zarathustra 2

Tampilkan postingan dengan label zarathustra 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zarathustra 2. Tampilkan semua postingan

zarathustra 2


agar hiburan ini tidak menyakitkan mereka.
Tidak seorang pun menjadi kaya atau miskin lagi: keduanya beban sangat 
berat. Siapa yang ingin untuk tetap mengatur? Siapa ingin untuk tetap patuh? 
Keduanya adalah beban yang sangat berat.
Tidak ada penggembala, dan satu gembalaan. Setiap orangnya 
menginginkan sesuatu yang sama, setiap orangnya setara: sesiapa yang punya 
pemikiran yang lain a musti dengan ikhlas pergi ke rumah sakit gila.
„Dahulu seluruh dunia ini gila‟ berkata manusia tercerdas dari mereka dan 
mengejap-ngejapkan matanya.
Mereka pandai dan tahu segala apa-apa yang pernah terjadi: maka tidak 
habis-habisnya cemoohan mereka. Mereka tetap saja berselisih, namun  segera rujuk 
– jika tidak demikian salah cerna bisa terjadi.
Mereka punya kenikmatan kecil bagi pagi hari dan kenikmatan kecil bagi 
malam hari: namun  mereka sangat menghargai kesehatan.
„Kami telah menemukan kebahagiaan, kata Manusia Moderen dan 
mengejap-ngejapkan matanya.
Dan disini selsailah diskursus pertamanya Zarathustra, yang juga dinamakan 
“prolog”: sebab  sekarang teriakan dan tawa rakyat mengganggunya. „Berikan 
kami Manusia Moderen, O Zarathustra – teriak mereka – „jadikanlah kami 
Manusia Moderen! Lalu kami akan menghadiahkan kau sang Superman!” Dan 
semua rakyat ramai berteriak dan tertawa. namun  Zarathustra menjadi sedih dan 
berkata pada hatinya:
„Mereka tidak mengerti aku: aku bukanlah mulut ke telinga-telinga mereka.
Mungkin aku hidup terlalu lama di gunung-gunung, kebanyakan 
mendengarkan pepohonan dan gemercik aliran air: sekarang aku berseru pada 
mereka bagai ke para penggembala.
Teguh adalah jiwaku dan benderang laksana gunung-gemunung di pagi kala. 
namun  mereka pikir aku ini dingin dan pencemooh dengan ejekan menakutkan.
Dan sekarang mereka memandangku dan tertawa: dan seraya mereka 
tertawa, mereka pun membenciku. Ada es dalam tawa mereka.‟
 
namun  lalu terjadi sesuatu yang membisukan setiap mulut dan memancangkan 
setiap mata. Sementara itu, tentu saja, si akrobat peniti tali ini mulai dengan 
pertunjukannya: ia muncul dari pintu kecil dan melintasi tali yang direntangkan di 
antara dua menara sedemikan rupa tergantung di atas rakyat dan alun-alun pasar. 
Sesaat  ia sampai di tengah perjalanannya, pintu kecil terbuka sekali lagi dan 
seorang berbaju aneka warna berkilauan serupa badut muncul keluar dan 
mengikutinya dengan langkah cepat. „Maju, kau kaki pengkor! teriakannya 
menakutkan, „maju pemalas, pengganggu, muka pucat! Biarkan aku gelitiki kau 
dengan tumitku! Apa yang kau kerjakan di antara dua menara ini? Didalam 
menara adalah termpat kau, kau musti dikurung; kau menghalangi jalannya 
manusia yang lebih baik dibandingkan  kau!‟ Dan dengan setiap kata-katanya ia
bertambah dekat dengannya: namun  saat  ia hanya selangkah di belakangnya, 
terjadilah sesuatu yang menakutkan yang membisukan setiap mulut dan 
memancangkan setiap mata: ia meneriakan lolongan seperti setan dan melompat
lampaui ia yang ada di jalannya. namun  tatkala ia melihat saingannya berjaya, ia 
bingung dan lupa akan tali; ia lemparkan jauh tongkat pengimbangnya dan jatuh, 
lebih cepat dibandingkan  tongkat pengimbangnya, serupa titiran kaki dan lengan. 
Alun-alun pasar dan rakyat banyak bak samudera dilanda badai: mereka berlarian 
kesana kemari tidak keruan, khususnya di mana badanitu akan jatuh.
namun  Zarathustra tetap tenang dan badan itu jatuh di dekatnya, patah dan 
terluka parah namun  belum lagi mati. Tidak begitu lama sadar kembali manusia 
yang malang ini, dan melihat Zarathustra sedang berlutut di sisinya. „Sedang apa 
kau disini?‟ katanya kemudian. „Aku telah mengetahui sedari dahulu bahwa Setan 
akan menjegalku. Sekarang ia mau menyeretku pula ke Neraka: maukah kau 
mencegahnya?‟
„Dengan segala hormatku, temanku,‟ jawab Zarathustra, „semua yang kau 
katakan tadi itu tidaklah ada: tidak ada Setan tidak ada Neraka. Jiwa kau akan 
mati bahkan sebelum badan kau: maka itu janganlah takut lagi!‟
Orang ini melihat ke atas dengan rasa tidak percaya. „Jika kau telah berseru 
kebenaran‟, katanya, „aku tidak kehilangan apa-apa tatkala aku kehilangan hidup 
ini. Aku tidak lebih dibandingkan  binatang yang dilatih untuk menari oleh lecut 
pukulan dan  kelaparan.‟
„Itu tidaklah demikian,‟ kata Zarathustra „kau membuat bahaya sebagai 
profesi kau, maka tidak ada yang pantas untuk dicela sebab  ini. Sekarang kau 
punah melalui profesi kau: lalu aku akan kubur kau dengan tanganku sendiri.‟
saat  Zarathustra berkata demikian orang yang sekarat ini tidak menjawab
apa-apa; namun  ia menggerakan lengannya seolah-olah ingin untuk menjamah 
lengan Zarathustra untuk berterima kasih kepadanya.
 
Sementara itu, senja pun tiba, dan alun-alun pasar terselubung kelam: lalu rakyat 
berpencaran, bahkan rasa keingintahuan dan teror pun menjadi letih. namun  
Zarathustra duduk di geladak di sisi orang mati ini dan tenggelam dalam
pikirannya: maka ia lupa akan waktu. namun  waktu berjalan menjadi malam, 
angin dingin bertiup ke sosok sunyi. Lalu Zarathustra berdiri dan berkata ke 
hatinya:
Sungguh, Zarathustra menangkap sesuatu yang baik hari ini! Ia bukan 
menangkap manusia, namun  mayat.
Suram kehidupannya manusia, dan hingga sekarang tetap tanpa punya 
makna: badut bisa celaka sebab nya.
Aku ingin mengajarkan para manusia, makna dari eksistensi mereka: 
yangmana adalah sang Superman, sang kilat dari segala mendung hitam manusia.
namun  aku masih tetap jauh dari mereka, dan pikiranku belum berseru ke 
pikiran-pikiran mereka. Bagi para manusia, aku ini adalah campuran antara 
manusia bodoh dan mayat.
Kelam adalah malam, gelap adalah jalan-jalan Zarathustra. Marilah,
temanku yang dingin dan kaku! Aku akan bawa kau ke tempat di mana aku akan 
kubur kau dengan kedua tanganku.
 
saat  Zarathustra berkata demikian ke hatinya ia angkat mayat ini ke atas 
bahunya dan mulai berjalan. Belum lagi seratus langkah ia berjalan seorang 
manusia diam-diam mendekatinya berbisik ke telinganya – dan perhatikan! Ia 
adalah badud menara itu yang berbisik padanya. „Pergilah dari kota ini, O 
Zarathustra,‟ katanya. „Banyak manusia yang membenci kau di sini. Si baik dan si 
adil membenci kau, dan menyebut kau musuh dan pembenci mereka; the true 
believer membenci kau, mereka menyebut kau yang membahayakan rakyat. 
Untung bagi kau bahwa mereka hanya menertawakan kau: dan sungguh kau telah 
berseru serupa badud. Untung bagi kau bahwa kau berteman dengan anjing mati; 
dengan merendahkan diri kau telah menolong diri kau hari ini. namun  
tinggalkanlah kota ini – atau esok aku akan melompati kau, manusia hidup 
melompati manusia mati.‟ Setelah ia berkata demikian, badut itu pun menghilang; 
Zarathustra, namun, terus berjalan melalui jalan-jalan yang gelap.
Di pintu gerbang kota, para penggali lubang kubur bertemu dengannya: 
mereka sinarkan suluh mereka ke hadapan mukanya, mengenali Zarathustra dan 
menertawakannya. „Zarathustra bawa anjing mati: alangkah mulianya Zarathustra 
telah menjadi penggali lubang kubur! sebab  tangan kita terlalu bersih bagi 
daging panggang ini. Apakah Zarathustra mau menyamun sepotong daging dari 
Setan? Ayolah, semoga berhasil! Selamat makan malam! namun  jika Setan itu 
pencuri yang lebih lihay dibandingkan  Zarathustra – ia akan curi keduanya, ia akan 
makan keduanya!‟ Dan mereka lalu tertawa bersama, dan berembukan.
Zarathustra tidak menjawab apa-apa, namun  pergi ke arah-jalannya sendiri. 
Setelah ia berjalan selama dua jam melalui hutan-hutan dan rawa-rawa ia banyak 
mendengar lolongan kelaparan dari serigala-serigala, dan ini membuatnya 
menjadi lapar pula. Lalu ia berhenti di sebuah rumah terpencil tersendiri di mana 
ada cahaya menyala.
„Lapar menyerangku,‟ kata Zarathustra, „bak penyamun. Laparku
menyerangku di hutan-hutan dan rawa-rawa dan di tengah malam. 
„Laparku punya rasa humor yang aneh. Sering datang padaku hanya sehabis 
makan malam, dan seharian ini dia tidak datang: dimanakah dia gerangan?‟
Dan kemudian, Zarathustra mengetuk pintu rumah itu. Seorang tua muncul; 
ia membawa pelita dan bertanya: „Siapa yang datang padaku dan pada
ketidakmudahan tidurku?‟
„Seorang hidup dan seorang mati,‟ kata Zarathustra. „Beri aku sesuatu untuk 
dimakan dan diminum, aku lupa makan seharian. Ia yang memberi makan 
manusia lapar menyegarkan jiwanya sendiri: begitulah ujar kebijaksanaan.
Orang tua itu pergi, namun  segera kembali dan menawarkan Zarathustra roti 
dan air anggur. „Ini adalah negeri yang tidak baik bagi rakyat lapar‟ katanya. 
„Mengapa itulah aku hidup di sini. Binatang-binatang dan para manusia datang ke 
sini padaku, sang petapa ini. namun  tawarilah teman kau itu makan dan minum, ia 
lebih letih dibandingkan  kau.‟ Zarathustra menjawab: „Temanku sudah mati, aku tidak 
akan bisa membujuknya untuk makan dan minum.‟ „Itu bukan urusanku,‟ kata 
orang tua ini muram. „Sesiapa yang mengetuk pintu rumahku musti ambil apa 
yang telah aku tawarkan. Makanlah, dan selamat jalan!‟
Setelah itu, Zarathustra jalan selama dua jam lagi mempercayai arah jalan 
dan cahaya bintang-bintang: sebab  ia berpengalaman jalan di negeri-negeri asing 
di malam kala, dan senang melihat ke segala muka yang tertidur. namun  tatkala 
fajar menyingsing, Zarathustra mendapatkan dirinya di hutan belantara dan jejak 
jalan pun tidak lagi kelihatan. Lalu ia membaringkan orang mati ini di cekungan 
pohon di atas kepalanya – sebab  ia mau melindunginya dari serigala-serigala –
dan membaringkan dirinya di atas tanah berlumut. Dan segera tertidur, letih 
badannya namun  tenang jiwanya.
 
Zarathustra tidur lama, tidak saja fajar yang indah meliwati tidurnya, namun  juga 
pagi. Namun akhirnya, matanya terbuka: terheran-heran ia memandang ke hutan 
belantara dan ke kesenyapan, terheran-heran ia melihat ke dirinya. Lalu ia segera 
bangkit, serupa seorang pelaut sekonyong-konyong melihat pantai, berteriak
penuh suka cita: sebab  ia mendapatkan satu kebenaran baru. Lalu ia berseru pada 
hatinya, demikian:
Cahaya telah menerangiku: aku butuh teman-teman, yang hidup, bukan 
teman-teman yang mati atau pun mayat-mayat, yang bisa aku bawa kemana saja 
aku mau.
namun  aku butuh teman-teman yang hidup yang mau ikut aku sebab  mereka 
mau ikut diri mereka sendiri – yang mau pergi kemana saja aku mau pergi.
Cahaya telah menerangiku: Zarathustra tidak mau berseru ke rakyat, namun  
ke teman-teman! Zarathustra tidak mau menjadi para penggembala dan anjing 
penggembala gembalaan!
Untuk menggoda sebanyak-banyaknya jauh dari gembalaan – demi inilah 
aku datang. Rakyat dan gembalaan akan marah padaku: para penggembala akan 
menamakan Zarathustra sang penyamun.
Aku menyebut mereka para penggembala, namun  mereka menamakan diri 
mereka si baik dan si adil! Aku menyebut mereka para penggembala: namun  
mereka menamakan diri mereka the true believer.
Perhatikan si baik dan si adil itu! Siapa yang sangat mereka benci? Ia yang 
menghancurkan tata nilai-nilai mereka, sang pendobrak, sang pendobrak hukum –
namun ia adalah sang pencipta.
Perhatikan si pemercaya segala kepercayaan-kepercayaan! Siapa yang 
sangat mereka benci? Ia yang menghancurkan tata nilai-nilai mereka, sang 
pendobrak, sang pendobrak hukum – namun ia adalah sang pencipta.
Teman-temanlah, yang dicari oleh Sang pencipta, bukan mayat-mayat atau 
gembalaan-gembalaan atau penganut-penganut. Mitra-mitra penciptalah yang 
dicari oleh sang pencipta - mereka yang menggoreskan nilai-nilai baru di atas 
tatanan baru.
Teman-temanlah, yang dicari oleh sang pencipta, mereka rekan-rekan 
pemanen: sebab  dengan mereka segalanya matang untuk dipanen. namun  ia 
kekurangan beratus-ratus sabit: maka ia mencabik kelobot-kelobot jagung dan  
marah meradang.
Sang pencipta mencari teman-teman dan mereka yang tahu mengasah sabit￾sabit mereka. Mereka akan dinamakan para penghancur dan para pembenci 
kebaikan dan kejahatan. namun  mereka adalah para pemanen dan para penyuka￾cita.
Zarathustra mencari rekan-rekan pencipta, rekan-rekan pemanen, dan rekan￾rekan penyuka-cita: perduli apa ia dengan gembalaan dan para penggembala dan  
mayat-mayat!
Dan kau, teman pertamaku, selamat tinggal! Aku telah kubur kau dengan 
baik di dalam lubang cekung pohon kau, aku telah sembunyikan kau dengan baik 
dari segala serigala-serigala.
namun  aku akan meninggalkan kau, dan waktunya pun telah tiba. Di antara 
fajar-fajar yang indah kebenaran baru datang padaku.
Aku tidak mau menjadi seorang penggembala atau seorang penggali lubang 
kubur. Aku tidak mau lagi berseru ke rakyat; ini kali yang terakhir aku berbicara 
ke orang mati.
Dengan para pencipta, dengan para pemanen, dengan para penyuka-cita aku 
ingin berteman: aku mau perlihatkan pada mereka pelangi dan tangga-tangga ke 
sang Superman.
Aku akan menyanyikan lagu tembanganku ke seorang petapa dan petapa 
berpasangan; dan bagi ia yang masih punya telinga bagi sesuatu yang tidak pernah 
terdengar, aku akan penuhi hatinya dengan kebahagiaanku.
Aku membuat tujuanku sendiri, aku mengikuti jalanku; aku akan melompati 
ke atas mereka para peragu dan para takacuh. Semoga kepergian-kedepanku 
menjadi turun-kebawahnya mereka!
  
Zarathustra berkata ke hatinya saat  sang surya tepat berada di tengah hari: lalu 
ia melihat penuh tanya ke atas – sebab  ia mendengar lengkingan tajam suara 
seekor burung di atas langit. Dan perhatikan! Elang menerawang seputaran luas di 
udara, di tubuhnya bergantung seekor ular, bukan sebagai mangsanya namun  
temannya: sebab  ular ini melingkari leher elang.
„Itu binatangku!‟ kata Zarathustra dan hatinya pun bersuka-cita.
„Binatang terangkuh dan mahabijaksana di dunia – dan mereka datang untuk 
menyelidik.
Mereka mau tahu apa Zarathustra masih hidup. Sesunguhnya, apakah aku
masih hidup?
Aku mendapatkan bahwa hidup di antara para manusia itu lebih berbahaya
dibandingkan  hidup di antara binatang-binatang; Zarathustra mengikuti jalan-jalan
berbahaya. Semoga binatang-binatangku memimpinku!‟
saat  Zarathustra berkata demikian ia ingat akan kata-katanya santo itu di 
hutan, lalu ia menarik nafas panjang, dan berseru demikian pada hatinya:
„Seandainya aku lebih bijaksana! Seandainya aku bijaksana dari dalam 
hatiku, laksana ularku!
namun  aku mengharapkan yang mustahil: maka aku berharap agar 
keangkuhanku senantiasa bersama dengan kebijaksanaanku!
Dan seandainya di suatu waktu kebijaksanaanku pergi meninggalkanku –
oh, ia cinta untuk terbang jauh! – semoga keangkuhanku pun terbang bersama 
kebodohanku!‟
Lalu mulailah Zarathustra turun-kebawah.
 . Tiga Metamorfosa
Aku tunjukan pada kau tentang tiga metamorfosa spirit: bagaimana spirit menjadi 
unta, unta menjadi singa dan akhirnya singa menjadi seorang anak.
Ada beberapa barang berat bagi spirit, bagi spirit pemikul berat yang punya 
perasaan hormat: kekuatannya rindu bagi yang berat, bagi yang terberat.
Apa sih berat itu? Maka bertanya sang spirit pemikul berat, lalu melutut 
bagai unta, ingin dimuati penuh beban.
Apa sih barang yang terberat itu, wahai kau para pahlawan? Tanya sang 
spirit pemikul berat, yang dapat aku bisa pikul dan bersukacita akan kekuatanku?
Bukankah ini: untuk merendahkan diri demi melukai keangkuhan 
seseorang? Untuk memperlihatkan kebodohan agar dapat mengejek 
kebijaksanaan seseorang?
Ataukah ini: untuk meninggalkan alasan kita saat  kita sedang merayakan 
kejayaannya? Untuk mendaki gunung-gemunung tinggi untuk menggoda sang 
penggoda?
Ataukah ini: untuk hidup dari buah akorn dan rumput pengetahuan, lalu
demi kebenaran menderita kelaparan jiwa?
Ataukah ini: untuk menjadi sakit dan mengusir para pelipur lara, dan 
membuat pertemanan dengan yang tuli, yang tidak pernah mendengar segala 
permintaan-permintaan kau?
Ataukah ini: untuk mencercah air kotor tatkala ini adalah air kebenaran, dan 
tidak menyangkal katak-katak dingin dan bangkong-bangkong panas?
Ataukah ini: untuk mencintai mereka yang membenci kita, dan memberi 
bantuan pada hantu-hantu saat  mereka mau menakut-nakuti kita?
Sang spirit pemikul berat menaruhkan ke atas dirinya segala yang terberat: 
bagai unta saat  dibebani beban, lalu bergegas dia ke padang pasir, begitu 
cepatnya spirit pergi ke padang pasir.
namun  di kesunyian padang pasir terjadi metamorfosa yang kedua: disini 
spirit menjadi singa; ia mau menangkap kebebasan dan menjadi raja di padang 
pasirnya.
Ia mencari Rajanya yang terakhir di sini: ia mau menjadi musuhnya dan 
musuh Tuhan terakhirnya, ia mau berjuang bagi kejayaan melawan naga megah.
Apa itu naga megah dimana spirit tidak mau lagi memanggilnya Raja atau 
Tuhan? Sang naga megah ini dinamakan „Kau-kudu‟. namun  spirit sang singa 
berkata, „Aku mau.‟
„Kau-kudu,‟ melintang di arah-jalannya, berkilau emas, binatang diselaputi 
sisik, dan di setiap sisik-sisiknya berkilauan keemasan „Kau-kudu!‟
Nilai-nilai dari beribu-ribu tahun ada di sisik-sisik itu, lalu berseru naga 
megah perkasa dari segala naga-naga: „Segala nilai-nilai dari segala sesuatunya - 
berkilauan dalam diriku.
„Segala nilai-nilai telah diciptakan, dan segala yang telah diciptakan – ada di
dalam diriku. Sungguh, tidak musti ada lagi “Aku mau.” Maka berkata sang naga.
Para saudaraku, mengapa singa dibutuhkan dalam spirit? Mengapa binatang 
pemikul berat yang menafi dan pengabdi itu, tidak cukup?Untuk mencipta nilai-nilai baru – bahkan singa pun tidak sanggup berbuat 
ini: namun  untuk menciptakan bagi dirinya kebebasan untuk menciptakan sesuatu 
yang baru – keperkasaan singa bisa melakukan semua ini.
Untuk menciptakan kebebasan bagi dirinya, dan memberikan satu 
kesakralan Tidak bahkan pada kewajiban: untuk ini para saudaraku, dibutuhkan 
seekor singa.
Untuk merampas hak bagi nilai-nilai baru – ini adalah awal mula yang 
menakutkan bagi spirit pemikul beban dan bagi spirit pengabdi. Sungguh, bagi 
spirit ini ini adalah pencurian dan pekerjaannya binatang pencari mangsa.
Sekala ia mencintai „Kau-kudu‟ sebagai yang tersuci: sekarang ia musti 
mencari khayalan dan ejekan bahkan pada yang tersuci, agar ia bisa menangkap
kebebasan dari yang dicintainya: maka sang singa dibutuhkan bagi penangkapan
ini.
namun , katakan padaku, para saudaraku, apa yang seorang anak bisa lakukan
bahkan sang singa tidak bisa? Mengapa sang singa pemangsa musti menjadi 
seorang anak?
Sang anak adalah polos dan pelupa, sebuah awal baru, olah kreasi, roda 
swaputar, gerak mula, kesakralan Ya.
Ya, bagi olah kreasi dibutuhkan sebuah kesakralan Ya dalam hidup: 
sekarang spiritnya memaui kemauannya sendiri; spirit yang memisahkan dirinya 
dari dunia sekarang memenangkan dunianya sendiri.
Aku telah tunjukan pada kau tiga metamorfosa spirit: bagaimana spirit
menjadi unta, dan unta menjadi singa dan singa menjadi anak akhirnya.
Ini seruan Zarathustra. Dan saat itu ia tinggal di kota yang bernama Lembu 
Belang.
 . Kursi-kursi Kebajikan
Orang-orang menyebutkan pada Zarahustra tentang seorang yang bijaksana, 
sebagai seorang yang berbicara dengan baik tentang tidur dan kebajikan: sangat 
dipuji-puji dan diberi penghargaan, dan semua orang-orang muda duduk di
hadapan kursinya. Kepadanya lalu Zarathustra pergi dan duduk dihadapannya 
bersama para orang muda lainnya. Lalu berseru manusia bijaksana ini:
Hormatilah dan berendah hatilah jika tidur datang! Ini yang utama! 
Hindarilah para manusia yang sulit tidur dan bangun di tengah malam!
Bahkan si pencuri pun berrendah hati jika tidur datang: ia selalu mencuri 
berhati-hati sepanjang malam. namun  betapa sombongnya si penjaga malam, tanpa 
kerendahan hati ia membawa terompetnya.
Untuk tidur ini bukanlah seni yang tidak penting: untuk ini kau musti tidak 
boleh tidur seharian. 
Kau musti mengatasi diri kua sepuluh kali sehari: ini menimbulkan letih 
yang menyenangkan, dan candu bagi jiwa.
Sepuluh kali kau musti rukun ke diri kau lagi: sebab  mengatasi diri adalah 
pahit dan manusia yang tidak rukun sukar tidur.
Kau musti mendapatkan sepuluh kebenaran sehari: jika tidak kau akan 
mencari kebenaran di malam hari, dan jiwa kau akan tetap lapar.
Sepuluh kali dalam sehari kau musti tertawa dan bersuka-ria: jika tidak perut 
kau, bapak penderitaan itu, akan mengganggu kau di malam hari.
Sedikit orang yang tahu ini, namun  seseorang musti punya semua kebajikan￾kebajikan demi dapat tidur dengan baik. Mustikah aku memberi kesaksian palsu? 
Mustikah aku berselingkuh?
Mustikah aku mendambakan pelayan perempuan tetanggaku? Tidak satu 
dari ini cocok dengan tidur baik.
Bahkan tatkala seseorang punya banyak kebajikan, ada satu lagi yang musti 
diingat: untuk mengirim bahkan segala kebajikan-kebajikan ini keperaduannya di 
waktu yang tepat.
Supaya mereka tidak berselisih satu sama lainnya, gadis-gadis molek ini! 
Dan melebihi kau, kau manusia tidak bahagia!
Berdamailah dengan Tuhan dan tetangga-tetangga kau: maka tidur baik 
menghendaki ini. Dan berdamailah pula dengan setan tetangga kau. Jika tidak ia 
akan menggerayangi kau di malam hari.
Hormat dan  patuh pada pemerintah, bahkan pada pemerintah yang bengkok
sekali pun! Maka tidur baik memaui ini. Bagaimana aku bisa mencegahnya, jika 
kekuasaan senang berjalan di atas kaki-kaki pengkor?
Aku akan selalu menamakan ia seorang penggembala terbaik yang 
memimpin domba-dombanya ke padang rumput terhijau: ini cocok dengan tidur 
baik.
Aku tidak ingin kehormatan-kehormatan, tidak pula harta berlimpah: ini 
semua membangkitkan murung. namun  seseorang tidur buruk tanpa nama baik dan 
harta sedikit.
Memiliki teman sedikit lebih aku sukai dibandingkan  punya teman busuk: namun  
mereka musti datang dan pergi di waktu yang tepat. Ini cocok dengan tidur baik.
Si miskin spirit, juga, sangat menyenangkanku: mereka mempercepat 
datangnya tidur. Berkahilah mereka, khususnya jika seseorang selalu mengalah 
dengan mereka.
Maka beginilah hari-harinya berlalu bagi manusia bijaksana. Dan tatkala 
malam tiba aku berhati-hati untuk tidak memanggil tidur! Ia, tidak suka dipanggil 
– tidur, rajanya kebajikan!
namun  aku ingat apa yang telah aku pikir dan lakukan selama pagi dan siang 
hari. Merenung bak lembu yang sabar, aku bertanya pada diriku: Apa sepuluh 
pengatasanku?
Dan yangmana dari sepuluh kerukunan dan sepuluh kebenaran dan sepuluh 
tawa yang hatiku sangat sukai?
Seraya aku berpikir tentang ini dan tergoncangkan oleh empat puluh 
pikiran-pikiran, tiba-tiba, tidur, raja kebajikan yang tidak mau dipanggil, 
menyusulku.
Tidur mengetuk mataku: mataku jadi berat. Tidur menyentuh mulutku: 
mulutku jadi menganga.
Sunguh, ia datang padaku di atas telapak kaki lembut, pencuri tersayang dari 
segala pencuri-pencuri, dan mencuri segala pikiran-pikiranku dariku: aku berdiri 
seperti orang bodoh, seperti kursi ini. 
namun  tidak lama aku berdiri: aku sudah terbaring sekarang
Tatkala Zarathustra mendengar kata-katanya manusia bijaksana ini, ia 
tertawa dalam hatinya: sebab  dengan demikian cahaya menerangi dirinya. Ia lalu 
berseru ke hatinya:
Manusia bijaksana dengan empat puluh pikiran-pikirannya tampak bodoh 
bagiku: namun  aku percaya bahwa ia tahu cukup baik bagaimana untuk tidur.
Berbahagialah ia yang tinggal setetangga manusia bijaksana ini. Tidur 
serupa ini menular, bahkan menembus tembok tebal pula.
Sebuah mantra bahkan ikut duduk di kursinya. Dan tidak sia-sianya para 
orang muda duduk di hadapan sang pengkhotbah kebajikan.
Kebijaksanaannya adalah: jangan tidur demi tidur baik. Dan sungguh, jika 
hidup ini tidak punya arti dan jika aku musti memilih nonsens, ini akanlah 
menjadi hasrat ternonsens bagiku.
Sekarang jelas bagiku apa yang manusia telah cari-cari sekala di atas 
segalanya saat  mereka mencari-cari guru-guru kebajikan. Mereka mencari tidur 
baik bagi diri mereka dan kebajikan-kebajikan candu untuk memanggilnya!
Bagi manusia bijaksana yang amat dipuji-puji dari kursi-kursi pendidikan
itu, kebijaksanaan berarti tidur tanpa mimpi-mimpi: mereka tidak tahu akan 
makna yang lebih tentang kehidupan.
Bahkan hingga kini pun ada banyak yang serupa dengan sang pengkhotbah 
kebajikan, dan mereka tidak selalunya terhormat: namun  waktu mereka sudah 
liwat. Dan mereka tidak musti berdiri lebih lama lagi: mereka telah terbaring 
sekarang.
Berkahilah mereka para pengantuk ini: sebab  sebentar lagi mereka akan 
jatuh tidur.
Ini seruan Zarathustra.
 . Para Manusia Dunia-Kemudian
Zarathustra pernah pula menebarkan lamunan sesatnya melebihi kemanusiaan, 
seperti semua para manusia dunia-kemudian. Lalu tampaknya dunia bagiku 
seperti ciptaan Tuhan yang sengsara dan tersiksa.
Lalu tampaknya dunia ini bagiku seperti mimpinya - dan bualannya -
Tuhan; warna menguap di hadapan mata Tuhan yang sangat tidak puas.
Kebaikan dan kejahatan, suka dan duka dan aku dan kau – aku pikir semua 
itu uap warna di hadapan mata sang pencipta. Sang pencipta mengharap untuk
membuang muka dari dirinya sendiri, lalu ia menciptakan dunia.
Suka cita yang memabukan bagi yang sengsara untuk membuang muka dari 
sengsaranya, untuk melupakan dirinya. Suka cita yang memabukan dan pelupaan 
diri – ini apa yang sekala aku pikir dunia itu.
Dunia ini, yang tidak sempurna abadi, citra yang tidak sempurna dari satu 
kontradiksi yang abadi – satu suka cita yang memabukan bagi sang pencipta yang
tidak sempurna – ini apa yang aku pikir dunia ini sekala.
Begitulah aku pernah menebarkan lamunan sesatku melebihi kemanusiaan, 
seperti semua manusia dunia-kemudian. Benar-benar melebihi realitas 
kemanusiaan?
Ah, para saudaraku, Tuhan ini yang aku ciptakan ia adalah karya manusia 
dan kegilaan manusia belaka, seperti juga segala macam tuhan-tuhan!
Ia adalah manusia, fragmen buruk sosok manusia dan Ego belaka. Dari api 
dan abuku, datanglah dia kepadaku hantu ini, inilah yang sebenarnya! Dia tidak 
datang kepadaku dari alam „luar‟ sana!
Apa yang terjadi, para saudaraku? Aku, si penyengsara, mengatasi diri, aku 
bawa abuku ke gunung-gemunung dan aku membuat sebuah terang yang lebih 
benderang bagi diriku. Dan perhatikan! Lalu hantu itu lari dariku!
Sekarang bagiku, manusia yang menyembuh, akan menyusahkan dan 
menyengsarakan untuk percaya pada hantu-hantu ini: akan menjadi 
kesengsaraanku sekarang, juga memalukan. Lalu aku berseru pada para manusia 
dunia-kemudian.
Itu semua adalah kesengsaraan dan kelemahan – yang menciptakan segala 
dunia-dunia-kemudian; dan  mania sesaat pada kebahagiaan yang hanya si 
penyengsara berat alami.
Keletihan, yang mau meraih akhirat dengan satu loncatan, dengan loncatan 
kematian, keletihan bodoh buruk, yang tidak memiliki kemauan untuk memaui 
lagi: ini yang menciptakan segala tuhan-tuhan dan dunia-dunia-kemudian.
Percayalah padaku, para saudaraku! Itu adalah sang badan yang putus asa ke 
sang badan – yang meraba-raba dengan jejari spirit yang sedang kasmaran pada 
dinding utama itu.
Percayalah padaku, para saudaraku! Itu adalah sang badan yang putus asa 
pada dunia – yang telah mendengar perut kehidupan berkata padanya.
Lalu ia mau membawa kepalanya pula menembus dinding tembok utama –
dan bukan hanya kepalanya saja – lari cepat menyeberang ke „dunia lain.‟
namun  „dunia lain,‟ yang tidak manusiawi, dunia non-manusiawi yangmana 
adalah surga Hampa, sangat tersembunyi dari para manusia; dan perut kehidupan
tidak berkata apa-apa pada manusia, kecuali sebagai manusia.
Sungguh, sulit untuk membuktikan segala kehidupan, sulit untuk dibuat 
bicara. Namun, katakanlah kepadaku, para saudaraku, tidakkah sesuatu yang 
teraneh dari segalanya telah dibuktikan sejelas-jelasnya?
Ya, Ego ini, dengan kontradiksi dan kerancuannya, bicara sangat tulus akan 
kehidupannya – Ego yang pencipta, sang pemau, sang penilai ini, yangmana 
adalah tolok ukur dan nilai sesuatunya.
Kehidupan yang mahatulus ini, sang Ego – ia bicara tentang badannya, dan 
ia mendesak ke atas sang badan, bahkan tatkala ia mengoceh dan mengigau dan 
menggelepar-gelepar dengan sayap-sayap patah.
Dengan lebih tulus ia belajar bicara, sang Ego ini: dan lebih banyak ia 
belajar, lebih banyak ia temui gelar-gelar dan kehormatan-kehormatan bagi sang 
badan dan dunia.
Egoku mengajarkan keangkuhan baru, aku ajarkan ini ke para manusia: 
tidak lagi membenamkan kepala kedalam pasir surgawi, namun  membawa dengan 
bebas, kepala keduniawian yang menciptakan makna bagi dunia!
 Aku ajarkan manusia kemauan baru: untuk menghasrati jalan yang telah 
diikuti para manusia secara membuta, dan menamakan ini baik dan tidak lagi 
merangkak diam-diam ke sisi darinya, serupa si sakit dan yang sekarat!
Itu si sakit dan yang sekarat yang membenci badan dan dunia dan 
merekayasa surga dan tetesan darah tebusan: namun  bahkan racun-racun manis 
melankoli ini sendiri pun mereka ambil dari badan dan dunia!
Mereka mau lari dari penderitaan mereka dan bintang-bintang terlalu jauh 
bagi mereka. Lalu mereka meresah: „Oh semoga ada jalan-jalan surgawi agar bisa 
secara sembunyi-sembunyi masuk kedalam kehidupan lain dan kedalam
kebahagiaan!‟ - lalu mereka merekayasakan untuk mereka sendiri jalan-jalan 
rahasia mereka dan  nadi-nadi darah!
Sekarang mereka pikir mereka telah terbebaskan dari badan mereka dan dari 
dunia ini, mereka orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun pada siapa 
mereka berhutang rangsangan dan rasa sukacita bagi kebebasan mereka ini? Pada 
badan mereka dan dunia ini.
Zarathustra lembut ke si sakit. Sungguh, ia tidak marah pada cara
penghiburan dan  ketidak bersyukuran mereka. Semoga mereka menjadi para 
penyembuh dan pengunggul dan menciptakan satu badan yang lebih luhur bagi 
mereka!
Tidak juga Zarathustra marah ke manusia yang menyembuh yang 
memandang lembut ke ilusinya dan merangkak diam-diam di tengah malam 
sekeliling kuburan Tuhannya: namun  bahkan air matanya berkata padaku tentang 
penyakit dan badan sakit.
Selalu ada banyak rakyat sakit di antara mereka yang merekayasa dongeng￾dongeng dan rindu bagi Tuhan: mereka punya rasa benci dan kebengisan pada 
manusia yang tercerahkan dan pada kebajikan-kebajikan termuda yang 
dinamakan kejujuran.
Mereka selalu melihat kebelakang ke masa kelam: lalu, nyatanya, ilusi dan 
kepercayaan itu hal yang berbeda; akal budi yang menggila disangka Tuhan, dan 
sangsi adalah dosa.
Aku tahu betul rakyat Ketuhanan ini: mereka memaksa untuk dipercaya, dan 
sangsi itu dosa. Aku juga tahu betul apa yang mereka sangat yakinkan dengan 
teguhnya.
Sungguh bukanlah pada dunia-kemudian atau pada tetesan darah tebusan: 
mereka percaya dengan sangat teguhnya pada badan, dan badan mereka sendiri 
bagi mereka adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya.
namun  ini sesuatu yang sakit bagi mereka. Mengapa itulah mereka
mendengarkan para pengkhotbah kematian dan mereka sendiri mengkhotbahkan 
dunia-dunia-kemudian. 
Malah, dengarkanlah, para saudaraku, ke suara badan sehat; dia lebih jujur 
dan suaranya lebih murni
Lebih jujur dan berbicara secara tulus badan sehat ini, sempurna dan 
bentuknya persegi empat: dan dia berseru mengenai makna dunia.
Para Pembenci Badan
Ke para pembenci badan aku ingin berseru. Aku harap meraka tidak belajar 
sesuatu yang baru atau pun mengajar sesuatu yang baru, namun  hanya 
mengucapkan selamat tinggal pada badan mereka – lalu menjadi bebal.
„Aku adalah ruh dan badan‟ – maka berkata sang anak. Dan mengapa 
seseorang tidak berkata seperti anak-anak?
namun  manusia yang tahu, manusia yang tercerahkan berkata: aku adalah 
badan seluruhnya, dan selain dari itu tidak ada; dan jiwa hanyalah sebuah kata 
bagi sesuatu di dalam badan.
Sang badan itu adalah intelek megah, kemajemukan dengan ketunggalan 
rasa, perang dan damai, gembalaan dan penggembala.
Intelek kecil kau, saudaraku, yang kau namakan „spirit,‟ ia hanyalah alatnya 
badan - alat kecil dan mainannya intelek megah kau.
Kau berkata „aku‟ dan bangga akan kata ini. namun  lebih megah dibandingkan  ini 
adalah – walau kau tidak akan percaya - badan kau dan intelek megahnya yang 
tidak berkata „aku‟ namun  melakukan „aku.‟
Apa yang perasaan rasakan, apa yang spirit fahami, ini bukanlah sesuatu 
yang diada-adakan. namun  perasaan dan spirit senang untuk membujuk kau bahwa 
mereka adalah finalitas segala-segalanya: sombong seperti itulah mereka.
Perasaan dan spirit itu adalah alat dan mainan: di belakang mereka berdiri 
sang Diri selalu. Sang Diri mencari dengan mata perasaan, mendengarkan pula 
dengan telinga spirit.
Sang Diri selalu mendengar dan mencari: ia membanding, menguasai, 
menaklukan, menghancurkan. Ia mengatur dan juga pengaturnya Ego.
Di belakang pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan kau, saudaraku, 
berdirilah seorang panglima perkasa, resi misterius – ia bernama Diri. Ia hidup 
dalam badan kau, ia adalah badan kau.
Ada lebih banyak intelek dalam badan kau dibandingkan  dalam kebijaksanaan 
terbaik kau. Dan siapa yang tahu untuk maksud apa badan kau yang secara pasti 
itu membutuhkan kebijaksanaan terbaik kau?
Diri kau tertawa ke Ego kau dan lompatan-lompatan angkuhnya! Apa 
lompatan-lompatan dan terbangan-terbangan pikiran itu bagiku?‟ katanya pada 
dirinya. „Jalan pintas ke tujuanku. Aku adalah pemegang cempurit Ego dan dalang 
ide-idenya.‟
Sang Diri berkata pada Ego: „Rasakan dukacita!‟ lalu ia menderita dan 
berpikir bagaimana untuk menyudahi penderitaan ini – dan ia dimaknakan untuk 
berpikir bagi maksud ini semata.
Sang Diri berkata pada Ego: „Rasakan sukacita!‟ Lalu ia gembira dan 
berpikir bagaimana untuk melanggengkan kegembiraan ini – dan ia dimaknakan 
untuk berpikir bagi maksud ini semata.
Ke para pembenci badan aku mau serukan ini. Bahwa penghinaan itu 
disebabkan dari penghargaan. Apa itu yang menciptakan penghargaan dan 
penghinaan dan nilai dan kemauan?
Sang Diri yang pencipta menciptakan bagi dirinya penghinaan dan 
penghargaan, dia menciptakan suka dan duka. Sang badan yang pencipta 
menciptakan bagi dirinya spirit, sebagai lengannya kemauannya Bahkan dalam kebodohan dan kepenghinaan kau, kau melayani Diri kau, 
kau para pembenci badan. Aku katakan pada kau: Diri kau sendiri mau untuk mati 
dan lari dari kehidupan.
Tidak dapat lagi Diri kau untuk melakukan tindakan yang ia sangat hasrati 
untuk lakukan: untuk mencipta melebihi diri. Ini apa yang ia sangat harapkan 
untuk lakukan, ini adalah gereget utuhnya itu.
namun  sekarang sudah terlambat untuk itu: maka Diri kau mau untuk punah, 
kau para pembenci badan.
Diri kau mau untuk punah, dan mengapa itulah kau telah menjadi para 
pembenci badan! sebab  kau tidak lagi sanggup untuk mencipta melebihi diri kau.
Lalu sekarang kau marah pada kehidupan dan pada dunia. Kedengkian yang
tidak disadari itu ada di kerlingan pandangan kebencian kau.
Aku tidak akan pergi ke jalan kau, kau para pembenci badan! Kau bukan 
jembatan ke sang Superman!
Ini seruan Zarathustra.
Sukacita dan Gairah
Saudaraku, jika kau punya kebajikan ini adalah kebajikan kau sendiri, kebajikan 
kau itu bukanlah untuk orang lain.
Untuk memastikannya, kau akan memanggil namanya dan membelainya; 
kau ingin menarik telinganya dan bercanda dengannya.
Dan perhatikan! Sekarang nama kebajikan kau menjadi umum dengan 
rakyat dan telah merakyat dan gembalaan bersama dengan kebajikan kau!
Lebih baik kau berkata: „Tidak dapat diucapkan, dan tidak punya nama yang 
menyiksakan dan  melegakan jiwaku, dan juga rasa lapar perutku.‟
Biarkanlah kebajikan kau itu menjadi lebih diagungkan sebab  sudah akrab 
dikenal: dan jika kau musti berkata tentangnya, jangan malu untuk melatah.
Lalu berkata dan melatahlah: „Ini kebaikanku, ini yang aku cintai, hanyalah 
yang demikian yang aku senangi, hanyalah yang demikian yang akau harapkan 
kebaikan itu.
Bukan sebagai hukum Tuhan yang aku hasrati, bukan sebagai hukum
manusia atau kebutuhan manusia yang aku hasrati: bukan sebagai panduan 
untukku menuju ke superdunia dan surga-surga.
Kebajikan dunialah yang aku cintai: ada sedikit keberhati-hatiannya, dan 
lebih sedikit lagi kebijaksanaan umumnya.
namun  burung ini telah membuat sangkarnya di bawah atapku: maka, aku 
pelihara dan cintai – sekarang ia mengerami telur emasnya.‟
Seperti itulah kau musti melatah dan memuji kebajikan kau.
Pernah sekala kau punya gairah-gairah dan menamakan itu jahat. namun 
sekarang kau hanya punya kebajikan-kebajikan kau: mereka tumbuh dari gairah￾gairah kau.
Kau menanam sasaran tertinggi kau di dalam hati gairah-gairah itu: lalu 
mereka menjadi kebajikan-kebajikan dan sukacita-sukacita kau.
Walau pun asal kau itu dari ras yang berperangai panas atau tamak atau 
fanatik atau pendendam:
Akhirnya segala gairah-gairah kau menjadi kebajikan-kebajikan dan segala 
setan-setan kau menjadi bidadari-bidadari.
Sekala kau punya anjing-anjing galak di dalam gudang bawah tanah kau: 
namun  akhirnya berubah menjadi burung-burung dan biduan-biduan cantik.
Dari racun kau kau seduh balsem untuk diri kau; dari lembu kau, 
penderitiaan, kau perah susunya, sekarang minumlah susu manis ambing￾ambingnya.
Dan untuk seterusnya tidak ada kejahatan akan tumbuh dari dalam diri kau, 
kecuali kejahatan yang datang dari persengketaan antara kebajikan-kebajikan kau.
Saudaraku, jika kau beruntung, kau akan mempunyai satu kebajikan dan 
tidak lebih: lalu kau dapat dengan lebih mudah menyeberangi jembatan.
Akan menjadi termashur jika memiliki banyak kebajikan, namun  ini takdir 
yang berat; dan banyak manusia pergi ke padang pasir dan bunuh diri lantaran 
letih menjadi medan perang dan perseteruan antara kebajikan-kebajikan itu.
Saudaraku, apakah pertikaian dan perang itu jahat? Namun, kejahatan itu 
adalah penting, dengki dan sangsi dan cercaan antara kebajikan-kebajikan itu 
adalah penting.
Perhatikan bagaimana setiap kebajikan kau itu tamak untuk menempati 
tempat teratas: dia ingin seluruh spirit kau, untuk dijadikan pesuruhnya, dia ingin 
seluruh power kau, dalam kemarahan, kebencian, dan cinta.
Setiap kebajikan cemburu akan yang lainnya, dan cemburu adalah sesuatu 
yang sangat buruk. Bahkan kebajikan bisa hancur sebab  cemburu.
Ia yang di kelilingi api kecemburuan, akhirnya membalikan dirinya, seperti 
kalajengking, menyengatkan bisanya pada diri sendiri.
Ah, saudaraku, pernahkah kau melihat kebajikan menggigit dirinya dan 
menikam diri sendiri?
Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi: maka kau musti mencintai 
kebajikan kau – sebab  kau akan punah oleh kebajikan kau.
Penjahat Pucat
Kau tidak bemaksud untuk membunuh, kau para hakim dan pengorban, sebelum 
binatang ini membungkukan lehernya? Perhatikan, si penjahat pucat ini 
membungkukan lehernya: dari sinar matanya berkata kebencian besar.
„Egoku adalah sesuatu yang musti diatasi: Egoku bagiku adalah sesuatu 
yang sangat membenci manusia‟: ini apa yang matanya telah katakan.
saat  ia menghakimi dirinya sendiri – ini adalah momen termulianya: tidak
membiarkan manusia mulia terjerumus ke kerendahannya kembali!
Tidak ada keselamatan bagi ia yang telah menderita dari dirinya sendiri, 
kecuali kematian yang cepat.
Pembunuhan kau, kau para hakim, musti menjadi pengampunan bukan 
pembalasan. Dan sejak kau membunuh, buktikanlah bahwa kau membuktikan 
kehidupan!
Tidaklah cukup bahwa kau musti berdamai dengan ia yang kau bunuh. 
Semoga kesedihan kau menjadi kecintaan kau ke sang Superman: lalu kau akan 
membuktikan kelanjutan hidup kau!‟
„Kau musti berkata “musuh,” bukan “penjahat”; Kau musti berkata “orang 
cacat,” bukan “orang celaka”; kau musti berkata “orang bodoh,” bukan 
“pendosa.”
Dan kau, hakim palsu, jika kau dapat berkata blak-blakan akan semua yang 
telah kau kerjakan dalam pikiran kau, semua manusia akan berteriak: „Pergilah
kekejian dan ular-ular berbisa!‟
namun  pikiran adalah satu lagi, dan tindakan adalah yang lainnya pula, dan 
yang lainnya namun adalah citra dari tindakan. Roda sebab-akibat tidak berputar 
di antaranya.
Citra ini yang membuat manusia pucat ini pucat. Ia setara dengan 
tindakannya saat  ia melakukannya: namun  ia tidak bisa menanggung citranya 
sehabis melakukan tindakannya.
Sekarang untuk selamanya ia melihat dirinya sebagai sang pelaku satu 
tindakan. Aku namakan ini kegilaan: sesuatu yang di luar dirinya menjadi 
pengatur dalam dirinya.
Garis kapur mempesona ayam betina; pukulan yang ia telah hempaskan 
mempesona akal budinya yang lemah – aku namakan ini kegilaan sesudah 
tindakan.
Dengarkan, kau para hakim! Ada kegilaan lainnya: dan ini datang sebelum 
tindakan. Ah, kau tidak pernah menyambangispirit ini lebih dalam!
Maka berkata hakim palsu: „Mengapa penjahat itu membunuh? Ia mau 
mencuri.‟ namun  aku katakan pada kau: jiwanya ingin darah bukan barang curian: 
ia haus bagi kenikmatan pisau!
namun  akal budinya yang lemah tidak mengerti kegilaan ini, dan membujuk 
sebaliknya. „Apa baiknya darah itu?‟ katanya. „Tidak maukah kau mencuri pula? 
Untuk membalas dendam?‟
Dan ia mendengarkan ke akal budinya yang lemah itu: kata-katanya seperti 
beban berat yang ditaruhkan diatas dirinya – lalu ia merampok seraya ia 
membunuh. Ia tidak lagi malu akan kegilaannya.
Dan sekali lagi beban berat rasa salahnya terhampar di atas dirinya, dan 
sekali lagi akal budinya yang lemah ini sangat bebal, sangat lumpuh, sangat 
tumpul.
Jika saja ia bisa menggelengkan kepalanya, bebannya akan terguling: namun  
siapa yang bisa menggelengkan kepala ini?
Apa sih manusia ini? Timbunan berbagai penyakit yang muncul ke dunia 
melalui spirit: di sana mereka mau menangkap mangsanya.
Apa sih manusia ini? Gelung-gemelung ular-ular yang jarang berdamai satu 
sama lainnya – lalu mereka pergi sendiri-sendiri mencari mangsa di dunia.
Perhatikan badan yang malang ini! Jiwa yang malang ini telah menafsirkan 
apa yang dideritai dan hasrati oleh badan – dia menafsirkannya sebagi nafsu bagi 
pembunuhan dan rakus bagi kenikmatan pisau
Lalu ia jatuh sakit, sang kejahatan melampauinya dan sekarang menjadi 
jahat: ia mau membuat kerugian pada sesiapa yang telah merugikannya. namun  
ada zaman-zaman lainnya dan kejahatan dan kebaikan lainnya pula.
Dahulu kesangsian dan kemauan ke Diri itu adalah jahat. Lalu si cacat 
menjadi manusia durhaka dan dukun: sebagai manusia durhaka dan dukun ia 
telah menderita dan mau menyebabkan penderitaan .
namun  ini tidak akan masuk ke telinga kau: ini akan menyakitkan orang baik 
kau, kata kau. namun  apa sih artinya orang baik kau itu bagiku?
Banyak hal di dalam orang baik kau itu telah mendorongku ke kemuakan, 
dan sungguh, itu bukan kejahatan mereka. Aku mengharap mereka punya kegilaan 
melalui mana mereka bisa punah, bak penjahat pucat ini.
Sungguh, aku mengharap kegilaan mereka dinamakan kebenaran, atau 
kesetiaan atau keadilan: namun  mereka punya kebajikan agar mereka dapat hidup 
lama dan dalam kepuasan diri yang menyedihkan.
Aku adalah terali di sisi aliran air: sesiapa yang bisa menggenggamku, biar 
ia menggenggamku! Aku namun bukan, tongkat ketiak kau.
Bacaan dan Tulisan
Akan semua tulisan yang aku cintai adalah yang hanya ditulis dengan darah. 
Ditulis dengan darah: dan kau akan mendapatkan bahwa darah itu adalah spirit.
Tidak mudah untuk mengerti darah yang tidak dikenal: aku benci pembaca 
malas.
Ia yang tahu pembacanya, tidak akan membuat apa-apa lebih jauh bagi para 
pembacanya. Seabad lagi dari masa pembaca – spirit ini akan membusuk.
Bahwa setiap manusia diizinkan untuk belajar membaca, dalam jangka 
panjang ini akan menghancurkan bukan saja tulisan, namun  juga pikiran.
Sekala spirit itu adalah Tuhan, lalu menjadi manusia, dan sekarang menjadi 
massa.
Ia yang menulis dengan darah dan kiasan tidak mau dibaca, namun  dikaji dari 
dalam hati.
Di gunung-gunung jalan tersingkat adalah dari puncak ke puncak, namun  
demi ini kau musti punya kaki panjang. Kiasan-kiasan musti menjadi puncak￾puncak, dan bagi mereka yang kata-kata ini ditujukan, musti tinggi dan besar 
badannya.
Udara tipis dan murni, marabahaya ada di dekatnya dan spirit penuh dengan 
kekejian yang penuh sukacita: semua ini cocok satu sama lainnya.
Aku ingin segala dedemit di sekitarku, sebab  aku pemberani. Keberanian 
yang akan menakutkan semua hantu-hantu menciptakan dedemit bagi dirinya –
dan ia mau tertawa. 
Aku tidak lagi merasa serupa kau: mendung ini yang aku lihat di bawahku,
berat kehitaman yang aku tertawai – inilah mendung kilat kau itu.
Kau melihat ke atas tatkala kau rindu untuk disanjung. Aku melihat ke 
bawah, sebab  aku disanjung
Siapa di antara kau yang bisa secara bersamaan tertawa dan disanjung?
Ia yang mendaki ke atas gunung-gemunung tertinggi tertawa ke segala 
tragedi-tragedi, nyata atau semu.
Berani, cuek, penghina, keras – beginilah kebijaksanaan itu mau kita untuk 
menjadi: ia adalah seorang perempuan, tidak pernah mencintai siapa-siapa kecuali 
sang satria.
Kau berkata padaku: „Hidup adalah berat untuk dipikul.‟ namun  mengapa 
kau musti punya keangkuhan di pagi hari dan menarik diri di malam hari?
Hidup adalah berat untuk dipikul: namun  jangan berpura-pura menjadi halus! 
Kita semua adalah keledai sehat dan keledai-keledai penghela beban!
Apa persamaan antara kita dengan kuncup mawar, bergetar oleh setetes 
embun yang jatuh ke atasnya?
Ini betul: kita mencintai hidup, bukan sebab  kita terbiasa akan hidup, namun  
kita terbiasa akan cinta.
Selalu ada kegilaan tertentu dalam cinta. namun  selalu ada, beberapa cara 
tertentu dalam kegilaan.
Dan begitu pun aku, yang menghargai hidup ini, kupu-kupu dan gelembung￾gelembung busa, dan apa saja yang serupa mereka di antara kita, tampaknya 
banyak menikmati kebahagiaan.
Untuk melihat segala yang ringan, bodoh, molek, peri-peri kecil yang 
lincah kesana kemari, ini menggerakan hati Zarathustra untuk menangis dan
bersenandung.
Aku hanya akan percaya pada Tuhan yang bisa menari.
Dan saat  aku memperhatikan setanku, aku mendapatkan ia begitu serius, 
teliti, mahadalam, khusyuk: ia adalah si Spirit Grafitasi – melaluinya segala apa￾apa jatuh hancur.
Bukan dengan amarah seseorang itu membunuh namun  dengan gelak tawa. 
Mari, kita bunuh si Spirit Grafitasi!
Aku sudah belajar berjalan: sejak itu aku bisa berlari. Aku sudah belajar 
terbang: sejak itu aku tidak butuh dorongan demi untuk bergerak.
Sekarang aku ringan, sekarang aku terbang, sekarang aku melihat diriku di
bawah diriku, sekarang tuhan menari di dalam diriku
Setangkai Pohon di Pegunungan 
Zarathustra melihat seorang anak muda menghindarinya. Dan tatkala ia sedang 
berjalan sendirian di suatu malam melalui bebukitan di sekeliling kota yang 
bernama Lembu Belang, perhatikan! ia mendapatkan anak muda ini bersandar ke 
pohon dan memandang letih ke lembah. Lalu Zarathustra memegang pohon di sisi 
mana anak muda itu duduk, dan berseru demikian:
„Jika aku ingin mengguncangkan pohon ini dengan lenganku, tentu aku 
tidak bisa
namun  angin, yang tidak bisa kita lihat, akan menyiksanya dan 
membengkokkan ke arah mana saja yang dia inginkan. Lengan-lengan yang tidak 
kelihatanlah yang menyiksa dan membengkokkan kita!‟
Lalu anak muda ini berdiri kebingungan dan berkata: „Aku mendengar 
Zarathustra dan aku baru saja aku memikirkannya!‟ Zarathustra menjawab:
„Mengapa kau takut akan ini? – namun  manusia dan pohon adalah serupa.
Bertambah kemauannya untuk naik ke ketinggian dan ke cahaya, bertambah 
semangat akar-akarnya menembus ke dalam tanah, ke bawah, ke gelap, ke 
kedalaman-kedalaman – ke dalam kejahatan.‟
„Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda ini. „Bagaimana mungkin kau 
membuka jiwaku?‟
Zarathustra tersenyum, dan berkata: „Ada banyak jiwa yang tidak seorang 
pun akan pernah bisa buka, kecuali seseorang membuat-buatnya terlebih dahulu.‟
„Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda itu sekali lagi.
„Kau berseru kebenaran, Zarathustra. Aku tidak lagi mempercayai diriku 
sejak aku mau naik ke ketinggian, dan tidak seorang pun mempercayaiku lagi. 
Bagaimana ini bisa terjadi?
Aku berubah terlalu cepat: keharinianku menyangkal kemarinanku. saat  
aku naik tangga, kerap kali aku melompat lampaui anak-anak tangga, tidak satu 
anak tangga pun memaafkanku.
saat  aku ada di atas, aku selalu mendapatkan diriku seorang diri. Tidak 
ada seorang pun berbicara padaku, dingin beku penyendirian membuatku 
gemetaran. Apa yang aku cari di atas ketinggian?
Kebencianku dan kerinduanku bertambah bersama: lebih tinggi aku 
mendaki, lebih pula aku membenci ia yang mendaki. Apa yang aku cari di di atas 
ketinggian?
Betapa malunya aku akan pendakian dan ketersandunganku! Betapa aku 
mengumpat pada keberingasan suara keterengah-engahanku! Betapa aku benci ke 
seseorang yang bisa terbang! Betapa letihnya aku di atas ketinggian!‟
Di sini anak muda ini terdiam. Dan Zarathustra mengamati pohon di sisi 
mana mereka berdiri, lalu berseru demikian: 
„Di sini pohon ini berdiri sendirian di atas bukit; dia tumbuh tinggi di atas 
manusia dan binatang.
Dan jika dia mau berbicara, dia akan mendapatkan bahwa tidak ada seorang 
pun yang akan mengertinya: sangat tinggi dia telah tumbuh.
Sekarang dia menunggu dan menunggu – namun menunggu apa? Dia hidup 
sangat dekat dengan mendung-mendung: apakah dia menunggu, mungkin bagi 
kilat pertama?‟
Setelah Zarathustra berkata demikian, anak muda ini berteriak dengan 
gerak-gerik yang beringas: „Ya, Zarathustra, kau berseru kebenaran. Aku rindu 
pada kehancuranku, tatkala aku berhasrat untuk berada diatas ketinggian, dan 
kau adalah kilat yang aku tunggu-tunggu itu! Perhatikan, seperti apa aku selama 
ini sejak kau muncul di sekeliling kami? Itu adalah kedengkian terhadap kau yang 
telah menghancurkanku!‟ Kata anak muda ini dan menangis tersedu. Namun,
Zarathustra merangkulnya dan mengajaknya untuk berjalan bersamanya.
Dan setelah mereka berjalan beberapa lamanya, Zarathustra mulai berseru 
demikian
Ini mematahkan hatiku. Mata kau berbicara dengan lebih terus terang
dibandingkan  kata-kata kau, akan semua marabahaya kau.
Kau namun belum lagi bebas, kau masih mencar-carii kebebasan. 
Pencarianan kau itu melelahkan kau dan membuat kau sangat berjaga-jaga.
Kau rindu untuk berada di atas ketinggian yang terbuka, spirit kau haus 
bagi bintang-bintang. namun  naluri-naluri buruk kau pula haus bagi kebebasan.
Anjing-anjing ganas kau rindu bagi kebebasan; mereka menggonggong
bersuka ria di dalam gudang bawah tanah mereka saat  spirit kau bercita-cita 
untuk membuka semua pintu penjara-penjara.
Bagiku, kau tetap saja seperti nara pidana yang berkhayal kebebasan: ah, 
spirit nara pidana seperti ini akan menjadi cerdik, namun  juga akan menjadi penipu 
dan jahat.
Harus tetap mensucikan diri, ini penting bagi manusia spirit bebas. Banyak 
yang seperti penjara dan karat besi masih ada dalam dirinya: matanya harus tetap
menjadi murni.
Ya, aku tahu marabahaya kau. namun , dengan cinta dan harapanku aku 
mohon kau: jangan menolak cinta dan harapan kau sendiri!
Kau tetap merasakan diri kau mulia, dan yang lainnya pun tetap merasakan 
kau mulia, walau pun mereka tidak senang dengan kau dan membuat pandangan 
jahatnya pada kau. Ketahuilah ini, bahwa setiap manusia mendapatkan bahwa 
manusia mulia itu penghalang jalan.
Begitu pula si baik, mendapatkan manusia mulia itu penghalang jalan: 
bahkan saat  mereka menamakan manusia mulia itu orang baik, mereka 
melakukan ini untuk menyingkirkannya.
Manusia mulia ingin mencipta sesuatu yang baru dan kebajikan baru. Si 
manusia baik ingin sesuatu yang lama dan sesuatu yang lama harus dilestarikan.
namun  ini bukanlah bahayanya manusia mulia – bahwa ia akan menjadi
manusia baik – namun  takut jika ia akan menjadi lancang, pencemooh, perusak.
Duh, aku tahu para manusia mulia yang telah kehilangan harapan-harapan 
tertingginya. Dan selanjutnya mereka mengumpat segala harapan-harapan tinggi.
Lalu mereka hidup tanpa malu dalam kenikmatan-kenikmatan sesaat, dan 
mereka nyaris tidak punya tujuan hidup melebihi tujuan sehari-hari.
„Spirit adalah kenikmatan sensual pula‟ – maka mereka berseru. Lalu sayap￾sayap spirit mereka patah: sekarang merangkak di sekeliling dan membuat kotor 
tempat dimana ia makan makannya.
Sekala mereka berpikir akan menjadi pahlawan: sekarang mereka menjadi 
sensualis. Sang pahlawan bagi mereka adalah sesuatu yang menakutkan dan 
menyusahkan.
namun , bersama dengan cintaku dan harapanku aku mohon kau: jangan 
menolak sang pahlawan di dalam jiwa kau! Tetap sucikan harapan tertinggi kau! 



































Nietzsche menganggap Seruan Zarathustra sebagai salah satu karyanya 
yang terpenting.
Tidak diragukan lagi bahwa karya ini adalah mengenai pengatasan diri.
Menggabungkan pesan-pesan dari kitab Injil, mitologi Yunani dan agama kuno bangsa 
Persia, yang sengaja dijungkirbalikan.
Nietzsche menyusun naskah ini dalam waktu sekitar dua tahun, bab satu ditulis 
hanya dalam tempo sepuluh hari. Nietzsche sendiri menganggap Seruan Zarathustra
ini sebagai karyanya yang paling penting, dan dianggap oleh banyak para komentator 
sebagai karya yang penuh dengan penjelasan yang detail tentang “superman” dan “ 
the will to power.” Pada awalnya ia hanya menulis tiga bab saja, merasakan bahwa 
akhir cerita ini harus disudahi saat  Zatahustra mendapatkan doktrin “siklus abadi” di 
atas gunungnya. Kemudian ia pun menulis bab empat, dan ia menolak untuk 
menerbitkannya, dengan alasan bab ini akan sangat menggoncangkan publik di saat 
itu. Naskah bab empat disirkulasikan di antara teman-temannya dalam bentuk draft, 
hingga akhirnya diterbitkan oleh adik perempuannya, Elizabeth, setelah Nietzsche 
terserang penyakit gila.
Seruan Zarathustra adalah juga karya yang paling populer di kalangan publik. 
Walau pun buku ini hanya disambut secara dingin saat  pertama kali diterbitkan, 
karya ini menjadi sangat terkenal setelah wafatnya Nietzsche, dan tetap populer 
hingga menjadi buku yang paling laris terjual di zaman modern ini. Selama Perang 
Dunia Kedua, pemerintah Jerman mencetak lebih dari    .    eksemplar dan 
didistribusikan pada tentaranya.
Dalam tataran narasi, buku ini membicarakan tentang perjalanan dan ajaran￾ajaran Zarathustra, seorang junjungan , guru agama dari tokoh dalam sebuah mitos, yang 
datang ke dunia untuk mengajarkan ajaran tentang “Sang Superman.” Ajaran-ajaran 
Zarathustra berupa kombinasi antara cerita-cerita yang ada dalam ayat-ayat agama￾agama kuno seperti dari kitab Perjanjian Lama dan mitos-mitos Yunani. Dan hanya ada 
disana-sini. Karya ini, malahan, terfokus pada ajaran-ajaran Zarathustra mengenai 
sang Superman dan perjuangan dirinya untuk mengatasi segala aspek-aspek dunia 
yang akhirnya membawanya pada doktrin “Siklus Abadi,” sebuah keadaan yang 
diasosiasikan dengan transendensi.
Buku ini menceritakan tinjauan Nietzsche tentang “Sang Superman,” suatu 
keadaan mengenai kehidupan yang murni dimana seseorang dapat mencintai alam 
dan bumi sebagai kebaikan yang tertinggi. Buku ini menguraikan keyakinan Nietzsche 
yang sangat mashur “Tuhan sudah mati.” Dalam Seruan Zatahustra, Nietzsche 
membayangkan sebuah dunia dimana Sang Superman dapat mengatasi ajaran-ajaran 
Nasrani yang sudah mati, menuju ke siklus abadi.
Gaya penulisan yang sangat eksperimental ini menjauhkannya dari popularitas, 
dari lingkaran akademik dan filsafat hingga akhir hayatnya Nietzsche. Buku yang 
bergaya sangat ambigu, tidak pas dengan gaya tulisan filsafat abad    dan abad    
awal. Namun, diakhir abad    komunitas filsafat postmoderen merangkul karya ini dan  format-formatnya yang menghapus batasan-batasan, yang memadukan filsafat 
dengan kritik tentang agama dan masyarakat. Banyak teori-teori postmoderen 
tentang dekonstruksi berdasarkan pada karya-karya Nietzsche yang ada dalam Seruan 
Zarathustra, buku ini secara ajeg tetap menghasilkan karya-karya interpretasi 
akademik baru. Saat ini ada ratusan uraian-uraian dan  penjelasan-penjelasan yang 
terperinci terhadap apa yang telah dibuktikan sebagai karya Nietzsche yang terkenal 
itu, dan masih akan tetap mempengaruhi filsafat-filsafat kaum generasi baru

Kesucian
Aku mencintai hutan. Adalah buruk untuk tinggal di kota: terlalu banyak manusia 
yang penuh nafsu hidup di sana.
Tidakkah lebih baik untuk jatuh ke tangan para pembunuh dibandingkan  jatuh ke 
impian-impian perempuan penuh nafsu birahi?
Dan lihatlah ke para lelaki ini: mata mereka mengatakan semua ini – mereka 
tidak tahu apa yang lebih baik di dunia ini selain bersetubuh dengan perempuan.
Dasar jiwa mereka dipenuhi oleh kotoran: Duh! Ada spirit yang bercokol 
dalam kotoran ini! 
Seandainya kau itu sempurna, paling tidak seperti binatang! namun  binatang
memiliki rasa keluguan.
Apa aku menganjurkan kau untuk membunuh perasaan kau? Aku 
menganjurkankau bagi keluguan naluri kau.
Apa aku mengajurkan kau bagi kesucian? Bagi sebagian orang, kesucian itu 
adalah kebajikan, namun  bagi kebanyakan orang ini nyaris semacam kejahatan.
Para manusia serupa ini punya pantangan, tentunya: namun  nafsu berahi 
binatang jalang ini melotot dengki keatas segala perbuatan mereka.
Binatang yang tidak tahu aturan ini bahkan mengikuti mereka hingga ke
dalam kebajikan yang tertinggi dan ke kedalaman spirit dingin mereka.
Dan bagaimana manisnya nafsu berahi binatang jalang ini tahu mengemis 
sepotong spirit, tatkala permintaan bagi sepotong daging ditolak.
Apa kau mencintai tragedi-tragedi dan semua yang mematahkan hati? namun 
aku tidak percaya pada nafsu berahi kebinatangan kau itu.Mata Kau memiliki mata yang terlalu kejam; kau melihat ke para penderita 
secara penuh nafsu. Bukankah nafsu berahi ini menyamar lalu menamakan dirinya 
belas kasihan?
Dan aku berikan kiasan ini kepada kau: Tidak sedikit manusia yang mau 
mengusir setan dari dalam mereka, mereka malah menjadi babi yang menjijikan.
Bagi mereka dimana kesucian itu adalah sulit, janganlah dilakukan, agar 
tidak menjadi jalan ke Neraka – ini adalah ke kotoran dan ketamakan jiwa.
Apakah aku berseru tentang sesuatu yang kotor? namun  bagiku ini bukanlah 
yang terburuk yang aku bisa lakukan.
Bukan saat  kebenaran itu kotor, namun  saat  kebenaran itu dangkal, 
yangmana orang yang tercerahkan pun enggan untuk mencercahkan diri mereka 
ke dalamnya.
Sungguh, ada mereka yang suci dari dalam hatinya: mereka lebih lembut 
hatinya dan mereka lebih kerap tertawa dan lebih sepenuh hati dibandingkan  kau.
Mereka tertawa pula pada kesucian, dan bertanya: „Apa sih kesucian itu?‟
Bukankah kesucian itu suatu kebodohan? namun  kebodohan itu datang pada 
kita, bukan kita datang padanya.
„Kita tawarkan tamu kita cinta dan  tempat perlindungan: sekarang ia 
tinggal dengan kita – biarlah ia tinggal selama yang ia hendaki!‟
Sang Teman
„Satu selalunya terlalu banyak di sekelilingku‟ – maka berkatalah sang petapa. 
„Selalu awalnya satu – dalam jangka panjang menjadi dua!‟
Aku dan daku selalu berbicara tulus satu sama lainnya: bagaimana ini bisa 
bertahan lama, jika tidak ada teman?
Sang teman bagi seorang petapa selalunya adalah manusia ketiga: manusia 
ketiga adalah gabus yang mencegah pembicaraan dari dua yang lainnya tidak 
tenggelam ke kedalaman.
Duh, ada banyak kedalaman-kedalaman bagi para petapa. Mengapa itulah,
mereka rindu akan teman dan akan ketinggiannya.
Kepercayaan kita pada manusia lain ini adalah kepenghianatan kita dimana 
kita mau mempunyai kepercayaan pada diri kita sendiri. Kerinduan kita bagi 
teman ini adalah kepenghianatan kita.
Dan kerap kali bersama dengan cinta kita, kita hanya ingin untuk melompati 
kedengkian. Dan kerap kali kita menyerang dan membuat permusuhan, untuk
menyembunyikan bahwa kita mudah diserang.
„Sekurang-kurangnya jadilah musuhku!‟ – maka berkata sang pengabdi
yang sejati, yang tidak mau membuat pertemanan.
Jika kau mau punya teman, kau harus pula mau berperang baginya: dan 
untuk bisa berperang, kau harus bisa menjadi musuh.
Kau harus bisa menghormati musuh di dalam diri teman kau. Bisakah kau 
pergi ke dekat teman kau, tanpa harus menyakitinya?
Di dalam diri teman kau, kau musti punya musuh besar kau. Hati kau musti 
lebih dekat lagi padanya saat  kau menyerangnya.
Apa kau mengharap untuk pergi ke dekatnya tanpa berpakaian ke 
hadapannya? Apakah ini untuk menghormati teman kau bahwa kau 
memperlihatkan diri kau apa adanya? namun  ia berharap kau pergi ke Neraka
sebab  ini!
Ia yang tidak merahasiakan apa-apa tentang dirinya akan memicu 
kemarahan pada orang lain: mengapa itulah ada berbagai macam alasan-alasan
yang membuat kau harus takut pada ketelanjangan! Seandainya kau adalah 
tuhan kau lalu kau bisa malu akan pakaian!
Kau tidak boleh menghias diri terlalu bagus bagi teman kau: sebab  baginya 
kau musti menjadi serupa anak panah dan kerinduan ke sang Superman.
Pernahkah kau memperhatikan teman kau tidur? – untuk mengetahui seperti
apa ia itu? Seperti apa muka teman kau itu biasanya? Ini adalah muka kau sendiri, 
di pantulan cermin yang kasar dan kunyel.
Pernahkah kau memperhatikan teman kau tidur? – Apa kau tidak cemas 
melihat teman kau yang kelihatannya seperti itu? O temanku, manusia adalah 
sesuatu yang musti diatasi.
saat  sedang menduga dan sedang menjaga kemembisuan, sang teman 
musti menjadi contohnya: jangan mau melihat yang lainnya. Impian kau musti 
mengatakan pada kau apa yang sang teman kau kerjakan saat  ia tidak tidur.
Semoga belas kasihan kau itu menjadi dugaan: pertama untuk mengetahui
apakah teman kau membutuhkan belas kasihan. Mungkin apa yang ia cintai 
dalam diri kau adalah sorotan mata jeli kau dan pandangan keabadian kau itu.
Biar belas kasihan kau pada teman kau bersembunyi dalam kulit keras; kau 
musti mematahkan gigi kau saat  menggigitnya. Maka kau akan memiliki
kehalusan dan rasa sedap.
Apakah kau ini udara murni dan tersendiri dan  roti dan obat bagi teman 
kau? Banyak orang tidak bisa membebaskan diri dari sengkelanya sendiri namun 
ia bisa membebaskan temannya.
Apa kau budak? Jika demikian, kau tidak bisa menjadi teman. Apa kau 
zalim? Jika demikian, kau tidak bisa punya teman.
Dalam diri seorang perempuan, sosok budak dan kezaliman telah sangat 
lamanya disembunyikan. Oleh sebab  itu, perempuan belum sanggup bersahabat: 
ia hanya tahu cinta belaka.
Dalam cintanya perempuan ketidakadilan dan kemembabibutaan tertuju 
pada semua yang ia tidak cintai. Bahkan dalam cinta perempuan yang 
tercerahkan, pun, tetap ada sesuatu serangan yang tidak terduga dan kilat dan 
malam, bersama cahaya.
Perempuan belum sanggup untuk bersahabat. namun  katakanlah padaku, kau 
para lelaki, siapakah di antara kau namun sanggup bersahabat?
Oh, kemiskinan kau, kau para lelaki, dan keburukan jiwa kau! Sebanyak 
apa pun yang kau berikan pada teman kau aku bahkan mau berikan pula pada 
musuhku, dan tidak akan menjadi lebih miskin dalam melakukan ini.
Ada persaudaraan: semoga ada persahabatan!
Seribu Satu Tujuan
Zarathustra sudah banyak melihat negeri-negeri dan rakyat-rakyat: maka ia telah 
menemui kebaikan dan kejahatannya rakyat-rakyat. Zarathustra mendapatkan 
bahwa tidak ada yang lebih kuat di dunia ini selain dibandingkan  kebaikan dan 
kejahatan.
Tidak seorang pun bisa hidup tanpa membuat penilaian terlebih dahulu; 
namun  ia tidak boleh menilai seperti para tetangganya menilai.
Sesuatu yang tampaknya baik bagi seseorang tampaknya memalukan dan  
merendahkan bagi yang lainnya: maka aku dapatkan ini. Apa yang aku dapatkan 
di sini dinamakan kejahatan, namun  disana dihias dengan kehormatan mulia.
Tidak pernah tetangga seseorang mengerti tetangga orang lainnya: jiwanya 
selalu heran pada kegilaan dan kekejaman tetangganya.
Tata nilai-nilai bergantungan di atas setiap manusia. Perhatikan, ini adalah 
tata nilai-nilai keberjayaannya, perhatikan, ini adalah suara kemauannya pada 
kekuatan.
Apa yang dianggapnya pelik ini dinamakan yang sangat berharga; apa yang 
dianggapnya terpenting dan pelik ini dinamakan kebaikan; dan apa yang 
membebaskannya dari kebutuhan besar, yang langka, yang terpelik dari segalanya 
– ini diagungkan sebagai yang sakral.
Apa saja yang menyebabkan ia berkuasa dan menaklukan dan bersinar, yang 
mencemaskan dan mendengkikan tetangganya, ia menganggapnya sebagai 
sesuatu yang termulia, yang terpenting, makna dan nilai dari segala sesuatunya.
Sungguh, saudaraku, jika kau tahu kebutuhannya rakyat, tanahnya, langitnya 
dan tetangganya, tentu kau bisa menentukan hukum apa untuk mengatasinya, dan 
mengapa itulah berada di atas tangga ini untuk naik menuju ke arah 
harapannya.
„Kau selalu musti menjadi yang utama dan mengalahkan yang lainnya: 
kecemburuan jiwa kau tidak musti mencintai yang lainnya, kecuali teman kau‟ –
fatwa ini menggetarkan jiwa bangsa Yunani: dengan mengikuti ini ia mengikuti 
jejak ke kemegahan.
„Untuk berkata kebenaran dan ahli menggunakan panah dan busur‟ – ini 
tampaknya sangat pelik dan berharga bagi rakyat yang dari mereka aku 
mendapatkan namaku – satu nama yang berharga dan pelik bagiku.
„Untuk menghormat ibu dan bapak, dan mengerjakan kemauan mereka dari
dalam dasar jiwa‟: rakyat lainnya menggantungkan tata keberjayaannya ini di atas 
dirinya dan menjadi megah lagi abadi dengan ini.
„Untuk menjalankan kesetiaan dan demi kesetiaan mempertaruhkan 
kehormatan dan darah bahkan dalam kejahatan dan alasan-alasan yang 
berbahaya‟: mengikuti ajaran ini, rakyat lainnya menguasai dirinya, lalu ia 
mengandung dan berat dengan harapan-harapan megah.
Sungguh, para manusia telah memberikan pada diri mereka segala kebaikan 
dan kejahatan mereka sendiri. Sungguh, mereka tidak mengambilnya, mereka
tidak memulungnya, ini tidak datang ke mereka seperti suara dari surga.
Manusia mulanya menetapkan nilai-nilai ke sesuatu untuk menguatkan
dirinya – ia menciptakan makna sesuatu, makna kemanusiaan! Maka, ia 
menamakan dirinya: „Manusia‟, ini adalah: sang penilai.
Penilaian itu sendiri adalah penciptaan: dengar ini, kau para pencipta! 
Penilaian itu sendiri adalah harta karun dan batu permata dari segala sesuatu yang 
bernilai.
Hanya melalui penilaianlah ada nilai: dan tanpa penilaian cangkang 
eksistensi itu tidak ada isinya. Dengar ini, kau para pencipta!
Perubahan nilai-nilai – ini bermakna, perubahan dalam para pencipta nilai. 
Ia selalu harus menghancurkan jika ia ingin menjadi seorang pencipta.
Para rakyat dahulunya adalah para pencipta; hanya sesudahnyalah si 
perseorangan. Sungguh, si perseorangan ini adalah ciptaan yang terbaru.
Sekala para rakyat menggantungkan tata nilai-nilai ke atas diri mereka. 
Cinta yang ingin berkuasa dan cinta yang ingin patuh ini bersama-sama 
menciptakan tata-tata serupa ini.
Rasa sukacita terhadap gembalaan itu lebih tua dibandingkan  rasa sukacita
terhadap Ego: dan selama hati nurani baik itu dinamakan gembalaan, hanya hati 
nurani buruk yang berkata: aku. 
Sungguh, si Ego yang licik, manusia tanpa-cinta, yang mencari keuntungan
dalam keuntungan rakyat banyak – ini bukan asal usulnya gembalaan, namun  
kehancurannya.
Itu selalunya adalah para pencinta dan para pencipta yang menciptakan 
kebaikan dan kejahatan. Api cinta dan api angkara murka membara dalam segala 
nama-nama kebajikan.
Zarathustra banyak melihat negeri-negeri dan rakyat-rakyat: Zarathustra 
mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih kuat di dunia ini selain dibandingkan  karya 
para manusia pecinta: apa yang dinamakan „kebaikan‟ dan „kejahatan‟.
Sungguh, luar biasa segala kekuatan pemujian dan pengutukan ini. Katakan 
padaku, siapa yang bisa menaklukannya bagiku, para saudaraku? Siapa yang bisa 
mengalungkan sengkela-sengkela keatas beribu-ribu leher binatang ini?
Hingga saat ini ada beribu-ribu tujuan, sebab  ada beribu-ribu rakyat. Hanya
sengkela-sengkela yang kurang bagi beribu-ribu leher ini, dan tujuan yang satu
tetap saja kurang. Hingga kini manusia tidak punya satu tujuan.
Namun katakan padaku, para saudaraku: jika satu tujuan bagi kemanusiaan 
itu tetap tidak ada, tidakkah tetap tidak ada – kemanusiaan itu sendiri?


Mencintai Tetangga
Kau berkumpul dengan para tetangga kau dan punya kata-kata indah untuk ini. 
namun  aku katakan pada kau: Cinta kau pada tetangga ini adalah cinta buruk pada 
diri kau sendiri.
Kau melarikan diri ke tetangga, lari dari diri kau sendiri dan mau membuat
kebajikan dari ini: namun  aku melihat melalui „ketanpamementingkan diri‟ kau.
Si „Kau‟ lebih tua dibandingkan  si „Aku‟; si „Kau‟ telah dibaptiskan, namun 
belum lagi si „Aku‟: maka manusia berkumpul bersama tetangganya.
Apa aku menganjurkan kau untuk mencintai tetangga kau? Malah aku 
anjurkan kau untuk pergi menjauhi tetangga kau dan mencintai sesuatu yang 
terjauh!
Lebih tinggi dibandingkan  mencintai tetangga seseorang adalah mencintai 
manusia yang terjauh dan manusia masa depan; lebih tinggi dibandingkan  mencintai 
manusia adalah mencintai benda dan hantu-hantu.
Hantu-hantu ini yang berlarian di belakang kau, para saudaraku, mereka 
lebih bersih dibandingkan  kau; mengapa kau tidak berikan daging dan tulang-belulang 
kau? namun  kau takut, dan lari ke tetangga kau.
Kau tidak mampu untuk bersendirian dengan diri kau sendiri dan tidak 
cukup mencintai diri kau sendiri: lalu kau mau untuk menyesatkan tetangga kau 
ke dalam cinta, dan melapisi diri kau dengan kesalahannya.
Semoga kau tidak bisa bersama dengan setiap macam tetangga atau 
tetangganya tetangga kau; maka kau musti menciptakan teman kau dengan segala 
keberlimpahan hatinya, dari dalam diri kau sendiri.
Kau mengundang saksi saat  kau mau mengatakan betapa baiknya diri 
kau; dan saat  kau telah menyesatkannya bahwa kau ini baik, lalu kau 
menganggap diri kau baik.
Bukan hanya ia yang mengatakan sebaliknya dari apa yang ia tahu yang 
berbohong, namun  juga ia yang berkata sebaliknya dari apa yang ia tidak tahu. 
Maka kau berbicara mengenai diri kau sendiri dalam pergaulan dengan yang 
lainnya dan membohongi tetangga kau.
Maka berkata si bodoh: „Bergaul dengan rakyat menghancurkan 
kepribadian, terutama saat  ia tidak mempunyai kepribadian.‟
Seseorang melarikan dirinya ke tetangganya sebab  ia mencari dirinya, 
dan yang lainnya sebab  mau kehilangan dirinya. Keburukan cinta kau pada diri
kau, ini membuat kesendirian itu seperti penjara bagi kau.
Itu adalah manusia terjauh yang telah melunasi cinta kau pada tetangga 
kau; dan tatkala ada lima semacam kau bergabung, yang keenam selalunya harus
mati.
Aku juga tidak suka pada festival-festival kau: terlalu banyak aktor aku 
dapatkan disana, dan para penontonnya, pun, bertingkah bagaikan aktor.
Tidak juga aku mengajarkan kau akan si tetangga, namun  akan sang teman. 
Semoga sang teman ini menjadi festival dunia bagi kau, dan awal perkenalan ke 
sang Superman.
Aku ajarkan kau tentang sang teman dan  keberlimpahan hatinya. namun  
kau musti mengerti bagaimana untuk menjadi sepon, jika kau mau dicintai oleh 
keberlimpahan hatinya.
Aku ajarkan kau tentang sang teman yang di dalam dirinya ada sebuah 
dunia yang sempurna, bahteranya manusia baik – sang teman yang pencipta, yang 
selalu memiliki dunia yang sempurna untuk diamalkan.
Dan laksana dunia ini yang di suatu waktu bertebaran kemana-mana
menjauh darinya, lalu datang kembali ke dirinya, laksana evolusi kebaikan dari
kejahatan, laksana evolusi dari sebuah tujuan itu dari keberuntungan.
Semoga masa depan dan yang terjauh menjadi prinsip masakini kau: 
dalam diri sang teman kau, kau harus mencintai sang Superman sebagai prinsip 
kau.
Para saudaraku, aku tidak menganjurkan kau untuk mencintai tetangga 
kau: aku menganjurkan kau untuk mencintai sesuatu yang terjauh.
Ini seruan Zarathustra.
  . Jalan Sang Pencipta
Maukah kau pergi berpisah dan bersendirian, saudaraku? Maukah kau mencari 
jalan ke dalam diri kau sendiri? Berhenti sekejap dan dengarkan aku.
„Ia yang mencari-cari akan mudah tersesat. Ini adalah kejahatan untuk pergi 
berpisah dan bersendirian‟ – maka berkata gembalaan.
Gaungan suara gembalaan tetap ada di dalam diri kau. Dan tatkala kau 
berkata: „Kita tidak lagi mempunyai nurani yang serupa, kau dan aku‟, ini akan 
menjadi kesedihan dan ratapan.
Lihatlah, nurani ini sendirilah yang menyebabkan kesedihan kau itu: dan 
kemilau akhir nurani kau tetap masih membara di dalam penderitaan kau.
namun  kau mau melarikan diri dari penderitaan kau, apakah ini jalan ke diri 
kau? Lalu, perlihatkanlah padaku hak kau untuk ini dan hak kau bagi ini!
Apa kau kekuatan baru dan hak baru? Gerak mula? Roda swaputar? 
Bisakah kau paksa bintang-bintang berputar mengelilingi kau?
Duh, banyak yang rakus kedudukan tinggi! Banyak gejolak ledakan di si 
ambisius! Perlihatkan padaku bahwa kau bukan salah satu dari yang rakus dan 
ambisius!
Duh, ada sangat banyak ide megah yang hanya dapat melakukan sesuatu 
yang tidak lebih dibandingkan  ubub: mereka menggembung dan mengempis selalu.
Bebas, ini yang kau anggap diri kau itu? Aku mau dengar konsep hak 
kewenangan kau, dan kau bukan telah bebas dari kuk.
Apakah kau orang yang berhak untuk bebas dari kuk? Banyak orang yang 
membuang harga dirinya tatkala mereka membuang ikatan mereka.
Bebas dari apa? Zarathustra tidak perduli akan ini! namun  mata kau musti 
berkata dengan jelas padaku: bebas untuk apa ?
Dapatkah kau memberikan pada diri kau, kebaikan dan kejahatan kau
sendiri, dan meletakan kemauan kau sebagai hukum atas diri kau sendiri? 
Dapatkah kau menjadi hakim atas diri kau, dan penuntut balas hukum kau?
Adalah mengerikan untuk bersendirian dengan sang hakim dan sang 
penuntut balas hukumnya sendiri. Seperti bintang yang dilontarkan ke ruang 
antariksa hampa dan ke tempat penyendirian yang dingin beku.
Sekarang kau masih saja menderita dari orang banyak, kau manusia 
perseorangan: sekarang kau masih saja memiliki keberanian kau yang tidak 
berkurang itu dan  harapan-harapan kau.
namun  suatu saat  kesendirianan kau akan membuat kau letih, suatu saat  
rasa bangga kau akan runtuh, dan keberanian kau akan kehilangan semangatnya. 
Suatu saat  kau akan berteriak: „Aku sendirian!‟
Suatu saat  kau tidak lagi bisa melihat apa-apa yang luhur dalam diri kau; 
dan melihat dekat sekali kerendahan kau; kemuliaan kau sendiri akan menakutkan
kau, seolah-olah hantu. Suatu saat  kau akan berteriak: „Segalanya palsu!
Ada perasaan-perasaan yang ingin untuk membunuh sang penyendiri; jika 
mereka tidak berhasil, lalu mereka sendiri musti mati! namun  apakah kau sanggup 
untuk itu - untuk menjadi seorang pembunuh?
Saudaraku, pernahkah kau mendengar kata-kata „hina‟? Dan 
penderitaannya keadilan kau yang harus adil ke mereka yang menghina kau?
Kau memaksa rakyat untuk merubah opini mereka mengenai kau; yangmana 
mereka pegang teguh untuk melawan kau. Kau mendekati mereka, namun kau 
meliwati mereka: untuk ini mereka tidak pernah mau memaafkan kau.
Kau pergi melebihi mereka: namun  lebih tinggi kau mendaki, lebih kecil lagi 
kau kelihatannya di mata si pendengki. Dan ia yang bisa terbang sangat dibenci 
melebihi segalanya.
„Bagaimana kau bisa adil terhadapku?‟ – berkatalah serupa ini – „Aku pilih 
ketidakadilan kau itu sebagai bagianku.‟
Segala ketidakadilan dan segala najis mereka lemparkan ke sang 
penyendiri: namun , saudaraku, jika kau mau menjadi bintang, kau harus bersinar 
bagi mereka tidak perduli akan itu semua!
Dan waspadalah terhadap si baik dan si adil! Mereka mau menyalibkan 
mereka yang menciptakan kebajikan mereka sendiri – mereka benci manusia
penyendiri.
Waspada, pula, terhadap kesederhanan yang sakral ! Segala yang tidak 
sederhana tidak sakral terhadapnya: dan, ini pula ingin bermain api –. kayu 
bakar dan tonggak pembakaran.
Waspada pula, terhadap serangan-serangan cinta kau! Sang penyendiri 
mengulurkan tangannya terlalu cepat terhadap siapa saja yang ia temui.
Bagi kebanyakan manusia, kau tidak semustinya mengulurkan tangan kau, 
namun  cakar kau: dan aku berharap bahwa cakar kau itu berkuku runcing, pula.
namun  musuh terbesar kau yang kau bisa hadapi itu selalunya, adalah diri 
kau sendiri; kau sendiri berbaring menghadang diri kau seorang, di guha-guha 
dan hutan-hutan.
Manusia penyendiri, kau berjalan menuju ke dalam diri kau sendiri! Dan 
arah-jalan kau itu meliwati diri kau dan tujuh setan-setan kau!
Kau akan menjadi manusia heretik ke diri kau sendiri, dan dukun dan junjungan ,
dan orang bodoh, dan orang yang tidak lekas pecaya, durjana dan penjahat.
Harus siap untuk membakar diri kau sendiri dalam kobaran api kau: 
bagaimana bisa kau menjadi baru jika mulanya kau tidak mau menjadi abu?
Kau manusia penyendiri, kau pergi ke jalan sang pencipta: kau mau
menciptakan Tuhan untuk diri kau sendiri dari tujuh setan-setan kau!
Kau manusia penyendiri, kau pergi ke jalan sang pecinta: Kau mencintai 
diri kau sendiri, oleh sebab  itu kau membenci diri kau, hanya sang pencintalah 
yang membenci sedemikian rupa.
Untuk mencipta, ini keinginannya sang pencinta, sebab  ia membenci! Apa 
yang ia tahu tentang cinta yang tidak musti membenci pada apa yang ia cintai?
Bersama cinta kau, pergilah ke tempat penyendirian kau, saudaraku, 
bersama dengan ciptaan kau pula; dan sang keadilan dengan lambat dan 
terpincang-pincang akan mengikuti kau.
Bersama tetesan air mataku, pergilah ke tempat persendirian kau, 
saudaraku. Aku mencintai ia yang mau menciptakan dirinya melebihi dirinya, lalu 




Kematian Rela
Banyak yang mati terlambat dan sebagian mati terlalu cepat. Selalu fatwa ini 
janggal terdengarnya: „Mati di waktu yang tepat!‟
Mati di waktu yang tepat: maka Zarathustra mengajarkan ini. 
Tentunya, ia yang tidak pernah hidup di waktu yang tepat mustahil ia akan 
mati di waktu yang tepat! Lebih baik lagi jika ia tidak pernah dilahirkan! – Maka 
aku menganjurkan manusia yang mubazir ini.
namun  bahkan manusia yang mubazir ini membuat kemegahan pada 
kematian mereka: ya, bahkan kacang kosong pun mau direkah.
Setiap manusia menganggap kematian sebagai yang penting: namun hingga 
kini, kematian itu bukan festival. Namun hingga kini, para manusia belum lagi 
belajar membaptis festival-festival mahamurni.
Kematian yang sempurna, akan aku perlihatkan pada kau, yang musti 
menjadi pemicu dan janji-janji pada yang hidup.Manusia yang menjalankan kehidupannya dengan sempurna, mati penuh
kejayaan, di kelilingi para manusia yang mengharap dan membuat sumpah￾sumpah khidmat.
Maka seseorang musti belajar untuk mati; dan tidak boleh ada festival￾festival di mana manusia yang sekarat itu tidak mensakralkan sumpah-sumpah 
manusia yang masih hidup!
Mati laksana ini adalah kematian terbaik; namun  yang terbaik kedua: ini 
adalah mati dalam pertempuran, dan mengorbankan jiwa megah.
namun  yang juga dibenci oleh sang pendekar dan sang pemenang itu adalah 
seringai kematian kau, yang datang merangkak diam-diam bak pencuri – namun 
datang sebagai penguasa.
Kematianku, aku anjurkan pada kau, adalah kematian rela yang datang 
padaku sebab  aku menginginkannya.
Dan bilakah aku harus menginginkannya? – Ia yang mempunyai tujuan dan 
pewaris, ingin mati di waktu yang tepat bagi tujuan dan pewarisnya.
Dan dari rasa hormatnya pada tujuan dan pewarisnya, ia tidak mau lagi 
menggantungkan rerangkaianan bunga layu ke suaka kehidupan.
Sungguh, aku tidak mau menjadi seperti si pembuat tali: mereka memintal
rajutan mereka lalu berputar balik berlawanan.
Banyak yang tumbuh terlalu tua bahkan bagi kebenaran-kebenaran dan 
kejayaan-kejayannya; mulut yang tidak bergigi tidak lagi punya hak bagi setiap 
kebenaran.
Dan sesiapa yang ingin terkenal, musti mengundurkan diri secara hormat di 
waktu yang tepat, dan berlatih seni yang tersulit – mundur di waktu yang tepat.
Seseorang harus tidak memperbolehkan dirinya dimakan saat  rasanya 
lezat: ini dimengerti oleh ia yang mau untuk dicinta dengan lama.
Tentunya, ada apel-apel masam yang harus menunggu nasibnya hingga 
akhir musim gugur: mereka sekali gus akan menjadi matang, menguning, dan 
layu mengkerut.
Bagi kebanyakan manusia hatinya yang mulanya menua, dan yang lainnya 
spiritnya. Dan sebagian menua di masa mudanya, namun  mereka yang muda 
terlambat tetap muda selalu.
Bagi kebanyakan manusia, hidup ini adalah kegagalan: ulat berbisa 
memakan hatinya. Maka buktikanlah kematiannya itu menjadi sukses besar 
baginya.
Banyak manusia tidak pernah menjadi manis, mereka membusuk bahkan di 
musim panas. Itu adalah kepengecutan mereka yang mengikat erat mereka pada
tangkainya.
Manusia kebanyakan hidup, dan mereka bergantungan di tangkai-tangkai 
mereka terlalu lama. Semoga badai itu datang dan mengguncangkan segala 
kebusukan dan ulat pemakan buah dari pohon!
Semoga para pengkhotbah kematian cepat itu datang! Mereka akan menjadi 
badai-badai yang pantas dan  penggoncang pepohonan kehidupan! namun  aku 
hanya mendengar khotbah tentang kematian lambat, dan kesabaran pada segala 
sesuatu yang „duniawiah‟.
Ah, apa kau mengkhotbahkan kesabaran pada segala sesuatu yang 
duniawiah? Itu adalah keduniawian yang sangat sabar pada kau, kau para 
penghujat!Sungguh, sangat cepat kematian si orang Ibrani yang para pengkhotbah 
kematian lambat itu hormati: dan bagi banyak orang ini telah menjadi bencana 
besar, sebab  ia mati terlalu muda.
Namun, ia hanya tahu air mata dan melankolinya kaum Ibrani saja, juga 
kebenciannya pada si baik dan si adil – si Ibrani Yesus: maka ia tercekam oleh 
kerinduannya untuk mati.
Seandainya saja ia tetap ada di padang pasir, dan jauh dari si baik dan si 
adil! Mungkin ia akan bisa belajar hidup dan belajar mencintai dunia – dan 
tertawa pula!
Percayalah, para audaraku! Ia mati terlalu muda; ia sendiri akan menarik 
balik ajarannya kalau saja ia bisa hidup seusiaku! Ia cukup mulia untuk menarik 
balik ajarannya!
namun  ia masih hijau. Pemuda mencinta secara belia dan secara belia pula ia 
membenci manusia dan dunia. Hati dan sayap-sayap spiritnya masih terkurung 
dan kaku.
namun  ada lebih banyak kekanakan dalam diri manusia dewasa dibandingkan  
dalam diri pemuda, dan sedikit melankolinya: ia lebih mengerti banyak akan 
hidup dan mati.
Bebas demi kematian dan bebas dalam kematian, kata-kata Tidak yang 
sakral saat  tidak ada waktu lagi bagi Ya: maka ia mengerti kehidupan dan
kematian.
Semoga kematian kau tidak menjadi penghujatan pada manusia dan dunia, 
para saudaraku: ini yang aku mohon dari madu jiwa kau.
Dalam kematian kau, spirit dan kebajikan kau harus tetap bersinar laksana 
cahaya senja mengelilingi dunia: jika tidak kematian kau ini adalah kematian yang 
sia-sia.
Maka aku juga akan mati, semoga kau para temanku bisa lebih mencintai 
dunia ini demi aku; dan aku akan menjadi dunia ini lagi, agar aku bisa 
menemukan kedamaian pada ia yang melahirkanku.
Sungguh, Zarathustra punya satu tujuan, ia telah melemparkan bolanya: 
semoga sekarang kau para temanku menjadi pewaris tujuanku, aku lempar bola ini 
ke kau.
namun  yang terbaik, aku suka melihat kau, pula, melemparkan bola emas ini, 
para temanku! Lalu aku bisa hidup di dunia ini lebih lama lagi, maafkanlah aku
untuk ini!

Amal Kebajikan
 
Tatkala Zarathustra meninggalkan kota yang telah memikat hatinya, yang 
bernama „Lembu Belang,‟ di sana banyak orang mengikutinya, banyak yang 
menamakan diri mereka para penganutnya, dan mengiringinya. Lalu mereka 
sampai ke simpang empat jalan: di sini Zarathustra mengatakan pada mereka 
bahwa dari sini dan seterusnya ia mau pergi sendirian: sebab  ia senang 
berpergian sendiri. namun  para penganutnya, di saat kepergiannya memberinya 
sebuah tongkat, di ujung pegangannya ada ukiran emas ular membelit sang surya. 
Zarathustra menyenangi tongkat ini dan menyandarinya; lalu ia berseru kepada 
para penganutnya demikian: 
Coba tolong katakan padaku: mengapa emas telah menjadi nilai tertinggi ? 
sebab  emas itu tidak umum, dan tidak membawa untung, dan bercahaya dan 
lembut kemilaunya; selalu mengamalkan dirinya.
Hanya sebagai citra dari kebajikan yang tertinggi sajalah emas ini menjadi 
nilai tertinggi. Laksana kemilau emas adalah pandangannya sang pemberi. 
Semarak keemasannya membuat damai matahari dan bulan.
Kebajikan tertinggi itu tidak umum dan tidak membawa untung, bersinar 
lembut di kemilaunya; kebajikan tertinggi adalah amal kebajikan.
Sungguh, aku tahu tentang kau, kau para penganutku, kau berusaha seperti 
aku bagi amal kebajikan. Apa persamaannya antara kau dan kucing-kucing dan 
serigala-serigala?
Diri kau sendiri haus untuk menjadi korban dan hadiah-hadiah; lalu kau pu 
haus untuk mengumpulkan segala macam kekayaan-kekayaan di dalam jiwa kau.
Tidak pernah puas jiwa kau bagi harta-harta dan permata-permata, sebab  
kebajikan kau tidak pernah puas untuk memberi.
Kau memaksa segala sesuatu untuk datang pada kau dan ke dalam diri kau, 
supaya mereka mengalir kembali dari air mancur kau sebagai hadiah cinta kau.
Sungguh, cinta yang selalu memberi ini mustilah menjadi seorang pencuri 
segala nilai-nilai; namun  egoisme yang seperti ini bagiku adalah sehat dan suci.
Ada lagi egoisme lainnya, yang sangat miskin, egoisme lapar yang ingin 
selalu mencuri, egoisme orang sakit, egoisme yang tidak sehat.
Dengan mata pencuri ia melihat ke segala benda-benda yang berkilauan; 
dengan tamak kelaparan ia mengukur seseorang yang punya banyak makanan, 
dan selalu mengintai di sekeliling meja para pemberi.
Ketidaksehatan ini berbicara dari dambaan yang demikian, dari kemerosotan 
yang tidak kelihatan; kerinduan tamak pencuri adalah serupa ini, berbicara dari 
badan tidak sehat.
Katakanlah padaku, para saudaraku: apa yang kita anggap buruk dan 
terburuk dari segalanya? Bukankah itu kemerosotan? – Dan kita selalu akan 
menduga bahwa kemerosotan itu ada bilamana jiwa amal itu tidak ada.
Jalan kita adalah ke atas, dari spisis menyeberang ke super-spisis. namun  
pikiran yang merosot berkata „Segalanya untukku,‟ ini menakutkan bagi kita.
Pikiran kita terbang ke atas: maka ini adalah kiasan bagi badan kita, kiasan 
bagi peningkatan dan kemajuan. Kiasan-kiasan peningkatan seperti ini adalah 
nama-nama kebajikan.
Maka sang badan melangkah melalui sejarah, berkembang dan bertempur. 
Dan spirit - apa sih dia itu ke sang badan? Sang pewarta, kawan, dan  gaung
pertempuran-pertempuran dan kejayaan-kejayaannya.
Kebaikan dan kejahatan itu hanyalah kiasan-kiasan belaka: mereka tidak 
langsung berbicara, mereka hanya tanda petunjuk. Ia adalah dungu yang mencari 
pengetahuan darinya.Perhatikanlah saudaraku, saat  spirit kau ingin berbicara dalam kiasan￾kiaan: ini adalah asal usul kebajikan kau itu.
Lalu badan kau akan terangkat, naik: bersama dengan rasa sukacitanya, ini 
menggairahkan spirit, lalu dia akan menjadi sang pencipta, dan sang penilai dan 
sang pecinta dan sang pemberi segalanya.
saat  hati kau meluap dan  membanjir serupa sungai, memberi berkah juga
membahayakan pada sesiapa saja yang hidup di dekatnya: ini adalah asal usul
kebajikan kau itu.
saat  kau terjunjung melebihi pujian dan kutukan, dan kemauan kau akan 
memberi aba-aba pada segala sesuatunya, seperti seseorang yang mencintai: ini 
adalah asal usul kebajikan kau itu.
saat  kau membenci segala sesuatu yang menyenangkan, dan dipan yang 
halus empuk, dan tidak dapat duduk terlau jauh dari manusia halus hati: ini adalah 
asal usul kebajikan kau itu.
saat  kau menginginkan satu kemauan, dan kau menamakan penghalau 
kebutuhan itu esensi dan nesesitas kau: ini adalah asal usul kebajikan kau itu.
Sungguh, ini adalah kebaikan dan kejahatan baru! Sungguh, ini adalah bunyi 
desiran baru di dalam kedalaman dan suara sebuah air-mancur baru!
Ini adalah kekuatan, kebajikan baru ini; ini adalah kaidah kekuasaan, di 
kelilingi oleh jiwa yang halus: matahari emas, di kelilingi ular pengetahuan.
Di sini Zarathustra terdiam sejenak, dan melihat penuh kasih sayang pada para 
penganutnya. Lalu ia berseru lagi demikian, dan suaranya pun berbeda:
Tetaplah setia pada dunia, para saudaraku, dengan kekuatan kebajikan kau! 
Semoga amal cinta kau dan pengetahuan kau membaktikan dirinya pada makna 
dunia! Maka aku mohon dan meminta kau.
Jangan biarkan dia terbang lari dari dunia dan memukul dengan sayap￾sayapnya dinding-dinding keabadian! Duh, sudah ada banyak kebajikan yang 
telah lari jauh!
Giringlah, laksana yang aku kerjakan, kebajikan yang lari jauh itu kembali 
ke dunia – ya, kembali ke badan dan ke kehidupan: semoga dia akan memberikan 
dunia maknanya, makna kemanusiaan!
Sudah beratus-ratus kali hingga kini sang spirit dan kebajikan melarikan diri
dan membuat kesalahan-kesalahan. Duh, dalam badan kita tetap hidup semua 
ilusi dan kesalahan-kesalahan itu: semunya ini telah menjadi badan dan kemauan.
Sudah beratus-ratus kali hingga kini sang spirit dan kebajikan di coba dan 
tersesat. Ya, manusia adalah suatu percobaan. Duh, banyak kebodohan dan eror
telah menjadi badan dalam diri kita!
Bukan hanya rasionalitas milenium – namun  juga kegilaan sering menyertai
tindakan kita. Adalah berbahaya untuk menjadi pewaris.
Kita tetap bertempur setapak demi setapak melawan si raksasa
Keberuntungan, dan hingga kini nonsen yang tidak berarti, tetap menguasai umat 
manusia.
Semoga spirit dan kebajikan kau membaktikan dirinya pada makna dunia
ini, para saudaraku: semoga nilai segala sesuatunya ditentukan baru oleh kau! 
Untuk ini kau musti menjadi satria! Untuk ini kau musti menjadi sang pencipta!
Dengan ilimu pengetahuan sang badan mensucikan dirinya; mencoba-coba
dengan ilmu pengetahuan dia memuliakan dirinya; bagi manusia cerdas segala 
naluri itu adalah suci; bagi manusia mulia spirit menjadi penuh dengan ukacita.
Tabib, sembuhkan diri kau: lalu kau bisa menyembuhkan pasien kau pula. 
Biar alat-penyembuh terbaiknya itu adalah pandangan matanya sendiri yang 
melihat seseorang yang membuat dirinya sendiri sehat. 
Di sana ada beribu-ribu jalan yang belum pernah dijejaki, beribu-ribu 
macam kesehatan dan pulau-pulau tersembunyi kehidupan. Manusia dan dunianya 
manusia belum lagi letih dan belum lagi ditemukan.
Perhatikan dan dengar, kau para penyendiri! Dari masa depan datang tiupan 
angin bersama kepakan sayap-sayap diam-diam; dan berita baik menyambangi
telinga-telinga halus.
Kau para penyendiri masa kini, kau yang telah mengundurkan diri dari 
masyarakat, suatu waktu nanti kau akan menjadi rumpun puak: dari kau, yang 
telah memilih diri kau sendiri, manusia terpilih pasti muncul – dan dari manusia 
terpilih, sang Superman.
Sungguh dunia ini nanti akan menjadi tempat penyembuhan! Dan telah ada 
aroma baru bertebaran di sekeliling, aroma yang memberi keselamatan – dan 
harapan baru!
 
Setelah Zarathustra berkata kata-kata demikian, ia berhenti, seolah-olah 
tidak pernah berkata apa-apa; lama ia mengimbangi tongkatnya sangsi. Akhirnya 
ia berseru demikian, dan suaranya berbeda:
Sekarang aku pergi sendirian, para penganutku! Kau juga sekarang pergi -
sendirian! Maka aku menginginkan ini.
Sungguh, aku nasihatkan kau: pergi jauh dariku dan jaga diri kau dari
Zarathustra! Dan lebih baik lagi: jadilah malu akannya! Mungkin ia telah menipu 
kau.
Seorang ilmuwan harus tidak saja bisa mencintai musuh-musuhnya, namun  
juga bisa membenci teman-temannya.
Seseorang membalas ke gurunya dengan buruk jika ia tetap saja seperti 
murid. Dan mengapa kau tidak mau memetik rangkaian daun-daun bungaku?
Kau menghormatku; namun  bagaimana jikasuatu saat  nanti kehormatan 
kau itu jatuh? Jagalah agar patung yang jatuh tidak menimpa kau! 
Kau berkata kau percaya pada Zarathustra? namun  apa pentingnya 
Zarathustra? Kau para pemercayaku: namun  apa pentingnya semua para pemercaya 
itu?
Kau belum lagi mencari diri kau saat  kau mendapatkan aku. Demikianlah 
semua para pemercaya itu; maka segala kepercayaan itu kecil artinya.
Sekarang aku mohon kau untuk melepaskan aku dan temukanlah diri kau; 
dan hanya saat  kau menyangkalku aku mau kembali pada kau.
Sunggguh, dengan mataku yang lain lagi, para saudaraku, aku lalu mau 
mencari mereka yang kehilanganku; dengan cinta yang lain lagi, aku lalu mau 
mencintai kau.
Dan sekali lagi kau musti menjadi teman-temanku, dan anak-anakku dari 
sebuah harapan: lalu aku mau bersama kau untuk ketiga kalinya, untuk merayakan 
tengah hari megah bersama kau.
Dan ini adalah tengah hari megah itu: saat  manusia ada di tengah-tengah 
perjalanannya antara binatang dan Superman, dan merayakan perjalanannya ke 
malam hari sebagai harapan tertingginya: sebab  ini adalah perjalanannya ke pagi 
hari baru.
Di saat-saat seperti itulah, manusia yang pergi kebawah, memberkahi 
dirinya; sebab  ia manusia yang melintas ke sang Superman; dan matahari ilmu 
pengetahuannya akan berada di tengah hari.
‘Semua tuhan-tuhan sudah mati: sekarang kita mau sang Superman untuk 
hidup’ – Biar ini menjadi kemauan terakhir kita di tengah hari megah!


Para Pandita
Dan sekala Zarathustra membuat sebuah tanda pada para penganutnya dan berseru 
kata-kata ini ke mereka:
„Di sini ada para pandita: walau mereka adalah musuh-musuhku, liwatilah 
mereka perlahan, dengan pedang terkulai!
Ada para pahlawan bahkan di antara mereka; kebanyakan dari mereka
sangat menderita: maka mereka, ingin membuat orang lainnya menderita pula.
Mereka adalah musuh-musuh terburuk: tidak ada yang lebih pendendam 
selain kerendahatian mereka. Dan seseorang yang menyentuh mereka dengan 
mudahnya menjadi bejad.
namun  darahku berhubungan ke darah mereka; dan aku ingin tahu bahwa 
darahku ini adalah darah terhormat bahkan dalam darah mereka.‟
Dan tatkala mereka meliwati mereka, Zarathustra terserang rasa nyeri; ia 
tidak meronta lama akan nyerinya saat  ia mulai berseru demikian:
Hatiku tersentuh oleh para pandita ini. Selera mereka berlawanan dengan 
seleraku, pula; namun  ini adalah soal kecil bagiku, sejak aku ada di tengah-tengah
para manusia.
namun  aku menderita dan telah banyak menderita dengan mereka: mereka 
tampaknya ke aku, seperti para nara pidana dan para manusia ditandai. Ia yang 
mereka namakan Juru Selamat telah membelenggukan mereka – membelenggukan 
mereka ke dalam nilai-nilai palsu dan mashaf-mashaf palsu! Ah, semoga ada 
seseorang yang akan menyelamatkan mereka dari Juru Selamat mereka!
Mereka mengira telah mendarat di sebuah pulau, saat  samudera 
menghantam mereka kian kemari: namun  perhatikan itu adalah sebuah monster 
yang sedang tidur! 
Nilai-nilai palsu dan mashaf-mashaf palsu: semua ini adalah monster￾monster terburuk bagi para manusia – takdir tidur dan menunggu lama di
dalamnya.
namun  akhirnya monster ini sadar, bangun dan menelan segala sesuatu yang 
mendirikan tempat-tempat beribadat di atasnya.
Oh, coba lihat tempat-tempat beribadat yang telah dibangun oleh para 
pandita ini. Mereka namakan guha-guha berbau manis ini gereja-gereja!
Oh cahaya palsu ini! Oh udara apek ini! Di sini, jiwa tidak bisa terbang ke 
ketinggiannya! Sebaliknya, kepercayaan mereka memerintahkan: „Berlutut, naik tangga,
kau para pendosa!
Sungguh, aku malah ingin melihat para manusia tetap tanpa rasa malu 
dibandingkan  mata juling perasaan malu dan ketaatan mereka!
Siapa yang menciptakan guha-guha dan tangga-tangga penyesalan dosa
seperti ini? Bukankah mereka yang ingin untuk menyembunyikan diri mereka,
dan merasa malu di hadapan sang langit bening?
Dan hanya saat  sang langit bening sekali lagi melihat melalui puing-puing 
atap, ke bawah ke rerumputan dan ke kembang-kembang popi merah di atas 
puing-puing tembok – aku lalu mau menolehkan hatiku kembali ke tempat￾tempat Tuhan ini.
Mereka menamakan itu Tuhan pada apa-apa yang menentang dan 
menyengsarakan mereka: dan sungguh, ada banyak spirit kepahlawanan dalam 
cara beribadat mereka! 
Dan mereka tidak tahu cara untuk mencintai Tuhan mereka selain 
memakukan para manusia ke Salib!
Mereka berpikir untuk hidup seperti mayat, mereka memakaikan mayat￾mayat mereka kain hitam; bahkan dalam pembicaraan mereka aku tetap mencium 
bau busuk kamar mati.
Dan ia yang hidup dekat dengan mereka hidup dekat dengan kolam-kolam 
hitam, dimana katak, menembangkan lagunya dengan kesenduan manis
menggoda.
Seharusnya mereka menembang lagu-lagu yang lebih baik, agar membuatku 
percaya pada Juru Selamat mereka: agar tampak bagiku bahwa para penganutnya
itu lebih selamat!
Aku musti melihat mereka telanjang: sebab  hanya keindahanlah yang musti 
mengkhotbahkan penyesalan dosa. namun  siapa yang bisa yakin pada kenestapaan
palsu ini!
Sunguh, Juru Selamat mereka sendiri pun bukan datang dari kebebasan dan 
surga ke tujuh kebebasan! Sungguh, mereka sendiri pun tidak pernah melangkah 
di atas permadani-permadani pengetahuan!
Spirit dari Juru Selamat mereka itu penuh dengan kecacatan; namun  di setiap 
kecacatan mereka taruh ilusi mereka, penyumbat mereka, ini yang dinamakan 
Tuhan oleh mereka.
Spirit mereka hanyut dalam rasa belas kasihan mereka; dan tatkala mereka 
menggelembung dan menggelembung berlebihan dengan belas kasihan lalu satu 
kebodohan besar selalu mengapung ke permukaan.
Dengan bersemangat dan berteriak-teriak mereka giring gembalaan mereka 
menyeberangi jembatan mereka: seolah-olah hanya ada satu jembatan ke masa 
depan! Sungguh, para penggembala ini, pula, masih sebagian dari domba-domba
ini!
Para penggembala ini punya intelek kecil dan jiwa besar: namun , para 
saudaraku, di negeri-negeri kecil yang bahkan punya jiwa terbesar, apa yang telah 
mereka lakukan?
Mereka menuliskan huruf-huruf darah di atas jalan yang mereka ikuti, dan 
kebodohan mereka mengajarkan bahwa kebenaran itu dibuktikan dengan darah.
namun  darah adalah saksi terburuk kebenaran; darah meracuni kemurnian 
ajaran dan merubahnya menjadi khayalan dan kebencian hati.Dan jika seseorang berjalan menerobos api demi ajarannya – mau 
membuktikan apa ini? Sungguh, lebih baik lagi apabila ajaran seseorang itu 
datang dari api pembakarannya sendiri!
Hati panas dan kepala dingin: dimana mereka bertemu, di sana muncul si 
penggembar-gembor, si „Juru Selamat.‟
Pernah ada para manusia yang lebih megah dan dilahirkan lebih mulia
dibandingkan  mereka yang rakyat namakan para Juru Selamat, mereka hanyalah para 
perayu dan angin-angin penggertak!
Dan kau, para saudaraku, musti diselamatkam oleh para manusia yang lebih 
megah dibandingkan  setiap Juru Selamat yang pernah ada, jika kau ingin mendapatkan 
jalan ke kebebasan!
Namun, belum pernah ada sang Superman hingga kini. Aku pernah melihat 
manusia terhina dan manusia termegah kedua-duanya telanjang.
Mereka masih saja serupa satu sama lainnya. Sungguh, aku telah 
mendapatkan bahkan manusia terakhbar sekali pun – masih terlalu bersifat 
kemanusiaan!

Para Manusia Berbudi Luhur
Dengan bergemuruh dan dengan semarak kembang-api yang menyenangkan 
seseorang itu harus berbicara pada perasaan-perasaan yang lamban dan 
mengantuk.
namun  suara keindahan berseru halus: dia masuk menyelinap hanya ke
dalam para jiwa yang telah tergugahkan.
Dengan lembut cerminku bergetar dan tertawa padaku hari ini; ini adalah 
tawa dan getaran sucinya sang keindahan.
Pada kau sang keindahanku itu tertawa, kau yang berbudi luhur, hari ini. 
Lalu datang suaranya ke aku: „Mereka ingin – dibayar pula!‟
Kau ingin dibayar pula, manusia berbudi luhur! Kau ingin pahala bagi budi 
pekerti, dan surga bagi dunia, dan keabadian bagi keharinian kau?
Dan sekarang kau marah padaku sebab  aku ajarkan bahwa tidak ada sang 
pemberi-pahala tidak pula sang pemberi-upah? Dan sungguh, aku tidak 
mengajarkan bahwa budi pekerti itu adalah pahala itu sendiri.
Duh, ini adalah dukacitaku: pahala dan hukuman telah diterapkan secara 
tidak langsung ke dalam dasar pondasi segalanya – bahkan sekarang ke dalam 
jiwa kau, kau para manusia berbudi luhur!
namun  seperti moncong babi hutan kata-kataku akan mengkoyak-koyakan
dasar-dasar pondasi jiwa kau; kau akan menamakan aku sang mata bajak.
Semua rahasia-rahasia di dalam hati kau akan dibawa ke cahaya; dan saat  
kau berbaring di cahaya sinar surya, terkoyak-koyak dan patah hati, lalu kepalsuan 
kau akan memisahkan diri dari kebenaran kau.
sebab  ini adalah kebenaran kau: Kau terlalu murni bagi kata-kata kotor: 
dendam, hukuman, pahala, pembalasan.Kau mencintai budi pekerti kau laksana ibu mencintai anaknya; namun  
bilakah kau dengar ibu minta dibayar bagi cintanya?
Itu adalah diri kau yang kau sayangi, budi pekerti kau itu. Rasa dahaganya 
siklus ada di dalam diri kau: untuk mendapatkan kembali dirinya lagi dan lagi –
setiap siklus berjuang dan berputar sendiri demi ini.
Seperti bintang yang padam, begitulah setiap karya dari budi pekerti kau 
itu: cahaya terangnya terus berjalan – dan kapan dia akan berhenti dari 
perjalanannya? 
Begitulah sinar cahaya budi perkerti kau itu menjelajah, bahkan jika 
karyanya sudah selsai. Apa sudah dilupakan atau sudah mati, sinar cahayanya 
tetap hidup dan menjelajah.
Bahwa budi pekerti kau itu adalah Diri kau, dan bukan sesuatu yang asing, 
kulit, atau jubah penutup; bahwa budi pekerti ini adalah kebenaran dari dasar jiwa 
kau, kau manusia berbudi luhur!
namun  sungguh ada mereka yang bagi mereka budi pekerti itu adalah 
geleparan di bawah pecutan cemeti: dan kau terlalu banyak mendengarkan 
teriakan-teriakan mereka!
Dan dengan yang lainnya, kejahatan-kejahatan mereka tumbuh malas dan 
mereka menamakan ini budi pekerti; dan begitu kebencian dan kecemburuan 
mereka merebahkan diri untuk relaks, „keadilan‟ mereka menjadi hidup dan 
menggosok-gosokan mata kantuknya.
Dan ada lagi yang lainnya yang telah terseret ke bawah: setan-setan mereka 
menyeret mereka. namun  lebih dalam mereka kelelap, lebih terang sinar mata 
mereka dan rindu bagi Tuhan mereka.
Duh, teriakan mereka, sampai pula ke telinga-telinga kau, kau manusia 
berbudi luhur: „Apa yang bukan aku, bagiku adalah Tuhan dan budi pekerti!‟
Dan ada lagi yang berjalan, berat dan keriutan, seperti pedati membawa 
batu-batuan turun bukit: mereka banyak berseru akan martabat dan budi pekerti –
rem mereka mereka namakan budi pekerti!
Dan ada lagi yang seperti jam; saat  diputar mereka berdetik, mereka dan 
meminta rakyat untuk menamakan tik-tok tik-tok mereka - itu budi pekerti!
Sungguh, aku mendapatkan kesenangan dalam semua ini: di mana saja aku 
temui jam-jam seperti ini aku akan putar mereka dengan cemoohanku; biar 
mereka berdesing oleh sebab  itu!
Dan yang lainnya lagi yang bangga akan budi pekerti kecil mereka, dan 
demi ini melakukan kekerasan ke segala sesuatunya: maka dunia terperosok ke
dalam kejahilan mereka.
Duh, betapa tidak layaknya kata „budi pekerti‟ itu terdengar dari mulut￾mulut mereka! Dan saat  mereka berkata: „Aku adalah adil,‟ ini senantiasa
terdengar seperti: „Aku adalah dendam!‟
Dengan budi pekerti mereka, mereka ingin mencongkel biji mata musuh￾musuh mereka; dan mereka ingin meninggikan diri mereka hanya demi 
merendahkan yang lainnya.
Dan lagi, ada mereka yang duduk di tengah-tengah rawa mereka, dan 
berkata demikian dari tengah-tengah rumput ilalang: „Budi pekerti – itu 
bermakna untuk duduk hening di tengah rawa.
„Kami tidak menggigit siapa pun dan menghindari ia yang ingin menggigit: 
dan dalam segala hal kami pegang opini yang telah ditujukan pada kami.Dan lagi, ada mereka yang suka pamer dan berpikir: Budi pekerti itu 
semacam pameran.
Lutut-lutut mereka selalu memuja dan lengan-lengan mereka memuliakan
budi pekerti, namun  hati mereka sama sekali tidak mengerti apa itu budi pekerti.
Dan lagi, ada mereka yang menganggap itu sebagai budi pekerti, berkata: 
“Budi pekerti adalah penting‟; namun  pada dasarnya mereka hanya percaya bahwa 
polisi itu penting.
Dan banyak manusia tidak bisa melihat keluhuran dalam diri manusia, dan 
menamakan ini budi pekerti supaya ia bisa melihat kerendahan manusia lebih 
dekat: maka ia menamakan mata jahatnya itu budi pekerti.
Dan banyak manusia yang ingin dimajukan dan ditinggikan dan menamakan 
ini budi pekerti; dan yang lainnya ingin dilempar ke bawah – dan menamakan ini 
budi pekerti pula.
Dan mereka semu berpikir bahwa mereka berpartisipasi dalam budi 
pekerti; dan setiap orangnya mengklaim bahwa ia adalah pemegang otoritas 
dalam hal “ kebaikan” dan “kejahatan.”
namun  Zarathustra bukannya telah datang untuk berseru pada semua para 
pendusta dan orang bodoh: „Apa yang kau tahu tentang budi pekerti? Apa yang 
kau bisa tahu tentang budi pekerti?‟
Agar kau, temanku, menjadi letih akan kata-kata kuno yang telah kau 
pelajari dari orang-orang bodoh dan para pendusta.
Supaya kau tumbuh letih akan kata-kata „pahala‟, „balasan‟, „hukuman‟, 
„dendam sejati‟.
Agar kau tumbuh letih akan perkataan “pahala,” “balas jasa,” “hukuman,” 
“dendam kesumat.”
Agar kau tumbuh letih akan perkataan „Suatu tindakan itu baik bila tindakan 
itu tidak mementingkan diri sendiri.‟
Ah, para temanku! Semoga Diri kau sendiri ada dalam tindakan, laksana 
ibu pada anaknya: biar ini menjadi prinsip budi pekerti kau!.
Sungguh, aku telah mengambil beratus-ratus prinsip-prinsip dan mainan￾mainan kesayangannya budi pekerti kau jauh dari kau; dan kau cerca aku 
sekarang, seperti anak-anak mencerca.
Mereka sedang bermain di pesisir pantai – lalu datang gelombang dan 
menyapu mainan-mainan mereka ke tengah lautan dalam: sekarang mereka 
menangis.
namun  ombak yang sama ini akan membawa ke mereka mainan-mainan baru 
dan menggelar ke hadapan mereka aneka warna kulit-kulit kerang baru!
Maka mereka akan terlipur hatinya; dan kau pula, para temanku, akan 
serupa mereka, mempunyai pelipur-pelipur hati – aneka warna kulit-kulit kerang
baru!



Gerombolan
Kehidupan itu bagai sumur yang mempesona; namun  dimana si gerombolan ikut 
minum, semua air mancur teracunkan.
Aku sangat menyukai segala sesuatu yang bersih; aku tidak suka melihat 
seringai mulut-mulut dan dahaga-dahaga si yang tidak bersih.
Mereka melemparkan tatapan mereka ke dalam sumur: dan sekarang 
senyuman menjijikan mereka menatapku dari dalam sumur.
Mereka meracuni air suci ini dengan hawa nafsu mereka; dan saat  mereka 
menamakan impian-impian kotor mereka itu „pesona,‟ mereka meracuni kata-kata
ini, pula.
Nyala api marah saat  mereka menaruh hati lembab mereka ke atas api; 
spirit ini sendiri menggelembung dan berasap tatkala gerombolan mendekati api.
Buah menjadi hambar dan kematangan di tangan mereka: pohon buah 
menjadi goyah dan layu di pucuknya di bawah tatapan mereka.
Dan banyak orang yang undur diri dari kehidupan, mereka hanya undur diri 
dari gerombnolan: ia benci untuk berbagi air mancur, api, dan buah-buahan 
bersama mereka. 
Dan banyak orang undur diri ke padang pasir dan menderita dahaga bersama 
para binatang pemangsa, ia tidak ingin duduk di sekeliling waduk air bersama
para penunggang unta kotor.
Dan banyak orang datang serupa sang penghancur dan hujan es ke semua 
taman-taman buah hanya untuk meletakan kakinya ke dalam rahang-rahang 
gerombolan dan menyumbat kerongkongannya.
Dan itu bukanlah kata-kata panjang yang telah mencekikku, agar tahu 
bahwa kehidupan itu membutuhkan permusuhan dan kematian dan syuhada￾syuhada.
namun  aku bertanya sekala itu, dan pertanyaanku ini nyaris mencekikku: 
Apakah gerombolan itu dibutuhkan pula dalam kehidupan?
Apakah air-air mancur beracun itu perlu, dan api-api busuk dan impian￾impian kotor dan belatung-belatung dalam roti kehidupan?
Bukanlah kebencianku namun  kejijikanku dengan laparnya menggerogoti
kehidupanku! Duh, aku kerap tumbuh letih akan spirit, saat  aku mendapatkan 
bahwa gerombolan pun punya spirit!
Dan aku membalikan punggungku terhadap para penguasa, saat  aku 
melihat apa yang mereka namakan kekuasaan: tukar-menukar dan tawar-menawar 
kekuatan – dengan si gerombolan!
Aku hidup ditengah-tengah para rakyat yang berbahasa janggal, memakai 
penyumbat telinga: lalu bahasa tukar menukar dan tawar-menawar kekuatan itu 
akan tetap janggal bagiku.
Menutup hidungku, aku pergi dengan murung melalui segala masa lampau 
dan masa kini: sungguh, semua masa lampau dan masa kini itu berbau busukan
corat-coret tulisan gerombolan!
Serupa si timpang yang menjadi buta, tuli, dan gagu: maka aku telah hidup 
sebegitu lamanya, semoga aku tidak akan hidup dengan si gerombolan-penguasa,
si gerombolan-penulis dan si gerombolan-penikmat kesenangan Dengan letih spiritku mendaki tangga-tangga dan berhati-hati; sedekah yang 
mempesona adalah makanannya; dengan orang buta kehidupan itu melata di atas 
tongkat.
Apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa membebaskan diriku dari 
kejijikan? Siapa yang telah menyegarkan kembali mataku? Bagaimana aku bisa 
terbang ke ketinggian di mana si gerombolan tidak lagi duduk di sumur-sumur?
Telahkah kejijikanku ini sendiri menciptakan sayap dan daya penemu air 
bagiku? Sungguh, ke puncak tertinggi aku musti terbang, untuk menemukan 
kembali sumur yang mempesona itu!
Oh, aku telah menemukannya, saudaraku! Di sini di ketinggian tertinggi ini 
dia muncrat bagiku sumur mempesona ini! Dan di sini ada satu kehidupan 
yangmana tidak ada seorang gerombolan pun minum bersamaku!
Kau muncrat sangat bersemangat, air mancur pesona! Dan kau kerap 
mengosongkan cawannya saat  ingin dipenuhi lagi!
Dan aku masih harus belajar untuk mendekati kau dengan lebih berendah 
hati: sangat bersemangat hatiku mengalir ke arah kau dan terlalu semberono.
Hatiku, di atas mana musim panasku membakar, yang singkat, panas, 
melankoli, musim panas penuh sukacita: bagaimana hati musim panasku 
merindukan kesejukan kau!
Sudah berakhir, sisa-sisa penderitaannya musim semiku yang masih 
tertinggal itu! Sudah berakhir kejahatannya serpihan-serpihan saljuku di bulan 
Juni! Aku telah menjadi musim panas seutuhnya, dan siang hari musim panas!
Musim panas di ketinggian tertinggi, dengan air-air mancur dingin dan 
keheningan yang membahagiakan: oh, mari, para temanku, semoga dengan 
keheningan ini bisa lebih membahagiakan lagi!
sebab  ini adalah ketinggian kita dan rumah kita: terlalu tinggi dan terlalu
curam kita di sini telah hidup, bagi orang-orang yang tidak besih dan bagi dahaga 
mereka.
Coba lemparkan tatapan murni kau ke dalam sumur pesonaku, para 
temanku! Kau tidak akan mengeruhi kemilaunya! Sumur ini akan tertawa kembali 
pada kau dengan segala kemurniannya!
Di atas pohon masadepan kita membuat sangkar kita; burung-burung elang
akan membawakan makanan pada kita, kita para penyendiri, di paruh-paruh 
mereka!
Sungguh, makanan yangmana tidak ada manusia yang tidak bersih bisa 
makan bersama kita! Mereka pikir itu api yang mereka makan yang membakar 
mulut mereka!
Sungguh, kita tidak menyiapkan rumah di sini bagi para manusia kotor! 
Kebahagiaan kita itu seperti guha es ke tubuh juga ke spirit mereka!
Dan laksana badai, kita hidup di atas mereka, para tetangganya elang-elang, 
para tetangganya salju-salju, para tetangganya matahari-matahari: beginilah badai
itu hidup.
Dan seperti angin aku di suatu hari nanti akan menghembus di tengah￾tengah mereka, dan bersama dengan spiritku, mengambil nafasnya spirit mereka: 
maka masa depanku memaui ini.
Sungguh, Zarathustra adalah badai kencang ke semua dataran-dataran
rendah; dan ia sajikan anjuran ini pada musuh-musuhnya dan pada semua yang 
muntah atau pun meludah: „Waspada jangan meludah melawan angin! Para Tarantula
Lihat, ini adalah tempat persembunyiannya tarantula! Maukah kau melihat 
tarantula ini? Di sini bergantungan jaringnya: sentuhlah, ini membuat dia 
bergetar.
Ini dia datang dengan jinaknya: selamat datang, tarantula! Hitam warna segi
tiga dan lambang kau, di punggung kau; dan aku tahu pula apa yang ada dalam 
jiwa kau.
Dendam ada dalam jiwa kau: di mana saja kau menggigit, di sana tumbuh 
benjutan hitam; dengan dendam, bisa kau membuat jiwa pening!
Maka aku berseru pada kau dalam bahasa kiasan, kau membuat jiwa pening, 
kau para pengkhotbah ekualitas! Kau adalah tarantula dan penyulut rasa dendam 
tersembunyi!
namun  aku segera akan membawa tempat persembunyian kau ke cahaya: 
lalu aku akan tertawa di hadapan muka kau, tertawaanku dari ketinggian￾ketinggian.
Lalu aku tarik jaring kau, agar amarah kau menggoda kau untuk keluar dari 
tempat persembunyiannya kebohongan kau, semoga dendam kau meloncat ke 
depan dari belakang kata-kata „adil‟ kau.
sebab , agar manusia bisa terbebas dari segala dendam - ini bagiku 
adalah jembatan ke harapan tertinggiku, dan  pelangi sehabis badai-badai yang 
berkepanjangan.
namun , pada galibnya, para tarantula memaui sesuatu yang lain lagi. 
„Semoga dunia menjadi penuh dengan badai-badai dendam kita, biar ini tepatnya 
yang dinamakan keadilan oleh kita‟ – maka mereka berkata satu sama lainnya..
„Kita harus menggunakan dendam, dan penghinaan melawan mereka yang 
tidak serupa kita‟ – maka hati para tarantula berjanji pada diri mereka sendiri.
„Dan “Kemauan pada Ekualitas” – ini sendiri musti selanjutnya menjadi 
nama kebajikan; kita akan memberontak, melawan semua yang punya kekuatan!‟
Kau para pengkhotbah ekualitas, maka tirani yang menggila dari ketidak 
berdayaan kau itu berteriak bagi „ekualitas‟: maka nafsu-mentirani rahasia kau itu 
menyamar diri sebagai kata-kata kebajikan.
Kecongkakan yang mendongkolkan dan rasa dengki yang ditekan, mungkin 
kecongkakan dan kedengkian bapak-bapak kau: di dalam kau semua ini meledak
bagai nyalaan api dan kegilaan dendam.
Apa yang bapaknya rahasiakan putranya akan ungkapkan; dan kerap aku 
temui di putranya rahasia-rahasia bapaknya terbuka.
Mereka seperti para manusia yang terilhami: namun  bukan hati yang 
mengilhami mereka – namun  dendam. Dan saat  mereka menjadi halus dan 
dingin, ini bukan spirit mereka, namun  dengki mereka yang membuat mereka 
seperti ini.
Kecemburuan mereka menggiring mereka ke jalan para pemikir pula: dan 
ini adalah tanda kecemburuan mereka – mereka selalu berlebihan: lalu keletihan 
mereka akhirnya harus berbaring dan tidur di atas salju.Dalam semua keluhan-keluhannya ada dendam, dalam semua puji-pujian 
ada kejahatan, dan untuk menjadi hakim ini tampaknya yang membahagiakan
mereka.
Namun, aku nasihatkan kau, para temanku: jangan percaya pada mereka 
yang nafsunya untuk menghukum itu kuat!
Mereka adalah rakyat dari asuhan dan keturunan buruk; dari wajah-wajah 
mereka mengintai para algojo dan anjing pemburu.
Jangan percaya pada mereka semua yang berbicara banyak akan keadilan 
mereka! Sungguh, tidak saja madu yang kurang dalam jiwa mereka .
Dan saat  mereka menamakan diri mereka „si baik dan si adil,‟ jangan 
lupa, mereka idak kekurangan apa-apa untuk menjadi seorang Farisi kecuali - 
kekuatan!
Para temanku, aku tidak mau disalah mengertikan dengan yang lainnya atau 
dimengertikan sebagai yang bukan aku.
Di sana ada mereka yang mengkhotbahkan doktrin kehidupanku: namun 
pada saat yang sama mereka adalah para pengkhotbah ekualitas, dan para 
tarantula.
Bahwa mereka berseru baik akan kehidupan, walau mereka hidup di tempat 
persembunyian mereka, laba-laba berbisa ini, dan undur diri dari kehidupan, ini 
sebab  mereka mau membuat kerugian.
Pada mereka yang sekarang memiliki kekuatan, mereka ingin membuat
kerugian: dengan mereka itu sejenis dengan para pengkhotbah kematian.
Jika ini lain, maka para tarantula ini akan mengajarkan yang lainnya pula: 
mereka dahulunya adalah para ahli fitnah dunia dan para pembakar manusia
durhaka.
Aku tidak mau disalah artikan dan tidak mau dianggap sebagai para 
pengkhotbah ekualitas. sebab  sang keadilan berkata padaku demikian: „Para 
manusia itu tidak ekual.‟
Dan mereka tidak semustinya ekual! Apa arti cintaku pada sang Superman,
jika aku berseru sebaliknya?
Di atas beribu-ribu jembatan dan dermaga-dermaga mereka harus berupaya 
ke masa depan, dan musti ada banyak lagi perang dan  ketidaekualan di antara 
mereka: maka cinta megahku membuatku berseru begini!
Mereka musti menjadi para pencipta tanda-tanda dan hantu-hantu dalam
permusuhan mereka, dan dengan tanda-tanda dan hantu-hantu itu mereka musti 
bertarung bersama pertarungan besar!
Kebaikan dan kejahatan, kaya dan miskin, mulia dan hina, dan semua 
nama-nama kebajikan: harus menjadi senjata-senjata dan tanda-tanda yang 
mengeluarkan suara, bahwa kehidupan ini musti mengatasi diri lagi dan lagi!
Kehidupan ini sendiri - mau timbul tinggi dengan saka-saka dan tangga￾tangga; ke kejauhan ia mau menatap, dan pergi ke kebahagiaan nan indah – maka
ia butuh ketinggian!
Oleh sebab  ia butuh ketinggian, maka ia butuh anak-tangga dan 
persengketaan antara anak-anak tangga dengan mereka yang mendakinya! 
Kehidupan mau mendaki dan dalam mendaki mengatasi dirinya.
Dan lihatlah, para temanku! Di sini, dimana tempat persembunyian 
tarantula itu berada, tinggi berdiri sebuah reruntuhan candi purba – lihat ini 
dengan mata yang tercerahkan!Sungguh, ia yang sekala menegakan ide-ide luhurnya pada batu-batu ini 
tahu baik sebaik manusia bijaksana mengenai rahasia kehidupan!
Bahwa ada perjuangan dan ketidak setaraan bahkan dalam keindahan, dan 
ada peperangan demi kekuatan dan kekuasaan: ia mengajarkan kita begitu di sini 
dalam kiasan-kiasan yang sangat jelas.
Alangkah agungnya kubah dan lengkung memperlihatkan perbedaannya
dalam perjuangan: alangkah mulianya mereka berjuang melawan satu sama 
lainnya, bersama cahaya dan bayang.
Indah dan mantap laksana mereka, mari kita pula menjadi musuh, para 
temanku! Secara mulia mari kita berjuang melawan satu sama lainya!
Ha! Sekarang tarantula, musuh gaekku ini, menggigitku! Dengan indah dan 
mantap, dia menggigit jariku!
„Di sini musti ada hukuman dan keadilan‟ – maka pikirnya: „tidak sia-sia ia 
akan menembang untuk menghormat kepermusuhan!‟
Ya, dirinya telah mendendam! Dan duh, sekarang dia mau membuat jiwaku 
pening, pula, dengan dendam!
namun  supaya aku tidak berpusingan ke sekeliling, ikat erat aku ke saka ini, 
para temanku! Aku malah ingin untuk menjadi saka-guru dibandingkan  pusingan
dendam! 
Sungguh, Zarathustra itu bukan angin taufan bukan pula angin pusing; 
walau ia sang penari, ia sama sekali bukan sang penari tarantela!
Ini seruan Zarathustra.
  . Para Filsuf Kondang
Kau telah melayani rakyat dan  tahyul-tahyul rakyat - bukan kebenaran! - kau 
semua para filsuf kondang! Dan tepatnya sebab  inilah mereka menghormati kau.
Dan sebab  ini pula mereka mentolelir ketidakpercayaan kau, sebab  itu
adalah dagelan dan jalan pintas bagi rakyat. Maka sang juragan menyenangkan 
para budaknya bahkan terhibur oleh kepongahan mereka.
namun  ia yang dibenci rakyat adalah bagai serigala ke anjing-anjing: ia 
adalah sang spirit bebas, musuhnya sengkela-sengkela, tidak memuja apa-apa, 
tinggal di hutan-hutan.
Untuk memburu ia dari sarangnya – rakyat selalu menamakan ini „hak‟: 
mereka selalu menyediakan anjing-anjing bergigi tertajam baginya.
„sebab  di mana ada rakyat, di situ ada kebenaran! Terkutuklah, terkutuk 
ia yang mencari-cari!‟ Iniselalunya demikian sedari mulanya.
Kau mencari bukti akan kesahihan rasa hormat rakyat: ini yang kau 
namakan „Kemauan pada Kebenaran,‟ kau para filsuf kondang!
Dan hati kau selalu berkata pada diri kau sendiri: „Dari rakyat aku datang : 
dari mereka pula suara Tuhan itu datang padaku.‟
Kau selalu keras kepala dan licik, seperti keledai, seperti si penasihat rakyat.
Dan banyak penguasa yang mau rukun dengan rakyat, telah mengikat di 
depan kudanya – seekor keledai kecil, si filsuf kondang!
Dan sekarang, kau para filsuf kondang, aku minta kau untuk menanggalkan 
kulit-singa dari badan kau itu!
Kulit binatang pemangsa, kulit bertutul, dan rambut gembelnya sang 
penyelidik, sang pencari, sang penakluk!
Ah, bagiku untuk bisa mempercayai „kesejatian,‟ kau, kau musti pada 
awalnya menghancurkan kemauan kau pada pengabdian.
Kesejatian - ini adalah yang akau namakan ia yang pergi ke padang-padang 
pasir sunyi, dan mematahkah hati pengabdiannya.
Di pasir kuning dan terbakar oleh sinar surya, mungkin ia menatap dengan 
tajam dan kehausan ke pulau-pulau yang kaya dengan mata air, di mana segala 
kehidupan beristirahat di bawah bayang-bayang pepohonan.
namun  dahaganya tidak membujuk ia untuk menjadi serupa mereka mahluk￾mahluk senang: sebab  di mana ada oasis-oasis di sana ada berhala-berhala.
Lapar, berangasan, sendirian, tanpa tuhan: seperti inilah singa itu ingin
untuk menjadi.
Bebas dari kebahagiaan pelayan-pelayan, bebas dari tuhan-tuhan dan 
pemujaan, tidak takut dan ditakuti, megah dan sendirian: begitulah kemauan 
manusia sejati.
Para manusia sejati, para manusia bebas, selalu hidup di padang pasir, 
sebagai juragan-juragan padang pasir; namun  di kota-kota hidup makmur para 
filsuf kondang – para binatang penghela beban.
sebab , mereka selalu menarik, bagai keledai-keledai, pedati rakyat!
Tidaklah aku murka pada mereka akan hal ini: namun, mereka tetap saja
para pelayan dan para binatang dalam kekang, bahkan jika mereka berkilauan 
dengan pakaian emas.
Dan mereka selalunya baik-baik dan pelayan yang sesuai dengan upahnya.
sebab  berseru kebajikan: „Jika kau harus menjadi pelayan, carilah ia yang bisa 
kau layani dengan baik!
„Spirit dan kebajikan juragan kau musti tumbuh baik, sebab  kau 
pelayannya: maka kau sendiri akan tumbuh baik bersama dengan spirit dan 
kebajikan juragan kau!‟
Dan sebenarnya, kau para filsuf kondang, kau para pelayan rakyat! Kau 
sendiri telah membaik oleh sebab  spirit dan kebajikan rakyat – dan rakyat 
membaik oleh sebab  kau! Demi kehormatan kau aku mengatakan ini!
namun  bagiku, kau tetap saja sebagian dari rakyat, bahkan dalam kebajikan 
kau, sebagian dari rakyat dengan mata lamur mereka – sebagian dari rakyat yang 
tidak tahu apa itu spirit!
Spirit itu adalah kehidupan yang ini sendiri menusuk ke kehidupan: melalui 
siksaannya sendiri bertambahlah pengetahuannya – tahukah kau sebelumnya?
Dan kebahagiaannya spirit adalah ini: untuk ditahbiskan dan disakralkan
dengan air mata laksana binatang korban – tahukah kau sebelumnya?
Dan kebutaan manusia buta, dan pencarian dan perabaannya namun musti 
menjadi saksi akan kekuatan pancaran sang surya yang ia tatap – tahukah kau 
sebelumnya?
Dan manusia yang tercerahkan harus belajar untuk membangun dengan 
gunung! Adalah hal kecil bagi spirit untuk memindahkan gunung – tahukah kau 
sebelumnya?
Kau hanya tahu percikan-percikan api spirit: namun  kau tidak melihat 
paronnya di mana sang spirit itu berada, tidak pula kebengisan palunya!
Sungguh, kau tidak tahu tentang rasa bangganya spirit! Bahkan kau kurang 
bisa tahan pada kerbersahajaannya spirit, jika ia bekenaan angkat bicara!
Dan kau tidak pernah berani melemparkan spirit kau ke liang salju: kau 
tidak cukup panas untuk ini! Maka kau tidak tahu pula, akan gairahnya pada 
dinginnya dingin.
namun  dalam segala hal, kau seolah-olah kau mengenali spirit; dan dari 
kebijaksanaan kau kerap membuat panti bagi orang miskin dan rumah sakit bagi 
para pujangga buruk.
Kau bukan elang: maka kau tidak tahu akan sukacita hatinya spirit pada 
teror. Dan ia yang bukan burung tidak musti membuat rumahnya di atas ngarai￾ngarai maha dalam.
Kau, tampaknya ke aku, manusia yang suam-suam kuku: namun  segala 
pengetahuan yang dalam mengalir dingin. Sumur-sumur mahadalam spirit itu
sedingin es: satu penyegar bagi tangan-tangan dan penangan-penangan panas.
Kau berdiri di sana tegar dan terhormat, dan dengan punggung tegap, kau 
para filsuf kondang! – tidak ada angin atau kemauan kuat bisa mendorong kau.
Pernahkah kau melihat perahu layar mengarungi samudera, bulat
menggelembung, dan bergetar di hadapan keberangasannya angin?
Laksana perahu layar, bergetar di hadapan keberangasannya spirit, 
kebijaksanaanku mengarungi samudera – kebijaksanaan liarku!
namun  kau pelayan rakyat, kau para filsuf kondang – bagaimana kau bisa
berlayar bersamaku?
Ini seruan Zarathustra.
  . Tembang Malam
Ini adalah malam: sekarang semua muncratan air mancur berseru lebih 
keras. Dan jiwaku pun adalah muncratan air mancur.
Ini adalah malam: hanya sekaranglah segala tembangan-tembangan para 
pecinta tergugah. Dan jiwaku pun adalah tembangan sang pecinta.
Suatu yang tidak bisa dipadamkan, tidak terpadamkan, ada dalam diriku, 
ingin mendapatkan ekspresi. Gandrung akan cinta ada dalam diriku, ini sendiri 
berseru bahasa cinta.
Cahaya adalah aku: ah, jika diriku ini malam! Ini adalah kesendirianku yang 
dikelilingi cahaya.
Ah, seandainya aku ini kelam lagi suram! Niscaya akan menghisap buah￾buah dada cahaya!
Dan aku musti memberkahi kau, bintang-bintang kecil berkelipan dan 
kunang-kunang di atas sana! – dan bahagia di hadiah-hadiah cahaya terang kau.
namun  aku hidup dalam cahayaku sendiri, aku minum kembali ke dalam 
diriku nyala cahaya yang lepas dariku.
Aku tidak tahu rasa bahagianya sang penerima; dan aku kerap bermimpi 
bahwa mencuri itu mustilah lebih terberkahi dibandingkan  menerima.
Ini adalah kemiskinanku bahwa lenganku tidak pernah berhenti memberi; ini
adalah rasa dengkiku bahwa aku melihat mata yang mengharap dan kemilau 
malamnya rasa rindu.
Oh, kenestapaan semua para pemberi! Oh, gerhana matahariku! Oh, hasrat 
untuk menghasrat! Oh rasa lapar yang beringas dalam kekenyangan!
Mereka mengambil dariku: namun telahkah aku menyentuh jiwa mereka? 
Ada jurang yag menganga di antara memberi dan menerima; dan jurang yang 
terkecil pun akhirnya harus dijembatani.
Rasa lapar tumbuh dari keindahanku: aku ingin melukai ia yang aku terangi; 
aku ingin untuk merampas mereka yang aku beri – maka aku lapar bagi 
kejahatan.
Menarik lenganku saat  lengan yang lainnya siap menjangkaunya; gundah, 
bak air terjun yang gundah bahkan dalam lompatannya, maka aku lapar bagi 
kejahatan.
Dendam seperti ini membuat keberlimpahanku mengada-ada; kejahilan ini 
bermuara dari tempat penyendirianku.
Rasa sukacitaku dalam memberi mati dalam memberi, kebajikanku tumbuh 
letih akan dirinya melalui keberlimpahannya!
Bahaya ia yang selalu memberi adalah kehilangan rasa malunya; ia yang 
selalu membagikan, lengan dan hatinya menjadi tanpa perasaan tumbuh sebab  
selalu membagikan.
Mataku tidak lagi berlinangan bagi rasa malunya para pemohon; lenganku 
menjadi terlalu keras bagi getaran lengan-lengan yang telah dipenuhi.
Kemanakah linangan air mataku dan kehalusan hatiku telah pergi? Oh,
kesepiannya semua para pemberi! Oh, keheningannya para pemberi cahaya!
Banyak matahari-matahari berkeliling di udara hampa: bagi segala yang
kelam mereka berseru dengan cahaya mereka – namun  padaku mereka hening
senyap.
Oh, ini adalah kepermusuhan cahaya pada yang memberikan cahaya: tanoa 
perduli ia mengejar tujuannya.
Tidak adil pada sang pemberi cahaya dari dalam kalbunya, dingin pada 
matahari-matahari – maka begitulah setiap matahari itu menjelajah.
Laksana badai matahari-matahari itu terbang mengejar edarannya; ini adalah 
penjelajahannya. Mereka mengikuti kemauan tegar mereka; ini adalah dinginnya.
Oh, ini hanyalah kau, yang suram, kelam, yang menyadap kehangatan dari 
sang para pemberi cahaya! Oh, hanya kaulah yang minum susu dan mendapatkan 
kesenangan dari ambing-ambing cahaya!
Ah, ada es di sekelilingku, lenganku terbakar es! Ah, ada rasa dahaga di
dalam diriku, yang rindu pada dahaga kau!
Ini adalah malam: duh, aku harus menjadi cahaya! Dan haus bagi barang 
malam! Dan tempat penyendirian!
Ini adalah malam: sekarang rasa rinduku menerabas dalam diriku serupa air 
mancur – aku rindu bagi seruan.
Ini adalah malam: sekarang semua muncratan air mancur berseru lebih 
keras. Dan jiwaku pun muncratan air mancur.
Ini adalah malam: hanya sekaranglah semua tembangan-tembangan para 
pecinta itu tergugah. Dan jiwaku pun adalah tembangan sang pecinta.


Tembang Tari
Suatu malam Zarathustra berjalan melalui hutan bersama para penganutnya; dan 
seraya ia sedang mencari sumur, perhatikan, ia sampai di padang rumput hijau 
yang sepi di kelilingi pepohonan dan semak-semak belukar: dimana para gadis 
sedang menari bersama. Segera setelah para gadis ini mengenali Zarathustra 
mereka berhenti menari; Zarathustra, namun, mendekati mereka dengan ramah 
dan berseru kata-kata ini:
Jangan berhenti menari, para gadis juwita! Bukan orang semberono yang 
telah datang pada kau dengan mata jahatnya, bukan musuh ke gadis-gadis.
Aku adalah sang pembela tuhan dengan setan; namun, ia, adalah sang Spirit 
Gayaberat. Bagaimana aku bisa, menjadi musuh ke tarian agung, kau mahluk 
lincah? Atau ke kaki gadis dengan pergelangan kaki nan indah?
Untuk jelasnya, aku adalah hutan dan gelapnya pepohonan: namun  ia yang 
tidak takut pada kegelapanku akan mendapatkan punjung-punjung bunga mawar 
pula di bawah pepohonan cemaraku.
Dan tentu pula ia akan mendapatkan, tuhan kecil yang sangat dicintai para 
anak gadis: dia rebahan di samping air mancur, masih, dengan mata tertutup.
Sungguh, ia tertidur di tengah hari, si pemalas ini! Telahkah ia kebanyakan 
mengejar kupu-kupu?
Jangan marah padaku, kau para penari cantik, jika aku siksa sedikit tuhan 
kecil ini! Mungkin dia akan menjerit dan menangis tersedu, namun  dia 
menggelikan bahkan dalam seduannya!
Dan dengan air mata di mukanya, ia akan meminta pada kau satu tarian; dan 
aku sendiri akan menembangkan sebuah lagu bagi tariannya.
Tembang tari dan tembang ejekan ke Spirit Gayaberat, setanku yang paling 
prima, terkuat, apa yang mereka katakan „dewa dunia.‟
Dan ini adalah tembangan yang Zarathustra nyanyikan seraya dewa asmara
dan para gadis menari bersama:
Akhir-akhir ini aku melihat ke dalam mata kau, O Kehidupan! Dan aku 
tampaknya tenggelam ke dalam misteri.
namun  kau tarik aku dengan tangkai emas; kau tertawa dengan mengejek 
saat  aku namakan kau sang misteri.
„Semua ikan-ikan berkata seperti ini,‟ kau berkata; „apa yang mereka tidak 
bisa mengerti adalah misteri.
namun  aku hanyalah yang berubahan, liar dan dalam segalanya perempuan, 
dan tidak berbudi luhur.
Walau kau para lelaki memanggilku “amat dalam” atau “setia,” “abadi,”
“misterius.”
namun  kau para lelaki selalu menganugerahi kami dengan kebajikan￾kebajikan kau – ah, kau para lelaki yang berbudi luhur!
Maka ia tertawa, perempuan yang luar biasa ini; namun  aku tidak pernah 
mempercayainya atau pun tawanya, saat  ia mengatakan bahwa dirinya jahat.
Dan saat  aku berkata diam-diam pada Kebijaksanaan liarku, ia berkata 
marah padaku: „Kau memaui, kau menghasrati, kau mencintai, oleh sebab  ini 
kau memuji Kehidupan!‟
Lalu aku hampir menjawabnya dengan marah, dan mengatakan yang
sebenarnya pada Kebijaksanaanku yang berang; dan seseorang tidak bisa 
menjawab dengan lebih marah lagi selain saat  seseorang „berkata kebenaran‟ 
pada Kebijaksanaannya sendiri.
Beginilah keadaan kita bertiga. Dari dalam hati aku hanya mencintai
Kehidupan – dan sungguh, aku sangat mencintainya saat  aku membencinya!
namun  aku menyayangi Kebijaksanaan, dan kerap terlalu menyayanginya, 
sebab  ia sangat banyak mengingatkanku pada Kehidupan!
Ia mempunyai matanya, tawanya, dan bahkan tangkai pancing kecilnya: 
apakah aku bertanggung jawab untuk itu bahwa mereka keduanya sangatlah 
serupa?
Dan saat  Kehidupan sekala bertanya padaku: „Siapakah ia itu, 
Kebijaksanaan itu?‟ – lalu aku berkata bersemangat: Ah, ya! Kebijaksanaan!
„Seseorang dahaga baginya dan tidak pernah terpuaskan, seseorang melihat 
ianya melalui cadar-cadar, seseorang menangkapnya melalui jala.
Apakah ia cantik? Aku tidak tahu! namun  para ikan gaek yang tercerdik pun 
tetap saja tergoda olehnya.
Ia adalah berubahan dan suka melawan; aku kerap melihat ia mencibirkan 
bibirnya dan menentang.
Mungkin ia jahat dan palsu, dan dalam segalanya perempuan; namun  saat  
ia menjelak-jelakan dirinya sendiri, lalu tepatnya inilah yang sangat menggoda.‟
saat  aku berkata demikian pada Kehidupan, lalau ia tertawa dengan 
culasnya dan  memejamkan matanya. „namun  siapa sih yang kau bicarakan itu?‟ 
katanya, „mungkinkah mengenaiku?
Dan jika kau benar – apakah layak kau mengatakan ini ke hadapan 
mukaku? namun  sekarang, mohon, berserulah mengenai Kebijaksanaan kau itu, 
pula!‟
Ah, lalu kau buka kedua mata kau lagi, O Kehidupan tercinta! Dan lagi aku 
tampaknya tenggelam ke dalam misteri.
Ini tembangannya Zarathustra. namun  saat  tarian itu selesai dan para gadis 
telah pergi jauh, ia menjadi sedih.
„Sang surya telah terbenam,‟ ia berkata akhirnya; „padang rumput ini 
lembab, hawa dingin datang dari hutan-hutan.
Sesuatu yang janggal tidak di kenal ada di sekelilingku, menatap dengan 
seksama. Apa! Kau masih hidup, Zarathustra? 
Mengapa? Sebab apa? sebab  apa? Kemana? Dimana? Bagaimana? 
Tidakkah ini bodoh untuk terus hidup?
Ah, para temanku, ini adalah malam yang bertanya demikian dalam diriku. 
Maafkanlah kesedihanku ini!
Malam telah tiba: maafkanlah aku dia telah menjadi malam!

Tembang Kematian
„Nun jauh di sana ada pulau-suram, pulau bisu; nun jauh di sana pula kuburan 
keremajaanku. Aku mau pergi ke sana membawa serangkaian dedaunan hijau 
kehidupan.‟
Menetapkan demikian di hatiku, lalu aku mengarungi samudera.
O, kau penglihatan dan visi remajaku! O, kau semua tatapan-tatapan cinta, 
kau tatapan sekesan agung! Bagaimana kau punah terlalu cepat! Hari ini aku 
mengenang kau sebagai yang mati.
Dari kau datanglah semerbak bau harum padaku, sayangku yang mati, 
aroma yang menenangkan hati yang menghapus air mata. Sungguh, ini 
menggerakan dan melegakan hati sang pelaut penyendiri.
Masihkah aku manusia yang terkaya dan yang sangat musti didengki – aku, 
sang mahapenyendiri! sebab  aku pernah memiliki kau, dan kau masih tetap 
memilikiku. Katakan padaku: pada siapa apel-apel merah itu jatuh dari pohon 
sebagaimana telah jatuh padaku?
Apakah aku masih menjadi pewaris dan pemegang pusaka cinta kau, 
memekari kenangan kau dengan aneka warna tumbuhan liar kebajikan-kebajikan, 
O kau kekasihku tersayang!
Ah, kita ditakdirkan bagi satu sama lainnya, kau halus, kesemarakan￾kesemarakan janggal; dan kau datang padaku dan pada kerinduanku tidak seperti 
burung-burung penakut – tidak, kau datang mempercayaiku, yang juga bisa 
dipercaya!
Ya, ditakdirkan bagi kesetiaan, serupaku, dan bagi keabadian lembut: 
mustikah aku sekarang menamakan kau dengan nama ketidaksetiaannya kau, kau 
tatapan-tatapan agung dan kesan-kesan sekilas: hingga kini aku belum tahu lagi 
nama lainnya.
Sungguh, terlalu cepat kau mati, kau insan pelarian. Namun kau tidak lari
dariku, tidak pula aku lari dari kau: kita adalah lugu ke satu sama lainnya dalam
ketidaksetiaan kita.
Untuk membunuhku, mereka mencekik kau, kau burung-burung￾penembang harapan-harapanku! Ya, panah-panah si dengki itu selalunya 
diarahkan ke kau, kau kekasihku – untuki menyerang hatiku!
Dan mereka berhasil! sebab  kau adalah kekasih hatiku, kepunyaanku dan 
kegilaan hatiku: maka kau musti mati muda dan semuanya terlalu cepat!
Ke tempat yang mudah terserang mereka memanahkan panahnya: dan ini 
adalah kau, yang kulitnya seperti bulu bahkan lebih seperti senyum yang sekilas
padam!
namun  aku mau mengatakan ini pada para musuhku: Apa itu segala 
pembunuhan manusia dibandingkan dengan apa yang kau telah lakukan padaku!
Kau telah melakukan sesuatu lebih buruk terhadapku melebihi 
pembunuhan manusia; kau telah mengambil dariku sesuatu yang tidak-akan￾kembali – maka aku berseru pada kau, para musuhku!
Kau tidak membunuh visi remajaku dan kesemarakan-kesemarakan 

tersayangku! Kau ambil dariku teman-teman sepermainanku, mereka para spirit 

terberkahi! Bagi kenangan merekalah aku baringkan rangkaian bunga-bungaan

dan kutukan ini.

Laknat ke atas kau, para musuhku! Kau telah potong pendek keabadianku, 

bagai nada yang perlahan-lahan berhenti di malam yang dingin! Ia datang padaku 

langka bagai gemilap mata agung – serupa sekilas pancaran cahaya!

Lalu sekala dimasa bahagia kemurnianku berseru: „segala mahluk-mahluk 

musti menjadi agung bagiku.‟

Lalu kau menggerayangiku dengan hantu-hantu busuk; duh, kemanakah 

masa bahagia itu lari sekarang?

„Segala hari-hari musti menjadi suci bagiku‟ – maka kebijaksanaan 

remajaku berseru: sungguh, seruan kebijaksanaan penuh sukacita!

namun  lalu kau, kau para musuhku, mencuri malam-malamku dariku dan 

menjualnya pada sang ketidak tiduran yang menyiksa: duh, kemanakah 

kebijaksanaan penuh sukacita itu lari sekarang?

Sekala aku pernah merindukan burung-burung pembawa keberuntungan

yang ceria: lalu kau membawa burung hantu monster melintasi jalanku, satu tanda 

persengketaan. Duh, kemanakah kerinduan halusku lari kemudian?

Aku sekala bersumpah untuk menolak segala kejijikan; lalu kau merubah 

keluargaku dan para tetanggaku menjadi nanah-nanah. Duh, kemanakah sumpah￾sumpah muliaku lari kemudian?

Sekala, sebagai orang buta, aku berjalan di atas jalan-jalan yang terberkahi; 

lalu kau lemparkan sampah ke jalan orang buta ini: dan sekarang jalan setapak 

purba ini menjijikannya.

Dan saat  aku menyelsaikan tugas terpelikku, dan merayakan kejayaan 

kemenanganku: lalu kau membuat mereka yang aku cintai berteriak bahwa aku 

sangat menyakiti mereka.

Sungguh, semua ini adalah pekerjaan-pekerjaan kau: kau memahitkan madu 

dan kerajinan lebah-lebah terbaikku.

Kau selalu mengirim para pengemis yang kurang ajar ke kedermawananku; 

kau selalu menjejalkan orang-orang yang tidak tahu malu dan tidak bisa 

disembuhkan ke sekeliling rasa simpatiku. Maka kau telah melukai keimanan

kebajikanku.

Dan saat  aku mempersembahkan sesuatu yang tersuciku sebagai korban, 

langsung „ketakwan‟ kau menaruh sajian lebih gemuk di sampingnya: maka 

kemahasucianku tercekik dalam asap lemak kau.

Dan sekala aku ingin menari sebab  aku belum pernah menari: aku ingin 

menari melebihi segala surga-surga. Lalu kau pikat dan membawa musisi

kesayanganku.

Lalu ia menabuhkan irama sendu, menakutkan: duh, ia menerompetkannya 

pula ke kupingku seperti sangkakala kematian!

Musisi kejam, instrumen kemem bunuh ekstaseku dengan nada-nada kau!

Hanya dalam tarian aku tahu bagaimana untuk berseru kiasan tentang 

sesuatu yang mahaluhur – dan sekarang kiasan termegahku tetap ada di kakiku,

tidak terserukan!

Harapan tertinggiku tetap tidak terserukan dan tidak tersampaikan! Dan 

semua visi dan pelipuran remajaku pun mati di sana!
Bagaimana aku bisa tahan semua ini? Bagaimana aku bisa pulih dari luka￾luka seperti ini, bagaimana aku bisa mengatasi hal ini? Bagaimana jiwaku bisa 

bangkit kembali dari kubur-kubur ini?

Ya, sesuatu yang digjaya, yang tidak bisa terkuburkan ada dalam diriku, 

sesuatu yang menghancurkan batu berkeping-keping: ini dinamakan Kemauanku. 

Membisu dia melangkah, dan tidak berubah melalui waktu.

Dia musti pergi ke jalannya di atas kakiku, Kemauan tuaku ini; hati keras 

dan digjaya ini wataknya.

Aku digjaya hanya di tumitku. Kau selalu hidup di sana dan selalu sama diri, 

kau yang maha penyabar! Kau selalu menghancurkan kubur-kubur!

Dalam diri kau pula tetap hidup segala ketidak tersampaian keremajaanku; 

dan kau duduk di sana sebagai sang kehidupan dan sang keremajaan, penuh 

dengan harapan, di atas kekuningan puing-puing kubur.

Ya, kau tetaplah sang penghancurku ke segala kubur-kubur: Hiduplah kau,

Kemauanku! Dan di mana ada kubur-kubur di sana ada kebangkitan-kebangkitan.

Ini tembangan Zarathustra.

  . Pengatasan Diri

“Kemauan pada Kebenaran‟ ini apa yang kau namakan, yang mendorong dan 

membangkitkan gereget kau itu, kau manusia arif?

Kemauan untuk memahami segala kehidupan: maka aku namakan kemauan 

kau itu!

Kau ingin agar semua kehidupan itu bisa terpahami: sebab  kau meragukan 

dengan alasan yang sehat, apakah itu nyatanya bisa dipahami.

namun  ini harus cocok dan membungkuk pada kau! Lalu kemauan kau 

memaui ini. Ini musti menjadi halus dan menjadi subjeknya spirit, sebagai cermin 

dan pantulan hatinya.

Itu adalah kemauan utuh kau itu, kau manusia terarif; itu adalah Will to 

Power; bahkan saat  kau berbicara tentang kebaikan dan kejahatan, tentang 

pengevaluasian nilai-nilai.

Kau mau mencipta dunia yang di hadapannya kau bisa bersujud: itulah

harapan dan ekstase terakhir kau.

Para manusia bodoh, lebih jelasnya, rakyat – mereka seperti sungai di 

hamparan mana perahu mengapung: dan di atas perahu itu duduk sang 

pengevaluasi nilai-nilai, penuh khidmat dan menyamar.

Kau letakan kemauan kau dan nilai-nilai kau di atas sungai kemenjadian; ini 

memperlihatkan padaku Will to Power zaman lampau, yang dipercayai oleh 

rakyat sebagai kebaikan dan kejahatan.

Itu adalah kau, para manusia terarif, yang meletakan para penumpang 

seperti ini di perahu itu, dan memberikan mereka nama-nama besar dan mulia –

kau dan hukumnya Kemauan kau!

Sekarang sungai ini membawa perahu kau meluncur; dia harus 

membawanya. Masalah kecil jika gelombang kencang itu membusa dan dengan 

amarahnya menahan lunas perahu! 
Bukan sungai marabahaya kau, bukan pula tamatnya kebaikan dan kejahatan 

kau, kau para manusia terarif: namun  Kemauan itu sendiri, the Will to Power -

kemauan-kehidupan yang prokreatif, yang tidak pernah kehabisan tenaga..

Agar kau bisa mengerti tentang ajaranku mengenai kebaikan dan kejahatan, 

maka aku akan mengatakan pada kau tentang ajaranku mengenai kehidupan, dan 

sifat alaminya segala mahluk hidup.

Aku telah mengikuti mahluk-mahluk hidup, aku berjalan di jalan-jalan yang 

terlebar dan tersempit supaya aku dapat mengerti sifat alaminya.

Dengan beratus-ratus cermin, aku menangkap tatapannya, saat  mulutnya 

tertutup, supaya matanya bisa berbicara padaku. Dan matanya telah berbicara

padaku.

namun  di mana saja aku menemukan mahluk-mahluk hidup, disana pula aku 

mendengar bahasa kepatuhan. Semua mahluk-mahluk hidup adalah mahluk￾mahluk yang patuh.

Dan ini adalah yang kedua yang aku dengar: Ia yang tidak bisa patuh 

kedirinya sendiri, akan diperintah. Ini sifat alami semua mahluk hidup.

namun  ini adalah yang ketiga yang aku dengar – yaitu, bahwa memberi 

perintah itu lebih sulit dibandingkan  patuh. Tidak saja sang komandan itu mengemban 

beban dari semua yang patuh, dan beban ini dapat dengan mudahnya menibannya.

Usaha dan risiko ini bagiku seperti memberi perintah: dan kapan saja ia 

memberi pemerintah, lalu mahluk hidup menanggung risikonya.

Ya, bahkan saat  ia memerintah dirinya sendiri: lalu ia harus menebus

segala perintah-perintahnya. Demi hukumnya itu sendiri, ia harus menjadi hakim 

dan pembalas dendam dan korbannya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Maka aku bertanya pada diriku. Apa yang 

membujuk segala mahluk hidup untuk patuh dan memberi perintah, bahkan untuk 

patuh saat  memberi perintah?

Sekarang dengarkanlah ajaranku, kau para manusia terarif! Telaah secara 

sungguh-sungguh, apakah aku telah merangkak diam-diam ke dalam hati 

kehidupan itu sendiri, dan ke bawah akar-akar hatinya!

Di mana saja aku temui mahluk hidup, di sana aku temui the Will to Power; 

bahkan dalam kemauannya seorang pelayan aku temui kemauan untuk menjadi 

tuan.

Kepada yang lebih kuat yang lebih lemah harus melayaninya - maka 

membujuk kemauannya untuk menjadi tuan bagi yang lebih lemah lagi. Pesona ini 

sendiri tidak mau ia lepaskan.

Dan sebagaimana yang lebih kecil itu menyerah ke yang lebih besar, 

supaya ia bisa memiliki pesona dan kekuatan ke atas segala yang paling kecil, 

maka yang paling terbesar, pun, menyerah dan mempertaruhkan hidup – demi 

power.

Itu adalah kepasrahannya si yang terbesar untuk menghadapi risiko dan 

bahaya, dan bermain dadu mempertaruhkan nyawa.

Dan di mana ada pengorbanan dan pelayanan dan tatapan-tatapan cinta, di

sana ada pula kemauan untuk menjadi tuan. Memakai jalan pintas lalu yang 

lemah menyelinap ke dalam benteng, dan kedalam hati manusia yang perkasa 

lalu mencuri power.

Dan Kehidupan ini sendiri mengatakan rahasia ini kepadaku. „Perhatikan,‟ 

katanya, „Aku harus mengatasi diri selalu.
Jelasnya, kau menamakan ini kemauan pada prokreasi, atau dorongan hati

ke arah satu tujuan, ke arah lebih tinggi, lebih jauh, lebih beraneka: namun  semua 

itu adalah satu dan satu rahasia.

Aku malah mati dibandingkan  memungkiri yang satu ini; dan sungguh, di mana 

ada yang mati dan ada jatuhan dedaunan, perhatikan, di sana Kehidupan 

mengorbankan dirinya – demi power!

Semoga aku menjadi perjuangan, dan kemenjadian, dan tujuan dan 

persengketaan: ah, ia yang telah menerka kemauanku, tentunya ia telah menerka, 

pula, sepanjang jalan-jalan berliku seperti apa yang harus dilaluinya!

Apa saja yang aku ciptakan, dan seberapa besar aku mencintainya – nanti 

aku musti melawannya, dan menjadi kesayanganku: maka kemauanku memaui 

ini.

Bahkan kau pula, manusia tercerahkan, hanyalah arah dan langkah kakinya 

kemauanku: sungguh, Will to Powerku berjalan di atas kaki-kaki Will to 

Truthnya kau!

Tentunya ia tidak akan bisa memanah kebenaran, ia yang memanahnya 

dengan doktrin: “ Kemauan pada eksistensi”: kemauan itu - tidak eksis! 

sebab  apa yang tidak eksis, tidak bisa memaui; namun, apa yang sudah 

eksis, mengapa ia tetap saja berjuang bagi eksistensi?

Hanya di mana ada kehidupan, di sana ada kemauan: namun bukan Will to 

Life, namun  – maka aku ajarkan kau –Will to Power!

Banyak sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan  kehidupan, yang dinilai sangat 

berharga oleh mahluk hidup itu sendiri; namun penilaian itu sendiri berseru – the 

Will to Power!

Begitulah Kehidupan sekala mengajarkanku: lalu aku berhasil menebak 

teka-teki hati kau, kau para manusia terarif.

Sungguh, aku katakan pada kau: kebaikan dan kejahatan yang tidak berubah

- itu tidak ada! Dari dalam diri mereka sendiri, mereka harus terus mengatasi diri,

lagi dan lagi.

Dengan nilai-nilai dan doktrin-doktrin kau mengenai kebaikan dan 

kejahatan, kau menjalankan power, kau pengevaluasi nilai-nilai; dan ini adalah 

cinta yang tersembunyinya kau itu, dan  kemilaunya, getarannya dan 

keberlimpahannya jiwa kau.

namun  satu kekuatan lebih besar dan satu keunggulan baru itu lahir dari 

nilai-nilai kau: harus memecahkan telur dan kulit-telur.

Dan ia yang harus menjadi sang pencipta kebaikan dan kejahatan, sungguh, 

mulanya ia harus menjadi sang penghancur dan pendobrak nilai-nilai.

Maka kejahatan termegah ini dimiliki oleh kebaikan termegah: ini, namun, 

kreatifitas baik.

Mari kita berseru seperti ini, kau para manusia terarif, walau pun ini buruk. 

Untuk diam membisu adalah terburuk; segala kebenaran-kebenaran yang tertekan 

akan menjadi racun.

Dan biarkan semua yang bisa dipecahkan oleh kebenaran kita - pecah! 

Banyak rumah-rumah yang masih harus dibangun!


Para Manusia Sublim

Tenang adalah dasar samuderaku: siapa yang bisa menerka bahwa ini 

menyembunyikan monster-monster lucu!

Tidak bergerak adalah kedalamanku: namun  berkilauan dengan berbagai 

macam misteri dan tawa yang berenang kesana kemari.

Aku melihat manusia sublim hari ini, manusia serius, spirit taubat: oh, 

bagaimana jiwaku tertawa akan keburukannya!

Dengan dada yang membusung, dan bertingkah seperti seorang yang sedang 

menarik nafas: maka ia berdiri disana, manusia sublim, dan hening membisu.

Bergantungan bersama dengan kebenaran-kebenaran buruknya, barang 

rampasan hasil perburuannya, dan kaya akan pakaian-pakaian rombeng; banyak 

duri, pula, melekat pada dirinya – namun  aku tidak melihat bunga mawar.

Ia belum lagi belajar tentang gelak tawa dan keindahan. Dengan murungnya 

si pemburu ini kembali dari hutan pengetahuan.

Ia kembali kerumahnya dari pertarungan sengitnya melawan binatang￾binatang liar: namun  tetap saja ada belalakan binatang liar di dalam keseriusannya 

itu – binatang yang belum ditaklukan!

Seperti macan mau menerkam, ia berdiri di sana; namun  aku tidak suka para 

jiwa tegang ini; seleraku bermusuhan ke para manusia yang serba tertutup ini.

Dan kau para temanku, mengatakan padaku, bahwa tidak ada perselisihan 

mengenai selera dan rasa? namun  semua kehidupan itu adalah perselisihan

mengenaiselera dan rasa!

Selera: ini adalah bobot dan adalah juga timbangan dan penimbang; dan 

sengsaralah semua mahluk yang ingin hidup tanpa perselisihan-perselisihan 

mengenai bobot dan timbangan dan penimbang!

Seandainya ia letih akan kesublimannya, manusia sublim ini, lalu hanya 

kemudianlah keindahannya akan bermula - dan hanya saat  itulah aku mau 

merasakannya dan mengenyam kelezatannya.

Seandainya saja ia membalikan diri dari dirinya sendiri bisalah ia melompati 

bayangannya sendiri – dan sungguh! Ke sang suryanya sendiri.

Terlalu lama ia duduk di bayang-bayang, pipi spirit taubatnya menjadi

pucat; nyaris ia kelaparan di atas harapan-harapannya.

Masih ada kebencian di bola matanya, dan kejijikan bersembunyi di

sekeliling mulutnya. Tentunya, ia beristirahat sekarang, namun ia belum pernah 

rebahan di sinar surya.

Ia musti bertingkah seperti lembu; dan kebahagiannya musti berbau bumi, 

bukan kebencian pada bumi.

Aku suka melihat ia sebagai lembu putih, yang mendengus dan melenguh 

seraya melangkah di muka bajak: dan lenguhannya, pula, harus menyanjung 

sesuatu yang keduniawian!

Mukanya tetap saja hitam; bayang-bayang lengannya menari di atasnya. 

Indera penglihatannya, pula, terhalang bayang.

Tindakannya sendiri masih seperti bayang-bayang di atasnya: perbuatannya 

menggelapkan sang pelaku. Ia belum mengatasi tindakannya.

Supaya lebih pasti, dalam dirinya yang aku cinta adalah bahu lembu: namun  

sekarang aku mau melihat mata bidadari, pula.
Ia harus melupakan kemauannya yang heroik pula: ia harus menjadi 

manusia mulia bukan saja manusia sublim – sang angkasa itu sendiri musti 

menjulang tinggikannya, sang tanpakemauan itu!

Ia telah menaklukan monster-monster, ia telah menebak teka-teki. namun  ia 

harus pula menyelamatkan monster-monster dan teka-teki ini; harus merubah 

mereka menjadi anak-anak surgawi.

Hingga kini ilmu pengetahuannya belum lagi belajar untuk tersenyum, dan 

menjadi tanpa cemburu; hingga kini gairah pasionnya belum menjadi tenang 

dalam keindahan. 

Sungguh, bukan dalam kekenyangan kerinduannya itu harus pergi dan 

menghilang, namun  dalam keindahan! Keanggunan itu dimiliki oleh 

kemurahatiannya orang mulia. 

Lengannya menyilang di atas kepalanya: begitulah cara sang pahlawan 

beristirahat, dengan cara ini pula ia harus mengatasi istirahatnya.

namun  bagi sang pahlawan, justru keindahan itulah yang tersulit dari 

segalanya. Keindahan tidak bisa diperoleh dengan kemauan-kemauan yang penuh 

nafsu.

Sedikit lebih, sedikit kurang: justru ini adalah banyak di sini, di sini inilah 

yang terbanyak.

Untuk berdiri dengan otot-otot relaks dan kemauan-kemauan kendur: inilah

yang tersulit dari segalanya bagi kau semua, kau para manusia sublim!

saat  power tumbuh menjadi anggun dan mengejawantah: aku namakan 

pengejawantahan seperti ini, keindahan.

Dan tidak dari siapa pun juga aku menginginkan keindahan seperti yang aku 

sangat inginkan dari kau, kau manusia kuat: semoga kebaikan kau menjadi 

penaklukan-diri kau yang menentukan.

Aku percaya kau sanggup untuk berbuat segala kejahatan: maka aku 

menghasrati kau untuk berbuat kebaikan.

Sungguh, aku kerap tertawa