arkeologi 2

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 2. Tampilkan semua postingan

arkeologi 2












berfungsi sebagai ibukota 
kesultanan, meski ada juga yang pada abad ke-16 dan 17 M sudah mengalami 
kehilangan fungsinya. Kota-kota itu memiliki pasar dengan bandarnya untuk 
melakukan impor dan ekspor komoditas yang diperlukan. Kota-kota Muslim 
dari masa pertumbuhan dan perkembangannya dengan berbagai kegiatan 
yang berkenaan dengan bandar, komoditas pasar, sudah didiskusikan dalam 
Pertum buhan dan Perkem bangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari 
Abad XIII sam pai XVIII Masehi . Dengan 
kedatangan Portugis dan penguasaan Malaka tahun 1511, maka kesultanan 
seperti Demak, Cirebon, Banten, dan lainnya, berupaya meneruskan jaringan 
perdagangannya melalui Selat Sunda-Lautan Hindia sepanjang pesisir barat 
Sumatera sampai ke Aceh, dan selanjutnya ke daerah-daerah Ceylon, India, 
dan terus ke Timur Tengah.
Dengan kedatangan VOC, walaupun J.P. Coen berhasil merebut Jayakarta 
dari tangan Pangeran J ayakarta Wijayakrama serta mengganti nama 
J ayakarta menjadi Batavia pada 30 Mei 1619 , namun beberapa kesultanan 
seperti Banten, Mataram, Cirebon, Ternate, Tidore, Gowa, Banjar, bahkan �
kesultanan besar dan kuat seperti Aceh Darussalam, masih terus melakukan 
perdagangan regional dan internasionalnya. Dengan ambisinya, VOC ber�usaha menerapkan monopoli dengan cara memerangi dan menanamkan 
politik devide et em pera-nya. Akibatnya, VOC mendapat perlawanan dan 
pem berontakan dari beberapa kesultanan. Sampai VOC berakhir sekitar tahun 
1799, banyak kesultanan telah masuk ke dalam sistem kolonialisme Belanda, 
se hingga jaringan perdagangan sebagian besar kesultanan di Indonesia 
praktis berada di tangan VOC. Perluasan kolonialisme Belanda masih terus 
di lakukan hingga masa Hindia-Belanda, di mana kesultanan-kesultanan satu 
demi satu jatuh di bawah kekuasaan Hindia-Belanda, misalnya kesultanan di 
Maluku, Kesultanan Mataram Solo dengan Yogya, Kesultanan Banten, Ke�sultanan Cirebon, serta kesultanan di Sulawesi Selatan, Kutai, Kalimantan 
Selatan, Siak, Kampar, Rokan, Palembang, dan lainnya. 
Kesultanan Aceh adalah yang paling sulit ditaklukkan. Hindia-Belanda te�rus mengarahkan kekuatan militernya sejak Perang Aceh tahun 1873, namun 
kesultanan itu tidak mudah dikuasai. Setelah gugurnya panglima-panglima 
perang Aceh, Tengku Umar dan Panglima Polim, dan diakhiri dengan me�nyerah nya Sultan Alauddin Muhammad Daud Shah pada 20 Januari 1903, 
secara resmi Aceh berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda .
Bandar dan Komoditas Ekspor-Impor
Telah ditegaskan bahwa kerajaan atau kesultanan yang tergolong sebagai 
negara-kota yang terlibat dalam kegiatan perdagangan regional dan inter�nasional, memerlukan bandar sebagai tempat ekspor dan impor komoditas 
yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kesultanan yang bersangkutan. Di 
samping mempunyai ibukota yang sekaligus berfungsi sebagai kota-bandar, 
juga terdapat beberapa kesultanan yang masih meneruskan beberapa kota�bandar dari masa sebelumnya, seperti Kesultanan Banten. Kecuali bandar 
utama nya di Surosowan yang semula merupakan bandar pada masa Banten 
di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran, Kesultanan Banten juga mempunyai 
bandar Pontang, Tangerang, Ciguede, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon.
Di Kesultanan Demak, yang berfungsi sebagai kota-bandar adalah Jepara, 
dan bandar-bandar yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, 
seperti Tuban, Gresik, J aratan Sedayu, Surabaya, dan lainnya di daerah 
Madura. Kesultanan-kesultanan besar maupun kecil di Maluku memiliki 
kota-bandar penting yang juga berfungsi sebagai ibukota pemerintahan, se�perti Ternate, Tidore, Hitu, Ambon, Banda, Bacan, Makian, Jailolo, dan lain�lain. Kesultanan Samudera Pasai, yang ibukotanya berfungsi sebagai pusat 
ke kuasaan dan kota-bandar, juga memliki beberapa bandar lain yang ada di 
pe sisir Selat Malaka. �
Demikian pula Kesultanan Aceh Darussalam, yang bandarnya disebut 
Lambri, setelah kesultanan itu menjadi besar dan meluas, maka kota-kota 
bandar, baik yang ada di Selat Malaka maupun di Sumatera Barat, seperti 
Pariaman dan kota-kota di pesisir barat lain, seperti Barus, Singkil sampai 
Meulaboh, berada di bawah Kesultanan Aceh. Kesultanan-kesultanan yang 
ibukotanya di daerah aliran sungai besar dan mempunyai bandar ada�lah Kesultanan J ambi, Kesultanan Siak-Indragiri, Kesultanan Kutai, dan 
Kesultanan Tenggarong. Sementara kesultanan di Sulawesi Selatan, bandar 
besarnya adalah di Gowa-Tallo, Luwuk. Demikian juga kesultanan di 
Kalimantan Selatan, kota bandarnya adalah di Banjarmasin, dan di pedalaman 
di aliran sungai, seperti Martapura dan Nagara. 
Meskipun terdapat kota bandar, namun kota bandar yang berfungsi 
melakukan ekspor dan impor komoditas yang diperlukan kesultanan, pada 
umumnya adalah kota bandar besar, terutama yang juga berfungsi sebagi 
ibukota pusat pemerintahan dan terletak di pesisir, misalnya Banten, 
Jayakarta, Cirebon, Jepara, Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, 
Malaka, Samudera Pasai, dan Banda Aceh. Kesultanan Jambi dan Palembang, 
kota bandarnya masing-masing berada di J ambi, di Daerah Aliran Sungai 
(DAS) Batanghari, dan di Palembang di DAS Musi. Adapun Kesultanan 
Mataram dari abad ke-16 sampai ke-18 M, meskipun terletak di pedalaman, 
dengan kekuasaan meliputi sebagian besar Pulau J awa yang merupakan 
hasil ekspansi Sultan Agung, juga mempunyai kota bandar seperti J epara, 
Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya .
Pemerintahan kota bandar biasanya diserahkan kepada putra-putra sultan 
yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati yang membawahi para 
syahbandar yang diangkat oleh sultan, di antaranya terdapat pula orang asing 
seperti syahbandar di Banten pada tahun 1604, yakni orang Keling, Gujarat, 
Tionghoa, India (di Aceh), Tionghoa (di Makassar atau Gowa), Jepang (di 
Batavia), dan orang Tionghoa (di Cirebon). Pengangkatan orang asing sebagai 
syahbandar mungkin berkaitan dengan pengetahuan dan pengalamannya 
yang luas tentang perdagangan dan kepandaian bahasanya, sehingga me mu�dah kan komunikasi dengan para nakhoda asing. Fungsi syahbandar bukan 
hanya meliputi urusan perdagangan dengan pihak asing saja, tetapi juga 
hubungan antarnegara, dan semua urusan yang bersifat internasional, misal�nya dalam bidang legalisasi, yudikasi, kepolisian, dan administrasi . Dari bandar-bandar penting dan 
besar, dilakukan ekspor dan impor komoditas untuk kepentingan jaringan 
perdagangan regional dan internasional.
Untuk komoditas perdagangan yang diekspor dan diimpor, diperlukan 
pasar terutama pasar besar yang berfungsi sebagai pasar di kota pusat kerajaan�
dan di kota bandar. Seusai proses pengumpulan komoditas ekspor atau juga 
impor yang bergantung pada pelaksanaan pelayaran serta angin muson yang 
harus menunggu waktu lama, terbentuklah perkampungan para pedagang 
asing, seperti Kampung Pacinan, Kampung Keling, Pakojan, dan kampung�kampung lain yang berasal dari daerah asal yang jauh dari kota-kota yang 
dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, 
atau Kampung Bali di Jakarta .
Komoditas ekspor untuk perdagangan regional maupun internasional 
yang dapat diambil sebagai contoh dari Kesultanan Samudera Pasai adalah 
sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires bahwa kesultanan ini, setiap tahun 
dapat menghasilkan 8 sampai 10 ribu bahar lada, meskipun kualitas nya ber�beda dari lada yang dihasilkan Kocin; menghasilkan sutera dan kapur barus, 
dan banyak lagi komoditas lain, karena Pasai merupakan tempat menghimpun 
komoditas ekspor. 
Sebagai contoh adalah komoditas yang dihasilkan dari Aru berupa kapur 
barus, emas, kayu yang mengandung obat-obatan, rotan, dan perak yang 
dibuat mata-uang untuk alat pembelian atau alat tukar. Tetapi Tome Pires 
tidak merinci komoditas impor untuk Pasai, kecuali menyebutkan barang�barang yang diperdagangkan di Gujarat, Keling, Bengal, Pegu, Siam, Kedah, 
dan Birma. Pedagang-pedagang tersebut juga ada di Pedir dan Malaka .
Komoditas ekspor yang dihasilkan di negeri lain di Sumatera pesisir timur, 
seperti Aru, Rokan, Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, hingga Palembang, adalah 
terutama hasil-hasil hutan seperti lada, kapur barus, kayu gaharu, madu, 
lilin, pinang, emas sebagai hasil penambangan, dan lain-lain yang diekspor 
dan diperdagangkan di Malaka . Sebaliknya, negeri-
 negeri tersebut membeli komoditas dari negeri asing seperti jenis-jenis kain 
dari India, porselen dan sutera dari Tiongkok, wangi -wangian dari Timur�Tengah, dan dari pedagang asing di Malaka.
Tome Pires memberitakan pula komoditas ekspor dan impor dari kota�kota bandar pada awal abad ke-16 M yang terletak di pesisir utara J awa, 
se perti Banten sampai Demak, Jepara, Tuban, Gresik, hingga ke Surabaya 
dan daerah lain. Dari Bandar Kalapa, yang pada awal abad ke-16 masih da�lam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, diekspor komoditas seperti lada, 
asam, beras, daging, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Komoditas hasil 
bumi itu juga diekspor untuk jaringan perdagangan regional dengan bandar�bandar di Indonesia sendiri. Karena bandar Kalapa berhubungan dagang 
de ngan Sumatera, Palembang, Lawe, Makassar, Malaka, J awa, Madura, 
dan daerah lainnya. Hubungan perpagangan internasional Sunda Pajajaran 
melalui bandar Kalapa tidak hanya dengan Malaka, tetapi juga dengan India, 
Maladewa, dan Tiongkok. Komoditas yang diekspor dari daerah pedalaman�di angkut melalui jalan sungai maupun darat menuju bandar utama, yaitu 
Kalapa (Uka Tjandrasasmita, 1998).
Komoditas yang diimpor pada masa itu adalah berbagai jenis kain ber�warna putih, belacu, dril, katechu, dan lain-lain dari Keling dan Cambay 
. Demikian juga barang-barang dari Tiongkok, 
terutam a keram ik seperti banyak yang ditem ukan pada m asa Sung, 
Ming, Ching, dan lainnya di bandar Banten .
Komoditas ekspor dari bandar-bandar di J awa seperti beras, sampai pada 
masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, merupakan monopoli 
perdagangan Mataram dan diekspor melalui kota-bandar Jepara, Tegal, dan 
Kendal .
Di Kota Banten, yang menarik perhatian adalah bahwa ketika orang�orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman datang di Bandar 
Banten tahun 1596, diceritakan tentang barang-barang yang diimpor dan 
di ekspor oleh kelompok pedagang yang sedang melakukan transaksi jual 
beli. Pedagang Tionghoa menjual beragam sutera berwarna indah, laken 
sutera, beludru, satin, benang emas, piring porselen, taplak meja, bejana 
dan panci-panci berukuran kecil dan besar dari tembaga, air raksa, peti 
yang indah, kertas tulis berwarna, cermin, sisir, kaca mata, pedang buatan 
Tiongkok, akar-akaran, kipas angin, payung, dan lainnya. Demikian pula 
dengan pedagang dari Gujarat, mereka menjual komoditas yang dibawa dari 
negerinya seperti bahan-bahan kaca, gading, dan permata yang berharga 
dari Cambay. Pedagang-pedagang dari Gujarat, Bengal, Arab, dan Persia, 
masing-masing menjual barang dagangan atau komoditas yang berasal dari 
negerinya .
J aringan perdagangan yang sudah ada sejak abad ke-16 di Banten 
lebih ditingkatkan lagi baik secara regional maupun internasional di bawah 
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. J aringan perdagangan dengan 
kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, dan Ternate di Maluku yang bertujuan 
mendapatkan komoditas rempah-rempah meskipun dihalangi oleh VOC, 
tetap diusahakan demi menambah bahan ekspor Banten ke negeri-negeri 
asing. Berdasarkan Daghregister Belanda, Kesultanan Banten mengadakan 
perdagangan dengan negeri-negeri di Timur Tengah, di Eropa dengan 
Denmark, Perancis, Inggris, di Timur Jauh dengan Tiongkok, Jepang, dan de�ngan negeri-negeri di Asia Tenggara termasuk Filipina . Hubungan perdagangan itu bukan hanya didasarkan data 
historis, tetapi juga data arkeologis, dengan ditemukannya sejumlah pecahan 
keramik dari Tiongkok, Jepang, dan beberapa negeri di Eropa. 
Jaringan perdagangan regional dan internasional di Kesultanan Banten 
sejak akhir abad ke-17 hingga abad 18, berhenti karena larangan yang dibuat �
oleh VOC dengan kenyataan kekuasaan kolonialnya sudah tertanam di 
Banten sejak pemerintahan Sultan Abdul Kahar Abunasar atau Sultan Haji , Hingga akhirnya pada masa G.G. Daendels, 
pada awal abad ke-19, kesultanan tersebut dihancurkan dan dihapuskan, dan 
menjadi kabupaten-kabupaten di bawah Hindia-Belanda. Berbagai kegiatan 
perdagangan, sejak abad ke-18, mulai bergeser ke Batavia sebagai pusat 
kolonial VOC.
Demikian pula jaringan perdagangan antara kesultanan di Cirebon 
dan Mataram dengan daerah pesisir utara J awa yang dikuasai oleh VOC 
sejak abad ke-18, maka kota-kota bandar sebagai tempat ekspor dan impor 
komoditas dari Bandar Cirebon, Tegal, Kendal, Semarang, J epara, Tuban 
dan lainnya, jatuh dan dikendalikan oleh kolonial Belanda, sejak masa VOC 
Hindia-Belanda. Selain itu, jaringan perdagangan kesultanan di Maluku 
Utara sejak kekalahan Portugis, Spanyol di Ternate dan Tidore, lebih-lebih 
setelah dikuasai VOC dan Hindia-Belanda, jaringan perdagangan regional 
dan internasional kesultanan-kesultanan di daerah itu jatuh ke tangan sistem 
monopoli VOC dan pemerintahan Hindia-Belanda. 
Kejadian itu juga dialami oleh jaringan perdagangan dari kesultanan di 
Sulawesi Selatan dan di Kalimantan Selatan, Timur, dan Barat yang mulai 
runtuh pada abad ke-8 sampai 19 M dengan berhasilnya penguasaan VOC, 
dan yang akhirnya berada di tangan kekuasaan Hindia-Belanda. J aringan 
per dagangan beberapa kesultanan di daerah Sumatera mengalami nasib yang 
sama, kecuali Kesultanan Aceh. Sekalipun demikian, sejak abad ke-17 sampai 
abad ke-19, akibat politik penjajahan dan politik ekonominya, di berbagai 
daerah secara regional dan nasional, muncul perlawanan dan pemberontakan, 
gerakan sosial, dan gerakan keagamaan .
Sebagaimana dikatakan di atas, Kesultanan Aceh Darussalam adalah yang 
paling bertahan, karena persatuan antara pemimpin dan ulama sangat terjaga. 
Selain itu perkembangan politiknya selalu dikendalikan dan diarahkan oleh 
sultan-sultan Aceh dari mulai Sultan Ali Mughayat Shah (tahun 1521-1530) 
yang berhasil melepaskan diri dari Pedir; Pasai juga berhasil mengembangkan 
Kesultanan Aceh Darussalam, memajukan politik dan perdagangan Bandar 
Pedir yang kaya akan komoditas ekspor seperti lada, kayu gaharu, kapur 
barus, lak, timah untuk membuat kapal, dan emas yang didatangkan dari 
pedalaman. Pasai juga mempunyai komoditas ekspor yang dibeli oleh 
para pedagang dari berbagai negeri seperti dari Cathai, Gujarat, Cambay, 
Coromandel, Bengal, Pegu, Tenaserin, Kedah, Turki, Arab, Persia, Keling, 
Bengal, Siam, Bruas . Kedatangan para pedagang ini 
sudah tentu untuk menjual komoditasnya dan membuktikan adanya upaya 
pengem bangan jaringan perdagangan internasional.�
Pengembangan politik dan ekonomi Kesultanan Aceh Darussalam di�terus kan oleh pengganti Sultan Ali Mughayat Shah, yakni Sultan Alauddin 
Riayat Shah al-Kahar yang terkenal gigih dalam upaya meluaskan kekuasaan 
dan jaringan perdagangan (1537-1571) yang mengembangkan angkatan perang 
dengan membantukan pasukan-pasukan dari Turki, Cambay, Malabar, dan 
Abessenia. Selain itu, ia memajukan dan menguatkan jaringan perdagangan 
regional dan internasional dengan menyebarkan kekuasaan terhadap ber�bagai kota bandar. Fakta politik dan ekonomi perdagangan tersebut saling 
me nunjang untuk kemajuan dan kemakmuran Kesultanan Aceh Darussalam. 
Sejak abad ke-17 M, para pedagang dari Inggris, Belanda, dan Perancis 
datang ke Aceh untuk mengadakan perjanjian perdagangan. Utusan dari 
peda gang Belanda tidak diterima karena tidak ada kesepahaman. Setelah 
di ketahui bahwa VOC telah menguasai Batavia (1619) dan akan menguasai 
Malaka (1641), Belanda malah menjadi musuh utama Aceh sampai awal abad 
ke-20.
Dengan munculnya pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), 
Aceh semakin barkembang bahkan mencapai masa kejayaannya baik di bi�dang politik, militer, perekonomian-perdagangan, dan keagamaan. Hasil 
penelitian yang memberikan gambaran tentang ekspansi politik Kesultanan 
Aceh pada masa Iskandar Muda, politik perdagangan serta para pedagang dari 
berbagai negeri, seperti Tiongkok, India, Jawa, Siam, India, Turki, Perancis, 
Inggris, Belanda yang datang ke Aceh, hasil sastra dan para ulamanya, ke�beradaan istana bahkan tentang sosok pribadi Sultan Iskandar Muda, telah 
diterbitkan sebagai disertasi oleh Denys Lombard . 
Komoditas ekspor dari Aceh antara lain kayu candana, sapan, gandarukem 
(resin), damar, getah perca (laban), obat-obatan, dan parfum seperti kamian 
putih dan hitam, kapur, pucuk, rasmala, bunga lawang, lada, gading, lilin, 
tali sabuk, dan sutera.
Untuk komoditas yang diimpor antara lain beras, minyak barang, guci, 
gula (sakar), sakar lumat, anggur, korma, timah putih dan hitam, bijih besi, 
besi upam, besi lantak, tekstil dari katun Gujarat, Masulipatan, dan Keling, 
batik mori dari Malabar, kain cinde dari Gujarat, guci dari pegu, pinggan 
batu, mangkuk batu, kipas, kertas, opium, kopi, tile, tembakau, air mawar 
pati, dan lainnya, yang masih disebut-sebut dalam kitab tentang adat Aceh
. Menurut Dasgupta, sebelum kedatangan Inggris 
dan Belanda, Aceh memiliki kedudukan yang mapan dalam perdagangan 
Asia. Setelah orang Inggris dan Belanda turut serta dalam perdagangan Aceh, 
terjadi perubahan baik dalam sistem atau dalam pola umum perdagangan. 
Dengan kedatangan orang Inggris dan Belanda, cara berdagang dilakukan 
melalui perantara, mengingat mereka tidak paham cara-cara perdagangan 
setempat .�
Setelah Iskandar Muda wafat, Kesultanan Aceh mulai mengalami ke�munduran dalam jaringan perdagangan, lebih-lebih pada abad ke-19 sejak 
perang Aceh dilancarkan oleh Hindia-Belanda. Sebabnya adalah sumber 
daya Aceh habis untuk peperangan, lebih-lebih setelah Aceh jatuh ke tangan 
ke kuasaan Hindia-Belanda. Dengan penyerahan kekuasaan dari Sultan 
Muhammad Daud Shah tahun 1903, segala kegiatan perekonomian dan per�dagangan menjadi monopoli pemerintah Hindia-Belanda.
 
Berdasarkan uraian di atas, pertumbuhan dan perkembangan kesultanan 
di Indonesia, seperti Samudera Pasai, Malaka, Aru, Kampar, Siak, Malaka, 
J ambi, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Ternate, Tidore, 
Gowa-Tallo, Kutai, Banjar, Pontianak, dan lainnya, berperan penting dalam 
menjalankan pelayaran dan perdagangan melalui kota-kota bandarnya, 
baik pelayaran antarkesultanan di Indonesia yang membentuk jaringan 
perdagangan regional maupun jaringan perdagangan internasional dengan 
bangsa dari berbagai negeri di bagian Asia Tenggara, Tiongkok, Jepang, India, 
Ceylon, Timur Tengah, dan Eropa. Upaya membentuk jaringan perdagangan 
jelas meningkatkan tingkat kemakmuran ekonomi, meski sistem perdagangan 
masa itu menerapkan prinsip m erchantilism dan com m enda.
Bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis dengan tujuan politik 
dan semboyan “gold, glory dan gospel”, atau “feitoria, fortaleza, dan igreja”
yang dapat diartikan ‘perdagangan’, ‘penguasaan militer’, dan ‘penginjilan’ 
di mana Malaka mulai dikuasai, maka jaringan perdagangan kesultanan�kesultanan di Indonesia, antara lain Samudera Pasai, Aceh, Demak, 
Cirebon, Banten, Ternate, Tidore dan lain-lain, mulai merasa terancam. Oleh 
karenanya, kesultanan-kesultanan tersebut berupaya melakukan serangan 
ter hadap Portugis di Malaka, namun gagal. Demikian juga setelah VOC 
ber kuasa di Batavia dan menjadikannya sebagai pusat kolonial, dengan pe�nye baran politik pemaksaan atau monopoli perdagangannya, lambat laun 
ke merdekaan kesultanan di Indonesia jatuh ke tangan kolonial, dan tak 
berdaya untuk melakukan perdagangan baik regional maupun internasional. 
Dengan demikian, patahlah jaringan perdagangan yang sejak lama dibina 
antar bangsa tersebut.�






SEJUMLAH deinisi kota telah diajukan oleh para sarjana dari berbagai disiplin 
ilmu, seperti sejarah, perencanaan kota, geograi sosial, ekonomi, sosiologi, 
ekologi manusia, morfologi, teknologi, arkeologi, demograi, dan seterusnya , Karena beragamnya arti kota, artikel ini 
akan memfokuskan diskusi pada kota-kota pelabuhan dari sudut pandang 
ekonomi, khususnya mengenai perdagangan internasional dan regional dalam 
kaitannya dengan fungsi kota-kota pelabuhan.
Sebelum kedatangan Portugis di Indonesia, ada beberapa kota pelabuhan 
yang masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha dan Islam. 
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha tersebut, antara lain Majapahit dengan 
pusat politiknya yang terletak di Trowulan, Jawa Timur, dan Sunda Pajajaran 
dengan pusat politiknya di Bogor, J awa Barat ,Kota-kota pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan kerajaan 
Islam di antaranya adalah Samudera Pasai di Aceh Utara yang berdiri pada 
abad ke-13 dan mengalami keruntuhan pada abad ke-16, Aceh Darussalam 
yang berdiri pada permulaan abad ke-16 dan mengalami kemunduran pada 
awal abad ke-20, Demak yang berdiri pada akhir abad ke-15, Cirebon yang 
berdiri pada abad ke-15, Banten yang berdiri pada permulaan abad ke-16, 
Ternate dan Tidore di Maluku yang berdiri pada abad ke-15, Gowa-Tallo dan 
kerajaan-kerajaan Islam lain di Sulawesi yang muncul pada permulaan abad 
ke-17, dan Banjar di Kalimantan Selatan sebagai kerajaan Islam yang muncul 
sejak pertengahan abad ke-16 .
Ada juga kota-kota yang berfungsi sebagai ibukota kerajaan dan sebagai 
pelabuhan seperti Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Cirebon, Banten, �
Ternate, Tidore, Gowa, dan Banjar. Ibu kota Majapahit letaknya agak ke 
daerah pedalaman Trowulan sekitar 65 km dari Surabaya, sedangkan ibukota 
Sunda Pajajaran berlokasi di Bogor sekitar 60 km dari J akarta ,. Kota-kota pelabuhan 
Kerajaan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Sedayu, J aratan, dan Canggu 
yang terletak di pesisir utara Jawa Timur. Kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa 
Barat, hingga masa kemundurannya mempunyai kota-kota pelabuhan yang 
terletak di pesisir utara, yakni Banten, Pontang, Ciguede, Tangerang, Kalapa, 
Cimanuk, dan Cirebon – yang ketika Tome Pires mendatanginya sekitar 
tahun 1513 M, kota pelabuhan Cirebon telah berada di bawah pengawasan 
Demak , Tome Pires dalam Sum a Oriental
menyebutkan beberapa kota di sepanjang pesisir Sumatera yang telah berada 
di bawah kontrol kerajaan-kerajaan Muslim dan kerajaan-kerajaan yang 
masih di bawah kekuasaan non-Muslim atau yang belum beragama ,
Kota-Kota Pelabuhan Hindu-Buddha di Indonesia
Telah disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit yang beribukota di Trowulan 
mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan, dan 
Canggu, di pantai utara Jawa Timur. Gambaran dari kota-kota tersebut dapat 
dilihat dalam literatur-literatur berbahasa Jawa, misalnya Nagarakertagam a, 
Pararaton, Kidung Hariw ijaya, dan Kidung Ranggalaw e ,. Cerita Tionghoa Ying-Yai-Sheng�Lan (The Overall Survey of the Ocean’ Shores), ditulis pada 1433 oleh Ma 
Huan yang ikut serta dalam perjalanan Ceng Ho ke beberapa negara di Laut 
Cina Selatan dan negara-negara di Timur Tengah, membenarkan keberadaan 
kota-kota pelabuhan tersebut . Temuan-temuan 
berupa mata uang logam, pecahan keramik, beberapa alat timbangan, dan 
sebagainya, dari situs-situs arkeologis di Trowulan yang menjadi ibukota 
Kerajaan Majapahit, menunjukkan adanya aktivitas perdagangan internasional 
Kerajaan Majapahit ,
Majapahit sebagai kerajaan maritim-agraris mengembangkan perdagangan 
internasionalnya dengan disokong oleh dua sungai besar, Kali Brantas dan 
Bengawan Solo, yang berfungsi sebagai jalur perairan utama untuk mengirim 
semua jenis komoditas dari daerah pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Dari 
Kerajaan Majapahit, barang-barang komoditas tersebut diekspor melalui 
kota-kota pelabuhan seperti Canggu, Sedayu, Gresik, dan terutama Tuban. 
Di antara komoditas ekspor tersebut adalah beras yang diekspor ke Maluku 
dan Tiongkok, lada dari Pacitan yang dibawa ke kota pelabuhan Tuban dan 
kemudian dikirim ke Tiongkok, dan komoditas lainnya yang dibawa melalui 
Tuban seperti garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, emas, perak, �kayu cendana, tebu, pisang, kelapa, kapuk, kain katun, sutera, belerang, dan 
lain-lain .
Menarik untuk dicatat bahwa pada abad ke-14, ketika Majapahit mencapai 
puncak kekuasaannya, pedagang-pedagang Muslim telah m em bentuk 
hubungan perdagangan dengan Majapahit. Hal itu dibuktikan oleh temuan 
batu nisan di situs-situs Troloyo dekat Trowulan, ibukota Majapahit ,Barang komoditas yang diimpor dari negara asing adalah 
keramik dari Tiongkok, Annam, Thailand, Vietnam, Persia, Khmer; sutera, 
uang logam, obat-obatan dari Tiongkok; jubah dan pakaian dari India untuk 
tujuan ibadah ritual. Namun demikian, ketika Majapahit mulai mengalami 
kemunduran, kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, dan 
Jaratan, mengubah fungsinya sebagai kota pelabuhan yang berada di bawah 
pengawasan Kerajaan Muslim Demak di J awa Tengah. Tome Pires dalam 
Sum a Oriental, memberikan informasi yang jelas mengenai situasi kultural, 
politik, dan ekonomi kegiatan perdagangan pada periode transisi di J awa, 
khususnya di sepanjang wilayah pesisir utara ,
Ketika Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran dan jatuh 
sekitar akhir abad ke-16, di Jawa Barat Kerajaan Sunda Pajajaran masih berdiri 
hingga 1579. Ibukota Kerajaan Pajajaran adalah Pakuan dan diperkirakan 
berlokasi di Bogor. Pakuan Pajajaran merupakan sebuah negara-kota (city�state) yang mempunyai potensi penting dalam perkembangan perdagangan 
internasional untuk memperoleh pendapatan .
Karena kedudukannya tersebut, Kerajaan Sunda Pajajaran mempunyai kota�kota pelabuhan penting terutama di pantai utara seperti Banten, Pontang, 
Ciguede, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Menurut laporan Tome 
Pires yang datang ke Cirebon sekitar tahun 1513, kota-kota itu tidak termasuk 
ke dalam wilayah Sunda, tetapi Jawa. 
Dari laporan Tome Pires dalam Sum a Oriental-nya, dapat dicatat hal 
penting bahwa kerajaan Sunda pada permulaan abad ke-16 masih mempunyai 
kekuasaan di J awa Barat. Kerajaan ini mempunyai kota-kota pelabuhan 
yang penting, terutama Kalapa sebagai pelabuhan terbesar, di mana barang�barang dagangan dari seluruh kerajaan datang ke sana . Sebagai kota pelabuhan terbesar dari kerajaan Sunda, Kalapa 
mem punyai peranan penting dalam kegiatan perdagangan regional maupun 
internasional.
Barang-barang dagangan dari daerah pedalaman dibawa ke kota pe�labuhan melalui jalur perairan dan juga melalui jalan darat. Barang-barang 
komoditas untuk perdagangan internasional maupun regional adalah bahan 
ma kanan seperti beras, sayuran, daging, babi, kambing, domba, sapi dalam 
jum lah yang banyak, anggur, buah-buahan, dan yang lainnya. Namun de��mikian, di antara komoditas tersebut, yang paling penting untuk diekspor 
oleh kerajaan adalah lada, beras, dan tamarin (asam jawa). Komoditas impor 
yang disebutkan oleh Tome Pires di antaranya adalah synabaffs besar dan 
kecil, synavas, pacauelezes, balachos, atobalachos (kain putih), kain Keling, 
enrolado, ladrilho, pachak, catechu, seeds dari Cambay, turias, tirikandies, 
caydes, dan lain-lain , Sebagian besar dari 
barang dagangan tersebut adalah kain atau katun yang dijahit. Barang�barang dagangan yang disebutkan kebanyakan diimpor dari India, sementara 
keramik, uang logam, dan sutera, diimpor dari Tiongkok.
Perdagangan internasional tidak hanya terjadi antara kerajaan Sunda 
dengan negara-negara tersebut, tetapi juga dengan Kesultanan Malaka 
dan Pulau Maladewa. Menarik untuk dicatat bahwa Raja Sunda, pada 21 
Agus tus 1522, melakukan suatu negoisasi dengan Gubernur Portugis di 
Malaka, menyangkut hubungan antara keduanya di mana Kerajaan Sunda 
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan 1.000 bahar lada setiap tahun 
dan memberikan sebuah wilayah untuk membangun benteng. Pada sisi 
lain, Portugis memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membantu 
Kerajaan Sunda dari ancaman umat Islam, 
Tetapi sebenarnya perjanjian ini tidak dapat diwujudkan, karena pada 
tahun 1527, Kalapa sebagai kota pelabuhan utama kerajaan, ditaklukkan oleh 
umat Islam di bawah pimpinan Falatehan – berdasarkan laporan De Barros. 
Hoesein Djajadiningrat menyebut Faletehan dengan Sunan Gunung Jati, Syarif 
Hidayatullah, atau Tagaril. Sedangkan Atja, dalam catatan sejarah Cirebon 
Carita Purw aka Caruban Nagari, menyebut Faletehan dengan Fadhillah 
Khan , Sejak permulaan abad 
ke-16 M situasi budaya, ekonomi, dan politik, berubah karena pembentukan 
dan ekspansi kerajaan-kerajaan Muslim seperti Demak, Cirebon, dan Banten, 
termasuk Jayakarta di sepanjang wilayah pesisir utara, suatu wilayah di mana 
kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia mulai mengalami kejatuhannya.
Kota-Kota Pelabuhan Muslim di Indonesia
Telah disebutkan di atas bahwa sebelum kedatangan Portugis di Indonesia, 
ada banyak kota pelabuhan yang telah berada di bawah kontrol kerajaan 
Muslim. Dari data sejarah dan arkeologis ditemukan bahwa, pembentukan 
pertama kerajaan Islam terjadi sejak abad ke-13 di Samudera Pasai dengan 
Sultan Malik as-Salih sebagai sultan pertama yang meninggal pada 696 
H/ 1297 M. Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan dan pusat ibukota 
Samudera Pasai diketahui melalui temuan-temuan batu nisan dan dari 
gambaran yang disebutkan dalam riwayat lokal, yakni Hikayat Raja-Raja 
Pasai dan Sejarah Melayu , �Selain sumber yang memberikan data dan fakta sejarah tersebut, laporan 
asing seperti dari Marco Polo, Tiongkok, Ibnu Batuta, dan dari Tome Pires, 
harus mendapat perhatian yang luas karena sumber-sumber tertulis tersebut 
dapat memberikan gambaran peristiwa-peristiwa sejarah dalam bidang politik, 
ekonomi, dan juga budaya. Catatan Ibnu Batuta dalam Rihlah-nya yang 
ditulis pada tahun 1512-1515 M, memberikan informasi yang jelas tentang 
situasi kota, kebiasaan kaum bangsawan, kehidupan ekonomi dan produk 
kerajaan, perdagangan internasional dan regional, pembuatan uang logam, 
dan pasar-pasar ,
Berdasarkan laporan Tome Pires, Pasai sebagai kota pelabuhan telah 
didiami oleh tidak kurang dari dua puluh ribu penduduk atau warga kota. 
Barang dagangan dari Pasai adalah lada, sutera, kapur barus, dan seterusnya. 
Tome Pires menyatakan bahwa sejak Malaka mengalami kekalahan dalam 
perang, Kerajaan Pasai menjadi makmur dan kaya dengan kedatangan 
para pedagang dari berbagai negara seperti Bangsa Moor dan Keling yang 
melakukan suatu persetujuan dagang yang besar. Di antaranya yang paling 
penting adalah pedagang-pedagang dari Bengal, Roma, Turki, Arab, Persia, 
Gujarat, Keling, Melayu, Jepang, dan Siam,
Samudera Pasai, sejak abad ke-13 dan 16 M, bukan hanya sebagai ke�sultanan Muslim pertama di Asia Tenggara, tetapi juga sebuah pusat bagi 
proses islamisasi dan perkembangan kegiatan perdagangan di Asia Tenggara . Pasai menghasilkan emas urai, perak, dan 
timah untuk membuat uang logam: dirham – koin yang sangat kecil terbuat 
dari emas yang memuat nama sultan yang sedang memerintah. Sembilan 
koin berharga satu cruzado, dan tiap-tiap koin nilainya sama dengan uang 
lima ratus. Tome Pires juga menyebutkan uang logam kecil yang terbuat 
dari perak dan timah, dan dia menambahkan informasi bahwa ada beberapa 
penukar uang yang biasa duduk menunggu di sisi jalan dekat pasar. Pasai 
memiliki hak untuk satu m az atas setiap bahar barang dagangan yang keluar 
dan menarik pajak pelabuhan berdasarkan apakah barang dagangannya 
sebuah kapal atau barang. Mereka tidak membayar bahan makanan dan 
hanya memberi hadiah, tetapi terhadap barang dagangan lain yang datang 
dari Barat mereka membayar 6 persen, dan bagi setiap budak yang mereka 
bawa ke sana untuk dijual, 5 m az emas; dan semua barang dagangan yang 
mereka ambil apakah itu lada atau sesuatu yang lain, mereka membayar satu 
maz per bahar ,
Masih ada banyak kota pelabuhan di sepanjang Selat Malaka yang 
membawa barang dagangan dan melakukan aktivitas penjualan yang di�sebutkan oleh Tome Pires. Di antaranya adalah Aru, Kampar, Siak, Indragiri, 
Tungkal, J ambi, Palembang, dan Malaka sebagai kota pelabuhan terbesar. 
Kerajaan-kerajaan dan kota-kota pelabuhannya itu tumbuh sebagai kerajaan��
kerajaan Muslim sejak permulaan abad ke-16, kecuali Malaka yang telah 
berdiri sebagai kerajaan Islam pada permulaan abad ke-15 karena ada 
hubungan yang erat dengan Samudera Pasai dalam bidang diplomatik maupun 
dalam bidang ekonomi. Hubungan antara dua kerajaan Islam ini dapat 
dikuatkan pembuktiannya dengan data historis yang diambil dari Sejarah 
Melayu, laporan Tome Pires, dan data arkeologis. Tipe dari batu nisan Sultan 
Malaka tahun 1475-1511 M yang oleh Othman Mohd. Yatim diklasiikasikan 
sebagai tipe A-B, menunjukkan kemiripan dengan batu nisan lama yang telah 
ditemukan di Samudera Pasai ,
Bentuk koin emas “dirham” dari Samudera Pasai telah diperkenalkan 
Sultan Malaka pada abad ke-15 , Dalam catatannya, Tome 
Pires menyebutkan bahwa terjadi pernikahan antara puteri dari Pasai dan 
Paramisora, Raja Malaka pada 1414, agar sang raja memeluk agama Islam 
.Hubungan antara Samudera Pasai dan Malaka ber�langsung pada periode Saquem Dara atau Muhamad Iskandar Shah. Tetapi 
kemudian, dalam persaingan yang berlangsung antara dua kerajaan ini, 
Kerajaan Malaka menjadi lebih dan terus berkembang dalam perdagangan 
regional maupun internasional.
Tome Pires menyebutkan bahwa orang-orang yang berdagang ke kota 
Malaka berasal dari Moor, Kairo, Mekkah, Aden, Abessinia, Kilwa, Malindi, 
Ormuz, Persia, Turki, Turkoman, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabhol, 
Gowa, Kerajaan Deccan, Malabari, Keling, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, 
Pegu, Siam, Kedah, Malay, Pahang, Patani, Camboja, Campa, Cochin Cina, 
Tiongkok, Lequeos, Brunei, Locoes, Tanjungpura, Lawu, Bangka, Lingga, 
Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, J awa, Sunda, Palembang, J ambi, 
Tungkal, Indragiri, Kapatta, Minangkabau, Siak, Arqua (Arcat), Aru, Bata, 
Negari Tamjano, Pasai, dan Pedir Maladewa. Tome Pires menyebutkan bah�wa setelah pedagang dari setiap negara itu datang ke Malaka dengan barang 
dagangannya, mereka kembali ke negara mereka dengan membawa barang�barang dagangan seperti cengkeh, porselen, musk, kapur barus, emas, timah, 
sutera putih, damas putih, burung-burung, dan lain-lain .
Sebab-sebab keberhasilan Malaka sebagai kerajaan Islam yang terkenal 
dengan kota pelabuhan yang terbesar dan paling penting di Asia Tenggara dari 
abad ke-15 hingga 16 M, telah dikemukakan oleh Barbara Watson Andaya dan 
Leonard Y. Andaya dalam buku A History of Malaysia. Sebab-sebab tersebut 
di antaranya: (1) undang-undang disusun sebagai bagian dari perlengkapan 
administratif dan hukum yang eisien menyediakan hal-hal dasar yang 
mungkin diperlukan untuk rencana lama atas pedagang asing, (2) keadilan 
raja-raja Malaka ditunjukkan oleh seorang sultan yang lebih senang berada 
di kota Malaka dibandingkan pergi berburu agar dia dapat mendengar dan �mengambil keputusan terhadap penyalahgunaan dan tirani yang Malaka tim�bulkan karena posisi pentingnya, (3) untuk memuaskan kebutuhan isik dari 
para pedagang, Malaka diperlengkapi secara mengagumkan dengan membuat 
gudang barang di bawah tanah di mana para pedagang dapat menyimpan 
barang-barang mereka sambil menunggu barang yang baru masuk. Fasilitas�fasilitas tempat penyimpanan ini menyediakan perlindungan dari api, 
kerusakan, atau pencurian. Lebih jauh, suatu susunan administaratif baru 
diperkenalkan untuk menampung keperluan dari komunitas perdagangan 
yang berkembang. Dan empat syahbandar (kepala pelabuhan) diangkat, 
masing-masing mereka mewakili sebuah kelompok negaranya. 
Dari semua upaya Kerajaan Malaka yang disebutkan di atas, Andaya me�nyebutkan bahwa Malaka memiliki reputasi dalam bidang keamanan, sebuah 
pemerintahan yang sangat tertib dan tempat pemasaran yang kosmopolit 
dan dilengkapi dengan fasiltas-fasilitas yang baik. Tujuan raja-rajanya 
menciptakan kondisi tersebut adalah untuk menunjukkan kepedulian bagi 
kegiatan perdagangan yang aman dan menguntungkan ,
Pertumbuhan dan perkembangan Samudera Pasai dan Malaka di 
sepanjang selat memberikan pengaruh yang kuat bagi pertumbuhan dan 
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan tempat-tempat lain di 
kepulauan Indonesia. Pada tahun 1478, Demak sebagai ibukota kerajaan dan 
J epara sebagai kota pelabuhan mulai tumbuh dan berkembang di bawah 
pemerintahan Raden Patah atau mungkin Pate Rodim seperti disebutkan oleh 
Tome Pires. Menurutnya, Pate Unus, kakak ipar dari Pate Rodim yang yang 
memerintahkan serangan melawan Malaka pada 1512, dibunuh . Raja ketiga Demak adalah Trenggono yang selalu berjuang 
melawan Portugis ketika melanjutkan ekspansi politik kerajaan hingga bagian 
timur dan juga bagian barat Jawa. Ketika menguasai Blambangan, dia dibunuh 
dan meninggal pada 1546 .
Menarik bahwa Tome Pires dalam Sum a Oriental-nya, menguraikan 
proses historis Kerajaan Demak selama periode transisi dari situasi budaya 
dan sosial, politik, dan ekonomi di wilayah pesisir utara J awa. Area ini 
telah berada di bawah kontrol politik Demak dan pengikutnya, sementara 
di wilayah pedalaman masih berada di bawah Kerajaan Hindu-Buddha yang 
beribukota di Daha (Kediri) dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, dan di Pakuan 
(Bogor) untuk sisa Kerajaan Pajajaran Sunda. Menurut Tome Pires, kota 
Demak merupakan sebuah ibu kota kerajaan dengan sekitar delapan atau 
sepuluh ribu rumah (kepala keluarga), sedangkan kota pelabuhannya adalah 
Jepara. 
Sejak berdirinya, Demak sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar dan 
sebagai negara-kota, raja-rajanya selalu mengembangkan kekuasaan politik,�di samping perdagangan regional dan internasional yang termasuk sebagai 
faktor penting bagi pandapatan negara dan kemakmuran penduduknya. 
Perdagangan internasional tidak hanya dilakukan melalui kota pelabuhan 
utama Jepara, tetapi juga melalui kota pelabuhan lain seperti Tuban, Gresik, 
Sedayu, dan lain-lain di Jawa Timur, manakala semua wilayah ini telah berada 
di bawah kontrol Kerajaan Demak. Dikatakan oleh Tome Pires bahwa, “Jepara 
memang muncul sebagai rohnya Pulau Jawa, karena terletak pada inti dan 
berada di tengah-tengahnya Pulau Jawa, dan jarak dari Jepara ke Cherimon 
sama seperti ke Grisee. Jepara merupakan wilayah dagang yang besar karena 
Jepara merupakan sebuah pelabuhan dan para pedagang biasanya menyebar 
ke tempat-tempat lain.”  
Kegiatan perdagangan regional dan internasional Demak dan pengikutnya 
selalu diadakan dengan beberapa negara, kecuali dengan Malaka yang di�kuasai oleh Portugis. Barang dagang yang diekspor dari kota pelabuhan 
kerajaan biasanya berupa beras, lada panjang, tamarin, sapi-sapi jantan, 
lembu, domba, kambing, kerbau, dan jenis-jenis makanan. Sedangkan barang 
dagang yang diimpor adalah semua jenis kain dari Cambay, Keling, Bengal, 
dan keramik dari Tiongkok. Ke Gresik sebagai pelabuhan dagang yang besar, 
datang para pedagang dari Gujarat, Calicut (Kalkuta), Bengal, Siam, Tiongkok, 
dan Liu-Kiu.
Seperti telah saya sebut di atas bahwa Kerajaan Demak sejak Pate Rodim 
atau Raden Patah, diikuti oleh Pate Unus, kemudian Pangeran Trenggono, 
meluaskan kekuasaan politik sampai ke wilayah pantai utara J awa Barat 
sampai Cirebon dan Banten yang muncul sebagai Kerajaan Islam meskipun 
kedua kerajaan ini termasuk sebagai pengikutnya Demak. Berdasar pada 
catatan Tome Pires, Cirebon mulai menjadi pusat ibukota pelabuhan Islam 
sekitar tahun 1473, sedangkan menurut riwayat lokal Carita Purw aka 
Caruban Nagari lebih awal , Ketika Tome tiba di Cirebon 
sekitar tahun 1513, Cirebon termasuk ke dalam wilayah Jawa dan menjadi 
pengikut Pate Rodim dari Demak. Dikatakan bahwa Cherimon (Cirebon) 
pasti telah memiliki ribuan penduduk di mana Pate Quider – salah seorang 
yang memberontak di Upeh – tinggal di tempat ini. Cirebon memiliki banyak 
beras dan bahan makanan lainnya ,
Kerajaan Islam lainnya di Jawa Barat adalah Banten yang sejak tahun 
1526 telah didirikan oleh Sunan Gunung Jati bersama-sama dengan anaknya, 
Maulana Hasanuddin, yang termasuk sebagai sultan pertama Banten. Ketika 
Tome Pires mendatangi Banten dan kota pelabuhannya, Banten masih berada 
di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran dan ibukotanya masih di Banten Girang 
(sekarang kota Serang). Disebutkan oleh Tome Pires bahwa dari pelabuhan 
ini diekspor barang dagang terutama pala. Terjadi juga hubungan dagang 
antara Banten dan Pulau Maladive (Maladewa). �Sejak Banten menjadi ibu kota dan pelabuhan kerajaan Islam, aktivitas 
perdagangan regional maupun internasional lebih berkembang hingga 
menjadi negara-kota yang terkenal. Ketika bangsa Belanda datang pertama 
kali ke Indonesia, khususnya ke Banten pada 1596, kota pelabuhan ini telah 
berkembang dan dikunjungi oleh banyak saudagar dari beberapa tempat 
di Indonesia dan dari negara asing. Para pedagang pribumi yang datang 
di Banten adalah dari Maluku, Ambon, Banda, Solo, Makassar, Sumbawa, 
J aratan, Gresik, Pati, Yuwana, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan 
pedagang-pedagang asing yang datang adalah dari Tiongkok, Arab, Persia, 
India, Cambay, Bengal, dan lain-lain. Para pedagang dan barang dagangannya 
disebutkan secara jelas oleh Willem Lodewijcksz yang membuat catatan tentang 
perjalanan pertama Belanda ke India Timur (Indonesia) di bawah pimpinan 
Cornelis de Houtman (1595-1597). Willem Lodewijcksz menyebutkan semua 
jenis komoditas yang didagangkan oleh pedagang pribumi dan orang asing 
di pasar-pasar kota, terutama kota paling besar dekat pelabuhan ,
Peranan Banten sebagai ibu kota kerajaan dan sebagai kota pelabuhan 
tidak hanya dibuktikan oleh data-data historis seperti riwayat lokal – di 
antaranya Sejarah Banten dan laporan asing yang disebutkan di atas, tetapi 
juga oleh temuan-temuan arkeologis seperti keramik dari Tiongkok, Annam, 
Sawangkalok (Thailand), dan bahan-bahan dari Timur Tengah dan Eropa .
Di kota pelabuhan ini ada juga tempat tinggal khusus bagi saudagar 
asing, yakni Pecinan untuk orang Tionghoa, Pakojan untuk pedagang 
Muslim dari Gujarat, Bengal, Persia, Arab, Abessinia; orang Belanda juga 
mem punyai tempat tinggal tersendiri yang dibuatkan pagar untuk antisipasi 
terhadap serangan melalui jalan darat. Menarik juga bahwa ada suatu tempat 
tinggal untuk orang Portugis dekat tempat tinggal orang Tionghoa di bagian 
barat pantai. Orang Portugis tinggal di Banten sebelum kedatangan Bangsa 
Belanda. Sebagaimana disebutkan Willem Lodewijcksz bahwa ketika kapal 
Belanda tiba dekat pelabuhan, salah seorang dari orang Portugis dimintai 
oleh gubernur Banten yang bertindak sebagai raja, menjadi penerjemah 
dalam komunikasi antara penguasa Banten dengan orang Belanda. Pedagang 
pribumi dari Malay (Melayu), Maluku, Banda, Kalimantan, dan yang lain, 
juga diberikan tempat tinggal khusus. 
Pertumbuhan Kota Banten yang berfungsi sebagai ibu kota kerajaan dan 
sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-16 telah mencapai kemajuan bahkan 
puncak kedaulatannya pada abad ke-17 di bawah kekuasaan Sultan Ageng 
Tirtayasa (1651-1683). Sultan Ageng Tirtayasa sangat aktif mengembangkan 
per dagangan regional maupun internasional, dan dia juga sangat kuat dalam 
melawan pengaruh politik VOC ,�Namun demikian, Banten, sejak abad ke-16 telah membangun sebuah kegiatan 
jual-beli yang baik untuk mendapatkan rempah-rempah dan yang lain, yang 
selanjutnya diekspor bersama dengan hasil produksinya. Hubungan dagang 
antara Banten dan Maluku diperkuat hubungan politik yang telah dilakukan 
Kerajaan Demak sejak abad ke-16, terutama dengan Kerajaan Ternate dan 
Tidore.
Menurut sumber-sumber lokal, Maluku telah dikunjungi umat Islam 
sejak abad ke-14 ketika Ternate dipimpin oleh raja ke-12, Molomateya (1350-
1357). Muslim Arab yang datang ke Ternate telah memberikan petunjuk dalam 
pembuatan kapal. Setelah kepemimpinan Marhum, kemudian datang Maulana 
Husein dari Jawa yang ahli dalam menulis teks Arab dan membaca al-Quran, 
sehingga dia menarik otoritas dari rakyat Maluku. Namun demikian, raja 
yang terkenal memeluk Islam adalah Zainal Abidin yang dipanggil dengan 
sebutan Bulawa (raja rempah-rempah) yang memimpin dari 1468-1500 
dan mengunjungi Sunan Giri-Gresik dengan ditemani oleh Pendeta Jamilu. 
Sekembalinya dari J awa, raja ini ditemani oleh seorang pendeta bernama 
Tuhubahahul. 
Sumber-sumber sejarah lain, yaitu Sum a Oriental yang ditulis oleh Tome 
Pires (1512-1515) dan A Treatise on the Moluccas-Historia das Moluccas yang 
ditulis oleh Antonio Galvao sekitar tahun 1544, memberikan pendapat yang 
sama bahwa raja-raja di Maluku memeluk Islam sekitar 1460-1465 , Menurut Tome Pires, Raja Ternate yang 
memeluk Islam adalah Sultan Ben Acorala dan hanya Raja Ternate ini yang 
menggunakan gelar sultan, sementara raja-raja lain dipanggil sebagai raja 
atau kolano. Selain Ternate dan Tidore, Tome Pires juga menyebutkan bahwa 
umat Islam telah ditemukan di Banda, Haruku, Makian, Motir, dan Bacan .
Barang dagang dari pulau-pulau Maluku – yang terkenal sebagai Pulau 
Rempah – adalah cengkeh, pala, bunga pala, pohon sagu, anggur, dan bahan 
makanan lain yang dibutuhkan penduduk. Tidak disebutkan bahwa cengkeh, 
pala, bunga pala, diekspor ke Jawa dan Malaka untuk kegiatan perdagangan 
internasional. Barang-barang dagang asing yang diimpor adalah beragam 
jenis kain dari Bengal, Gujarat, dan Banua Keling. Hubungan dagang ti�dak hanya dilakukan antarpulau-pulau Maluku tetapi juga dengan J awa, 
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan juga dengan Malaka yang menjadi 
bagian perdagangan internasional.
Kota pelabuhan lain yang penting sebelum dan sesudah kedatangan 
Kerajaan Islam adalah Gowa di Sulawesi Selatan. Tome Pires menyatakan 
bah wa di Makassar masih banyak penduduk yang belum memeluk agama 
sam a sekali. Mereka m elakukan perdagangan dengan Malaka, J awa, 
Kalimantan, Siam, Pahang, dan dengan tempat-tempat antara Siam dan �
Pahang. Meskipun sejak abad ke-16 pedagang-pedagang Muslim telah datang 
ke Makassar, tetapi Islam baru dipeluk secara resmi oleh Raja Tallo dan 
Gowa tepat pada awal abad ke-17, pada 22 September 1605 ,. Pedagang-pedagang ini mempunyai kapal-kapal besar yang berisi 
penuh dengan barang-barang dagangan seperti beras dan emas. Mereka 
membawa beberapa kain dari Cambay, bretangis, dan barang dagangan lain 
yang dibutuhkan. Makassar juga melakukan perdagangan dengan Maluku, 
terutama dengan Ternate dan Tidore, untuk rempah-rempah yang selanjutnya 
dibawa ke Malaka sebagai salah satu kota pelabuhan dagang internasional 
terbesar di Asia Tenggara. 
Di antara kota-kota pelabuhan yang mengadakan hubungan secara erat 
dengan rute dagang dari Malaka ke Maluku tidak hanya Makassar atau Gowa, 
tetapi juga Banjar di Kalimantan Selatan dan Tanjungpura serta Lawe di 
Kalimantan Barat sebagaimana disebutkan Tome Pires. Penduduk wilayah�wilayah ini, menurut Tome, belum beragama dan mereka tidak hanya ber da�gang ke Malaka, tetapi juga hampir ke seluruh daerah Jawa. Barang dagang 
yang berasal dari tempat ini adalah berlian, emas, madu, lilin, dan be berapa 
bahan makanan. Sedangkan barang dagangan yang diimpor di an taranya 
adalah kain dari Cambay, Keling, bretangis hitam dan merah, dan kain putih 
bernilai murah dari Bengal. Sementara Banjar, Tanjungpura, dan lawe, setelah 
mengalami islamisasi, aktivitasnya sebagai kota dagang tetap dilanjutkan dengan 
Malaka, Jawa, dan tempat-tempat lain di sepanjang jalur-jalur perdagangan. 
Menurut laporan Tome Pires, pelabuhan-pelabuhan dagang dari kerajaan�kerajaan kecil di sepanjang pesisir timur Sumatera seperti Tungkal, Rokan, 
Kampar, Siak, Indragiri, Arcat, dan seterusnya, komoditas mereka dibawa ke 
Malaka sebagai pusat dagang terbesar dan pasar internasional untuk menjual 
dan membeli barang-barang dagang bernilai tinggi. Situasi dari kota-kota 
pelabuhan lain seperti Tiko, Pariaman, Minangkabau di daerah pedalaman, 
dan Barus di pesisir barat Sumatera, sebagaimana disebutkan Pires, kaya 
dengan bahan makanan yang menjadi barang dagang bernilai tinggi. Pariaman 
dengan banyak kuda yang dijual ke Kerajaan Sunda, Minangkabau, Tiko, dan 
Barus, kaya dengan barang dagang seperti emas, kapur barus, sutera, lilin, 
dan madu .
Jadi, sebelum kedatangan bangsa Portugis, semua kota-kota pelabuhan di 
Indonesia, baik besar maupun kecil, sangat aktif dalam kegiatan perdagangan 
regional maupun internasional, terutama kota-kota pelabuhan yang memiliki 
fungsi ganda, yakni sebagai ibukota dan negara-kota. Ketika Portugis datang 
dan bahkan merebut Malaka pada tahun 1511, kota-kota yang menjadi ibu�kota kerajaan Islam dengan kota-kota pelabuhannnya tersebut, yang masih 
aktif dan terus mengembangkan kegiatan perdagangan regional dan in�ternasionalnya adalah Demak, Banten, dan Aceh.�
Pengaruh Kedatangan Portugis bagi Kota-Kota Pelabuhan Muslim
Bagian ini akan mendiskusikan kapan, bagaimana, dan di mana Portugis da�tang, serta apa pengaruhnya bagi kerajaan-kerajaan, terutama aktivitas kota�kota pelabuhan dalam perdagangan regional dan internasional.
Motif ekspansi Portugis masih debatable di antara para sarjana. Charles 
R. Boxer, dalam bukunya The Portuguese Seaborne Em pire: 1415-1825, me�nga takan bahwa ada empat motif utama yang mendorong para penguasa 
Portugis (apakah itu raja, pangeran, kaum bangsawan, atau para saudagar) 
melakukan ekspansi, di mana motif-motif tersebut saling melengkapi: (1) 
semangat perang atau penjajahan melawan umat Islam, (2) hasrat untuk 
Guinea gold, (3) mencari Prester John, (4) menguasai rempah-rempah dari 
Asia. Sarjana ini mengatakan bahwa ada satu faktor yang turut mendukung, 
yakni situasi politik di negara-negara lain di Eropa Barat selama abad ke-15 
yang diletupkan oleh pihak luar ataupun oleh perang sipil dan lain-lain dan 
karena adanya sebuah persaingan antara orang Spanyol dan bangsa Portugis 
Paramita R. Abdurrahman mempunyai pendapat bahwa ekspansi 
Portugis tidak dapat dihubungkan dengan satu faktor saja, tetapi harus dilihat 
sebagai susunan dari banyak motivasi. Dinyatakannya bahwa tiga tujuan atau 
motif dari ekspansi Portugis dicantumkan dalam kebijakan berupa feitoria, 
fortaleza, igreja atau perdagangan, dominasi militer, dan agama, yang juga 
di terjemahkan dan disebut sebagai gold, glory , dan gospel .
Ketika bangsa Portugis memulai ekspansi luar negeri pada tahun 1415, 
mereka merebut Ceuta, sebuah pusat jual beli, pangkalan angkatan laut 
Muslim dan sekaligus pangkalan jembatan untuk invasi melewati Selat 
Gibraltar. Ceuta mengekspor komoditas dari daerah pedalaman dan termasuk 
pelabuhan terminal bagi perdagangan emas. Kedudukan Ceuta bagi bangsa 
Portugis dijadikan kemungkinan untuk memperoleh informasi sekitar daratan 
Negro, daratan tinggi Nigeria, dan sungai-sungai Senegal di mana sumber 
emas berasal. Kehendak perang dari bangsa Portugis yang penting adalah 
semata-mata diarahkan terhadap Muslim Maroko dan untuk mencari Guinea 
gold. Portugis akhirnya berhasil dalam mencari Guinea dan menancapkan 
pengaruh kekuasaannya serta membawa emas dan para budak sebagai barang 
dagangan yang penting. Dengan kesuksesan ini, Dom J oao II mempunyai 
obsesi dan posisi untuk meneruskan pencarian atas Prester John.
Raja Dom J oao II memutuskan untuk mengirimkan sebuah ekspedisi 
un tuk mencari Prester John dan rempah-rempah dengan melalui jalan darat 
dan laut pada pertengahan 1480, di mana perjalanan ini dikomandoi oleh 
Bartholomeus Diaz yang meninggalkan Lisbon pada tahun 1487. Dia pertama�tama mengitari Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), pada awal tahun 1455, �dan setelah menempuh jarak perjalanan yang begitu jauh dari pantai Afrika 
Selatan, dia kembali melalui rute laut menuju India yang terbentang dengan 
jelas. Sebagian besar wakil yang dikirim melalui jalan darat tampak gagal, 
tetapi salah seorang dari mereka bernama Pero de Covilha yang meninggalkan 
Lisbon pada tahun yang sama seperti Bartholomeus Diaz, berhasil mencapai 
pantai barat India pada tahun 1488. Pero kemudian mengunjungi Teluk 
Persia, Pantai Swahili Afrika Timur, sampai Sofala Selatan. Namun demikian, 
perjalanan petualangannya memberinya ide yang sangat bagus mengenai 
perdagangan dari Benua India secara umum, dan perdagangan rempah secara 
khusus. Dalam perjalanannya kembali ke Portugal, dia mengunjungi Kairo 
dan Etiopia di mana kehadirannya diterima oleh kaisar tapi tidak diizinkan 
untuk meninggalkan Kerajaan Etiopia dengan diberi seorang istri dan tanah 
hingga kematiannya setelah tiga puluh tahun kemudian. Untungnya, berdasar 
laporan Covilha, ia pernah sampai di Portugal pada tahun 1490-1491 .
Berdasarkan catatan Bartholomeus Diaz, enam tahun setelah Christopher 
Columbus menemukan New W orld (Amerika atau Dunia Bagian Barat) pada 
1492, Vasco da Gama mengelilingi Tanjung Harapan pada 18 Mei 1498 
dengan armada kecilnya yang dikemudikan oleh pengemudi kapal India, 
menyeberangi lautan lepas dari Afrika Timur, berlabuh sebelum Calicut 
(Kalkuta), pusat perdagangan Malabar. Setelah Vasco da Gama kembali ke 
Lisbon dan mencapai Tagus pada J uli 1499, Raja Manuel menulis sebuah 
surat kepada Ferdinand dan Isabella dari Benteng Aragon, memberitahukan 
bahwa para penemu telah mencapai tujuan mereka dan telah menemukan 
rempah-rempah dalam jumlah yang besar, kayu manis, rempah lain selain 
batu delima, semua jenis batu permata, dan sebagainya. Dia kemudian 
mem beritahukan bahwa perjalanan dan pencarian barang penemuan yang 
berikut nya akan mengambil kekuasaan perdagangan rempah di Benua India 
dari tangan umat Islam, dengan bantuan orang-orang Kristen India. Namun 
demikian, menurut Charles R. Boxer, susunan kata dari surat Raja Manuel 
ke pada Raja Spanyol dan kepausannya pada suatu ketika di mana tidak 
ada sebuah kapal Portugis di wilayah itu, menunjukkan secara jelas dua 
hal. Pertama, bahwa dia ditetapkan untuk membangun kekuasaan terhadap 
per dagangan rempah di Asia dengan kekuatan tentara; dan kedua bahwa 
dia mengharapkan bantuan persahabatan orang-orang Kristen India untuk 
me lakukan hal yang sama. Untuk premis yang terakhir ia keliru, meskipun 
akhir nya terjadi kontak secara singkat dengan Prester John sebelum kematian 
Raja Manuel .
Alfonso de Albuquerque yang menjadi Gubernur Portugis kedua atau 
Raja Muda dari Estado da India, kerajaan Asia untuk Portugal, merupakan 
arsitek dasar ekspansi Portugis di Asia. Selama masa jabatannya (1509-1515), �
Alfonso de Albuquerque berupaya menguasai hal-hal pokok dalam jaringan 
dagang umat Islam melalui perdagangan rempah-rempah dari Asia sampai 
ke Eropa. Untuk yang terakhir dia merengkuh Pulau Goa, pesisir barat India 
pada tahun 1510 dan membuat Goa sebagai markas besar di mana dia men�dapat dukungan dari umat Hindu. 
Menurut Tome Pires, Alfonso de Albuquerque sendiri memimpin sebuah 
ekspedisi melawan Malaka dan tiba pada awal bulan J uli 1511 dengan 15 
armada nya, besar dan kecil, dengan sekitar seribu lima ratus orang prajurit. 
Pada waktu itu Malaka mempunyai seratus ribu orang tentara yang direkrut 
dari Kuala Tinggi sampai daerah pedalaman dan Kasang, beberapa kapal 
Gujarat yang siap untuk bertempur , Dikatakan 
bahwa, segera setelah Albuquerque tiba dengan armadanya, dia menghabiskan 
beberapa hari untuk mengirimkan pesan perdamaian, tetapi Raja Malaka 
dan pengikutnya menolak hasrat untuk berdamai. Lalu Albuquerque dan 
armadanya mengepung Malaka pada 10 Agustus 1511, sementara Sultan 
Mahmud Shah dan putranya Sultan Ahmad Shah, keduanya melarikan diri 
ke daerah pedalaman dan ke Muar, Pahang, kemudian menetap di Pulau 
Bintan, kepulauan Lingga-Riau.
Setelah itu sultan dibunuh. Sedangkan ayahnya, Mahmud Shah, memilih 
Bintan sebagai lokasi untuk ibukota yang baru. Tetapi, pada 1526, wilayah ini 
dihancurkan oleh Portugis dan Sultan Mahmud Shah melarikan diri ke Kampar 
di pesisir timur Sumatera, tempat dia meninggal. Keberhasilan Portugis 
dalam merebut Malaka, salah satu dari kota pelabuhan dagang internasional 
yang terpenting di Asia bagian selatan pada tahun 1511, merebut Goa pada 
tahun 1510, Hormuz pada 1515, memastikan Portugis untuk menguasai rute 
utama perdagangan rempah di Benua India, menyelamatkan Laut Merah, 
dan beberapa pusat perdagangan lain dari Sofala di Afrika Selatan hingga 
Malaka. 
Klaim atas kedaulatan yang utuh di Samudera Indonesia, dinyatakan 
melalui upaya untuk menyingkirkan perdagangan umat Islam ke Laut Merah 
dan Afrika Timur, serta memaksa pedagang-pedagang yang melewati Laut 
India untuk membeli cartazes atau surat izin pelayaran dari para pejabat 
Portugis. Selain itu, dilakukan juga pengalihan perdagangan rempah dan 
lada dari Alexandria dan Venice ke Lisbon dan Antwerp. Dalam hal ini, KN 
Chaudhuri menyatakan bahwa, “Tentu saja kedatangan Portugis di Benua 
Hindia (Indonesia) mengakhiri dengan tiba-tiba sistem pelayaran laut yang 
damai yang menjadi ciri-ciri yang menandai kawasan ini .
Setelah membangun kekuasaannya di Malaka, bangsa Portugis melanjut�kan ekspedisinya dengan dikomandoi oleh nakhoda Ismail untuk menemukan 
Maluku, pulau rempah itu. Rute perjalanan dimulai dari pantai bagian selatan �
Sumatera menuju pantai utara J awa, Bali, dan rangkaian pulau di daerah 
Sunda. Dari sana mereka menyeberangi Banda yang mereka temukan pada 
awal bulan Desember 1511. D’Abreu kembali ke Malaka dengan kapal yang 
dimuati rempah-rempah, sementara Serrao meneruskan perjalanannya dan 
kemudian mencapai pesisir Hitu di Pulau Ambon pada J anuari 1512. Dia 
tiba di dusun Hitu dan diterima dengan baik oleh Ampay Perdana. Portugis 
membuat perjanjian dengan para raja di mana Portugis diizinkan untuk 
mendirikan sebuah pusat perdagangan sementara. Tidak berlangsung lama, 
terjadi serangan dari kampung-kampung Seram Barat yang sedang berperang, 
tetapi dengan bantuan Portugis serangan itu dapat diatasi. Setelah itu orang�orang Ternate dan raja-raja Tidore mengirim utusan untuk mengundang 
Serrao dan kelompoknya untuk datang ke Ternate dan Tidore.
Undangan dari Ternate, saudara raja yang lebih muda, Kaichil Koliba, 
tiba dan diterima oleh Serrao. Selanjutnya Serrao meninggalkan Ternate di 
mana dia diterima dengan baik oleh Raja atau Kolano Magira yang dikenal 
dengan Bayan Sirullah. Portugis dibolehkan untuk membangun pusat da�gang sementara (feitoria) dan memonopoli perdagangan cengkeh. Serrao dan 
pengikutnya diizinkan untuk bertempat tinggal, dan akhirnya Serrao men jadi 
penasihat Kolano atas persoalan militer. Kebijakan Kulano Ternate menjadi 
sebuah persoalan yang bersifat persaingan bagi Kulano Tidore dalam mem�perkuat posisi politik dan ekonominya. Setelah kedatangan bangsa Spanyol di 
Tidore pada 1521, Kulano Tidore, Kaichil Mansur, membuat sebuah perjanjian 
dan memberikan Spanyol izin untuk membangun benteng dan kekuasaannya 
atas perdagangan rempah. Namun demikian, persahabatan Spanyol dan 
Kolano Tidore menyebabkan perselisihan antara Portugis dan Spanyol yang 
akhirnya dapat diselesaikan melalui Perjanjian Saragossa pada 1529, di mana 
Spanyol menjual harta bendanya kepada Portugal untuk 350.000 emas ducat ,
Persahabatan antara bangsa Portugis dan Kerajaan Ternate mulai ber�ubah sejak adanya beberapa penyelewengan dari perjanjian yang telah 
dibuat oleh kedua pihak. Kebijakan monopoli dari keseluruhan kegiatan 
per dagangan menghasilkan penyelundupan cengkeh ke pulau-pulau lain, 
pertama di Hoamoal, lalu Ambon, dan pulau-pulau yang berbatasan. Lebih 
dari itu, Portugis mencampuri urusan internal Ternate, misalnya melantik 
po sisi sultan, kemudian digantikan lagi oleh kandidat simpatik dari Portugis, 
meng asingkan raja-raja terdahulu dengan melakukan desakan tertentu. 
Sebagai contoh, pada 1529 penguasa Ternate (saudara laki-laki Bayan 
Sirullah) yang berkuasa bersama-sama dengan Ratu Nyai Chili Boki Raja, 
dipenggal kepalanya atas desakan Portugis. 
Dia digantikan oleh keponakan laki-lakinya, tetapi dia segera meninggal 
de ngan sebab yang tidak diketahui dan diikuti oleh saudara laki-laki yang �
lebih muda yang juga dengan cepat dibuang bersama dengan para bangsawan 
ke Halmahera. Saudara ketiga, Tabarija, kemudian naik tahta, tetapi dia juga 
dituduh berencana melawan kapten Portugis. Dia dipenjarakan bersama 
dengan ibunya, Nyai Chili dan Perdana Menteri Patih Serang, dan setelah 
dua tahun menderita akhirnya dikirim ke Malaka dan ke Gowa untuk diadili. 
Penggantinya adalah Hairun, saudaranya Tabarija, meski setelah itu nasibnya 
tidak mujur karena dia juga diasingkan ke Malaka dan Gowa. Suatu hari 
setelah Hairun meninggalkan Gowa, Tabarija yang kembali ke Maluku jatuh 
sakit karena racun dan meninggal. 
Di Ternate, pemimpin Portugis, Freitas mengangkat Nyai Chili Boki 
Raja sebagai ratu penguasa. Selama masa itu kekacauan politik terjadi, tidak 
ada kedamaian dan ketertiban. Pada masa itulah Antonio Galvao (1536-
1539) datang ke Maluku menggantikan Freitas, memulihkan kedamaian dan 
ketertiban untuk kepentingan politik, perdagangan, dan juga untuk kehidupan 
baru dari kedua kerajaan, Ternate dan Tidore, rakyatnya, dan juga untuk ma�syarakat Portugis. Sebuah kelompok para pendeta Kristen yang datang dengan 
Antonio Galvao memulai kerja missionaris mereka dan cukup berhasil, bahkan 
para bangsawan dibaptis. Beberapa perubahan juga dilakukan di pulau-pulau 
lain. Dari benteng-benteng, unsur-unsur kebudayaan Portugis berkembang 
dan mempengaruhi kaum bangsawan Maluku dan rakyatnya.
Pada tahun 1547, Hairun kembali dari pembuangannya di Gowa dan 
kembali menjadi Sultan Ternate. Selama kekuasaannya, terjadi suatu konlik 
pada 1570 ketika kapten Portugis mencoba lagi untuk memunculkan isu hasil 
panen cengkeh dari Makian. Perang meletus dan Hairun terbunuh dan ini 
merupakan isyarat bagi raja-raja Maluku untuk bersatu dan mengumumkan 
perang suci melawan Portugis. Benteng-benteng Portugis di Ternate dikepung 
oleh rakyat Ternate sehingga Portugis pergi ke Tidore dan meminta izin 
dari Kolano Tidore untuk membangun benteng. Di Ternate, anak Hairun, 
Babullah menggantikan ayahnya. Dia menjadi raja, seorang pejuang, dan 
Muslim yang taat. Dia mengumumkan diri sebagai raja bagi keseluruhan 
pulau-pulau Maluku dan kekuasaannya meluas ke Mindanao dan Sulawesi 
Utara, bahkan pulau-pulau lain di bagian selatan Maluku. 
Ternate (1570-1610) menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar di ke�pulauan Indonesia. Dia mengundang guru-guru agama dari Mekkah dan 
men jalin hubungan yang erat dengan kerajaan Islam lain terutama dengan 
Demak, Banten, dan Melayu. Ketika Babullah meninggal pada 1583 dan di�gantikan oleh anaknya Said yang meneruskan kebijakan ekspansi Babullah, 
kegiatan-kegiatan Portugis pindah dan berpusat di Ambon. Tetapi setelah 
itu, untuk menghindari serangan terus-menerus yang dilakukan penduduk 
Hitu, Portugis pindah lagi ke Soya dan membangun benteng pada 1576. 
Mereka juga menemukan dusun di Hatiwi, Leitimor, di mana mereka mulai �
membangun gereja dan sekolah. Pada periode ini, kapal Inggris di bawah 
pemimpinnya, Francis Drake, tiba di Ternate pada 1579 dan dia diterima 
dengan baik oleh Babullah, kemudian diikuti oleh kedatangan kapal Belanda 
di bawah Jacob van Neck, Wijbrand van Warwick, Jacob van Heemskerck 
yang tiba di Hitu pada 1599. Kedatangan kapal-kapal Eropa di kepulauan 
Maluku dengan tujuan menguasai perdagangan rempah, bahkan untuk ke�pentingan kekuasaan mereka, menyebabkan persaingan di antara mereka di 
mana akhirnya bangsa Belanda dapat membangun pengaruh politik dan eko�nomi di kepulauan Maluku.
Setelah mendiskusikan situasi politik dan ekonomi di Maluku sejak ke�datangan Portugis, sekarang muncul pertanyaan: bagaimana situasi kota-kota 
pelabuhan di bagian lain Indonesia? Ketika bangsa Portugis datang pertama 
kali di Malaka pada 1511, mereka berhasil merebut kota pelabuhan terpenting 
di Asia bagian selatan dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke kepulauan 
Maluku demi monopoli atas perdagangan rempah. Kerajaan-kerajaan Islam 
lain di Jawa dan tempat lain masih mempertahankan dan mengembangkan 
ekspansi politik dan ekonomi, di antaranya pengembangan perdagangan 
regional dan internasional. 
Sebagaimana telah digambarkan secara singkat mengenai situasi politik 
dan ekonomi Kerajaan Islam Demak dan pengikutnya di Cirebon, Jayakarta, 
dan Banten di pesisir utara J awa Barat dan beberapa kota pelabuhan di 
pesisir utara J awa Timur, kita dapat berpendapat bahwa Demak dan pen�duduknya dapat mempertahankan dan membangun kekuasaannya melawan 
pengaruh Portugis yang membangun kekuasaannya di Malaka pada 1511 dan 
meneruskan pengaruhnya di kepulauan Maluku, meskipun mereka tidak 
dapat menghindari beberapa perlawanan dari Raja Ternate seperti Hairun 
dan Babullah beserta rakyatnya. 
Banten yang mempunyai kedudukan ganda sebagai ibu kota negara-kota 
dan kota pelabuhan sejak 1526, dapat mengembangkan kekuatan politiknya 
dengan ditopang oleh perdagangan regional dan internasional hingga akhir 
abad ke-17. Meskipun Mataram sebagai wilayah pedalaman kerajaan (abad 
ke-16 sampai 17) dengan kota-kota pelabuhannya di pesisir utara Jawa Tengah 
seperti Jepara, Semarang, Tegal, dan sebagainya, tidak pernah dikuasai oleh 
kekuatan politik Portugis. Ekspedisi Portugis ke Kerajaan Sunda pada 1527 
di kalahkan oleh tentara Muslim di bawah kepemimpinan Fadhillah Khan, 
seperti telah dijelaskan di atas.
Kerajaan Islam Aceh yang dibangun sejak awal abad ke-16 di bawah 
ke kuasaan Sultan Ali Mughayat Shah dan raja-raja pengganti berikutnya 
dari Kesultanan Aceh selalu berjuang melawan Portugis. Bagaimanapun, 
setelah Portugis merebut Malaka, mereka secara berangsur-angsur mencoba 
memperluas kekuasaan di Aceh. Mereka membangun sebuah benteng di �
Pasai. Setelah Aceh di bawah Ali Mughayat Shah menggabungkan Pedir dan 
Pasai pada 1528, Ali Mughayat Shah berencana untuk menyerang Malaka, 
tetapi tidak berhasil karena Syahbandar Malaka yang berjanji membantu 
serangan itu diketahui oleh Portugis dan diasingkan sampai kematiannya. 
Pada 1530, Ali Mughayat Shah meninggal diracun oleh istrinya.
Raja berikutnya dari Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Shah al-Kahar 
(1537-1571). Salah satu dari gapaian utamanya adalah perluasan angkatan 
bersenjata Aceh. Menurut laporan pelaut Portugis, Mendez Pinto, dasar dari 
kekuatan militer Aceh adalah tempat penyimpanan kekayaan emas yang 
dimiliki dan memungkinkan sultan-sultan untuk menyewa prajurit-prajurit 
terlatih dari luar negeri hampir secara terus-menerus, dan perdagangan Aceh 
yang maju menghasilkan pendapatan pokok bagi kerajaan di mana para sultan 
dapat mengembangkan perencanaan ekspedisi militernya. Tentara Aceh juga 
berisikan kesatuan besar dari Turki, Cambay, Malabar, dan tentara Abessinia. 
Adakalanya Aceh juga mempunyai tentara-tentara dari Luzon dan Borneo .
Faktor lain yang memperkuat posisi Aceh di pertengahan abad ke-
16 adalah jaringan internasionalnya serta hubungan yang dekat dengan 
Pasha Kairo, Turki, dan Abessinia. Pada tahun 1563, Raja Aceh mengirim 
perwakilan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan melawan Portugis. 
Setelah menunggu dua tahun, dua kapal dengan persediaan dan teknisi 
militer dikirim ke Aceh. Selanjutnya, Aceh menyerang Malaka pada 1568. 
Aceh membuat usaha untuk meluaskan perserikatan Islam, di antaranya 
ke Kerajaan J awa, J epara, di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat. Malaka 
diserang oleh Aceh dua kali pada 1573 dan 1575. 
Aceh selalu mengembangkan perdagangan internasionalnya dengan 
Timur Tengah melalui Laut Merah. Tetapi akibatnya Portugis menganggap 
Aceh sebagi musuh terbesar dan sebagai rintangan utama bagi monopoli 
mereka atas perdagangan rempah di Asia. Ada anjuran dari pendeta Gowa, 
Jorge Temudo, kepada rajanya untuk menghadang Aceh, di antaranya agar 
menghalangi kapal-kapal Turki melalui Laut Merah yang bertujuan mem�bantu Aceh. Strategi Portugis tidak dapat terwujud, malah sebaliknya Malaka 
diserang oleh tentara militer Aceh. Hubungan persahabatan dengan kota�kota pelabuhan di sepanjang wilayah pesisir barat Sumatera, misalnya Barus, 
Pariaman, dan kemudian di Jawa dengan kerajan besar Islam Banten, me�mungkinkan Aceh membangun perdagangan internasionalnya. 
Selama kekuasaan Sultan Alauddin Shah (1588-1604), situasi ekonomi 
dan politik di Aceh mengalami kemunduran karena kelemahan raja. Tetapi 
sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa, Kesultanan Aceh (1607-1636) memulai 
lagi perjuangan lama melawan Portugis di Malaka. Iskandar Muda membuat 
Aceh jadi terkenal dengan lautan dan daratannya. Mengusir Portugis dari �
Malaka dan menguasai Selat Malaka, merupakan tujuan besar kebijakannya. 
Mengenai motivasi komersial atas ekspansi Aceh telah banyak disebutkan. 
Beragam sumber penghasilan dari kerajaaan yang luas, digunakan terutama 
untuk tujuan militer. Tidak dapat diragukan bahwa Iskandar Muda senang 
me miliki kekayaan demi kas pribadinya. Raja mempunyai penghasilan yang 
baik dari pelabuhan-pelabuhan kerajaannya dan juga dari kegiatan per�dagangan ,
Aceh merupakan salah satu kota paling padat penduduknya di Indonesia. 
Aceh memiliki sekitar tujuh atau delapan ribuan kepala rumah tangga pada 
akhir dekade abad ke-17. Pada masa Iskandar Muda, kota dan wilayah�wilayah yang berdampingan cukup padat penduduknya untuk memudahkan 
raja dalam membentuk 40.000 orang tentara .
Di kota ini ada sejumlah masjid, beberapa sekolah, dan dua pasar utama. 
Terdapat juga para pedagang asing yang datang dari Konstantinopel, Venesia, 
Aleppo, area Laut Merah dan Arab, Gujarat, Dabul, Malabar, Coromandel, 
Bengal, Arakan, dan Pegu. Pedagang lainnya datang dari Semenanjung Malaya, 
Siam, Tiongkok, Borneo, Makassar, Jawa, dan tempat lain di Sumatera .
Kerajaan Aceh memiliki banyak beras, daging, ikan, dan anggur. Ko�moditas yang penting untuk diekspor adalah lada, sutera, kapur barus, 
kendi, batu bara, kayu, kapur barus, sulfur, minyak tanah, emas, timah, dan 
gading. Komoditas tersebut asli dari pribumi yang dikirim ke luar negeri. 
Komoditas yang berasal dari luar Aceh adalah kayu manis, cengkeh, pala, 
bunga pala, dan kayu cendana, pakaian India dan porselen Tionghoa juga 
dibawa oleh pedagang-pedagang asing di Aceh; dari semua produk yang ber�asal dari pribumi, produk yang paling penting diekspor adalah lada , Jadi, situasi politik dan ekonomi Kerajaan Aceh pada 
zaman Iskandar Muda menjadi semakin kuat dan kaya. Perjuangan melawan 
Portugis diteruskan oleh pengganti Iskandar Muda, meskipun pada 1641 
Portugis diusir dari Malaka oleh kompeni Belanda (VOC).

Berdasarkan diskusi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, se�belum kedatangan Portugis, terdapat kota-kota pelabuhan, besar dan kecil, 
kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan Islam yang memiliki kedudukan ganda 
sebagai ibu kota kerajaan maupun sebagai kota pelabuhan saja. Kerajaan�kerajaan tersebut membangun perdagangan regional dan internasional serta 
kota-kota pelabuhan dari negara-kota, karena fungsinya dalam menghasilkan 
pendapatan kerajaan.
Kedua, aktivitas perdagangan internasional kerajaan Hindu-Buddha 
maupun kerajaan Islam melalui benua India dilakukan dengan lancar, damai, dan aman. Ketiga, di kota-kota pelabuhan di mana pedagang asing datang, 
ada kelompok-kelompok berdasarkan etnis mereka, seperti Pecinan, Pakojan, 
dan sebagainya. Keem pat, kedatangan Portugis dengan kebijakannya yang 
dimuati oleh tiga faktor: feitoria, fortaleza, igreja atau perdagangan, dominasi 
militer, dan agama, membawa implikasi-implikasi politik, konlik, bahkan 
perang, antara kerajaan-kerajaan Indonesia melawan Portugis. Perang terjadi 
ketika orang asing mulai mencampuri politik kerajaan dan memaksakan 
monopoli dagang mereka.
Kelim a, ketika Portugis berhasil menguasai Malaka sebagai tempat 
untuk dasar dan strategi dagang mereka di Asia Selatan, mereka selalu ber�hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha untuk negoisasi politik 
dan perdagangan. Keenam , dominasi terhadap jalur perdagangan di India 
dengan menguasai perdagangan rempah Asia, dilakukan oleh Portugis dari 
Afrika Selatan hingga Calicut dan Malaka untuk menguasai aktivitas dagang 
internasional yang dilakukan sebagian besar kerajaan Islam. Ketujuh, ada 
beberapa aspek kebudayaan Portugis yang diadaptasi oleh penduduk, seperti 
kata serapan dari bahasa Portugis, kesenian Portugis, dan tentu saja agama 
Kristen yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh pemuka-pemuka Kristen 
yang mengunjungi Indonesia pertama kali, khususnya kepulauan Maluku. �





SUMBER-SUMBER yang memfokuskan pada pedagang Arab di Indonesia pada 
masa awal, yang bersandar pada sumber-sumber historis Indonesia seperti 
hikayat atau cerita lokal, masih jarang dan tidak lengkap. Oleh karena itu, 
untuk merekonstruksi sejarah pedagang-pedagang Arab yang datang ke 
Indonesia dan menjalin jaringan perdagangan dengan orang Indonesia, 
harus didukung oleh sumber-sumber historis lain, misalnya laporan-laporan 
asing: Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, dan lain-lain. Data arkeologis 
seperti nisan-nisan kubur dan benda-benda temuan lain di negara ini juga 
bermanfaat untuk memperkuat sumber-sumber sejarah tersebut. 
Ada beberapa naskah (manuskrip) yang ditulis dalam beberapa bahasa, 
seperti bahasa Arab, Melayu, Sunda, J awa, Bugis, Makassar, Sasak, dan 
lain-lain, yang telah terdaftar dalam beberapa katalog yang diterbitkan oleh 
beberapa lembaga . Naskah-naskah 
tersebut dapat dipilih dan dipelajari untuk merekonstruksi sejarah Islam 
di Indonesia, khususnya dalam sejarah intelektual, sejarah sosial, sejarah 
politik, sejarah budaya, sejarah ekonomi dan seterusnya. Setelah diseleksi 
dan dikritisi baik secara internal maupun eksternal berdasarkan metodologi 
sejarah, maka naskah-naskah tersebut dapat digunakan untuk historiograi 
tertentu tergantung pada tema yang dibutuhkan. Selain itu, jika sumber�sumber historis ini dapat ditinjau dari pendekatan ilmu pengetahuan sosial 
yang biasa dinamakan pendekatan mazhab Annales .
maka hasil sejarah yang ditulis akan bersifat komprehensif dan memadai bagi 
pembaca yang tertarik pada sejarah�Karena sejarah dibatasi oleh masa, dalam artikel ini saya akan membahas 
berlangsungnya perdagangan Arab dengan Indonesia dari abad ke-7 hingga 
abad ke-16/ 17 M ketika ekspansi politik Portugis dengan tiba-tiba mengakhiri 
hubungan dagang pedagang-pedagang Arab dan kesultanan-kesultanan di 
Indonesia. Meski data atau sumber historis dan arkeologis masih terbatas, 
artikel ini akan mendiskusikan tema tersebut.
Pelayaran dan hubungan perdagangan memang mempunyai keterkaitan 
yang erat. Kepulauan Indonesia dengan beberapa pulau yang terletak antara 
dua benua, Asia dan Australia, mempunyai posisi geograis yang strategis 
bagi perkembangan pelayaran sepanjang jalur laut hingga menuju rute 
perdagangan internasional sepanjang laut India dan Tiongkok. Sejak abad 
pertama Masehi, perdagangan internasional antara India dan Indonesia 
melalui Selat Malaka dan sepanjang Laut Cina sampai Timur J auh, telah 
terjadi . Sejak abad ke-7 dan 8 M, rute perdagangan 
internasional melalui Selat Malaka itu makin berkembang hingga tumbuh 
dan berkembangnya tiga dinasti yang berkuasa, yakni Dinasti Umayyah (660-
749 M) di Asia Barat, Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7-14) di bagian barat 
Indonesia di Asia Tenggara, dan Dinasti Tang di Tiongkok (618-907), Asia 
Timur .
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para pedagang Arab sebelum 
abad ke 7 datang ke Ceylon untuk membeli berbagai komoditas, terutama 
sutera yang dibawa oleh kapal-kapal Tionghoa. Setelah itu, mereka ikut 
ambil bagian dalam perdagangan internasional dengan menggunakan Selat 
Malaka dan mengunjungi kawasan pantai di Asia Tenggara dan Cina Selatan. 
Menurut salah satu tradisi Tionghoa, orang Muslim pertama kali datang ke 
Tiongkok pada masa kekuasaan Tai Tsung (627-650 M), raja kedua Dinasti 
Tang. Mereka berjumlah empat orang. Satu dari mereka membuat tempat 
kediaman di Canton dan orang yang kedua di kota Yang Chow. Sementara 
yang ketiga dan keempat pergi ke kota Chuang Chow dan tinggal di sana. 
Adalah Saad bin Abi Waqqas yang membuat fondasi Masjid Canton 
yang sekarang dikenal sebagai Wai Shin Zi yaitu Masjid Peringatan Nabi. 
Dalam buku Chee Chea Sheehuzoo (Riwayat Kehidupan Nabi), seorang 
pengarang Muslim abad ke-18, Lui Tshich, menulis: “Ketika Saad ibn Abi 
Waqqas kembali ke Arab setelah tinggal lama di Canton, Khalifah Usman 
mengirim dia kembali sebagai utusan ke kaisar Tionghoa. Namun demikian, 
dia tidak dapat kembali ke Arab untuk kedua kalinya dan akhirnya meninggal 
di Canton.” ..
Keempat pionir Islam yang datang ke kota-kota di Cina Selatan itu 
mungkin ditemani oleh para pedagang Arab. Sebuah sumber sejarah, yakni 
Hsin Tang Shu, yang sering dihubungkan dengan kedatangan pertama
pedagang Arab di Indonesia, menyebutkan orang Ta-Shih yang mempunyai �rencana menyerang Kerajaan Ho-Ling yang dikuasai oleh Ratu Sima 
sekitar 674 M. Karena Ratu Sima sangat kuat dan berkuasa, orang Ta-Shih 
membatalkan ren cananya. Dalam hal ini, W.P Groeneveldt mengganggap 
dan menyamakan Ta-Shih dengan orang Arab dan perkampungan mereka 
berlokasi di pantai barat Sumatera . Sumber�sumber sejarah menyebutkan orang-orang Ta-Shih tidak hanya datang 
pada abad ke-17 tetapi juga abad-abad setelahnya. Sebagai contoh, sumber�sumber dari Jepang dari 748 M menyebutkan terdapat sejumlah besar kapal�kapal Ta-Shih Kuo dan Po-Sse yang berlabuh di Canton. Sumber-sumber 
Tionghoa Chau Ju Kua yang berasal dari Chau Kau Fei, juga menyebutkan 
perkampungan para pedagang Ta-Shih dan Po-Sse di kota pelabuhan Canton 
pada tahun 1178 M. Jika Groeneveldt mengidentiikasi Ta-Shih sebagai orang 
Arab, Rita Rose Di Meglio menyetujui Groeneveldt dan mengatakan bahwa 
orang Ta-Shih pada abad ke-17 atau 18 dapat dianggap sebagai orang Arab 
dan orang Persia, bukan sebagai umat Islam yang lain .
Terdapat perbedaan pendapat antara W.P. Groeneveldt dan Paul Wheatle 
me ngenai lokasi perkampungan orang-orang Ta-Shih. Menurut Groeneveldt, 
perkampungan orang Ta-Shih berlokasi di pantai barat Sumatera. Sedangkan 
Wheatle berpendapat bahwa tempat tinggal orang Ta-Shih terdapat di Kuala 
Barang sekitar 25 mil dari Sungai Trengganu .
Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan pendapat lain. Ia menganggap 
perkampungan orang Ta-Shih atau orang Arab mestinya berlokasi di Sumatera 
Selatan, Palembang . Namun demikian, 
dari perbedaan itu, dapat kita ambil kesamaan bahwa perkampungan orang 
Ta-Shih dan orang Arab sesungguhnya berada di Asia Tenggara yang tidak 
dapat dipisahkan dari peran Selat Malaka sebagai jalur perdagangan in�ternasional. 
Hubungan dagang antara orang Arab dan Persia dengan Kerajaan 
Sriwijaya pada abad ke-18 dapat diperkuat keterangannya oleh dua surat 
yang dikirim oleh Kerajaan Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah. Surat 
per tama diberikan oleh al-Jahiz (Amir al-Bahr, 163-255 H/ 753-869 M) dan 
berdasarkan cerita surat itu ditujukan kepada Khalifah Muawiyah. Sedangkan 
surat kedua dengan isi yang sama dijaga keamanannya oleh Ibn Abd al�Rabbih (244-329/ 860-940 M). Surat tersebut dikirimkan maharaja Sriwijaya 
kepada Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H/ 717-720 M) yang berisi 
hadiah sebagai tanda persahabatan (Azyumardi Azra, 1994: 41).
Pedagang Arab (Ta-Shih) dan Persia (Po-Sse) yang datang ke J ambi 
dapat dibuktikan dengan catatan Tionghoa abad ke-9, yakni Pei Hu Lu ta�hun 875 M, yang menyebutkan kedatangan Ta-Shih dan Po-Sse ke Chan Pei 
untuk membeli buah pinang. Kedatangan orang Arab maupun orang Persia�
ke Jambi terjadi sejak abad ke-9 M, meskipun pada waktu itu Islam belum 
berkembang secara luas di kawasan ini. Menurut cerita lokal Jambi, Islam baru 
berkembang secara luas ketika berada di bawah kekuasaan Orang Kayo Hitam, 
salah satu sultan yang terkenal dari Jambi yang berkuasa sejak permulaan 
abad ke-16 ,
Perkembangan perdagangan dan pelayaran orang Arab dan Persia de�ngan Asia Tenggara disebabkan perkembangan kota-kota pelabuhan di Timur 
Tengah. Dengan munculnya Abbasid, Suhar, pusat paling penting di Oman, 
tidak hanya menjadi kota paling indah di seluruh Teluk Persia, tetapi juga 
sebuah pusat komersial terkemuka dengan penduduk campuran Arab dan 
Persia. Masqat menjadi pusat penting di mana kapal memuat persedian 
air tawar dan daging domba, sebelum diberangkatkan melalui perjalanan 
panjang, menyeberangi Samudera Hindia menuju India dan Tiongkok. 
De ngan Baghdad sebagai pusatnya, beberapa pusat penting perdagangan 
berkembang di sebelah utara Teluk seperti Basrah, Kufah, Wasit dan al�Ubulla. Selama periode Buyid (952-1044 M), Siraf menjadi pelabuhan paling 
berpengaruh di kawasan ini dan penduduk Arab dan Persia diajak bekerja 
sama dalam kegiatan perdagangan dengan India dan Tionghoa ,
Semenjak masa Dinasti Buyid pusat jual beli yang lain telah berkembang 
di daerah yang sama. Hormuz, sebagaimana Siraf, mempunyai penduduk 
campuran Arab dan Persia. Beberapa negara di Timur Tengah di sepanjang 
Laut Merah dan Arabia Selatan menjadi lebih berkembang dan maju sebagai 
pusat perdagangan. Aktivitas perdagangan di Arabia Selatan khususnya 
Yaman, menandai kembalinya supremasi Arab di kawasan ini. Aden menjadi 
gudang barang paling penting, jalurnya melalui rute dari Mesir dan negeri�negeri Mediterania. Pedagang Mesir dan orang Yaman di bawah Mamluk 
Baybar (1260-1277) menjadi bertambah maju di mana para pedagang dari 
kedua negara mengadakan perjalanan ke India dan Timur Jauh. 
Pusat-pusat perdagangan lain di sepanjang Laut Merah adalah Jeddah 
yang sangat aktif dalam melakukan kegiatan dagang dengan pelabuhan�pelabuhan India. Beberapa pedagang Arab dari Jeddah berangkat ke beberapa 
pelabuhan di Asia Tenggara dan Timur Jauh, sehingga tak diragukan bahwa 
orang Arab memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan dengan 
negara-negara lain yang jauh selama periode tertentu dari sejarahnya (Rita 
Rose Di Meglio, 1970: 108). Kegiatan perdagangan dan pelayaran bangsa 
Arab dan Persia dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Timur J auh 
tidak hanya diketahui dari sumber-sumber sejarah Tionghoa tetapi juga dari 
laporan Arab yang ditulis oleh sejarawan dan ahli geograi Arab. Laporan�laporan Arab tersebut misalnya dari Ibn Khurdabih (850 M), al-Mas’ud 
(947 M), al-Maqdisi (986 M), Ibn al-Faqih dan Ibn Rusd (sekitar 903 M) �
yang selalu menyebutkan kegiatan dagang melalui Selat Malaka dan peran 
pedagang-pedagang Muslim serta beberapa tempat aktivitas dagang di pesisir 
Selat. J adi, laporan-laporan Arab di atas menjadi sumber-sumber historis 
penting yang menceritakan keberadaan perdagangan internasional selama 
beberapa waktu melalui Selat Malaka.
Jaringan dagang dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Asia 
Tenggara, dan Timur Jauh dari abad ke-7 sampai abad ke-12, mempunyai 
pengaruh besar bagi pertumbuhan Samudera Pasai sebagai kesultanan 
pertama di Indonesia atau di Asia Tenggara sejak abad ke-13. Pertumbuhan 
dan perkembangan Samudera Pasai dapat dibuktikan dari cerita lokal, 
misalnya Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai dan juga dari nama�nama sultan di Arab yang tertulis di batu nisan mereka. Di antaranya adalah 
nisan kubur Sultan Malik as-Salih yang meninggal pada 696 H atau 1297 M . Batu nisan Sultan Malik as-Salih sebagai sumber 
data arkeologis ini digunakan oleh J.P. Moquette sebagai salah satu argumen 
untuk mendukung teori Snouck Hurgronje mengenai kedatangan Islam ke 
Indonesia yang berpendapat bahwa awal kedatangan Islam di Indonesia 
adalah pada abad ke-13 M dan kedatangannya tidak langsung dari Arab, 
melainkan dari Gujarat-India. Hingga sekarang, teori ini ditolak oleh beberapa 
sejarawan yang berpendapat bahwa Islam datang untuk pertama kalinya ke 
Indonesia sejak abad ke-7 M atau pertama Hijriah, dan datang langsung dari 
Mekkah dibawa oleh orang Arab ,
Snouck Hurgronje, dalam hal ini, tidak menggunakan data historis maupun 
arkeologis yang ada sebelum abad ke-13 M.
Menarik untuk dicatat bahwa pada abad ke-11, sebelum pertumbuhan 
Ke sultanan Samudera Pasai, kawasan pantai J awa Timur telah didatangi 
oleh pedagang-pedagang Muslim yang bertempat tinggal di Leran, dekat 
Gresik. Hal ini dibuktikan oleh temuan sebuah batu nisan yang bertuliskan 
ba hasa Arab dan tulisan Kui yang menyebutkan Fatimah binti Maimun bin 
Hibatullah yang meninggal pada 475 H/ 1082 M ,N.A Baloch berpendapat bahwa Fatimah Binti Maimun bin Hibatullah 
adalah seorang puteri Dinasti Hibatullah dari Leran yang dapat ditemukan 
pada abad ke-10 M ,. Saya tidak sependapat dengan 
Baloch karena tidak ditemukan kata “sultanat” sebelum namanya. Oleh 
karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan 
da pat dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan 
fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara 
Jawa Timur. 
Berdasarkan gaya Kui pada perhiasan Kui atau Kui Timur yang mencapai 
puncak perkembangan dari abad ke-11 hingga 12 di bawah kepemimpinan 
Sultan Saljuk, kekhalifahan Abbasiah yang terakhir, saya berpendapat bahwa �
di antara umat Muslim yang datang ke kawasan pantai ini, terdapat umat 
Muslim dari Timur Tengah dan mereka juga merupakan pedagang. Nisan-nisan kubur dengan 
gaya Kui sebagaimana di Leran ditemukan di Phanrang-Campa Selatan. 
Nama dari orang yang meninggal adalah Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu 
Arradah Rahdar alias Abu Kamil yang meninggal pada tahun 431 H/ 1039 
M. Temuan dua nisan kubur dari abad ke-11 ini memberi bukti bagi kita 
bahwa terdapat hubungan antara dua komunitas Muslim di Indonesia dan 
Campa. Denys Lombard mengatakan bahwa terdapat garis yang konstan bagi 
hubungan dagang pada abad ke-11 di antara komunitas Muslim pantai di 
bagian selatan Tiongkok, India, dan Timur Tengah serta terdapat poros yang 
menghubungkan Campa-Jawa Timur. Poros ini mungkin telah berlangsung 
sejak ekspedisi Yuan yang terkenal dan yang terjadi pada abad ke-14 dan 15 
M ,
Setelah dua atau tiga abad sejak kedatangan para pedagang Muslim ke 
Leran, kota-kota pelabuhan kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, seperti Tuban, 
Gresik, Sedayu, Jaratan, dan sebagainya, dikunjungi oleh beberapa pedagang 
Muslim dari Arab, Persia, Turki, Mesir, Gujarat, dan Muslim Tionghoa. Ke�datangan para pedagang tersebut diterima oleh Kerajaan Majapahit yang 
masih berkuasa di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada