penciptaan alam 1

Tampilkan postingan dengan label penciptaan alam 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penciptaan alam 1. Tampilkan semua postingan

penciptaan alam 1



Alam semesta adalah fana. Ada penciptaan, proses dari ketia-daan menjadi ada, dan 
akhirnya hancur. Di antaranya ada pen-ciptaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di sana 
berlang-sung pula ribuan, bahkan jutaan proses fisika, kimia, biologi dan proses-proses lain 
yang tak diketahui.  
Dalam buku Penciptaan Alam Raya karya Harun Yahya ini penulis memperkokoh 
keyakinan akan terintegrasinya pemahaman Islam dan pemahaman manusia (ilmuwan) 
tentang asal muasal alam semesta. Adapun pertemuan pemahaman ayat Al Quran dan sains 
astronomi adalah bahwa alam semesta ini berawal dan berakhir; dan Al Quran lebih jauh 
memberi petunjuk bahwa alam semesta mempunyai Dzat Pencipta (Rabbul alamin). 
Fenomena ini diharapkan menjadi pembuka jalan dan pemicu integrasi Islam dalam 
kehidupan manusia.  

 
Dimulai dari planet Bumi: sebuah wahana yang ditumpangi oleh ber-miliar manusia. 
Kecerdasan spiritual manusialah yang akan memberi makna perjalanan di alam semesta ini; 
perjalanan antargenerasi selama bermiliar tahun tanpa tujuan akhir yang diketahui pasti, 
yang gratis dan tak berujung, hingga waktu kehancurannya tiba.  
Namun Bumi masih terlalu kecil dibandingkan Matahari, sebuah bola gas pijar 
raksasa, lebih dari 1.250.000 kali ukuran Bumi dan bermassa 100.000 kali lebih besar. Bumi 
yang tak berdaya, tertambat oleh gravitasi, terseret Matahari mengelilingi pusat Galaksi 
lebih dari 200 juta tahun untuk sekali edar penuh. (Lalu apa rencana secercah kehidupan 
kita dalam pengembaraan panjang ini? Sangat sayang bila kita tidak sempat melihat kosmos 
hari ini. Sangat sayang kita tidak berencana sujud dan berserah kepada Tuhan Yang 
Mahakuasa.)  


Pengiring Matahari lainnya adalah planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, 
Uranus, Neptunus, Pluto, asteroid, komet dan sebagai-nya. Ragam wahana dalam tata surya 
itu berupa sosok bola gas, bola beku, karang tandus yang sangat panas; semuanya tak 
terpilih seperti planet Bumi. (Lalu, mengapa wahana yang tersebar di alam semesta yang 
sangat luas itu tak semuanya mudah atau layak dihuni oleh kehidupan?)  
Putaran demi putaran waktu berlalu, kehancuran wahana bermiliar manusia akan 
menghampiri perlahan tapi pasti. Namun, berbagai perta-nyaan manusia tentang misteri 
alam semesta masih belum atau tak ber-jawab. Berbagai upaya rasionalitas manusia telah 
dikerahkan dan penge-tahuan bertambah, namun misteri alam semesta itu terus menjadi 
warisan bagi generasi berikutnya.  
Penjelajahan akal manusia mendapatkan fakta-fakta penyusun alam semesta, mulai 
dari dunia atom, planet, tata surya, hingga galaksi dan ruang alam semesta yang berbatas 
galaksi-galaksi muda. Dengan itu, pengetahuan manusia merentang dalam dimensi panjang 
10-13 hingga 1026 meter, yang merupakan batas fakta-fakta yang dapat diperoleh dalam 
dunia sains. Pada abad ke-21 manusia masih berambisi untuk menyelami dunia 10-35 meter 
(skala panjang Planck) atau 10-20 kali lebih kecil dari pe-nemuan skala atom pada dekade 
pertama abad ke-20. Begitu pula dimen-si lainnya seperti waktu, energi, massa, rentangnya 
meluas dari yang le-bih kecil dan lebih besar. 
Tentang rentang waktu alam semesta, manusia mendefinisikan berba-gai zaman (dan 
zaman transisi di antaranya): Zaman Primordial, ketika usia alam semesta antara 10-50 
hingga 105 tahun, Zaman Bintang, (106 - 1014 tahun), Zaman Materi Terdegenerasi, (1015 
- 1039 tahun), Zaman Black Hole, (1040 - 10100tahun), Zaman Gelap ketika alam semesta 
menghampiri kehan-curannya (10101 - 10??? tahun) dan Zaman Kehancuran Alam Semesta 
(10200???? tahun), ketika materi meluruh. Tanpa fakta-fakta dan ilmu yang diketahui 
manusia (atas izin Allah), akhirnya manusia hanya bisa berspekulasi dan tak bisa 
mendefenisikan berbagai keadaan, misalnya sebelum kelahiran alam semesta dan setelah 
kehancuran.  
Penjelajahan akal manusia bisa menggapai penaksiran hal-hal berikut: jumlah partikel 
(di Matahari 1060 atau di Bumi 1050), energi ikat (antara Bumi dan Matahari sebesar 1033 
Joule), energi radiasi matahari sebesar 1026 watt, energi Matahari yang diterima Bumi 
sebesar 1022 Joule, energi yang diperlukan manusia per tahun sebesar 1020 Joule, energi 
penggabungan inti atom, fissi 1 mol Uranium sebesar 1013 Joule, energi yang dihasilkan 1 
kg bensin sebesar 108 Joule. Sebuah anugerah yang besar bagi manusia, walaupun melalui 
proses yang panjang.  
 
 
Deskripsi dan Model Alam Semesta 
 
Kesan umum luas dan megahnya alam semesta diperoleh penghuni Bumi dengan 
memandang langit malam yang cerah tanpa cahaya Bulan. Langit tampak penuh taburan 
bintang yang seolah tak terhitung jumlah-nya. Struktur dan luas alam semesta sangat sukar 
dibayangkan manusia, dan progres persepsi dan rasionalitas manusia tentang itu 
memerlukan waktu berabad-abad.  

Deskripsi pemandangan alam semesta pun beragam. Dulu alam se-mesta dimodelkan 
sebagai ruang berukuran jauh lebih kecil dari realitas seharusnya. Ukuran diameter Bumi 
(12.500 km) baru diketahui pada abad ke- 3 (oleh Eratosthenes), jarak ke Bulan (384.400 
km) abad ke-16 ( Tycho Brahe, 1588), jarak ke Matahari (sekitar 150 juta km) abad ke-17 
(Cassini, 1672), jarak bintang 61 Cygni abad ke-19 , jarak ke pusat Galaksi abad ke-20 
(Shapley, 1918), jarak ke galaksi-luar (1929), Quasar dan Big Bang (1965). Perjalanan 
panjang ini terus berlanjut antargenerasi.  
Benda langit yang terdekat dengan bumi adalah bulan. Gaya gravitasi bulan 
menggerakkan pasang surut air laut di bumi, tak henti-hentinya selama bermiliar tahun. 
Karena periode orbit dan rotasi Bulan sama, manusia di Bumi tak pernah bisa melihat salah 
satu sisi permukaan Bulan tanpa bantuan teknologi untuk mengorbit Bulan. Rahasia sisi 
Bulan lainnya, baru didapat dengan penerbangan Luna 3 pada tahun 1959.  
Pada siang hari, pemandangan langit sebatas langit biru dan matahari atau bulan 
kesiangan; sedang di saat fajar dan senja, langit merah di kaki langit timur dan barat. 
Interaksi cahaya matahari dengan angkasa Bumi melukiskan suasana langit yang berwarna 
warni.  
Matahari sendiri adalah satu di antara beragam bintang di Galaksi. Ada bintang yang 
lebih panas dari Matahari (suhu permukaan Matahari 5.800o K), seperti bintang panas (bisa 
mencapai 50.000oK) yang memancarkan lebih banyak cahaya ultraviolet—cahaya yang 
berbahaya bagi kehidupan. Ada bintang yang lebih dingin, lebih banyak memancar-kan 
cahaya merah dan inframerah dibandingkan cahaya tampak yang banyak dipergunakan 
manusia.  
Manusia bisa mencapai batas-batas pengetahuan alam semesta yang luas, mengenal 
ciptaan Allah yang tidak pernah dikenali di muka bumi seperti Black Hole, bintang Netron, 
Pulsar, bintang mati, ledakan bintang Nova atau Supernova, ledakan inti galaksi dan 
sebagainya. Akan tetapi, berbagai fenomena yang sangat dahsyat itu tak mungkin 
didekatkan dengan mahluk hidup yang rentan terhadap kerusakan. Walau demi-kian, ada 
jalan bagi yang ingin bersungguh-sungguh menekuninya. 
 
 
Dengan Sains Menangkap Realitas Alam Semesta 
 
Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan seluruh pengetahuan di 
bumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum da-lam sains (seperti ketidakpastian 
Heisenberg tentang pengukuran simul-tan dimensi ruang dan waktu), serta berbagai aturan 
untuk keperluan praktis. Melalui sebuah kerangka besar gagasan yang menghubungkan 
berbagai fenomena (teori relativitas umum, teori kinetik materi, teori relativitas khusus) 
coba dikemukakan satu penjelasan. Berbagai hipotesa, gagasan awal atau tentatif 
dikemukakan untuk menjelaskan fenomena. Tentu gagasan ini  masih perlu diuji 
kebenarannya untuk dapat dikatakan sebuah hukum.  

Dunia fisika membahas konsep energi, hukum konservasi, konsep gerak gelombang, 
dan konsep medan. Pembahasan Mekanika pun sangat luas, dari Mekanika klasik ke 
Mekanika Kuantum Relativistik. Mekanika Kuantum Relativistik mengakomodasi 
pemecahan persoalan mekanika semua benda, Mekanika kuantum melayani persoalan 
mekanika untuk semua massa yang kecepatannya kurang dari kecepatan cahaya. Mekani-ka 
Relativistik memecahkan persoalan mekanika massa yang lebih besar dari 10-27 kg dan 
bagi semua kecepatan. Mekanika Newton (disebut juga mekanika klasik) menjelaskan 
fenomena benda yang relatif besar, dengan kecepatan relatif rendah, tapi juga bisa 
dipergunakan sebagai pendekatan fenomena benda mikroskopik.  
Mekanika statistik (kuantum klasik) adalah suatu teknik statistik untuk interaksi 
benda dalam jumlah besar untuk menjelaskan fenomena yang besar, teori kinetik dan 
termodinamik. Dalam penjelajahan akal ma-nusia di dunia elektromagnet dikenal 
persamaan Maxwell untuk mendes-kripsikan kelakuan medan elektromagnet, juga teori 
tentang hubungan cahaya dan elektromagnet. Dalam pembahasan interaksi partikel, ada 
prinsip larangan Pauli, interaksi gravitasi, dan interaksi elektromagnet. Medan 
memicu  gaya; medan-gravitasi memicu  gaya gravita-si, medan-listrik 
memicu  gaya listrik dan sebagainya. Demikianlah, metode sains mencoba dengan 
lebih cermat menerangkan realitas alam semesta yang berisi banyak sekali benda langit (dan 
lebih banyak lagi yang belum ditemukan).  
Pengetahuan tentang luas alam semesta dibatasi oleh keberadaan ob-jek berdaya 
besar, seperti Quasar atau inti galaksi, sebagai penuntun tepi alam semesta yang bisa 
diamati; selain itu juga dibatasi oleh kecepatan cahaya dan usia alam semesta (15 miliar 
tahun). Itulah sebabnya ruang alam semesta yang pernah diamati manusia berdimensi 15-20 
miliar tahun cahaya. Namun, banyak benda langit yang tak memancarkan caha-ya dan tak 
bisa dideteksi keberadaannya, protoplanet misalnya. Menurut taksiran, sekitar 90% objek di 
alam semesta belum atau tak akan terdeteksi secara langsung. Keberadaannya objek gelap 
ini diyakini karena secara dinamika mengganggu orbit objek-objek yang teramati, lewat 
gravitasi.  
Berbicara tentang daya objek, dalam kehidupan sehari-hari ada lampu penerangan 
berdaya 10 watt, 75 watt dan sebagainya; sedangkan Ma-tahari berdaya 1026 watt dan 
berjarak satu sa* dari Bumi, menghangatinya. Jika kita lihat, lampu-lampu kota dengan 
daya lebih besarlah yang tam-pak terang. Menurut hukum cahaya, terang lampu akan 
melemah seban-ding dengan jarak kuadrat, jadi sebuah lampu pada jarak 1 meter tampak 4 
kali lebih terang dibandingkan pada jarak 2 meter, dan apabila dilihat pada jarak 5 meter 
tampak 25 kali lebih redup. 
Maka, kemampuan mata manusia mengamati bintang lemah terbatas. Ukuran 
kolektor cahaya juga akan membatasi skala terang objek yang bisa diamati. Untuk 
pengamatan objek langit yang lebih lemah dipergu-nakan kolektor atau teleskop yang lebih 
besar. Teleskop yang besar pun mempunyai keterbatasan dalam mengamati obyek langit 
yang lemah, walaupun berhasil mendeteksi obyek langit yang berjuta atau bermiliar kali 
lebih lemah dari bintang terlemah yang bisa dideteksi manusia. Pertanyaan lain muncul: 
Apakah semua objek langit bisa diamati melalui teleskop? Berapa banyak yang mungkin 
diamati dan dihadirkan sebagai pengetahuan?  
Makin jauh jarak galaksi, berarti pengamatan kita juga merupakan pengamatan masa 
silam galaksi ini . Cahaya merupakan fosil infor-masi pembentukan alam semesta yang 
berguna, dan manusia berupaya menangkapnya untuk mengetahui prosesnya hingga takdir 
di masa de-pan yang sangat jauh, yang akan dilalui melalui hukum-hukum alam ciptaan-
Nya. Pengetahuan kita tentang hal ini  sangat bergantung pada pengetahuan kita 
tentang hukum alam ciptaan-Nya; sudah lengkap dan sudah sempurnakah, ataukah baru 
sebagian kecil, sehingga mungkin bisa membentuk ekstrapolasi persepsi yang salah? 
Sampai di batas mana manusia bisa membayangkan dan menjangkau-nya? 
Bagaimana kondisi awal, bagaimana kondisi sebelumnya, bagai-mana kondisi 5 miliar 
tahun ke depan, bagaimana kondisi 50 miliar tahun ke depan dan seterusnya? Apakah 
pengetahuan agama akan memberi jawaban atas berbagai pertanyaan ini ? Alam 
semesta yang megah akan runtuh, akan hancur, tapi entah bagaimana prosesnya, dan ada 
apa setelah kehancuran itu? Kita kembali kepada Allah untuk mencari jawaban-Nya, karena 
Dia adalah zat Maha Mengetahui atas segala ciptaan-Nya, dan manusia hanya diberi 
pengetahuan-Nya sedikit.  
Begitulah, melalui sains manusia mencoba dideskripsikan apa dan bagaimana proses 
fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen dan pengamatan, dengan parameter 
yang bisa diamati dan diukur. Aga-ma memperluas spektrum makna alam semesta bagi 
manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta, kehidupan dan manusia. Jawaban 
singkat tentang pertanyaan Siapa pencipta alam semesta beserta hukum-hukum alamnya: 
Allah adalah zat yang Maha Pencipta. Agama memper-luas pengetahuan yang dicakup oleh 
metodologi sains dan rasionalitas manusia seperti berkenalan dengan alam gaib, akhirat dan 
sebagainya. Namun begitu, rupanya berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam 
semesta di sekitar planet Bumi masih banyak yang belum terjawab atau mungkin tak 
berjawab hingga kehancuran Bumi.  
 

Keruntuhan Ilmiah Materialisme 
Materialisme tidak dapat lagi dinyatakan sebagai filsafat ilmiah. 
Arthur Koestler, Filsuf Sosial terkenal
 
Bagaimanakah alam semesta tak berbatas tempat kita tinggal ini terbentuk? 
Bagaimanakah keseimbangan, keselarasan, dan ke-teraturan jagat raya ini berkembang? 
Bagaimanakah bumi ini menjadi tempat tinggal yang tepat dan terlindung bagi kita?  
Aneka pertanyaan seperti ini telah menarik perhatian sejak ras ma-nusia bermula. 
Para ilmuwan dan filsuf yang mencari jawaban dengan kecerdasan dan akal sehat mereka 
sampai pada kesimpulan bahwa rancangan dan keteraturan alam semesta merupakan bukti 
keberadaan Pencipta Mahatinggi yang menguasai seluruh jagat raya. 
Ini adalah kebenaran tak terbantahkan yang dapat kita capai dengan menggunakan 
kecerdasan kita. Allah mengungkapkan kenyataan ini dalam kitab suci-Nya, Al Quran, yang 
telah diwahyukan empat belas abad yang lalu sebagai penerang jalan bagi kemanusiaan. 
Allah menya-takan bahwa Dia telah menciptakan alam semesta dari ketiadaan, untuk suatu 
tujuan khusus, serta dilengkapi dengan semua sistem dan keseimbangannya yang dirancang 
khusus untuk kehidupan manusia. 
Allah mengajak manusia untuk mempertimbangkan kebenaran ini dalam ayat berikut:  
 
“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah 
membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu me-nyempurnakannya. Dan Dia 
menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan 
bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” (QS. An-Naazi’aat, 79: 27-30) ! 
 
Pada ayat lain dalam Al Quran dinyatakan pula bahwa manusia harus melihat dan 
mempertimbangkan semua sistem dan keseimbangan di alam semesta yang telah diciptakan 
Allah untuknya, serta memetik pelajaran dari pengamatannya:  
 
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan 
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum 
yang memahami (nya).” (QS. An-Nahl, 16: 12) ! 
 
Dalam ayat Al Quran lainnya , ditunjukkan:  
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam 
malam dan menundukkan matahari dan bulan, dan masing-masing berjalan menurut 
waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-
Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mem-
punyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Faathir, 35: 13) ! 
Kebenaran nyata yang dipaparkan Al Quran juga ditegaskan oleh se-jumlah penemu 
penting ilmu astronomi modern, Galileo, Kepler, dan Newton. Semua menyadari bahwa 
struktur alam semesta, rancangan tata surya, hukum-hukum fisika, dan keadaan seimbang, 
semuanya dicipta-kan Tuhan, dan para ilmuwan itu sampai pada kesimpulan dari pene-litian 
dan pengamatan mereka sendiri. 
 
Materialisme: Kesalahan Abad ke-19 
Realitas penciptaan yang kita bicarakan telah diabaikan atau diing-kari sejak dahulu 
oleh sebuah pandangan filosofis tertentu. Pandangan itu disebut “materialisme”. Filsafat ini, 
yang semula dirumuskan di kalangan bangsa Yunani kuno, juga telah muncul dari waktu ke 
waktu dalam budaya lain, dan dikembangkan pula secara perorangan. Menurut materialisme, 
hanya materi yang ada, dan begitu-lah adanya sepanjang waktu yang tak terbatas. Dari 
pendirian itu, diklaim bahwa alam semesta juga “selalu” ada dan tidak diciptakan. 
Sebagai tambahan bagi klaim mereka; bahwa alam semesta ada dalam waktu yang 
tidak terbatas, penganut materialisme juga menge-mukakan bahwa tidak ada tujuan atau 
sasaran di dalam alam semesta. Mereka menyatakan bahwa semua keseimbangan, 
keselarasan, dan keteraturan yang tampak di sekitar kita hanyalah peristiwa kebetulan. 
“Peristiwa kebetulan” juga diajukan ketika muncul pertanyaan tentang bagaimana manusia 
terjadi. Teori evolusi, dikenal luas sebagai Darwin-isme, adalah aplikasi lain materialisme 
pada dunia alam. 
Baru saja disebutkan bahwa sebagian pendiri sains modern adalah orang yang 
beriman, yang sepakat bahwa alam semesta diciptakan dan diatur oleh Tuhan. Pada abad 
ke-19, terjadi perubahan penting dalam sikap dunia ilmiah mengenai masalah ini. 
Materialisme dengan sengaja dimasukkan dalam agenda ilmu alam modern oleh pelbagai 
kelompok. Karena keadaan politik dan sosial abad ke-19 membentuk basis kuat bagi 
materialisme, filsafat ini  diterima luas dan tersebar ke seluruh dunia ilmiah. 
Akan tetapi, temuan sains modern secara tak terbantahkan menun-jukkan betapa 
kelirunya pernyataan materialisme. 
 
Temuan-Temuan Sains Abad ke-20 
Mari kita tinjau lagi dua pandangan materialisme tentang alam semesta: 
1. Alam semesta telah ada sejak waktu yang tak terbatas, dan karena tidak 
mempunyai awal atau akhir, alam semesta tidak diciptakan. 
2. Segala sesuatu dalam alam semesta hanyalah hasil peristiwa kebe-tulan dan 
bukan produk rancangan, rencana, atau visi yang di-sengaja. 
Kedua pandangan ini dikemukakan dengan berani dan dibela mati-matian oleh 
materialis abad ke-19, yang tentu saja tidak punya jalan lain kecuali bergantung kepada 
pengetahuan ilmiah zaman mereka yang terbatas dan tidak canggih. Kedua pendapat itu 
telah dibantah sepe-nuhnya dengan penemuan-penemuan sains abad ke-20. 
Yang terkubur pertama kali adalah pendapat bahwa alam semesta sudah ada sejak 
waktu yang tak terbatas. Sejak tahun 1920-an, telah mun-cul bukti tegas bahwa pendapat ini 
tidak mungkin benar. Para ilmuwan sekarang merasa pasti bahwa jagat raya tercipta dari 
ketiadaan, sebagai hasil suatu ledakan besar yang tak terbayangkan, yang dikenal sebagai 
“Dentuman Besar (Big Bang)”. Dengan kata lain, alam semesta terbentuk, atau tepatnya, 
diciptakan oleh Allah. 
Abad ke-20 juga menyaksikan kehancuran klaim materialis yang kedua: bahwa 
segala sesuatu di jagat raya adalah hasil dari kebetulan dan bukan rancangan. Riset yang 
diadakan sejak tahun 1960-an dengan konsisten menunjukkan bahwa semua keseimbangan 
fisik alam semesta umumnya dan bumi kita khususnya dirancang dengan rumit untuk 
memungkinkan kehidupan. Ketika penelitian ini diperdalam, di-temukan bahwa setiap 
hukum fisika, kimia, dan biologi, setiap gaya-gaya fundamental seperti gravitasi dan 
elektromagnetik, dan setiap detail struktur atom dan unsur-unsur alam semesta sudah diatur 
dengan tepat sehingga manusia dapat hidup. Ilmuwan masa kini menyebut de-sain luar 
biasa ini “prinsip antropis”. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap detail alam semesta telah 
dirancang dengan cermat untuk me-mungkinkan manusia hidup. 
nya, filsafat yang disebut materialisme telah ditolak oleh sains modern. 
Dari posisinya sebagai pandangan ilmiah yang dominan pada abad ke-19, materialisme 
telah jatuh menjadi cerita fiksi pada abad ke-20. 
Bagaimana tidak? Seperti yang ditunjukkan Allah: 
 
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada antara 
keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, 
maka celakalah orang-orang kafir itu karena me-reka akan masuk neraka.” (QS. 
Shaad, 38: 27) ! 
 
Adalah keliru untuk menganggap alam semesta diciptakan dengan sia-sia. Filsafat 
yang benar-benar keliru seperti materialisme dan sistem-sistem yang berdasarkan pada 
paham itu telah ditakdirkan untuk gagal sejak awal sekali. 
Penciptaan adalah sebuah fakta. Dalam buku ini kita akan mengkaji bukti kenyataan 
ini . Kita akan melihat bagaimana materialisme telah runtuh di hadapan sains modern 
dan juga menyaksikan betapa menakjubkan dan sempurna alam semesta dirancang dan 
diciptakan oleh Allah. 
 

 

Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa 
semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua 
bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa 
yang memberikan perintah? 
Andre Linde, Profesor Kosmologi 2 
 
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan 
para ahli astronomi. Alasannya adalah peneri-maan umum atas gagasan bahwa alam 
semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan berang-
gapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mem-punyai awal. Tidak ada 
momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul. 
Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal 
dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, 
menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada 
sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk 
berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad 
Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemun-duran karena pengaruh filsafat gereja 
Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan 
luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap 
filsafat Yunani kuno. 
Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung 
kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa 
setiap probabilitas, betapapun mus-tahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus 
mempertahan-kan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada 
awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal— bahwa tidak 
pernah ada momen ketika jagat raya di-ciptakan—secara luas diterima. Pandangan ini diba-
wa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dia-lektik seperti Karl Marx dan Friedrich 
Engels. 



Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sa-ngat sesuai dengan ateisme. Tidak 
sulit melihat alas-annya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mem-punyai permulaan, bisa 
berarti bahwa ia di-ciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. 
Jauh lebih mudah dan aman untuk menghin-dari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa 
“alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk 
membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang mendukung dan memper-tahankan 
gagasan ini dalam buku-bukunya yang di-terbitkan pada awal abad ke-20, adalah 
pendukung setia Marxisme dan Materialisme. 
Dengan mempercayai kebenaran model “jagat raya tanpa batas”, Politzer menolak 
gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fonda-mentaux de Philosophie ketika dia 
menulis: 
Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat 
raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk 
mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam 
semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa 
diterima sains,
Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pem-belaan-nya terhadap 
gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya 
sungguh-sungguh mempunyai per-mulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, 
jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya. 
 
 
Pengembangan Alam Semesta  
dan Penemuan Dentuman Besar 
 
Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan as-tronomi modern. 
Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang 
menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun 
mungkin cukup untuk memicu  struktur keseluruhan mengembang atau mengerut 
menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari 
apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre, 
menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang 
sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat 
radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu” 
itu. 
Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak per-hatian dan barangkali 
akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan 
dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang 
bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting 
dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, 
dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum, 
dan bahwa per-geseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi. 
Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu. 


Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik 
observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik 
observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika 
kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut 
hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian, Hubble 
membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka 
juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam 
semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan 
konstan “mengembang”. 
Hubble menemukan bukti pengamatan untuk sesuatu yang telah “diramalkan” George 
Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini 
hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan 
bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan ber-dasarkan 
teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan 
Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan “konstanta kosmologis” pada 
persamaannya agar muncul “jawaban yang benar”, karena para ahli astronomi meyakinkan 
dia bah-wa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persa-maannya 
sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa 
konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya. 
Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memuncul-kan model lain yang 
tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika 
alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam 
semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan 
mengerut dan bertemu pada satu titik.  yang harus diturun-kan dari model ini 
adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa 
satu titik yang mempunyai “volume nol” karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam 
semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini 
mendapat sebutan “Dentuman Besar” dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan 
dengan bukti pengamatan. 
Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa 
sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu “tidak 
ada”. Seluruh alam semesta dicip-takan dari “ketidakadaan” ini. Dan lebih jauh, alam 
semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengata-
kan bahwa “alam semesta sudah ada selamanya”. 
 
 
Hipotesis “Keadaan-Stabil” 
 
Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-
bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada 
gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar 
dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka 
dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, “Secara filosofis, 
pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keter-aturan alam sekarang ini bertentangan 
denganku.”



Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. 
Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya 
“keadaan-stabil”, yang tak lebih suatu per-panjangan gagasan abad ke-19 tentang alam 
semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat 
raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi 
maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-
menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap 
berada dalam “keadaan-stabil”. Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma “materi sudah 
ada sejak waktu tak terbatas”, yang merupakan basis filsafat mate-rialis, teori ini mutlak 
bertentangan dengan “teori Dentuman Besar”, yang menyatakan bahwa alam semesta 
mempunyai permulaan. Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang 
Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka. 
 
 
Kemenangan Dentuman Besar 
 
Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre 
lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta 
terbentuk dalam sebuah ledakan be-sar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu 
radiasi yang ditinggalkan dari ledakan ini . Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih 
jauh, harus sama di selu-ruh alam semesta. 
Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, 
dua peneliti ber-nama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang 
selama ini tidak teramati. Dise-but “radiasi latar belakang kosmik”, radiasi ini tidak seperti 
apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak 
dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di 
seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang 
masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar ini . Gamov telah 
mengamati bahwa frekuen-si radiasi hampir mempu-nyai nilai yang sama dengan yang telah 
di-perkirakan oleh para ilmu-wan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadi-ah 
Nobel untuk penemuan mereka. 
Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke 
luar angkasa. Sebuah in-strumen sensitif yang disebut “Cosmic Background Emission 
Explorer” (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi 
dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara pasti 
menun-jukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan 
alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap 
sisa-sisa Dentuman Besar. 
Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya 
berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan 
menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan 
teoretis dari apa yang seharus-nya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan 
tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan 
tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium. 


Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia 
ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American 
menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan 
pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya. 
Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama 
menggambarkan dilema mereka di hadapan bukti Den-tuman Besar. Dia berkata bahwa 
semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui 
bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.5 
 
Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan? 
 
Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis “alam semesta tanpa batas”, yang 
membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tum-pukan sampah sejarah. Namun 
bagi materialis, muncul pula dua perta-nyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada 
sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah memicu  Dentuman Besar 
sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya? 
Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai. 
Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini: 
Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan 
mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis 
dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kos-mologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa 
yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta 
mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya 
tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa 
keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling 
mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa 
teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk 
mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.6 
Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan 
mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli 
astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala 
dimensi fisik, sebagai: 
Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. 
Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan 
alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ru-ang-waktu, maka sebab alam semesta 
haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir 
lebih dulu dibandingkan  di-mensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden, 
bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam 
semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.7 
 
 
Penolakan terhadap Penciptaan dan  
Mengapa Teori-Teori Itu Bercacat 
 


Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan 
dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berke-hendak. Mengenai fakta ini, beberapa 
ahli astronomi dan fisika materialis telah mencoba mengemukakan penjelasan alternatif 
untuk membantah kenyataan ini. Rujukan sudah dibuat dari teori keadaan-stabil dan 
ditunjukkan ke mana kaitannya, oleh mereka yang tidak merasa nyaman dengan pendapat 
“penciptaan dari ketiadaan” meskipun bukti berbicara lain, sebagai usaha mempertahankan 
filsafat mereka. 
Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima 
teori Dentuman Besar namun mencoba melepaskannya dari gagasan penciptaan. Salah 
satunya adalah model alam semesta “ber-osilasi”; dan yang lainnya adalah “model alam 
semesta kuantum”. Mari kita kaji teori-teori ini dan melihat mengapa keduanya tidak 
berdasar. 
Model alam semesta berosilasi dikemukakan oleh para ahli astro-nomi yang tidak 
menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah per-mulaan alam semesta. Dalam model 
ini, dinyatakan bahwa pengem-bangan alam semesta sekarang ini pada akhirnya akan 
membalik pada suatu waktu dan mulai mengerut. Pengerutan ini akan menyebab-kan segala 
sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai 
pengembangan babak baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas. 
Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta sudah mengalami transformasi ini tak 
terhingga kali dan akan terus demikian selamanya. Dengan kata lain, alam semesta ada 
selamanya namun mengembang dan runtuh pada interval berbeda dengan ledakan besar 
menandai setiap siklusnya. Alam semesta tempat kita tinggal merupakan salah satu alam 
semesta tanpa batas itu yang sedang melalui siklus yang sama. 
Ini tak lebih dari usaha lemah untuk menyelaraskan fakta Dentuman Besar terhadap 
pandangan tentang alam semesta tanpa batas. Skenario ini  tidak didukung oleh hasil-
hasil riset ilmiah selama 15-20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang 
berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih jauh, hukum-hukum fisika tidak bisa me-
nerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke 
dalam satu titik tunggal: ia harus tetap seperti apa ada-nya. Hukum-hukum fisika juga tidak 
bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengembang harus mulai mengerut lagi.8 
Bahkan kalaupun kita menerima bahwa mekanisme yang mem-buat siklus mengerut-
meledak-mengembang ini benar-benar ada, satu hal penting adalah bahwa siklus ini tidak 
bisa berlanjut selamanya, seperti anggapan mereka. Perhitungan untuk model ini 
menunjukkan bahwa setiap alam semesta akan mentransfer sejumlah entropi kepada alam 
semesta berikutnya. Dengan kata lain, jumlah energi berguna yang ter-sedia menjadi 
berkurang setiap kali, dan setiap alam semesta akan ter-buka lebih lambat dan mempunyai 
diameter lebih besar. Ini akan me-nyebabkan alam semesta yang terbentuk pada babak 
berikutnya menjadi lebih kecil dan begitulah seterusnya, sampai pada akhirnya menghilang 
menjadi ketiadaan. Bahkan jika alam semesta “buka dan tutup” ini dapat terjadi, mereka 
tidak bertahan selamanya. Pada satu titik, akan diperlu-kan “sesuatu” untuk diciptakan dari 
“ketiadaan”.9 
Singkatnya, model alam semesta “berosilasi” merupakan fantasi tanpa harapan yang 
realitas fisiknya tidak mungkin. 

“Model alam semesta kuantum” adalah usaha lain untuk member-sihkan teori 
Dentuman Besar dari implikasi penciptaannya. Pendukung model ini mendasarkannya pada 
observasi fisika kuantum (subatomik). Dalam fisika kuantum, diamati bahwa partikel-
partikel subatomik mun-cul dan menghilang secara spontan dalam ruang hampa. 
Menginterpre-tasikan pengamatan ini sebagai “materi dapat muncul pada tingkat kuantum, 
ini merupakan sebuah sifat yang berkenaan dengan materi”, beberapa ahli fisika mencoba 
menjelaskan asal materi dari ketiadaan selama penciptaan alam semesta sebagai “sifat yang 
berkenaan dengan materi” dan menyatakannya sebagai bagian dari hukum-hukum alam. 
Dalam model ini, alam semesta kita diinterpretasikan sebagai partikel subatomik di dalam 
partikel yang lebih besar. 
Akan tetapi, silogisme ini sama sekali tidak mungkin dan bagai-manapun tidak bisa 
menjelaskan bagaimana alam semesta terjadi. William Lane Craig, penulis The Big Bang: 
Theism and Atheism, menjelas-kan alasannya: 
Ruang hampa mekanis kuantum yang menghasilkan partikel materi adalah jauh dari 
gagasan umum tentang “ruang hampa” (yang berarti tidak ada apa-apa). Melainkan, ruang 
hampa kuantum adalah lautan partikel yang terus-menerus terbentuk dan menghilang, yang 
meminjam energi dari ruang hampa untuk keberadaan mereka yang singkat. Ini bukan 
“ketiadaan”, sehingga partikel materi tidak muncul dari “ketiadaan”. 
Jadi, dalam fisika kuantum, materi “tidak ada kalau sebelumnya tidak ada.” Yang 
terjadi adalah bahwa energi lingkungan tiba-tiba men-jadi materi dan tiba-tiba pula 
menghilang menjadi energi lagi. Singkatnya, tidak ada kondisi “keberadaan dari ketiadaan” 
seperti klaim mereka. 
Dalam fisika, tidak lebih sedikit dibandingkan  yang ada  dalam ca-bang-cabang ilmu 
alam lain, ada  ilmuwan-ilmuwan ateis yang tidak ragu menyamarkan kebenaran dengan 
mengabaikan titik-titik kritis dan detail-detail dalam usaha mereka mendukung pandangan 
materialis dan mencapai tujuan mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting mempertahan-kan 
materialisme dan ateisme dibandingkan  mengungkapkan fakta-fakta dan kenyataan ilmiah. 
Dihadapkan pada realitas yang disebutkan di atas, kebanyakan ilmu-wan membuang 
model alam semesta kuantum. C.J Isham menjelas-kan bahwa “model ini tidak diterima 
secara luas karena kesulitan-kesulitan yang dibawanya.” Bahkan sebagian pencetus 
gagasan ini, seperti Brout dan Spindel, telah meninggalkannya.
Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta 
kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of 
Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari 
ketiadaan. Alih-alih “tiada waktu” sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep 
“waktu imajiner”. Menurut Haw-king, hanya ada selang waktu imajiner 1043 detik sebelum 
Dentuman Besar terjadi dan waktu “nyata” terbentuk setelah itu. Harapan Hawking ha- 
nyalah untuk mengabai-kan kenyataan “ketiada-an waktu” (timelessness) sebelum 
Dentuman Besar dengan gagasan waktu “imajiner” ini. 


Sebagai sebuah konsep, “waktu imajiner” sama saja dengan nol atau se-perti “tidak 
ada”nya jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Di sini 
Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar 
kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada 
artinya. Ahli matematika, Sir Herbert Dingle, menyebut kemungkinan memalsukan hal-hal 
imajiner sebagai hal nyata dalam matematika sebagai: 
Dalam bahasa matematika, kita bisa mengatakan kebohongan di samping kebenaran, 
dan dalam cakupan matematika sendiri, tidak ada cara yang mungkin untuk membedakan 
satu dengan lainnya. Kita dapat membedakan keduanya hanya dengan pengalaman atau 
dengan penalaran di luar matematika, yang diterapkan pada hubungan yang mungkin antara 
solusi matematika dan korelasi fisiknya. 
Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung 
konsekuensi benar atau nyata. Menggunakan sifat yang hanya dimiliki matematika, 
Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan 
yang mendorongnya melakukan ini? Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model 
alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini “mengisyaratkan 
penciptaan ilahiah”, dan model-model seperti itu dirancang untuk ditentang.l 
Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti 
keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum, 
kenyataannya timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan-penemuan ilmiah telah 
menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahkan dapat menjelaskan “keberadaan dari 
ketia-daan”. Dan ini merupakan bukti sangat kuat bahwa alam semesta diciptakan oleh 
Allah, satu hal yang mentah-mentah ditolak materialis.  
Sebuah contoh penolakan Dentuman Besar bisa ditemukan dalam esai oleh John 
Maddox, editor majalah Nature (majalah materialis), yang muncul pada tahun 1989. Dalam 
“Down with the Big Bang”, Maddox menyatakan Dentuman Besar tidak dapat diterima 
secara filosofis karena teori ini membantu teologis dengan menyediakan dukungan kuat 
untuk gagasan-gagasan mereka. Penulis itu juga meramalkan bahwa Dentuman Besar akan 
runtuh dan bahwa dukungan untuknya akan menghilang dalam satu dekade.15 Maddox 
hanya bisa merasa semakin resah karena penemuan-penemuan selama sepuluh tahun 
berikutnya memberikan bukti semakin kuat akan keberadaan Dentuman Besar. 
Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. 
Materialis Inggris, H.P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun “tidak dengan 
senang hati”, ketika dia berkata: 
Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan 
radiasi, bagaimana dia muncul?.... Namun saya pikir, kita ha-rus... mengakui bahwa satu-
satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat 
dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak 
kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya. 
Sebagai kesimpulan, kebenaran yang terungkap oleh ilmu alam adalah: Materi dan 
waktu telah dimunculkan menjadi ada oleh pemilik kekuatan besar yang mandiri, oleh 
Pencipta. Allah, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan mutlak, telah menciptakan 
alam semesta tempat tinggal kita. 
 


 
Tanda-Tanda Al Quran 
 
Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempu-nyai implikasi 
penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam 
telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama. 
Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan 
dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai 
penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti 
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan 
segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah. 
Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya 
utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping 
bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun 
diungkapkan 14 abad yang lalu. 
Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran 
sebagai berikut:  
 
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia 
tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala 
sesuatu.” (QS. Al An’aam, 6: 101) ! 
 
Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum 
penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah 
bahwa ketika diciptakan, alam semes-ta menempati volume yang sangat kecil: 
 
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi 
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara 
keduanya. Dan dibandingkan  air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka 
mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiyaa’, 21: 30) ! 
 
Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam 
bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai “suatu yang padu” yang 
berarti “bercampur, bersatu” dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk 
dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa “Kami pisahkan” diterjemahkan dari kata kerja 
bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi de-ngan memisahkan 
atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan 
yang meng-gunakan kata kerja ini. 

Mari kita tinjau lagi ayat ini  dengan pengetahuan ini di benak kita. Dalam ayat 
itu, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Me-reka dipisahkan (fatk) dengan satu 
muncul dari yang lainnya. Mena-riknya, para ahli kosmologi berbicara tentang “telur 
kosmik” yang me-ngandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar. De-
ngan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur 
kosmik ini meledak dengan dahsyat memicu  materinya menjadi fatk dan dalam proses 
itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta. 
Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengem-bangan jagat raya 
yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah 
dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:  
 
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya 
Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47) ! 
 
Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebe-naran yang 
dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan 
bahwa semua itu “kebetulan”, namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi 
sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang 
asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita. 
 

 
Filsuf Jerman, Immanuel Kant adalah orang pertama yang mengajukan pernyataan 
“alam semesta tanpa batas” pada Zaman Baru. Tetapi penemuan ilmiah menggugurkan 
pernyataan Kant. 
 
Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta mengembang. Pada akhirnya dia 
menemukan bukti “Ledakan Besar”, peristiwa besar yang penemuannya memaksa ilmuwan 
meninggalkan anggapan alam semesta tanpa batas dan abadi. 
 
Pernyataan Sir Arthur Eddington bahwa “pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba 
dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku,” adalah pengakuan bahwa 
Ledakan Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan materialis. 
 
Radiasi Latar Belakang Kosmik yang ditemukan oleh Penzias dan Wilson dianggap 
sebagai bukti Ledakan Besar yang tak terbantahkan oleh dunia ilmiah. 
 
Stephen Hawking juga mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan 
Besar selain Penciptaan seperti yang dilakukan ilmuwan materialis lainnya dengan 
mengandalkan kontradiksi dan konsep keliru. 
 
 

 
Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang 
nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu, 
namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah. 
Paul Davies, Profesor Fisika Teoretis. 
 
Dalam bab pertama, kita mempelajari penciptaan alam semesta dari ketiadaan sebagai 
hasil ledakan dahsyat. Mari kita kaji implikasi dari kenyataan ini. Para ilmuwan 
memperkirakan di seluruh alam semesta ada  300 miliar galaksi. Galaksi-galaksi ini me-
miliki beberapa bentuk berbeda (spiral, elips, dan lain-lain) dan masing-masing memiliki 
bintang kira-kira sebanyak jumlah galaksi di alam se-mesta. Salah satu bintang ini, Matahari, 
memiliki sembilan planet utama yang mengitarinya dalam keserasian yang luar biasa. 
Seluruh manusia hidup di planet ketiga dihitung dari matahari. 
Perhatikan sekitar Anda: Apakah yang Anda lihat tampak seperti sebaran materi yang 
berserakan tidak karuan? Tentu saja tidak. Namun, bagaimana materi membentuk galaksi-
galaksi yang teratur seandainya materi itu tersebar secara acak? Mengapa materi berkumpul 
di satu titik dan membentuk bintang? Bagaimana keseimbangan yang begitu indah pada tata 
surya dapat muncul dari ledakan yang dahsyat? Ini adalah per-tanyaan-pertanyaan penting 
dan menuntun kita pada pertanyaan yang sesungguhnya yaitu bagaimana alam semesta 
tersusun setelah Dentuman Besar. 
Jika Dentuman Besar benar-benar ledakan yang maha menghancur-kan, maka masuk 
akal untuk memperkirakan bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak. 
Namun ternyata tidak demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun menjadi planet, 
bintang, galaksi, kluster, dan superkluster. Seolah-olah sebuah bom meledak dalam 
lumbung dan menjadikan seluruh gandum terisikan ke dalam karung, dan tersusun rapi di 
atas truk, siap untuk dikirimkan, bukannya tersebar acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred 
Hoyle, penentang setia teori Den-tuman Besar, mengemukakan keterkejutannya sendiri 
akan keteraturan ini: 
Teori Dentuman Besar menyatakan alam semesta dimulai dengan ledakan tunggal. 
Namun seperti terlihat pada bagian berikut, sebuah ledakan hanya akan membuat materi 
terlontar secara acak, namun Dentuman Besar secara misterius memberikan hasil 
berlawanan dengan materi terkumpul dalam bentuk galaksi-galaksi.18  
Bahwa materi yang dihasilkan Dentuman Besar membentuk susun-an yang begitu 
rapi dan teratur memang suatu hal yang luar biasa. Terbe-ntuknya keserasian yang luar 
biasa ini  menuntun kita kepada kenyataan bahwa alam semesta merupakan ciptaan 
sempurna Allah. 
Pada bab ini kita akan mengkaji dan merenungkan kesempurnaan luar biasa ini. 

Kecepatan Ledakan 
 
Orang yang mendengar teori Dentuman Besar namun tidak memi-kirkan masalah ini 
dengan saksama, tidak akan menyadari rencana yang luar biasa di balik ledakan ini . 
Karena bagi kebanyakan orang, ledakan tidak mengimplikasikan keserasian, rencana, atau 
keteraturan. Kenyataannya ada  sejumlah aspek yang sangat membingungkan pada 
keteraturan yang rumit dalam Dentuman Besar. 
Salah satu teka-teki berhubungan dengan percepatan yang ditimbul-kan oleh ledakan. 
Ketika ledakan terjadi, materi pasti mulai bergerak dengan kecepatan luar biasa tinggi ke 
segala arah. Namun ada hal lain yang harus diperhatikan dalam hal ini. Pasti ada gaya tarik 
yang begitu besar di awal ledakan: gaya tarik yang cukup kuat untuk mengumpulkan 
seluruh alam semesta pada satu titik. 
Dua kekuatan berbeda dan saling berlawanan bekerja di sini. Keku-atan dari ledakan, 
melontar-kan materi ke luar dan men-jauh, serta kekuatan dari gaya tarik, mencoba 
menahan kekuatan dari ledakan dan menarik semua materi untuk kembali menyatu. Alam 
se-mesta terbentuk karena dua kekuatan ini dalam keseim-bangan. Jika kekuatan gaya tarik 
lebih besar dibandingkan  kekuatan ledakan, alam se-mesta hancur bertubrukan. Jika terjadi 
sebaliknya, materi akan berpencar ke segala penjuru dan tidak mungkin menyatu kembali. 
Lantas, seberapa peka keseimbangan ini? Berapa banyak “selisih” yang mungkin ada 
di antara dua kekuatan ini? 
Ahli fisika matematis, Paul Davies, Profesor dari Universitas Adelai-de di Australia, 
melakukan perhitungan panjang terhadap keadaan yang harus ada pada saat Dentuman 
Besar terjadi dan meng-hasilkan angka yang hanya dapat digambarkan sebagai 
mencengang-kan. Menurut Davies, jika laju pengembangan hanya berbeda lebih dari 10-18 
detik saja (satu detik dibagi satu miliar kemudian dibagi satu miliar lagi), alam semesta 
tidak akan terbentuk. Davies menjelaskan kesimpulannya: 
Pengukuran yang teliti menempatkan laju pengembangan sangat dekat pada nilai 
kritis sehingga alam semesta dapat bebas dari gaya gravitasi dirinya dan mengembang 
selamanya. Sedikit lebih lambat maka alam semesta akan hancur bertubrukan, sedikit lebih 
cepat maka materi kosmik sudah menyebar secara acak sejak dulu. Sangat menarik untuk 
menanya-kan dengan pasti seberapa rumit laju pengembangan ini telah disesuaikan dengan 
tepat untuk berada pada batas tipis dua kehancuran dahsyat. Jika pada waktu I S (pada saat 
pola waktu pengembangan telah terbentuk) laju pengembangan berbeda lebih dari 10-18 
detik dari semestinya, maka sudah cukup untuk memorak-porandakan keseimbangan yang 
rumit ini . Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan 
ketepatan yang nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang 
ledakan di masa lalu, namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.19 
Bilim ve Teknik (majalah ilmiah Turki) mengutip sebuah artikel yang muncul dalam 
majalah Science. Dalam artikel ini , keseimbangan fenomenal yang dicapai dalam fase 
awal alam semesta dinyatakan: 

Jika kekerapan alam semesta hanya sedikit lebih tinggi, dalam hal ini, menurut teori 
relativitas Einstein, alam semesta tidak akan mengembang akibat gaya-gaya tarik partikel-
partikel atom, namun mengerut, dan pada akhirnya lenyap pada satu titik. Jika kekerapan 
awal sedikit lebih kecil, maka alam semesta akan dengan cepat mengembang, namun dalam 
hal ini, partikel-partikel atom tidak akan tertarik satu sama lain dan tidak ada bintang dan 
tidak ada galaksi akan pernah terbentuk. Akibatnya, manusia tidak akan pernah muncul! 
Menurut perhitungan, perbedaan antara kera-patan awal alam semesta yang sesungguhnya 
dan kerapatan kritisnya, yang tidak mungkin terjadi, adalah kurang dari 10-17. Ini sama saja 
dengan memberdirikan pensil pada ujung tajamnya bahkan selama miliaran tahun… lebih 
jauh, ketika alam semesta mengembang, keseimbangan ini menjadi lebih rumit.20 
Bahkan Stephen Hawking, yang berusaha keras menjelaskan pencip-taan alam 
semesta sebagai rangkaian kebetulan dalam A Brief History of Time, mengakui 
keseimbangan luar biasa dalam laju pengembangan: 
Jika laju pengembangan satu detik setelah Dentuman Besar lebih kecil bahkan dari 
satu bagian per seratus ribu juta juta, alam semesta akan hancur sebelum pernah mencapai 
ukurannya sekarang. 
Lalu, apa yang diindikasikan keseimbangan yang begitu luar biasa ini? Satu-satunya 
jawaban rasional untuk pertanyaan itu adalah bahwa keseimbangan itu merupakan bukti 
rancangan sadar dan tidak mungkin ketidaksengajaan. Dr. Davies mengakui sendiri hal ini, 
meskipun kecen-derungannya tetap mengarah pada materialisme: 
Sulit untuk menolak bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang tam-pak begitu 
sensitif terhadap perubahan kecil dalam angka, telah dipikirkan dengan saksama.... nilai-
nilai numerik ajaib yang disuguhkan alam untuk konstanta-konstanta dasarnya tetap 
merupakan bukti yang paling kuat bagi unsur rancangan kosmik. 
 
 
Empat Gaya 
 
Kecepatan Dentuman Besar merupakan salah satu keadaan keseim-bangan yang luar 
biasa pada momen awal penciptaan. Segera setelah Dentuman Besar, gaya-gaya yang 
menopang dan mengatur alam seme-sta tempat kita tinggal harus “tepat benar” secara 
numerik, karena kalau tidak, alam semesta tidak akan terbentuk. 
Ada “empat gaya dasar” yang dikenali fisika modern. Semua struk-tur dan gerakan 
dalam alam semesta diatur dengan keempat gaya ini, yang dikenal sebagai gaya gravitasi, 
gaya elektromagnetik, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah. Gaya nuklir kuat dan lemah 
bekerja hanya pada skala atom. Kedua gaya lainnya—gaya gravitasi dan gaya elektro-
magnetik—mengatur kumpulan atom, dengan kata lain “materi”. Keem-pat gaya dasar ini 
langsung bekerja setelah Dentuman Besar terjadi dan menghasilkan pembentukan atom-
atom dan materi. 
Perbandingan keempat gaya yang menunjukkan nilai-nilai mereka saling berbeda. Di 
bawah ini keempat gaya ini  dinyatakan dalam satuan standar internasional: 
Gaya nuklir kuat :   15 
Gaya nuklir lemah :  7,03 x 10-3  
Gaya elektromagnetik : 3,05 x 10-12  
Gaya gravitasi :  5.90 x 10-39 
Perhatikan betapa besar perbedaan kekuatan keempat gaya dasar ini. Selisih antara 
yang terkuat (gaya nuklir kuat) dan yang terlemah (gaya gravitasi) adalah sekitar 25 diikuti 
dengan 38 nol! Mengapa bisa demi-kian? 
Ahli biologi molekuler, Michael Denton menanggapi pertanyaan ini dalam bukunya, 
Nature's Density:  
Jika, misalnya, gaya gravitasi satu triliun kali lebih kuat, maka alam semesta akan 
jauh lebih kecil dan sejarah hidupnya jauh lebih pendek. Sebuah bintang rata-rata akan 
mempunyai massa satu triliun lebih kecil dari matahari dan masa hidup sekitar satu tahun. 
Di lain pihak, jika gravitasi kurang kuat, tidak ada bintang atau galaksi yang akan pernah 
terbentuk. Hubungan dan nilai-nilai lain tidak kurang kritisnya. Jika gaya nuklir kuat sedikit 
lebih lemah saja, satu-satunya unsur yang akan stabil hanya hidrogen. Tidak ada atom lain 
yang bisa terbentuk. Jika gaya nuklir kuat ini  sedikit lebih kuat dalam kaitannya 
dengan elektromagnetisme, maka inti atom yang terdiri dari dua proton menjadi yang paling 
stabil di alam semesta, yang berarti tidak akan ada hidrogen, dan jika ada bintang atau 
galaksi yang terbentuk, mereka akan sangat berbeda dari bentuknya sekarang. Jelas sekali, 
jika semua gaya dan konstanta ini tidak mempunyai nilai tepat demikian, tidak akan ada 
bintang, supernova, planet-planet, atom, dan kehidupan. 
Paul Davies berkomentar tentang bagaimana hukum-hukum fisika menyediakan 
kondisi ideal untuk kehidupan manusia: 
Kalau saja alam memilih serangkaian angka yang sedikit berbeda, dunia akan 
menjadi tempat yang sangat berbeda. Barangkali kita tidak akan ada untuk melihatnya…. 
Penemuan baru tentang kosmos primitif mewajibkan kita me-nerima bahwa alam semesta 
yang mengembang telah diatur dalam geraknya dengan suatu ketelitian yang menakjubkan. 
24 
Arno Penzias, yang pertama mendeteksi radiasi latar belakang kosmik bersama 
Robert Wilson, (keduanya menerima hadiah Nobel tahun 1965 untuk penemuan ini), 
mengomentari rancangan indah alam semesta: 
Astronomi mengarahkan kita pada sebuah peristiwa unik, alam semesta yang 
diciptakan dari ketiadaan, alam semesta dengan keseimbangan sangat rumit yang diperlukan 
untuk menyediakan kondisi tepat bagi kehidupan, dan alam semesta yang mempunyai 
rencana dasar (bisa dikatakan “super-nasional”).
Ilmuwan-ilmuwan yang baru saja dikutip telah menarik kesimpulan penting dari 
pengamatan mereka. Mengkaji dan memikirkan keseimbangan luar biasa dan keteraturan 
yang indah dalam ran-cangan alam semesta tak pelak lagi mengarahkan seseorang pada 
kebenaran: Di alam semesta, ada rancangan unggul dan keselarasan sempurna. Tidak 
diragukan lagi, Pembuat rancangan dan keselarasan ini adalah Allah, yang telah mencipta-
kan segalanya tanpa cacat. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menarik perhatian kita pada 
keteraturan penciptaan alam semesta, yang direnca-nakan, dan diperhi-tungkan dalam setiap 
detail: 
 



“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai 
anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya) dan Dia telah 
menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-
rapinya.” (QS. Al Furqan, 25: 2) ! 
 
 
Matematika Probabilitas  
Meruntuhkan Teori “Kebetulan” 
 
Penjelasan sejauh ini menunjukkan keseimbangan luar biasa antara gaya-gaya yang 
memungkinkan manusia hidup di alam semesta ini. Ke-cepatan ledakan Dentuman Besar, 
nilai gaya-gaya dasar, dan semua variabel lain yang akan kita bahas dalam bab-bab 
selanjutnya, yang kesemuanya vital untuk keberadaan alam semesta, telah diatur dengan 
ketepatan luar biasa.  
Mari kita menyimpang sebentar dari pokok bahasan dan mem-pertimbangkan teori 
kebetulan materialisme. Kebetulan adalah sebuah istilah matematika dan peluang terjadinya 
sebuah peristiwa dapat dihitung menggunakan matematika probabilitas. Mari kita lakukan. 
Dengan mempertimbangkan variabel-variabel fisik, bagaimana peluang alam semesta 
yang memberi kita kehidupan terbentuk secara kebetulan? Satu dalam miliar miliar? Atau 
triliun triliun triliun? Atau lebih? 
Roger Penrose, seorang ahli matematika Inggris terkenal dan teman dekat Stephen 
Hawking, memikirkan pertanyaan ini dan mencoba mem-perhitungkan kemungkinannya. 
Dengan memasukkan semua variabel yang dianggapnya perlu bagi manusia untuk muncul 
dan hidup di planet bumi, dia menghitung probabilitas untuk lingkungan ini muncul di 
antara semua hasil yang mungkin dari Dentuman Besar. 
Menurut Penrose, peluang untuk kejadian seperti itu adalah 1 banding 1010123 . 
Membayangkan arti angka itu saja sudah sulit. Dalam matematika, nilai 10123 berarti 
1 diikuti dengan 123 nol (angka ini jauh lebih besar dari jumlah total atom yang diyakini 
ada di seluruh alam semesta, 1078). Namun jawaban Penrose jauh lebih besar lagi: yaitu 1 
diikuti 10123 angka nol. 
Atau pikirkan ini: 103 berarti 1.000, seribu. 10103 adalah angka 1 yang diikuti 1.000 
nol. Jika ada enam nol, disebut satu juta; jika sembilan, satu miliar; jika dua belas, satu 
triliun dan seterusnya. Bahkan tidak ada nama untuk angka 1 diikuti 10123 nol. 
Untuk praktisnya, dalam matematika, probabilitas 1 dalam 1050 berarti “probabilitas 
nol”. Angka Penrose lebih besar dibandingkan  triliun triliun triliun kali angka ini . Dengan 
kata lain, angka Penrose menyatakan bahwa pembentukan alam semesta kita merupakan 
“kebe-tulan” atau “ketidaksengajaan” adalah tidak mungkin. 
Mengenai angka yang membingungkan ini, Roger Penrose berko-mentar: 


Angka ini menunjukkan betapa tepatnya maksud Pencipta, yaitu ketelitian satu dalam 
1010123. Angka ini sangat luar biasa. Orang bahkan tidak mungkin menuliskan angka itu 
dalam bentuk penuhnya: yang berarti satu diikuti 10123 nol. Bahkan jika kita menuliskan 
sebuah nol pada setiap proton dan setiap neutron di seluruh jagat raya—dan kita bisa 
menggunakan partikel-partikel lain selebihnya—kita tetap saja kekurangan tempat untuk 
menuliskan semua nol yang diperlukan. 26 
Angka-angka yang menentukan rancangan dan rencana keseim-bangan alam semesta 
memainkan peranan penting dan melampaui pemahaman manusia. Mereka membuktikan 
bahwa alam semesta bukan hasil peristiwa kebetulan, dan menunjukkan “betapa tepatnya 
maksud Pencipta” seperti yang dinyatakan Penrose. 
Bahkan, untuk menyadari bahwa alam semesta bukan “hasil peristiwa kebetulan”, 
seseorang tidak benar-benar membutuhkan per-hitungan ini sama sekali. Hanya dengan 
melihat sekelilingnya, manusia dapat dengan mudah menang-kap fakta penciptaan bahkan 
dalam suatu detail terkecil. Bagaimana mungkin alam semesta seperti ini, sempurna dalam 
sistemnya, matahari, bumi, manusia, ru-mah, mobil, pohon, bunga, se-rangga, dan segala 
hal lain di dalamnya, dapat terbentuk ka-rena atom-atom secara kebetul-an bertemu setelah 
sebuah ledakan? Setiap detail yang kita lihat menunjukkan bukti keber-adaan Allah dan 
kekuatan Ma-habesar-Nya. Hanya orang yang merenungkannya yang dapat melihat tanda-
tanda ini . 
 
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan 
malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan 
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan 
bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan dan 
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh 
(ada ) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” 
(QS. Al Baqarah, 2:164) ! 
 
 
Melihat Kebenaran Nyata 
 
Sains abad ke-20 telah menunjukkan bukti mutlak bahwa alam semesta diciptakan 
oleh Allah. Prinsip antropi yang telah disebutkan sebelumnya mengungkapkan bahwa setiap 
detail alam semesta telah dirancang bagi manusia untuk hidup di dalamnya dan bahwa tidak 
mungkin itu terjadi secara kebetulan. 
Yang menarik adalah bahwa orang-orang yang menemukan semua ini dan sampai 
pada kesimpulan bahwa alam semesta tidak mungkin terbentuk tanpa sengaja adalah orang-
orang yang sama dengan yang mempertahankan filsafat materialisme. Ilmuwan seperti Paul 
Davies, Arno Penzias, Fred Hoyle, dan Roger Penrose bukanlah orang-orang yang taat 
beragama dan mereka tentu saja tidak bertujuan membuktikan keberadaan Allah ketika 
mereka melakukan pekerjaan mereka. Orang dapat membayangkan bahwa mereka 
mencapai kesimpulan tentang rancangan alam semesta karena kehendak Mahakuasa yang 
tidak mereka sadari. 
Ahli astronomi Amerika, George Greenstein, mengakui ini dalam bukunya The 
Symbiotic Universe: 


Bagaimana ini bisa terjadi (bahwa hukum-hukum fisika menyesuaikan diri dengan 
kehidupan)?... Setelah kami meninjau semua bukti, suatu pemikiran berkeras muncul bahwa 
suatu kekuatan supranatural—atau tepatnya, Keku-atan—pasti terlibat. Mungkinkah bahwa 
tiba-tiba, tanpa diniatkan, kami mendapatkan bukti ilmiah akan kehadiran Zat Mahaagung? 
Apakah itu Tuhan yang turun tangan dan berkenan menciptakan kosmos untuk keun-tungan 
kita?  
Sebagai seorang ateis, Greenstein mengabaikan kebenaran nyata; wa-laupun dia tidak 
bisa mencegah dirinya bertanya-tanya. Di lain pihak, ilmuwan lain yang tidak begitu 
berprasangka, langsung mengakui bahwa alam semesta pasti telah dirancang khusus untuk 
umat manusia agar hidup di dalamnya. Ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross mengakhiri 
artikelnya “Design and the Anthropic Principle” dengan kata-kata ini: 
Pencipta yang transenden dan cerdas pasti telah menciptakan alam semesta. Pencipta 
yang transenden dan cerdas pasti telah merancang alam semesta. Pencipta yang transenden 
dan cerdas pasti telah merancang planet bumi. Pencipta yang transenden dan cerdas pasti 
telah merancang kehidupan.28 
Jadi, ilmu pengetahuan membuktikan penciptaan. Tentu saja ada Allah dan Dia 
menciptakan segalanya di sekeliling kita, terlihat maupun tidak. Dia adalah Pencipta 
tunggal keseimbangan yang luar biasa men-cengangkan dan rancangan langit dan bumi. 
Telah sampai pada satu waktu bahwa sekarang materialisme tak lebih dari sistem 
kepercayaan takhyul, tidak ilmiah. Ahli genetik Amerika Robert Griffiths dengan bercanda 
menyatakan “Jika kita me-merlukan seorang ateis untuk berdebat, saya akan pergi ke 
jurusan filsafat. Jurusan fisika tidak berguna sedikit pun.”  
Sebagai ringkasan: Setiap hukum fisika dan setiap konstanta fisik dalam alam 
semesta telah secara spesifik dirancang untuk memungkin-kan manusia ada dan hidup. 
Dalam bukunya The Cosmic Blueprint, Davies menyatakan kebenaran ini di paragraf 
terakhir, “Kesan adanya Rancang-an sangat mendalam.” 
Tak diragukan lagi, rancangan alam semesta adalah bukti perwujud-an kekuatan 
Allah. Keseimbangan tepat dan semua manusia dan makhluk lainnya adalah bukti kekuatan 
agung Allah dan penciptaan. Hasil yang ditemukan oleh ilmu modern hanyalah pengerjaan 
ulang dari kebenaran yang telah diungkapkan empat belas abad lalu dalam Al Quran:  
 
“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan 
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam 
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, 
bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, 
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha-suci Allah Tuhan semesta 
alam.” (QS. Al A’raaf, 7:54) ! 
 

 
Paul Davies: "Bukti ini cukup kuat untuk mengakui keberadaan suatu desain kosmik 
yang sadar" 
 
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya 
Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 47) 

 
Ahli biologi molekuler, Michael Denton, membahas topik penting dalam bukunya, 
Nature's Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe. Menurut 
Denton alam semesta diciptakan dan dirancang khusus untuk memungkinkan kehidupan 
manusia. 
 
PROBABILITAS TERJADINYA ALAM SEMESTA YANG  
MEMUNGKINKAN KEHIDUPAN TERBENTUK 
 
Perhitungan ahli matematika Inggris, Roger Penrose, menunjukkan bahwa 
probabilitas bagi terbentuknya alam semesta yang kondusif untuk kehidupan secara 
kebetulan adalah 1 dalam 1010123. Frase “sangat mustahil” tidak cukup untuk 
menggambarkan peluang ini. 
10100000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
0000000000000000000 
 
Roger Penrose: Angka ini menunjukkan betapa tepatnya maksud Pencipta. 
 
 
 
 
Jika pemikiran paling cemerlang di dunia hanya dapat dengan susah payah 
menguraikan kerja alam yang misterius, bagaimana mungkin kerja alam itu hanya 
merupakan suatu kebetulan tanpa pemikiran, atau sebuah produk peristiwa acak? 
Paul Davies, profesor Fisika Teoretis  
 
Ilmuwan sepenuhnya sepakat bahwa, berdasarkan perhitungan, Dentuman Besar 
terjadi sekitar 17 ribu miliar yang lalu. Semua mate-ri yang membentuk alam semesta 
diciptakan dari ketiadaan, namun dengan rancangan luar biasa, seperti yang kita bicarakan 
pada dua bab pertama. Akan tetapi, alam semesta yang muncul dari Dentuman Besar bisa 
saja berbeda dengan alam semesta yang sudah terbentuk alam semesta kita. 
Misalnya, andaikan nilai keempat gaya dasar berbeda, alam semesta akan hanya 
terdiri dari radiasi dan menjadi jaringan cahaya tanpa bin-tang, galaksi, manusia, atau lain-
lainnya. Berkat keseimbangan sempurna ke-empat gaya ini , “atom-atom” bahan 
pembangun untuk apa yang disebut “materi” terbentuk.  
Para ilmuwan juga bersepakat bahwa dua unsur pertama yang paling sederhana—
hidrogen dan helium—mulai terbentuk dalam empat belas detik pertama setelah Dentuman 
Besar. Kedua unsur itu terbentuk seba-gai hasil reduksi/pengurangan dalam entropi alam 
semesta yang menye-babkan materi tersebar ke mana-mana. Dengan kata lain, pada 
awalnya alam semesta hanya sebuah kumpulan atom hidrogen dan helium. Jika tetap seperti 
itu, lagi-lagi tidak akan ada bintang, planet, batu, tanah, pohon, atau manusia. Alam semesta 
akan menjadi jagat raya tanpa kehidupan, yang terdiri hanya dari kedua unsur itu. 
Karbon, unsur dasar kehidupan, adalah unsur yang jauh lebih berat dibandingkan  hidrogen 
dan helium. Bagaimana unsur ini  terbentuk? 
Ketika mencari jawaban untuk pertanyaan itu, para ilmuwan ter-sandung pada sebuah 
penemuan paling mengejutkan di abad ini. 
 
 
Struktur Unsur-Unsur 
 
Kimia adalah ilmu alam yang mempelajari senyawa, struktur, dan sifat-sifat zat dan 
perubahan yang mereka alami. Dasar kimia modern adalah tabel periodik unsur. Pertama 
kali diperkenalkan oleh ahli kimia Rusia, Dmitry Ivanovich Mendeleyev, unsur-unsur dalam 
tabel periodik disusun menurut struktur atom mereka. Hidrogen menempati posisi pertama 
dalam tabel karena hidrogen adalah unsur paling sederhana, yang terdiri dari hanya satu 
proton dalam nukleus/intinya dan satu elek-tron yang mengitarinya. 

Proton adalah partikel subatomik yang membawa muatan listrik po-sitif dalam 
nukleus atom. Helium, dengan dua proton, menempati posisi kedua dalam tabel periodik. 
Karbon mempunyai enam proton dan oksi-gen mempunyai delapan proton. Semua unsur 
mengandung jumlah pro-ton berbeda-beda. 
Partikel lain yang ada  di dalam inti atom adalah neutron. Tidak seperti proton, 
neutron tidak membawa muatan listrik: dengan kata lain mereka bermuatan netral, sehingga 
diberi nama neutron. 
Partikel dasar ketiga yang membangun atom adalah elektron, yang bermuatan negatif. 
Dalam setiap atom, jumlah proton sama dengan jumlah elektron. Namun, tidak seperti 
proton dan neutron, elektron tidak berlokasi dalam nukleus. Alih-alih, mereka bergerak 
mengelilingi nukle-us dengan kecepatan tinggi sehingga muatan positif dan negatif atom 
tetap terpisah. 
Perbedaan dalam struktur atom (jumlah proton/elektron) adalah yang membuat unsur-
unsur berbeda satu sama lain. 
Aturan penting dalam kimia (klasik) adalah bahwa unsur-unsur tidak bisa berubah 
menjadi unsur lain. Mengubah besi (dengan 26 proton) menjadi perak (18 proton) akan 
mengharuskan penyingkiran delapan proton dari nukleus. Namun proton terikat jadi satu 
oleh gaya inti/nuklir yang kuat dan jumlah proton dalam nukleus hanya bisa diubah dengan 
reaksi nuklir. Tetapi reaksi yang terjadi pada kondisi bumi adalah reaksi kimia yang hanya 
bergantung pada pertukaran elektron dan tidak mempengaruhi nukleus. 
Pada Abad Pertengahan muncul “sains” yang disebut alkimia (alche-my)—cikal 
bakal kimia modern. Ahli alkimia, yang tidak mengetahui tabel periodik atau struktur atom 
unsur-unsur, mengira bahwa mengu-bah satu unsur menjadi unsur lain bisa saja dilakukan. 
(Tujuan yang pa-ling disukai, untuk alasan yang jelas, adalah mencoba mengubah besi 
menjadi emas.) Kita tahu sekarang bahwa yang dilakukan para ahli alki-mia tidak mungkin 
tercapai di bawah kondisi normal seperti kondisi di bumi: Suhu dan tekanan yang 
diperlukan agar perubahan seperti itu terja-di terlalu besar untuk dicapai di laboratorium 
bumi. Namun perubahan itu mungkin jika Anda punya tempat yang tepat untuk 
melakukannya. 
Dan tempat yang tepat, ternyata, di jantung bintang-bintang. 
 
 
Laboratorium Alkimia di Alam Semesta:  
Raksasa Merah 
 
Suhu yang diperlukan untuk melawan keengganan inti atom ber-ubah adalah 
mendekati 10 juta derajat Celsius. Inilah yang memicu  alkimia hanya mungkin terjadi 
di bintang. Dalam bintang berukuran sedang seperti Matahari, energi luar biasa banyaknya 
yang dipancarkan berasal dari hidrogen yang bergabung menjadi helium. 
Dengan mengingat ulasan singkat ilmu kimia unsur ini, mari kita kaji kembali efek 
yang terjadi sesaat setelah Dentuman Besar. Telah disebut-kan bahwa hanya atom hidrogen 
dan helium yang ada di alam semesta setelah Dentuman Besar. Para ahli astronomi percaya 
bahwa bintang seje-nis matahari terbentuk dari nebula (awan kosmis) yang terdiri dari 
hidro-gen dan helium yang dimampatkan sampai reaksi termonuklir hidrogen-menjadi-
helium terjadi. Jadi, sekarang kita memiliki bintang-bintang. Namun alam semesta masih 
tanpa kehidupan. Untuk kehidupan, unsur yang lebih berat—khususnya, oksigen dan 
karbon—diperlukan. Diper-lukan proses lain untuk mengubah hidrogen dan helium menjadi 
unsur lain lagi. 
“Pabrik pengolahan” unsur-unsur berat ini ternyata adalah raksasa-raksasa merah 
jenis bintang yang lima puluh kali lebih besar dibandingkan  matahari. 
Raksasa merah jauh lebih panas dibandingkan  bintang jenis matahari dan sifat ini 
menjadikan mereka berkemampuan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan bintang 
lain: mengubah helium menjadi karbon. Bahkan, ini juga tidak mudah bagi raksasa merah. 
Seperti diungkapkan oleh ahli astronomi Greenstein: “Bahkan sekarang, setelah jawaban 
(se-perti untuk pertanyaan bagaimana mereka melakukannya) diketahui, metode yang 
diperlukan begitu mencengangkan.” 
Nomor atom helium adalah 2: yaitu memiliki dua proton dalam inti-nya. Nomor atom 
karbon adalah 6. Dalam suhu yang begitu tinggi pada raksasa merah, tiga atom helium 
bergabung menjadi atom karbon. Inilah “alkimia” yang menyediakan unsur lebih berat bagi 
alam semesta setelah Dentuman Besar. 
Namun seperti kami sebutkan, ini tidaklah mudah. Hampir tidak mungkin untuk 
menggabungkan dua atom helium, dan sangat tidak mungkin menggabungkan tiga atom. 
Lantas, bagaimana enam proton yang diperlukan karbon dapat bergabung? 
Ini adalah proses dua langkah. Pertama, dua atom helium berfusi menjadi unsur 
antara yang memiliki empat proton dan empat neutron. Selanjutnya, helium ketiga berfusi 
dengan unsur antara ini untuk mem-bentuk karbon dengan enam proton dan enam neutron. 
Unsur antara ini  adalah berilium. Berilium biasa ditemukan di bumi, namun 
berilium yang ada di raksasa merah berbeda dalam hal yang sangat penting: terdiri dari 
empat proton dan empat neutron, sementara berilium di bumi memiliki lima neutron. 
“Berilium raksasa-merah” merupakan jenis yang berbeda. Inilah yang disebut “isotop” 
dalam ilmu kimia. 
Sekarang muncullah kejutan sesungguhnya. Isotop ini  rupa-nya sama sekali 
tidak stabil. Para ilmuwan telah meneliti isotop ini bertahun-tahun dan mendapati bahwa 
setelah terbentuk, isotop ini akan meluruh dalam waktu 0,000000000000001 (satu per-juta-
miliar) detik. 
Bagaimana isotop berilium yang begitu tidak stabil, yang terbentuk dan meluruh 
dalam waktu sangat singkat, mampu bergabung dengan helium menjadi atom karbon? Ini 
seperti meletakkan batu bata ketiga di atas dua lainnya yang akan berpencar dalam waktu 
satu per-juta-miliar detik jika mereka sempat saling bertumpuk dalam susunan tertentu. 
Bagaimana proses ini berlangsung di raksasa merah? Para ahli fisika telah berusaha 
memecahkan teka-teki ini selama beberapa dekade tanpa jawab-an. Ahli astrofisika 
Amerika, Edwin Salpeter, akhirnya menemu-kan petunjuk untuk misteri ini dalam konsep 
“resonansi atomik”. 
 
 
Resonansi dan Resonansi Ganda 
 

Resonansi didefinisikan sebagai frekuensi (getaran) selaras dari dua materi yang 
berbeda. 
Contoh sederhana dari pengalaman sehari-hari akan menjelaskan apa yang disebut 
para ahli fisika sebagai “resonansi atomik”. Bayangkan, Anda bermain ayunan bersama 
anak Anda di taman bermain. Si kecil duduk di atas ayunan dan Anda mendorongnya untuk 
memulai ayunan. Untuk menjaga ayunan terus mengayun, Anda harus mendorongnya dari 
belakang. Namun, waktu memberikan dorongan ini sangat penting. Se-tiap kali ayunan 
mendekat, Anda harus memberikan dorongan tepat pada waktunya: ketika ayunan berada 
pada titik tertinggi dari gerakan-nya menuju Anda. Jika Anda mendorong terlalu awal, 
hasilnya adalah tabrakan yang mengganggu irama ayunan; jika Anda terlambat mendo-rong, 
usaha ini  akan sia-sia karena ayunan telah bergerak menjauh. Dengan kata lain, 
frekuensi dorongan harus selaras dengan frekuensi ayunan menuju Anda. 
Para ahli fisika menyebut “keselarasan frekuensi” seperti itu sebagai “resonansi”. 
Ayunan memiliki frekuensi: misalnya mendekati Anda setiap 1,7 detik. Anda mendorong 
ayunan setiap 1,7 detik juga. Tentu saja jika Anda menghendaki, Anda dapat mengubah 
frekuensi gerakan ayunan, namun jika demikian, Anda harus mengubah frekuensi dorongan 
juga, jika tidak, ayunan tidak akan berayun dengan nyaman.33 
Seperti halnya dua benda atau lebih yang bergerak dapat beresonan-si, resonansi juga 
dapat terjadi ketika satu benda bergerak memicu  gerakan pada benda lain. Resonansi 
jenis ini sering terlihat pada alat musik dan disebut “resonansi akustik”. Ini dapat terjadi, 
misalnya, di antara dua biola yang telah disetel selaras. Jika salah satu dari biola ini 
dimainkan di dalam satu ruangan dengan biola yang lain, senar biola kedua akan bergetar 
walaupun tidak ada seorang pun yang menyen-tuhnya. Karena kedua alat musik telah 
disesuaikan dengan teliti sampai pada frekuensi yang sama, getaran pada satu biola 
memicu  getaran pada biola yang lain. 34 
Resonansi dalam kedua contoh di atas adalah bentuk resonansi yang sederhana dan 
mudah untuk dipahami. Ada bentuk resonansi lain dalam ilmu fisika yang tidak sederhana, 
dan dalam kasus inti atom, resonansi dapat begitu rumit dan peka. 
Setiap inti atom memiliki tingkat energi alamiah yang telah berhasil diketahui setelah 
penelitian panjang para ahli fisika. Tingkat energi ini sangat berbeda antara satu atom dan 
atom yang lain, namun dalam beberapa kejadian yang sangat jarang dapat di-amati adanya 
resonansi di antara bebe-rapa inti atom. Ketika resonansi ini  terjadi, gerakan inti atom 
saling selaras seperti halnya pada contoh ayunan dan biola. Hal yang penting dari kejadian 
ini adalah resonansi mendorong reaksi nuklir yang mempengaruhi inti atom.  
Ketika menyelidiki bagaimana kar-bon dibuat oleh raksasa merah, Edwin Salpeter 
menyarankan adanya resonansi antara inti atom helium dan berilium yang mendorong 
reaksi ini . Reso-nansi ini, menurutnya, membuat atom-atom helium lebih mudah 
berfusi menja-di berilium, dan ini memicu  reaksi di raksasa merah. Namun, penelitian 
se-lanjutnya gagal untuk mendukung gagasan ini.
Fred Hoyle adalah ahli astronomi kedua yang menjawab pertanyaan ini. Hoyle 
mengembangkan gagasan Salpeter lebih lanjut, dengan memper-kenalkan gagasan 
“resonansi ganda”. Hoyle menyebutkan harus ada  dua resonansi: satu yang 
memicu  dua helium berfusi menjadi berilium, dan satu lagi memicu  helium 
ketiga bergabung dengan formasi yang tidak stabil ini. Tak seorang pun percaya kepada 
Hoyle. Gagasan resonansi selaras yang terjadi sekali saja sudah sulit untuk diterima; apalagi 
resonansi ini  terjadi dua kali, sama sekali tidak terpikirkan. Hoyle menekuni 
penelitiannya selama ber-tahun-tahun, dan pada akhirnya dia membuktikan bahwa 
gagasannya benar: Sungguh-sungguh terjadi resonansi ganda pada raksasa merah. Tepat 
pada saat dua atom helium beresonansi untuk bergabung, atom berilium muncul dalam satu 
per-juta-miliar detik yang diperlukan untuk menghasilkan karbon. George Greenstein 
menjelaskan mengapa resonansi ganda meru-pakan mekanisme yang luar biasa: 
ada  tiga struktur yang sama sekali terpisah dalam cerita ini—helium, berilium 
dan karbon—dan dua resonansi yang sama sekali terpisah. Sulit untuk melihat mengapa 
inti-inti atom ini harus bekerja sama dengan mu-lus... Reaktor nuklir lain tidak berlangsung 
dengan serangkaian kebetulan yang luar biasa... Ini seperti menemukan resonansi yang 
dalam dan rumit antara mobil, sepeda, dan truk. Mengapa struktur yang sama sekali berbeda 
dapat bersatu dengan begitu sempurna? Keberadaan kita, dan seluruh ben-tuk kehidupan di 
alam semesta, bergantung pada proses ini.  
Pada tahun-tahun berikutnya, ditemukan bahwa unsur lain seperti oksigen juga 
terbentuk dari resonansi yang begitu mengagumkan. Temu-an penganut materialis tulen 
Fred Hoyle atas “transaksi luar biasa” ini memaksanya untuk mengakui dalam bukunya 
Galaxies, Nuclei and Quasar, bahwa resonansi ganda seperti itu pastilah hasil rancangan dan 
bukan kebetulan. Dalam makalah lain, dia menulis: 
Jika Anda ingin menghasilkan karbon dan oksigen dalam jumlah yang hampir sama 
dengan cara sintesis-inti bintang, ini adalah dua tingkat yang harus Anda tetapkan, dan 
penetapan Anda harus tepat pada tingkat di mana tingkat ini ditemukan.... Penafsiran yang 
masuk akal atas fakta ini menyarankan bahwa kecerdasan super telah mempermalukan para 
ahli fisi-ka, juga ahli kimia dan biologi, dan bahwa tidak ada kekuatan buta yang layak 
disebutkan di alam. Angka yang dihitung dari fakta itu begitu menyesakkan saya sehingga 
hampir tidak mungkin mengeluarkan kesimpulan ini.  
Hoyle menyatakan bahwa kesimpulan yang tak terpungkiri dari kebenaran nyata ini 
jangan sampai diabaikan oleh ilmuwan lain. 
Saya tidak percaya ilmuwan yang mempelajari kenyataan ini akan gagal menarik 
kesimpulan bahwa hukum fisika nuklir telah dirancang dengan sengaja dengan 
memperhatikan konsekuensi-konsekuensi yang mereka hasilkan di dalam bintang. 
Kebenaran nyata ini telah disebutkan dalam Al Quran 1400 tahun yang lalu. Allah 
menunjukkan keserasian dalam penciptaan langit dalam ayat: 
 
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan langit 
bertingkat-tingkat?” (QS. Nuh, 71: 15) ! 
 
 
Laboratorium Alkimia yang Lebih Kecil: Matahari 


Perubahan helium menjadi karbon yang telah dijelaskan merupakan alkimia raksasa 
merah. Di dalam bintang yang lebih kecil seperti matahari kita, bentuk alkimia yang lebih 
sederhana terjadi. Matahari mengubah hidrogen menjadi helium dan reaksi ini merupakan 
sumber energinya. 
Reaksi ini tidak kurang penting bagi keberadaan kita dibandingkan dengan reaksi di 
raksasa merah. Lebih lanjut, reaksi nuklir di matahari juga merupakan proses yang 
dirancang, seperti halnya di raksasa merah. 
Hidrogen, unsur masukan reaksi ini, adalah unsur paling sederhana di alam semesta 
dengan hanya memiliki proton tunggal dalam intinya. Inti helium memiliki dua proton dan 
dua neutron. Proses yang terjadi di matahari adalah penggabungan empat atom hidrogen 
menjadi satu atom helium. 
Sejumlah besar energi dilepaskan dari proses ini. Hampir semua energi panas dan 
cahaya yang mencapai bumi merupakan hasil dari reaksi nuklir matahari ini. 
Seperti reaksi yang terjadi di raksasa merah, reaksi nuklir matahari ternyata 
melibatkan sejumlah aspek yang mengejutkan yang tanpanya re-aksi ini  tidak akan 
berjalan. Anda tidak dapat begitu saja mencam-pur empat atom hidrogen menjadi sebuah 
atom helium. Agar hal ini terjadi, diperlukan proses dua tahap, seperti yang terjadi di 
raksasa me-rah. Pada langkah pertama, dua atom hidrogen bergabung membentuk inti 
antara yang disebut deuteron terdiri dari sebuah proton dan sebuah neutron. 
Gaya apa yang cukup besar untuk menghasilkan deuteron dengan mencampurkan dua 
inti bersama? Gaya ini disebut “gaya nuklir kuat”, salah satu dari empat gaya dasar alam 
semesta yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Ini adalah gaya fisik yang paling kuat 
di seluruh alam semesta dan besarnya bermiliar-miliar-miliar-miliar kali lebih besar 
dibandingkan  gaya gravitasi. Hanya gaya ini, bukan lainnya, yang mampu menyatukan dua inti 
seperti ini. 
Sekarang, hal paling aneh dari peristiwa ini adalah penelitian telah menunjukkan 
bahwa, sebegitu kuatnya gaya nuklir kuat ini, namun ha-nya cukup kuat untuk melakukan 
tepat apa yang selama ini telah dila-kukannya. Jika hanya sedikit lebih lemah, maka gaya ini 
tidak mampu menyatukan dua inti. Sebaliknya, dua proton yang saling berdekatan akan 
segera saling menjauh, dan reaksi di matahari akan berhenti sebe-lum dimulai. Dengan kata 
lain, matahari tidak akan ada sebagai bintang yang memancarkan energi. Tentang hal ini, 
Greenstein menyatakan “An-dai saja gaya nuklir kuat sedikit lebih lemah, cahaya bagi 
dunia tidak akan pernah menyala.” 40 
Bagaimana jika sebaliknya, gaya nuklir kuat sedikit lebih kuat? Un-tuk menjawabnya, 
mula-mula kita harus mempelajari proses perubahan dua inti hidrogen menjadi inti deuteron 
dengan lebih terperinci. Pertama, salah satu proton membuang muatannya untuk menjadi 
neutron. Neu-tron ini bergabung dengan proton menjadi deuteron. Gaya yang menye-
babkan penyatuan ini disebut “gaya nuklir kuat”; gaya yang mengubah proton menjadi 
neutron adalah gaya yang berbeda yang disebut “gaya nuklir lemah”. Tetapi lemah hanya 
dalam perbandingan, dan memer-lukan sepuluh menit untuk melakukan pengubahan. Pada 
tingkat atom, ini adalah waktu yang begitu lama dan berakibat memperlambat laju reaksi di 
matahari. 
Mari kita kembali ke pertanyaan kita: Apa yang akan terjadi jika gaya nuklir kuat 
sedikit lebih kuat? Jawabannya adalah reaksi di matahari akan jauh berubah sebab gaya 
nuklir lemah akan lenyap dari reaksi. 


Jika gaya nuklir kuat lebih kuat dari yang ada, ini akan mampu meng-gabungkan dua 
proton seketika tanpa menunggu sepuluh menit yang diperlukan bagi proton untuk berubah 
menjadi neutron. Hasilnya akan terbentuk sebuah inti dengan dua proton bukannya deuteron. 
Ilmuwan menyebut inti seperti itu sebagai diproton. Sejauh ini, diproton adalah unsur 
teoretis sebab belum pernah teramati terjadi secara alamiah. Namun jika gaya nuklir kuat 
lebih kuat dibandingkan  sesungguhnya, maka akan terbentuk diproton nyata di matahari. Lantas 
apa? Dengan meng-hilangkan perubahan proton menjadi neutron, kita akan menghilangkan 
“penyumbatan” yang menjaga “mesin” matahari bekerja selambat seka-rang. George 
Greenstein menjelaskan apa yang akan terjadi: 
Matahari akan berubah, sebab tahap pertama dalam pembentukan helium bukan lagi 
pembentukan deuteron. Ini akan menjadi pembentukan di-proton. Dan reaksi ini sama sekali 
tidak memerlukan pengubahan proton menjadi neutron. Peran gaya nuklir lemah akan 
berakhir, dan hanya gaya nuklir kuat yang terlibat... dan sebagai hasilnya, bahan bakar 
matahari tiba-tiba akan menjadi sangat ampuh. Matahari dalam keadaan ini akan begitu kuat, 
begitu reaktif sehingga matahari dan setiap bintang yang lain akan meledak seketika. 41 
Ledakan matahari akan memicu  dunia dan isinya terbakar, membuat planet biru 
kita beserta isinya hangus dalam beberapa detik. Disebabkan gaya nuklir kuat yang telah 
disesuaikan dengan tepat untuk tidak lebih kuat atau lebih lemah, laju reaksi nuklir matahari 
melambat dan matahari mampu memancarkan energi untuk bermiliar-miliar tahun. 
Penyesuaian yang teliti ini memungkinkan manusia untuk hidup. Jika ada  sedikit saja 
penyimpangan dalam pengaturan ini, bintang-bintang (termasuk matahari) tidak akan 
terbentuk, kalaupun terbentuk akan segera meledak. 
Dengan kata lain, struktur matahari bukanlah kebetulan atau ketidaksengajaan. 
Sungguh kebalikannya: Matahari telah diciptakan bagi kehidupan manusia, sebagaimana 
dinyatakan dalam ayat:  
 
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahmaan, 55: 
5) ! 
 
 
Proton dan Elektron 
 
Sejauh ini kita telah mengkaji hal-hal yang terkait dengan gaya yang mempengaruhi 
inti atom. ada  keseimbangan lain dalam atom yang harus diperhatikan: keseimbangan 
antara inti dan elektron. 
Dalam bahasa paling sederhana, elektron mengitari inti. Penyebab-nya adalah muatan 
listrik. Elektron memiliki muatan negatif dan proton memiliki muatan positif. Muatan yang 
berlawanan saling tarik, sehingga elektron sebuah atom akan tertarik ke inti. Namun 
elektron juga berputar dengan kecepatan sangat tinggi yang dalam keadaan normal akan 
melontarkannya dari inti atom. Dua gaya ini (saling tarik dan daya lontar) seimbang 
sehingga elektron bergerak pada orbit mengitari inti. 


Atom juga seimbang dalam hal muatan listrik: Jumlah elektron yang mengorbit sama 
dengan jumlah proton dalam inti (misalnya, oksigen memiliki delapan proton dan delapan 
elektron.). Dengan cara ini gaya listrik dalam atom seimbang, dan dari sisi listrik, atom 
bermuatan netral. 
Sejauh ini, begitu banyak perihal kimia dasar. Namun ada  satu hal dalam struktur 
yang kelihatan sederhana ini yang diabaikan banyak orang. Proton jauh lebih besar dibandingkan  
elektron dari sisi ukuran dan berat. Seandainya elektron adalah biji kacang, maka proton 
akan sebesar manusia. Secara fisik mereka jauh berbeda. 
Namun muatan listrik mereka besarnya sama! 
Meskipun muatan mereka (elektron negatif, proton positif) berla-wanan, besarnya 
sama. Tidak ada alasan jelas kenapa hal ini terjadi. Lebih meyakinkan (dan “masuk akal”) 
jika sebuah elektron memiliki muatan yang jauh lebih kecil. 
Jika hal ini benar, apa yang akan terjadi selanjutnya? 
Apa yang akan terjadi adalah setiap atom dalam alam semesta akan bermuatan positif 
bukannya netral. Dan karena muatan yang sama saling tolak, setiap atom di alam semesta 
akan mencoba dan menolak setiap atom yang lain. Alam seperti yang kita ketahui tidak 
akan ada. 
Apa yang akan terjadi jika hal itu tiba-tiba terjadi sekarang? Apa yang akan terjadi 
jika setiap atom mulai saling tolak? 
Hal yang sangat luar biasa akan terjadi. Mari kita mulai dari per-ubahan tubuh kita 
sendiri. Begitu hal ini terjadi, tangan dan lengan yang memegang buku ini akan seketika 
berantakan. Dan tidak hanya tangan, melainkan juga kaki, mata, gigi, dan setiap bagian 
tubuh akan meledak dalam kurang dari satu detik. 
Ruangan tempat Anda duduk dan dunia sekitar akan meledak dalam sesaat. Seluruh 
lautan, gunung, planet dalam tata surya, bintang serta galaksi di alam semesta akan 
berantakan menjadi debu atom. Dan tidak akan ada sesuatu pun di alam semesta yang dapat 
diamati. Alam semesta akan menjadi sekumpulan atom tak beraturan yang saling tolak. 
Seberapa besar perbedaan muatan listrik antara proton dan elektron untuk menjadikan 
hal mengerikan ini  terjadi? Satu persen? Seper-sepuluh persen? George Greenstein 
menjawab pertanyaan ini dalam buku The Symbiotic Universe: 
Benda kecil seperti batu, manusia, dan sebagainya akan terbang berantakan jika 
kedua muatan berbeda sekecil satu bagian dalam 100 miliar. Struktur lebih besar seperti 
bumi dan matahari memerlukan keseimbangan yang lebih sempurna untuk keberadaan 
mereka sampai satu bagian dari semiliar-miliar.   
Ini adalah keseimbangan lain yang dengan tepat disesuaikan, yang membuktikan 
bahwa alam semesta dengan sengaja dirancang dan dicip-takan untuk tujuan tertentu. 
Seperti diungkapkan John D. Barrow dan Frank J. Tipler dalam buku “The Anthropic 
Cosmological Principle”, “terda-pat rancangan besar dalam alam semesta yang 
memungkinkan per-kembangan makhluk hidup berkecerdasan”.  
Tentu saja setiap rancangan membuktikan keberadaan “perancang” dengan kesadaran. 
Dialah Allah, “Penguasa seluruh alam”, dijelaskan dalam Al Quran sebagai satu-satunya 
Kekuatan yang menciptakan alam semesta dari kehampaan, merancang, dan membentuknya 
atas kehen-dak-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:  

“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah 
membinanya. Dia meninggikan bangunannya lalu me-nyempurnakannya.” (QS. An-
Naazi’aat, 79: 27-28) ! 
Berkat keseimbangan luar biasa yang kita pelajari dalam bab ini, materi mampu 
bertahan dengan stabil, dan kestabilan ini merupakan bukti kesempurnaan ciptaan Allah 
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:  
 
“Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya 
hanya kepada-Nya tunduk.” (QS. Ar-Rum, 30: 26) 
Raksasa merah adalah bintang-bintangyang sangat besar, sekitar lima puluh kali lebih 
besar dibandingkan  matahari. Jauh di tengah raksasa-raksasa ini berlangsung proses yang luar 
biasa. 
 
Fred Hoyle adalah orang pertama yang menemukan keseimbangan luar biasa pada 
reaksi nuklir yang terjadi di raksasa merah. Meskipun ateis, Hoyle mengakui bahwa 
keseimbangan ini tidak dapat dijelaskan sebagai kebetulan dan merupakan sebuah 
pengaturan yang disengaja. 
 
Matahari adalah reaktor nuklir raksasa yang terus-menerus mengubah atom hidrogen 
menjadi atom helium dan menghasilkan panas dari proses ini . Namun yang penting 
untuk proses ini adalah ketepatan luar biasa yang membuat reaksi-reaksi ini seimbang di 
dalam matahari. Perubahan sedikit saja pada salah satu gaya yang mengatur reaksi ini akan 
memicu  kegagalan reaksi atau ledakan berkelanjutan yang menghancurkan. 
 
 
REAKSI KRITIS DI MATAHARI 
 
1. Atas: Empat atom hidrogen di matahari bergabung menjadi sebuah atom 
helium. 
2. Bawah: Ini adalah proses dengan dua langkah. Mula-mula dua atom hidrogen 
berfusi mem-bentuk sebuah deuteron. Perubahan ini sangat pelan dan yang membuat 
matahari terbakar terus-menerus. 
 
Jika gaya nuklir sedikit lebih kuat, sebuah di-proton akan terbentuk bukannya sebuah 
deuteron. Tetapi, reaksi seperti itu tidak dapat dipertahankan untuk waktu lama: Ledakan 
berkelanjutan yang menghancurkan akan terjadi hanya dalam beberapa detik. 
 
Baik massa maupun volume sebuah proton jauh lebih besar dibandingkan  elektron, namun 
anehnya, kedua partikel ini memiliki muatan listrik yang besarnya sama (meskipun 
berlawanan). Karena kenyataan ini, atom bermuatan listrik netral. 
 

 
....Sesuatu yang lain pasti berada di belakang segalanya, mengarahkan. Dan itu, bisa 
disebut, semacam bukti matematika atas ketuhanan. 
Guy Murchie, Penulis Sains dari Amerika
 
Pada malam tanggal 4 Juli 1054, para ahli astronomi Cina menyak-sikan kejadian 
luar biasa: Sebuah bintang yang sangat terang muncul secara tiba-tiba di sekitar gugusan 
Taurus. Begitu terang sehingga dapat disaksikan bahkan pada siang hari. Pada malam hari, 
bintang ini  lebih terang dibandingkan  bulan. 
Apa yang diamati para ahli astronomi Cina adalah salah satu fenome-na astronomis 
yang paling menarik dan bencana paling besar di alam se-mesta. Itulah supernova. 
Supernova adalah sebuah bintang yang hancur oleh ledakan. Sebuah bintang raksasa 
menghancurkan diri dalam ledakan dahsyat, dan materi intinya bertebaran ke seluruh 
penjuru. Cahaya yang dihasilkan dalam peristiwa ini ribuan kali lebih terang dibandingkan  
keadaan normal. 
Para ilmuwan masa kini menganggap bahwa supernova memainkan peran penting 
dalam penciptaan alam semesta. Ledakan ini menyebab-kan unsur-unsur berbeda berpindah 
ke bagian lain alam semesta. Diasumsikan bahwa materi yang dilontarkan ledakan ini 
kemudian ber-gabung untuk membentuk galaksi atau bintang baru di bagian lain alam 
semesta. Menurut hipotesis ini, tata surya kita, matahari dan planetnya termasuk bumi, 
merupakan produk supernova yang terjadi dahulu kala. 
Meskipun supernova tampak seperti ledakan biasa, pada kenyataan-nya sangat 
terstruktur dalam setiap detailnya. Dalam Nature's Destiny, Michael Denton menulis: 
Jarak antarsupernova dan bahkan antar semua bintang sangat penting untuk alasan 
yang lain. Jarak antarbintang dalam galaksi kita adalah sekitar 30 juta tahun cahaya. Jika 
jarak ini lebih dekat, orbit planet-planet akan tidak stabil. Jika lebih jauh, maka debu hasil 
supernova akan tersebar begitu acak sehingga sistem planet seperti tata surya kita tidak 
mungkin pernah terben-tuk. Jika alam semesta menjadi rumah bagi kehidupan, maka 
kedipan super-nova harus terjadi pada laju yang sangat tepat dan jarak rata-rata di antara-
nya, dan bahkan antarseluruh bintang, harus sangat dekat dengan jarak yang teramati 
sekarang.  
Perbandingan antara supernova dan jarak antarbintang hanyalah dua detail lain yang 
sangat selaras pada alam semesta yang penuh keaja-iban. Mengamati lebih teliti alam 
semesta, pengaturan yang kita lihat be-gitu indah, baik dalam perancangan maupun susunan. 
 
 
Mengapa Begitu Banyak Ruang Kosong? 
 

Marilah kita rangkum apa ya