bagi semua orang yang lebih merasa asing ke satu sama lainnya dibandingkan
antara lelaki dan perempuan: dan mengerti sepenuhnya betapa asingnya lelaki dan
perempuan itu ke satu sama lainnya!
Sex: namun aku ingin membuat pagar di sekeliling pikiran-pikiranku, bahkan
juga di sekeliling kata-kataku: agar babi-babi dan para pemberahi panas tidak bisa
menjebol tamanku!
Nafsu untuk berkuasa: cemeti panas terkeras dari hati yang keras; siksaan
kejam menakutkan yang dicadangkan bagi yang terkejam; nyala hitam api-api
unggun panas.
Nafsu untuk berkuasa: lalat jahat yang duduk di atas para manusia
sombong; sang pencemooh segala kebajikan-kebajikan yang tidak jelas; yang
menunggang setiap kuda dan setiap kesombongan.
Nafsu untuk berkuasa: gempa bumi yang memecahkan dan menghancur
bukakan segala yang membusuk dan keropos; si penghumbal, si penggemuruh, si
pendera penghancur kubur-kubur kepalsuan; kilapan tanda tanya di sisi jawaban
yang prematur.
Nafsu untuk berkuasa: di hadapan pandangan sekilasnya, manusia
merangkak dan membungkuk dan membanting tulang, dan menjadi lebih rendah
dibandingkan babi atau ular – hingga akhirnya teriakan kebencian besar keluar darinya.
Nafsu untuk berkuasa: guru kebencian megah yang menakutkan, yang
mengkhotbahkan di hadapan muka-muka mereka dan kota-kota dan kerajaankerajaan! Enyah kau!‟ – hingga akhirnya berteriak mereka sendiri: „Enyah aku!‟
Nafsu untuk berkuasa: yangmana, namun, muncul mengoda bahkan pada
yang murni dan tersendiri, dan pada ketinggian yang sembada, berkilauan serupa
cinta yang menggoda yang memberi warna lembayung pada kebahagian awanawan dunia.
Nafsu untuk berkuasa: namun siapa yang mau menamakan ini nafsu, saat
ketinggian rindu untuk membungkuk bagi power! Sungguh, ini bukanlah nafsu
bukan pula penyakit, saat merindu dan membungkuk seperti ini!
Bahwa ketinggian yang tersendiri mungkin tidak selamanya tersendiri dan
serba sembada; bahwa sang gunung mungkin turun ke lembah dan sang angin dari
ketinggian-ketinggian ke dataran-dataran rendah –
Oh, siapa yang dapat menemukan nama baptis dan nama mulia yang layak
bagi kerinduan serupa ini! „Amal Kebajikan‟ – ini adalah nama yang Zarathustra
pernah berikan pada yang tidak bisa dinamakan itu.
Lalu ini terjadi pula – dan sungguh, ini terjadi untuk pertama kalinya! –
bahwa ajarannya mengagungkan egoisme, yang waras, egoisme yang sehat yang
datang dari jiwa yang kokoh
Dari jiwa yang kokoh, yang dimiliki oleh badan yang mulia, badan yang
indah, berjaya, badan sehat, yang di sekelilingnya segala sesuatunya menjadi
cermin;
Badan yang luwes, lagi persuasif, sang penari yang citra dan esensinya
adalah jiwa yang menyukai-diri-sendiri. Bagi badan dan jiwa yang serupa ini sang
menyukai-diri-sendiri ini menamakan dirinya: „Kebajikan.‟
Dengan doktrin kebaikan dan keburukannya sendiri, sang menyukai-dirisendiri melindungi dirinya seperti sebuah rumpun belukar sakral; dengan namanama kebahagiaannya ia menghancurkan dari dalam dirinya segala yang
menjijikan.
Dari dalam dirinya sendiri dia menghancurkan segala yang pengecut; dan
berkata: „Buruk – artinya adalah pengecut!‟ Tampaknya menjijikan baginya, ia
yang selalu meresah, mengeluh, menuduh, dan sesiapa yang mengumpulkan
keuntungan-keuntungan kecil.
Dia juga membenci segala kebijaksanaan yang berkubang dalam dukacita:
sebab sungguh, ada pula kebijaksanaan yang memekar di kegelapan,
kebijaksanaan bayang malam, yang selalu mengesah: „Segalanya sia-sia!‟
Kecurigaan yang selalu takut-takut dianggap rendah olehnya, dan semua
orang yang minta sumpah-sumpah selain dibandingkan wajah dan tangan; dan semua
kebijaksanaan yang terlalu mencurigai, sebab ini kodratnya para jiwa pengecut.
Namun, menganggap lebih rendah pada orang-orang yang cepat
menyenangkan, penjilat, seperti anjing yang langsung menggolekan
punggungnya, manusia rendah hati; ada pula kebijaksanaan yang rendah hati dan
seperti anjing dan kesalehan dan yang cepat untuk menyenangkan.
Sama sekali jijik, dan membenci orang yang tidak mau mempertahankan
dirinya, yang menelan ludah berbisa dan tatapan-tatapan buruk, si manusia
tersabar yang menerima segala apa saja, puas dengan apa saja: sebab ini adalah
wataknya budak.
Apakah mereka itu membudak di hadapan tuhan-tuhan dan tendangantendangan agungnya, atau di hadapan para manusia dan opini-opini bodoh para
manusia: ke segala macam budak apapun, dia meludah, egoisme yang jaya ini!
Buruk: ini adalah nama dari segala yang hina, membudak, terbelenggu,
mengejap-ngejapkan mata, hati tertekan, manusia bergaya pura-pura pasrah, yang
mencium dengan bibir-bibir lebar penakut.
Dan kebijaksanaan palsu: ini adalah nama dari segala kebijaksanaan yang
dianut oleh para budak, para manusia tua dan para manusia letih; khususnya
manusia penuh tipu daya, licik, penuh dengan keingintahuan, kebodohannya para
pandita!
Manusia bijaksana yang palsu, namun, adalah para pandita, manusia letih,
dan mereka yang jiwanya keperempuan-perempuanan dan berwatak budak – oh,
bagaimana akal muslihat mereka selalu mempermainkan egoisme!
Akal muslihat mereka yang selalu mempermainkan egoisme – tepatnya
inilah yang telah dianggap sebagai kebajikan, dan dinamakan kebajikan. Dan
„tanpa ego‟ – ini adalah, yang sangat didambakan dengan sepenuh hati oleh para
pengecut yang letih hidup dan laba-laba silang itu!
namun bagi mereka semua, waktu pun tiba, sang perubahan, sang pedang
pembuat keputusan, sang tengah hari megah: lalu banyak sesuatu akan
diungkapkan!
Dan ia yang menyatakan Egonya sehat dan suci, dan egonya mulia –
sungguh, ia adalah seorang junjungan , nyatanya ia menyerukan apa yang ia ketahui:
„Perhatikan, ini tiba, ini dekat, sang tengah hari megah!‟
Anak dengan Cermin
Setelah itu Zarathustra pergi kembali ke gunung-gunung dan ke guha tempat
penyendiriannya, dan mengundurkan diri dari manusia: menunggu laksana
penyawur yang telah menabur benihnya. Jiwanya, namun, menjadi tidak sabaran
dan penuh rasa rindu pada yang ia cintai: sebab ia masih punya banyak
pemberian untuk mereka. Ini, nyatanya, adalah yang tersulit bagi sang pemberi:
untuk menutup tangan terbukanya cinta dan harus bersahaja.
Maka bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu meliwati sang
penyendiri; namun kebijaksanaannya bertambah dan ini menjadikannya sakit oleh
keberlimpahannya.
Si suatu pagi, namun, ia bangun sebelum fajar, bermeditasi lama di atas
ranjangnya, dan akhirnya ia berseru pada hatinya:
Mengapa aku ketakutan dalam mimpiku lalu aku terbangun? Tidakkah
seorang anak datang padaku membawa cermin?
„O Zarathustra,‟ kata anak itu padaku, „lihatlah diri kau di cermin ini!‟
namun saat aku melihat cermin ini, aku berteriak, hatiku berdebar: sebab
aku tidak melihat diriku, aku melihat seringai olok-olok setan.
Sunguh, aku mengerti akan isyarat dan pertanda mimpi dengan baik;
doktrinku ada dalam bahaya, semak-semak mau dinamakan gandum!
Musuh-musuhku telah tumbuh kuat dan telah merusakan makna doktrinku,
maka mereka yang aku sayangi malu akan hadiah yang telah aku berikan pada
mereka.
Teman-temanku telah kehilanganku; tibalah waktunya untuk mencari
mereka yang kehilanganku!
Dengan kata-kata ini Zarathustra bangkit – namun, bukan seperti seorang
yang sedih mencari tempat untuk bernaung namun serupa resi dan biduan yang
spiritnya telah terilhami. Terheran-heran burung elang dan ularnya
memperhatikan ini: sebab sang kebahagiaan menyinari mukanya laksana fajar.
Apa yang telah terjadi padaku, para binatangku? kata Zarathustra.
Bukankah aku telah berubah? Bukankah kebahagiaanku datang padaku laksana
badai!
Kebahagiaanku adalah bodoh, dan mau berseru banyak kebodohankebodohan: dia masih terlalu muda – maka bersabarlah dengannya!
Kebahagiaanku telah melukaiku: semua para penderita musti menjadi para
tabib bagiku!
Kepada teman-temanku Aku dapat pergi ke bawah sekali lagi dan juga ke
musuh-musuhku! Zarathustra bisa berseru dan memberi lagi, dan memperlihatkan
cinta yang terbaiknya pada mereka yang ia cintai!
Ketidak sabaran cintaku meluap deras ke bawah, ke kala pagi dan malam
hari. Mengalir dari gunung-gemunung bisu dan dari badai-badai derita, bergegas
jiwaku ke lembah-lembah.
Terlalu lama aku merindukan dan memandangi kejauhan. Terlalu lama
penyendirianku menguasaiku, maka aku lupa bagaimana untuk membisu.Aku telah menjadi kata-kata belaka, dan bunyi ceplakan aliran air dari
cadas-cadas tinggi: kebawah ke lembah-lembah aku mau lontarkan kata-kataku.
Dan biar aliran cintaku menyapu ke celah-celah yang tidak pernah
didatangi! Pasti aliran ini akan menemui jalannya ke samudera akhirnya!
Tentu, di sana ada telaga di dalam diriku, tersembunyi dan swasembada;
namun aliran cintaku membawa telaga ini bersamanya, ke bawah – ke samudera!
Ke jalan-jalan baru aku pergi, satu seruan baru datang padaku; aku menjadi
letih, seperti semua para pencipta, akan lidah-lidah kuno. Spiritku tidak mau lagi
berjalan dengan terompah tua.
Semua seruan berlari terlalu perlahan bagiku – aku melompat ke kereta
perang kau, O kau badai! Bahkan aku mau pecut kau dengan bisaku!
Seperti jeritan dan teriakan sukacita aku akan mengarungi samuderasamudera luas, hingga aku menemui Kepulauan Bahagia, dimana temanku
menunggu –
Dan musuh-musuhku di sekeliling mereka! Betapa aku mencintai setiap
manusia yang mana aku dapat berseru sekarang! Bahkan musuh-musuhku pun
sebagian dari kebahagiaanku.
Dan kerika aku mau menunggang kuda terliarku, maka tombakku inilah
yang menolongku naik dengan baik; dia adalah pelayan kakiku yang selalu siap
sedia–
Tombak yang aku lemparkan ke musuh-musuhku! Betapa aku bersyukur ke
musuh-musuhku sekarang bahwa akhirnya aku bisa lemparkan tombak ini!
Begitu besarnya tekanan awan mendungku; di antara gemuruh jeritan tawa
kilat aku mau lemparkan hujan-hujan es ke kedalaman-kedalaman.
Dengan berang lalu dadaku akan membusung, dengan berang dadaku akan
menghembuskan badainya jauh ke balik gunung-gemunung; lalu akan
mendatangkan kedamaian.
Sungguh, laksana badai kebahagianku dan kebebasanku itu datang! namun
musuh-musuhku akan berpikir bahwa Si Setan meraung-raung di atas kepalakepala mereka.
Ya, kau pula, para temanku, akan menjadi ketakutan oleh kebijaksanaan
liarku; dan mungkin kau akan lari darinya, bersama musuh-musuhku pula.
Ah, seandainya aku tahu cara untuk menggoda kau untuk kembali, dengan
seruling-seruling gembala! Ah, seandainya singa betina kebijaksanaanku telah
belajar meraung sayang! Dan kita telah belajar banyak antar satu sama lainnya!
Kebijaksanaan liarku menjadi bunting di kesunyian gunung-gemunung; di
atas bebatuan kasar inilah ia melahirkan anak termudanya.
Sekarang ia lari seenaknya ke padang pasir gersang, mencari dan mencari
cari padang rumput yang lembut – Kebijaksanaan tuaku yang liar ini!
Di atas padang rumput lembut hati kau, para temanku! – di atas cinta kau, ia
suka untuk membaringkan anak kesayangannya!
Di Kepulauan Bahagia
Buah-buah kurma berjatuhan dari pohonnya, halus dan manis rasanya seraya
berjatuhan kulit-kulitnya merekah. Aku adalah angin utara bagi buah-buah kurma
yang matang.
Maka, seperti buah-buah kurma, doktrin-doktrinku berjatuhan untuk kau,
para temanku: minumlah sarinya sekarang dan makan daging manisnya! Ini
adalah musim gugur di sekeliling, dan langit bersih dan tengah hari.
Perhatikan, betapa sempurnanya di sekitar kita! Dan dari tengah-tengah
keberlimpahan ini, sangat menyenangkan untuk melihat samudera-samudera
jauh.
Sekala manusia berkata „Tuhan,‟ saat mereka menatap ke samuderasamudera jauh; namun sekarang aku mengajarkan kau untuk berkata „Superman‟.
Tuhan adalah dugaan; namun aku tidak mau dugaan kau itu meraih sesuatu
yang melebihi kemauan menciptakannya kau.
Dapatkah kau menciptakan Tuhan? – Maka, aku minta dengan sangat,
jangan berkata apa-apa mengenai segala tuhan-tuhan! namun kau bisa saja
menciptakan sang Superman.
Mungkin bukan kau, para saudaraku! namun kau bisa merubah diri kau
menjadi seperti para leluhur dan para turunan sang Superman: dan biar ini sebagai
ciptaan yng terindah kau!
Tuhan adalah dugaan: namun aku mau dugaan kau ini dibatasi oleh akal
pengertian.
Bisakah kau mengerti tuhan? – namun semoga kemauan pada kebenaran itu
bermakna ini bagi kau: bahwa segala sesuatunya musti dirubah menjadi
pengertian yang manusiawi, bukti yang manusiawi, pikiran sehat yang manusiawi!
Kau musti ikuti pikiran kau hingga akhir!
Dan apa yang kau namakan dunia itu harus diciptakan oleh kau: oleh akal
budi kau, citra kau, kemauan kau dan cinta kau! Dan sungguh, untuk
kebahagiaan kau, kau para manusia tercerahkan!
Dan bagaimana kau bisa berdaya untuk hidup tanpa harapan itu, kau para
manusia tercerahkan? Bukan di dalam yang tidak dapat dipahami bukan pula di
dalam yang tidak berdasarkan akal kau telah dilahirkan.
namun aku ingin untuk menyingkapkan seluruh isi hatiku pada kau, temantemanku: jika ada tuhan-tuhan, bagaimana aku bisa tahan untuk tidak menjadi
tuhan! Maka tidak ada tuhan-tuhan.
Ya, Aku telah menarik kesimpulan ini; namun sekarang kesimpulan ini
menarikku.
Tuhan adalah dugaan: namun siapa yang bisa minum rasa pahitnya dugaan
ini, tanpa kematian? Mustikah sang pencipta dirampas imannya, dan burung elang
yang membungbung ke ketinggian-ketinggian dirampas penerbangannya?
Tuhan adalah sebuah ide, yang membuat segala yang lurus menjadi
bengkok dan segala yang berdiri, pening. Apa? Sang waktu akan pergi, dan
segala yang sementara itu hanya dusta?
Untuk mengira bahwa ini adalah kegamangan dan sakit kepala bagi tubuh
manusia, bahkan muntahan bagi perut: sungguh, aku namakan ini penyakit
kepala bagi segala dugaan yang sedemikian. Aku namakan ini kejahatan dan kebencian pada manusia: segala ajaran
mengenai yang satu, dan yang penuh, yang tidak bergerak, yang serba mencukupi
dan yang abadi!
Segala yang abadi adalah – yaitu hanyalah citra semata! Dan para pujangga
terlalu banyak berdusta.
namun citra-citra dan kiasan-kiasan yang terbaik harus berbicara tentang
waktu dan kemenjadian: sebagai pujian dan pengabsahan bagi segala
kesementaraan.
Penciptaan – adalah sang maha penyelamat dari penderitaan, dan
meningkatkan kehidupan. namun agar sang pencipta itu eksis, ia sendiri butuh
kesengsaraan dan banyak perubahan-perubahan.
Ya, musti ada banyak kesekaratan pahit dalam kehidupan kau, kau para
pencipta! Lalu kau akan menjadi sang pengadvokasi dan pengabsah segala
kesementaraan.
Bagi sang pencipta ini sendiri untuk menjadi anak yang baru dilahirkan, ia
musti berikhtiar untuk menjadi bunda, dan menahan rasa sakit melahirkan.
Sungguh, aku telah pergi ke arah jalanku melalui beratus-ratus jiwa dan
melalui beratus-ratus ayunan bayi, dan rasa nyeri melahirkan. Aku banyak
mengucapkan selamat jalan, aku tahu bahwa kekecewaan makan waktu lama
untuk sembuh.
namun kemauanku yang pencipta, takdirku, memauinya demikian. Atau,
berseru dengan lebih jujur: kemauanku mau dengan pasti takdir yang sedemikian.
Semua perasaan menderita di dalam diriku, dan terpenjara: namun
kemauanku selalu datang padaku sebagai sang pembebasku dan sang pemberi
kesukacitaan.
Memaui adalah membebaskan: ini adalah doktrin sejatinya kemauan dan
kebebasan itu - maka Zarathustra mengajarkan kau.
Untuk tidak lagi memaui, untuk tidak lagi menilai, dan untuk tidak lagi
mencipta! Ah, semoga semua kelemahan ini selalu jauh dariku!
Dan dalam keinginan untuk mengetahui, aku hanya merasakan kemauanku
yang senang menghasilkan dan menjadikan; dan jika ada keluguan dalam
pengetahuanku ini sebab kemauan untuk menghasilkan itu ada di dalamnya.
Kemauan ini menggodaku untuk menjauhi Tuhan dan tuhan-tuhan; sebab
apa yang bisa diciptakan jika tuhan-tuhan itu – eksis!
namun ini mendorongku ke manusia selalu, sang kemauanku yang pencipta
yang penuh semangat itu, lalu mengayunkan palunya ke atas batu.
Ah, kau para manusia, aku melihat sebuah citra terbaring di dalam batu,
citra dari visiku! Ah, ia musti terbaring di dalam batu terkeras, batu terjelek!
Sekarang paluku gerang sangat menakutkan melawan penjara ini. Kepingankepingan berterbangan dari batu: apa ini artinya bagiku?
Aku mau menyelsaikannya: sebab sebuah bayangan datang padaku –
sesuatu yang paling hening, yang paling ringan dari segala benda sekala datang
padaku!
Sang keindahannya sang Superman datang padaku sebagai bayangan. Ah,
para saudaraku! Apa pulalah arti tuhan-tuhan bagiku sekarang!
Sang Pemurah
Para temanku, teman kau telah mendengar ujaran menyindir: „Coba lihat
Zarathustra! Tidakkah ia pergi ke antara kita seperti binatang di antara binatangbinatang?‟
namun lebih baik dikatakan seperti ini: „Manusia tercerahkan pergi ke antara
para manusuia seperti ke antara binatang-binatang.‟
Manusia tercerahkan menamakan para manusia lainnya: binatang berpipi
merah.
Bagaimana ini bisa terjadi pada manusia? Tidakkah ini sebab ia musti malu
selalu?
Oh para temanku! Maka berkata manusia tercerahkan ini: „Malu, malu, malu
– ini adalah sejarahnya manusia!‟
Dan oleh sebab itu orang mulia memutuskan untuk tidak membuat orang
lainnya malu: ia memutuskan untuk merasa malu di hadapan segala yang
sengsara.
Sungguh, aku tidak suka mereka, sang pemurah yang kebahagiaannya ada
dalam membelas kasihan: mereka pun kurang malu.
Jika aku harus menjadi sang pemurah aku sama sekali tidak mau dinamakan
sang pemurah; dan jika aku ini pemurah lebih baik ini datang dari jauh.
Dan aku lebih senang jika kepalaku ditutupi dan lari jauh sebelum aku
dikenali: dan aku mohon kau demikian pula, para temanku!
Semoga takdirku selalu memimpin mereka yang tidak menderita seperti kau
ke arah jalanku, yang dengan mereka aku bisa punya harapan dan makanan dan
madu bersama!
Sungguh, aku telah berbuat ini dan itu bagi yang menderita; namun selalu
tampaknya aku telah berbuat sesuatu lebih baik saat aku belajar untuk bersuka
diri dengan baik.
Sejak para manusia itu eksis, manusia kurang bisa menikmati dirinya: ini
sendirilah, para saudaraku, dosa asal itu!
Dan saat kita telah belajar dengan lebih baik untuk menikmati diri kita,
maka alangkah baiknya jika kita juga belajar meninggalkan segala tipu muslihat
dan cara merugikan orang lain.
Maka aku mencuci bersih tanganku sehabis membantu yang menderita,
dengan demikian aku basuh jiwaku bersih pula.
saat melihat orang yang sengsara itu sengsara, lalu aku malu sebab
aibnya; dan tatkala aku tolong ia, lalu aku melukakan keangkuhannya secara
menyedihkan.
Kewajiban-kewajiban besar tidak membuat manusia berterima kasih, malah
membuat ia mendendam; dan jika kebaikan-kebaikan kecil tidak dilupakan, ini
akan menjadi ulat yang menggerogoti.
„Berhati-hati dalam menerima! Hormat dengan menerima!‟ – maka aku
anjurkan mereka yang tidak punya apa-apa untuk diberi.
Aku, namun, sang pemberi: dengan senang hati aku memberi laksana
teman pada teman-temannya. Namun, para manusia asing, dan manusia miskin
boleh memetik buah dari pohonku: ini tidak menyebabkan malu besar.
Para pengemis, namun, harus dibasmi! Sunguh, sangat menjengkelkan
untuk memberi dan juga mejengkelkan untuk tidak memberi pada mereka.
Begitu juga juga dengan para pendosa dan nurani-nurani buruk! Percayalah
padaku, para temanku: sengatan nurani mengajarkan seseorang untuk menyengat.
Nmun, yang terburuk dari segalanya adalah pikiran-pikiran kerdil. Sungguh,
lebih baik untuk berbuat kejahatan dibandingkan berpikir kerdil!
Untuk lebih tentu, kau berkata: „Gembira dalam kejahatan-kejahatan kecil,
luangkan untuk kita satu kejahatan besar.‟ namun di sini seseorang tidak musti
mengharap untuk dikecualikan.
Perbuatan jahat itu seperti bisul: gatal, mendongkolkan dan pecah terbuka –
berbicara dengan hormat.
„Perhatikan, aku adalah penyakit‟ – maka berseru si perbuatan jahat; ini
adalah kejujurannya.
namun pikiran-pikiran kerdil itu seperti kanker: merangkak dan
bersembunyi, mau muncul tidak di mana pun jua – sehingga seluruh badan
membusuk dan layu oleh kanker-kanker kecil ini.
namun ia yang kemasukan setan aku bisikan anjuran ini ke telinga kau:
„Lebih baik bagi kau untuk mengatur setan kau! Bagi kau masih ada jalan ke
kemegahan!‟
Ah, para saudaraku! Seseorang tahu sebegitu banyaknya mengenai setiap
orang! Dan sebegitu banyak manusia yang telah menjadi jelas ke kita tetap saja
tidak mudah ditembus.
Adalah sangat berat untuk hidup di tengah-tengah para manusia, sebab
menjaga kemembisuan sangatlah berat.
Dan bukan pada yang kita tidak senangi kita sangat tidak adil, namun pada
yang kita sama sekali peduli.
namun jika kau punya teman yang sengsara, jadilah tempat peristirahatan
bagi kesengsaraannya, tempat peristirahatan seperti ranjang keras, ranjang kemah:
maka kau akan melayaninya dengan baik.
Dan saat teman kau berbuat kesalahan ke kau, lalu berkatalah : „Aku
maafkan kau apa yang kau telah kerjakan padaku; namun kau telah kerjakan ini
terhadap diri kau sendiri – bagaimana aku bisa maafkan ini?‟
Begitulah seruan segala cinta megah: dia bahkan mengatasi maaf dan belas
kasihan.
Seseorang musti melekat erat ke hatinya; sebab jika seseorang melepaskan
hatinya, dengan cepatnya seseorang akan kehilangan kepalanya, pula!
Duh, dimanakah di dunia ini pernah terjadi suatu kebodohan lebih besar
selain dibandingkan kebodohan si pemurah? Astaga, apa yang menyebabkan lebih
banyak penderitaan di dunia ini selain dibandingkan kebodohan-kebodohan si
pemurah?
Terkutuklah segala pecinta yang tidak bisa mengatasi belas kasihan!
Lalu berkata Setan padaku sekala: „Bahkan Tuhan mempunyai Nerakanya:
ini adalah cintanya pada manusia.‟
Dan baru-baru ini aku mendengar ia berkata kata-kata ini: „Tuhan sudah
mati; Tuhan sudah mati sebab belas kasihannya pada manusia!‟
Maka waspadalah terhadap belas kasihan: sebab akan datang mendung
berat ke manusia! Sungguh, aku mengerti tanda-tanda cuaca!
namun catat, pula, kata-kata ini: Segala cinta megah melebihi belas kasihan:
sebab ia mau – menciptakan apa yang ia cintai!
„Aku persembahkan diriku pada yang aku cintai, dan tetanggaku sebagai
diriku‟ – ini adalah bahasa semua para pencipta.
Semua para pencipta, namun, adalah keras.
Perempuan Tua dan Muda
„Mengapa kau menyelinap sembunyi-sembunyi di senja kala, Zarathustra? Dan
apa yang kau sembunyikan dalam jubah kau?
Apakah ini harta karun yang seseorang telah berikan pada kau? Ataukah
bayi yang telah kau lahirkan? Atau apa kau sedang melakukan misi mencuri, kau
teman penjahat?‟
Sungguh, saudaraku, seru Zarathustra. ini adalah harta karun yang telah
diberikan padaku: ini adalah kebenaran kecil yang aku bawa.
namun ia nakal seperti anak kecil, dan jika aku tidak tutup mulutnya ia akan
menjerit sangat keras.
Hari ini seraya aku berjalan seorang diri, pada waktu matahari terbenam,
seorang perempuan tua datang mendekatiku, dan berkata demikian ke jiwaku:
„Zarathustra juga banyak berbicara pada kita perempuan, namun ia tidak
pernah berbicara pada kita mengenai perempuan.‟
Dan aku menjawab: „Seseorang hanya berbicara mengenai perempuan pada
lelaki‟.
„Berserulah padaku tentang perempuan‟, katanya; „Aku cukup tua dan
segera akan melupakan semua ini.‟
Dan aku penuhi permintaan perempuan tua ini dan berseru padanya
demikian:
Segalanya mengenai perempuan adalah teka-teki, dan segalanya mengenai
perempuan punya satu jawaban: ini dinamakan bunting.
Laki-laki bagi perempuan itu berarti alat: tujuannya selalunya adalah anak.
namun apa sih perempuan itu bagi lelaki?
Dua hal yang lelaki sejati inginkan: bahaya dan hiburan. Maka ia
menginginkan perempuan, perempuan sebagai hiburan yang paling berbahaya.
Lelaki musti dilatih untuk perang, sedangkan perempuan untuk rekreasinya
sang satria: kalu tidak begitu itu bodoh namanya.
Buah yang terlalu manis, tidak disukai oleh sang satria. Maka ia suka
perempuan; bahkan perempuan yang termanis pun tetap saja pahit rasanya.
Perempuan lebih mengerti tentang anak dibandingkan lelaki, namun lelaki lebih
kekanak-kanakan dibandingkan perempuan.
Di dalam diri lelaki yang sejati bersembunyi seorang anak: ia ingin main.
Mari kau para perempuan, temukanlah keanakan dalam diri lelaki!
Biar perempuan itu menjadi barang mainan, halus dan murni laksana batu
permata berharga disinari kebajikan-kebajikan dunia yang belum lagi ada.
Biar cahaya terang bintang berkilauan dalam cinta kau! Biar harapan kau
berkata: „Semoga aku melahirkan sang Superman!‟
Biar ada keberanian di dalam cinta kau! Dengan cinta kau kau musti serang
ia yang menyulut rasa takut kau.
Biar ada rasa hormat dalam cinta kau! Sedikit perempuan yang akan
mengerti kehormatan, jika tidak. Biar kehormatan kau itu menjadi: selalu lebih
mencintai dibandingkan yang mencintai kau, jangan sampai ketinggalan.
Biar lelaki takut pada perempuan saat perempuan ini mencinta. Lalu
perempuan ini akan membuat segala pengorbanan, dan segalanya ia anggap tidak
berharga.
Biar lelaki takut pada perempuan saat perempuan ini membenci: sebab
dasar jiwa lelaki itu adalah jahat, sedangkan perempuan adalah buruk.
Siapakah yang sangat dibenci perempuan? – Maka berkata besi pada
magnet: „Aku sangat membenci kau, sebab kau menarikku, namun tidak cukup
kuat untuk menyeretku pada kau.‟
Kebahagiaan lelaki: Aku mau. Kebahagiaan perempuan: Laki-laki itu mau.
„Perhatikan, sekarang dunia menjadi sempurna!‟ – pikir setiap perempuan
saat perempuan itu patuh dengan sepenuh cintanya.
Perempuan itu harus patuh dan menemukan kedalamannya bagi
permukaannya. Jiwa perempuan adalah permukaan, berubah-ubah, selaput tipis
yang bergejolak di atas air dangkal.
namun jiwa lelaki adalah dalam, alirannya menyembur deras dari guha-guha
bawah tanah: perempuan merasakan kekuatannya namun tidak mengerti.
Lalu perempuan tua ini menjawab: „Zarathustra telah banyak berkata akan
segala yang baik, khususnya bagi mereka yang cukup muda untuk ini.
„Janggal, Zarathustra tahu hanya sedikit tentang perempuan, namun ia benar
mengenai mereka! Apakah, sebab dengan perempuan, tidak ada sesuatu yang
tidak mungkin?
„Dan sekarang terimalah satu kebenaran kecil ini sebagai rasa
terimakasihku! Aku cukup tua untuk ini!
„Bungkuslah dan tutup mulutnya: jika tidak demikan akan berteriak sangat
keras, kebenaran kecil ini.‟
„Berikan aku kebenaran kecil kau itu, perempuan!‟ aku berkata. Lalu
berkatalah perempuan tua ini:
„Kau mengunjungi perempuan? Jangan lupa cemeti kau!‟
Gigitan Ular Beludak
Pada suatu hari Zarathustra tertidur di bawah pohon kurma, sebab panas dan
menaruh lengannya ke atas mukanya. Lalu seekor ular beludak datang dan
menggigit lehernya, dan Zarathustra berteriak kesakitan. saat ia mengangkat
lengannya dari mukanya, ia melihat ular ini: ia mengenali mata Zarathustra,
mundur menggeliat mencoba untuk melarikan diri. „Jangan pergi,‟ kata
Zarathustra; „kau belum lagi menerima rasa syukurku!‟ Kau telah
membangunkanku di waktu yang tepat, perjalananku masih panjang. „Perjalanan
kau pendek,‟ ujar ular beludak sedih, „bisaku mematikan.‟ Zarathustra tersenyum.
„Bilakah naga pernah mati oleh bisa ular?‟ katanya. „namun ambilah kembali bisa
kau ini! Kau tidak cukup kaya untuk diberikan padaku!‟ Lalu ular ini turun
kembali ke lehernya dan menjilat lukanya.
Tatkala Zarathustra menceritakan ini ke para penganutnya, mereka
bertanya: „Dan apakah, O Zarathustra, moral dari cerita ini?‟ Dan Zarathustra
menjawab pertanyaan ini demikian:
Si baik dan si adil menamakanku sang penghancur moral: ceritaku tidak
bermoral.
Namun, saat kau punya musuh, jangan membalas kejahatannya dengan
kebaikan: ini hanya akan membuatnya malu.namun buktikanlah bahwa ia telah
berbuat sesuatu kebaikan pada kau.
Dan lebih baik marah dibandingkan membuat malu seseorang! Dan saat kau
dikutuk, aku tidak suka kau jika kau lalu ingin memberkahinya. Malah kutuklah
kembali walau sedikit!
Dan jika ketidakadilan besar dilakukan terhadap kau, lalu cepat kerjakan
lima ketidakadilan kecil di samping itu. Sangat mengerikan untuk melihat, ia yang
seorang diri mengemban ketidakadilan.
Tahukah kau ini? Ketidakadilan yang berbagi adalah setengah keadilan. Dan
ia yang bisa mengembannya, harus merasakan ketidakadilan ke atas dirinya
sendiri!
Dendam walau kecil itu lebih manusiawi dibandingkan tidak mendendam sama
sekali. Dan jika hukuman ini bukan pula suatu hak dan kehormatan bagi musuh
kau, lalu aku tidak suka hukuman kau itu.
Adalah lebih mulia untuk menyatakan diri kau salah dibandingkan mengakui kau
tetap benar, khususnya saat kau memang benar. Hanya kau musti cukup kaya
untuk ini.
Aku tidak suka keadilan dingin kau; dari mata para hakim kau itu, selalu
ada pandangan mata algojo dan besi dinginnya.
Katakan padaku, dimana kita dapat menemukan keadilan yaitu cinta yang
bisa melihat?
Maka ciptakanlah untukku, cinta yang tidak saja bisa mengemban hukuman
namun juga segala dosa-sosa!
Maka ciptakanlah untukku, keadilan yang membebaskan setiap manusia
kecuali para hakim!
Maukah kau belajar ini, pula? Bagi ia yang ingin untuk menjadi adil dari
dalam hatinya, bahkan dusta pun menjadi filantropi.
namun bagaimana aku bisa adil dari dalam hati? Bagaimana aku bisa
memberi pada setiap manusia apa yang sudah kepunyaannya? Biar ini mencukupi
bagiku: Aku memberi pada setiap manusia kepunyaanku.
Akhirnya, para saudaraku, jagalah diri kau untuk berbuat salah pada sang
petapa! Bagaimana sang petapa itu bisa lupa? Bagaimana ia bisa membalas?
Bagaikan sumur dalam sang petapa itu. Adalah mudah untuk melempar
batu kedalamnya; namun , katakanlah padaku, siapa yang bisa mengambilnya
kembali?
Jagalah diri kau agar tidak melukai sang petapa! namun jika kau telah
melakukannya, baiklah kemudian, bunuhlah ia pula!
Pernikahan dan Anak Turunan
Aku punya satu pertanyaan hanya bagi kau seorang, wahai saudaraku: Aku
lemparkan pertanyaan ini seperti bandul pemberat ke dalam jiwa kau, agar aku
tahu seberapa dalam jiwa kau itu.
Kau muda, dan menghasrati pernikahan dan anak turunan. namun aku tanya
kau: apakah kau lelaki yang berhak menghasrati anak?
Apakah kau sang pemenang, sang penakluk diri sendiri, sang penguasa
emosi kau, dewa kebajikan-kebajikan kau? Maka akau tanya kau.
Ataukah kebinatangan kau dan kebutuhan kau bicara dari dalam hasrat
kau? Ataukah kesepian kau? Ataukah kerancuan pada diri kau?
Aku ingin kejayan dan kebebasan kau merindukan anak. Kau musti
membangun monumen-monumen hidup bagi kejayaan dan kebebasan kau.
Kau harus membangun melebihi diri kau, namun terlebih dahulu kau harus
membangun diri kau sendiri sebuah badan dan jiwa yang persegi empat.
Tidak saja kau harus merebak ke depan, namun juga ke atas! Demi ini,
semoga taman perkawinan kau membantu kau!
Kau musti mencipta sebuah badan yang lebih tinggi, gerak mula, roda
swaputar – kau harus mencipta sang pencipta.
Pernikahan: ini adalah apa yang aku namakan dua kemauan untuk mencipta
satu kemauan melebihi mereka yang menciptakannya. Saling hormat ke satu sama
lainnya, seperti mereka yang menjalankan kemauan itu – aku namakan ini
pernikahan.
Biar ini menjadi makna dan kebenarannya pernikahan kau itu. namun apa
yang dinamakan pernikahan oleh manusia kebanyakan, manusia yang mubazir
itu– ah, apa yang harus aku namakan?
Ah, kemiskinan jiwa dalam persekutuan! Ah, kekotoran jiwa dalam
persekutuan! Ah, kesantaian yang menyedihkan dalam persekutuan!
Mereka menamakannya pernikahan: dan mereka berkata pernikahan mereka
datang dari Surga!
Wah, aku tidak suka ini, Surga manusia yang mubazir! Tidak, aku tidak
suka mereka, binatang-binatang ini terjerat oleh kesenangan untuk membanting
tulang!
Dan biarlah Tuhan yang timpang kesana-sini menjauh dariku, memberkahi
sesiapa saja yang belum ia jodohkan!
Jangan tertawa kepernikahan seperti ini! Anak mana yang tidak punya
alasan untuk menangis akan kedua orang tuanya?
Lelaki ini tampaknya matang, dan berharga bagi makna dunia: namun saat
aku melihat istrinya, dunia tampaknya bagiku seperti tempat bagi orang-orang
sinting.
Ya, aku harap bumi bergetar dengan ledakan saat santo dan angsa saling
berpasangan bersama.
Lelaki ini bersedia mencari kebenaran seperti pahlawan, dan akhirnya
menangkap dusta manis kecil. Ia menamakan ini pernikahnnya. Lelaki ini berhati-hati dalam urusannya dan memilah-milih pilihannya.
namun sekali gus ia merusak hubungannya selamanya: ia menamakan ini
pernikahnnya
Lelaki lainnya lagi mencari dayang yang mempunyai kebajikan-kebajikan
bidadari. namun serentak ia menjadi dayang perempuan ini, dan sekarang ia mau
menjadi bidadari pula.
Aku telah mendapatkan bahwa semua para pembeli itu berhati-hati, dan
mereka semua punya mata tajam. namun bahkan lelaki yang punya mata tertajam
pun membeli istrinya saat masih dibungkus.
Banyak kebodohan-kebodohan singkat – ini yang kau namakan cinta itu.
Dan pernikahan kau ini mengakhiri kebodohan-kebodohan singkat itu menjadi
kedunguan yang berkepanjangan.
Cinta kau bagi perempuan dan cinta perempuan bagi lelaki: ah, apakah itu
hanya sekedar belas kasihan pada penderitaan dan pada tuhan-tuhan Yang
terselubung! namun pada umumnya dua binatang itu saling mengerti satu sama
lainnya.
namun bahkan cinta terbaik kau pun hanyalah gairah palsu dan gereget yang
menyakitkan. Itu adalah obor yang menerangi jalan kau ke arah lebih tinggi.
Suatu saat kau harus mencintai melebihi diri kau! Maka terlebih dahulu
belajarlah untuk mencintai! Demi ini kau musti minum rasa pahitnya cinta kau.
Ada rasa pahit bahkan dalam cinta yang terbaik sekali pun: maka ini
merangsang rindu ke sang Superman, maka ini merangsang dahaga dalam diri
kau, sang pencipta!
Dahaganya sang pencipta, anak panah, dan kerinduan ke sang Superman:
katakanlah padaku, saudaraku, apakah ini kemauan kau pada pernikahan?
Aku namakan kemauan dan pernikahan serupa ini, suci.
Berhala Baru
Masih banyak rakyat dan gembalaan di mana-mana, namun tidak dengan kita, para
saudaraku: di sini ada negara-negara.
Negara? Apa sih ini? Ayo! Sekarang buka telinga kau, sebab sekarang aku
mau serukan pada kau tentang kematiannya rakyat.
Negara adalah sesuatu yang terdingin dari segala monster-monster dingin.
Dengan dinginnya, pula, dia membohong; dan kebohongan ini merangkak diamdiam dari mulutnya; „Aku negara, aku rakyat.‟
Ini adalah kebohongan! Ini adalah para pencipta yang menciptakan rakyatrakyat dan menggantungkan sebuah keyakinan dan satu kecintaan ke atas
mereka: lalu mereka melayani kehidupan.
Itu adalah kaum perusak yang menyiapkan perangkap bagi orang banyak:
mereka menggantungkan sebilah pedang dan beratus-ratus keinginan-keinginan
di atas kepala mereka.
Di mana rakyat itu masih ada, di sana negara tidak dimengerti dan rakyat
membencinya bak mata jahat dan berdosa melawan hukum dan adat istiadat.
Tanda ini aku berikan pada kau: setiap orang berbicara tentang bahasa
kebaikan dan kejahatannya sendiri: dan tetangganya tidak mengerti bahasa ini.
Dia menciptakan bahasa ini bagi dirinya sendiri dalam bentuk adat istiadat mau
pun hukum.
namun negara berbohong dalam segala bahasa-bahasa kebaikan dan
kejahatan; dan apa saja yang dikatakannya, ini kebohongan – dan apa saja yang
dia miliki, ini yang dia telah curi.
Segala sesuatu mengenainya adalah palsu; dia menggigit dengan gigi-gigi
curiannya. Bahkan perutnya pun palsu pula.
Kerancuan akan bahasa kebaikan dan kejahatan; ini adalah tanda yang aku
berikan pada kau sebagai tanda sebuah negara. Sungguh, ini adalah tanda yang
menandakan kemauan pada kematian! Sungguh, ini mengundang para
pengkhotbah kematian!
Manusia kebanyakan terlahirkan: negara dibentuk untuk manusia yang
tidak berguna!
Lihat saja bagaimana dia membujuk mereka, si manusia kebanyakan!
Bagaimana dia menelan mereka, dan mengunyah mereka, mengunyah kembali
mereka!
„Di dunia ini tidak ada yang lebih megah selain aku: itu adalah aku, sang
\pengatur jari Tuhan‟ – maka monster-monster ini meraung. Tidak saja si telinga
tuli dan si cadok bertekuk lutut di hadapannya!
Ah, dia membisikan dusta-dusta yang menyedihkan pada kau pula, kau para
jiwa megah! Ah, dia mendapatkan hati kau yang berlimpahan yang ingin
dihambur-hamburkan oleh mereka!
Ya, dia menemukan kau pula, kau para penakluk Tuhan purba! Kau tumbuh
letih dalam pertempuran dan sekarang keletihan kau melayani si berhala baru ini!
Dia ingin menjejerkan para pahlawan dan para manusia terhormat di
sekelilingnya, berhala baru ini! Dia senang menjemur memandikan dirinya di
sinar terang kebaikan hati – monster dingin ini!Dia akan memberikan kau apa saja jika kau puja dia, berhala baru ini: maka
dia membeli bagi dirinya semarak kebajikan kau dan pandangan angkuh mata
kau.
Dia ingin mempergunakan kau untuk membujuk manusia kebanyakan. Ya,
suatu upaya kecerdikan jahat disini direkayasakan, kuda kematian yang
bergemerincingan dengan solek hiasan kehormatan agung!‟
Ya, kematian bagi semua telah direkayasakan di sini, yang mengagungkan
dirinya sebagai kehidupan: sungguh, melayani dengan sepenuh hati ke para
pengkhotbah kematian!
Aku namakan ini negara di mana setiap manusia, baik dan buruk, adalah si
peminum racun: negara, di mana semuanya kehilangan dirinya, si baik dan si
buruk: negara, dimana bunuh diri secara lambat dan bersama itu dinamakan –
kehidupan.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka mencuri karya-karya para
pencipta dan harta-harta manusia bijaksana bagi diri mereka sendiri: mereka
menamakan barang curian ini budaya – dan segalanya menjadi sakit dan bencana
bagi mereka.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka selalu saja sakit, mereka
memuntahkan air empedu mereka dan menamakannya koran. Mereka menelan
satu sama lainnya walau mereka tidak dapat mencernanya.
Lihat saja ke manusia yang mubazir ini! Mereka mempunyai kekayaan
namun membuat diri mereka lebih miskin dengan itu. Mereka mencari-cri
kekuatan, khususnya kekuatan pengungkit, duit banyak – mereka rakyat lemah!
Lihat mereka memanjat, kera-kera gesit ini! Mereka memanjat di atas kepala
satu sama lainnya lalu baku hantam ke lumpur dan ngarai maha dalam.
Mereka semua berjuang menuju ke singgasana: ini adalah kegilan mereka –
seolah-olah kebahagiaan itu duduk di atas singgasana! Kerap kali kotoran duduk
di atas singgasana – dan kerap kali pula singgasana duduk di atas kotoran.
Menurutku mereka tampaknya seperti orang gila dan kera-kera pemanjat
garang, penuh nafsu. Berhala mereka, berbau tidak menyedapkan bagiku, monster
dingin: mereka semuanya, semua para pemuja ini, bagiku berbau tidak sedap.
Para saudaraku, maukah kau tercekik mati lemas di dalam asap mulut-mulut
binatang dan selera nafsu makan mereka? Lebih baik pecahkan jendela dan
melompat ke udara terbuka.
Hindarilah bau busuk ini! Tinggalkanlah cara pemujaan para manusia tidak
berguna ini!
Hindarilah bau busuk ini! Tinggalkanlah uap-uap korbanan manusia!
Dunia masih tetap terbuka bagi para jiwa megah. Banyak tempat-tempat
yang masih kosong - bagi para petapa dan petapa berpasangan berbau samudera
ketenangan yang berhembus di sekeliling mereka.
Satu kehidupan bebas masih terbuka bagi jiwa megah. Sungguh, ia yang
punya sedikit sangat sedikit menjadi kalap: pujilah kemiskinan yang bersahaja!
Hanya di sana, di mana negara itu runtuh, manusia yang tidak mubasir
bermula: tembangan manusia sederhana, melodi yang khas dan abadi, bermula.
Di sana, di mana negara itu runtuh – cobalah lihat di sana itu, para
saudaraku. Tidakkah kau melihatnya: pelangi dan jembatan-jembatan ke sang
Superman?
Lalat-lalat di Pasar
Larilah, temanku ke tempat penyendirian kau! Aku melihat kau telah tertulikan
oleh teriakan sang manusia megah dan tersengat oleh teriakan manusia kecil.
Sangat mengagumkan, hutan dan batu karang tahu untuk membisu dengan
kau. Jadilah seperti pohon lagi, pohon rimbun bercabang-cabang yang kau cintai
itu: membisu dan penuh perhatian condong ke muka samudera.
Di mana tempat penyendirian itu berakhir, di sana pasar bermula; dan di
mana pasar bermula, di sana pun mulai teriakan-teriakan para aktor megah dan
dengungan lalat-lalat berbisa.
Di dunia ini bahkan sesuatu yang terbaik pun tidak berharga tanpa ia yang
mewakilinya: rakyat menamakan para perantara ini „orang besar‟.
Rakyat mengerti sedikit akan apa arti besar itu, yakni: agen pencipta. namun
mereka mempunyai selera bagi semua para perantara dan para aktor dari apa-apa
yang besar saja.
Dunia mengelilingi sang pencipta nilai-nilai baru: tidak dirasakan ini
berkeliling. namun rakyat dan keagungan mengelilingi sang aktor: ini adalah
„jalannya dunia‟.
Sang aktor mempunyai spirit namun spirit yang berhati nurani kecil. Ia selalu
percaya pada kepercayaan yang ia dengan segala tenaga hasilkan – menciptakan
kepercayaan - dalam dirinya!
Esok ia akan punya kepercayaan baru dan lusa sesuatu yang lebih baru lagi.
Ia cepat mengerti, seperti rakyat yang bertabiat tidak terduga-duga.
Untuk mengacau baginya ini berarti: untuk membuktikan. Untuk mengamuk
– baginya ini bermakna: untuk meyakinkan. Dan darah dianggap olehya sebagai
cara perdebatan yang terbaik.
Kebenaran yang masuk menembus hanya ke telinga-telinga halus ia
namakan kebohongan dan bukan apa-apa. Sungguh, ia percaya hanya pada tuhantuhan yang membuat suara bising di dunia!
Pasar penuh dengan para badud berisik – dan rakyat mengagungkan para
manusia megah ini! Mereka adalah para pahlawan waktu ini!
namun waktu memburu mereka: maka mereka memburu kau. Dan dari kau
pula mereka membutuhkan kata Ya atau Tidak. Duh! maukah kau menaruh kursi
kau di antara Setuju dan Tidaksetuju.
Jangan menjadi iri, kau para pecinta kebenaran, pada para manusia kaku dan
penindas ini! Kebenaran namun tidak pernah ada di tangan manusia kaku.
Kembalilah ke ketenteraman kau sebab manusia kasar ini: hanyakah di
pasar seseorang menyerang dengan kata Ya? atau Tidak?
Semua sumur-sumur yang dalam lambat mengalami sesuatu: mereka musti
menunggu lama hingga mereka tahu apa yang jatuh ke dalam kedalaman mereka.
Sesuatu yang besar itu terjadi jauh dari pasar dan dari keagungan: para
pencipta nilai-nilai baru selalu hidup jauh dari pasar dan dari keagungan.Larilah, temanku, ke tempat penyendirian kau: aku melihat kau disengat
habis oleh lalat-lalat berbisa. Larilah, temanku, ke dimana, angin keras dan kuat
bertiup!
Larilah ke tempat penyendirian kau. Kau telah hidup terlalu dekat dengan
para manusia kerdil dan para manusia yang memelas. Larilah dari balas dendam
tersembunyi mereka! Terhadap kau mereka bukan apa-apa hanya balas dendam
belaka.
Tidak lagi mengangkat lengan kau melawan mereka! Mereka sangat banyak,
dan bukan takdir kau untuk menjadi pembasmi lalat.
Tidak terbilang jumlah mereka para manusia kerdil dan manusia yang
memelas ini; tetesan-tetesan hujan dan semak-semak liar menjadi penyebab
kehancuran kebanyak bangunan-bangunan kokoh.
Kau bukan batu, namun tidak terkirakan banyaknya tetesan-tetesan ini
membuat kau cekung. Kau akan patah dan hancur lebur berkeping-keping melalui
banyaknya tetesan-tetesan ini.
Aku melihat kau kelelahan sebab lalat-lalat berbisa, aku melihat kau
tercabik-cabik ratusan darah percikan; dan keangkuhan kau bahkan menolak
untuk menjadi marah.
Mereka menginginkan darah kau, dengan segala rasa lugas, jiwa mereka
yang tidak punya darah haus akan darah – lalu mereka menyengat dengan rasa
lugas.
namun kau, sangat dalam, kau menderita sangat dalamnya, bahkan dari luka
kecil pun; dan sebelum kau bisa sembuh, ulat berbisa yang sama ini sekali lagi
merayap di atas lengan kau.
Kau terlalu angkuh untuk membinasakan mahluk bermulut madu ini. namun
jaga agar ini tidak menjadi takdir kau untuk memikul semua bisa-bisa
ketidakadilan mereka!
Mereka mendengung di sekeliling kau bahkan dengan puji-pujian mereka:
puji-pujian mereka sangat menjengkelkan. Mereka mau dekat kulit badan kau dan
darah kau.
Mereka memuji kau, seperti memuji tuhan atau setan; mereka merengekrengek di hadapan kau, seperti dihdapan tuhan atau setan. Apa arti ini semua!
Meraka adalah penjilat dan perengek, tidak lebih dari ini.
Dan kerap kali juga mereka lembut pada kau. namun ini adalah keberhatihatiannya para pengecut. Ya, si pengecut sangat berhati-hati sekali!
Mereka sangat memikirkan kau dengan jiwa picik mereka – maka kau selalu
dicurigai mereka. Segala yang dipikir-pikir sebegitu banyaknya akhirnya mengira
curiga.
Mereka mendera kau sebab semua kebajikan-kebajikan kau. Mereka
memaafkan kau dari dalam lubuk hati yang terdalam mereka – kesalahankesalahan kau belaka.
sebab kau sangat lembut dan berpikiran jujur, kau berkata: „Mereka tidak
harus disalahkan akan kekerdilan eksistensi mereka.‟ namun jiwa kerdil mereka
berpikir: „semua eksistensi yang megah pantas dihujat‟
Bahkan tatkala kau lembut ke mereka, mereka tetap saja merasakan kau
menghina mereka; lalu mereka membalas kelembutan kau dengan kejahilan
tersembunyi.Keangkuhan kau yang membisu selalu menyakitkan selera mereka; mereka
gembira jika kau cukup merendah diri berulah tidak karuan.
Apa yang kita ketahui dalam diri seseorang, kita juga menjengkelkanya.
Maka waspadalah ke para manusia rendah!
Di hadapan kau, mereka merasa kecil, dan kerendahan hati mereka bersinar
dan berkilauan melawan kau dalam pembalasan dendam tersembunyi mereka.
Tidakkah kau melihat bagaimana kerapnya mereka membisu saat kau
datangi mereka, dan bagaimana tenaga mereka melarikan diri dari mereka serupa
asap dari api yang akan mati?
Ya, temanku, kau adalah nurani buruk bagi para tetanggga kau: sebab
mereka tidak berharga bagi kau. Maka mereka membenci kau, dan mau dengan
sepenuh hati menghisap darah kau.
Tetangga kau itu selalunya adalah lalat-lalat berbisa: bahwa kau ini megah,
ini sendiri musti membuat mereka menjadi lebih seperti lalat dan lebih berbisa
lagi.
Larilah, temanku, ke tempat penyendirian kau dan ke dimana udara segar,
keras berhembus! Bukan takdir kau jadi pembasmi lalat.
Para Pengkhotbah Kematian
Ada para pengkhotbah kematian: dan dunia penuh dengan mereka yang
keberangkatan dari hidup ini musti dikhotbahkan.
Dunia ini penuh dengan orang yang tidak berguna, hidup telah dikorupsikan
oleh si orang kebanyakan. Semoga mereka terpikat ke „kehidupan abadi‟ di luar
hidup ini!
„Para manusia kuning atau hitam: ini nama bagi para pengkhotbah kematian
itu. namun aku mau perlihatkan pada kau pula dalam warna-warna lain.
Ada mahluk-mahluk yang menakutkan yang membawa binatang pencari
mangsa bersama dalam dirinya, dan tidak ada pilihan lain kecuali mengumbar
nafsu dan menyiksa diri. Bahkan nafsu-nafsu mereka adalah penyiksaan diri.
Mereka belum lagi menjadi manusia, mahluk-mahluk menakutkan ini. Biar
mereka mengkhotbahkan keberangkatan dari hidup ini dan berangkatlah mereka
sendiri!
Mereka para jiwa yang sia-sia: mereka nyaris belum dilahirkan sebelum
mereka mati, dan rindu akan doktrin-doktrin keletihan dan penafian.
Mereka ingin mati, dan kita musti setuju akan keinginan mereka itu! Mari
kita berjaga-jaga untuk tidak membangunkan para manusia mati ini, dan tidak
menghancurkan peti-peti mati hidup ini!
Mereka berpapasan dengan si lumpuh atau orang tua atau mayat; segera
mereka berkata „Hidup tersangkal!‟
namun mereka hanyalah yang tersangkal, dan mata mereka hanya melihat ke
satu aspek eksistensi.
Terselubung dalam kesedihan yang tebal, dan rindu akan musibah-musibah
kecil yang membawa kematian: maka mereka menunggu dan menggeram.
Atau: mereka merenggut gula-gula dan dalam berbuat demikian mereka
mengejek kekanak-kanakan mereka: mereka melekatkan diri mereka ke jerami
kehidupan dan mengejek bahwa mereka masih melekat ke jerami ini.
Kebijaksanaan mereka adalah: „Ia yang terus hidup adalah dungu, namun kita
adalah kedunguan ini! Dan tepatnya ini adalah yang terdungu dalam kehidupan!‟
„Hidup adalah penderitaan belaka‟ – maka yang lainnya dari mereka
berkata, dan mereka tidak berdusta: maka buktikan bahwa kau berhenti hidup!
Maka buktikanlah bahwa hidup yang penuh penderitaan belaka ini berhenti!
Dan biarkan ajaran kebajikan kau itu menjadi: „Kau musti membunuh diri
kau sendiri! Maka kau musti menipu diri sendiri!‟
„Nafsu adalah dosa‟ – maka berkata beberapa dari mereka yang
mengkhotbahkan kematian – „mari kita berpisah dan tidak melahirkan anak!‟
„Memberi kelahiran itu melelahkan‟ – kata beberapa dari mereka –
„mengapa kita musti terus memberi kelahiran? Seseorang melahirkan anak-anak
yang tidak bahagia belaka!‟ Dan mereka pun akan menjadi para pengkhotbah
kematian nantinya.
„Belas kasihan adalah penting‟ – kata mereka yang lainnya. „Ambil apa
yang aku punya! Ambil aku apa adanya! Semakin sedikit aku terikat pada
kehidupan ini!Jika mereka benar-benar penuh dengan belas kasihan lalu mereka akan
mencoba untuk membuat tetangga mereka bosan hidup. Menjadi jahat - ini akan
menjadi kebaikan yang sejatinya mereka.
namun mereka mau lari dari kehidupan: perdulikah mereka itu jika mereka
mengikat orang lain lebih erat lagi dengan rantai-rantai dan hadiah-hadiah
mereka?
Dan kau pula, dimana hidup kau itu adalah pekerjaan berat dan keresahan
melulu: tidakkah kau sangat letih akan kehidupan? Tidakkah kau sangat matang
bagi sabda kematian?
Kau semua, yang mengaggap kerja keras ini amat berharga, cepat, baru, dan
janggal, kau memperlakukan dirimu dengan jelek, kerajinan kau adalah pelarian
dan kemauan untuk melupakan diri kau.
Jika kau lebih percaya pada kehidupan, lalu kau akan mencurahkan diri kau
sedikit ke detik ini. namun kau tidak cukup punya kesanggupan untuk menunggu –
atau bahkan bermalas-malasan!
Dimana-mana bergaung suara-suara mereka yang mengkhotbahkan
kematian: dan dunia ini penuh dengan para manusia yangmana kematian itu musti
dikhotbahkan.
Atau: „kehidupan abadi‟: ini semua sama bagiku – asalkan saja mereka mati
cepat!
Satria dan Perang
Kita tidak mau dikecualikan oleh musuh-musuh terbaik kita, tidak pula oleh
mereka yang kita cintai dari dalam hati! Maka izinkanlah aku berseru kebenaran!
Para saudaraku dalam perang! Aku mencintai kau dari dalam hati, aku
selalunya adalah teman kau. Dan aku juga musuh terhebat kau. Maka izinkanlah
aku berseru kebenaran!
Aku tahu akan kebencian dan kedengkian hati kau. Kau tidak cukup megah
untuk tidak tahu tentang kebencian dan kedengkian. Maka jadilah cukup megah
untuk tidak malu akan ini!
Dan jika kau tidak bisa menjadi santo-santo ilmu pengetahuan, sekurangkurangnya jadilah satria-satrianya. Mereka adalah mitra-mitra dan pelopor
kesantoan seperti ini.
Aku melihat banyak bala tentara: semoga aku dapat melihat banyak pula
satria-satria. Pakaian “seragam,” itulah yang mereka kenakan di badan mereka:
semoga apa yang mereka sembunyikan di baliknya bukan seragam pula!
Kau musti menjadi para manusia yang matanya selalu mencari musuh –
musuh kau. Dan pada beberapa dari kau ada benci pada pandangan pertama.
Kau musti mencari musuh kau, kau harus berperang, perang kau, perang
bagi opini-opini kau. Dan jika opini-opini kau kalah, kejujuran kau dengan
demikian harus tetap meneriakan kejayaan!
Kau musti mencintai perdamaian sebagai sarana bagi perang-perang baru.
Dan perdamaian yang singkat dibandingkan lama
Aku menganjurkan kau untuk tidak bekerja namun bertempur. Aku
menganjurkan kau untuk tidak berdamai namun berjaya. Semoga kerja kau menjadi
pertempuran, semoga perdamaian kau menjadi kejayaan!
Seseorang bisa membisu dan duduk hening hanya saat ia mempunyai
panah dan busur: jika tidak seseorang akan mengoceh dan berselisih. Semoga
perdamaian kau menjadi kejayaan!
Kau berkata bahwa itu adalah alasan yang baik yang mensucikan perang?
Aku katakan pada kau: itu adalah perang yang baik yang mensucikan setiap
alasan.
Perang dan keberanian menciptakan banyak kemegahan pada sesuatu
dibandingkan caritas. Bukan rasa simpati kau namun keberanian kau yang telah
menolong manusia malang hingga kini.
„Apa sih kebaikan itu?‟ tanya kau. Menjadi berani adalah kebaikan. Biar
para anak gadis berkata: „Menjadi baik itu adalah menjadi cantik dan pada saat
yang bersamaan menyentuh perasaan.‟
Mereka menamakan kau tidak punya hati: namun hati kau sejati, dan aku
mencintai kebersahajaan lembut hati kau. Kau merasa malu akan arus pasang kau,
sewaktu yang lainnya malu akan kesurutannya.
Apa kau jelek? Ayo, para saudaraku! Copot kemuliaan kau, sarung si jelek
itu!
Dan saat jiwa kau tumbuh megah, lalu menjadi arogan, dan di dalam
kemuliaan kau ada kekejaman. Aku tahu kau.
Dalam kekejaman, si arogan dan si manusia lemah bertemu. namun mereka
tidak mengerti satu sama lainya. Aku tahu kau.
Kau boleh punya musuh-musuh kau yang kau benci, namun bukan musuhmusuh yang kau hina. Kau musti bangga akan musuh kau: lalu keberhasilan
musuh kau akan menjadi keberhasilan kau pula.
Untuk memberontak - ini keistimewaannya kaum budak. Biar keistimewaan
kau memperlihatkan dirinya dalam kepatuhan! Biar aba-aba perintah kau itu
menjadi aba-aba kepatuhan kau!
Bagi satria yang sejati, „Kau kudu‟ terdengarnya lebih menyenangkan
dibandingkan „Aku mau‟. Dan segala sesuatu yang sangat berharga bagi kau,
pertamanya harus patuh pada kau.
Biar cinta kau terhadap kehidupan ini menjadi cinta kau terhadap harapan
tertinggi kau: dan biar harapan tertinggi kau menjadi ide tertinggi kehidupan!
Namun, ide tertinggi kau itu, kau dapati dari apa yang aku perintahkan pada
kau – dan itu adalah: Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi.
Maka jalanilah kehidupan kau pada kepatuhan dan perang! Apa baiknya
hidup lama? Satria macam apa mau dikecualikan?
Aku tidak mengecualikan kau, aku mencintai kau dari dalam lubuk hatiku,
para saudaraku dalam perang!
Tatkala Zarathustra berusia tiga puluh tahun, ia meninggalkan rumah dan danau
rumahnya pergi ke gunung-gunung. Sepuluh tahun lamanya ia di sini bersukacita akan spiritnya dan penyendiriannya, sama sekali tidak merasa letih. namun
akhirnya hatinya berubah – dan pada suatu pagi ia bangkit bersama fajar
melangkah ke hadapan sang surya, lalu berseru padanya demikian:
Bintang megah! Apa yang akan menjadi kebahagiaan kau, jika tidak ada
mereka yang kau sinari!
Kau telah datang ke atas guhaku sini, sepuluh tahun: kau akan menjadi letih
akan cahaya kau dan perjalanan kau, jika itu bukan untukku, elangku dan ularku.
Sungguh kami telah menunggu kau setiap pagi, telah mengambil dari kau,
keberlimpahan kau dan memberkahi kau bagi ini.
Perhatikan! Aku letih akan kebijaksanaanku, bak kumbang yang
kebanyakan mengumpul madu; aku butuh lengan-lengan untuk menjangkau
madu-madu ini.
Aku mau berikan dan bagi-bagikan madu ini, hingga manusia bijaksana di
antara para manusia akan bahagia lagi dalam kebodohannya dan manusia miskin
bahagia dalam kekayaannya.
Bagi tujuan ini, aku musti turun ke kedalaman-kedalaman: bagai yang kau
lakukan di sore hari, tatkala kau pergi ke belakang samudera dan memberi cahaya
ke mercupada pula, wahai bintang maha berlimpah!
Seperti kau, aku musti turun-kebawah – sebagaimana yang manusia
katakan, pada merekalah aku ingin turun!
Maka berkahilah aku, mata hening, kau yang bisa melihat kebahagiaan yang
mahaberlimpahan tanpa rasa iri!
Berkahilah cawan yang ingin meluap ini, semoga airnya yang keemasan itu
mengalir darinya, membawa pantulan suka-cita kau ke seluruh penjuru!
Perhatikan! Cawan ini mau menjadi kosong lagi, dan Zarathustra ingin
menjadi manusia lagi.
Lalu mulailah Zarathustra turun-kebawahZarathustra lalu pergi turun gunung seorang diri, dan tidak ada satu pun yang
bertemu dengannya. namun saat ia memasuki hutan, seorang tua, yang telah
meninggalkan pondok sucinya untuk mencari akar-akar pohon di dalam hutan,
sekonyong-konyong berdiri di hadapannya. Dan orang tua ini berseru demikian ke
Zarathustra:
„Musafir ini tidak asing bagiku: ia pernah melalui jalan ini bertahun-tahun
lalu. Zarathustra namanya; namun kini ia telah berubah.
Dahulu kau membawa abu kau ke gunung-gunung: akankah kau kali ini
membawa api kau ke lembah-lembah? Tidakkah kau takut akan hukum larangan
membawa api?
Ya, aku kenali Zarathustra. Kedua matanya bersih, dan tidak ada kejijikan
bersembunyi di sekeliling mulutnya. Tidakkah ia melangkah laksana seorang
penari?
Zarathustra telah berubah! Zarathustra telah menjadi seorang anak –
Zarathustra telah tergugah: apa yang kau inginkan di dunia para tukang tidur?
„Bagai dalam samudera kau hidup menyendiri, dan samudera telah
melahirkan kau. Duh, maukah kau pergi ke pesisir? Duh, maukah diri kau sendiri
menyeret tubuh kau lagi?‟
Zarathustra menjawab: ‟Aku mencintai manusia.‟
„Mengapa‟, kata santo ini, „bukankah aku pergi ke hutan dan padang pasir?
Bukankah sebab aku terlalu mencintai manusia?
Sekarang aku mencintai Tuhan: aku tidak mencintai manusia. Manusia
adalah sesuatu yang sangat tidak sempurna bagiku. Mencintai manusia bisa
menghancurkanku.‟
Zarathustra menjawab: „Apa yang telah aku katakan mengenai cinta? Aku
membawa hadiah untuk manusia.‟
„Jangan beri mereka apa-apa,‟ kata santo ini. „Malah ambil sebagian dari
beban mereka, dan bawalah bersama mereka – ini akan sangat menyenangkan
mereka; jika ini juga menyenangkan kau!
Dan jika kau mau memberi mereka, beri mereka tidak lebih dibandingkan
sedekah, dan biar mereka meminta-minta untuk ini.‟
„Tidak,‟ jawab Zarathustra, „aku tidak memberi sedekah. Aku belum terlalu
miskin untuk itu.‟
Santo ini tertawa ke Zarathustra, dan berseru demikian: „Lalu buktikanlah
bahwa mereka menerima harta berharga kau! Mereka tidak percaya pada para
petapa, dan tidak percaya bahwa kita datang untuk memberi hadiah.
Derap ayunan langkah kita terdengar senyap di jalan-jalan mereka. Di
malam hari saat mereka di ranjang mereka mendengar seorang berjalan
menjelang fajar, mereka mungkin bertanya-tanya tentang kita: hendak kemana
pencuri itu pergi?
Jangan pergi ke manusia, namun tinggalah di hutan! Malah pergi ke binatangbinatang! Mengapa kau tidak mau menjadi serupaku – beruang di antara beruangberuang, burung di antara burung-burung?‟
„Dan apa yang santo kerjakan di hutan ini?‟ tanya Zarathustra.
Santo menjawab: „Aku membuat hymne dan menyanyikannya, saat
membuat hymne, aku tertawa, menangis, dan berkomat-kamit: demikianlah aku
memuja Tuhan.
Dengan nyanyian, tangisan, tawaan, dan komat-kamit aku memuja Tuhan
yang memanglah Tuhanku. namun apa yang kau bawa untuk kami sebagai
hadiah?‟
Tatkala Zarathustra mendengar kata-kata ini, ia menghormat santo ini dan
berkata: „Apa yang musti aku berikan pada kau! namun biarkanlah aku pergi
segera, semoga aku tidak mengambil apa-apa dari kau!‟ Lalu mereka berpisah satu
sama lainnya, santo dan Zarathustra tertawa bak dua anak lelaki tertawa.
namun tatkala Zarathustra seorang diri, ia berseru ke hatinya:
Apa mungkin santo tua ini di dalam hutannya belum lagi tahu bahwa Tuhan
sudah mati!
Tatkala Zarathustra tiba di kota terdekat di seberang hutan itu, ia mendapatkan di
tempat itu banyak manusia berkumpul di alun-alun pasar: sebab telah
dicanangkan bahwa si akrobat peniti tali akan beratraksi. Dan Zarathustra lalu
berseru ke rakyat:
Aku ajarkan kau akan Superman. Manusia adalah sesuatu yang musti
diatasi. Apa yang telah kau kerjakan untuk mengatasi manusia?
Segala mahluk hidup hingga kini telah menciptakan sesuatu melebihi diri
mereka: lalu kau mau menjadi air surut dari air pasang besar, dan kembali ke
dunia binatang dibandingkan mengatasi manusia?
Apa kera itu bagi para manusia? Bahan tertawaan atau aib memalukan.
Begitu pula manusia bagi Superman: bahan tertawaan, sesuatu yang memalukan.
Kau telah membuat diri kau dari ulat menjadi manusia, dan banyak di dalam
diri kau tetap saja serupa ulat. Sekala kau adalah kera, bahkan hingga kini pun
manusia lebih menyerupi kera dibandingkan kera-kera lain.
Bahkan ia yang paling bijaksana di antara kau pun, ia hanyalah ketidak
harmonisan dan hibrida antara tumbuh-tumbuhan dan hantu. namun apa aku
tawarkan kau untuk menjadi hantu-hantu dan tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan, aku ajarkan kau tentang sang Superman.
Sang Superman adalah makna dunia. Biar kemauan kau berkata: sang
Superman musti menjadi makna dunia ini!
Aku mohon kau, para saudaraku, selalu sejati ke dunia, jangan percaya pada
mereka yang berkata ke kau akan harapan-harapan super dunia! Mereka adalah
para peracun, apa mereka tahu atau tidak.
Mereka adalah para pembenci kehidupan, yang membusuk dan manusia
beracun, sebab merekalah dunia ini kelelahan: maka usir mereka!
Sekala menghujat melawan Tuhan adalah penghujatan terbesar, namun Tuhan
sudah mati, lalu para penghujat Tuhan pun mati pula. Untuk menghujat dunia
sekarang adalah dosa yang paling mengerikan, begitu pula untuk memuliakan isi
hati yang Tidak-bisa-diketahui melebihi makna dunia ini.
Sekala jiwa melihat dengan rasa hina ke badan: lalu rasa hina ini menjadi
sesuatu yang termulia – jiwa menginginkan badan menjadi kurus, menakutkan,
kelaparan. Lalu jiwa berpikir bahwa ia bisa lari dari badan dan dunia.
Oh, jiwa ini sendiri pun kurus, menakutkan, kelaparan: dan kekejaman telah
menjadi pesona jiwa!
namun katakanlah padaku, para saudaraku: Apa yang badan kau telah
katakan mengenai jiwa kau? Bukankah jiwa kau itu kemiskinan, polusi dan
kepuasan diri yang menyedihkan?
Sesungguhnya, manusia itu seperti sungai yang terpolusi. Maka seseorang
musti menjadi samudera, untuk menerima sungai yang tercemar, tanpa ternodai.
Perhatikan, aku ajarkan kau sang Superman: ia adalah samudera itu,
padanyalah kebencian besar kau bisa tenggelam.Sesuatu yang besar seperti apa yang kau bisa alami? Di detik-detik
kebencian besar. Detik-detik saat bahkan kebahagiaan kau dan kebajikan kau
membenci kau, begitu pula akal budi kau.
Detik-detik saat kau berkata: „Apa sih baiknya kebahagiaanku? Itu cuma
kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan. namun kebahagiaanku
musti membuktikan eksistensi itu sendiri!‟
Detik-detik saat kau berkata: „Apa sih baiknya akal budiku? Tidakkah
akal budiku itu rindu bagi pengetahuan bagai singa rindu bagi makanannya? Itu
adalah kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan!
Detik-detik saat kau berkata: „Apa sih baiknya kebajikanku? Ini belum
lagi menjadikanku gila! Alangkah letihnya aku akan kebaikan dan kejahatanku.
Ini adalah kemiskinan, polusi dan kepuasan diri yang menyedihkan!
Detik-detik saat kau berkata: „apa sih baiknya keadilanku? Aku tidak
melihat bahwa aku adalah bara-bara panas! namun manusia adil adalah api dan
bara-bara panas!‟
Detik-detik saat kau berkata: „Apa sih baiknya belas kasihanku?
Bukankah belas kasihan itu adalah salib di atas mana ia yang mencintai manusia
dipakukan? namun belas kasihanku bukanlah penyaliban!‟
Pernahkah kau berseru begitu? Pernahkah kau melolong seperti itu? Ah, aku
dengar kau melolong demikian!
Ini semua bukanlah dosa-dosa kau, namun pemuasan hati diri kau melolong
ke surga, keberhati-hatian kau akan dosa melolong ke surga!
Dimanakah sang kilat untuk menjilat kau dengan lidahnya? Dimanakah
kegilaan, dengan mana kau musti dibersihkan?
Perhatikan, aku ajarkan kau tentang sang Superman: ia adalah kilat, ia
adalah kegilaan ini!
saat Zarathustra berseru demikian, salah satu dari rakyat berteriak:
„Sekarang kita telah cukup mendengar tentang si akrobat peniti tali itu; sudah
waktunya kita melihatnya!‟ Dan semua orang tertawa ke Zarathustra. namun si
peniti tali, yang berpikir bahwa semua seruan-seruan ini ditujukan baginya, lalu
mulai dengan atraksinya.
namun Zarathustra melihat ke rakyat dan takjub. Lalu ia berseru demikian:
Manusia adalah tali, diikat di antara binatang dan Superman – seutas tali di
atas jurang maha dalam.
Bahaya pergi menyeberang, bahaya mengembara, bahaya menoleh
belakang, bahaya gemetaran dan diam berhenti.
Apa yang megah dalam diri manusia bahwa ia adalah jembatan bukan
tujuan; apa yang patut dicintai dalam diri manusia bahwa ia adalah perjalanan
naik-keatas dan turun- kebawah.
Aku cinta mereka yang tidak tahu bagaimana untuk hidup kecuali hidup
mereka adalah turun-kebawah sebab ada mereka yang naik-keatas.Aku cinta para pembenci besar, sebab mereka para pemuja besar dan anakanak panah kerinduan ke tepian pesisir seberang sana.
Aku cinta mereka yang tidak terlebih dahulunya mencari-cari alasan
melebihi bintang-bintang untuk turun-kebawah, untuk dikorbankan: namun
mengorbankan diri mereka bagi dunia, lalu dunianya Superman bisa bisa
terwujud dimasa depan.
Aku cinta ia yang hidup untuk mengetahui sesuatu dan berusaha untuk
mengetahui sesuatu agar Superman bisa hidup di masa depan. Lalu ia memaui
kejatuhannya.
Aku cinta ia yang bekerja dan menciptakan supaya ia bisa membuat rumah
bagi Superman,dan menyiapkan baginya bumi, binatang-binatang dan tumbuhtumbuhan: maka ia berusahan bagi dirinya kejatuhannya.
Aku cinta ia yang mencintai kebajikannya: sebab kebajikan adalah
kemauan untuk jatuh dan anak panah kerinduannya.
Aku cinta ia yang tidak menghemat-hemat jatuhan tetesan spiritnya bagi
dirinya, namun mau menjadi spirit seutuhnya dari kebajikannya: lalu ia melangkah
sebagai spirit menyeberangi jembatan.
Aku cinta ia yang membuat kebajikannya itu sebagai kecenderungan dan
takdirnya: lalu demi kebajikannya ia ingin hidup atau tidak ingin hidup.
Aku cinta ia yang tidak mau punya banyak kebajikan. Satu kebajikan adalah
kebajikan yang besar, lebih dari dua kebajikan, sebab ini lebih dari sekedar
simpul tali bagi takdir untuk berpegangan.
Aku cinta ia yang jiwanya berlimpahan, yang tidak ingin rasa terimakasih
atau pun membalas pemberian: sebab ia selalu memberi dan tidak menyimpan
untuk dirinya sendiri.
Aku cinta ia yang malu tatkala menerka dadu dengan benar lalu bertanya:
Apa aku penipu? – sebab ia mau punah.
Aku cinta ia yang melontarkan kata-kata keemasan sebelum tindakannya
dan selalu mengerjakan lebih dari janjinya: sebab ia memaui kejatuhannya.
Aku cinta ia yang membuktikan para manusia masa depan dan menebus
para manusia masa lampau: sebab ia mau punah oleh para manusia masa kini.
Aku cinta ia yang menyiksa Tuhannya sebab ia cinta Tuhannya: sebab ia
musti punah dengan kemarahan Tuhannya.
Aku cinta ia yang jiwanya dalam bahkan saat ia terluka dan mungkin akan
jatuh sebab sesuatu yang kecil: maka ia gembira pergi menyeberang jembatan.
Aku cinta ia yang jiwanya meluap lalu ia lupa akan dirinya, dan segalanya
ada dalam dirinya: maka segala sesuatunya akan menjadi kejatuhannya.
Aku cinta ia yang spirit dan hatinya bebas: maka kepalanya hanyalah perut
hatinya, namun hatinya menggerakannya ke kejatuhannya.
Aku cinta mereka yang serupa tetesan berat jatuh satu persatu dari mendung
hitam yang bergelantungan di atas kemanusiaan: mereka meramalkan kedatangan
kilat, bagai para junjungan mereka punah.
Perhatikan, aku adalah junjungan kilat dan tetesan berat dari mendung itu: namun
kilat ini dinamakan sang Superman.
Setelah Zarathustra berseru demikian, ia melihat ke rakyat lalu terdiam. Di sana
mereka berdiri (ia berkata pada hatinya), di sana mereka tertawa: mereka tidak
mengerti aku, aku bukanlah mulut ke telinga-telinga mereka.
Mustikah seorang terlebih dahulunya menghancurkan telinga-telinga mereka
untuk mengajarkan mereka mendengar dengan mata mereka? Mustikah seseorang
bergemuruh serupa tambur-tambur dan para pengkhotbah rasa penyesalan? Atau
mereka hanya percaya pada mereka yang latah?
Mereka punya sesuatu yang membuat mereka angkuh. Apa itu namanya
yang membuat mereka angkuh? Mereka menamakannya, budaya; ini yang
membedakan mereka dari para penggembala.
Maka mereka tidak senang untuk mendengar kata “hina” ditujukan pada
mereka. Lalu aku mau berbicara ke keangkuhan mereka.
Aku akan berseru pada mereka akan manusia yang sangat hina dina: dan itu
adalah Manusia Moderen.
Lalu Zarathustra berseru ke rakyat:
Ini saatnya bagi manusia untuk menentukan tujuannnya. Ini saatnya bagi
manusia untuk menanam bibit harapan tertingginya.
Tanahnya masih cukup subur bagi ini. namun tanah ini suatu saat akan
menjadi miskin dan kelelahan; tidak ada lagi pohon tinggi akan bisa tumbuh
darinya.
Duh! Saatnya akan tiba tatkala manusia tidak akan lagi melesatkan anak
panah kerinduannya melampaui kemanusiaan, dan tali busurnya akan lupa
bagaimana untuk berdesing!
Aku katakan pada kau: seseorang musti punya kekacauan dalam dirinya,
untuk melahiran bintang yang menari. Aku katakan pada kau: kau masih tetap
punya kekacauan dalam diri kau.
Duh! Saatnya akan tiba saat manusia tidak akan lagi melahirkan bintangbintang. Duh! Waktu bagi manusia terhina akan datang, manusia yang tidak bisa
lagi membenci dirinya.
Perhatikan! Aku akan perlihatkan pada kau Manusia Moderen.
„Apa sih cinta itu? Apa sih kreasi itu? Apa sih kerinduan itu?‟ - maka
bertanya Manusia Moderen dan mengejap-ngejapkan matanya.
Dunia pun lalu mengecil, dan di atasnya melompat-lompat si Manusia
Moderen, yang membuat segala sesuatunya menjadi kecil. Rasnya bagai kutu
yang tidak dapat dibasmi; hidup si Manusia Moderen paling lama.
„Kita telah menemukan kebahagiaan,‟ kata Manusia Moderen dan
mengejap-ngejapkan matanya.
Mereka telah meninggalkan tempat tinggalnya di mana hidup itu berat:
sebab mereka butuh kehangatan. Seseorang tetap saja mencintai tetangganya dan
menggosokan badannya ke tetangga-tetangganya: sebab seseorang butuh
kehangatan.
Jatuh sakit dan tidak menpercayai, ini mereka anggap sebagai dosa:
seseorang kemana-mana harus waspada. Ia adalah dungu yang selalu tersandung
batu-batu atau manusia-manusia!
Sedikit racun kadang-kadang: yang menghasilkan impian-impian senang.
Dan banyak racun akhirnya bagi kematian senang.
Mereka tetap saja bekerja, sebab kerja adalah hiburan. namun mereka
berjaga-jaga agar
Langganan:
Postingan
(
Atom
)