linguistik

linguistik




 Bahasa Itu Bermakna

Sudah dijelaskan bahwa bahasa itu yaitu  sistem lambang yang berwujud bunyi. 

Sebuah lambang tentu melambangkan sesuatu, yaitu suatu pengertian, suatu 

konsep, suatu ide, atau pikiran. Dapat dikatakan bahwa bahasa itu memiliki  

makna. Misalnya lambang bahasa yang berwujud bunyi [kuda]. Lambang ini 

mengacu pada konsep sejenis binatang berkaki empat yang biasa ditunggangi. 

Kemudian, konsep tadi dihubungkan dengan benda yang ada dalam dunia nyata. 

Jadi, lambang bunyi [kuda] mengacu pada konsep “binatang berkaki empat yang 

biasa ditunggangi”.

Lambang bunyi [kuda] mengacu kepada benda konkret di alam nyata, tetapi 

lambang bunyi [agama] dan [adil] tidak mengacu kepada benda konkret. Lebih 

umum dikatakan lambang bunyi ini  tidak punya referen atau tidak punya 

rujukan.

Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna berupa satuan-satuan 

bahasa yang bewujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua 

satuan ini  memiliki makna.

sebab  bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak bermakna 

dapat disebut bukan bahasa.

Bahasa itu Arbitrer

Yang dimaksud dengan istilah arbitrer yaitu  tidak adanya hubungan wajib antara 

lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang 

terkandung dalam lambang ini . Umpamanya, antara [kuda] dengan yang 

dilambangkannya, yaitu “sejenis binatang berkaki empat yang biasa ditunggangi”. 

Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang ini  dilambangkan dengan 

bunyi [kuda].

bila  ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, 

tentu lambang yang dalam bahasa Indonesia berbunyi [kuda], akan disebut juga 

[kuda] oleh orang Inggris, dan bukannya [horse]. Lalu, bila  ada hubungan 

wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, maka di muka bumi ini 

tidak akan ada bermacam-macam bahasa. Tentu hanya ada satu bahasa, yang 

meskipun mungkin berbeda, tetapi perbedaannya tidak terlalu banyak.

Bahasa itu Konvensional

pemakaian  suatu lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. 

Artinya semua anggota warga  bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang 

tertentu dipakai  untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya binatang 

berkaki empat yang biasa ditunggangi, yang secara arbitrer dilambangkan dengan 

bunyi [kuda], maka anggota warga  bahasa Indonesia. Kalau konvensi itu 

tidak dipatuhinya, dan lambang itu digantinya dengan lambang lain, maka 

komunikasi akan terhambat, sebab  tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa.

Ciri universal dari bahasa yang paling umum yaitu  bahwa bahasa mem punyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Misalnya bahasa 

Indonesia, memiliki  6 buah vokal dan 22 buah konsonan, sedangkan bahasa 

Arab memiliki  3 buah vokal pendek dan 3 buah vokal panjang serta 28 buah 

konsonan, dan bahasa Inggris memiliki 16 buah vokal (termasuk diftong) dan 

24 buah konsonan. Bukti lain keuniversalan bahasa yaitu  bahwa setiap bahasa 

memiliki  satuan-satuan bahasa yang bermakna, yaitu kata, frase, klausa, 

kalimat, dan wacana.

Bahasa itu Bervariasi

Setiap bahasa dipakai  oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu 

warga  bahasa.

Anggota warga  suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan 

berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. 

Anggota warga  bahasa itu ada yang berpendidikan dan ada yang tidak; 

ada yang tinggal di kota dan ada yang di desa; ada orang dewasa dan ada pula 

anak-anak. Ada yang berprofesi sebagai dokter, petani, pegawai kantor, nelayan, 

dan sebagainya. Oleh sebab  latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, 

maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam. Variasi 

atau ragam yang satu dengan yang lain seringkali memiliki  perbedaan yang 

besar.

Ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. 

Idiolek yaitu  variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan, sebab  

setiap orang memiliki  ciri khas bahasanya masing-masing itu.

Dialek yaitu  variasi bahasa yang dipakai  oleh sekelompok anggota 

mayarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Misalnya, di Indonesia kita 

mengenal adanya bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Tegal, bahasa 

Jawa dialek Surabaya, dan sebagainya. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini 

lazim disebut dengan nama dialek regional, dialek areal, atau dialek geografis. 

Variasi bahasa yang dipakai  pada masa tertentu, misalnya bahasa Indonesia 

zaman Balai Pustaka dan bahasa Indonesia zaman Abdullah bin Abdul Kadir 

Munsyi, lazim disebut dialek temporal atau juga kronolek. Sedangkan variasi 

bahasa yang dipakai  sekelompok anggota warga  dengan status sosial 

tertentu disebut dialek sosial atau sosiolek.

Bahasa itu Identitas suatu Kelompok Sosial

Di antara ciri-ciri budaya yang ada, bahasa yaitu  ciri pembeda yang paling 

menonjol, sebab  lewat bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai 

kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Dalam kelompok tertentu, orang 

menganggap bahasa sebagai identitas sosial lebih penting dibandingkan  bahasa sebagai 

sistem. Misalnya, bahasa Cina menggambarkan perilaku orang-orang Cina atau 

sebagai ciri bangsa Cina. Mungkin juga bahasa Indonesia merupakan identitas 

bagi bangsa Indonesia. 

Studi Bahasa dan Ilmu Linguistik

Pada dasarnya setiap ilmu, termasuk ilmu linguistik, telah mengalami tiga 

tahap perkembangan ilmu. Tahap pertama, yaitu spekulasi. Dalam tahap ini, 

pembicaraan mengenai sesuatu dan cara mengambil kesimpulan dilakukan dengan 

sikap spekulatif. Artinya, kesimpulan itu dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti 

empiris dan dilaksanakan tanpa menggunakan prosedur-prosedur tertentu.

Dalam studi bahasa sebelumnya, orang mengira bahwa semua bahasa di 

dunia ini diturunkan dari bahasa Ibrani, maka orang juga mengira Adam dan 

Hawa memakai bahasa Ibrani di Taman Firdaus. Suku Dayak Iban di Kalimantan 

memiliki  legenda yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya 

punya satu bahasa. Akan tetapi sebab  mereka keracunan cendawan mereka 

kemudian berbicara dalam berbagai bahasa, sehingga timbul kekacauan dan 

manusia berpencar ke segala penjuru dunia. Bahkan sampai akhir abad ke-17 

menurut seorang filsuf Swedia, Adam berbicara dalam bahasa Denmark dan ular 

berbicara dalam bahasa Prancis (Pei, 1971:12). Semuanya itu hanyalah spekulasi 

yang pada zaman sekarang sukar diterima.

Tahap kedua, yaitu  tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini, para 

ahli di bidang bahasa baru mengumpulkan dan menggolong-golongkan segala 

fakta bahasa dengan teliti tanpa memberi kesimpulan apa pun. Kebanyakan 

ahli sebelum perang kemerdekaan di Indonesia baru bekerja sampai tahap ini. 

Bahasa-bahasa di Nusantara didaftarkan, ditelaah ciri-cirinya, lalu dikelompokkan 

berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh bahasa-bahasa ini . Cara seperti 

ini belum dapat dikatakan “ilmiah”, sebab belum sampai pada penarikan suatu 

teori. Pada saat ini, cara kerja tahap kedua ini tampaknya masih diperlukan bagi 

kepentingan dokumentasi kebahasaan. Pada tahap berikut barangkali bahasa bahasa Nusantara yang belum terdokumentasikan itu dapat ditelaah dengan 

lebih serius secara ilmiah.

Tahap ketiga yaitu  tahap perumusan teori. Pada tahap ini setiap disiplin 

ilmu berusaha memahami masalah-masalah dasar dan mengajukan pertanyaan pertanyaan mengenai masalah-masalah itu berdasarkan data empiris yang 

dikumpulkan. Kemudian dalam tiap disiplin dirumuskan hipotesis atau hipotesis hipotesis yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menyusun tes 

untuk menguji hipotesis-hipotesis terhadap fakta-fakta yang ada.

Disiplin linguistik dewasa ini sudah mengalami ketiga tahap di atas. Artinya, 

disiplin linguistik itu sekarang ini sudah bisa dikatakan merupakan kegiatan 

ilmiah. Selain itu, bisa dikatakan ketidakspekulatifan dalam penarikan kesimpulan 

merupakan salah satu ciri ilmiah. Tindakan tidak spekulatif dalam menarik 

kesimpulan atau teori harus didasarkan pada data empiris, yakni data yang 

nyata ada, yang didapat dari alam yang wujudnya dapat diobservasi. Misalnya,  

pranata warga  (seperti kepercayaan, adat istiadat, pendidikan, dan 

sebagainya) terhadap linguistik sepanjang masa.

Dari uraian di atas, kita lihat betapa luasnya bidang, cabang, atau 

subdisiplin linguistik itu. Ini terjadi sebab  objek linguistik, yaitu bahasa, 

memiliki  jangkauan hubungan yang sangat luas di dalam kehidupan 

manusia. Boleh dikatakan tidak ada kegiatan manusia yang tidak melibatkan 

pemakaian  bahasa. Mungkin saja bila muncul kegiatan baru dalam 

kehidupan manusia, maka akan muncul lagi cabang linguistik baru. Dulu, 

sebelum ada kegiatan dengan komputer, belum ada cabang linguistik yang 

disebut mekanolinguistik atau linguistik komputer. Entah cabang linguistik 

apa pula yang akan muncul pada masa yang akan datang 

Kalau kita mendengar orang berbicara, akan kita dengar rangkaian bunyi bahasa 

yang berkesinambungan. Kadang-kadang terdengar suara menaik dan menurun. 

Kadang-kadang terdengar hentian sejenak atau hentian agak lama. Kadang-kadang 

terdengar tekanan keras atau lembut dan kadang-kadang terdengar pula suara 

pemanjangan dan suara biasa. Rangkaian bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau 

dipotong-potong atau disegmentasikan berdasarkan satuan-satuannya. Misalnya 

runtunan bunyi dalam bahasa Indonesia berikut.

(1) [alimenulissuratsebelumanibelajar]

Pada tahap pertama, runtunan bunyi itu dapat disegmentasikan berdasarkan 

adanya jeda atau hentian yang paling besar menjadi (1a) dan (1b) sebagai berikut:

(1a) [alimenulissurat]

(1b) [sebelumanibelajar]

Pada tahap kedua, segmen (la) dapat disegmentasikan menjadi (la1) dan (1a2); 

segmen (1b) dapat disegmentasikan menjadi (1b1) dan (1b2) sebagai berikut:

(1a1) [ali]

(1a2) [menulissurat]

(1b1) [sebelum]

(1b2) [anibelajar]

Pada tahap ketiga, segmen (1a1) dapat disegmentasikan lagi menjadi (lal.1); 

segmen (1a2) dapat disegmentasikan lagi menjadi (1a2.1) dan 1a2.2); segmen (1b1) 

dapat disegmentasikan lagi menjadi (1b1.1); segmen (1b2) dapat disegmentasikan 

lagi menjadi (1b2.1) dan (1b2.2) sebagai berikut:

(1b22) [ali]

(1a21) [menulis]

(1a22) [surat]

(1b11) [sebelum]

(1b21) [ani]

(1b22) [belajar]

Pada tahap berikutnya, segmen-segmen rangkaian bunyi itu dapat disegmentasikan 

lagi sehingga kita sampai pada kesatuan-kesatuan rangkaian bunyi yang disebut 

silabel atau suku kata. Sebagai contoh, kalau kita ambil rangkaian bunyi yang 

menjadi segmen (1a21) yaitu [menulis], maka kita dapati silabel [me], [nu], 

[lis], dan demikian juga dengan rangkaian bunyi yang lain.

Suku kata merupakan satuan bunyi yang ditandai oleh bunyi yang paling 

nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh sebuah bunyi lain di depannya, 

di belakangnya, atau sekaligus di depan dan di belakangnya. Adanya puncak 

kenyaringan atau sonoritas inilah yang menandai silabel itu. Puncak kenyaringan  

Bunyi-bunyi yang terjadi pada alat-alat ucap itu biasanya diberi nama sesuai 

dengan nama atau istilah alat ucap itu. Nama-nama ini  yaitu  (nomor 

sesuai dengan bagan di atas):

Nama alat ucap Nama bunyi bahasa

2. pangkal tenggorok (larynx) - laringal

8. rongga kerongkongan (pharynx) - faringal

11. pangkal lidah (dorsum) - dorsal

12. tengah lidah (medium) - medial

13. daun lidah (laminum) - laminal

14. ujung lidah (apex) - apikal

15. Anak tekak (uvula) - uvular

16. Langit-langit lunak (velum) - velar

17. Langit-langit keras (palatum) - palatal

18. Gusi (alveolum) - alveolar

19. Gigi (dentum) - dental

20. Bibir (labium) - labial

Selain dengan cara penamaan bunyi bahasa seperti ini  di atas, di gunakan juga cara penataan bunyi bahasa berdasarkan gabungan artikulatornya 

yaitu artikulator sepanjang atap mulut (pasif) dan artikulator lidah (aktif). 

Misalnya, bunyi apiokodental yaitu gabungan antara ujung lidah dengan gigi 

atas; labiodental yaitu gabungan antara bibir bawah dengan gigi atas; lamino 

palatal, yaitu gabungan antara daun lidah dengan langit-langit keras.

Terjadinya Bunyi Bahasa (Fonasi)

Udara dipompakan dari paru-paru melalui batang tenggorok ke pangkal 

tenggorok, yang di dalamnya ada  pita suara. Pita suara itu harus terbuka 

supaya udara bisa keluar, melalui rongga mulut atau rongga hidung atau melalui 

kedua-duanya. Udara tadi diteruskan ke udara bebas. bila  udara keluar tanpa 

mendapat hambatan di mana pun maka kita tidak akan mendengar bunyi apa 

pun. Hambatan terhadap udara atau arus udara yang keluar dari paru-paru itu 

dapat terjadi mulai dari tempat yang paling dalam, yaitu pita suara, sampai 

pada tempat yang paling luar, yaitu bibir atas dan bawah. Hambatan-hambatan 

itu antara lain antara pita suara, antara akar lidah, dan dinding kerongkongan.

Berkenaan dengan hambatan pada pita suara ini, perlu dijelaskan adanya 

empat macam posisi pita suara, yaitu (a) pita suara terbuka lebar, (b) pita suara 

terbuka agak lebar, (c) pita suara terbuka sedikit, dan (d) pita suara tertutup 

rapat-rapat. Kalau posisi pita suara terbuka lebar (lihat Bagan a), maka tidak 

akan terjadi bunyi bahasa. Posisi ini yaitu  posisi untuk bernapas secara normal. 

Kalau pita suara terbuka agak lebar (lihat Bagan b), maka akan terjadilah bunyi 

bahasa yang disebut bunyi tak bersuara (voiceless). Kalau pita suara terbuka 

sedikit (lihat Bagan c), maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi  

bersuara (voiced). Kalau pita suara tertutup rapat (lihat Bagan d), maka akan 

terjadilah bunyi hamzah atau glotal stop 

Sesudah melewati pita suara, arus udara bergerak menuju alat-alat ucap 

tertentu, yang ada  di rongga mulut, tempat bunyi bahasa ini terjadi atau 

dihasilkan. Tempat itu disebut tempat artikulasi; proses terjadinya disebut proses 

artikulasi; alat-alat yang dipakai  juga disebut alat artikulasi atau lebih lazim 

disebut artikulator. Dalam proses artikulasi ini, biasanya terlibat dua macam 

artikulator, yaitu artikulator aktif dan artikulator pasif. Yang dimaksud dengan 

artikulator aktif yaitu  alat ucap yang bergerak atau digerakkan, misalnya bibir 

bawah dan lidah. Sedangkan yang dimaksud dengan artikulator pasif yaitu  

alat ucap yang tidak dapat bergerak atau yang disentuh oleh artikulator aktif, 

misalnya gigi atas, langit-langit keras, dan langit-langit lunak.

Tempat bertemunya artikulator aktif dan pasif disebut titik artikulasi 

(striktur). Dalam hal ini ada beberapa macam titik artikulasi. Jenis striktur (titik 

artikulasi) akan melahirkan macam-macam bunyi yang berbeda.

Bunyi-bunyi yang dibicarakan di atas yaitu  bunyi tunggal sebagai hasil dari 

proses artikulasi. Di samping itu dalam berbagai bahasa juga dijumpai bunyi ganda. 

Ada dua buah bunyi yang lahir dalam dua proses artikulasi yang berangkaian. 

Dalam prosesnya, sesudah  berlangsung artikulasi pertama, yang menghasilkan 

bunyi pertama, segera disusul oleh artikulasi kedua, yang menghasilkan bunyi 

kedua. Artikulasi kedua ini sering disebut artikulasi sertaan (secondary articulation) 

dan bunyi yang dihasilkannya juga disebut bunyi sertaan. Jenis artikulasi kedua ini 

antara lain proses yang disebut labialisasi, palatalisasi, velarisasi, dan faringalisasi.

Klasifikasi Bunyi Bahasa

Dalam studi fonetik ini secara umum bunyi bahasa dapat dikelompokkan ke dalam 

tiga kelompok bunyi yaitu Bunyi Vokoid, Bunyi Kontoid, Bunyi Semi Vokoid.

Bunyi Vokoid

Bunyi vokoid (dalam studi fonemik disebut vokal) dihasilkan dengan udara 

yang keluar dari paru-paru tanpa adanya hambatan. Proses terjadinya vokal, 

selain oleh hambatan udara, dipengaruhi pula oleh gerakan bibir dan gerakan 

lidah. Dalam gerakan bibir yang menghasilkan vokal, ada  dua posisi yaitu  

Demikian seterusnya, dengan cara yang sama bunyi-bunyi itu dapat 

dijelaskan.

Semi Vokoid

Dalam studi fonemik, semi vokoid sering disebut semi vokal. Bunyi ini 

dikategorikan ke dalam bunyi semi vokal sebab  dapat berstatus konsonan, 

dan juga berstatus vokal. Bunyi-bunyi itu yaitu  [w] dan [y]. saat  berstatus 

konsonan bunyi ini disebut bunyi kontoid, contoh: waktu, wanita, warung, yang, 

yaitu, yakin. saat  vokoid wujudnya hanya sebagai bunyi peluncur saja (vokoid 

glide), seperti w ah, bi y ar.

Diftong atau Vokal Rangkap

Disebut diftong atau vokal rangkap sebab  posisi lidah saat  memproduksi bunyi 

ini pada bagian awalnya dan akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut 

tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Namun 

yang dihasilkan bukan dua buah bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi sebab  

berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa Indonesia yaitu  [au], 

seperti ada  pada kata kerbau dan harimau. Contoh lain, bunyi [ai], seperti 

ada  pada kata cukai dan landai. bila  ada dua buah vokal berurutan, 

namun yang pertama terletak pada suku kata yang berlainan dari yang kedua, 

maka di situ tidak ada diftong. Jadi, vokal [au] dan [ai] pada kata seperti bau

dan lain bukan diftong.

Diftong sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya, 

sehingga dibedakan adanya diftong naik dan diftong turun. Disebut diftong 

naik sebab  bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi yang kedua, 

sebaliknya disebut diftong turun sebab  posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi 

bunyi kedua. Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik (lihat bagan 11). 

Dalam bahasa Inggris ada diftong naik dan ada juga diftong turun (lihat bagan 12). 

(1) Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah

menjadi lebih tinggi dibandingkan  yang pertama. Perhatikan bagan berikut: 

Sudah dijelaskan bahwa fonologi dibedakan atas fonetik dan fonemik. Objek 

kajian fonetik yaitu  fon, yaitu bunyi pada umumnya tanpa memperhatikan 

apakah bunyi ini  membedakan makna atau tidak. Sebaliknya, objek kajian 

fonemik yaitu  fonem, yakni bunyi bahasa yang membedakan makna kata. Dalam 

fonetik, kita mempelajari bunyi-bunyi /u/ yang berbeda pada kata-kata seperti 

busur, buku, dan kuil atau meneliti perbedaan bunyi /i/ seperti yang ada  

pada kata-kata isi, indah, dan pasir. Jika bunyi itu membedakan makna, maka 

bunyi ini  kita sebut fonem dan bukan fonem bila  tidak membedakan 

makna. Jadi, jelaslah bahwa fonem yaitu  bunyi bahasa yang fungsional, yaitu 

membedakan makna kata.

Identifikasi Fonem

Untuk menentukan apakah sebuah bunyi itu fonem atau bukan, kita harus 

mencari sebuah kata, yang mengandung bunyi ini , lalu membandingkannya 

dengan kata lain yang mirip. Jika tenyata kedua kata itu berbeda maknanya, 

maka bunyi ini  merupakan sebuah fonem, sebab  bunyi itu membedakan 

makna kedua kata ini . Misalnya, kata Indonesia lupa dan rupa. Kedua 

kata itu mirip. Masing-masing terdiri dari empat buah bunyi. Yang pertama 

memiliki  bunyi [l], [u], [p], dan [a]; dan yang kedua memiliki  bunyi [r], 

[u], [p], dan [a]. Jika kita bandingkan

[l], [u], [p], [a]

[r], [u], [p], [a]

Jika diperhatikan secara seksama dari kedua kata di atas, perbedaannya 

hanya pada bunyi fonem yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Maka 

dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi [l] dan bunyi [r] yaitu  

dua buah fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia. Contoh lain, dalam 

bahasa Indonesia yaitu  kata suku dan suhu. Bunyi [k] pada kata pertama dan 

bunyi [h] pada kata kedua, masing-masing yaitu  fonem yang berlainan, yaitu 

fonem /k/ dan fonem /h/, sebab  kedua bunyi itu membedakan makna kedua 

kata ini .

Dua bentuk kata yang mirip, seperti kata lupa dan rupa atau kata suku

dan suhu disebut kata-kata yang berkontras minimal atau berpasangan minimal 

(minimal pair). Untuk menentukan sebuah bunyi itu fonem atau bukan pertama tama haruslah dicari pasangan minimalnya lebih dahulu. Kadang-kadang 

pasangan minimal ini tidak memiliki  jumlah bunyi yang persis sama. Misalnya, 

kata tuju dan tujuh juga merupakan pasangan minimal, sebab tiadanya bunyi 

[h] pada kata itu mengubah maknanya. Jadi dalam hal itu, bunyi [h] yaitu 

sebuah fonem.

Identitas sebuah fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja. 

Misalnya, dalam bahasa Inggris ada bunyi [th] seperti pada kata top, dan  

d. Kontraksi

Kontraksi yaitu  bentuk penyingkatan dari ujaran yang panjang menjadi 

pendek. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia tidak ada diucapkan menjadi 

tiada; ungkapan baru saja menjadi barusan. Dalam bahasa Inggris kita jumpai 

shall not menjadi shan’t bentuk will not menjadi won’t; bentuk are not menjadi 

aren’t; bentuk it is menjadi it’s.

e. Metatesis dan Epentesis

Proses metatesis yaitu  mengubah urutan fonem yang ada  dalam suatu kata. 

Bentuk asli dan bentuk perubahannya sama-sama ada  dalam kata ini  

dan tampak sebagai variasi. Dalam bahasa Indonesia, misalnya kita temukan, 

selain bentuk sapu ada bentuk apus dan usap; selain berantas ada banteras; selain 

jalur ada lajur; selain kolar ada koral.

Berbeda halnya dengan metatesis, dalam proses epentesis sebuah fonem 

tertentu, biasanya fonem yang homorgan dengan lingkungannya, disisipkan ke 

dalam sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia ada kata sampi disamping sapi; 

ada kata disamping kapak dan ada jumblah disamping jumlah. Pada 

kata sampi dan sapi atau kampak dan kapak ada bunyi [m] yang disisipkan di 

tengah kata; pada kata jumblah dan jumlah ada bunyi [b] yang disisipkan di 

tengah kata.

Fonem dan Grafem

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa fonem yaitu  satuan bunyi 

bahasa terkecil yang fungsional atau membedakan makna kata. Untuk menetapkan 

sebuah bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan, antara lain harus dicari 

pasangan minimalnya, yang berupa dua buah kata yang mirip, yang memiliki 

lingkungan yang sama dan satu bunyi yang berbeda. Bila ternyata kedua kata 

itu memiliki makna yang berbeda, maka kedua bunyi itu yaitu  dua buah 

fonem yang berbeda. Fonem dianggap sebagai konsep abstrak, yang di dalam 

percakapan direalisasikan oleh sebuah alofon atau lebih yang sesuai dengan 

lingkungan tempat hadirnya fonem ini .

Alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu dapat dilambangkan 

secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik. Dalam transkripsi 

fonetik ini setiap alofon, termasuk unsur-unsur suprasegmentalnya, dapat 

digambarkan secara tepat atau tidak meragukan. Dalam transkripsi fonemik, 

penggambaran bunyi-bunyi itu sudah kurang akurat, sebab alofon-alofon yang 

bunyinya jelas tidak sama dilambangkan dengan lambang yang sama. Yang 

dilambangkan yaitu  fonemnya, bukan alofonnya. Misalnya, alofon [o] dan [ ] 

dari fonem /o/ dalam bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf yang sama, 

yaitu huruf <o>. Begitu juga alofon [k] huruf <k>. Bandingkan ucapan huruf 

<k> pada kata rakyat dan raksasa. 

/n/ [Å‹] ng nga.nga, a.ngan

/h/ [h] h ha.sil, pa.hat

/l/ [l] l la.ri, ba.tal

Catatan:

1. Grafem e dipakai untuk melambangkan dua buah fonem yang berbeda,

yaitu fonem /e/ dan fonem / /.

2. Grafem p selain dipakai untuk melambangkan fonem /p/, juga dipakai untuk

melambangkan fonem /b/ untuk alofon [p].

3. Grafem v dipakai  juga untuk melambangkan fonem /f/ pada beberapa

kata tertentu.

4. Grafem t selain dipakai  untuk melambangkan fonem /t/ dipakai  juga

untuk melambangkan fonem /d/ untuk alofon [t].

5. Grafem k selain dipakai  untuk melambangkan fonem /k/ dipakai  juga

untuk melambangkan fonem /g/ untuk alofon [k] yang biasanya berada

pada posisi akhir.

6. Grafem n selain dipakai  untuk melambangkan fonem /n/ dipakai  juga

untuk melambangkan fonem /ň/ pada posisi di muka konsonan /j/ dan /c/.

7. Gabungan grafem masih dipakai : ng untuk fonem /Å‹/; ny untuk fonem

/ň/; kh untuk fonem /x/; sy untuk fonem /∫/.

8. Bunyi glotal stop sebagai alofon dari fonem /k/; jadi, dilambangkan dengan

grafem k. 

Sebelumnya dijelaskan bahwa morfologi mengkaji unsur dasar atau satuan 

terkecil dari suatu bahasa. Satuan terkecil, atau satuan gramatikal terkecil itu 

disebut morfem. Sebagai suatu satuan gramatikal, morfem memiliki makna. 

Istilah terkecil mengisyaratkan bahwa satuan gramatikal (morfem) itu tidak 

dapat dibagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil.

Identifikasi Morfem

Untuk menentukan apakah sebuah satuan gramatikal itu morfem atau bukan, kita 

perlu membandingkan bentuk satuan gramatikal ini  di dalam kehadirannya 

dengan bentuk-bentuk lain dalam ujian. Jika bentuk ini  ternyata muncul 

secara berulang-ulang (walaupun dalam bentuk lain), maka bentuk ini  

yaitu  sebuah morfem. Di samping merupakan bentuk yang berulang, morfem 

juga menunjukkan makna tertentu baik leksikal maupun gramatikal. Sebagai 

contoh kita ambil bentuk di- dalam rangkaian bentuk-bentuk berikut:

I

dipukul

diambil

dipotong

diusir

dibawa

digali

dipasang

Ternyata semua bentuk di- pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai 

satuan tersendiri dan yang memiliki  makna yang sama, yaitu menyatakan 

tindakan pasif. Dengan demikian bentuk di- pada daftar di atas, dapat dikatakan 

sebagai sebuah morfem, sebab  merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang 

dan memiliki  makna yang sama. Sekarang perhatikan bentuk di- pada daftar 

II berikut:

II

di pasar

di rumah 

di kamar 

di jalan

di halaman

di kantor

Ternyata bentuk di- pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan 

tersendiri dan juga memiliki  arti yang sama yaitu tempat. Dengan demikian 

di- pada daftar ini  juga yaitu  sebuah morfem. 

cirinya, kita dapat memprediksikan pemakaian  atau pendistribusian kata itu 

di dalam ujaran. Sebab hanya kata-kata yang berciri atau beridentifikasi sama 

saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam kalimat. 

Umpamanya, kata-kata seperti baju, sepatu, dan sepeda. 

Pembentukan Kata

Pembentukan kata sering disebut juga proses morfologi, yaitu proses terjadinya 

kata yang berasal dari morfem dasar melalui perubahan morfemis. ada  

beberapa jenis proses morfolgis, yang secara singkat dijelaskan dalam uraian 

berikut:

Gramatikalisasi

Gramatikalisasi yaitu  proses perubahan tataran dari morfem ke kata, yang dalam 

tataran sintaksis merupakan perubahan tataran pertama. Tidak semua morfem 

dengan sendirinya dapat langsung berubah menjadi kata. Seperti morfem {ber-}, 

{ter-}, {ke-}, dan sejenisnya yang tergolong morfem terikat tidak dapat langsung 

menjadi kata. Demikian juga halnya dengan morfem seperti {juang} tidak dapat 

langsung menjadi kata, sebab  sebenarnya morfem {juang} ini termasuk morfem 

terikat juga. Lain halnya dengan bentuk seperti {rumah} yang berstatus morfem 

bebas yang dapat langsung menjadi kata. Tampaknya hanya morfem bebas saja 

yang dapat melalui proses gramatikalisasi menjadi kata.

Morfem Kata

rumah gramatikalisasi rumah

Afiksasi

Afiksasi yaitu  proses penambahan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. 

Dalam proses ini terlibat unsur-unsur dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna 

gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula 

bersifat derivatif. Bersifat inflektif bila  afiksasi ini tidak mengubah kelas kata. 

Sebaliknya bersifat derivatif bila  hasil afiksasi mengubah kelas kata.

Afiks yaitu  sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang di imbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata.

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai jenis afiks yang secara tradisional 

diklasifikasikan atas:

a. Prefiks

Prefiks yaitu  afiks yang diletakkan di muka bentuk dasar. Dalam bahasa

Indonesia misalnya mem-, di-, ber-, ke-, ter-, se-, pem-, dan pe-/per-.

b. Infiks

Infiks yaitu  afiks yang diletakkan di dalam bentuk dasar. Dalam bahasa

Indonesia ada  tiga macam infiks yaitu -el-, -em-, dan -er. 

c. Sufiks

Sufiks yaitu  afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar. Dalam bahasa

Indonesia misalnya -kan, -i, -nya, -wati, -wan, -man, -isme, dan -isasi.

d. Kombinasi Afiks

Kombinasi afiks yaitu  proses pembentukan kata yang berupa pemberian

afiks secara kombinasi dari dua afiks atau lebih yang dihubungkan dengan

sebuah bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia misalnya dikenal beberapa

kombinasi afiks yaitu me-kan, me-i, memper-kan, memper-i, ber- kan, me-i,

mem-kan, mem-i, ber-, ter-kan, pe-an, dan se-nya.

e. Konfiks

Konfiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu

di belakang bentuk dasar, dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.

Dalam hal ini perlu kita bedakan antara konsep konfiks dan kombinasi

afiks. Konfiks yaitu  satu afiks dengan satu makna gramatikal, sedangkan

kombinasi afiks bukanlah satu afiks, dan berkemungkinan mengungkapkan

beberapa makna gramatikal.

Dalam bahasa Indonesia setidak-tidaknya ada  empat konfiks, yaitu

ke-... -an, pen-...-an, per-...-an, dan ber-...-an. Konfiks-konfiks ini misalnya

melekat pada kata pengiriman, persahabatan, berhalangan.

Reduplikasi

Reduplikasi yaitu  proses morfologis yang mengulang bentuk dasar, baik secara 

keseluruhan, sebagian, maupun disertai dengan perubahan bunyi. Dalam hal 

ini, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh, seperti buku-buku (dari dasar 

buku), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dengan 

perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik).

Dalam khazanah linguistik Indonesia lazim dipakai  sejumlah istilah 

untuk reduplikasi yang berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Istilah-istilah 

itu misalnya dwilingga, yakni pengulangan morfem dasar, seperti buku-buku; 

dwilingga salin suara, yakni pengulangan morfem dasar dengan perubahan vokal 

dan fonem lainnya, seperti bolak-balik, dan mondar-mandir; dwipurwa, yakni 

pengulangan suku kata pertama, seperti lelaki, peparu, dan pepatah; dwiwasana, 

yakni pengulangan pada akhir kata, seperti cengengesan ‘selalu tertawa’ yang 

terbentuk dari cenges ‘tertawa’; dan (e) trilingga, yakni pengulangan morfem 

dasar sampai dua kali, seperti dag-dig-dug, cas, cis, cus, dan ngak ngik nguk.

Proses reduplikasi banyak ada  dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. 

Khusus mengenai reduplikasi dalam bahasa Indonesia ada beberapa catatan yang 

perlu dikemukakan. Pertama, bentuk dasar reduplikasi dalam bahasa Indonesia 

dapat berupa morfem dasar seperti meja yang menjadi meja-meja, bentuk 

pembangunan yang menjadi pembangunan-pembangunan, dan bisa juga berupa 

bentuk gabungan kata seperti surat kabar yang menjadi surat-surat kabar atau 

surat kabar-surat kabar. 

Akar (root) dipakai  untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis 

lebih jauh lagi. Artinya, akar itu yaitu  bentuk yang tersisa sesudah  semua 

afiksnya ditanggalkan.

Para ahli bahasa struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, berpendapat 

bahwa kata yaitu  satuan bebas terkecil (minimal free form). Aliran Generatif 

Transformasi, yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Chomsky, menyatakan 

bahwa kata yaitu  dasar analisis kalimat dan hanya menyajikan kata itu dengan 

simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (adjektiva), dan sebagainya.

Klasifikasi kata disebut juga penggolongan kata, atau penjenisan kata; yang 

dalam bahasa Inggris disebut part of speech. Dalam sejarah linguistik klasifikasi 

kata selalu, menjadi salah satu topik pembicaraan, sejak zaman Aristoteles hingga 

kini, termasuk juga dalam kajian linguistik Indonesia. Pembentukan kata sering 

disebut juga proses morfologi, yaitu proses terjadinya kata yang berasal dari 

morfem dasar melalui perubahan morfemis. 

Jika kita amati secara lebih cermat ujaran seseorang, ada  seperangkat aturan 

yang mengatur deretan kata-kata yang membentuk kalimat itu. Kaidah ini disebut 

juga alat sintaksis. Alat sintaksis ini merupakan bagian dari kemampuan mental 

penutur untuk dapat menentukan apakah urutan kata, bentuk kata, dan unsur 

lain yang ada  dalam ujaran itu membentuk kalimat atau tidak, atau kalimat 

yang didengar atau dibacanya dapat diterima atau tidak.

ada  sejumlah alat sintaksis yang mengatur unsur-unsur bahasa sehingga 

terbentuk satuan bahasa yang disebut kalimat. Alat-alat sintaksis itu yaitu  

urutan, bentuk kata, intonasi, dan partikel atau kata tugas.

a. Urutan

Dalam bahasa pada umumnya peranan urutan sangat penting, sebab  ikut 

menentukan makna gramatikal. Untuk memperjelas keterangan ini dapat 

dicermati contoh kontras berikut dalam bahasa Indonesia.

air jernih dan *jernih air

lompat jauh dan *jauh lompat

jalan besar dan *besar jalan

ibu makan roti dan *roti makan ibu

Bentuk-bentuk yang diberi tanda asterik (*) yaitu  bentuk-bentuk yang tak 

dapat diterima. Hal itu dapat dipahami sebab  konstruksi seperti itu tidak diterima 

oleh penutur bahasa Indonesia. Hal itu menandakan pula, betapa pentingnya 

urutan dalam kalimat. Akan tetapi untuk setiap bahasa, derajat pentingnya 

peranan urutan tidak sama. Bahasa-bahasa yang lebih banyak mengandalkan 

bentuk pada umumnya kurang mementingkan peran urutan. Dalam bahasa Latin, 

misalnya, urutan atau posisi kata di mana pun dalam kalimat tidak mengubah 

makna kalimat itu.

(Mario melihat Santana)

Mario vidit Santana

Mario Santana vidit

Santana vidit Mario

Santana Mario vidit

b. Bentuk Kata

Bentuk kata sebagai alat sintaksis biasanya diperlihatkan oleh afiks (imbuhan). 

Afiks-afiks itu memperlihatkan makna gramatikal yang sangat beragam tergantung 

pada bahasanya. Makna gramatikal itu antara lain jumlah, orang, jenis, kala, 

aspek, modus, pasif, diatesis, dan sebagainya. Perhatikan pasangan berikut ini:

*Roti makan ibu

Roti dimakan ibu 

Secara lengkap menggambarkan fungsi-fungsi sintaksis, seperti dalam 

diagram berikut ini, yaitu kalimat dibagi atas subyek dan predikat. Predikat 

dibagi atas obyek dan keterangan, keterangan dibagi atas keterangan waktu, 

keterangan tempat, dst. Diagramnya yaitu  sebagai berikut: 

Peran Sintaksis

Dalam pembentukan suatu konstruksi, misalnya kalimat, tiap unsur memiliki 

andil dalam membentuk makna secara keseluruhan. Dengan kata lain konstituen 

itu memiliki peran gramatikal masing-masing. Jenis peran itu ada banyak. 

Beberapa di antaranya antara lain pelaku (agentif), tujuan (obyektif), penerima 

(benefaktif), penyebab (kausatif), alat (instrumental), waktu (temporal), tempat 

(lokatif), tindakan (aktif), sandangan (pasif), dan pemilikan (posesif).

Berikut ini beberapa contoh peran

Adik mencari ibu

(pelaku) (tindakan) (tujuan)

Ibu dicari adik

(tujuan) (sandangan) (pelaku)

Adik membelikan ibu jarum

(pelaku) (tindakan) (penerima) (tujuan) 



Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, 

dari bahasa Yunani sema (nomina tanda) atau dari verba samaino (menandai, 

berarti) Istilah ini  dipakai  para pakar bahasa untuk menyebut bagian 

ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga 

tataran bahasa yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 yang dikenal melalui American 

Philological Association (organisasi filologi Amerika) dalam sebuah artikel yang 

berjudul Reflected Meanings: A point in Semantics.

Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan 

melalui frase semantic philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel 

“An Account of the Word Semantics , Breal melalui 

artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Langage” mengungkapkan 

istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan. Di dalam bahasa Prancis 

istilah ini  dikenal dengan semantique. Breal masih menyebut semantik 

sebagai ilmu murni historis (historical semantics).

Historical semantics ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan 

dengan unsur-unsur luar bahasa, misalnya latar belakang perubahan makna, 

perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi, dst. 

Karya Breal ini berjudul Essai de Semantique (akhir abad ke-19).

Reisig sebagai salah seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang 

gramatika (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi, (studi 

asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna) sintaksis 

(tata kalimat), dan semasiologi (ilmu tanda makna). Semasiologi sebagai ilmu 

baru pada 1820—1925 itu belum disadari sebagai semantik. Istilah semasiologi 

sendiri yaitu  istilah yang dikemukakan Reisig. 

Berdasarkan pemikiran Reisig ini  maka perkembangan semantik 

dapat dibagi dalam tiga masa pertumbuhan, yakni masa pertama yang meliputi 

setengah abad termasuk di dalam kegiatan Reisig. Masa ini disebut Ullman 

sebagai underground period. Masa Kedua, yakni semantik sebagai ilmu murni 

historis (pandangan historical semantics) ditandai dengan munculnya karya 

klasifikasi Breal (1883). Masa perkembangan ketiga, yakni studi makna ditandai 

dengan munculnya karya filolog Swedia Gustaf Stern (1931) yang berjudul 

Meaning and Change of Meaning with Spesial Reference to the English Language.

Stern melakukan kajian makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa 

(Inggris).

Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu makna. Baru pada tahun 

1990-an dengan munculnya Essai de Semantique dari Breal, yang kemudian 

pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern (1931). Akan tetapi, sebelum 

kelahiran karya Stern, di Jenewa telah diterbitkan bahan, kumpulan kuliah 

dari seorang pengajar bahasa, yang sangat menentukan arah perkembangan 

linguistik berikutnya, yakni karya Ferdinand de Saussure, yang berjudul Cours 

de Linguistique Generale. 


Perhatikanlah makna di berbagai bidang atau konteks. Pemakaian makna di sejajarkan dengan arti. Perhatikanlah makna berikut dengan keberadaannya yang 

tak pernah dikenali secara cermat sehingga dianggap sejajar arti, gagasan, konsep, 

pernyataan, pesan, informasi, dan firasat isi pikiran. Arti sebenarnya memiliki 

pengertian yang paling dekat dengan makna, meskipun bukan merupakan 

sinonim mutlak (saling menyulih). Sedangkan pikiran, ide, gagasan, dalam bahasa 

Inggris sama dengan thought, merupakan aktivitas mental, meliputi konsep 

maupun pernyataan. Pesan, informasi, isi merupakan thought yang terealisasi, 

dan dibedakan dari firasat yang ada hubungannya dengan gambaran perasaan.

Unsur-unsur Semantik

Tanda dan Lambang (Simbol)

Teori tanda dikembangkan oleh Perre pada abad ke-18 yang dipertegas dengan 

munculnya buku The meaning of Meaning, karangan Ogden & Richards pada 

tahun 1923. Dalam perkembangannya, teori tanda kemudian dikenal dengan 

semiotika, yang dibagi dalam tiga cabang, yakni semantik, sintaktik, pragmatik.

Semantik berhubungan dengan tanda-tanda; sintaksis berhubungan dengan 

gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatik berhubungan 

dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah 

laku berbahasa.

Penggolongan tanda dapat dilakukan dengan cara:

(1) Tanda yang ditimbulkan oleh alam dan diketahui manusia sebab  pengalaman,

misalnya: 

Fakta menunjukkan bahwa ada  banyak kata dengan bermacam ragam, 

yang mengakibatkan suatu kata A misalnya, bila dihubungkan dengan suatu kata 

B, maka akan memiliki  jenis hubungan yang berbeda dengan kata A yang 

dihubungkan dengan kata C. Dari kenyataan itu kita harus memahami kajian 

kata (termasuk perubahan maknanya) melalui hubungannya atau sebab-sebab 

terjadinya perubahan makna.

Perluasan Makna

Menurut Djajasudarma, perluasan makna terjadi pada kata-kata antara lain 

saudara, bapak, ibu, yang dahulu dipakai  untuk menyebut orang yang 

seketurunan (sedarah) dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak

atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu dihubungkan dengan orang 

tua laki-laki, dan kata ibu dengan orang tua perempuan. Sekarang ketiga kata 

ini  pemakaiannya telah meluas maknanya. 

Kata bapak dipakai  kepada setiap laki-laki yang tua, meskipun tidak ada 

pertalian darah dengan kita; kata saudara dipakai  untuk mereka yang sebaya 

dengan pembicara; kata ibu dipakai  untuk perempuan tua, meskipun tidak 

ada pertalian darah.

Perluasan makna dapat terjadi pula dengan menambah unsur lain, misalnya 

kata kepala yang dahulu berarti ’bagian badan sebelah atas’. Sekarang maknanya 

meluas, misalnya, kepala bagian, kepala sekolah, kepala kantor pos, kepala rumah 

sakit, dan suster kepala (untuk membedakan dari kepala suster). Makna kepala 

pada bentuk-bentuk ini  masih tampak, yakni berasosiasi dengan atas, sebab 

kepala di dalam konstruksi ini  menunjukkan orang yang memiliki jabatan 

tertinggi (atas - pemimpin).

Ekspresi atau kata-kata yang disebutkan sebelumnya sebagai contoh yaitu  

sebagian kecil bukti dari adanya perluasan makna. Perluasan makna pada 

umumnya dihubungkan dengan pemakaian kata secara operasional. warga  

bahasa mengambil manfaat, baik dengan jalan analogi maupun melalui peristiwa 

tertentu, dalam meluaskan makna kata-kata atau ekspresi-ekspresi tertentu.

Pembatasan Makna

Makna kata dapat mengalami pembatasan, atau makna yang dimiliki lebih terbatas 

dibandingkan dengan makna semula. Kata dengan bentukan baru hanya mengacu 

kepada benda atau peristiwa yang terbatas (khusus). Bandingkanlah kata-kata 

ahli, ahli penyakit, ahli kebidanan, ahli sejarah, ahli bahasa. Kita mengetahui 

bahwa makna ahli semula dalam ’anggota keluarga’, ’orang yang termasuk di 

dalam satu garis keturunan’, bila  ditambah unsur lain maknanya menjadi 

terbatas atau menyempit.

Kata sastra di dalam bahasa Sanskerta memiliki makna yang luas, tetapi di 

dalam bahasa Indonesia sekarang makna kata sastra hanya dihubungkan dengan 

karangan-karangan yang bernilai keindahan yang dapat menggugah perasaan.  

Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk imperatif seperti pada segera 

laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon 

dilaksanakan (terjadi eufemisme). Modalitas keharusan yang muncul dengan 

konstruksi harus untuk prinsip eufemisme, misalnya, harus datang menjadi 

mohon hadir, mohon datang. Kata berpidato atau memberi instruksi dirasakan 

terlalu kasar dan biasanya diganti dengan memberikan pengarahan, memberikan 

pembinaan, mengadakan saresehan, dan sebagainya.

Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu 

menyinggung perasaan orang yang mengalaminya, oleh sebab  itu kita tidak 

mengatakan orang sudah tua di depan mereka yang sudah tua bila dirasakan 

menyinggung perasaan yang bersangkutan. Maka muncullah orang lanjut usia. 

Demikian pula terjadi pergeseran makna pada kata-kata atau frase berikut:

(1) Tuna netra (buta)

(2) Tuna rungu (tuli)

(3) Tuna wisma (gelandangan)

(4) Tuna susila (pelacur)

(5) Cacat mental (orang gila)

(6) Pramusiwi (pelayan (bayi))

(7) Pramuwisma (pelayan (pembantu))

(8) Pramuniaga (pelayan toko)

(9) Menyesuaikan harga (menaikkan harga)

(10) Dipetieskan (masuk kotak) dan seterusnya. 

Pengguna bahasa dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk

memakai semua unsur yang ada  di dalam bahasanya. Pengguna bahasa 

berusaha agar lawan bicara tidak terganggu secara psikologis. Oleh sebab  itu, 

muncul pergeseran makna. Dikatakan pergeseran makna dan bukan pembatasan 

makna, sebab  dengan penggantian lambang (simbol makna semula masih 

berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme) yang menghaluskan 

(pertimbangan akibat psikologis bagi lawan bicara atau orang yang mengalami 

makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan).  

Secara etimologis kata psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni psikologi 

dan linguistik yang sebenarnya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda dan 

dapat berdiri sendiri. Meskipun merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda, 

keduanya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap bahasa dengan cara 

yang berlainan dengan tujuan yang berlainan pula.

Psikologi secara umum dan tradisional sering dikatakan sebagai ilmu yang 

mencoba mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus, 

hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau respon 

itu terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap psikologi 

sebagai ilmu yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya 

yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah 

untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia. Linguistik 

secara umum dan luas merupakan suatu ilmu yang mempelajari hakikat bahasa, 

struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, 

dan bagaimana bahasa itu berkembang.

Pada mulanya istilah yang dipakai  untuk psikolinguistik yaitu  linguistic 

psychology (psikologi linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai 

psychology of language (psikologi bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama 

yang lebih terarah dan sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut 

sebagai psikolinguistik (psycholinguistic).

Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis 

yang terjadi bila  seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat 

yang didengarnya saat  berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa 

itu diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984: 240), membatasi 

psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik 

merupakan bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik. 

Tujuan utama seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses 

yang melandasi kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. 

Psikolinguis tidak tertarik pada interaksi bahasa antara para penutur bahasa. 

Yang mereka kerjakan terutama ialah menggali apa yang terjadi dalam individu 

yang berbahasa.

Pakar psikologi maupun pakar linguistik sama-sama terlibat mempelajari 

psikolinguistik. Kedua pakar itu termasuk pakar ilmu sosial. Oleh sebab itu, 

pendekatan yang mereka gunakan dalam masing-masing bidang ilmu hampir 

sama atau mirip. Semua ilmuwan ilmu sosial bekerja dengan menyusun dan 

menguji hipotesis. Misalnya, seorang psikolinguis berhipotesis bahwa tuturan 

seseorang yang mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam 

urutan tertentu, yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur 

yang lenyap paling awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan 

mengumpulkan data dari orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Dalam 

hal ini seorang ahli psikologi dan linguis agak berbeda. Ahli psikologi menguji  

Ada tiga aspek utama yang dibahas dalam psikolinguistik. Ketiga aspek ini  

yaitu  persepsi ujaran (speech perception), produksi ujaran (speech production), 

dan pemerolehan bahasa (language acquistion) (Gleason dan Ratner, 1998: 

3–4). Aspek pemahaman ujaran yaitu  pembahasan atau penelitian mengenai 

bagaimana ujaran sampai ke pendengar dan bagaimana pendengar ini  

memahaminya. Dalam buku Psycholinguistics yang diedit oleh Gleason dan 

Ratner (1998: 108–147), Yeni-Komshian membahas secara rinci tentang 

masalah pemahaman bahasa ini. Pembahasannya meliputi masalah utama dalam 

penerimaan bahasa, penanda ujaran (termasuk tempat dan cara artikulasi), 

penerimaan segmen fonetik, dan model-model penerimaan ujaran.

Produksi ujaran mengkaji masalah bagaimana ujaran dihasilkan sehingga 

dapat diterima dengan baik oleh pendengar. Fromkin dan Ratner dalam buku 

yang diedit oleh Gleason dan Ratner (1998: 310–338) membahas aspek ini secara 

rinci. Pembahasan meliputi sumber data untuk model-model produksi ujaran, 

isu-isu dalam produksi ujaran, dan model-model proses produksi ujaran.

Sedangkan pemerolehan bahasa berhubungan dengan bagaimana seseorang 

memperoleh bahasa dalam hidupnya. Gleason dan Ratner dalam buku yang 

mereka edit dengan judul Language Acquisition, membahas 

masalah pemerolehan bahasa ini secara lebih rinci. Pembahasan meliputi antara 

lain, metode-metode penelitian dalam perkembangan bahasa, perkembangan 

penerimaan bahasa, leksikon anak, belajar membuat dan memahami kalimat, 

belajar berkomunikasi, dan teori pemerolehan bahasa anak. 

Bahasa lisan yaitu  bahasa yang dipakai  oleh manusia untuk 

mengomunikasikan ide dan pikiran serta perasaan melalui alat bicara.

 Pembahasan dalam psikolinguistik bergerak pada tiga aspek utama, yaitu, 

persepsi ujaran atau speech perception dan ada 

juga yang menyebutnya dengan pemahaman ujaran (speech comprehension), produksi ujaran atau speech production), 

dan pemerolehan bahasa (language acquistion). Aspek yang ketiga ini, tidak disebut language acquisition, melainkan 

masih language learning. Dalam penerimaan atau pemahaman ujaran, penelitian 

diarahkan kepada bagaimana proses suatu ujaran sampai ke dan dipahami oleh 

pendengar. Yeni-Komshian dalam buku yang diedit oleh  membahas secara rinci tentang masalah penerimaan bahasa ini. 

Pembahasannya meliputi masalah utama dalam penerimaan bahasa, penanda 

ujaran (termasuk tempat dan cara pengartikulasian), penerimaan segmen fonetik, 

dan model-model penerimaan ujaran.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa tulis memiliki kelemahan bila 

dibandingkan dengan bahasa lisan. Pembaca dalam bahasa tulis tidak berada 

pada waktu dan ruang yang sama dengan penulis. Sedangkan pendengar bahasa 

lisan berada pada ruang dan waktu yang sama dengan pembicara. Kalau penulis  

Komunikasi lisan maupun isyarat dapat dipandang sebagai suatu “untaian 

peristiwa yang menghubungkan otak pembicara dengan otak pendengar”, seperti 

ilustrasi di bawah ini 

Aspek nonlinguistik dari rangkaian ujaran (lisan maupun isyarat), mulai 

dari dalam otak pembicara hingga pada wujud ujaran yang tepat dan bermakna. 

Proses ini  melalui dorongan hati kemudian melalui syaraf penggerak dan 

seterusnya dikirim ke otot organ-organ pembentuk suara (vocal organ), yaitu 

lidah, bibir, dan pita suara (vocal cord)  yang secara bergantian memproduksi gelombang-gelombang suara 

ujaran. 

Dalam hal komunikasi isyarat, motor syaraf (neuromotor) memerintahkan 

tangan untuk memproduksi gerak-gerak isyarat (signed gestures). Kita sudah tahu 

aspek-aspek akustis, artikulatoris, dan psikologis langkah-langkah produksi ujaran 

sebagai hasil dari penelitian fonetik eksperimental. Akan tetapi pemahaman 

kita masih sangat terbatas pada proses bagaimana penutur mengatakan pesan 

yang ingin dia sampaikan ke dalam bentuk bahasa atau bagaimana kata-kata 

dan frasa-frasanya diseleksi, dikonstruksi, dan disusun.

Tahap awal dan akhir proses untaian ujaran (speech chain) yaitu  pikiran 

atau pesan nonlinguistik yang ingin disampaikan penutur kepada pendengar, 

yang bila  berjalan lancar maka akan menghasilkan pesan yang sama. Terkait 

dengan hal ini, mengamati 

bahwa “... manusia berpikir duhulu dan mengekspresikan pikirannya dalam 

kata-kata melalui sejenis  proses terjemahan”. 

Ujaran berasal dari pikiran penutur dan prosesnya diselesaikan hanya 

saat  kata-kata yang dikeluarkan atau diucapkan menimbulkan suatu ide dari 

pendengar. Para filosof selama bertahun-tahun telah berspekulasi mengenai 

“bahasa dan pikiran” Bagaimana 

konsep-konsep direpresentasikan dalam pikiran masih merupakan misteri. Banyak 

pandangan alternatif telah diambil dengan sedikit data empiris untuk mendukung 

satu dari yang lainnya. Tulisan ini yang mengasumsikan bahwa para penutur 

memiliki  ide, konsep, atau pesan yang ingin mereka sampaikan namun tidak 

berusaha untuk menentukan bagaimana hal ter-sebut direpresentasikan sebelum 

disandikan (encoded) ke dalam bentuk bahasa (linguistic).

Konsep Penguasaan Kata

Kata yaitu  yang selalu dipakai  sehari-hari, tetapi susah mendefinisikannya. menyatakan bahwa sulit mendefinisikan “kata” itu walaupun 

telah sangat sering dipakai . Gee mendefinisikan kata dengan “… any string 

of sounds that can be separated from what preceeds and what follows it in a 

sentence by other words” (serangkaian bunyi yang dapat dipisahkan dari yang 

mendahului dan yang mengikutinya dalam sebuah kalimat oleh kata-kata lain).  

Penguasaan tentang kata memegang peranan penting dalam memproduksi 

bahasa. Bahkan ada ahli bahasa yang mengganggap bahwa kata lebih penting 

dari pengetahuan tata bahasa. Tanpa tata bahasa, ada yang dapat disampaikan 

walau sedikit, tetapi tanpa penguasan kata tidak ada yang dapat disampaikan. 

Walau sebenarnya keduanya memiliki  peranan yang sangat penting dalam 

produksi bahasa, baik lisan maupun tulisan. 

Penguasaan tehadap kata bukan berarti hanya menguasai jumlah kata 

yang banyak dalam satu bahasa, melainkan bagaimana membentuk kata yang 

diinginkan dari bentuk yang ada. Seperti membentuk kata benda dari kata 

kerja dan sebaliknya serta seterusnya. Pemahaman ini akan membantu orang 

dalam memilih jenis kata yang tepat dan membuat orang lain memahami yang 

dimaksudkan. Pemilihan kata memerlukan kehati-hatian yang agak tinggi untuk 

dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang mau disampaikan. Kesalahan dalam 

menempatkan kata akan menimbulkan salah pengertian dan bahkan mungkin 

lebih fatal lagi. 

Produksi kata tidak dapat dilakukan secara langsung. Tidak mungkin kita 

membedah tengkorak untuk memahami di mana dan bagaimana aliran elektrik 

pada neuron. Oleh sebab  itu, studi mengenai produksi kata hanya dapat dilakukan 

secara tidak langsung. Kita mengobservasi kata yang diujarkan, lalu mencermati 

bagaimana kata itu diujarkan, di mana suku kata (vokal dan konsonan) yang 

diujarkan mengalami hambatan atau kesulitan dalam mengujarkannya, dan 

mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahan-kesalahan apa yang dibuat oleh 

pembicara ini. 

Kesenyapan dan keraguan dalam ujaran terjadi sebab  pembicara lupa 

kata-kata yang dia perlukan atau dia sedang mencari kata yang paling tepat, 

dan sebagainya. Kesalahan yang berupa kilir lidah seperti kelapa untuk kepala 

menunjukkan bahwa kata ternyata tersimpan secara utuh dan orang harus 

meramunya . Kenyataan bahwa kilir lidah bisa memindahkan 

kata tanpa infleksinya (the weekend for maniacs terkilir menjadi the maniac for 

weekends di mana –s tidak ikut pindah dengan maniac) menunjukkan bahwa, 

mental kita memproses kata dan infleksinya secara terpisah. Begitu juga kilir 

lidah yang dinamakan transposisi (tank of gas menjadi gas of tank) menunjukkan 

bahwa kita merencanakaan ujaran beberapa langkah ke depan.

Suku Kata (The Syllable)

Selain segmen dan fitur, suku kata juga merupakan “unit-unit dalam sistem 

program fonemik” . Kesalahan-kesalahan benar-benar terjadi pada suku-suku kata yang tidak 

memiliki  status morfemis (tidak bermakna dengan sendirinya) dan tidak 

teratur seperti: 

tidak langsung untuk mendapatkan suatu wawasan mengenai bagaimana hal 

ini dapat disempurnakan. 

Secara historis, para peneliti telah mengandalkan dua jenis data dalam 

membuat model produksi ujaran, yakni kesalahan ujaran (speech errors) dan 

ketidaklancaran ujaran (speech disfluencies). Data ini  memberikan bukti 

bahwa unit-unit yang dipakai  untuk menghasilkan ujaran, melewati tahapan tahapan untuk menyampaikan pesan oleh pembicara dalam bentuk ekspresi 

lisannya. 

Kesalahan Ujaran (Speech Errors)

Tentunya bukan hal yang mudah mencoba memahami aspek proses mental yang 

tercakup dalam berbicara. bahwa saat  kita berpikir 

dalam kata-kata, pikiran muncul dalam bentuk gramatika, yakni subyek, verba, 

obyek, dan memodifikasi klausa yang ada pada tempatnya tanpa memiliki 

persepsi sedikit pun mengenai bagaimana struktur kalimat ini  dihasilkan. 

Walaupun pada dasarnya pendapat Lashley ada benarnya, kenyataannya hal itu 

tidak selalu demikian adanya. Kita semua memiliki pengalaman, baik sebagai 

pembicara maupun sebagai pendengar bahwa ungkapan-ungkapan kelihatannya 

dapat membingungkan lawan bicara.

Perhatikan contoh-contoh di bawah ini. Bandingkan apa yang sebenarnya 

dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh pembicara.

Ungkapan yang dimaksud Ungkapan yang keluar

(Intended Utterance) (Actual Utterance)

gelap elap

ikut kiku

susu u’us

Kesalahan-kesalahan dalam produksi seperti di atas dinamakan kesalahan 

ujaran yang mungkin timbul akibat tingkat kemampuan yang dimiliki oleh si 

penutur dan kemampuan alat ucap sesuai dengan tingkat dan perkembangan 

usianya. Walaupun kesalahan ini  tampaknya lucu bagi penyimak/pendengar 

bagi pengujar/pembicara, mereka juga memberikan bukti tak langsung untuk 

unit-unit, tahap-tahap, komputasi kognitif yang tercakup dalam memproduksi 

ujaran. Hal yang menarik untuk dicatat bahwa dalam telaah ujaran yang 

dihasilkan dalam seminar-seminar, kelas-kelas, pertemuan-pertemuan, ujaran, 

dan konteks-konteks yang serupa baik ujaran yang telah direncanakan dengan 

baik atau yang sifatnya spontan, Deese (1978, 1980) menemukan bahwa para 

pembicara menggunakan kata.  

Istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak; vak, artinya ‘berkata’, 

‘berucap’ , bila  dilihat dari jenisnya, kata wacana dalam lingkup 

morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) 

yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata ini  kemudian 

mengalami perubahan menjadi wacana.

Bentuk ana yang muncul di belakang yaitu  sufiks (akhiran), yang bermakna 

‘membendakan’ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai 

‘perkataan’ atau ‘tuturan’.

Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia 

ada  kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, 

pamacan (pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan 

wacana yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir dipakai  dalam 

konteks kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama 

madhura wacana dhara” (Demikian sabda sang pendita, ramah sikap dan 

perkataannya).

Saat ini istilah wacana banyak bermunculan dan dipakai  dalam berbagai 

aspek. Di dunia pewayangan misalnya, dikenal istilah wacana-pati (dewa yang 

bertugas sebagai juru bicara), anta wacana (karakter/pola ucapan wayang). 

Di dunia pendidikan formal, istilah wacana banyak dipakai  sebagai nama 

badan atau sekolah, misalnya Budya Wacana, Satya Wacana, dan Widya Wacana. 

Pemakaian kata wacana di belakang istilah-istilah ini  mengandung makna 

‘moto’, ‘janji’, atau ‘perkataan’ yang dapat dipercaya. Dengan berbagai uraian di 

atas, istilah wacana dapat dimaknai sebagai ‘ucapan’, ‘perkataan’, ‘bacaan’ yang 

bersifat kontekstual.

Wacana, Discourse, dan Discursus

Oleh para linguis Indonesia dan di negara-negera berbahasa Melayu lainnya, 

istilah wacana sebagaimana diuraikan di atas, dikenalkan dan dipakai  sebagai 

bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris ‘discourse’ 

Kata ’discourse’ sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’ yang berarti ‘lari 

ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini diturunkan dari ‘dis’ (dari/dalam 

arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus berarti ‘lari dari arah yang 

berbeda’. Perkembangan asal-usul kata itu dapat digambarkan sebagai berikut.

dis + currere discursus discourse (wacana)

Webster (1983) memperluas makna discourse antara lain sebagai komunikasi 

kata-kata, ekspresi gagasan-gagasan, dan risalah tulis, ceramah, dan sebagainya. 

Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, 

atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tulis. 

5. Akmal tampak lusuh. Jalannya sempoyongan. Tetapi wajahnya

menunjukan keceriaan. Dia baru pulang dari Jakarta.

Bentuk dia pada kalimat terakhir, mengacu pada nama Akmal yang 

disebutkan sebelumnya. Penafsiran ini jelas benar sebab  didasarkan pada teks 

lain yang menjadi penjelas kata Dia. Maka dalam hal ini Akmal’ yaitu  koteks 

bagi bentuk dia.

Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacana menunjukkan ·bahwa teks 

ini  memiliki struktur yang saling berkaitan. Gejala inilah yang menyebabkan 

suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Koteks, dengan demikian, berfungsi 

sebagai alat bantu memahami dan menganalisa  wacana.

Unsur-unsur Eksternal Wacana

Unsur ekstern (unsur luar) wacana yaitu  sesuatu yang menjadi bagian wacana, 

namun tidak tampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual 

wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan 

konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur ini  dapat membantu 

pemahaman tentang suatu wacana.

Implikatur

Grice mengemukakan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu 

yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” ini  

yaitu  maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan 

kata lain, implikatur yaitu  maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati 

yang tersembunyi.

Secara etimologis, implikatur diturunkan dari implicatum. Secara nominal, 

istilah ini hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, 

keterlibatan zDalam lingkup analisis wacana, implikatur 

berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, 

implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara ”yang 

diucapkan” dengan ”yang diimplikasikan”. Jadi, suatu dialog yang mengandung 

implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak langsung. Dalam 

komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para pembicara, 

dan sebab nya tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Dengan berbagai alasan, 

implikatur justru sering disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak 

nampak terlalu mencolok.

menyatakan bahwa implikatur berkaitan 

erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. 

Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang 

diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”. Jika dalam suatu komunikasi, 

salah satu tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi) ini , maka 

seringkali ditanyakan, “Sebenarnya, apa implikasi ucapan Anda tadi? 

juga oleh konteks situasional. Gumperz 

mengemukakan masalah ini , sebagaimana dikutip berikut ini.

Conversation inference, as I use the term is the situated or context bound prices 

interpretation, by means of which participants in an exchange asses other’s 

intention, and on which they base responses

Bagi Gumperz, inferensi percakapan yaitu  proses interpretasi yang 

ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga 

maksud dari pembicara. Dengan itu pula pendengar dapat memberikan 

responsnya. Di samping aspek konteks situasional, aspek sosio-kultura; juga 

menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferensi. Mari kita perhatikan 

bentuk percakapan berikut.

19. 01 : Wah, sudah masuk kota. Kita cari gudeg.

02 : Langsung ke Parangtritis saja!

Kota yang dimaksud dalam percakapan ini  yaitu  Yogyakarta. 

Penjelasan itu dipastikan benar, sebab  secara kultural Yogyakarta dikenal 

sebagai kota gudeg. Lebih jelas lagi, jawaban 02 yang menekankan lokasi wisata 

Parangtritis, yang memang berada di Yogyakarta.

Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca 

untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas. Inferensi sangat diperlukan untuk 

memperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap alur percakapan yang 

terkait akan tetapi kurang jelas hubungannya.

menyebutnya sebagai asumsi yang menjembatani (bridging assumption) antara 

tuturan yang satu dan tuturan lainnya. Dua kalimat yang mengandung “jembatan 

asumsi” ini  tampak pada contoh (20) berikut ini.

20. a. Becak dilarang beroperasi di Ibukota.

b. Jakarta sudah menyiapkan gantinya.

Inferensi yang menjembatani kedua ujaran (kalimat) pada comoh (20) 

ini  yaitu  hubungan antara ibukota pada kalimat (20.a) dengan Jakarta pada 

kalimat (20.b). Kedua hal ini  seharusnya dipertalikan oleh satu kalimat lagi 

sebagai penghubung. Misalnya, 20.a. Ibu kota Indonesia yaitu  Jakarta. Kalimat 

(20.a) inilah yang sebenarnya disebut sebagai ”mata rantai yang hilang”. Oleh 

para ahli wacana, hal itu disebut sebagai the missing link. Kalimat ini ada tetapi 

tidak periu ditampakkan secara eksplisit. Susunan secara lengkap dari contoh 

(20) sebenarnya yaitu  (20a) -- (20b).

Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang mengandung inferensi,

dapat diterapkan dua prinsip, yaitu prinsip analogi (PA) dan prinsip penafsiran 

lokal (PPL). Prinsip analogi yaitu  cara menafsirkan makna wacana yang 

didasarkan pada akal atau pengetahuan tentang dunia dan pengalaman umumnya 

(knowledge of world). Sedangkan prinsip penafsiran lokal menganjurkan kepada 

pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks lokal” yang melingkupi  

wacana itu sendiri. Pendengar dan pembaca harus membuat dan sekaligus 

membatasi wilayah penafsiran.

Untuk sampai kepada suatu tafsiran, pembaca tidak perlu mencari konteks 

yang lebih luas dari yang diperlukan  Hal itu 

dimungkinkan sebab  di sekitar (lingkungan) pemakaian wacana, tersedia hal hal yang dapat membantu proses penafsiran makna wacana. Hal-hal itu antara 

lain misalnya, kalimat penjelas, ilustrasi (bisa berwujud gambar atau lainnya), 

dan konteks yang menjelaskan latar terjadinya percakapan. 

Konteks Wacana

Wacana yaitu  wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif, 

dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu diandaikan terjadi secara 

dialogis, sehingga perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami 

konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana, diperlukan 

dalam proses menganalisa  wacana secara utuh.

Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks 

dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. 

Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan 

arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang 

melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Agar lebih jelasnya, mari kita perhatikan 

Bagan 3.2 yang menggambarkan proses terjadinya peristiwa tuturan (language 

event).

PEMBICARA (01) PASANGAN BICARA (02)

maksud (praucap)

pengucapan (fonasi)

pembacaan sandi (decoding)

pensandian (encoding)

pemahaman (pascaucap)

penyimakan (audisi)

Konteks Wacana 

Pada hakikatnya, wacana yaitu  wujud nyata komunikasi verbal manusia. 

Oleh sebab  itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama (01) atau 

biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur (addresser), dan orang 

kedua (02) sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, mitra tutur 

(addresse). Keterpahaman terhadap tuturan antara 01 dan 02, sebagaimana 

terlihat dalam bagan 3.2, sangat tergantung pada bagaimana kedua pembicara 

memahami tuturan yang bersifat kontekstual.

Salah satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan tempat. Contoh 

(21) menggambarkan bagaimana kedua unsur ini  sangat berpengaruh

terhadap makna wacana. 

Apakah yang dimaksud dengan warga  bahasa? warga  bahasa yaitu  

sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa 

yang sama , Frase ‘merasa atau menganggap diri’ perlu ditekankan 

di sini, sebab  dari kenyataan sehari-hari sering kita jumpai adanya anggapan 

warga  mengenai bahasa yang berbeda dengan konsep linguis mengenai hal 

yang sama. Bahasa Dairi dan bahasa Pakpak yang ada  di Sumatra Utara, 

misalnya, secara linguistis yaitu  satu bahasa yang sama: tata bunyi, tata bahasa, 

dan leksikonnya sama. Tetapi warga  bahasa di sana menganggapnya sebagai 

dua bahasa yang berbeda.

Menurut pengertian kita di atas, mereka membentuk dua warga  bahasa 

yang berbeda: warga  bahasa Dairi dan warga  bahasa Pakpak. Sedangkan 

kita, orang-orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke, menganggap bahwa 

kita memakai bahasa yang sama, bahasa Indonesia. Dengan sendirinya kita 

membentuk satu warga  bahasa yang sama, warga  bahasa Indonesia. 

Hal seperti contoh di atas terjadi juga di tempat lain di luar Indonesia. 

Bahasa Denmark, bahasa Swedia, dan bahasa Norwegia di Skandinavia, secara 

linguistis sebenarnya merupakan bahasa yang sama. Orang-orang di sana 

dengan mudah berkomunikasi tanpa mengalami kesulitan bahasa. Akan tetapi 

mereka menganggapnya sebagai tiga bahasa yang berbeda: mereka membentuk 

tiga warga  bahasa. Sebaliknya, orang-orang Amerika Serikat, Australia, 

dan Inggris membentuk satu warga  bahasa yang sama, sebab  mereka 

menganggap bahwa mereka memakai bahasa yang sama, yakni bahasa Inggris.

Fungsi-fungsi Bahasa

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa manusia dalam berbicara tidak dapat 

terlepas dari bentuk-bentuk bahasa dan fungsinya., ‘fungsi-fungsi bahasa yang dipakai  didasarkan atas tujuan’. Para pakar 

bahasa membagi fungsi bahasa itu secara berbeda-beda. Ada yang membagi 

menjadi empat, lima, enam, dan ada pula yang tujuh bagian. Finochiaro dalam 

Lubis membagi fungsi bahasa menjadi lima bagian: personal, interpersonal, 

directive, referential dan imaginative. Bila diperhatikan secara seksama, kelima 

fungsi itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama saja yaitu fungsi 

personal dan fungsi interpersonal; fungsi direktif, referensial dan imajinatif 

dipakai  untuk berhubungan dengan orang lain. Berbeda dengan Finochiaro 

yaitu  Jakobson. Jakobson membagi fungsi bahasa menjadi enam bagian, yaitu 

fungsi emotif/ekspresif, puitis, fatik, konatif/direktif/persuasif, referensial dan 

situasional/kontekstual. 

Selain dari Finochiaro, Lubis, dan Jakobson yaitu  Holmes. Klasifikasi fungsi fungsi bahasa berdasarkan kajian sosiolinguistik 

dibagi dalam enam fungsi yaitu fungsi ekspresif (untuk mengekspresikan perasaan 

pembicara), fungsi direktif (untuk meminta seseorang untuk melakukan sesuatu)  

fenomena bahasa. Kedwibahasaan merupakan ciri pesan seseorang yang terlahir 

dalam pemakaian  dua bahasa atau lebih dalam kehidupan sehari-hari.

Diglosia

Pembicaraan mengenai pemertahanan bahasa tidak dapat dipisahkan dari 

pembahasan diglosia. Diglosia diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang me nunjukkan adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu warga  

tutur. Ragam tinggi dan rendah ini mengacu pada pemakaian bahasa yang 

dikaitkan dengan situasi komunikasinya. Ragam bahasa tinggi biasanya dipakai 

dalam situasi formal, sementara ragam bahasa rendah dalam situasi yang lebih 

santai. Dalam kasus warga  Bugis di Cilincing Jakarta Utara ini, status 

diglosia warga  ini  turut diperhitungkan bahasa mana yang berstatus 

tinggi dan mana yang rendah (bahasa ibu mereka, bahasa setempat, ataukah 

bahasa Indonesia). Pemakaian ragam tinggi dan rendah ketiga bahasa ini  

di kalangan warga  Bugis turut memengaruhi tingkat pemertahanan bahasa 

ini .

Istilah diglosia mulai diperbincangkan oleh kalangan linguis semenjak 

Fergusson (1998) tampil dengan hasil penelitian yang diperolehnya sesudah  

mengamati situasi kebahasaan yang terjadi di negara-negara seperti Yunani, 

Arab, Swiss, dan Haiti. Fergusson menggunakan istilah diglosia ini  untuk 

menggambarkan situasi kebahasaan yang unik dalam suatu warga , yakni 

situasi di mana ada  dua pemakaian ragam bahasa dalam suatu kelompok 

penutur bahasa yang sama. Ragam bahasa ini diidentifikasi sebagai ragam 

bahasa tinggi dan ragam bahasa rendah. Ia menyebutkan bahwa ragam bahasa 

tinggi merupakan bahasa yang dipakai  dalam situasi resmi, misalnya daiam 

perkuliahan, ceramah keagamaan, dan sidang parlemen. Sementara ragam 

bahasa rendah yaitu  ragam bahasa yang dipakai dalam situasi tidak resmi atau 

sehari-hari. Adanya pemakaian dua ragam bahasa ini menurutnya juga terkait 

dengan gengsi penutur bahasa yang bersangkutan. Persepsi yang muncul yaitu  

bahwa jika ada seorang penutur menguasai bahasa ragam tinggi, maka ia dapat 

digolongkan sebagai kaum terpelajar. Sebaliknya, gengsi seorang penutur tidak 

akan terangkat atau dapat dianggap sebagai orang yang tidak terpelajar jika ia 

hanya menguasai ragam bahasa rendah.

Fergusson mendefnisikan diglosia sebagai

a relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects 

of the language (which may include a standard or a regional standards), there is 

a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed 

variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of 

an earlier period or in another speech community, which is learned largely by 

formal education and is used for most written and formal spoken purposes but 

is not used by any sector of the community for ordinary conversation. 

Batas ketiga faktor pemilihan bahasa ini  tidak begitu jelas sehingga 

dalam penerapannya kadang-kadang sulit untuk dilakukan.

Di Indonesia pemilihan bahasa secara umum mancakupi tiga ranah, yaitu 

bahasa Indonesia untuk ranah nasional, bahasa daerah untuk ranah daerah atau 

yang berkaitan dengan etnik, dan bahasa asing untuk ranah yang berkaitan 

dengan antarnegara.

Interferensi

Pengertian Interferensi

Haugen mengatakan bahwa interferensi atau pengaruh bahasa terjadi akibat 

kontak bahasa dalam bentuk yang sederhana, yang berupa pengambilan satu 

unsur dari satu bahasa dan dipergunakan dalam bahasa yang lain. Sementara 

itu, Weinreich mengemukakan bahwa interferensi sebagai penyimpangan norma 

bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan akibat 

pengenalan dan pengaruh bahasa lain. Sebagai konsekuensinya, dwibahasawan 

ini  menyamakan unsur-unsur yang ada pada bahasa yang lain. 

Alwasilah (1985) menyampaikan pengertian interferensi berdasarkan 

pandangan Hartman dan Stork, yang menyatakan bahwa interferensi merupakan 

kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan 

atau ujaran suatu bahasa terhadap bahasa lain yang mencakupi satuan bunyi, 

tata bahasa, dan kosakata. Meskipun demikian, interferensi dapat juga terjadi 

bila  antara dua bahasa yang melakukan kontak tidak menyebabkan dislokasi 

struktur. Peristiwa seperti itu merupakan peristiwa pungut-memungut unsur 

bahasa yang satu oleh bahasa yang lain. Sebaliknya, bila  terjadi peristiwa 

dislokasi struktur, maka keberadaan norma suatu bahasa akan terganggu oleh 

masuknya gejala interferensi.

Berdasarkan pengertian interferensi ini  dapat disimpulkan bahwa 

interferensi merupakan salah satu akibat dari kontak bahasa sehingga 

menimbulkan perngaruh terhadap bahasa yang lain. Bahkan, interferensi itu 

dapat merugikan tiap-tiap bahasa. Jadi, interferensi ini merupakan pengaruh 

kontak bahasa yang kebanyakan tidak menguntungkan.

Macam-macam Interferensi

Weinreich mengatakan bahwa interferensi itu dapat diindentifikasi melalui 

empat cara, yaitu:

(a) Mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain

(b) Adanya perubahan fungsi dan perubahan kategori yang disebabkan oleh

adanya pemindahan

(c) Penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa yang

pertama 





glosarium

abjad

Kumpulan tanda tulisan yang disebut huruf yang masing-masing menggunakan 

satu tanda bunyi atau lebih dan biasanya memiliki  urutan tetap

afiks

Bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah makna 

gramatikalnya. Konsep ini mencakup prefiks, sufiks, iniks, simulfiks, konfiks, 

dan suprafiks

aksara

1. Sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan yang

sedikit-banyaknya mewakili ujaran; 2. jenis sistem tanda-tanda grafis tertentu,

mis. aksara Pallawa, aksara Inka, dsb. 3. huruf atau aksara.

bahasa

1. Sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota

suatu warga  untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Bd. langue dan parole; 2. variasi bahasa; 3 tipe bahasa; 4. alat komunikasi verbal.

bilingualism

pemakaian  dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu warga  

(kedwibahasaan).

bunyi 

Kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran gendang telinga yang bereaksi 

sebab  perubahan-perubahan dalam tekanan udara.

campur kode

1. intereferensi; 2. pemakaian  satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain

untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya

pemakaian kata; klausa, idiom; sapaan; dan sebagainya

definisi

1. kata, frasa; kalimat yang mengungkapkan makna atau ciri-ciri hakiki orang,

benda, hal, atau konsep; 2. uraian tentang makna kata, frasa, atau lambang.

dialek

Variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai; variasi bahasa yang dipakai 

oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu (dialek regional) atau oleh golongan 

tertentu dari suatu kelompok bahasawan (dialek sosial); atau kelompok bahasawan  

yang hidup pada waktu tertentu (dialek temporal). contoh dialek regional ialah 

bahasa Melayu Riau; contoh dialek sosial ialah bahasa Melayu yang dipakai  

oleh para bangsawan; contoh dialek temporal ialah bahasa Melayu klasik.

ejaan 

Penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasikan, 

yang lazimnya memiliki  tiga aspek: aspek fonologis (menyangkut penggambaran 

fonem dengan huruf dan penyusunan abjad), aspek morfologis (menyangkut 

penggambaran satuan-satuan morfemis), dan aspek sintaksis (menyangkut 

penanda ujaran berupa tanda baca)

fon

bunyi; bunyi bahasa

fonem

satuan bunyi yang terkecil yang mampu membedakan (kontras makna) misalnya, 

/b/ dan /h/ yaitu  fonem, sebab  membedakan makna, contoh pada kata harus 

dan arus; dst.

fonetik

1. ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi

bahasa; ilmu interpdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi, dan psikologi;

2. sistem bunyi suatu bahasa.

fonologi

Salah satu bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut 

fungsinya.

jargon

Kosakata yang khas yang dipakai dalam bidang kehidupan tertentu, seperti yang 

dipakai oleh montir-montir mobil tukang kayu, guru bahasa, dsb. dan yang tidak 

dipakai dan sering tidak dipahami oleh orang dalam bidang lain

kaidah

1. pernyataan formal yang menghubungkan unsur-unsur konkret dari suatu

sistem yang abstrak dengan model dari sistem itu; 2. pernyataan umum tentang

suatu keteraturan atau suatu pola dalam bahasa.

kalimat 

Satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, memiliki a pola intonasi 

final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa; 2. klausa bebas 

yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan proposisi yang merupakan  

gabungan klausa atau merupakan satu kalusa, yang membentuk satuan yang 

bebas; jawaban minimal seperti seruan, salam dsb.; 3. konstruksi gramatikal 

yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu, dan 

dapat berdiri sendiri sebagai satuan

kata

1. morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap satuan yang

terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas; 2. satuan bahasa yang

dapat berdiri sendiri; terjadi dari morfem tunggal (mis., batu, rumah, datang,

dan sebagainya).

kiasan

Alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek 

tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal.

klausa

Klausa gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari 

subyek dan predikat dan memiliki  potensi untuk menjadi kalimat

konteks

Pragmatik: 1. aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan 

ujaran tertentu; 2. pengetahuan yang sama dimiliki oleh pembicara dan pendengar 

sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara

leksikal

1. Bersangkutan dengan leksem; 2. bersangkutan dengan kata; 3. bersangkutan

dengan lesikon, dan bukan dengan gramatikal

makna

1. maksud pembicara; 2. pengaruh suatu bahasa dalam pemahaman persepsi

atau perilaku manusia; 3. hubungan, dalam arti kesepadanan antara bahasa dan

alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; 4. cara

menggunakan lambang-lambang bahasa.

morf

fonem atau urutan fonem yang berasosiasi dengan suatu makna; 2. anggota 

morfem yang belum ditentukan distribusinya; misalnya i pada kenai yaitu  

morf; 3. wujud konkret atau wujud fonemis dari morfem.

morfem

satuan bahasa yang terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat 

dibagi ke dalam bagian yang lebih kecil, misalnya (ter-), (di- ), (pensil yaitu  

morfem 

morfologi

1. bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya;

2. bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata, bagian-bagian kata dan

yakni morfem

nominal

kata yang berfungsi sebagai nomina tetapi tidak memiliki  semua ciri formal 

yang dipunyai oleh nomina; mis. kata berlari pada berlari itu sehat; 2. bersangkutan 

dengan nomina.

oposisi

hubungan antara dua unsur atau lebih dalam suatu sistem yang menampakkan 

perbedaan; mis. antara bersuara dan tak bersuara, antara kala kini dan kala 

lampau.

palatal

1. dihasilkan dengan menempatkan bagian depan lidah di dekat atau di langit langit keras; 2. bunyi yang terjadi demikian, misalnya bunyi (c) dan (j).

predikat

bagian kalimat yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subyek.

ragam bahasa

variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang 

dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang 

dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan

semantik

1. bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga

dengan struktur makna suatu wicara; 2. sistem dan penyelidikan makna dan

arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

semestaan bahasa

1. ciri bahasa yang ada  pada semua bahasa; 2. kaidah bahasa yang sangat

penting untuk menganalisa  bahasa apa pun.

standar

Dianggap paling dapat diterima (tentang salah satu variasi dalam bahasa), dan 

biasanya dipakai dalam pemakaian  resmi. 

subyek

1. bagian klausa berwujud nomina atau frasa nominal yang menandai apa yang

dikatakan oleh pembicara; 2. dalam beberapa bahasa, misalnya bahasa Inggris,

subyek menguasai infleksi predikat (misalnya he goes dan they go)

tanda

guratan yang tampak pada permukaan bersifat konvensional dan dipakai sebagai 

satuan grafis dasar dalam sistem aksara untuk menggambarkan atau merekam 

gagasan, kata, suku kata, fonem, atau bunyi.

ujaran

Regangan wicara yang bemakna di antara dua kesenyapan aktual atau potensial; 

2. kalimat atau bagian kalimat yang disarankan

variasi

Keadaan dapat berfungsinya dua bentuk atau lebih secara tidak berbeda dalam 

lingkungan yang sama.

verba

Kelas kata yang berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba 

memiliki  ciri morfologis, seperti ciri kala, persona, atau jumlah. Sebagian 

besar verba mewakili unsur semantik perbuatan, keadaan, atau proses; kelas 

ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan diawali dengan 

kata tidak dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dsb.; 

misalnya datang, naik, bekerja.

wacana

Satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal 

tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang 

utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata, membawa 

amanat yang lengkap bahasa.

wicara 

Kontinum bunyi bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi (istilah ini 

menekankan bunyi bahasa lisan, jadi, berbeda dari ujaran yang merupakan 

perpaduan bunyi dan makna) 

 

0 Comments :

Posting Komentar