bahasa indonesia 2

Tampilkan postingan dengan label bahasa indonesia 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasa indonesia 2. Tampilkan semua postingan

bahasa indonesia 2


di atas disebut implikatur percakapan.
2.3.4 Pengacuan dan Deiksis
Pada bagian ini akan dibicarakan dua topik, yaitu pengacuan dan deiksis.
Kedua topik ini berkaitan erat dengan hubungan antara satuan bahasa dan
benda yang ada di luar bahasa.
2.3.4.1 Pengacuan
Pengacuan atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud
berupa benda atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa
itu. Acuan kata meja ialah benda meja' yang berada di luar bahasa. Jika
nomina atau frasa nominal itu mengacu pada sesuatu secara khusus yang
dapat diidentifikasi, pengacuan itu bersifat takrif atau definit. Ketakrifan itu
terlihat dalam pengacuan terhadap suatu maujud yang
1) diketahui atau dikenal oleh pembicara dan lawan bicara,
(27) a. Dia ada di kebun. (definit)
b. Rektor sedang ada tamu. (definit)
2) telah disebutkan sebelumnya,
(28) a. Ada orang di luar. Omngitu (definit) ingin bertemu dengan Anda.
b. Saya sudah membeli buku. Entah di mana huku itu (definit)
sekarang.
3) diwatasi oleh konstruksi seperti klausa,
(29) a. Kursi yang ada di luar (definit) akan dijual.
b. Tugas untuk besok (definit) belum dibagikan.
Secara sintaktis dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia
ketakrifan unsur kalimat dimarkahi oleh pewatas yang berupa artikula,
demonstrativa, pronomina, numeralia, nama diri, atau nomina pengacu.
1. artikula : si, sang
2. demonstrativa : ini, itu, sini, situ, sana
3. pronomina : saya, kami, mereka, -ku, -mu, -nya
4. numeralia : satu, kedua
5. nama diri : Nanang, Irma
6. nomina pengacu : bapak, ibu, saudara
Jika frasa nominal mengacu pada maujud secara umum atau pada
sesuatu yang belum diidentifikasi oleh pembicara, pengacuan tersebut
bersifat taktakrif atau takdefinit.
(30) a. la memiliki kebun teh. (takdefinit)
b. Nanang mencari seorangpemhantu. (takdefinit)
c. Ruang rapat itu kekurangan kursi. (takdefinit)
d. Pak Andi membeli sebuah mobil baru. (takdefinit)
Semua frasa nominal yang dicetak miring pada contoh di atas
pengacuannya bersifat umum atau acuannya belum teridentifikasi secara
pasti. Oleh karena itu, masing-masing bersifat taktakrif.
2.3.4.2 Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi
yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi
pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiktis. Perhatikan
kata sekarang pada contoh berikut,
(31) a. Kita harus berangkat sekarang.
b. Harga barang naik semua sekarang.
c. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana.
Pada kalimat (31a) sekarang pada jam (titik waktu) berbicara.
Pada kalimat (31b) cakupan waktunya lebih lama, mungkin seminggu
sebelumnya hingga waktu berbicara. Pada (31c) cakupannya lebih luas lagi,
mungkin berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Selain sekarang,
kata-kata lain yang termasuk deksis temporal, antara lain, kemarin, {tahun)
lalu, nanti, besok^ dan {tahuri) depart.
Jenis deiksis lain adalah deiksis spasial dan deiksis persona. Deiksis
spasial pada dasarnya berupa keterangan tempat.
Contoh:
(32) a. Kamu duduklah di sini.
b. Di sini dijual gas elpiji.
c. Di sini orang harus hati-hati menyeberang jalan.
Pada kalimat (32a) di sini merujuk pada kursi tertentu, Pada kalimat
(32b) di sini merujuk pada tempat yang lebih besar, yakni toko dan pada
(32c) di sini merujuk pada tempat yang jauh lebih besar, yakni kota. Kata￾kata lain yang termasuk deiksis spasial adalah ke sini., ke sana, ke situ, dan di
situ.
Deiksis persona berkaitan dengan penggunaan pronomina: (a) saya
atau ~ku, kita, kami, (b) kamu atau -mu, engkau atau kau-, Anda, dan (c) dia
{id) atau -nya, mereka. Acuan pronomina itu sangat bergantung pada situasi
pembicaraan: siapa yang berbicara (orang pertama), lawan bicara (orang
kedua), dan yang di luar pembicara dan lawan bicara (orang ketiga).
Bunyi adalah kesan pada pusar saraf sebagai akibac getaran gendang telinga
yang bereaksi kareiia perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Benda￾benda dapat menghasilkan bunyi ketika bergetar akibat gesekan acau pukulan.
Bunyi yang diterima oleh indra pendengaran manusia disebuc audiosonik.
Molekul udara di sekitar benda-benda icu merambat membentuk gelombang
bunyi yang kemudian diterima oleh indra pendengaran manusia.
Bunyi juga dapat dihasilkan oleh alat ucap manusia, seperti bibir, gigi,
lidah, gusi, langit-langit, anak tekak, tenggorokan, dan pita suara. Bunyi
yang diproduksi oleh alat ucap manusia itu disebut bunyi bahasa.
Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia itu dicirikan oleh tiga
faktor utama, yaitu sumber tenaga untuk membuat getaran, alat ucap yang
bergetar, dan rongga mulut atau hidung yang mengubah getaran (rongga
resonansi). Pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan
embusan udara dari paru-parti sebagai sumber tenaga.
Pada prinsipnya, ketika seseorang berbicara, paru-paru mengembuskan
udara melalui tenggorokan. Arus udara menggetarkan pita suara yang
terletak pada pangkal tenggorokan (laring). Suara yang keluar dari pita suara
dihambat oleh beberapa organ ucap sehingga menghasilkan variasi bunyi
bahasa.
Variasi bunyi bahasa ditentukan oleh karakter rongga yang menjadi
saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, rongga hidung,
atau rongga mulut dan rongga hidung sekaligus. Ciri bunyi bahasa juga
ditentukan oleh rongga mana yang menjadi saluran udara terakhir. Atas
dasar itu, bunyi bahasa kemudian dibedakan atas bunyi oral, yaitu bunyi
bahasa yang terbentuk akibat udara keluar dari rongga mulut; bunyi nasal,
yaitu bunyi yang terbentuk akibat udara keluar melalui rongga hidung;
dan bunyi yang dinasalisasi atau disengaukan, yaitu bunyi yang terbentuk
akibat sebagian udara keluar dari rongga mulut dan sebagian juga keluar dari
rongga hidung. Jika yang dikehendaki adalah bunyi oral, tulang rawan yang
dinamakan anak tekak atau uvula akan diangkat menutup saluran udara
ke rongga hidung sehingga arus udara melewati rongga mulut. Jika yang
dikehendaki bunyi nasal, uvula akan diturunkan menutup saluran ke rongga
mulut sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Bunyi seperti [p], [g],
dan [f] termasuk bunyi oral, sedangkan bunyi [m], [n], [ji], dan [g] termasuk
bunyi nasal.
Arus udara dari paru-paru dapat tersekat oleh pita suara, tetapi dapat
pula tidak. Sekatan udara itu dapat mengakibatkan pita suara membuka dan
menutup secara berulang-ulang (pita suara bergetar). Apabila kedua pita
suara itu bergetar dalam pembentukan suatu bunyi bahasa, bunyi bahasa
yang dihasilkan terasa "berat". Cara itu akan menghasilkan bunyi yang
bersuara. Sebaliknya, apabila pita suara direnggangkan sehingga tidak terjadi
penyekatan udara,—dengan demikian pita suara tidak bergetar—bunyi
bahasa yang dihasilkan akan terasa "ringan". Cara itu akan menghasilkan
bunyi takbersuara. Di samping itu, pita suara dapat juga dirapatkan sehingga
udara tersekat sama sekali, baru kemudian dilepaskan. Bunyi yang dihasilkan
disebut bunyi hambat glotal [?]. Bunyi-bunyi seperti [b], [d], [j], dan [m]
termasuk bunyi bersuara, sedangkan [p], [t], [c], dan [s] termasuk bunyi
takbersuara.
Karakteristik bunyi bahasa juga dipengaruhi oleh ada tidaknya
hambatan dalam proses pembuatannya. Pada bunyi seperti [a], [u], dan
[i], udara mengalir melewati rongga mulut tanpa hambatan oleh alat ucap
apa pun. Sebaliknya, pada bunyi seperti [p] udara dihambat oleh bibir atas
dan bibir bawah yang terkatup, dan pada bunyi [t] udara dihambat oleh
ujung lidah yang bersentuhan dengan gusi atas. Di tempat hambatan seperti
itu, arus udara dari paru-paru tertahan sejenak, kemudian serta-merta atau
perlahan-lahan dilepaskan untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bunyi-bunyi
bahasa yang arus udaranya tidak mengalami hambatan berarti dalam rongga
mulut seperti [a], [i], dan [u] disebut bunyi vokal. Bunyi-bunyi bahasa yang
arus udaranya mengalami hambatan dalam rongga mulut disebut bunyi
konsonan.
3.1.1 Vokal
Karakteristik atau kualitas vokal ditentukan oleh tiga faktor, yaitu tinggi
posisi lidah di dalam rongga mulut, bagian lidah yang berubah posisi, dan
bentuk bibir ketika vokal itu dihasilkan, Pada saat pengucapan vokal, lidah
atau tepatnya bagian-bagian tertentu lidah dapat dinaikkan atau diturunkan
sehingga rongga mulut mencapai ukuran dan bentuk tertentu. Dalam
menghasilkan vokal, posisi lidah di dalam rongga mulut bukan merupakan
hambatan, melainkan merupakan alat untuk menciptakan ruang resonansi
bunyi yang dikehendaki. Atas dasar posisi lidah di dalam rongga mulut itu,
vokal dapat digolongkan menjadi vokal tinggi (vokal yang dihasilkan dengan
posisi lidah tinggi), vokal sedang (vokal yang dihasilkan dengan posisi lidah
sedang), dan vokal rendah (vokal yang dihasilkan dengan posisi lidah rendah).
Untuk mencapai bentuk rongga resonansi tertentu di dalam rongga
mulut, lidah—terutama bagian depan, tengah, dan belakang lidah—^juga
memainkan peranan yang sangat penting. Berdasarkan bagian lidah yang
dinaikkan atau diturunkan itu, vokal dibedakan atas vokal depan (vokal
yang dihasilkan dengan mengubah posisi lidah bagian depan), vokal tengah
(vokal yang dihasilkan dengan mengubah posisi lidah bagian tengah), dan
vokal belakang (vokal yang dihasilkan dengan mengubah posisi lidah bagian
belakang).
Di samping posisi lidah dan bagian lidah, kualitas vokal juga
dipengaruhi oleh bentuk bibir ketika vokal itu diucapkan. Atas dasar
bentuk bibir itu, vokal dapat digolongkan menjadi vokal bundar (vokal
yang dihasilkan dengan bentuk bibir bundar) dan vokal takbundar (vokal
yang dihasilkan dengan bentuk bibir normal atau cenderung dilebarkan ke
samping). Vokal [u] dan [o] termasuk jenis vokal bundar, sedangkan vokal
[a] dan [i] termasuk vokal takbundar. Dengan tiga faktor yang memberi
ciri vokal itu, akan dihasilkan, misalnya, vokal tinggi depan bundar yang
berarti vokal itu dihasilkan dengan posisi lidah bagian depan tinggi dan bibir
bundar. Keterangan secara terperinci tentang vokal bahasa Indonesia akan
diuraikan pada 3.2.
3.1.2 Konsonan
Vokal dihasilkan tanpa hambatan di dalam rongga mulut sehingga udara
mengalir secara bebas, sedangkan konsonan dihasilkan dengan cara yang
berbeda. Pada konsonan arus udara mendapat hambatan dari berbagai alat
ucap, kemudian arus udara itu keluar melalui rongga mulut, rongga hidung,
atau rongga mulut dan rongga hidung.
Pada kebanyakan bahasa, vokal dihasilkan dengan pita suara yang
selalu merapat. Namun, pada pelafalan konsonan pita suara itu mungkin
merapat atau merenggang. Berdasarkan keadaan pita suara itu, konsonan
dikelompokkan atas konsonan bersuara dan konsonan takbersuara. Konsonan
bersuara dibentuk dengan pita suara yang merapat sehingga dihasilkan
getaran, sedangkan konsonan takbersuara dihasilkan dengan pita suara yang
merenggang sehingga udara tidak mendapat hambatan. Konsonan [p] dan
[t] termasuk konsonan yang takbersuara, sedangkan konsonan [b] dan [d]
termasuk konsonan yang bersuara.
Untuk menghasilkan konsonan, sekurang-kurangnya diperlukan dua
alat ucap di dalam rongga mulut. Alat ucap itu dibedakan atas artikulator
aktif, yaitu alat ucap yang bergerak untuk membentuk bunyi dan artikulator
pasif (tempat artikulasi), yaitu alat ucap yang tidak bergerak yang disentuh
atau didekati oleh artikulator aktif. Penamaan bunyi konsonan biasanya
dilakukan dengan menyebutkan artikulator yang digunakan seperti labio-
(bibir bawah), apiko- (ujung lidah), dan lamino- (daun lidah) yang diikuti
oleh tempat artikulasinya seperti dental (gigi atas), alveolar (gusi), dan palatal
(langit-langit keras). Sering kali penamaan konsonan hanya mengambil
nama artikulatornya.
Apabila bibir bawah bersentuhan dengan ujung gigi atas, bunyi yang
dihasilkan disebut labiodental (bibir-gigi). Cara itu menghasilkan konsonan
seperti [fj. Bunyi yang dinamakan alveolar dibentuk dengan ujung lidah
atau daun lidah menyentuh atau mendekati gusi. Cara ini menghasilkan
konsonan seperti [t], [d], dan [s]. Bunyi yang dibentuk dengan depan
lidah menyentuh atau mendekati langit-langit keras disebut bunyi palatal.
Contohnya konsonan [c], [j], dan [y]. Bunyi yang dihasilkan dengan belakang
lidah yang mendekati atau menempel pada langit-langit lunak dinamakan
bunyi velar, misalnya [k] dan [g]. Akhirnya, bunyi yang dihasilkan dengan
pita suara dirapatkan sehingga arus udara dari paru-paru tertahan disebut
bunyi glotal (hamzah). Bunyi yang memisahkan bunyi [a] pertama dan [a]
kedua pada kata saat adalah contoh bunyi glotal. Untuk bunyi itu biasanya
dipakai lambang [?].
Bagaimana artikulator menyentuh atau mendekati tempat artikulasi
dan bagaimana udara keluar dari mulut dinamakan cara artikulasi. Apabiia
bibir bawah dan bibir atas terkatup rapat untuk menahan udara dari paru￾paru, sedangkan uvula menutup saluran rongga hidung, kemudian katupan
bibir dibuka secara tiba-tiba, cara itu akan menghasilkan bunyi [p] atau [b],
Apabiia kedua bibir tetap terkatup dan udara dikeluarkan melalui rongga
hidung, terbentuklah bunyi [m]. Bunyi [p], [b], dan [m] termasuk bunyi
hambat.
Udara dapat juga tidak ditahan seluruhnya, tetapi sebagian dilewatkan
melalui celah yang sempit. Bunyi [f], misalnya, dihasilkan dengan cara bibir
bawah bersentuhan dengan gigi atas, tetapi udara dapat keluar lewat celah
yang ada. Bunyi [s] dibentuk dengan cara artikulasi yang lain, yakni dengan
ujung lidah atau bagian depan daun lidah hampir menempel pada gusi
sehingga udara keluar melalui celah sempit dan menghasilkan bunyi desis.
Bunyi [f] dan [s] termasuk bunyi desis atau bunyi frikatif.
Apabiia ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar
melalui samping lidah, bunyi yang dihasilkan dengan cara artikulasi seperti
itu disebut bunyi lateral, misalnya [1]. Jika ujung lidah menyentuh tempat
yang sama berulang-ulang, bunyi yang dihasilkan dinamakan bunyi getar,
misalnya [r].
Selain bunyi-bunyi di atas, ada bunyi yang pembentukannya seperti
pembentukan vokal, tetapi tidak pernah dapat menjadi inti suku kata. Yang
termasuk kategori itu adalah [w] dan [y]. Cara pembentukan bunyi [w] dan
[y] masing-masing mirip dengan cara pembentukan vokal [u] dan [i].
Dengan mempertimbangkan keadaan pita suara, tempat artikulasi,
dan cara artikulasi, kini dapat diperikan konsonan secara lengkap. Bunyi
[p], misalnya, merupakan bunyi konsonan hambat bilabial takbersuara dan
bunyi [z] merupakan bunyi konsonan alveolar frikatif bersuara.
3.1.3 Difitong
Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya dari awal hingga akhir pada
saat diucapkan. Dalam sistem tulisan, diftong biasa dilambangkan dengan
dua huruf vokal yang masing-masing melambangkan kualitas vokal yang
bergabung itu, tetapi kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan, baik
dalam pelafalan maupun dalam penulisan. Bunyi [aw] pada kata harimau
adalah diftong sehingga grafem <au> pada suku kata -mau tidak dapat
dipisahkan menjadi ma-u. Demikian pula halnya dengan deretan huruf
vokal ai pada sungai, deretan huruf vokal itu melambangkan bunyi diftong
[ay] yang merupakan inti suku kata -ngai pada sungai. Huruf vokal ei pada
survei melambangkan bunyi diftong [ei] yang merupakan inti suku kata -vei
pada survei.
Diftong dibedakan dari deretan vokal. Tiap vokal pada deretan vokal
mendapat embusan napas yang sama atau hampir sama; kedua vokal itu
termasuk dalam dua suku kata yang berbeda. Bunyi au dan at pada kata
daun dan mairiy misalnya, merupakan deret vokal—bukan diftong—karena,
baik au pada daun maupun ai pada main masing-masing terdiri atas dua
suku kata, yaitu da-un dan ma-in. Dalam deretan vokal itu tidak terjadi
perubahan kualitas vokal dari [a] dan [u] menjadi [aw] seperti dalam kata
[karbaw]. Juga tidak terjadi perubahan kualitas vokal [a] dan [i] menjadi [ay]
seperti dalam kata [satay].
3.1.4 Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam banyak bahasa cukup banyak kata yang memiliki dua
konsonan atau lebih yang berdampingan, tetapi belum tentu deretan itu
merupakan gugus konsonan, Gugus konsonan dibedakan dari deretan
konsonan. Gugus konsonan termasuk di dalam suku kata yang sama,
sedangkan deretan konsonan terpisah ke dalam suku kata yang berbeda.
Hurufp dan r pada kata praktiky hurufp dan / pada kata plastiky atau
huruf s, ty dan r dalam kata struktur merupakan contoh gugus konsonan.
Oleh karena itu, pemisahan bunyi kata-kata tersebut masing-masing menjadi
prak'tiky plas-tiky dan struk-tur. Sementara itu, hurufp dan t pada kata ciptay
huruf k dan s pada kata aksiy atau huruf r dan g pada kata harga merupakan
contoh deretan konsonan. Dengan demikian, pemisahan bunyi kata-kata itu
menjadi cip-ta, ak-siy dan har-ga.
3.1.5 Fonem dan Grafem
Paparan tentang vokal dan konsonan di atas hanya berkenaan dengan
lambang-lambang bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Untuk
tujuan representasi visual bunyi, digunakan tiga cara pelambangan, yaitu
lambang fonetis, lambang fonemis, dan lambang grafts.
1) Lambang fonetis digunakan sebagai representasi visual bunyi yang
didengar. Lambang fonetis itu diapit oleh sepasang kurung siku ([...]).
Kata pagi, misalnya, secara fonetis dapat ditulis sebagai [pagi].
2) Lambang fonemis digunakan sebagai representasi visual bunyi fungsional,
yaitu bunyi yang membedakan bentuk dan makna suatu kata dari kata
yang lain. Lambang fonemis diapit oleh sepasang garis miring (/.../). Kata
pagi, misalnya, secara fonemis dapat ditulis sebagai /pagi/ yang bentuk
dan maknanya berbeda dari kata /bagi/,
3) Lambang grafemis digunakan sebagai representasi visual dalam sistem
tulisan suatu bahasa. Lambang grafemis dibedakan dari lambang fonetis
atau lambang fonemis dengan diapit oleh sepasang kurung sudut (<...>).
Kata pagi, misalnya, secara grafemis ditulis sebagai <pagi>.
Jika kata pagi dibandingkan dengan kata bagi, akan tampak bahwa
perbedaan makna kedua kata itu disebabkan oleh perbedaan bunyi [p] dan
[b]. Kata pagi dan bagi hanya berbeda pada bunyi konsonan awal. Kedua
bunyi yang berbeda itu lazim disebut pasangan minimal. Contoh pasangan
minimal yang lain adalah tua-dua, kita-gita, pola-pula, dan pita-peta.
Satuan bahasa terkecil yang berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang
membedakan bentuk dan makna kata dinamakan fonem. Bunyi [p] dan [b]
dalam contoh di atas adalah dua fonem yang berbeda. Perkataan pagi, kita,
dan pola masing-masing terdiri atas empat fonem. Jadi, secara fonemis kata
pagi, kita, dan pola ditulis sebagai /pagi/, /kita/, dan /pola/.
Jika dua bunyi bahasa secara fonetis mirip, tetapi tidak membedakan
kata, kedua bunyi itu disebut alofon dari fonem yang sama. Dengan
demikian, jika [p] pada kata siap diucapkan dengan atau tanpa melepaskan
katupan kedua bibir dengan segera, tidak akan terjadi perubahan, baik pada
bentuk maupun makna kata. Dalam bahasa seperti bahasa Thai, perbedaan
kecil semacam itu dipakai untuk membedakan kata. Bunyi [p], misalnya,
yang diucapkan biasa dan yang disertai embusan napas yang kuat sehingga
seolah-olah ada bunyi /?-nya, dipakai untuk membedakan kata. Dengan
demikian, [paa] dalam bahasa Thai berarti 'hutan, sedangkan [p'^aa] berarti
'bagi.' Pasangan minimal itu menunjukkan bahwa bahasa Thai memiliki
dua fonem, yaitu /p/ dan /p'7. Sebaliknya, bahasa Inggris juga mempunyai
perbedaan ucapan seperti dalam bahasa Thai. Namun, dalam bahasa Inggris
perbedaan ucapan tidak menimbulkan perubahan bentuk ataupun perubahan
makna kata. Dalam hal ini, perbedaan tersebut tidak bersifat fonemis karena
merupakan dua alofon dari fonem yang sama.
Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk pada bunyi
bahasa, sedangkan grafem merujuk pada huruf atau gabungan huruf
sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan. Karena fonem lazim
dilambangkan dengan huruf dalam penulisannya, sering tidak tampak
perbedaannya dari grafem. Karapagi, misalnya, terdiri atas empat huruf: p, a,
g, dan i. Tiap-tiap huruf itu merupakan grafem, yakni <p>, <a>, <g>, dan <i>
dan tiap-tiap grafem itu melambangkan fonem yang berbeda, yakni /p/, /a/,
/g/, dan III. Demikian pula kata manis dan pahit. Huruf m, a, n, i, dan s pada
manis masing-masing merupakan grafem <m>, <a>, <n>, <i>, dan <s> yang
melambangkan fonem /m/, /a/, /n/, /i/, dan I si. Huruf p, Uy h, i, dan t pada
kata pahit masing-masing merupakan grafem <p>, <a>, <h>, <i>, dan <t>
yang melambangkan fonem /p/, /a/, /h/, /i/, dan id. Akan tetapi, banyak kata
yang tidak mempunyai kesamaan seperti itu. Kata hangus dan nyanyi masing￾masing terdiri atas enam huruf: h, a, n, g, u, dan s serta n, y, a, n, y dan i. Dari
segi bunyi, kata hangus terdiri atas lima fonem, yakni /h/, /a/, /g/, /u/ dan I si
dan nyanyi terdiri atas empat fonem, yakni /ji/, /a/, /ji/ dan Hi. Fonem /h/,
/a/, /g/, /u/, dan is! pada hangus masing-masing dilambangkan oleh grafem
<h>, <a>, <ng> ,<u>, dan <s> dan fonem /ji/, /a/, /ji/, dan /i/ pada nyanyi
masing-masing dilambangkan oleh grafem <ny>, <a>, <ny>, dan <i>.
Meskipun grafem melambangkan fonem dalam sistem ejaan, tidak
berarti bahwa satu grafem hanya dapat melambangkan satu fonem atau
sebaliknya. Grafem <e>, misalnya, melambangkan fonem /e/ seperti pada
bentuk <bela>, <rela>, dan <pena> dan /a/ pada <belah>, <reda>, dan
<penat>.
3.1.6 Fonem Segmental dan Suprasegmental
Kata hangus dan nyanyi masing-masing terdiri atas lima fonem, yakni /h/, /a/,
/g/, /u/ dan I si dan nyanyi terdiri atas empat fonem, yakni /ji/, /a/, /ji/ dan
l\l. Fonem yang berwujud bunyi seperti contoh tersebut dinamakan fonem
segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi, tetapi merupakan
aspek tambahan terhadap bunyi. Jika orang berbicara, akan terdengar suku
kata tertentu pada suatu kata mendapat tekanan yang relatif lebih keras
daripada suku kata lain; bunyi tertentu terdengar lebih nyaring daripada
bunyi yang lain; dan vokal (pada suku kata) tertentu terdengar lebih tinggi
daripada vokal pada suku kata yang lain. Unsur tekanan, panjang bunyi,
dan nada biasanya dinyatakan dengan lambang diakritik yang diletakkan di
atas lambang bunyi (unsur segmental). Aspek tambahan bunyi itu biasanya
berlaku bukan hanya pada satu unsur segmental, melainkan pada satu suku
kata. Oleh karena itu, tekanan, panjang bunyi, dan nada lazim disebut ciri
suprasegmental. Tekanan, panjang bunyi, dan nada dapat merupakan fonem
jika membedakan kata dalam suatu bahasa. Dalam bahasa BatakToba tekanan
bersifat fonemis karena membedakan kata, seperti pada /bontar/ putih' dan
/bontar/ 'darah'. Dalam bahasa Bahaan (salah satu bahasa di Papua), panjang
bunyi bersifat fonemis, seperti pada /syo/ 'ketapang dan /syo:/ (/syo/ atau /
syoo/) 'menjemur'.
Pada semua bahasa nada memberikan informasi sintaksis. Kaiimat
Anda dapat pergi besok dapat diucapkan sebagai kaiimat berita atau sebagai
kaiimat tanya, bergantung pada naik turunnya nada atau intonasi yang
dipakai. Jika nada itu membedakan makna kata dalam suatu bahasa, bahasa
itu disebut bahasa tona.
3.1.7 Suku Kata
Kata seperti datang diucapkan dengan dua embusan napas: satu untuk da￾dan satu lagi untuk -tang. Oleh karena itu, datang terdiri atas dua suku kata.
Suku kata pertama terdiri atas dua bunyi, yaitu [da] dan suku kedua terdiri
atas tiga bunyi, yaitu [tag]. Bagian kata yang diucapkan dalam satu embusan
napas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem disebut suku kata.
Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal sebagai inti.
Inti itu dapat didahului dan/atau diikuti oleh satu konsonan atau lebih.
Akan tetapi, dapat saja terjadi bahwa suku kata hanya terdiri atas satu vokal.
Contoh:
ambil -> am-bil
dia di-a
instruksi -> ins-truk-si
kepergian -> ke-per-gi-an
kompleks kom-pleks
pergi —>■ per-gi
Suku kata yang berakhir dengan vokal, (K)V, disebut suku kata
buka dan suku kata yang berakhir dengan konsonan, (K)VK, disebut suku
kata tutup. Penyukuan kata dilakukan atas dasar pengucapan, sedangkan
pemenggalan kata dilakukan atas dasar penulisan (lihat lebih lanjut 3.2.3).

3.2 VOKAL DAN KONSONAN
Selaras dengan pengertian umum yang telah digambarkan di atas, bahasa
Indonesia mengikuti pula kaidah kebahasaan pada umumnya. Namun,
kaidah bahasa yang satu tidak sama dengan kaidah bahasa yang lain. Setiap
masyarakat bahasa mengembangkan kaidahnya masing-masing yang pada
akhirnya membedakan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.
Dari sekian banyak kemungkinan bunyi yang dapat dibuat oleh
manusia, bahasa memanfaatkan sebagian kecil bunyi yang selaras dengan
perkembangan sejarah bahasa itu. Demikian pula pengaturan bunyi menjadi
suku kata atau kata dan penggunaan unsur suprasegmental ditentukan oleh
masyarakat secara konvensi.
Dalam masyarakat diglosia di Indonesia, umumnya bahasa Indonesia
merupakan bahasa kedua dalam urutan pemerolehannya. Untuk situasi yang
tidak resmi, orang Indonesia cenderung menggunakan bahasa Indonesia
ragam informal atau bahasa daerah. Sebagai akibat masyarakat yang diglosik,
bahasa Indonesia mengenal diasistem, yaitu adanya dua sistem atau lebih
dalam satu sistem tata bunyi. Diasistem dalam tata bunyi tersebut terjadi
karena perbedaan yang mencolok antara sistem tata bunyi bahasa Indonesia
dan sistem tata bunyi bahasa daerah di Indonesia yang melatarbelakangi
penutur bahasa Indonesia. Gejala diasistem itu terjadi terutama karena
beberapa fonem dalam bahasa Indonesia merupakan diafon (variasi realisasi
bunyi) dalam bahasa daerah atau sebaliknya. Gejala itu dapat diterima orang
dalam batas tertentu. Pelafalan kata toko sebagai [toko] atau [toko] dirasakan
biasa; demikian pula kata kebun yang diucapkan [kabun] atau [kabonj.
3.2.1 Vokal dan Alofon Vokal
Dalam bahasa Indonesia ada enam fonem vokal, yaitu /i/, /e/, /a/, /a/, /o/, dan
/u/. Meskipun memengaruhi kualitas vokal, dalam bahasa Indonesia bentuk
bibir tidak memegang peranan penting karena tidak membedakan makna.
Bagan 3.2 memperlihatkan keenam vokal bahasa Indonesia berdasarkan
parameter tinggi-rendah dan depan-belakang lidah pada waktu pembentuk￾annya. Pada bagan itu tampak bahwa bahasa Indonesia memiliki dua vokal
tinggi, tiga vokal sedang, dan satu vokal rendah. Berdasarkan parameter
depan belakang lidah, dua vokal merupakan vokal depan, dua merupakan
vokal tengah, dan dua yang lain merupakan vokal belakang.
Dalam realisasinya vokal bahasa Indonesia dapat mempunyai alofon
atau variasi. Pada umumnya alofon vokal itu mengikuti pola berikut: lidah
yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau ke bawah sehingga
posisinya hampir berimpitan dengan posisi untuk menghasilkan vokal yang
ada di atas atau dl bawahnya. Di antara enam fonem vokal bahasa Indonesia
itu, empat vokal, yaitu /i/, /e/, /o/, dan /u/ masing-masing mempunyai dua
alofon.
1) Vokal/i/
Vokal /i/ adalah vokal tinggi depan takbundar. Vokal ini dihasilkan dengan
menempatkan lidah bagian depan tinggi mendekati langit-langit dengan
kedua bibir agak terentang ke samping.
Contoh:
/ikan/ ikan
/ibu/ ibu
/igin/ ingin
/pintu/ pintu
/kecil/ kecil
/mugil/ mungii
/api/ api
/pad!/ padi
/sagsi/ sangsi
Vokal /i/ mempunyai dua alofon, yaitu [i] dan [i]. Vokal /i/ dilafalkan
[i] jika terdapat pada suku kata buka atau suku kata tutup yang mendapat
tekanan.
Contoh:
Suku Kata Buka Suku Kata Tutup
gi-gi [gigi] sim-pang [simpaq]
i-ni [ini] min-ta [minta]
ta-li [tali] ping-gul [piggul]
si-sa [sisa] pe-rik-sa [pariksa]
Vokal I'll dilafalkan [i] jika terdapat pada suku kata tutup yang tidak
mendapat tekanan.
Contoh;
ban-ting [bantiq]
ki-rim [kirim]
sa-lin [salin]
pa-rit [pant]
Jika tekanan kata berpindah pada /i/, vokal /i/ yang semula dilafalkan
[i] akan berubah menjadi [i].
Contoh:
[bantiq] ^ [bantiqan]
[salin] ^ [salinan]
[kirim] [kiriman]
Perpindahan tekanan itu disebabkan oleh kecenderungan penempatan
tekanan pada suku kata kedua dari akhir sehingga kata turunan itu dilafalkan
[bantiqan], [kiriman], dan [salinan]. Karena pengaruh ucapan tersebut, kata
turunan itu kadang-kadang dipenggal secara salah pada akhir baris menjadi
banti-ngariy kiri-man, dan sali-nan. Padahal, semestinya banting-ariy kirim
an, dan salin-an.
Pada kata serapan dari bahasa Indo-Eropa, vokal /i/ cenderung
dilafalkan [i] walaupun terdapat pada suku kata tutup, seperti pada kata
politik [politik], demokratis [demokratis], dan positif[^osm^].
2) Vokal /u/
Vokal /u/ adalah vokal belakang-tinggi bundar. Vokal ini diucapkan dengan
meninggikan bagian belakang lidah dengan kedua bibir agak maju ke depan
dan sedikit membundar.
Contoh:
/ukir/ ukir
/uggas/ unggas
/uban/ uban
/ tunda/ tunda
/masuk/ masuk
/guntig/ gunting
/pintu/ pintu
/bau/ bau
/baru/ baru
Vokal /u/ mempunyai dua alofon, yaitu [u] dan [u]. Vokal /u/
dllafalkan [u] jika terdapat pada suku kata buka atau suku kata tutup yang
berakhir dengan bunyi nasal /m/, /n/, atau /g/ yang mendapat tekanan.
Contoh:
Suku Kata Buka
u-pah [upah]
tu-kang [tukag]
ban-tu [bantu]
Suku Kata Tutup
tun-da [tunda]
bung-su [bugsu]
kum-bang [kumbag]
Jika vokal /u/ terdapat pada suku kata tutup dan suku kata itu tidak
mendapat tekanan yang keras, vokal /u/ dllafalkan [u].
Contoh:
wa-rung
rum-put
lang-sung
[warug]
[rumput]
[lagsug]
pui-sa [pulsa]
kus-ta [kusta]
dus-ta [dusta]
Jika tekanan kata berpindah, vokal /u/ yang semula dllafalkan [u]
akan menjadi [uj.
Contoh:
[ampun] —*■ [ampunan]
[kumpul] —*■ [kumpulan]
[simpul] —*■ [simpulan]
3) Vokal/e/
Vokal Id adalah vokal sedang-depan. Vokal ini dihasilkan dengan daun lidah
dinaikkan, tetapi agak lebih rendah daripada posisi lidah untuk menghasilkan
vokal /[/. Vokal sedang-depan itu diiringi dengan bentuk bibir yang netral,
artinya, tidak terentang dan juga tidak membundar,
Vokal /e/ mempunyai dua alofon, yaitu [e] dan [e]. Vokal /e/
dilafalkan [e] jika terdapat pada (1) suku kata buka dan (2) suku kata itu
tidak diikuti oleh suku kata yang mengandung alofon [e]. Jika suku kata
yang mengikutinya mengandung [e], vokal /e/ pada suku kata buka itu juga
menjadi [e]. Vokal /e/ juga dilafalkan [e] jika terdapat pada suku kata tutup
akhir.
Contoh:
Suku Kata Buka Suku Kata Tutup
so-re [sore] be-bek [bebe?]
se-rong [serog] ne-nek [nene?]
be-sok [beso?] ke-rek [kere?]
4) Vokal/o/
Vokal /o/ adalah vokal sedang-belakang. Perbedaan antara /e/ dan /i/ dalam
hal ketinggian lidah mirip dengan perbedaan antara /of dan /u/. Vokal ini
dihasilkan dengan bentuk bibir kurang bundar jika dibandingkan dengan
bentuk bibir untuk menghasilkan vokal /u/.
Vokal lol mempunyai dua alofon, yaitu [o] dan [oj. Vokal /o/
dilafalkan [o] jika terdapat pada suku kata tutup atau suku kata buka yang
diikuti oleh suku kata yang mengandung [oj. Vokal /o/ dilafalkan [o] jika
terdapat pada suku kata buka dan suku kata itu tidak diikuti oleh suku kata
lain yang mengandung alofon [o].
Contoh:
Suku Kata Buka Suku Kata Tutup
to-ko [toko] ro-kok [roko?]
ro-da [roda] po-jok [pojo?]
bi-ro [biro] mo-mok [momo?]
5) Vokal/9/
Vokal h! adalah vokal sedang-tengah. Vokal ini dihasilkan dengan agak
menaikkan bagian tengah lidah dengan bentuk bibir netral. Dalam tataran
grafemis, vokal ini dilambangkan dengan huruf <e>, sama dengan lambang
fonem Id.
Vokal ini hanya mempunyai satu alofon, yaitu [s] yang bisa terdapat
pada suku kata buka dan suku kata tutup. Vokal hi pada akhir kata hanya
terdapat pada kata serapan seperti pada kata tante, orde, kode, mode^ brigade,
palem, dan modem.
Contoh:
/amas/ emas
/srjgan/ enggan
/snam/ enam
/ ruwat/ ruwet
/ ramss/ rames
/bandaq/ bandeng
/tanta/ tante
/ara/ are
/tipa/ tipe
6) Vokal /a/
Vokal /a/ adalah satu-satunya vokal rendah-tengah dalam bahasa Indonesia.
Vokal /a/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu [a].
Contoh:
/anak/ anak
/abu/ abu
/arus/ arus
/kantor/
/lontar/
/damay/
/kota/
/para/
/roda/
kantor
lontar
damai
kota
Dalam realisasi fonem-fonem bahasa Indonesia dapat ditemukan
gejala diasistem, gejala yang memperlihatkan keberagaman varian fonetis
sebagai realisasi fonem yang sama di dalam posisi yang sama, terutama pada
realisasi vokal /i/, /e/, lot, dan /u/. Sebagian penutur akan lebih mengenal
bunyi [i], [e], [o], dan [u] yang lebih tertutup di samping bunyi [i], [e], [o],
dan [u] yang lebih terbuka, tetapi sebagian lain hanya mengenal kualitas
vokal yang terakhir itu.
Kata toko dan tokoh oleh penutur bahasa Jawa cenderung dilafalkan
[toko] dan [tokoh], sedangkan oleh penutur bahasa Sunda umumnya
dilafalkan [toko] dan [tokoh] dengan kualitas lot yang sama. Perlu diingat
bahwa sistem realisasi fonem vokal bahasa Indonesia yang tidak termasuk
alofon fonem yang bersangkutan akan menimbulkan kejanggalan dalam
pendengaran penutur lain. Jadi, jika fonem /o/ direalisasikan sebagai [e],
bunyi itu akan terasa janggal bagi sebagian penutur bahasa Indonesia.
Secara singkat vokal dan alofonnya dalam bahasa Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut.
3.2.2 Diftong dan Deret Vokal
Dalam bahasa Indonesia terdapat empat buah diftong, yakni /ay/, /aw/, /oy/,
dan /ey/ yang masing-masing dapat dituliskan ai, au, oi, dan ei. Keempac
diftong itu bersifat fonemis. Kedua huruf vokal pada diftong melambangkan
satu bunyi vokal yang tidak dapat dipisahkan. Hal itu hams dibedakan dari
deretan dua vokal yang berjejer. Bandingkan diftong berikut dengan deret
vokal
Dengan masuknya sejumlah kata asing, muncul diftong /ey/ dalam
bahasa Indonesia yang ditulis <ei>. Diftong ini sering bervariasi dengan /
ay/ pada kata-kata tertentu dan hal itu tecermin pula pada cara penulisan
kata-kata itu.
Contoh:
/surfey/ survei
/saprey/ seprei
/parey/ perei
/surfay/ survai
/sapray/ seprai
/paray/ perai
Deret vokal merupakan dua vokal yang masing-masing mempunyai
satu embusan napas. Oleh karena itu, tiap-tiap vokal itu termasuk dalam
suku kata yang berbeda. Pada umumnya, vokal dapat berderet dengan vokal
Iain dalam deretan vokal. Meskipun demikian, ada vokal yang tidak dapat
berderet dengan vokal lain. Berikut adalah contoh deret vokal yang terdapat
dalam bahasa Indonesia.
/ii/ mi fiil
/iu/ /tiup/ tiup
/io/ /kios/ kios
/ia/ /tiap/ tiap
/ie/ /karier/ karier
/ei/ /mei/ Mei
/ea/ /reaktor/ reaktor
leol /feodal/ feodal
/aa/ ItaatI taat
lad /daerah/ daerah
laol 1 aortal aorta
iail /kain/ kain
laul /kaum/ kaum
loal /swipoa/ swipoa
loll /boikot/ boikot
iod /koefisien/ koefisien
lu'il /kuil/ kuil
lual /puasa/ puasa
lud Ikud kue
luol /kuota/ kuota
Dari daftar deret vokal di atas tampak bahwa deret /ee/ dan /eu/ tidak
terdapat dalam bahasa Indonesia. Deret vokal itu hanya ditemukan dalam
bentuk berimbuhan seperti seekor dan seutas. Melalui kaidah fonotaktik,
kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam suatu
bahasa dan mana yang tidak, dapat dirasakan secara intuitif bentuk mana
yang kelihatan seperti kata Indonesia, meskipun beium pernah dilihat
sebeiumnya, dan bentuk mana yang tampaknya asing. Bentuk seperti *koule,
"^makeut, dan *kuona akan terasa asing, sedangkan ^piur^ *kiana, dan *muti
tidak meskipun ketiga bentuk yang terakhir itu sebenarnya tidak dikenal
dalam bahasa Indonesia.
3.2.3 Cara Penulisan Vokal
Sebagian besar fonem vokal bahasa Indonesia mempunyai hubungan satu
lawan satu dengan huruf yang mewakilinya. Dengan demikian, fonem vokal
/a/, /i/, /o/, dan /u/, misalnya, dinyatakan dengan huruf /, dan u.
Pada sebagian fonem lainnya hubungan antara fonem dan grafem atau
huruf tidak selalu satu lawan satu. Huruf <a> digunakan untuk mewakili
fonem /a/.
Contoh:
/adik/ ditulis <adik>
/bisa/ ditulis <bisa>
/dia/ ditulis <dia>
/nasi/ ditulis <nasi>
/obat/ ditulis <obat>
/oraq/ ditulis <orang>
/pagi/ ditulis <pagi>
/pandu/ ditulis <pandu>
/sapu/ ditulis <sapu>
/upah/ ditulis <upah>
Huruf <e> mewakili dua fonem, yakni /e/ dan /a/ beserta alofonnya.
Perhatikan tulisan fonemis dan ortografis pada contoh berikut.
Contoh:
/bssar/ ditulis <besar>
/kamas/ ditulis <kemas>
/sadaq/ ditulis <sedang>
/tatap/ ditulis <tetap>
/sewa/ ditulis <sewa>
/sore/ ditulis <sore>
/becek/ ditulis <becek>
/kretek/ ditulis <kretek>
Yang perlu diingat adalah bahwa fonem vokal /a/ dan /a/ dalam
bahasa Indonesia masing-masing hanya mempunyai satu alofon, yaitu [a]
dan [a] yang ditulis dengan menggunakan huruf <a> dan <e>.

Penulisan vokal tanpa mempertimbangkan alofonnya, seperti
penulisan [e] dan [e], juga ditemukan pada pelambangan vokal /i/, /u/, dan
/o/. Huruf U u, dan o masing-masing dipakai untuk menuliskan fonem /i/,
/u/, dan /o/ beserta alofon vokal itu.
Contoh:
/kita/ ditulis <kita>
/tadi/ ditulis <tadi>
/ban tig/ ditulis <banting>
/adik/ ditulis <adik>
/ ulama/ ditulis <ulama>
/puncak/ ditulis <puncak>
/abu/ ditulis <abu>
/ksbun/ ditulis <kebun>
/ampun/ ditulis <ampun>
/obat/ ditulis <obat>
/nako/ ditulis <nako>
/potog/ ditulis <potong>
/roko?/ ditulis <rokok>
Diftong /ay/, /aw/, dan /oy/ masing-masing ditulis dengan deret huruf
ai, auy dan oi. Deret huruf itu juga digunakan untuk menulis deretan vokal
yang bukan diftong. Dengan demikian, dari segi lambang grafemisnya, tidak
dapat dibedakan antara diftong dan deret vokal biasa. Unmk mengetahui
apakah deretan huruf vokal melambangkan diftong atau deretan bunyi vokal,
diperlukan pengetahuan tentang kata yang mengandung deretan huruf vokal itu.
Contoh:
/pantay/ ditulis <pantai>
/gulay/ ditulis <gulai> (makanan dari daging)
/kalaw/ ditulis <kalau>
/walawpun/ ditulis <walaupun>
/sapoy/ ditulis <sepoi>
/amboy/ ditulis <amboi>
/koboy/ ditulis <koboi>
/gulai/ ditulis <gulai> (diberi gula)
/main/ ditulis <main>
/kamauan/ ditulis <kemauan>
/bau/ ditulis <bau>
/kaum/ ditulis <kaum>
/koi/ ditulis <koi>
3.2.4 Konsonan dan AJofon Konsonan
Dalam bahasa Indonesia terdapat 22 fonem konsonan. Berdasarkan parameter
tempat artikulasi, cara artikulasi, dan keadaan pita suara ketika konsonan
itu diucapkan, konsonan bahasa Indonesia dapat dipetakan di dalam tabel
berikut.
1) Konsonan /b/ dan /p/
Konsonan /b/ dan /p/ adalah konsonan hambat bilabial. Konsonan ini
dihasilkan dengan mengatupkan bibir atas dan bibir bawah rapat-rapat
sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum
katupan kedua bibir itu, kemudian dilepaskan dan udara mengaiir bebas keluar
dari mulut. Dengan cara itu, pita suara akan bergetar ketika menghasilkan
konsonan /b/ dan tidak bergetar ketika menghasilkan konsonan /p/. Oleh
karena itu, konsonan /b/ disebut konsonan hambat bilabial bersuara,
sedangkan konsonan /p/ disebut konsonan hambat bilabial takbersuara.
Contoh:
/pola/
/kapar/
/siap/
pola
kapar
siap
/bola/
/kabar/
/aba/

Konsonan /b/ mempunyai satu alofon, yakni [b] yang posisinya selalu
mengawali suku kata. (Di dalam kata, posisinya dapat juga di tengah.)
Contoh:
[baru] baru
[tambal] tambal
[kabut^"] kabut
Dalam tataran grafem, huruf b bisa berposisi pada akhir kata, tetapi
huruf itu dilafalkan [p^] bukan [b]. Namun, huruf itu kembali dilafalkan [b]
apabila kata itu mendapat akhiran yang berawal vokal, yaitu akhiran -an.
Contoh:
[adap"] —> [poradaban]
adab peradaban
[wajipi [kowajiban]
wajib kewajiban
[jawapl —> [jawaban]
jawab jawaban
Konsonan /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p^]. Alofon [p]
adalah alofon yang lepas, terdapat pada posisi awal suku kata. Sebaliknya,
alofon [p^] adalah alofon taklepas, terdapat pada posisi akhir suku kata yang
pada umumnya juga merupakan akhir kata.
Contoh:
[pintu] pintu
[sampay] sampai
[tatap"] tatap
[sodap"] sedap
[tagkap^lah] tangkaplah
Jika kata yang diakhiri oleh alofon [p""] itu diberi imbuhan yang
diawali vokal, misalnya -an., alofon itu berubah menjadi [p].
Contoh:
[tagkap^"] —♦ [taqkapan]
tangkap tangkapan
[ucap^] —> [ucapan]
ucap ucapan
2) Konsonan /d/ dan /t/
Konsonan /d/ dan Id adalah konsonan hambat alveolar. Konsonan ini
dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian udara
dari paru-paru diletupkan sambil melepaskan ujung lidah dari gusi. Jika arus
udara dari paru-paru itu menggetarkan pita suara, konsonan /d/ yang akan
dihasilkan. Akan tetapi, jika tidak menggetarkan pita suara, konsonan id
yang dihasilkan.
Contoh:
/dari/ dari /tari/ tari
/panday/ pandai /pantay/ pantai
/dobu/ debu /tabu/ tebu
Konsonan /d/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [d] yang posisinya
selalu pada awal suku kata. Pada akhir kata <d> dilafalkan [t^], tetapi seperti
halnya dengan <b>, konsonan itu akan kembali dilafalkan [d] jika diikuti
oleh akhiran yang berawal vokal.
Contoh:
[dura] duta
[madu] madu
[tekati tekad
[abat"] abad
[murtat^] [komurtadan] murtad kemurtadan
[mawlut"'] —> [mawludan] Maulud Mauludan
Konsonan id mempunyai dua alofon, yaitu [t] dan [t'']. Seperti halnya
dengan [p], [t] adalah alofon yang lepas. Alofon [t] terdapat pada awal suku
kata, sedangkan [t""] pada akhir suku kata.
Contoh:
[timpa] timpa
[santay] santai
[lompat^] lompat
[tampat"] tempat
3) Konsonan /g/ dan /k/
Konsonan /g/ dan /k/ adalah konsonan hambat velar. Konsonan ini dihasilkan
dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak. Udara
dihambat dl bagian alat ucap itu, lalu sesaat kemudian dilepaskan. Konsonan
/g/ akan dihasilkan apabila arus udara dari paru-paru menggetarkan pita
suara. Sebaliknya, konsonan /k/ akan dihasilkan apabila arus udara itu tidak
menggetarkan pita suara.
Contoh:
/galah/ galah /kalah/ kalah
/agar/ agar /akar/ akar
/sagu/ sagu /saku/ saku
Konsonan /g/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [g] yang terdapat
pada awal suku kata. Pada akhir suku kata konsonan /g/ dilafalkan sebagai
[k"*]. Akan tetapi, jika kata yang berakhir dengan konsonan /g/ itu diikuti
akhiran yang berawal vokal, konsonan itu akan dilafalkan sebagai [g] atau [k].
Contoh:
[guru] guru
[ragu] ragu
[biologi] biologi
[beduk'"] bedug
[gudok^] gudeg
[ajok^j ajeg —*■ [ke?aj3gan], [ke?aj3kan] keajegan
Konsonan /k/ mempunyai tiga alofon, yakni [k], [k^j, dan [?]. AJofon
[k] lepas terdapat pada awal suku kata, sedangkan alofon [k""] taklepas dan
[?] hambat glotal terdapat pada akhir suku kata. Di akhir kata, terutama
kata-kata asal bahasa Melayu dan serapan dari bahasa non-Eropa, alofon [k"]
bervariasi bebas dengan [?]

Contoh:
[kaki] kaki
[kurag] kurang
[agkati angkat
[bagkiti bangkit
[ rusak']. [rusa?]
[tidak'j. [tida?]
[pak'sa] paksa
[ik'lim] iklim
[lak'sana] laksana
[parik'sa] periksa
[politik'] politik
[bak'j bak
rusak
tidak
Alofon [k''] dan [?] juga bervariasi bebas di tengah pada sejumlah
kecil kata, antara lain, pada
[mak^'lum]
[rak^yat^]
[lak^nat^]
[mak^na]
[takduk^']
[ma?ium]
[ra?yat^]
[laVnat"]
[ma?na]
[ta?lu?]
maklum
rakyat
laknat
makna
takiuk
Dalam fonotaktik bahasa Indonesia, jika terdapat dua vokal dalam
satu kata, konsonan hambat glotal [?] akan muncul untuk memisahkan
kedua vokal itu. Pemisahan itu digunakan untuk menandai bahwa kedua
vokal itu merupakan deret vokal yang tergolong dalam dua suku kata.
Contoh:
[ma?af]
[sa?at]
[su?on]
[so?al]
[do?a]
[s9?ikat'']
[k9?adilan]
[p9?ubah]
[k3?onaran]
maaf
saat
suun
seal
doa
seikat
keadilan
peubah
keonaran

Konsonan [?] sering kali juga muncul di antara awalan dengan kata
dasar yang berawai bunyi vokal.
Contoh:
[t9r?igat^, tarlgat^] teringat
[m9g?ukur, m9gukur] mengukur
[b9r?ada, b9rada] berada
[p9r?ubahan, p9rubahan] perubahan
4) Konsonan /j/ dan Id
Konsonan /j/ dan id adalah konsonan hambat prapalatal. Konsonan hambat
prapalatal id dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada perbatasan gusi
dan langit-langit keras, kemudian diiepas dengan cepat. Pelepasan katupan
itu acap kali menimbulkasn bunyi berisik atau desis yang singkat. Sementara
itu, pita suara dalam keadaan tidak bergetar. Konsonan hambat prapalatal /j/
dibentuk dengan cara yang sama dengan pembentukan id, tetapi pita suara
dalam keadaan bergetar.
Contoh:
/jari/ jari /cari/ cari
/ajar/ ajar /acar/ acar
/majijur/ manjur /majlcur/ mancur
Konsonan /)/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [j]. Alofon [j]
hanya menduduki posisi awal pada suku kata. Pada beberapa kata serapan,
/j/ pada akhir suku kata diucapkan sebagai [j].
Contoh:
[juga] juga
[maju] maju
[mi?raj] mikraj
Seperti halnya /j/, fonem id juga hanya mempunyai satu alofon,
yakni [c] yang terdapat pada awal suku kata.
Contoh;
[cari] cari
[pici] pici
[cacig] cacing

 5) Konsonan /£/
Konsonan /f/ adalah konsonan frikatif labiodental. Artinya, konsonan itu
dihasilkan dengan bibir bawah didekatkan pada bagian bawah gigi atas
sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara
gigi dan bibir dan menimbulkan bunyi desis. Selain dilambangkan dengan
huruf <f>, fonem /f/ juga dilambangkan dengan huruf<v>.
Contoh:
/fakultas/ fakultas
/lafal/ lafal
/positif/ positif
/faria/ varia
/fisa/ visa
/lefal/ level
Konsonan /f/ mempunyai satu alofon, yakni [f] yang posisinya
terdapat pada awal atau akhir suku kata. Karena pengaruh sistem bunyi
bahasa ibunya, sebagian orang sukar melafalkan bunyi ini dan menggantinya
dengan bunyi /p/ sehingga [fakultas], [lafal], dan [positif] masing-masing
seringjuga dilafalkan [pakultas], [lapal], dan [positip]. Pelafalan [f] menjadi
[p] tidak baku dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pelafalan seperti itu
hendaklah dihindari.
6) Konsonan /s/ dan /z/
Konsonan /s/ dan /z/ adalah konsonan frikatif alveolar. Kedua konsonan
itu dihasilkan dengan cara mendekatkan ujung lidah pada gusi atas sambil
melepaskan udara melalui lubang sempit antara lidah dan gusi sehingga
menimbulkan bunyi desis. Konsonan /s/ dihasilkan tanpa menggetarkan pita
suara, sedangkan konsonan /z/ dihasilkan dengan menggetarkan pita suara.
Konsonan /s/ dapat berposisi pada av/al dan akhir suku kata. Sementara itu,
konsonan /z/ hanya berposisi pada awal suku kata.
Contoh:
/saya/ saya
/masa/ masa
/panas/ panas
/zani/ zeni (1
/rezim/ rezim
/lazim/ lazim

Konsonan /s/ mempunyai satu alofon, yakni [s] yang terdapat pada
awal atau akhir suku kata. Konsonan /z/ juga hanya mempunyai satu alofon,
yakni [z] yang terdapat pada awal suku kata,
Karena konsonan /z/ tidak lazim ditemukan dalam banyak bahasa
daerah di Indonesia, konsonan ini dilafalkan sebagai [j] sehingga kata rezim,
zaman, dan ^^a^yang mestinya dilafalkan [rezim], [zaman], dan [azap""] juga
dilafalkan [rajim], [jaman], dan [ajap"].
7) Konsonan /J/
Konsonan /J7 adalah konsonan frikatif palatal takbersuara. Konsonan ini
dihasilkan dengan cara merapatkan bagian depan lidah pada langit-langit
keras, kemudian mengembuskan udara melewati celah sempit antara lidah
dan langit-langit keras sehingga menimbulkan bunyi desis.
Konsonan /J/ hanya mempunyai satu alofon, yakni [f] yang terdapat
hanya pada awal suku kata. Akibat kesulitan pelafalan, konsonan /J7 sering
kali dilafalkan sebagai /s/ yang tentu saja ini harus dihindari.
Contoh:
/Jak/ syak bandingkan dengan /sak/ sak
/Jah/ syah /sah/ sah
/Jarat/ syarat /sarat/ sarat
8) Konsonan /x/
Konsonan /x/ adalah konsonan frikatif velar takbersuara. Konsonan ini
dihasilkan dengan cara mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak.
Udara dari paru-paru diembuskan melewati celah yang sempit di langit￾langit lunak itu, lalu keluar lewat rongga mulut. Konsonan /x/ mempunyai
satu alofon, yakni [x] yang terdapat pada awal dan akhir suku kata.
Contoh:
/xas/ khas bandingkan dengan /kas/ kas
/tarix/ tarikh /tarik/ tarik
/axir/ akhir
Dalam tulisan, konsonan ini dilambangkan dengan huruf <kh>,
bukan <x>. Huruf <x> melambangkan deret dua konsonan, yaitu /k/ dan /s/.
Kesalahan pelafalan konsonan ini ialah mengubah pelafalannya
menjadi konsonan [k] atau [h] sehingga kata khaSt tarikh, dan dilafalkan
[kas], [tarik], dan [akir] atau [has], [tarih], dan [ahir]. Seharusnya, ketiga
kata itu dilafalkan [xas], [tarix], dan [axir].

9) Konsonan /h/
Konsonan /h/ adalah konsonan frikatif glotal. Konsonan ini dihasilkan
dengan cara melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit
sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di dalam rongga mulut
atau di tenggorokan.
Contoh:
/habis/ habis
/paha/ paha
/murah/ murah
Konsonan /h/ mempunyai dua alofon, yakni [h] dan [fi]. Alofon [h]
tidak bersuara, sedangkan [fi] bersuara. Konsonan /h/ dilafalkan sebagai [fi]
bersuara apabila konsonan itu terdapat di antara dua vokal. Selain dalam
posisi itu, konsonan /h/ dilafalkan sebagai [h] tidak bersuara.
Contoh:
[hari] hari
[pahat] pahat
[murah] murah
[tahu], [tafiu] tahu
[tuhan], [tufian] Tuhan
Pada kata tertentu, terutama pada posisi akhir kata, konsonan /h/
kadang-kadang tidak dilafalkan.
Contoh:
[iihat], [iiat] lihat
[tahu], [tau] tahu
[jahit^, [jait1 jahit
[rumah], [ruma] rumah
[boleh], [bole] boleh
[b[ah], [bia] lelah

10)Konsonaii I ml
Konsonan /m/ adalah konsonan nasal bilabial bersuara, Konsonan ini
dihasilkan dengan kedua bibir dikatupkan rapat dan ujung langit-langit
lunak tidak diangkat sehingga udara dari paru-paru keluar melalui rongga
hidung. Konsonan ini hanya mempunyai satu alofon, yaitu [m].
Contoh:
/ makan/ makan
/simpaq/ simpang
/diam/ diam
11) Konsonan in!
Konsonan in! adalah konsonan nasal alveolar bersuara. Konsonan ini
dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi dan ujung langit￾langit lunak tidak diangkat sehingga udara dari paru-paru keluar melalui
rongga hidung. Seperti halnya /m/, konsonan ini juga hanya memiliki satu
alofon, yaitu [n] yang dapat berposisi pada awal dan pada akhir suku kata.
Contoh:
/nama/ nama
/pintu/ pintu
/kantin/ kantin
12) Konsonan /ji/
Konsonan /ji/ adalah konsonan nasal palatal bersuara. Konsonan ini
dihasilkan dengan cara menempelkan bagian depan lidah pada langit-langit
keras dan ujung langit-langit lunak tidak diangkat sehingga arus udara
mengalir melalui rongga hidung. Konsonan nasal palatal /ji/ dilambangkan
dengan grafem <ny> dalam sistem tulisan.
Contoh:
/jliur/ nyiur
/tajia/ tanya
/pojiu/ penyu
Konsonan /ji/ mempunyai satu alofon, yakni [p] yang dapat berposisi
pada awal atau akhir suku kata, tetapi tidak pernah pada akhir kata. Konsonan
/jl/ yang membentuk deret dengan konsonan /j/, /c/, atau /J7 di dalam ejaan
dilambangkan oleh <n>, seperti pada panjang [pajijag], inci [ijici], dan
munsyi [mujlp].
13) Konsonan /g/
Konsonan /g/ adalah konsonan nasal velar bersuara. Konsonan ini dihasilkan
dengan cara menempelkan bagian belakang lidah pada langit-langit lunak
dan ujung langit-langit lunak diturunkan sehingga arus udara mengalir
keluar melalui rongga hidung, Konsonan ini hanya mempunyai satu alofon,
yakni /g/ yang dapat berposisi pada awal atau akhir suku kata. Dalam tulisan
konsonan ini dilambangkan dengan deret huruf <n> dan <g>.
Contoh:
/garay/ ngarai
/karag/ kerang
/begkok/ bengkok
/kunig/ kuning
14) Konsonan /r/
Konsonan hi adalah konsonan getar alveolar atau yang juga dikenal dengan
sebutan konsonan tril. Konsonan ini dihasilkan dengan cara menempelkan
ujung lidah pada gusi, kemudian mengembuskan udara melalui rongga mulut
sehingga lidah tersebut bergetar atau lepas dari dan menempel kembali pada
gusi secara berulang-ulang, Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
Konsonan hi mempunyai satu alofon, yakni [r]. Alofon [r] dapat
berposisi pada awal dan akhir suku kata dan diucapkan dengan getaran pada
lidah yang menempel di gusi.
Contoh:
/raja/ raja
/gardu/ gardu
/sabar/ sabar
15)Konsonan /I/
Konsonan /I/ disebut konsonan lateral alveolar. Konsonan ini dihasilkan
dengan cara menempelkan daun lidah pada gusi sehingga udara keluar
melalui samping lidah. Konsonan ini termasuk konsonan bersuara karena
saat bunyi dihasilkan, pita suara dalam keadaan bergetar.
Konsonan /I/ mempunyai satu alofon, yakni [1] yang dapat berposisi
pada awal atau akhir suku kata.
Contoh:
[lama] lama
[palsu] palsu
[aspal] aspal
Huruf konsonan rangkap II pada Allah dilafalkan sebagai [1], yaitu
bunyi [1] yang berat yang dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada
gusi sambil menaikkan belakang lidah ke langit-langit lunak atau menariknya
ke arah dinding faring.
16) Konsonan /w/
Konsonan /w/ termasuk semivokal bilabial bersuara. Konsonan ini disebut
semivokal karena arus udara dari paru-paru tidak mengalami penghambatan
yang berarti di dalam rongga mulut sehingga menyerupai cara pembentukan
vokal, tetapi tidak pernah menjadi inti suku kata. Semivokal bilabial /w/
dihasilkan dengan cara membulatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara
yang diembuskan dari paru-paru. Meskipun menyerupai vokal, bunyi ini
tidak pernah menjadi inti suku kata. Konsonan /w/ mempunyai satu alofon,
yakni [w]. Pada awal suku kata, bunyi [w] berfungsi sebagai konsonan, tetapi
pada akhir suku kata [w] berfungsi sebagai bagian diftong.
Contoh;
/waktu/ waktu
/awal/ awal
/kalaw/ kalau
17)Konsonan /y/
Konsonan /y/ adalah semivokal palatal bersuara. Seperti semivokal /w/,
konsonan ini juga dihasilkan dengan hampir tanpa penghambatan arus udara
dari paru-paru. Konsonan ini dihasilkan dengan mendekatkan bagian depan
lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang
keluar dari paru-paru. Semivokal ini hanya mempunyai satu alofon, yakni
[y]. Seperti halnya /w/, di awal suku kata semivokal /y/ berperilaku sebagai
konsonan, tetapi di akhir suku kata berfungsi sebagai bagian dari diftong.
Contoh:
[yakin] yakin
[yak^'ni] yakni
[santay] santai
[ramay] ramai
3.2.5 Gugus dan Deret Konsonan
Dalam bahasa Indonesia kata yang mengandung gugus konsonan sedikit
sekali jumlahnya. Akan tetapi, dengan masuknya kosakata asing, jumlah kata
yang mengandung gugus konsonan itu makin bertambah. Dalam gugus itu,
konsonan yang pertama terbatas pada konsonan hambat /p, b, t, d, k, g/ dan
konsonan frikatif /f, s/, sedangkan konsonan kedua terbatas pada konsonan
/r/ atau /I, w, p, s, m, n, f, t, k/.
Contoh:
/pi/ />/eonasme,/?/eno, kom/?/eks
/bl/ ^/angko, gam^/ang
/kl/ khmV., ^/imaks, ^/asik
/gl/ ^/obal, ^/adiator, iso^fos
/fl/ ^amboyan,^anel,^u
/si/ x/ogan
/pr/ />nbadi, sem^rot
/br/ /rahmana, ohnA, Ambruk
/tr/ /^ragedi, sas/ra, mi/ra
/dr/ ^rama, a/^res, ^/rastis
/kr/ ^risten, a^rab, mi^roskop
/gr/ ^m, ^ranat, ^fik
/fr/ dia^gma,^iistasi
/sr/ parrah, 5ragen, 5riwijaya
/ ps/ />jikologi, />^ikiater, />jikolog, />jeudo
/sw/ JM/alayan, JM/asembada, jwasta
/kw/ ^«intal, ^»icansi, ^«artet
/sp/ ^/>ora, i/>anduk, sponsor
/sm/ ^?wokel
/sn/ jwobisme
/ski j^ala, i^ema, j^andal
/pt/ ^dalin,/>/erosaur
/ts/ /sar, /junami
/st/ ^/atus, 5/amina, x^siun
Jika gugus konsonan terdiri atas tiga konsonan, konsonan yang
pertama selalu /s/, yang kedua /t/, /p/, atau /kJ, dan yang ketiga /r/ atau /I/.
Contoh:
/str/ j/7ategi, j^niktur, ini/niksi
/spr/
/skr/ 5^ripsi, manuj/^rip
/ski/ ^^/erosis
Seperti halnya dengan sistem vokal yang mempunyai diftong dan
deret vokal, sistem konsonan juga memillki deret konsonan di samping
gugus konsonan seperti yang teiah digambarkan di atas. Deret konsonan
yang terdapat dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
/bd/ sdibddi, zbetx
/hnf i^«u
/bs/ gibsen
/bt/ szbtu
/fs/ fosfor, tafsir
/gm/ ma^a, do^a
/gn/ si^wal, ko^itif
/hb/ sya/?^andar, zubbis
/hd/ syzhda.n, syzhdn
/hkJ huhknn
/hi/ a.hti, ma/?^igai, ta/?/il
/hs/ da^jyat
/ht/ seja/>/era, ta/;/a, ba/>rera
/hw/ ba/?M/a, sysi/jwsiZ
/hy/ semba/?jang
/kb/ zkbux, ma^/'ui
/kd/ i2iket\T
/kl/ ta/^/uk ma^/um, ta^/imat
/km/ su/^wa, ni^wat
/kn/ ia^»at, ma^«a, ya^wi
/kp/ ba^/>ao, ba^/>ia
/kr/ ma^ruf, ta^nf
/ks/ pa/ba, ia^jana, sa^jama
/kd wa^/u, do^/er, bu^/i
/kw/ da^M^a, da^«/ah, tai^w^a
/ky/ ra^j/at
/lb/ ka/^u
/id/ ka/(/u
/if/ su^r
/!)/ szljWy a^'abar
/Ik/ ba/4on
/Im/ i/wu, ^nlmA, pa/wa
/Ip/ zlpdi
/is/ pa/fu, pu/ya, fi/yafat, ba/yem
/it/ su/ftin, sa/to, simu//an
/mb/ aw/'ii, gaw/'ar, aw/'ang
/mk/ daw^ar
/mi/ juWah, iw/a
/mp/ cmpAU piw/>in, ta7W/>uk
/mr/ jawrut
imzl hawzah
/jlc/ ku«d, ke«cang
Indl i«<^ah, pewc/ek, pa«c/ang
/Jlj/ jawyi, bawyir, paw^ang
/np/ tznpz
/ns/ xnszn, iwang, iewja.
/Jlj/ iwj^aiiah, mnnsyi
/nt/ u«/uk, gawd, pi«/u
/og/ aw^uk, tiw^i, taw^ung
/rjk/ cngkzny vcwxngk'my buw^^k
/r)s/ baw^ja, aw^ja, ma«^/a
/ps/ ka/>ml
/pt/ ssiptz, optWa, ba/>ds
/rb/ ker^au, kor^n, ter/^ng
/rc/ perraya, karcis, perrik
/rd/ me«/eka, mcrdu, ker^/il
/rg/ har^, per^, sor^
/rh/ ger^ana, dur/>aka
/rj/ ke^'a, te^'ang, sa^'ana
/rk/ ter^a, per^ara, mur^
/rl/ per/u, ker/ing, ker/ip
/rm/ per^wata, cerwin, derw/a
/rn/ warwa, pumama, terwak
/rs/ berjih, kurri, gemng
/ft/ ar/i, ser/a, har^a
/sb/ af^ak, 2isbcs, I2sb\\\.
/sh/ muy^af
/si/ zsh, tiu/ah, bejAt, ber/ah
/sm/ bajwi, arwara, rtsmx
/sp/ pui/>a, pui/)ita, zsp'nzsx, aj/>al
IstI payri, kuf/a, duy/a
Dari pola suku kata dan deretan konsonan di atas dapat disimpulkan
bahwa jejeran konsonan yang berada di luar kedua keiompok ini akan terasa
asing di telinga dan akan terucapkan dengan agak tersendat-sendat. Bentuk
seperti rakfa dan atdun kelihatan dan terdengar aneh bagi telinga karena
deretan konsonan /kf/ dan /td/ tidak terdapat dalam pola urutan konsonan
bahasa Indonesia meskipun konsonan /k/, /f/, /t/, dan /d/ masing-masing
merupakan fonem bahasa Indonesia.
3.3 STRUKTUR SUKU KATA DAN KATA
Kata dasar bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih, misalnya
ban, bantu, durhaka, bahagia, dan anjangsana. Jumlah suku kata dalam kata
bahasa Indonesia di dalam kata turunan dapat lebih panjang lagi. Akan tetapi,
betapa pun panjangnya suatu kata, wujud suku kata yang membentuknya
mempunyai struktur yang sederhana. Berikut adalah contoh struktur suku
kata tersebut.
1) V <?-bat, su-^-tu, ma-«
2) VK ar-n, ber-//-mu, ka-/7
3) KV pa-szvy sar-yW-na, y/zr-ga
4) KVK pak-s2i, ke-/>fr-lu-an, pc-san
5) KKV i/o-gan, <7m-ma, ko-/)m
6) KKVK trak'tovy a-/m^-si, kon-^m;^
7) KVKK teks-x\\, kon-Z^e^j-tu-al, mo-dern
8) KKKV ^/ra-te-gi, ^^m-ta
9) KKKVK 5/r«y&-tur, \x\-struk-s\, strok
10) KKVKK kom-pleks
IDKVKKK korps
Kata dalam bahasa Indonesia dibentuk dari gabungan bermacam￾macam suku kata seperti yang disenaraikan di atas. Karena bentuk suku kata
seperti yang terdapat pada nomor 5 sampai ke nomor 11 pada dasarnya berasal
dari kata asing, banyak orang menyelipkan fonem /a/ untuk memisahkan
konsonan yang berdekatan. Contoh: slogan, strika, prangko diubah masing￾masing menjadi selogan, setrika, perangko.
Vokal dan konsonan awal yang mengisi pola suku kata pada nomor 1
sampai dengan nomor 6 pada umumnya adalah vokal dan konsonan apa saja.
Namun, untuk pola nomor 7 sampai ke nomor 9 macamnya lebih terbatas.
3.4 PEMENGGALAN KATA
Ada beberapa Hal yang perlu diperhatikan dalam pemenggalan kata.
Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan,
sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi
bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman pada lafal kata. Misalnya,
afiks pada kata dapat dipenggal walaupun tidak cocok dengan pelafalannya.
Pemenggalan kata dilakukan dengan memperhatikan satuan-satuan
tata bahasa, satuan-satuan fonologi/fonetik, serta kemudahan membaca.
Dalam memenggal kata berimbuhan, pertama-tama dipisahkan unsur
imbuhan, kemudian dipenggal unsur kata dasar. Misalnya, kata keadilan
dipenggal menjadi ke-adil-aw, bentuk adit dipenggal berdasarkan satuan
fonologi/fonetik (embusan napas) menjadi a-diL Jadi, dalam tulisan kata
keadilan dapat dipenggal menjadi ke-adilan, kea-dilan, dan keadil-an.
Unsur-unsur grafem yang menggunakan dua huruf boleh dipisahkan.
Jadi, kata walaupun dan maukah dipisahkan menjadi kata walau-pun dan mau￾kah. Kedua kata itu sama-sama memiliki urutan vokal au. Namun, walaupun
tidak dapat dipenggal menjadi wala-upun, sedangkan maukah dapat menjadi
ma-ukah. Alasannya ialah bahwa au dalam walaupun merupakan diftong,
sedangkan au dalam maukah hanya merupakan deretan dua vokal biasa.
Kara berani dapat dipenggal menjadi be-rani arau bera-ni, tetapi tidak
dapat menjadi ber-ani atau beran-i karena di samping faktor kesatuan napas,
bentuk be dan i masing-masing bukanlah awalan dan akhiran. Sebaliknya,
kata berempat harus dipisah menjadi ber-empat atau berem-pat dan tidak
menjadi be-rempat karena ber- di sini merupakan awalan yang tentunya
menimbulkan gangguan apabila dipisabkan unsur-unsurnya.
Harus pula dihindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri
atas satu huruf saja. Dengan demikian, meliputi, misalnya, dapat dipenggal
menjadi me-liputi, tetapi tidak boleh menjadi meliput-i karena huruf -i
menjadi berdiri sendiri. Berikut adalah contoh-contoh lain. Untuk gambaran
yang lebih lengkap, lihatlah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
3.5 CIRISUPRASEGMENTAL
Dalam 3-2.1 dan 3-2.4 telah dibahas fonem segmental bahasa Indonesia.
Setiap fonem sebagai segmen tunggal dikarakterisasi dengan ciri bunyi
seperti intensitas yang menentukan keras atau lembutnya suara, jangka yang
menentukan panjang atau pendek suara, dan nada yang menentukan tinggi
atau rendah suara. Segmen tunggal yang digabungkan dengan segmen￾segmen lain secara sintagmatik akan membentuk kata dan lebih dari itu
juga akan membentuk konstruksi lain yang lebih panjang, misalnya frasa
atau kalimat. Dalam bentuk gabungan itu—baik dalam bentuk kata, frasa
maupun kalimat—fonem tersebut direalisasikan bersama-sama dengan ciri
suprasegmental, seperti intonasi dan ritme.
3.5.1 Tekanan dan Aksen
Dalam suatu kata atau kelompok kata selalu ada satu suku kata yang menonjol.
Penonjolan suku kata tersebut dilakukan dengan cara memperpanjang
pengucapan, meninggikan nada, atau memperbesar intensitas suara suku kata
itu. Gejala itulah yang dinamakan tekanan. Jadi, tekanan pada prinsipnya
adalah basil penonjolan suku kata tertentu dengan menggunakan ciri nada,
durasi, atau intensitas.
Dalam bahasa tertentu ciri suprasegmental dapat memengaruhi
arti kata. Letak tekanan pada suku kata yang berbeda pada kata yang sama
akan membedakan arti kata itu. Sebagai contoh, arti kata kapitano (bahasa
Italia) akan berbeda bergantung pada posisi tekanan di dalam kata itu. Kata
[kapitano]—dengan tekanan pada suku kata pertama—berarti 'mereka tiba,
sedangkan [kapitano]—dengan tekanan pada suku kata kedua—berarti
'mualim'. Gejala seperti dalam bahasa Italia itu juga dapat ditemukan dalam
bahasa Batak.
Tidak seperti dalam bahasa Italia atau bahasa Batak, tekanan dalam
bahasa Indonesia tidak membedakan arti. Tekanan kata biasanya jatuh pada
suku kata sebelum suku kata terakhir (penultima).
Contoh:
[bela] bela
[p3mbela?an] pembelaan
[taman] taman
[taman-taman] taman-taman
Apabila suku kata kedua dari akhir mengandung bunyi h! dan suku
kata terakhir tidak, tekanan akan ditempatkan pada suku kata akhir. Jika
suku kata terakhir juga mengandung vokal /a/, letak tekanan tetap jatuh
pada suku kata penultima.
Contoh:
[baiah] belah
[bakarja] bekerja
[taraq] terang
[ampat] empat
Bandingkan dengan contoh berikut.
[baba?] (rujak) bebek
[lapat] lepet
[sarat] seret
Tekanan kata tidak akan hilang sepenuhnya pada tataran kalimat.
Dengan adanya intonasi kalimat, tekanan kata-kata yang membentuk kalimat
itu hanya melemah sehingga suku kata penultima masih terdengar lebih
menonjol daripada suku-suku kata lainnya. Penonjolan itu memang tidak
dikarakterisasi oleh nada atau intensitas, tetapi oleh jangka waktu. Gejala
tersebut sering tampak pada kata-kata yang terdapat pada awal kalimat.
Karena tidak membedakan arti kata, penutur bahasa Indonesia sering
kali tidak peduli dengan letak tekanan kata itu, kecuali ada maksud tertentu
dengan peletakan tekanan itu. Maksud peletakan tekanan pada tataran kata
ini lebih banyak bersifat penegasan daripada pengubahan arti, misalnya
untuk menekankan kontras antara kata yang berbeda [paraq] dan [padaq]
atau [disambuq] dan [tarsambuq].
Contoh:
(1) Dia itu mengatakan parang, bukan padang.
(2) Hubungannya telah disambung kembali, bukan tersambung.
Tekanan kata yang biasanya jatuh pada suku kata kedua sebelum
suku kata terakhir bergeser ke suku kata terakhir pada kalimat (1) untuk
mengontraskan rang dan dang pada kata parang dan padang. Pengubahan
letak tekanan untuk alasan yang sama juga dilakukan dalam kalimat (2)
sehingga kata yang seharusnya diucapkan [disambuq] atau [tarsambug]
diubah menjadi [di'sambug] atau [tsrsambug].
Untuk alasan penekanan juga, suku kata yang bervokal [a] juga dapat
memperoleh tekanan.
Contoh:
(3) Maksud saya perang bukan pirang.
(4) Jelas ada perbedaan arti kata serak dan serak.
Tekanan dalam bahasa Indonesia memang tidak membedakan arti,
tetapi peletakan tekanan secara tidak tepat akan mengakibatkan kejanggalan.
Jika tekanan kata terdapat dalam satuan kata, aksen terdapat di dalam
satuan kalimat. Dalam kalimat tidak semua kata mendapat tekanan yang
sama. Biasanya hanya kata yang dianggap penting saja yang diberi tekanan.
Tekanan yang demikian lazim disebut aksen, Jadi, jika tekanan merupakan
upaya penonjolan suku kata pada tataran kata, aksen adalah penonjolan kata
di dalam kalimat. Sebuah suku kata akan terdengar menonjol atau mendapat
aksen jika suku kata itu dilafalkan dengan waktu yang relatif lebih panjang
daripada waktu untuk suku kata yang lain. Suku kata itu juga cenderung
dilafalkan dengan nada yang meninggi.
Letak aksen di dalam kalimat ditentukan oleh dipentingkan atau
tidak dipentingkannya kata itu. Jika kata itu dipentingkan, kata itu akan
diberi fokus sehingga realisasinya secara akustik lebih tinggi atau lebih besar
dibandingkan dengan realisasi kata-kata yang lain di dalam kalimat. Kata
yang diberi aksen atau fokus itu merupakan informasi baru. Kata perang dan
pirang dalam kalimat (3) dan serak dan serak dalam kalimat (4) mendapat
aksen karena kata-kata itulah yang ditonjolkan. Dengan kata lain, kata-kata
itu merupakan informasi baru yang mendapat fokus di dalam kalimat itu.
Dalam keadaan normal, kalimat Diasedangmembaca buku akan diberi
aksen pada kata membaca. Akan tetapi, aksen dapat juga diletakkan pada kata
sedang atau buku bergantung pada informasi mana yang ditonjolkan dalam
kalimat itu. Perhatikan kontras pasangan kalimat berikut untuk memperjelas
perbedaan letak aksen itu.
(5) Dia sedang membaca buku. (bukan telah membaca buku).
(6) Dia sedang membaca buku. (bukan sedang membaca koran).
Jika sedang mendapat aksen, kalimat itu mengandung informasi agar
pendengar mengerti bahwa dia memang sedang membaca buku, bukan telah
membaca buku atau akan membaca buku. Jika buku mendapat aksen, makna
kalimat itu mengandung informasi bahwa dia memang sedang membaca
bukuy bukan membaca koran atau jenis bacaan lain.
Dalam kaitannya dengan informasi baru, aksen jatuh pada kata yang
menjadi jawaban atas pertanyaan. Pertanyaan akan membimbing penutur
dalam merealisasikan aksen di dalam kalimat. Pertanyaan Apa yang sedang
dibacanya? akan membuat kata buku dalam kalimat (6) mendapat aksen,
sedangkan pertanyaan siapa yang membaca buku itu, misalnya, akan mem
buat kata dia dalam kalimat itu mendapat aksen.
Contoh:
(7) T : "Apa marga anak itu?"
J : "Marga anak itu Siregar"
(8) T : "Di mana keluarganya tinggal?"
J : "Mereka tinggal di Siantar!'
(9) T ; "Tahun berapa mereka menikah?"
J : ''Tahun 1964 mereka bertunangan. Setahun kemudian menikah."
Setiap kata yang dikontraskan di dalam sebuah kalimat mendapat
aksen.
(10) Dalam keadaan seperti ini, kita harus kerja keras atau kelaparan.
(11) Mereka itu tidak memancing, tetapi menjala ikan.
(12) Kalau bukan Rina, pasti Sinta yang menelepon dia kemarin.
3.5.2 Intonasi dan Ritme
Dalam tataran kalimat, ciri suprasegmental berupa intonasi dan ritme. Intonasi
mengacu ke naik turunnya nada dalam penuturan kalimat, sedangkan ritme
mengacu ke pola pemberian tekanan pada kata dalam kalimat ketika kalimat
itu dituturkan. Nada di dalam intonasi dinotasikan dengan berbagai cara. Di
dalam bahasa Indonesia, tinggi rendah nada lazim dinyatakan dengan angka
1, 2, 3, dan 4. Angka I melambangkan nada yang paling rendah menurut
persepsi pendengaran.
(13) Dua.
23 U#
(14) Di mana?
23 3 T#
Dalam untaian tuturan terdengar juga adanya kesenyapan atau
jeda di antara bagian tuturan yang mengisyaratkan batas satuan tuturan
itu. Jeda itu biasanya dibedakan atas panjang atau pendeknya jeda. Jeda
yang menandai batas kalimat biasanya ditandai dengan palang ganda
(#) yang diletakkan di awal dan akhir kalimat. Jeda yang menyatakan
batas kata, frasa, atau klausa dapat ditandai dengan garis miring (/). Jeda
antarkalimat lebih panjang daripada jeda antarklausa, jeda antarfrasa,
atau jeda antarkata. Bagian tuturan yang terdapat di antara dua garis
miring biasanya terdapat dalam satu pola perubahan nada. Pola per￾ubahan inilah yang disebut alir nada, yaitu pola perubahan dari satu nada ke
nada yang lain di dalam satu konstituen. Beberapa pakar juga menyebut alir
nada ini dengan istilah kelompok tona.
Ritme adalah pola pemberian aksen pada kata dalam untaian tuturan
(kalimat). Dalam beberapa bahasa, pemberian aksen itu dilakukan dengan
selang waktu yang sama dan dengan selang waktu yang berbeda untuk
beberapa bahasa yang lain. Bahasa Inggris, misalnya, mengikuti ritme yang
berdasarkan jangka waktu sehingga kedua kalimat berikut diucapkan dengan
jangka waktu yang relatif sama.
(15) John's / here / now.
(16) The professor's / in Bandung / this evening.
Waktu pengucapan The professor's sama dengan waktu pengucapan
John's, waktu pengucapan in Bandung sama lamanya dengan here, dan
demikian pula waktu pengucapan this evening sama dengan now. Dengan
demikian, secara keseluruhan jangka waktu pengucapan kalimat (15) dan
(16) relatif sama.
Tidak seperti bahasa Inggris, ritme bahasa Indonesia ditentukan
oleh jumlah suku kata yang harus diucapkan dalam satu konstituen. Makin
banyak suku kata, makin lama pula waktu untuk pelafalannya.
Contoh:
(17) Jono / di situ / sekarang.
(18) Guru besar itu / di Bandung / malam ini.
Kalimat (18) pada contoh di atas dilafalkan dengan waktu yang lebih
lama daripada kalimat (17) karena jumlah suku kata yang ada pada kalimat
kedua itu lebih banyak daripada jumlah suku yang ada pada kalimat pertama.
Dalam bahasa tulisan, tanda baca mempunyai peranan yang sangat
penting. Suatu klausa yang terdiri atas kata yang sama dan dalam urutan
yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda, bergantung pada tanda baca
yang diberikan.
(19) Dia sedang membaca buku.
(20) Dia sedang membaca buku?
Dalam bahasa tulis, cara mengucapkan kalimat itu ditandai dengan
tanda titik (.) untuk kalimat berisi pernyataan dan tanda tanya (?) untuk
kalimat berisi pertanyaan. Akan tetapi, dalam bahasa lisan tentu saja tidak
didapati tanda baca seperti itu. Karena itulah cara mengucapkan kata dan
kalimat sangat penting. Kalimat (19) di atas diucapkan dengan intonasi
menurun, sedangkan kalimat (20) diucapkan dengan intonasi menaik.
Intonasi menaik inilah yang mengubah klausa itu menjadi sebuah pertanyaan.
Bagian kalimat tempat berlakunya suatu pola perubahan nada
tertentu disebut alir nada. Pada setiap alir nada terdapat satu suku kata yang
terdengar menonjol yang menyebabkan terjadinya perubahan ciri akustik.
Suku kata itulah yang mendapat aksen. Pada contoh berikut diperlihatkan
pola perubahan nada yang dilambangkan dengan angka yang ditempatkan
di bawah kalimat.
(21) Dia menerima uang dari ayahnya.
2— —31 i#
(22) Dia menerima uang dari ayahnya.
2— 3 2/2— 1 1 i#
Pada contoh kalimat (21) perubahan nada terdapat pada kata ayahnya,
sedangkan pada contoh kalimat (22) perubahan nada terjadi pada kata uang.
Walaupun kata pembentuk kalimat (21) dan (22) sama, secara semantis ada
perbedaan yang nyata di antara kedua kalimat itu. Dalam kalimat (21), kata
ayahnya mendapat aksen untuk menegaskan bahwa dia menerima uang dari
ayahnya, bukan dari orang lain. Sementara itu, dalam kalimat (22) kata uang
mendapat aksen untuk menegaskan bahwa dari ayahnya dia menerima uang,
bukan barang lain.
Pada contoh berikut diperlihatkan tiga aiir nada dalam satu kalimat.
Alir nada pertama pada kalimat (23) itu adalah dia. Kelompok yang kedua
ialah berbaring di kursi, sedangkan kelompok yang ketiga adalah sambil
membaca.
(23) Dia berbaring di kursi, sambil membaca.
2 3 /2— 33 / 2— 3 1 i#
Antara alir nada yang satu dan alir nada yang lain dipisahkan oleh
jeda. Akan tetapi, jeda itu dalam konstituen yang pendek atau dalam tempo
tuturan yang cepat sering kali tidak tampak sehingga secara perseptual hanya
terdengar beberapa alir nada yang menonjol saja. Dalam tempo bicara yang
lebih lambat, kalimat (21) dapat terdiri atas tiga alir nada sehingga menjadi
seperti berikut.
(24) Dia / menerima uang / dari ayahnya.
2 3/2— 3 1/2— 3 1 i#
Suku kata yang mendapat aksen dalam alir nada tidak dapat diramalkan
karena sangat bergantung pada apa yang dianggap paling penting oleh
pembicara. Pada umumnya sebutan (komen) akan menerima aksen karena
mengandung informasi baru seperti pada kalimat berikut.
(25) Amin / murldnya.
2—3 / 2 3 1 i#
Pada contoh (25) itu Amin merupakan pokok pembicaraan. Oleh
karena itu, aksen jatuh pada kata Amin. Pada kalimat yang sama, muridnya
dapat menjadi pokok pembicaraan, jika hal yang dibicarakan adalah perihal
murid. Kalimat dengan pokok pembicaraan tentang murid itu dapat diperjelas
dengan pertanyaan pilihan Amin yang mana? ]ixwzhnyz akan tampak seperti
kalimat (26) berikut.
(26) Amin / muridnya.
23/233#
Dalam hal yang demikian, kata yang mendapat aksen adalah muridnya
yang berfungsi sebagai sebutan kalimat itu.
Intonasi dipolakan dengan membandingkan tinggi nada awal dan
nada akhir sebuah tuturan. Pernyataan bahwa intonasi kalimat tanya menaik
dan intonasi kalimat berita menurun pada prinsipnya adalah pembandingan
nada awal dan nada akhir tuturan itu. Jika nada akhir lebih tinggi daripada
nada awal, kalimat itu adalah kalimat tanya. Sebaliknya, jika nada akhir lebih
rendah daripada atau sekurang-kurangnya sama dengan nada awal, kalimat
itu adalah kalimat berita.
(27) Makanan yang terlihat ranum belum tentu segar.
2 13/231#
(28) Makanan yang terlihat ranum belum tentu segar?
2 13/223#
Pola intonasi berita yang tampak pada kalimat (27) diawali dengan
nada dasar 2 dan diakhiri dengan nada 1. Kecenderungan perubahan nada
dalam tuturan berita adalah menurun. Pola intonasi seperti itu juga terdengar
pada kalimat yang menyatakan rincian seperti contoh berikut.
(29) Dia membeli baju, / sepatu, / dan sarung.
2— 33/233/231#
Pola intonasi serupa juga tampak pada kalimat yang mengalami
topikalisasi atau dislokasi, yakni pengutamaan bagian kalimat tertentu
dengan menempatkannya di awal kalimat.
(30) a. Jendela kamar itu / rusak.
2— 33/231#
b. Kamar itu, / jendelanya / rusak.
2— 33/ 2—33/ 231#
Intonasi kalimat tanya pada contoh (28) dimulai dengan nada 2 dan
diakhiri oleh nada 3. Kecenderungan perubahan nada dalam intonasi kalimat
tanya ini adalah menaik. Akan tetapi, kalimat tanya yang menggunakan
pemarkah tanya, entah berupa pronomina tanya ataupun berupa partikel.
tidak menunjukkan kecenderungan seperti itu. Dalam tipe kalimat tanya
bermarkah itu, pola intonasi dasarnya adalah pola intonasi pokok kalimat
pernyataan yang diikuti alir nada naik pada pemarkah. Corak intonasi tanya
dalam kalimat seperti itu terdapat pada pemarkah tanya itu.
(31) Mengapa buah yang terlihat ranum belum tentu
2 32/2 23 12
segar?
3 1 #
(32) Buah yang terlihat ranum belum tentu segar, 'kan?
2 23/2 32 3#
(33) Buah yang terlihat ranum belum tentu segar, ya?
2 23/2 32 3#
Nada tertinggi dalam sebuah alir nada biasanya berfungsi sebagai
pewatas konstituen. Oleh karena itu, hampir semua alir nada berakhir
dengan nada tinggi pada suku terakhir konstituen itu. Nada tinggi yang
tidak menjadi pewatas terdapat di dalam pronomina tanya di dalam kalimat
pertanyaan. Pada pronomina tanya itu, nada tertinggi merupakan puncak
alir nada yang terletak di suku kata penultima.
(34) Di mana rombongan kita akan menginap?
23 2/2 23/2 3 1#
(35) Bagaimana jaksa bisa memperoleh bukti itu?
2 3 2/2 23/2 3 1#
(36) Kapan atasan Anda akan singgah ke rumah kami?
2 3/2 23/2 — 3 1#
Dalam kalimat tanya itu, posisi tekanan pada tataran kata berlaku,
yaitu pada suku kata penultima. Oleh karena itu, jika pronomina tanya
hanya terdiri atas dua suku kata, kalimat tanya ini dimulai dengan nada
tinggi yang kemudian turun ke nada netral.
Intonasi kalimat perintah pada dasarnya mirip dengan intonasi kalimat
berita. Perbedaannya adalah nada akhir intonasi kalimat perintah tidak selalu
lebih rendah daripada nada dasar. Nada akhir itu boleh lebih rendah, boleh
sama, atau lebih tinggi bergantung pada empatisitas perintahnya. Intonasi
kalimat berikut bisa bermacam-macam.
(37) a. Makanlah!
223 i#
b. Makanlah!
2 1 3i#
c. Makanlah!
2 3 1 i#
Pada dasarnya intonasi perintah berpola alir nada turun atau datar
kemudian ditutup dengan nada naik pada suku kata terakhir. Alir nada
turun pada suku kata terakhir memberikan efek penurunan kadar perintah
menuju ke permohonan. Dengan demikian, dalam konstruksi yang panjang,
intonasi kalimat perintah tidak berbeda dengan kalimat berita, kecuali ada
penambahan sebuah alir nada seperti yang terdapat dalam kalimat (37) pada
verba utama di awal kalimat.
Contoh:
(38) Makanlah seadanya.
2 13/2 3 1 i#
(39) Ajaklah mereka itu berjalan-jalan.
2 13/2— 3/2 3 1 i#
(40) Bawalah kawan-kawanmu bermain ke rumah kami.
2 13/2— 3/2 — 3/ 2 3U#
(41) Katakan bahwa rumah itu akan segera dibongkar.
2 13/2— 3/2 3 1 i#
Nada paling tinggi yang diberi lambang angka 4 biasanya digunakan
untuk menyatakan emosi yang tinggi dalam tuturan, misalnya ketika
seseorang sedang marah, kesakitan, terkejut, atau kegirangan.
Contoh:
(42) Malas, kamu!
4 1 / 1 1 i#
(43) Aduh!
2 4 t#
(44) Hore, kita menang!
4 2 / 2 — 3 1 i#
Dalam pola alir nada tuturan dengan emosi ini yang tampak berbeda
adalah julat nada tuturan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tuturan
normal.
Pola intonasi dalam bahasa Indonesia yang dibicarakan di atas
hanyalah pola umum. Apabila orang berbicara diperhatikan, akan terdengar
bermacam-macam variasi intonasi untuk pola kalimat yang sama. Selain
itu, variasi struktur kalimat juga akan membawa perubahan pola intonasi
kalimat itu.
Ciri verba dapat diketahui dengan mengamaci (1) fitur semantis, (2) perilaku
sintaktis, dan (3) bentuk morfologisnya. Secara umum verba dapat dibedakan
dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, dengan identifikasi sebagai
berikut.
a) Verba secara semantis menyatakan keadaan, proses, atau aktivitas.
b) Verba memiliki fungsi sintaktis utama sebagai predikat.
c) Verba secara morfologis dapat dikenal dari pelekatan afiks, seperti
meng-i di-, -kariy dan -i.
Di dalam bab ini akan diuraikan ciri-ciri verba dari ketiga sudut
pandang Itu secara terperinci.
4.1.1 Verba dari Segi Fitur Semantisnya
Verba memiliki fitur semantis yang memerikan ciri waktu inheren yang
ada padanya. Fitur semantis yang dimiliki verba mengacu pada ada
tidaknya fitur perubahan, fitur keduratifan, dan/atau fitur ketelisan. Fitur
perubahan mencakup perubahan secara berangsur dan perubahan secara
dinamis. Fitur keduratifan mencakup jangka waktu yang duratif dan waktu
sesaat (pungtual). Fitur ketelisan mencakup fitur telis (ciri aktivitas yang
mempunyai penyelesaian) dan fitur taktelis (ciri aktivitas yang tidak mempu￾nyai penyelesaian).Verba yang menggambarkan situasi yang tidak berubah atau statis
disebut verba keadaan. Verba yang menggambarkan kejadian dengan
perubahan yang berangsur disebut verba proses, sedangkan verba yang
menggambarkan kejadian dengan perubahan yang dinamis disebut verba
aktivitas. Selanjutnya, verba aktivitas dapat diperinci menjadi verba aktivitas
tindakan, verba aktivitas capaian, dan verba aktivitas rampungan.
Verba aktivitas tindakan menggambarkan perbuatan yang dinamis,
duratif, dan taktelis (tidak mempunyai titik akhir yang jelas). Verba aktivitas
capaian menggambarkan peralihan yang tidak memerlukan waktu dari
keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Oleh karena itu, verba tersebut
berfitur semantis pungtual (tidak duratif) dan telis. Verba aktivitas rampung
an menggambarkan tindakan yang berakhir dengan penyelesaian. Dengan
demikian, verba aktivitas rampungan berfitur dinamis, duratif, dan telis.
Berdasarkan fitur semantis waktu yang secara inheren melekat pada
verba, verba dapat dibedakan menjadi tiga tipe berikut.
1) Verba keadaan berfitur duratif dan statis
Contoh:
(1) la percaya pada keterangan saksi.
(2) Saya berpikir tentang masalah itu.
Contoh lain:
(3) membenci duduk
menyukai mengharapkan
mendambakan berminat
mendengki tahu
mengingini berpikir
berlutut berdiri
berbaring bertengger
2) Verba proses berfitur perubahan berangsur, duratif, dan taktelis
Contoh:
(4) Mereka bekerja lebih keras supaya bertambah penghasilannya.
(5) Jika saya melihat gelagatnya, ada maksud tertentu di balik
kedatangannya.