Tampilkan postingan dengan label zarathustra 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zarathustra 2. Tampilkan semua postingan
Home » Posts filed under zarathustra 2
agar hiburan ini tidak menyakitkan mereka.
Tidak seorang pun menjadi kaya atau miskin lagi: keduanya beban sangat
berat. Siapa yang ingin untuk tetap mengatur? Siapa ingin untuk tetap patuh?
Keduanya adalah beban yang sangat berat.
Tidak ada penggembala, dan satu gembalaan. Setiap orangnya
menginginkan sesuatu yang sama, setiap orangnya setara: sesiapa yang punya
pemikiran yang lain a musti dengan ikhlas pergi ke rumah sakit gila.
„Dahulu seluruh dunia ini gila‟ berkata manusia tercerdas dari mereka dan
mengejap-ngejapkan matanya.
Mereka pandai dan tahu segala apa-apa yang pernah terjadi: maka tidak
habis-habisnya cemoohan mereka. Mereka tetap saja berselisih, namun segera rujuk
– jika tidak demikian salah cerna bisa terjadi.
Mereka punya kenikmatan kecil bagi pagi hari dan kenikmatan kecil bagi
malam hari: namun mereka sangat menghargai kesehatan.
„Kami telah menemukan kebahagiaan, kata Manusia Moderen dan
mengejap-ngejapkan matanya.
Dan disini selsailah diskursus pertamanya Zarathustra, yang juga dinamakan
“prolog”: sebab sekarang teriakan dan tawa rakyat mengganggunya. „Berikan
kami Manusia Moderen, O Zarathustra – teriak mereka – „jadikanlah kami
Manusia Moderen! Lalu kami akan menghadiahkan kau sang Superman!” Dan
semua rakyat ramai berteriak dan tertawa. namun Zarathustra menjadi sedih dan
berkata pada hatinya:
„Mereka tidak mengerti aku: aku bukanlah mulut ke telinga-telinga mereka.
Mungkin aku hidup terlalu lama di gunung-gunung, kebanyakan
mendengarkan pepohonan dan gemercik aliran air: sekarang aku berseru pada
mereka bagai ke para penggembala.
Teguh adalah jiwaku dan benderang laksana gunung-gemunung di pagi kala.
namun mereka pikir aku ini dingin dan pencemooh dengan ejekan menakutkan.
Dan sekarang mereka memandangku dan tertawa: dan seraya mereka
tertawa, mereka pun membenciku. Ada es dalam tawa mereka.‟
namun lalu terjadi sesuatu yang membisukan setiap mulut dan memancangkan
setiap mata. Sementara itu, tentu saja, si akrobat peniti tali ini mulai dengan
pertunjukannya: ia muncul dari pintu kecil dan melintasi tali yang direntangkan di
antara dua menara sedemikan rupa tergantung di atas rakyat dan alun-alun pasar.
Sesaat ia sampai di tengah perjalanannya, pintu kecil terbuka sekali lagi dan
seorang berbaju aneka warna berkilauan serupa badut muncul keluar dan
mengikutinya dengan langkah cepat. „Maju, kau kaki pengkor! teriakannya
menakutkan, „maju pemalas, pengganggu, muka pucat! Biarkan aku gelitiki kau
dengan tumitku! Apa yang kau kerjakan di antara dua menara ini? Didalam
menara adalah termpat kau, kau musti dikurung; kau menghalangi jalannya
manusia yang lebih baik dibandingkan kau!‟ Dan dengan setiap kata-katanya ia
bertambah dekat dengannya: namun saat ia hanya selangkah di belakangnya,
terjadilah sesuatu yang menakutkan yang membisukan setiap mulut dan
memancangkan setiap mata: ia meneriakan lolongan seperti setan dan melompat
lampaui ia yang ada di jalannya. namun tatkala ia melihat saingannya berjaya, ia
bingung dan lupa akan tali; ia lemparkan jauh tongkat pengimbangnya dan jatuh,
lebih cepat dibandingkan tongkat pengimbangnya, serupa titiran kaki dan lengan.
Alun-alun pasar dan rakyat banyak bak samudera dilanda badai: mereka berlarian
kesana kemari tidak keruan, khususnya di mana badanitu akan jatuh.
namun Zarathustra tetap tenang dan badan itu jatuh di dekatnya, patah dan
terluka parah namun belum lagi mati. Tidak begitu lama sadar kembali manusia
yang malang ini, dan melihat Zarathustra sedang berlutut di sisinya. „Sedang apa
kau disini?‟ katanya kemudian. „Aku telah mengetahui sedari dahulu bahwa Setan
akan menjegalku. Sekarang ia mau menyeretku pula ke Neraka: maukah kau
mencegahnya?‟
„Dengan segala hormatku, temanku,‟ jawab Zarathustra, „semua yang kau
katakan tadi itu tidaklah ada: tidak ada Setan tidak ada Neraka. Jiwa kau akan
mati bahkan sebelum badan kau: maka itu janganlah takut lagi!‟
Orang ini melihat ke atas dengan rasa tidak percaya. „Jika kau telah berseru
kebenaran‟, katanya, „aku tidak kehilangan apa-apa tatkala aku kehilangan hidup
ini. Aku tidak lebih dibandingkan binatang yang dilatih untuk menari oleh lecut
pukulan dan kelaparan.‟
„Itu tidaklah demikian,‟ kata Zarathustra „kau membuat bahaya sebagai
profesi kau, maka tidak ada yang pantas untuk dicela sebab ini. Sekarang kau
punah melalui profesi kau: lalu aku akan kubur kau dengan tanganku sendiri.‟
saat Zarathustra berkata demikian orang yang sekarat ini tidak menjawab
apa-apa; namun ia menggerakan lengannya seolah-olah ingin untuk menjamah
lengan Zarathustra untuk berterima kasih kepadanya.
Sementara itu, senja pun tiba, dan alun-alun pasar terselubung kelam: lalu rakyat
berpencaran, bahkan rasa keingintahuan dan teror pun menjadi letih. namun
Zarathustra duduk di geladak di sisi orang mati ini dan tenggelam dalam
pikirannya: maka ia lupa akan waktu. namun waktu berjalan menjadi malam,
angin dingin bertiup ke sosok sunyi. Lalu Zarathustra berdiri dan berkata ke
hatinya:
Sungguh, Zarathustra menangkap sesuatu yang baik hari ini! Ia bukan
menangkap manusia, namun mayat.
Suram kehidupannya manusia, dan hingga sekarang tetap tanpa punya
makna: badut bisa celaka sebab nya.
Aku ingin mengajarkan para manusia, makna dari eksistensi mereka:
yangmana adalah sang Superman, sang kilat dari segala mendung hitam manusia.
namun aku masih tetap jauh dari mereka, dan pikiranku belum berseru ke
pikiran-pikiran mereka. Bagi para manusia, aku ini adalah campuran antara
manusia bodoh dan mayat.
Kelam adalah malam, gelap adalah jalan-jalan Zarathustra. Marilah,
temanku yang dingin dan kaku! Aku akan bawa kau ke tempat di mana aku akan
kubur kau dengan kedua tanganku.
saat Zarathustra berkata demikian ke hatinya ia angkat mayat ini ke atas
bahunya dan mulai berjalan. Belum lagi seratus langkah ia berjalan seorang
manusia diam-diam mendekatinya berbisik ke telinganya – dan perhatikan! Ia
adalah badud menara itu yang berbisik padanya. „Pergilah dari kota ini, O
Zarathustra,‟ katanya. „Banyak manusia yang membenci kau di sini. Si baik dan si
adil membenci kau, dan menyebut kau musuh dan pembenci mereka; the true
believer membenci kau, mereka menyebut kau yang membahayakan rakyat.
Untung bagi kau bahwa mereka hanya menertawakan kau: dan sungguh kau telah
berseru serupa badud. Untung bagi kau bahwa kau berteman dengan anjing mati;
dengan merendahkan diri kau telah menolong diri kau hari ini. namun
tinggalkanlah kota ini – atau esok aku akan melompati kau, manusia hidup
melompati manusia mati.‟ Setelah ia berkata demikian, badut itu pun menghilang;
Zarathustra, namun, terus berjalan melalui jalan-jalan yang gelap.
Di pintu gerbang kota, para penggali lubang kubur bertemu dengannya:
mereka sinarkan suluh mereka ke hadapan mukanya, mengenali Zarathustra dan
menertawakannya. „Zarathustra bawa anjing mati: alangkah mulianya Zarathustra
telah menjadi penggali lubang kubur! sebab tangan kita terlalu bersih bagi
daging panggang ini. Apakah Zarathustra mau menyamun sepotong daging dari
Setan? Ayolah, semoga berhasil! Selamat makan malam! namun jika Setan itu
pencuri yang lebih lihay dibandingkan Zarathustra – ia akan curi keduanya, ia akan
makan keduanya!‟ Dan mereka lalu tertawa bersama, dan berembukan.
Zarathustra tidak menjawab apa-apa, namun pergi ke arah-jalannya sendiri.
Setelah ia berjalan selama dua jam melalui hutan-hutan dan rawa-rawa ia banyak
mendengar lolongan kelaparan dari serigala-serigala, dan ini membuatnya
menjadi lapar pula. Lalu ia berhenti di sebuah rumah terpencil tersendiri di mana
ada cahaya menyala.
„Lapar menyerangku,‟ kata Zarathustra, „bak penyamun. Laparku
menyerangku di hutan-hutan dan rawa-rawa dan di tengah malam.
„Laparku punya rasa humor yang aneh. Sering datang padaku hanya sehabis
makan malam, dan seharian ini dia tidak datang: dimanakah dia gerangan?‟
Dan kemudian, Zarathustra mengetuk pintu rumah itu. Seorang tua muncul;
ia membawa pelita dan bertanya: „Siapa yang datang padaku dan pada
ketidakmudahan tidurku?‟
„Seorang hidup dan seorang mati,‟ kata Zarathustra. „Beri aku sesuatu untuk
dimakan dan diminum, aku lupa makan seharian. Ia yang memberi makan
manusia lapar menyegarkan jiwanya sendiri: begitulah ujar kebijaksanaan.
Orang tua itu pergi, namun segera kembali dan menawarkan Zarathustra roti
dan air anggur. „Ini adalah negeri yang tidak baik bagi rakyat lapar‟ katanya.
„Mengapa itulah aku hidup di sini. Binatang-binatang dan para manusia datang ke
sini padaku, sang petapa ini. namun tawarilah teman kau itu makan dan minum, ia
lebih letih dibandingkan kau.‟ Zarathustra menjawab: „Temanku sudah mati, aku tidak
akan bisa membujuknya untuk makan dan minum.‟ „Itu bukan urusanku,‟ kata
orang tua ini muram. „Sesiapa yang mengetuk pintu rumahku musti ambil apa
yang telah aku tawarkan. Makanlah, dan selamat jalan!‟
Setelah itu, Zarathustra jalan selama dua jam lagi mempercayai arah jalan
dan cahaya bintang-bintang: sebab ia berpengalaman jalan di negeri-negeri asing
di malam kala, dan senang melihat ke segala muka yang tertidur. namun tatkala
fajar menyingsing, Zarathustra mendapatkan dirinya di hutan belantara dan jejak
jalan pun tidak lagi kelihatan. Lalu ia membaringkan orang mati ini di cekungan
pohon di atas kepalanya – sebab ia mau melindunginya dari serigala-serigala –
dan membaringkan dirinya di atas tanah berlumut. Dan segera tertidur, letih
badannya namun tenang jiwanya.
Zarathustra tidur lama, tidak saja fajar yang indah meliwati tidurnya, namun juga
pagi. Namun akhirnya, matanya terbuka: terheran-heran ia memandang ke hutan
belantara dan ke kesenyapan, terheran-heran ia melihat ke dirinya. Lalu ia segera
bangkit, serupa seorang pelaut sekonyong-konyong melihat pantai, berteriak
penuh suka cita: sebab ia mendapatkan satu kebenaran baru. Lalu ia berseru pada
hatinya, demikian:
Cahaya telah menerangiku: aku butuh teman-teman, yang hidup, bukan
teman-teman yang mati atau pun mayat-mayat, yang bisa aku bawa kemana saja
aku mau.
namun aku butuh teman-teman yang hidup yang mau ikut aku sebab mereka
mau ikut diri mereka sendiri – yang mau pergi kemana saja aku mau pergi.
Cahaya telah menerangiku: Zarathustra tidak mau berseru ke rakyat, namun
ke teman-teman! Zarathustra tidak mau menjadi para penggembala dan anjing
penggembala gembalaan!
Untuk menggoda sebanyak-banyaknya jauh dari gembalaan – demi inilah
aku datang. Rakyat dan gembalaan akan marah padaku: para penggembala akan
menamakan Zarathustra sang penyamun.
Aku menyebut mereka para penggembala, namun mereka menamakan diri
mereka si baik dan si adil! Aku menyebut mereka para penggembala: namun
mereka menamakan diri mereka the true believer.
Perhatikan si baik dan si adil itu! Siapa yang sangat mereka benci? Ia yang
menghancurkan tata nilai-nilai mereka, sang pendobrak, sang pendobrak hukum –
namun ia adalah sang pencipta.
Perhatikan si pemercaya segala kepercayaan-kepercayaan! Siapa yang
sangat mereka benci? Ia yang menghancurkan tata nilai-nilai mereka, sang
pendobrak, sang pendobrak hukum – namun ia adalah sang pencipta.
Teman-temanlah, yang dicari oleh Sang pencipta, bukan mayat-mayat atau
gembalaan-gembalaan atau penganut-penganut. Mitra-mitra penciptalah yang
dicari oleh sang pencipta - mereka yang menggoreskan nilai-nilai baru di atas
tatanan baru.
Teman-temanlah, yang dicari oleh sang pencipta, mereka rekan-rekan
pemanen: sebab dengan mereka segalanya matang untuk dipanen. namun ia
kekurangan beratus-ratus sabit: maka ia mencabik kelobot-kelobot jagung dan
marah meradang.
Sang pencipta mencari teman-teman dan mereka yang tahu mengasah sabitsabit mereka. Mereka akan dinamakan para penghancur dan para pembenci
kebaikan dan kejahatan. namun mereka adalah para pemanen dan para penyukacita.
Zarathustra mencari rekan-rekan pencipta, rekan-rekan pemanen, dan rekanrekan penyuka-cita: perduli apa ia dengan gembalaan dan para penggembala dan
mayat-mayat!
Dan kau, teman pertamaku, selamat tinggal! Aku telah kubur kau dengan
baik di dalam lubang cekung pohon kau, aku telah sembunyikan kau dengan baik
dari segala serigala-serigala.
namun aku akan meninggalkan kau, dan waktunya pun telah tiba. Di antara
fajar-fajar yang indah kebenaran baru datang padaku.
Aku tidak mau menjadi seorang penggembala atau seorang penggali lubang
kubur. Aku tidak mau lagi berseru ke rakyat; ini kali yang terakhir aku berbicara
ke orang mati.
Dengan para pencipta, dengan para pemanen, dengan para penyuka-cita aku
ingin berteman: aku mau perlihatkan pada mereka pelangi dan tangga-tangga ke
sang Superman.
Aku akan menyanyikan lagu tembanganku ke seorang petapa dan petapa
berpasangan; dan bagi ia yang masih punya telinga bagi sesuatu yang tidak pernah
terdengar, aku akan penuhi hatinya dengan kebahagiaanku.
Aku membuat tujuanku sendiri, aku mengikuti jalanku; aku akan melompati
ke atas mereka para peragu dan para takacuh. Semoga kepergian-kedepanku
menjadi turun-kebawahnya mereka!
Zarathustra berkata ke hatinya saat sang surya tepat berada di tengah hari: lalu
ia melihat penuh tanya ke atas – sebab ia mendengar lengkingan tajam suara
seekor burung di atas langit. Dan perhatikan! Elang menerawang seputaran luas di
udara, di tubuhnya bergantung seekor ular, bukan sebagai mangsanya namun
temannya: sebab ular ini melingkari leher elang.
„Itu binatangku!‟ kata Zarathustra dan hatinya pun bersuka-cita.
„Binatang terangkuh dan mahabijaksana di dunia – dan mereka datang untuk
menyelidik.
Mereka mau tahu apa Zarathustra masih hidup. Sesunguhnya, apakah aku
masih hidup?
Aku mendapatkan bahwa hidup di antara para manusia itu lebih berbahaya
dibandingkan hidup di antara binatang-binatang; Zarathustra mengikuti jalan-jalan
berbahaya. Semoga binatang-binatangku memimpinku!‟
saat Zarathustra berkata demikian ia ingat akan kata-katanya santo itu di
hutan, lalu ia menarik nafas panjang, dan berseru demikian pada hatinya:
„Seandainya aku lebih bijaksana! Seandainya aku bijaksana dari dalam
hatiku, laksana ularku!
namun aku mengharapkan yang mustahil: maka aku berharap agar
keangkuhanku senantiasa bersama dengan kebijaksanaanku!
Dan seandainya di suatu waktu kebijaksanaanku pergi meninggalkanku –
oh, ia cinta untuk terbang jauh! – semoga keangkuhanku pun terbang bersama
kebodohanku!‟
Lalu mulailah Zarathustra turun-kebawah.
. Tiga Metamorfosa
Aku tunjukan pada kau tentang tiga metamorfosa spirit: bagaimana spirit menjadi
unta, unta menjadi singa dan akhirnya singa menjadi seorang anak.
Ada beberapa barang berat bagi spirit, bagi spirit pemikul berat yang punya
perasaan hormat: kekuatannya rindu bagi yang berat, bagi yang terberat.
Apa sih berat itu? Maka bertanya sang spirit pemikul berat, lalu melutut
bagai unta, ingin dimuati penuh beban.
Apa sih barang yang terberat itu, wahai kau para pahlawan? Tanya sang
spirit pemikul berat, yang dapat aku bisa pikul dan bersukacita akan kekuatanku?
Bukankah ini: untuk merendahkan diri demi melukai keangkuhan
seseorang? Untuk memperlihatkan kebodohan agar dapat mengejek
kebijaksanaan seseorang?
Ataukah ini: untuk meninggalkan alasan kita saat kita sedang merayakan
kejayaannya? Untuk mendaki gunung-gemunung tinggi untuk menggoda sang
penggoda?
Ataukah ini: untuk hidup dari buah akorn dan rumput pengetahuan, lalu
demi kebenaran menderita kelaparan jiwa?
Ataukah ini: untuk menjadi sakit dan mengusir para pelipur lara, dan
membuat pertemanan dengan yang tuli, yang tidak pernah mendengar segala
permintaan-permintaan kau?
Ataukah ini: untuk mencercah air kotor tatkala ini adalah air kebenaran, dan
tidak menyangkal katak-katak dingin dan bangkong-bangkong panas?
Ataukah ini: untuk mencintai mereka yang membenci kita, dan memberi
bantuan pada hantu-hantu saat mereka mau menakut-nakuti kita?
Sang spirit pemikul berat menaruhkan ke atas dirinya segala yang terberat:
bagai unta saat dibebani beban, lalu bergegas dia ke padang pasir, begitu
cepatnya spirit pergi ke padang pasir.
namun di kesunyian padang pasir terjadi metamorfosa yang kedua: disini
spirit menjadi singa; ia mau menangkap kebebasan dan menjadi raja di padang
pasirnya.
Ia mencari Rajanya yang terakhir di sini: ia mau menjadi musuhnya dan
musuh Tuhan terakhirnya, ia mau berjuang bagi kejayaan melawan naga megah.
Apa itu naga megah dimana spirit tidak mau lagi memanggilnya Raja atau
Tuhan? Sang naga megah ini dinamakan „Kau-kudu‟. namun spirit sang singa
berkata, „Aku mau.‟
„Kau-kudu,‟ melintang di arah-jalannya, berkilau emas, binatang diselaputi
sisik, dan di setiap sisik-sisiknya berkilauan keemasan „Kau-kudu!‟
Nilai-nilai dari beribu-ribu tahun ada di sisik-sisik itu, lalu berseru naga
megah perkasa dari segala naga-naga: „Segala nilai-nilai dari segala sesuatunya -
berkilauan dalam diriku.
„Segala nilai-nilai telah diciptakan, dan segala yang telah diciptakan – ada di
dalam diriku. Sungguh, tidak musti ada lagi “Aku mau.” Maka berkata sang naga.
Para saudaraku, mengapa singa dibutuhkan dalam spirit? Mengapa binatang
pemikul berat yang menafi dan pengabdi itu, tidak cukup?Untuk mencipta nilai-nilai baru – bahkan singa pun tidak sanggup berbuat
ini: namun untuk menciptakan bagi dirinya kebebasan untuk menciptakan sesuatu
yang baru – keperkasaan singa bisa melakukan semua ini.
Untuk menciptakan kebebasan bagi dirinya, dan memberikan satu
kesakralan Tidak bahkan pada kewajiban: untuk ini para saudaraku, dibutuhkan
seekor singa.
Untuk merampas hak bagi nilai-nilai baru – ini adalah awal mula yang
menakutkan bagi spirit pemikul beban dan bagi spirit pengabdi. Sungguh, bagi
spirit ini ini adalah pencurian dan pekerjaannya binatang pencari mangsa.
Sekala ia mencintai „Kau-kudu‟ sebagai yang tersuci: sekarang ia musti
mencari khayalan dan ejekan bahkan pada yang tersuci, agar ia bisa menangkap
kebebasan dari yang dicintainya: maka sang singa dibutuhkan bagi penangkapan
ini.
namun , katakan padaku, para saudaraku, apa yang seorang anak bisa lakukan
bahkan sang singa tidak bisa? Mengapa sang singa pemangsa musti menjadi
seorang anak?
Sang anak adalah polos dan pelupa, sebuah awal baru, olah kreasi, roda
swaputar, gerak mula, kesakralan Ya.
Ya, bagi olah kreasi dibutuhkan sebuah kesakralan Ya dalam hidup:
sekarang spiritnya memaui kemauannya sendiri; spirit yang memisahkan dirinya
dari dunia sekarang memenangkan dunianya sendiri.
Aku telah tunjukan pada kau tiga metamorfosa spirit: bagaimana spirit
menjadi unta, dan unta menjadi singa dan singa menjadi anak akhirnya.
Ini seruan Zarathustra. Dan saat itu ia tinggal di kota yang bernama Lembu
Belang.
. Kursi-kursi Kebajikan
Orang-orang menyebutkan pada Zarahustra tentang seorang yang bijaksana,
sebagai seorang yang berbicara dengan baik tentang tidur dan kebajikan: sangat
dipuji-puji dan diberi penghargaan, dan semua orang-orang muda duduk di
hadapan kursinya. Kepadanya lalu Zarathustra pergi dan duduk dihadapannya
bersama para orang muda lainnya. Lalu berseru manusia bijaksana ini:
Hormatilah dan berendah hatilah jika tidur datang! Ini yang utama!
Hindarilah para manusia yang sulit tidur dan bangun di tengah malam!
Bahkan si pencuri pun berrendah hati jika tidur datang: ia selalu mencuri
berhati-hati sepanjang malam. namun betapa sombongnya si penjaga malam, tanpa
kerendahan hati ia membawa terompetnya.
Untuk tidur ini bukanlah seni yang tidak penting: untuk ini kau musti tidak
boleh tidur seharian.
Kau musti mengatasi diri kua sepuluh kali sehari: ini menimbulkan letih
yang menyenangkan, dan candu bagi jiwa.
Sepuluh kali kau musti rukun ke diri kau lagi: sebab mengatasi diri adalah
pahit dan manusia yang tidak rukun sukar tidur.
Kau musti mendapatkan sepuluh kebenaran sehari: jika tidak kau akan
mencari kebenaran di malam hari, dan jiwa kau akan tetap lapar.
Sepuluh kali dalam sehari kau musti tertawa dan bersuka-ria: jika tidak perut
kau, bapak penderitaan itu, akan mengganggu kau di malam hari.
Sedikit orang yang tahu ini, namun seseorang musti punya semua kebajikankebajikan demi dapat tidur dengan baik. Mustikah aku memberi kesaksian palsu?
Mustikah aku berselingkuh?
Mustikah aku mendambakan pelayan perempuan tetanggaku? Tidak satu
dari ini cocok dengan tidur baik.
Bahkan tatkala seseorang punya banyak kebajikan, ada satu lagi yang musti
diingat: untuk mengirim bahkan segala kebajikan-kebajikan ini keperaduannya di
waktu yang tepat.
Supaya mereka tidak berselisih satu sama lainnya, gadis-gadis molek ini!
Dan melebihi kau, kau manusia tidak bahagia!
Berdamailah dengan Tuhan dan tetangga-tetangga kau: maka tidur baik
menghendaki ini. Dan berdamailah pula dengan setan tetangga kau. Jika tidak ia
akan menggerayangi kau di malam hari.
Hormat dan patuh pada pemerintah, bahkan pada pemerintah yang bengkok
sekali pun! Maka tidur baik memaui ini. Bagaimana aku bisa mencegahnya, jika
kekuasaan senang berjalan di atas kaki-kaki pengkor?
Aku akan selalu menamakan ia seorang penggembala terbaik yang
memimpin domba-dombanya ke padang rumput terhijau: ini cocok dengan tidur
baik.
Aku tidak ingin kehormatan-kehormatan, tidak pula harta berlimpah: ini
semua membangkitkan murung. namun seseorang tidur buruk tanpa nama baik dan
harta sedikit.
Memiliki teman sedikit lebih aku sukai dibandingkan punya teman busuk: namun
mereka musti datang dan pergi di waktu yang tepat. Ini cocok dengan tidur baik.
Si miskin spirit, juga, sangat menyenangkanku: mereka mempercepat
datangnya tidur. Berkahilah mereka, khususnya jika seseorang selalu mengalah
dengan mereka.
Maka beginilah hari-harinya berlalu bagi manusia bijaksana. Dan tatkala
malam tiba aku berhati-hati untuk tidak memanggil tidur! Ia, tidak suka dipanggil
– tidur, rajanya kebajikan!
namun aku ingat apa yang telah aku pikir dan lakukan selama pagi dan siang
hari. Merenung bak lembu yang sabar, aku bertanya pada diriku: Apa sepuluh
pengatasanku?
Dan yangmana dari sepuluh kerukunan dan sepuluh kebenaran dan sepuluh
tawa yang hatiku sangat sukai?
Seraya aku berpikir tentang ini dan tergoncangkan oleh empat puluh
pikiran-pikiran, tiba-tiba, tidur, raja kebajikan yang tidak mau dipanggil,
menyusulku.
Tidur mengetuk mataku: mataku jadi berat. Tidur menyentuh mulutku:
mulutku jadi menganga.
Sunguh, ia datang padaku di atas telapak kaki lembut, pencuri tersayang dari
segala pencuri-pencuri, dan mencuri segala pikiran-pikiranku dariku: aku berdiri
seperti orang bodoh, seperti kursi ini.
namun tidak lama aku berdiri: aku sudah terbaring sekarang
Tatkala Zarathustra mendengar kata-katanya manusia bijaksana ini, ia
tertawa dalam hatinya: sebab dengan demikian cahaya menerangi dirinya. Ia lalu
berseru ke hatinya:
Manusia bijaksana dengan empat puluh pikiran-pikirannya tampak bodoh
bagiku: namun aku percaya bahwa ia tahu cukup baik bagaimana untuk tidur.
Berbahagialah ia yang tinggal setetangga manusia bijaksana ini. Tidur
serupa ini menular, bahkan menembus tembok tebal pula.
Sebuah mantra bahkan ikut duduk di kursinya. Dan tidak sia-sianya para
orang muda duduk di hadapan sang pengkhotbah kebajikan.
Kebijaksanaannya adalah: jangan tidur demi tidur baik. Dan sungguh, jika
hidup ini tidak punya arti dan jika aku musti memilih nonsens, ini akanlah
menjadi hasrat ternonsens bagiku.
Sekarang jelas bagiku apa yang manusia telah cari-cari sekala di atas
segalanya saat mereka mencari-cari guru-guru kebajikan. Mereka mencari tidur
baik bagi diri mereka dan kebajikan-kebajikan candu untuk memanggilnya!
Bagi manusia bijaksana yang amat dipuji-puji dari kursi-kursi pendidikan
itu, kebijaksanaan berarti tidur tanpa mimpi-mimpi: mereka tidak tahu akan
makna yang lebih tentang kehidupan.
Bahkan hingga kini pun ada banyak yang serupa dengan sang pengkhotbah
kebajikan, dan mereka tidak selalunya terhormat: namun waktu mereka sudah
liwat. Dan mereka tidak musti berdiri lebih lama lagi: mereka telah terbaring
sekarang.
Berkahilah mereka para pengantuk ini: sebab sebentar lagi mereka akan
jatuh tidur.
Ini seruan Zarathustra.
. Para Manusia Dunia-Kemudian
Zarathustra pernah pula menebarkan lamunan sesatnya melebihi kemanusiaan,
seperti semua para manusia dunia-kemudian. Lalu tampaknya dunia bagiku
seperti ciptaan Tuhan yang sengsara dan tersiksa.
Lalu tampaknya dunia ini bagiku seperti mimpinya - dan bualannya -
Tuhan; warna menguap di hadapan mata Tuhan yang sangat tidak puas.
Kebaikan dan kejahatan, suka dan duka dan aku dan kau – aku pikir semua
itu uap warna di hadapan mata sang pencipta. Sang pencipta mengharap untuk
membuang muka dari dirinya sendiri, lalu ia menciptakan dunia.
Suka cita yang memabukan bagi yang sengsara untuk membuang muka dari
sengsaranya, untuk melupakan dirinya. Suka cita yang memabukan dan pelupaan
diri – ini apa yang sekala aku pikir dunia itu.
Dunia ini, yang tidak sempurna abadi, citra yang tidak sempurna dari satu
kontradiksi yang abadi – satu suka cita yang memabukan bagi sang pencipta yang
tidak sempurna – ini apa yang aku pikir dunia ini sekala.
Begitulah aku pernah menebarkan lamunan sesatku melebihi kemanusiaan,
seperti semua manusia dunia-kemudian. Benar-benar melebihi realitas
kemanusiaan?
Ah, para saudaraku, Tuhan ini yang aku ciptakan ia adalah karya manusia
dan kegilaan manusia belaka, seperti juga segala macam tuhan-tuhan!
Ia adalah manusia, fragmen buruk sosok manusia dan Ego belaka. Dari api
dan abuku, datanglah dia kepadaku hantu ini, inilah yang sebenarnya! Dia tidak
datang kepadaku dari alam „luar‟ sana!
Apa yang terjadi, para saudaraku? Aku, si penyengsara, mengatasi diri, aku
bawa abuku ke gunung-gemunung dan aku membuat sebuah terang yang lebih
benderang bagi diriku. Dan perhatikan! Lalu hantu itu lari dariku!
Sekarang bagiku, manusia yang menyembuh, akan menyusahkan dan
menyengsarakan untuk percaya pada hantu-hantu ini: akan menjadi
kesengsaraanku sekarang, juga memalukan. Lalu aku berseru pada para manusia
dunia-kemudian.
Itu semua adalah kesengsaraan dan kelemahan – yang menciptakan segala
dunia-dunia-kemudian; dan mania sesaat pada kebahagiaan yang hanya si
penyengsara berat alami.
Keletihan, yang mau meraih akhirat dengan satu loncatan, dengan loncatan
kematian, keletihan bodoh buruk, yang tidak memiliki kemauan untuk memaui
lagi: ini yang menciptakan segala tuhan-tuhan dan dunia-dunia-kemudian.
Percayalah padaku, para saudaraku! Itu adalah sang badan yang putus asa ke
sang badan – yang meraba-raba dengan jejari spirit yang sedang kasmaran pada
dinding utama itu.
Percayalah padaku, para saudaraku! Itu adalah sang badan yang putus asa
pada dunia – yang telah mendengar perut kehidupan berkata padanya.
Lalu ia mau membawa kepalanya pula menembus dinding tembok utama –
dan bukan hanya kepalanya saja – lari cepat menyeberang ke „dunia lain.‟
namun „dunia lain,‟ yang tidak manusiawi, dunia non-manusiawi yangmana
adalah surga Hampa, sangat tersembunyi dari para manusia; dan perut kehidupan
tidak berkata apa-apa pada manusia, kecuali sebagai manusia.
Sungguh, sulit untuk membuktikan segala kehidupan, sulit untuk dibuat
bicara. Namun, katakanlah kepadaku, para saudaraku, tidakkah sesuatu yang
teraneh dari segalanya telah dibuktikan sejelas-jelasnya?
Ya, Ego ini, dengan kontradiksi dan kerancuannya, bicara sangat tulus akan
kehidupannya – Ego yang pencipta, sang pemau, sang penilai ini, yangmana
adalah tolok ukur dan nilai sesuatunya.
Kehidupan yang mahatulus ini, sang Ego – ia bicara tentang badannya, dan
ia mendesak ke atas sang badan, bahkan tatkala ia mengoceh dan mengigau dan
menggelepar-gelepar dengan sayap-sayap patah.
Dengan lebih tulus ia belajar bicara, sang Ego ini: dan lebih banyak ia
belajar, lebih banyak ia temui gelar-gelar dan kehormatan-kehormatan bagi sang
badan dan dunia.
Egoku mengajarkan keangkuhan baru, aku ajarkan ini ke para manusia:
tidak lagi membenamkan kepala kedalam pasir surgawi, namun membawa dengan
bebas, kepala keduniawian yang menciptakan makna bagi dunia!
Aku ajarkan manusia kemauan baru: untuk menghasrati jalan yang telah
diikuti para manusia secara membuta, dan menamakan ini baik dan tidak lagi
merangkak diam-diam ke sisi darinya, serupa si sakit dan yang sekarat!
Itu si sakit dan yang sekarat yang membenci badan dan dunia dan
merekayasa surga dan tetesan darah tebusan: namun bahkan racun-racun manis
melankoli ini sendiri pun mereka ambil dari badan dan dunia!
Mereka mau lari dari penderitaan mereka dan bintang-bintang terlalu jauh
bagi mereka. Lalu mereka meresah: „Oh semoga ada jalan-jalan surgawi agar bisa
secara sembunyi-sembunyi masuk kedalam kehidupan lain dan kedalam
kebahagiaan!‟ - lalu mereka merekayasakan untuk mereka sendiri jalan-jalan
rahasia mereka dan nadi-nadi darah!
Sekarang mereka pikir mereka telah terbebaskan dari badan mereka dan dari
dunia ini, mereka orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun pada siapa
mereka berhutang rangsangan dan rasa sukacita bagi kebebasan mereka ini? Pada
badan mereka dan dunia ini.
Zarathustra lembut ke si sakit. Sungguh, ia tidak marah pada cara
penghiburan dan ketidak bersyukuran mereka. Semoga mereka menjadi para
penyembuh dan pengunggul dan menciptakan satu badan yang lebih luhur bagi
mereka!
Tidak juga Zarathustra marah ke manusia yang menyembuh yang
memandang lembut ke ilusinya dan merangkak diam-diam di tengah malam
sekeliling kuburan Tuhannya: namun bahkan air matanya berkata padaku tentang
penyakit dan badan sakit.
Selalu ada banyak rakyat sakit di antara mereka yang merekayasa dongengdongeng dan rindu bagi Tuhan: mereka punya rasa benci dan kebengisan pada
manusia yang tercerahkan dan pada kebajikan-kebajikan termuda yang
dinamakan kejujuran.
Mereka selalu melihat kebelakang ke masa kelam: lalu, nyatanya, ilusi dan
kepercayaan itu hal yang berbeda; akal budi yang menggila disangka Tuhan, dan
sangsi adalah dosa.
Aku tahu betul rakyat Ketuhanan ini: mereka memaksa untuk dipercaya, dan
sangsi itu dosa. Aku juga tahu betul apa yang mereka sangat yakinkan dengan
teguhnya.
Sungguh bukanlah pada dunia-kemudian atau pada tetesan darah tebusan:
mereka percaya dengan sangat teguhnya pada badan, dan badan mereka sendiri
bagi mereka adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya.
namun ini sesuatu yang sakit bagi mereka. Mengapa itulah mereka
mendengarkan para pengkhotbah kematian dan mereka sendiri mengkhotbahkan
dunia-dunia-kemudian.
Malah, dengarkanlah, para saudaraku, ke suara badan sehat; dia lebih jujur
dan suaranya lebih murni
Lebih jujur dan berbicara secara tulus badan sehat ini, sempurna dan
bentuknya persegi empat: dan dia berseru mengenai makna dunia.
Para Pembenci Badan
Ke para pembenci badan aku ingin berseru. Aku harap meraka tidak belajar
sesuatu yang baru atau pun mengajar sesuatu yang baru, namun hanya
mengucapkan selamat tinggal pada badan mereka – lalu menjadi bebal.
„Aku adalah ruh dan badan‟ – maka berkata sang anak. Dan mengapa
seseorang tidak berkata seperti anak-anak?
namun manusia yang tahu, manusia yang tercerahkan berkata: aku adalah
badan seluruhnya, dan selain dari itu tidak ada; dan jiwa hanyalah sebuah kata
bagi sesuatu di dalam badan.
Sang badan itu adalah intelek megah, kemajemukan dengan ketunggalan
rasa, perang dan damai, gembalaan dan penggembala.
Intelek kecil kau, saudaraku, yang kau namakan „spirit,‟ ia hanyalah alatnya
badan - alat kecil dan mainannya intelek megah kau.
Kau berkata „aku‟ dan bangga akan kata ini. namun lebih megah dibandingkan ini
adalah – walau kau tidak akan percaya - badan kau dan intelek megahnya yang
tidak berkata „aku‟ namun melakukan „aku.‟
Apa yang perasaan rasakan, apa yang spirit fahami, ini bukanlah sesuatu
yang diada-adakan. namun perasaan dan spirit senang untuk membujuk kau bahwa
mereka adalah finalitas segala-segalanya: sombong seperti itulah mereka.
Perasaan dan spirit itu adalah alat dan mainan: di belakang mereka berdiri
sang Diri selalu. Sang Diri mencari dengan mata perasaan, mendengarkan pula
dengan telinga spirit.
Sang Diri selalu mendengar dan mencari: ia membanding, menguasai,
menaklukan, menghancurkan. Ia mengatur dan juga pengaturnya Ego.
Di belakang pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan kau, saudaraku,
berdirilah seorang panglima perkasa, resi misterius – ia bernama Diri. Ia hidup
dalam badan kau, ia adalah badan kau.
Ada lebih banyak intelek dalam badan kau dibandingkan dalam kebijaksanaan
terbaik kau. Dan siapa yang tahu untuk maksud apa badan kau yang secara pasti
itu membutuhkan kebijaksanaan terbaik kau?
Diri kau tertawa ke Ego kau dan lompatan-lompatan angkuhnya! Apa
lompatan-lompatan dan terbangan-terbangan pikiran itu bagiku?‟ katanya pada
dirinya. „Jalan pintas ke tujuanku. Aku adalah pemegang cempurit Ego dan dalang
ide-idenya.‟
Sang Diri berkata pada Ego: „Rasakan dukacita!‟ lalu ia menderita dan
berpikir bagaimana untuk menyudahi penderitaan ini – dan ia dimaknakan untuk
berpikir bagi maksud ini semata.
Sang Diri berkata pada Ego: „Rasakan sukacita!‟ Lalu ia gembira dan
berpikir bagaimana untuk melanggengkan kegembiraan ini – dan ia dimaknakan
untuk berpikir bagi maksud ini semata.
Ke para pembenci badan aku mau serukan ini. Bahwa penghinaan itu
disebabkan dari penghargaan. Apa itu yang menciptakan penghargaan dan
penghinaan dan nilai dan kemauan?
Sang Diri yang pencipta menciptakan bagi dirinya penghinaan dan
penghargaan, dia menciptakan suka dan duka. Sang badan yang pencipta
menciptakan bagi dirinya spirit, sebagai lengannya kemauannya Bahkan dalam kebodohan dan kepenghinaan kau, kau melayani Diri kau,
kau para pembenci badan. Aku katakan pada kau: Diri kau sendiri mau untuk mati
dan lari dari kehidupan.
Tidak dapat lagi Diri kau untuk melakukan tindakan yang ia sangat hasrati
untuk lakukan: untuk mencipta melebihi diri. Ini apa yang ia sangat harapkan
untuk lakukan, ini adalah gereget utuhnya itu.
namun sekarang sudah terlambat untuk itu: maka Diri kau mau untuk punah,
kau para pembenci badan.
Diri kau mau untuk punah, dan mengapa itulah kau telah menjadi para
pembenci badan! sebab kau tidak lagi sanggup untuk mencipta melebihi diri kau.
Lalu sekarang kau marah pada kehidupan dan pada dunia. Kedengkian yang
tidak disadari itu ada di kerlingan pandangan kebencian kau.
Aku tidak akan pergi ke jalan kau, kau para pembenci badan! Kau bukan
jembatan ke sang Superman!
Ini seruan Zarathustra.
Sukacita dan Gairah
Saudaraku, jika kau punya kebajikan ini adalah kebajikan kau sendiri, kebajikan
kau itu bukanlah untuk orang lain.
Untuk memastikannya, kau akan memanggil namanya dan membelainya;
kau ingin menarik telinganya dan bercanda dengannya.
Dan perhatikan! Sekarang nama kebajikan kau menjadi umum dengan
rakyat dan telah merakyat dan gembalaan bersama dengan kebajikan kau!
Lebih baik kau berkata: „Tidak dapat diucapkan, dan tidak punya nama yang
menyiksakan dan melegakan jiwaku, dan juga rasa lapar perutku.‟
Biarkanlah kebajikan kau itu menjadi lebih diagungkan sebab sudah akrab
dikenal: dan jika kau musti berkata tentangnya, jangan malu untuk melatah.
Lalu berkata dan melatahlah: „Ini kebaikanku, ini yang aku cintai, hanyalah
yang demikian yang aku senangi, hanyalah yang demikian yang akau harapkan
kebaikan itu.
Bukan sebagai hukum Tuhan yang aku hasrati, bukan sebagai hukum
manusia atau kebutuhan manusia yang aku hasrati: bukan sebagai panduan
untukku menuju ke superdunia dan surga-surga.
Kebajikan dunialah yang aku cintai: ada sedikit keberhati-hatiannya, dan
lebih sedikit lagi kebijaksanaan umumnya.
namun burung ini telah membuat sangkarnya di bawah atapku: maka, aku
pelihara dan cintai – sekarang ia mengerami telur emasnya.‟
Seperti itulah kau musti melatah dan memuji kebajikan kau.
Pernah sekala kau punya gairah-gairah dan menamakan itu jahat. namun
sekarang kau hanya punya kebajikan-kebajikan kau: mereka tumbuh dari gairahgairah kau.
Kau menanam sasaran tertinggi kau di dalam hati gairah-gairah itu: lalu
mereka menjadi kebajikan-kebajikan dan sukacita-sukacita kau.
Walau pun asal kau itu dari ras yang berperangai panas atau tamak atau
fanatik atau pendendam:
Akhirnya segala gairah-gairah kau menjadi kebajikan-kebajikan dan segala
setan-setan kau menjadi bidadari-bidadari.
Sekala kau punya anjing-anjing galak di dalam gudang bawah tanah kau:
namun akhirnya berubah menjadi burung-burung dan biduan-biduan cantik.
Dari racun kau kau seduh balsem untuk diri kau; dari lembu kau,
penderitiaan, kau perah susunya, sekarang minumlah susu manis ambingambingnya.
Dan untuk seterusnya tidak ada kejahatan akan tumbuh dari dalam diri kau,
kecuali kejahatan yang datang dari persengketaan antara kebajikan-kebajikan kau.
Saudaraku, jika kau beruntung, kau akan mempunyai satu kebajikan dan
tidak lebih: lalu kau dapat dengan lebih mudah menyeberangi jembatan.
Akan menjadi termashur jika memiliki banyak kebajikan, namun ini takdir
yang berat; dan banyak manusia pergi ke padang pasir dan bunuh diri lantaran
letih menjadi medan perang dan perseteruan antara kebajikan-kebajikan itu.
Saudaraku, apakah pertikaian dan perang itu jahat? Namun, kejahatan itu
adalah penting, dengki dan sangsi dan cercaan antara kebajikan-kebajikan itu
adalah penting.
Perhatikan bagaimana setiap kebajikan kau itu tamak untuk menempati
tempat teratas: dia ingin seluruh spirit kau, untuk dijadikan pesuruhnya, dia ingin
seluruh power kau, dalam kemarahan, kebencian, dan cinta.
Setiap kebajikan cemburu akan yang lainnya, dan cemburu adalah sesuatu
yang sangat buruk. Bahkan kebajikan bisa hancur sebab cemburu.
Ia yang di kelilingi api kecemburuan, akhirnya membalikan dirinya, seperti
kalajengking, menyengatkan bisanya pada diri sendiri.
Ah, saudaraku, pernahkah kau melihat kebajikan menggigit dirinya dan
menikam diri sendiri?
Manusia adalah sesuatu yang musti diatasi: maka kau musti mencintai
kebajikan kau – sebab kau akan punah oleh kebajikan kau.
Penjahat Pucat
Kau tidak bemaksud untuk membunuh, kau para hakim dan pengorban, sebelum
binatang ini membungkukan lehernya? Perhatikan, si penjahat pucat ini
membungkukan lehernya: dari sinar matanya berkata kebencian besar.
„Egoku adalah sesuatu yang musti diatasi: Egoku bagiku adalah sesuatu
yang sangat membenci manusia‟: ini apa yang matanya telah katakan.
saat ia menghakimi dirinya sendiri – ini adalah momen termulianya: tidak
membiarkan manusia mulia terjerumus ke kerendahannya kembali!
Tidak ada keselamatan bagi ia yang telah menderita dari dirinya sendiri,
kecuali kematian yang cepat.
Pembunuhan kau, kau para hakim, musti menjadi pengampunan bukan
pembalasan. Dan sejak kau membunuh, buktikanlah bahwa kau membuktikan
kehidupan!
Tidaklah cukup bahwa kau musti berdamai dengan ia yang kau bunuh.
Semoga kesedihan kau menjadi kecintaan kau ke sang Superman: lalu kau akan
membuktikan kelanjutan hidup kau!‟
„Kau musti berkata “musuh,” bukan “penjahat”; Kau musti berkata “orang
cacat,” bukan “orang celaka”; kau musti berkata “orang bodoh,” bukan
“pendosa.”
Dan kau, hakim palsu, jika kau dapat berkata blak-blakan akan semua yang
telah kau kerjakan dalam pikiran kau, semua manusia akan berteriak: „Pergilah
kekejian dan ular-ular berbisa!‟
namun pikiran adalah satu lagi, dan tindakan adalah yang lainnya pula, dan
yang lainnya namun adalah citra dari tindakan. Roda sebab-akibat tidak berputar
di antaranya.
Citra ini yang membuat manusia pucat ini pucat. Ia setara dengan
tindakannya saat ia melakukannya: namun ia tidak bisa menanggung citranya
sehabis melakukan tindakannya.
Sekarang untuk selamanya ia melihat dirinya sebagai sang pelaku satu
tindakan. Aku namakan ini kegilaan: sesuatu yang di luar dirinya menjadi
pengatur dalam dirinya.
Garis kapur mempesona ayam betina; pukulan yang ia telah hempaskan
mempesona akal budinya yang lemah – aku namakan ini kegilaan sesudah
tindakan.
Dengarkan, kau para hakim! Ada kegilaan lainnya: dan ini datang sebelum
tindakan. Ah, kau tidak pernah menyambangispirit ini lebih dalam!
Maka berkata hakim palsu: „Mengapa penjahat itu membunuh? Ia mau
mencuri.‟ namun aku katakan pada kau: jiwanya ingin darah bukan barang curian:
ia haus bagi kenikmatan pisau!
namun akal budinya yang lemah tidak mengerti kegilaan ini, dan membujuk
sebaliknya. „Apa baiknya darah itu?‟ katanya. „Tidak maukah kau mencuri pula?
Untuk membalas dendam?‟
Dan ia mendengarkan ke akal budinya yang lemah itu: kata-katanya seperti
beban berat yang ditaruhkan diatas dirinya – lalu ia merampok seraya ia
membunuh. Ia tidak lagi malu akan kegilaannya.
Dan sekali lagi beban berat rasa salahnya terhampar di atas dirinya, dan
sekali lagi akal budinya yang lemah ini sangat bebal, sangat lumpuh, sangat
tumpul.
Jika saja ia bisa menggelengkan kepalanya, bebannya akan terguling: namun
siapa yang bisa menggelengkan kepala ini?
Apa sih manusia ini? Timbunan berbagai penyakit yang muncul ke dunia
melalui spirit: di sana mereka mau menangkap mangsanya.
Apa sih manusia ini? Gelung-gemelung ular-ular yang jarang berdamai satu
sama lainnya – lalu mereka pergi sendiri-sendiri mencari mangsa di dunia.
Perhatikan badan yang malang ini! Jiwa yang malang ini telah menafsirkan
apa yang dideritai dan hasrati oleh badan – dia menafsirkannya sebagi nafsu bagi
pembunuhan dan rakus bagi kenikmatan pisau
Lalu ia jatuh sakit, sang kejahatan melampauinya dan sekarang menjadi
jahat: ia mau membuat kerugian pada sesiapa yang telah merugikannya. namun
ada zaman-zaman lainnya dan kejahatan dan kebaikan lainnya pula.
Dahulu kesangsian dan kemauan ke Diri itu adalah jahat. Lalu si cacat
menjadi manusia durhaka dan dukun: sebagai manusia durhaka dan dukun ia
telah menderita dan mau menyebabkan penderitaan .
namun ini tidak akan masuk ke telinga kau: ini akan menyakitkan orang baik
kau, kata kau. namun apa sih artinya orang baik kau itu bagiku?
Banyak hal di dalam orang baik kau itu telah mendorongku ke kemuakan,
dan sungguh, itu bukan kejahatan mereka. Aku mengharap mereka punya kegilaan
melalui mana mereka bisa punah, bak penjahat pucat ini.
Sungguh, aku mengharap kegilaan mereka dinamakan kebenaran, atau
kesetiaan atau keadilan: namun mereka punya kebajikan agar mereka dapat hidup
lama dan dalam kepuasan diri yang menyedihkan.
Aku adalah terali di sisi aliran air: sesiapa yang bisa menggenggamku, biar
ia menggenggamku! Aku namun bukan, tongkat ketiak kau.
Bacaan dan Tulisan
Akan semua tulisan yang aku cintai adalah yang hanya ditulis dengan darah.
Ditulis dengan darah: dan kau akan mendapatkan bahwa darah itu adalah spirit.
Tidak mudah untuk mengerti darah yang tidak dikenal: aku benci pembaca
malas.
Ia yang tahu pembacanya, tidak akan membuat apa-apa lebih jauh bagi para
pembacanya. Seabad lagi dari masa pembaca – spirit ini akan membusuk.
Bahwa setiap manusia diizinkan untuk belajar membaca, dalam jangka
panjang ini akan menghancurkan bukan saja tulisan, namun juga pikiran.
Sekala spirit itu adalah Tuhan, lalu menjadi manusia, dan sekarang menjadi
massa.
Ia yang menulis dengan darah dan kiasan tidak mau dibaca, namun dikaji dari
dalam hati.
Di gunung-gunung jalan tersingkat adalah dari puncak ke puncak, namun
demi ini kau musti punya kaki panjang. Kiasan-kiasan musti menjadi puncakpuncak, dan bagi mereka yang kata-kata ini ditujukan, musti tinggi dan besar
badannya.
Udara tipis dan murni, marabahaya ada di dekatnya dan spirit penuh dengan
kekejian yang penuh sukacita: semua ini cocok satu sama lainnya.
Aku ingin segala dedemit di sekitarku, sebab aku pemberani. Keberanian
yang akan menakutkan semua hantu-hantu menciptakan dedemit bagi dirinya –
dan ia mau tertawa.
Aku tidak lagi merasa serupa kau: mendung ini yang aku lihat di bawahku,
berat kehitaman yang aku tertawai – inilah mendung kilat kau itu.
Kau melihat ke atas tatkala kau rindu untuk disanjung. Aku melihat ke
bawah, sebab aku disanjung
Siapa di antara kau yang bisa secara bersamaan tertawa dan disanjung?
Ia yang mendaki ke atas gunung-gemunung tertinggi tertawa ke segala
tragedi-tragedi, nyata atau semu.
Berani, cuek, penghina, keras – beginilah kebijaksanaan itu mau kita untuk
menjadi: ia adalah seorang perempuan, tidak pernah mencintai siapa-siapa kecuali
sang satria.
Kau berkata padaku: „Hidup adalah berat untuk dipikul.‟ namun mengapa
kau musti punya keangkuhan di pagi hari dan menarik diri di malam hari?
Hidup adalah berat untuk dipikul: namun jangan berpura-pura menjadi halus!
Kita semua adalah keledai sehat dan keledai-keledai penghela beban!
Apa persamaan antara kita dengan kuncup mawar, bergetar oleh setetes
embun yang jatuh ke atasnya?
Ini betul: kita mencintai hidup, bukan sebab kita terbiasa akan hidup, namun
kita terbiasa akan cinta.
Selalu ada kegilaan tertentu dalam cinta. namun selalu ada, beberapa cara
tertentu dalam kegilaan.
Dan begitu pun aku, yang menghargai hidup ini, kupu-kupu dan gelembunggelembung busa, dan apa saja yang serupa mereka di antara kita, tampaknya
banyak menikmati kebahagiaan.
Untuk melihat segala yang ringan, bodoh, molek, peri-peri kecil yang
lincah kesana kemari, ini menggerakan hati Zarathustra untuk menangis dan
bersenandung.
Aku hanya akan percaya pada Tuhan yang bisa menari.
Dan saat aku memperhatikan setanku, aku mendapatkan ia begitu serius,
teliti, mahadalam, khusyuk: ia adalah si Spirit Grafitasi – melaluinya segala apaapa jatuh hancur.
Bukan dengan amarah seseorang itu membunuh namun dengan gelak tawa.
Mari, kita bunuh si Spirit Grafitasi!
Aku sudah belajar berjalan: sejak itu aku bisa berlari. Aku sudah belajar
terbang: sejak itu aku tidak butuh dorongan demi untuk bergerak.
Sekarang aku ringan, sekarang aku terbang, sekarang aku melihat diriku di
bawah diriku, sekarang tuhan menari di dalam diriku
Setangkai Pohon di Pegunungan
Zarathustra melihat seorang anak muda menghindarinya. Dan tatkala ia sedang
berjalan sendirian di suatu malam melalui bebukitan di sekeliling kota yang
bernama Lembu Belang, perhatikan! ia mendapatkan anak muda ini bersandar ke
pohon dan memandang letih ke lembah. Lalu Zarathustra memegang pohon di sisi
mana anak muda itu duduk, dan berseru demikian:
„Jika aku ingin mengguncangkan pohon ini dengan lenganku, tentu aku
tidak bisa
namun angin, yang tidak bisa kita lihat, akan menyiksanya dan
membengkokkan ke arah mana saja yang dia inginkan. Lengan-lengan yang tidak
kelihatanlah yang menyiksa dan membengkokkan kita!‟
Lalu anak muda ini berdiri kebingungan dan berkata: „Aku mendengar
Zarathustra dan aku baru saja aku memikirkannya!‟ Zarathustra menjawab:
„Mengapa kau takut akan ini? – namun manusia dan pohon adalah serupa.
Bertambah kemauannya untuk naik ke ketinggian dan ke cahaya, bertambah
semangat akar-akarnya menembus ke dalam tanah, ke bawah, ke gelap, ke
kedalaman-kedalaman – ke dalam kejahatan.‟
„Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda ini. „Bagaimana mungkin kau
membuka jiwaku?‟
Zarathustra tersenyum, dan berkata: „Ada banyak jiwa yang tidak seorang
pun akan pernah bisa buka, kecuali seseorang membuat-buatnya terlebih dahulu.‟
„Ya, ke dalam kejahatan!‟ teriak anak muda itu sekali lagi.
„Kau berseru kebenaran, Zarathustra. Aku tidak lagi mempercayai diriku
sejak aku mau naik ke ketinggian, dan tidak seorang pun mempercayaiku lagi.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Aku berubah terlalu cepat: keharinianku menyangkal kemarinanku. saat
aku naik tangga, kerap kali aku melompat lampaui anak-anak tangga, tidak satu
anak tangga pun memaafkanku.
saat aku ada di atas, aku selalu mendapatkan diriku seorang diri. Tidak
ada seorang pun berbicara padaku, dingin beku penyendirian membuatku
gemetaran. Apa yang aku cari di atas ketinggian?
Kebencianku dan kerinduanku bertambah bersama: lebih tinggi aku
mendaki, lebih pula aku membenci ia yang mendaki. Apa yang aku cari di di atas
ketinggian?
Betapa malunya aku akan pendakian dan ketersandunganku! Betapa aku
mengumpat pada keberingasan suara keterengah-engahanku! Betapa aku benci ke
seseorang yang bisa terbang! Betapa letihnya aku di atas ketinggian!‟
Di sini anak muda ini terdiam. Dan Zarathustra mengamati pohon di sisi
mana mereka berdiri, lalu berseru demikian:
„Di sini pohon ini berdiri sendirian di atas bukit; dia tumbuh tinggi di atas
manusia dan binatang.
Dan jika dia mau berbicara, dia akan mendapatkan bahwa tidak ada seorang
pun yang akan mengertinya: sangat tinggi dia telah tumbuh.
Sekarang dia menunggu dan menunggu – namun menunggu apa? Dia hidup
sangat dekat dengan mendung-mendung: apakah dia menunggu, mungkin bagi
kilat pertama?‟
Setelah Zarathustra berkata demikian, anak muda ini berteriak dengan
gerak-gerik yang beringas: „Ya, Zarathustra, kau berseru kebenaran. Aku rindu
pada kehancuranku, tatkala aku berhasrat untuk berada diatas ketinggian, dan
kau adalah kilat yang aku tunggu-tunggu itu! Perhatikan, seperti apa aku selama
ini sejak kau muncul di sekeliling kami? Itu adalah kedengkian terhadap kau yang
telah menghancurkanku!‟ Kata anak muda ini dan menangis tersedu. Namun,
Zarathustra merangkulnya dan mengajaknya untuk berjalan bersamanya.
Dan setelah mereka berjalan beberapa lamanya, Zarathustra mulai berseru
demikian
Ini mematahkan hatiku. Mata kau berbicara dengan lebih terus terang
dibandingkan kata-kata kau, akan semua marabahaya kau.
Kau namun belum lagi bebas, kau masih mencar-carii kebebasan.
Pencarianan kau itu melelahkan kau dan membuat kau sangat berjaga-jaga.
Kau rindu untuk berada di atas ketinggian yang terbuka, spirit kau haus
bagi bintang-bintang. namun naluri-naluri buruk kau pula haus bagi kebebasan.
Anjing-anjing ganas kau rindu bagi kebebasan; mereka menggonggong
bersuka ria di dalam gudang bawah tanah mereka saat spirit kau bercita-cita
untuk membuka semua pintu penjara-penjara.
Bagiku, kau tetap saja seperti nara pidana yang berkhayal kebebasan: ah,
spirit nara pidana seperti ini akan menjadi cerdik, namun juga akan menjadi penipu
dan jahat.
Harus tetap mensucikan diri, ini penting bagi manusia spirit bebas. Banyak
yang seperti penjara dan karat besi masih ada dalam dirinya: matanya harus tetap
menjadi murni.
Ya, aku tahu marabahaya kau. namun , dengan cinta dan harapanku aku
mohon kau: jangan menolak cinta dan harapan kau sendiri!
Kau tetap merasakan diri kau mulia, dan yang lainnya pun tetap merasakan
kau mulia, walau pun mereka tidak senang dengan kau dan membuat pandangan
jahatnya pada kau. Ketahuilah ini, bahwa setiap manusia mendapatkan bahwa
manusia mulia itu penghalang jalan.
Begitu pula si baik, mendapatkan manusia mulia itu penghalang jalan:
bahkan saat mereka menamakan manusia mulia itu orang baik, mereka
melakukan ini untuk menyingkirkannya.
Manusia mulia ingin mencipta sesuatu yang baru dan kebajikan baru. Si
manusia baik ingin sesuatu yang lama dan sesuatu yang lama harus dilestarikan.
namun ini bukanlah bahayanya manusia mulia – bahwa ia akan menjadi
manusia baik – namun takut jika ia akan menjadi lancang, pencemooh, perusak.
Duh, aku tahu para manusia mulia yang telah kehilangan harapan-harapan
tertingginya. Dan selanjutnya mereka mengumpat segala harapan-harapan tinggi.
Lalu mereka hidup tanpa malu dalam kenikmatan-kenikmatan sesaat, dan
mereka nyaris tidak punya tujuan hidup melebihi tujuan sehari-hari.
„Spirit adalah kenikmatan sensual pula‟ – maka mereka berseru. Lalu sayapsayap spirit mereka patah: sekarang merangkak di sekeliling dan membuat kotor
tempat dimana ia makan makannya.
Sekala mereka berpikir akan menjadi pahlawan: sekarang mereka menjadi
sensualis. Sang pahlawan bagi mereka adalah sesuatu yang menakutkan dan
menyusahkan.
namun , bersama dengan cintaku dan harapanku aku mohon kau: jangan
menolak sang pahlawan di dalam jiwa kau! Tetap sucikan harapan tertinggi kau!
Nietzsche menganggap Seruan Zarathustra sebagai salah satu karyanya
yang terpenting.
Tidak diragukan lagi bahwa karya ini adalah mengenai pengatasan diri.
Menggabungkan pesan-pesan dari kitab Injil, mitologi Yunani dan agama kuno bangsa
Persia, yang sengaja dijungkirbalikan.
Nietzsche menyusun naskah ini dalam waktu sekitar dua tahun, bab satu ditulis
hanya dalam tempo sepuluh hari. Nietzsche sendiri menganggap Seruan Zarathustra
ini sebagai karyanya yang paling penting, dan dianggap oleh banyak para komentator
sebagai karya yang penuh dengan penjelasan yang detail tentang “superman” dan “
the will to power.” Pada awalnya ia hanya menulis tiga bab saja, merasakan bahwa
akhir cerita ini harus disudahi saat Zatahustra mendapatkan doktrin “siklus abadi” di
atas gunungnya. Kemudian ia pun menulis bab empat, dan ia menolak untuk
menerbitkannya, dengan alasan bab ini akan sangat menggoncangkan publik di saat
itu. Naskah bab empat disirkulasikan di antara teman-temannya dalam bentuk draft,
hingga akhirnya diterbitkan oleh adik perempuannya, Elizabeth, setelah Nietzsche
terserang penyakit gila.
Seruan Zarathustra adalah juga karya yang paling populer di kalangan publik.
Walau pun buku ini hanya disambut secara dingin saat pertama kali diterbitkan,
karya ini menjadi sangat terkenal setelah wafatnya Nietzsche, dan tetap populer
hingga menjadi buku yang paling laris terjual di zaman modern ini. Selama Perang
Dunia Kedua, pemerintah Jerman mencetak lebih dari . eksemplar dan
didistribusikan pada tentaranya.
Dalam tataran narasi, buku ini membicarakan tentang perjalanan dan ajaranajaran Zarathustra, seorang junjungan , guru agama dari tokoh dalam sebuah mitos, yang
datang ke dunia untuk mengajarkan ajaran tentang “Sang Superman.” Ajaran-ajaran
Zarathustra berupa kombinasi antara cerita-cerita yang ada dalam ayat-ayat agamaagama kuno seperti dari kitab Perjanjian Lama dan mitos-mitos Yunani. Dan hanya ada
disana-sini. Karya ini, malahan, terfokus pada ajaran-ajaran Zarathustra mengenai
sang Superman dan perjuangan dirinya untuk mengatasi segala aspek-aspek dunia
yang akhirnya membawanya pada doktrin “Siklus Abadi,” sebuah keadaan yang
diasosiasikan dengan transendensi.
Buku ini menceritakan tinjauan Nietzsche tentang “Sang Superman,” suatu
keadaan mengenai kehidupan yang murni dimana seseorang dapat mencintai alam
dan bumi sebagai kebaikan yang tertinggi. Buku ini menguraikan keyakinan Nietzsche
yang sangat mashur “Tuhan sudah mati.” Dalam Seruan Zatahustra, Nietzsche
membayangkan sebuah dunia dimana Sang Superman dapat mengatasi ajaran-ajaran
Nasrani yang sudah mati, menuju ke siklus abadi.
Gaya penulisan yang sangat eksperimental ini menjauhkannya dari popularitas,
dari lingkaran akademik dan filsafat hingga akhir hayatnya Nietzsche. Buku yang
bergaya sangat ambigu, tidak pas dengan gaya tulisan filsafat abad dan abad
awal. Namun, diakhir abad komunitas filsafat postmoderen merangkul karya ini dan format-formatnya yang menghapus batasan-batasan, yang memadukan filsafat
dengan kritik tentang agama dan masyarakat. Banyak teori-teori postmoderen
tentang dekonstruksi berdasarkan pada karya-karya Nietzsche yang ada dalam Seruan
Zarathustra, buku ini secara ajeg tetap menghasilkan karya-karya interpretasi
akademik baru. Saat ini ada ratusan uraian-uraian dan penjelasan-penjelasan yang
terperinci terhadap apa yang telah dibuktikan sebagai karya Nietzsche yang terkenal
itu, dan masih akan tetap mempengaruhi filsafat-filsafat kaum generasi baru
Kesucian
Aku mencintai hutan. Adalah buruk untuk tinggal di kota: terlalu banyak manusia
yang penuh nafsu hidup di sana.
Tidakkah lebih baik untuk jatuh ke tangan para pembunuh dibandingkan jatuh ke
impian-impian perempuan penuh nafsu birahi?
Dan lihatlah ke para lelaki ini: mata mereka mengatakan semua ini – mereka
tidak tahu apa yang lebih baik di dunia ini selain bersetubuh dengan perempuan.
Dasar jiwa mereka dipenuhi oleh kotoran: Duh! Ada spirit yang bercokol
dalam kotoran ini!
Seandainya kau itu sempurna, paling tidak seperti binatang! namun binatang
memiliki rasa keluguan.
Apa aku menganjurkan kau untuk membunuh perasaan kau? Aku
menganjurkankau bagi keluguan naluri kau.
Apa aku mengajurkan kau bagi kesucian? Bagi sebagian orang, kesucian itu
adalah kebajikan, namun bagi kebanyakan orang ini nyaris semacam kejahatan.
Para manusia serupa ini punya pantangan, tentunya: namun nafsu berahi
binatang jalang ini melotot dengki keatas segala perbuatan mereka.
Binatang yang tidak tahu aturan ini bahkan mengikuti mereka hingga ke
dalam kebajikan yang tertinggi dan ke kedalaman spirit dingin mereka.
Dan bagaimana manisnya nafsu berahi binatang jalang ini tahu mengemis
sepotong spirit, tatkala permintaan bagi sepotong daging ditolak.
Apa kau mencintai tragedi-tragedi dan semua yang mematahkan hati? namun
aku tidak percaya pada nafsu berahi kebinatangan kau itu.Mata Kau memiliki mata yang terlalu kejam; kau melihat ke para penderita
secara penuh nafsu. Bukankah nafsu berahi ini menyamar lalu menamakan dirinya
belas kasihan?
Dan aku berikan kiasan ini kepada kau: Tidak sedikit manusia yang mau
mengusir setan dari dalam mereka, mereka malah menjadi babi yang menjijikan.
Bagi mereka dimana kesucian itu adalah sulit, janganlah dilakukan, agar
tidak menjadi jalan ke Neraka – ini adalah ke kotoran dan ketamakan jiwa.
Apakah aku berseru tentang sesuatu yang kotor? namun bagiku ini bukanlah
yang terburuk yang aku bisa lakukan.
Bukan saat kebenaran itu kotor, namun saat kebenaran itu dangkal,
yangmana orang yang tercerahkan pun enggan untuk mencercahkan diri mereka
ke dalamnya.
Sungguh, ada mereka yang suci dari dalam hatinya: mereka lebih lembut
hatinya dan mereka lebih kerap tertawa dan lebih sepenuh hati dibandingkan kau.
Mereka tertawa pula pada kesucian, dan bertanya: „Apa sih kesucian itu?‟
Bukankah kesucian itu suatu kebodohan? namun kebodohan itu datang pada
kita, bukan kita datang padanya.
„Kita tawarkan tamu kita cinta dan tempat perlindungan: sekarang ia
tinggal dengan kita – biarlah ia tinggal selama yang ia hendaki!‟
Sang Teman
„Satu selalunya terlalu banyak di sekelilingku‟ – maka berkatalah sang petapa.
„Selalu awalnya satu – dalam jangka panjang menjadi dua!‟
Aku dan daku selalu berbicara tulus satu sama lainnya: bagaimana ini bisa
bertahan lama, jika tidak ada teman?
Sang teman bagi seorang petapa selalunya adalah manusia ketiga: manusia
ketiga adalah gabus yang mencegah pembicaraan dari dua yang lainnya tidak
tenggelam ke kedalaman.
Duh, ada banyak kedalaman-kedalaman bagi para petapa. Mengapa itulah,
mereka rindu akan teman dan akan ketinggiannya.
Kepercayaan kita pada manusia lain ini adalah kepenghianatan kita dimana
kita mau mempunyai kepercayaan pada diri kita sendiri. Kerinduan kita bagi
teman ini adalah kepenghianatan kita.
Dan kerap kali bersama dengan cinta kita, kita hanya ingin untuk melompati
kedengkian. Dan kerap kali kita menyerang dan membuat permusuhan, untuk
menyembunyikan bahwa kita mudah diserang.
„Sekurang-kurangnya jadilah musuhku!‟ – maka berkata sang pengabdi
yang sejati, yang tidak mau membuat pertemanan.
Jika kau mau punya teman, kau harus pula mau berperang baginya: dan
untuk bisa berperang, kau harus bisa menjadi musuh.
Kau harus bisa menghormati musuh di dalam diri teman kau. Bisakah kau
pergi ke dekat teman kau, tanpa harus menyakitinya?
Di dalam diri teman kau, kau musti punya musuh besar kau. Hati kau musti
lebih dekat lagi padanya saat kau menyerangnya.
Apa kau mengharap untuk pergi ke dekatnya tanpa berpakaian ke
hadapannya? Apakah ini untuk menghormati teman kau bahwa kau
memperlihatkan diri kau apa adanya? namun ia berharap kau pergi ke Neraka
sebab ini!
Ia yang tidak merahasiakan apa-apa tentang dirinya akan memicu
kemarahan pada orang lain: mengapa itulah ada berbagai macam alasan-alasan
yang membuat kau harus takut pada ketelanjangan! Seandainya kau adalah
tuhan kau lalu kau bisa malu akan pakaian!
Kau tidak boleh menghias diri terlalu bagus bagi teman kau: sebab baginya
kau musti menjadi serupa anak panah dan kerinduan ke sang Superman.
Pernahkah kau memperhatikan teman kau tidur? – untuk mengetahui seperti
apa ia itu? Seperti apa muka teman kau itu biasanya? Ini adalah muka kau sendiri,
di pantulan cermin yang kasar dan kunyel.
Pernahkah kau memperhatikan teman kau tidur? – Apa kau tidak cemas
melihat teman kau yang kelihatannya seperti itu? O temanku, manusia adalah
sesuatu yang musti diatasi.
saat sedang menduga dan sedang menjaga kemembisuan, sang teman
musti menjadi contohnya: jangan mau melihat yang lainnya. Impian kau musti
mengatakan pada kau apa yang sang teman kau kerjakan saat ia tidak tidur.
Semoga belas kasihan kau itu menjadi dugaan: pertama untuk mengetahui
apakah teman kau membutuhkan belas kasihan. Mungkin apa yang ia cintai
dalam diri kau adalah sorotan mata jeli kau dan pandangan keabadian kau itu.
Biar belas kasihan kau pada teman kau bersembunyi dalam kulit keras; kau
musti mematahkan gigi kau saat menggigitnya. Maka kau akan memiliki
kehalusan dan rasa sedap.
Apakah kau ini udara murni dan tersendiri dan roti dan obat bagi teman
kau? Banyak orang tidak bisa membebaskan diri dari sengkelanya sendiri namun
ia bisa membebaskan temannya.
Apa kau budak? Jika demikian, kau tidak bisa menjadi teman. Apa kau
zalim? Jika demikian, kau tidak bisa punya teman.
Dalam diri seorang perempuan, sosok budak dan kezaliman telah sangat
lamanya disembunyikan. Oleh sebab itu, perempuan belum sanggup bersahabat:
ia hanya tahu cinta belaka.
Dalam cintanya perempuan ketidakadilan dan kemembabibutaan tertuju
pada semua yang ia tidak cintai. Bahkan dalam cinta perempuan yang
tercerahkan, pun, tetap ada sesuatu serangan yang tidak terduga dan kilat dan
malam, bersama cahaya.
Perempuan belum sanggup untuk bersahabat. namun katakanlah padaku, kau
para lelaki, siapakah di antara kau namun sanggup bersahabat?
Oh, kemiskinan kau, kau para lelaki, dan keburukan jiwa kau! Sebanyak
apa pun yang kau berikan pada teman kau aku bahkan mau berikan pula pada
musuhku, dan tidak akan menjadi lebih miskin dalam melakukan ini.
Ada persaudaraan: semoga ada persahabatan!
Seribu Satu Tujuan
Zarathustra sudah banyak melihat negeri-negeri dan rakyat-rakyat: maka ia telah
menemui kebaikan dan kejahatannya rakyat-rakyat. Zarathustra mendapatkan
bahwa tidak ada yang lebih kuat di dunia ini selain dibandingkan kebaikan dan
kejahatan.
Tidak seorang pun bisa hidup tanpa membuat penilaian terlebih dahulu;
namun ia tidak boleh menilai seperti para tetangganya menilai.
Sesuatu yang tampaknya baik bagi seseorang tampaknya memalukan dan
merendahkan bagi yang lainnya: maka aku dapatkan ini. Apa yang aku dapatkan
di sini dinamakan kejahatan, namun disana dihias dengan kehormatan mulia.
Tidak pernah tetangga seseorang mengerti tetangga orang lainnya: jiwanya
selalu heran pada kegilaan dan kekejaman tetangganya.
Tata nilai-nilai bergantungan di atas setiap manusia. Perhatikan, ini adalah
tata nilai-nilai keberjayaannya, perhatikan, ini adalah suara kemauannya pada
kekuatan.
Apa yang dianggapnya pelik ini dinamakan yang sangat berharga; apa yang
dianggapnya terpenting dan pelik ini dinamakan kebaikan; dan apa yang
membebaskannya dari kebutuhan besar, yang langka, yang terpelik dari segalanya
– ini diagungkan sebagai yang sakral.
Apa saja yang menyebabkan ia berkuasa dan menaklukan dan bersinar, yang
mencemaskan dan mendengkikan tetangganya, ia menganggapnya sebagai
sesuatu yang termulia, yang terpenting, makna dan nilai dari segala sesuatunya.
Sungguh, saudaraku, jika kau tahu kebutuhannya rakyat, tanahnya, langitnya
dan tetangganya, tentu kau bisa menentukan hukum apa untuk mengatasinya, dan
mengapa itulah berada di atas tangga ini untuk naik menuju ke arah
harapannya.
„Kau selalu musti menjadi yang utama dan mengalahkan yang lainnya:
kecemburuan jiwa kau tidak musti mencintai yang lainnya, kecuali teman kau‟ –
fatwa ini menggetarkan jiwa bangsa Yunani: dengan mengikuti ini ia mengikuti
jejak ke kemegahan.
„Untuk berkata kebenaran dan ahli menggunakan panah dan busur‟ – ini
tampaknya sangat pelik dan berharga bagi rakyat yang dari mereka aku
mendapatkan namaku – satu nama yang berharga dan pelik bagiku.
„Untuk menghormat ibu dan bapak, dan mengerjakan kemauan mereka dari
dalam dasar jiwa‟: rakyat lainnya menggantungkan tata keberjayaannya ini di atas
dirinya dan menjadi megah lagi abadi dengan ini.
„Untuk menjalankan kesetiaan dan demi kesetiaan mempertaruhkan
kehormatan dan darah bahkan dalam kejahatan dan alasan-alasan yang
berbahaya‟: mengikuti ajaran ini, rakyat lainnya menguasai dirinya, lalu ia
mengandung dan berat dengan harapan-harapan megah.
Sungguh, para manusia telah memberikan pada diri mereka segala kebaikan
dan kejahatan mereka sendiri. Sungguh, mereka tidak mengambilnya, mereka
tidak memulungnya, ini tidak datang ke mereka seperti suara dari surga.
Manusia mulanya menetapkan nilai-nilai ke sesuatu untuk menguatkan
dirinya – ia menciptakan makna sesuatu, makna kemanusiaan! Maka, ia
menamakan dirinya: „Manusia‟, ini adalah: sang penilai.
Penilaian itu sendiri adalah penciptaan: dengar ini, kau para pencipta!
Penilaian itu sendiri adalah harta karun dan batu permata dari segala sesuatu yang
bernilai.
Hanya melalui penilaianlah ada nilai: dan tanpa penilaian cangkang
eksistensi itu tidak ada isinya. Dengar ini, kau para pencipta!
Perubahan nilai-nilai – ini bermakna, perubahan dalam para pencipta nilai.
Ia selalu harus menghancurkan jika ia ingin menjadi seorang pencipta.
Para rakyat dahulunya adalah para pencipta; hanya sesudahnyalah si
perseorangan. Sungguh, si perseorangan ini adalah ciptaan yang terbaru.
Sekala para rakyat menggantungkan tata nilai-nilai ke atas diri mereka.
Cinta yang ingin berkuasa dan cinta yang ingin patuh ini bersama-sama
menciptakan tata-tata serupa ini.
Rasa sukacita terhadap gembalaan itu lebih tua dibandingkan rasa sukacita
terhadap Ego: dan selama hati nurani baik itu dinamakan gembalaan, hanya hati
nurani buruk yang berkata: aku.
Sungguh, si Ego yang licik, manusia tanpa-cinta, yang mencari keuntungan
dalam keuntungan rakyat banyak – ini bukan asal usulnya gembalaan, namun
kehancurannya.
Itu selalunya adalah para pencinta dan para pencipta yang menciptakan
kebaikan dan kejahatan. Api cinta dan api angkara murka membara dalam segala
nama-nama kebajikan.
Zarathustra banyak melihat negeri-negeri dan rakyat-rakyat: Zarathustra
mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih kuat di dunia ini selain dibandingkan karya
para manusia pecinta: apa yang dinamakan „kebaikan‟ dan „kejahatan‟.
Sungguh, luar biasa segala kekuatan pemujian dan pengutukan ini. Katakan
padaku, siapa yang bisa menaklukannya bagiku, para saudaraku? Siapa yang bisa
mengalungkan sengkela-sengkela keatas beribu-ribu leher binatang ini?
Hingga saat ini ada beribu-ribu tujuan, sebab ada beribu-ribu rakyat. Hanya
sengkela-sengkela yang kurang bagi beribu-ribu leher ini, dan tujuan yang satu
tetap saja kurang. Hingga kini manusia tidak punya satu tujuan.
Namun katakan padaku, para saudaraku: jika satu tujuan bagi kemanusiaan
itu tetap tidak ada, tidakkah tetap tidak ada – kemanusiaan itu sendiri?
Mencintai Tetangga
Kau berkumpul dengan para tetangga kau dan punya kata-kata indah untuk ini.
namun aku katakan pada kau: Cinta kau pada tetangga ini adalah cinta buruk pada
diri kau sendiri.
Kau melarikan diri ke tetangga, lari dari diri kau sendiri dan mau membuat
kebajikan dari ini: namun aku melihat melalui „ketanpamementingkan diri‟ kau.
Si „Kau‟ lebih tua dibandingkan si „Aku‟; si „Kau‟ telah dibaptiskan, namun
belum lagi si „Aku‟: maka manusia berkumpul bersama tetangganya.
Apa aku menganjurkan kau untuk mencintai tetangga kau? Malah aku
anjurkan kau untuk pergi menjauhi tetangga kau dan mencintai sesuatu yang
terjauh!
Lebih tinggi dibandingkan mencintai tetangga seseorang adalah mencintai
manusia yang terjauh dan manusia masa depan; lebih tinggi dibandingkan mencintai
manusia adalah mencintai benda dan hantu-hantu.
Hantu-hantu ini yang berlarian di belakang kau, para saudaraku, mereka
lebih bersih dibandingkan kau; mengapa kau tidak berikan daging dan tulang-belulang
kau? namun kau takut, dan lari ke tetangga kau.
Kau tidak mampu untuk bersendirian dengan diri kau sendiri dan tidak
cukup mencintai diri kau sendiri: lalu kau mau untuk menyesatkan tetangga kau
ke dalam cinta, dan melapisi diri kau dengan kesalahannya.
Semoga kau tidak bisa bersama dengan setiap macam tetangga atau
tetangganya tetangga kau; maka kau musti menciptakan teman kau dengan segala
keberlimpahan hatinya, dari dalam diri kau sendiri.
Kau mengundang saksi saat kau mau mengatakan betapa baiknya diri
kau; dan saat kau telah menyesatkannya bahwa kau ini baik, lalu kau
menganggap diri kau baik.
Bukan hanya ia yang mengatakan sebaliknya dari apa yang ia tahu yang
berbohong, namun juga ia yang berkata sebaliknya dari apa yang ia tidak tahu.
Maka kau berbicara mengenai diri kau sendiri dalam pergaulan dengan yang
lainnya dan membohongi tetangga kau.
Maka berkata si bodoh: „Bergaul dengan rakyat menghancurkan
kepribadian, terutama saat ia tidak mempunyai kepribadian.‟
Seseorang melarikan dirinya ke tetangganya sebab ia mencari dirinya,
dan yang lainnya sebab mau kehilangan dirinya. Keburukan cinta kau pada diri
kau, ini membuat kesendirian itu seperti penjara bagi kau.
Itu adalah manusia terjauh yang telah melunasi cinta kau pada tetangga
kau; dan tatkala ada lima semacam kau bergabung, yang keenam selalunya harus
mati.
Aku juga tidak suka pada festival-festival kau: terlalu banyak aktor aku
dapatkan disana, dan para penontonnya, pun, bertingkah bagaikan aktor.
Tidak juga aku mengajarkan kau akan si tetangga, namun akan sang teman.
Semoga sang teman ini menjadi festival dunia bagi kau, dan awal perkenalan ke
sang Superman.
Aku ajarkan kau tentang sang teman dan keberlimpahan hatinya. namun
kau musti mengerti bagaimana untuk menjadi sepon, jika kau mau dicintai oleh
keberlimpahan hatinya.
Aku ajarkan kau tentang sang teman yang di dalam dirinya ada sebuah
dunia yang sempurna, bahteranya manusia baik – sang teman yang pencipta, yang
selalu memiliki dunia yang sempurna untuk diamalkan.
Dan laksana dunia ini yang di suatu waktu bertebaran kemana-mana
menjauh darinya, lalu datang kembali ke dirinya, laksana evolusi kebaikan dari
kejahatan, laksana evolusi dari sebuah tujuan itu dari keberuntungan.
Semoga masa depan dan yang terjauh menjadi prinsip masakini kau:
dalam diri sang teman kau, kau harus mencintai sang Superman sebagai prinsip
kau.
Para saudaraku, aku tidak menganjurkan kau untuk mencintai tetangga
kau: aku menganjurkan kau untuk mencintai sesuatu yang terjauh.
Ini seruan Zarathustra.
. Jalan Sang Pencipta
Maukah kau pergi berpisah dan bersendirian, saudaraku? Maukah kau mencari
jalan ke dalam diri kau sendiri? Berhenti sekejap dan dengarkan aku.
„Ia yang mencari-cari akan mudah tersesat. Ini adalah kejahatan untuk pergi
berpisah dan bersendirian‟ – maka berkata gembalaan.
Gaungan suara gembalaan tetap ada di dalam diri kau. Dan tatkala kau
berkata: „Kita tidak lagi mempunyai nurani yang serupa, kau dan aku‟, ini akan
menjadi kesedihan dan ratapan.
Lihatlah, nurani ini sendirilah yang menyebabkan kesedihan kau itu: dan
kemilau akhir nurani kau tetap masih membara di dalam penderitaan kau.
namun kau mau melarikan diri dari penderitaan kau, apakah ini jalan ke diri
kau? Lalu, perlihatkanlah padaku hak kau untuk ini dan hak kau bagi ini!
Apa kau kekuatan baru dan hak baru? Gerak mula? Roda swaputar?
Bisakah kau paksa bintang-bintang berputar mengelilingi kau?
Duh, banyak yang rakus kedudukan tinggi! Banyak gejolak ledakan di si
ambisius! Perlihatkan padaku bahwa kau bukan salah satu dari yang rakus dan
ambisius!
Duh, ada sangat banyak ide megah yang hanya dapat melakukan sesuatu
yang tidak lebih dibandingkan ubub: mereka menggembung dan mengempis selalu.
Bebas, ini yang kau anggap diri kau itu? Aku mau dengar konsep hak
kewenangan kau, dan kau bukan telah bebas dari kuk.
Apakah kau orang yang berhak untuk bebas dari kuk? Banyak orang yang
membuang harga dirinya tatkala mereka membuang ikatan mereka.
Bebas dari apa? Zarathustra tidak perduli akan ini! namun mata kau musti
berkata dengan jelas padaku: bebas untuk apa ?
Dapatkah kau memberikan pada diri kau, kebaikan dan kejahatan kau
sendiri, dan meletakan kemauan kau sebagai hukum atas diri kau sendiri?
Dapatkah kau menjadi hakim atas diri kau, dan penuntut balas hukum kau?
Adalah mengerikan untuk bersendirian dengan sang hakim dan sang
penuntut balas hukumnya sendiri. Seperti bintang yang dilontarkan ke ruang
antariksa hampa dan ke tempat penyendirian yang dingin beku.
Sekarang kau masih saja menderita dari orang banyak, kau manusia
perseorangan: sekarang kau masih saja memiliki keberanian kau yang tidak
berkurang itu dan harapan-harapan kau.
namun suatu saat kesendirianan kau akan membuat kau letih, suatu saat
rasa bangga kau akan runtuh, dan keberanian kau akan kehilangan semangatnya.
Suatu saat kau akan berteriak: „Aku sendirian!‟
Suatu saat kau tidak lagi bisa melihat apa-apa yang luhur dalam diri kau;
dan melihat dekat sekali kerendahan kau; kemuliaan kau sendiri akan menakutkan
kau, seolah-olah hantu. Suatu saat kau akan berteriak: „Segalanya palsu!
Ada perasaan-perasaan yang ingin untuk membunuh sang penyendiri; jika
mereka tidak berhasil, lalu mereka sendiri musti mati! namun apakah kau sanggup
untuk itu - untuk menjadi seorang pembunuh?
Saudaraku, pernahkah kau mendengar kata-kata „hina‟? Dan
penderitaannya keadilan kau yang harus adil ke mereka yang menghina kau?
Kau memaksa rakyat untuk merubah opini mereka mengenai kau; yangmana
mereka pegang teguh untuk melawan kau. Kau mendekati mereka, namun kau
meliwati mereka: untuk ini mereka tidak pernah mau memaafkan kau.
Kau pergi melebihi mereka: namun lebih tinggi kau mendaki, lebih kecil lagi
kau kelihatannya di mata si pendengki. Dan ia yang bisa terbang sangat dibenci
melebihi segalanya.
„Bagaimana kau bisa adil terhadapku?‟ – berkatalah serupa ini – „Aku pilih
ketidakadilan kau itu sebagai bagianku.‟
Segala ketidakadilan dan segala najis mereka lemparkan ke sang
penyendiri: namun , saudaraku, jika kau mau menjadi bintang, kau harus bersinar
bagi mereka tidak perduli akan itu semua!
Dan waspadalah terhadap si baik dan si adil! Mereka mau menyalibkan
mereka yang menciptakan kebajikan mereka sendiri – mereka benci manusia
penyendiri.
Waspada, pula, terhadap kesederhanan yang sakral ! Segala yang tidak
sederhana tidak sakral terhadapnya: dan, ini pula ingin bermain api –. kayu
bakar dan tonggak pembakaran.
Waspada pula, terhadap serangan-serangan cinta kau! Sang penyendiri
mengulurkan tangannya terlalu cepat terhadap siapa saja yang ia temui.
Bagi kebanyakan manusia, kau tidak semustinya mengulurkan tangan kau,
namun cakar kau: dan aku berharap bahwa cakar kau itu berkuku runcing, pula.
namun musuh terbesar kau yang kau bisa hadapi itu selalunya, adalah diri
kau sendiri; kau sendiri berbaring menghadang diri kau seorang, di guha-guha
dan hutan-hutan.
Manusia penyendiri, kau berjalan menuju ke dalam diri kau sendiri! Dan
arah-jalan kau itu meliwati diri kau dan tujuh setan-setan kau!
Kau akan menjadi manusia heretik ke diri kau sendiri, dan dukun dan junjungan ,
dan orang bodoh, dan orang yang tidak lekas pecaya, durjana dan penjahat.
Harus siap untuk membakar diri kau sendiri dalam kobaran api kau:
bagaimana bisa kau menjadi baru jika mulanya kau tidak mau menjadi abu?
Kau manusia penyendiri, kau pergi ke jalan sang pencipta: kau mau
menciptakan Tuhan untuk diri kau sendiri dari tujuh setan-setan kau!
Kau manusia penyendiri, kau pergi ke jalan sang pecinta: Kau mencintai
diri kau sendiri, oleh sebab itu kau membenci diri kau, hanya sang pencintalah
yang membenci sedemikian rupa.
Untuk mencipta, ini keinginannya sang pencinta, sebab ia membenci! Apa
yang ia tahu tentang cinta yang tidak musti membenci pada apa yang ia cintai?
Bersama cinta kau, pergilah ke tempat penyendirian kau, saudaraku,
bersama dengan ciptaan kau pula; dan sang keadilan dengan lambat dan
terpincang-pincang akan mengikuti kau.
Bersama tetesan air mataku, pergilah ke tempat persendirian kau,
saudaraku. Aku mencintai ia yang mau menciptakan dirinya melebihi dirinya, lalu
Kematian Rela
Banyak yang mati terlambat dan sebagian mati terlalu cepat. Selalu fatwa ini
janggal terdengarnya: „Mati di waktu yang tepat!‟
Mati di waktu yang tepat: maka Zarathustra mengajarkan ini.
Tentunya, ia yang tidak pernah hidup di waktu yang tepat mustahil ia akan
mati di waktu yang tepat! Lebih baik lagi jika ia tidak pernah dilahirkan! – Maka
aku menganjurkan manusia yang mubazir ini.
namun bahkan manusia yang mubazir ini membuat kemegahan pada
kematian mereka: ya, bahkan kacang kosong pun mau direkah.
Setiap manusia menganggap kematian sebagai yang penting: namun hingga
kini, kematian itu bukan festival. Namun hingga kini, para manusia belum lagi
belajar membaptis festival-festival mahamurni.
Kematian yang sempurna, akan aku perlihatkan pada kau, yang musti
menjadi pemicu dan janji-janji pada yang hidup.Manusia yang menjalankan kehidupannya dengan sempurna, mati penuh
kejayaan, di kelilingi para manusia yang mengharap dan membuat sumpahsumpah khidmat.
Maka seseorang musti belajar untuk mati; dan tidak boleh ada festivalfestival di mana manusia yang sekarat itu tidak mensakralkan sumpah-sumpah
manusia yang masih hidup!
Mati laksana ini adalah kematian terbaik; namun yang terbaik kedua: ini
adalah mati dalam pertempuran, dan mengorbankan jiwa megah.
namun yang juga dibenci oleh sang pendekar dan sang pemenang itu adalah
seringai kematian kau, yang datang merangkak diam-diam bak pencuri – namun
datang sebagai penguasa.
Kematianku, aku anjurkan pada kau, adalah kematian rela yang datang
padaku sebab aku menginginkannya.
Dan bilakah aku harus menginginkannya? – Ia yang mempunyai tujuan dan
pewaris, ingin mati di waktu yang tepat bagi tujuan dan pewarisnya.
Dan dari rasa hormatnya pada tujuan dan pewarisnya, ia tidak mau lagi
menggantungkan rerangkaianan bunga layu ke suaka kehidupan.
Sungguh, aku tidak mau menjadi seperti si pembuat tali: mereka memintal
rajutan mereka lalu berputar balik berlawanan.
Banyak yang tumbuh terlalu tua bahkan bagi kebenaran-kebenaran dan
kejayaan-kejayannya; mulut yang tidak bergigi tidak lagi punya hak bagi setiap
kebenaran.
Dan sesiapa yang ingin terkenal, musti mengundurkan diri secara hormat di
waktu yang tepat, dan berlatih seni yang tersulit – mundur di waktu yang tepat.
Seseorang harus tidak memperbolehkan dirinya dimakan saat rasanya
lezat: ini dimengerti oleh ia yang mau untuk dicinta dengan lama.
Tentunya, ada apel-apel masam yang harus menunggu nasibnya hingga
akhir musim gugur: mereka sekali gus akan menjadi matang, menguning, dan
layu mengkerut.
Bagi kebanyakan manusia hatinya yang mulanya menua, dan yang lainnya
spiritnya. Dan sebagian menua di masa mudanya, namun mereka yang muda
terlambat tetap muda selalu.
Bagi kebanyakan manusia, hidup ini adalah kegagalan: ulat berbisa
memakan hatinya. Maka buktikanlah kematiannya itu menjadi sukses besar
baginya.
Banyak manusia tidak pernah menjadi manis, mereka membusuk bahkan di
musim panas. Itu adalah kepengecutan mereka yang mengikat erat mereka pada
tangkainya.
Manusia kebanyakan hidup, dan mereka bergantungan di tangkai-tangkai
mereka terlalu lama. Semoga badai itu datang dan mengguncangkan segala
kebusukan dan ulat pemakan buah dari pohon!
Semoga para pengkhotbah kematian cepat itu datang! Mereka akan menjadi
badai-badai yang pantas dan penggoncang pepohonan kehidupan! namun aku
hanya mendengar khotbah tentang kematian lambat, dan kesabaran pada segala
sesuatu yang „duniawiah‟.
Ah, apa kau mengkhotbahkan kesabaran pada segala sesuatu yang
duniawiah? Itu adalah keduniawian yang sangat sabar pada kau, kau para
penghujat!Sungguh, sangat cepat kematian si orang Ibrani yang para pengkhotbah
kematian lambat itu hormati: dan bagi banyak orang ini telah menjadi bencana
besar, sebab ia mati terlalu muda.
Namun, ia hanya tahu air mata dan melankolinya kaum Ibrani saja, juga
kebenciannya pada si baik dan si adil – si Ibrani Yesus: maka ia tercekam oleh
kerinduannya untuk mati.
Seandainya saja ia tetap ada di padang pasir, dan jauh dari si baik dan si
adil! Mungkin ia akan bisa belajar hidup dan belajar mencintai dunia – dan
tertawa pula!
Percayalah, para audaraku! Ia mati terlalu muda; ia sendiri akan menarik
balik ajarannya kalau saja ia bisa hidup seusiaku! Ia cukup mulia untuk menarik
balik ajarannya!
namun ia masih hijau. Pemuda mencinta secara belia dan secara belia pula ia
membenci manusia dan dunia. Hati dan sayap-sayap spiritnya masih terkurung
dan kaku.
namun ada lebih banyak kekanakan dalam diri manusia dewasa dibandingkan
dalam diri pemuda, dan sedikit melankolinya: ia lebih mengerti banyak akan
hidup dan mati.
Bebas demi kematian dan bebas dalam kematian, kata-kata Tidak yang
sakral saat tidak ada waktu lagi bagi Ya: maka ia mengerti kehidupan dan
kematian.
Semoga kematian kau tidak menjadi penghujatan pada manusia dan dunia,
para saudaraku: ini yang aku mohon dari madu jiwa kau.
Dalam kematian kau, spirit dan kebajikan kau harus tetap bersinar laksana
cahaya senja mengelilingi dunia: jika tidak kematian kau ini adalah kematian yang
sia-sia.
Maka aku juga akan mati, semoga kau para temanku bisa lebih mencintai
dunia ini demi aku; dan aku akan menjadi dunia ini lagi, agar aku bisa
menemukan kedamaian pada ia yang melahirkanku.
Sungguh, Zarathustra punya satu tujuan, ia telah melemparkan bolanya:
semoga sekarang kau para temanku menjadi pewaris tujuanku, aku lempar bola ini
ke kau.
namun yang terbaik, aku suka melihat kau, pula, melemparkan bola emas ini,
para temanku! Lalu aku bisa hidup di dunia ini lebih lama lagi, maafkanlah aku
untuk ini!
Amal Kebajikan
Tatkala Zarathustra meninggalkan kota yang telah memikat hatinya, yang
bernama „Lembu Belang,‟ di sana banyak orang mengikutinya, banyak yang
menamakan diri mereka para penganutnya, dan mengiringinya. Lalu mereka
sampai ke simpang empat jalan: di sini Zarathustra mengatakan pada mereka
bahwa dari sini dan seterusnya ia mau pergi sendirian: sebab ia senang
berpergian sendiri. namun para penganutnya, di saat kepergiannya memberinya
sebuah tongkat, di ujung pegangannya ada ukiran emas ular membelit sang surya.
Zarathustra menyenangi tongkat ini dan menyandarinya; lalu ia berseru kepada
para penganutnya demikian:
Coba tolong katakan padaku: mengapa emas telah menjadi nilai tertinggi ?
sebab emas itu tidak umum, dan tidak membawa untung, dan bercahaya dan
lembut kemilaunya; selalu mengamalkan dirinya.
Hanya sebagai citra dari kebajikan yang tertinggi sajalah emas ini menjadi
nilai tertinggi. Laksana kemilau emas adalah pandangannya sang pemberi.
Semarak keemasannya membuat damai matahari dan bulan.
Kebajikan tertinggi itu tidak umum dan tidak membawa untung, bersinar
lembut di kemilaunya; kebajikan tertinggi adalah amal kebajikan.
Sungguh, aku tahu tentang kau, kau para penganutku, kau berusaha seperti
aku bagi amal kebajikan. Apa persamaannya antara kau dan kucing-kucing dan
serigala-serigala?
Diri kau sendiri haus untuk menjadi korban dan hadiah-hadiah; lalu kau pu
haus untuk mengumpulkan segala macam kekayaan-kekayaan di dalam jiwa kau.
Tidak pernah puas jiwa kau bagi harta-harta dan permata-permata, sebab
kebajikan kau tidak pernah puas untuk memberi.
Kau memaksa segala sesuatu untuk datang pada kau dan ke dalam diri kau,
supaya mereka mengalir kembali dari air mancur kau sebagai hadiah cinta kau.
Sungguh, cinta yang selalu memberi ini mustilah menjadi seorang pencuri
segala nilai-nilai; namun egoisme yang seperti ini bagiku adalah sehat dan suci.
Ada lagi egoisme lainnya, yang sangat miskin, egoisme lapar yang ingin
selalu mencuri, egoisme orang sakit, egoisme yang tidak sehat.
Dengan mata pencuri ia melihat ke segala benda-benda yang berkilauan;
dengan tamak kelaparan ia mengukur seseorang yang punya banyak makanan,
dan selalu mengintai di sekeliling meja para pemberi.
Ketidaksehatan ini berbicara dari dambaan yang demikian, dari kemerosotan
yang tidak kelihatan; kerinduan tamak pencuri adalah serupa ini, berbicara dari
badan tidak sehat.
Katakanlah padaku, para saudaraku: apa yang kita anggap buruk dan
terburuk dari segalanya? Bukankah itu kemerosotan? – Dan kita selalu akan
menduga bahwa kemerosotan itu ada bilamana jiwa amal itu tidak ada.
Jalan kita adalah ke atas, dari spisis menyeberang ke super-spisis. namun
pikiran yang merosot berkata „Segalanya untukku,‟ ini menakutkan bagi kita.
Pikiran kita terbang ke atas: maka ini adalah kiasan bagi badan kita, kiasan
bagi peningkatan dan kemajuan. Kiasan-kiasan peningkatan seperti ini adalah
nama-nama kebajikan.
Maka sang badan melangkah melalui sejarah, berkembang dan bertempur.
Dan spirit - apa sih dia itu ke sang badan? Sang pewarta, kawan, dan gaung
pertempuran-pertempuran dan kejayaan-kejayaannya.
Kebaikan dan kejahatan itu hanyalah kiasan-kiasan belaka: mereka tidak
langsung berbicara, mereka hanya tanda petunjuk. Ia adalah dungu yang mencari
pengetahuan darinya.Perhatikanlah saudaraku, saat spirit kau ingin berbicara dalam kiasankiaan: ini adalah asal usul kebajikan kau itu.
Lalu badan kau akan terangkat, naik: bersama dengan rasa sukacitanya, ini
menggairahkan spirit, lalu dia akan menjadi sang pencipta, dan sang penilai dan
sang pecinta dan sang pemberi segalanya.
saat hati kau meluap dan membanjir serupa sungai, memberi berkah juga
membahayakan pada sesiapa saja yang hidup di dekatnya: ini adalah asal usul
kebajikan kau itu.
saat kau terjunjung melebihi pujian dan kutukan, dan kemauan kau akan
memberi aba-aba pada segala sesuatunya, seperti seseorang yang mencintai: ini
adalah asal usul kebajikan kau itu.
saat kau membenci segala sesuatu yang menyenangkan, dan dipan yang
halus empuk, dan tidak dapat duduk terlau jauh dari manusia halus hati: ini adalah
asal usul kebajikan kau itu.
saat kau menginginkan satu kemauan, dan kau menamakan penghalau
kebutuhan itu esensi dan nesesitas kau: ini adalah asal usul kebajikan kau itu.
Sungguh, ini adalah kebaikan dan kejahatan baru! Sungguh, ini adalah bunyi
desiran baru di dalam kedalaman dan suara sebuah air-mancur baru!
Ini adalah kekuatan, kebajikan baru ini; ini adalah kaidah kekuasaan, di
kelilingi oleh jiwa yang halus: matahari emas, di kelilingi ular pengetahuan.
Di sini Zarathustra terdiam sejenak, dan melihat penuh kasih sayang pada para
penganutnya. Lalu ia berseru lagi demikian, dan suaranya pun berbeda:
Tetaplah setia pada dunia, para saudaraku, dengan kekuatan kebajikan kau!
Semoga amal cinta kau dan pengetahuan kau membaktikan dirinya pada makna
dunia! Maka aku mohon dan meminta kau.
Jangan biarkan dia terbang lari dari dunia dan memukul dengan sayapsayapnya dinding-dinding keabadian! Duh, sudah ada banyak kebajikan yang
telah lari jauh!
Giringlah, laksana yang aku kerjakan, kebajikan yang lari jauh itu kembali
ke dunia – ya, kembali ke badan dan ke kehidupan: semoga dia akan memberikan
dunia maknanya, makna kemanusiaan!
Sudah beratus-ratus kali hingga kini sang spirit dan kebajikan melarikan diri
dan membuat kesalahan-kesalahan. Duh, dalam badan kita tetap hidup semua
ilusi dan kesalahan-kesalahan itu: semunya ini telah menjadi badan dan kemauan.
Sudah beratus-ratus kali hingga kini sang spirit dan kebajikan di coba dan
tersesat. Ya, manusia adalah suatu percobaan. Duh, banyak kebodohan dan eror
telah menjadi badan dalam diri kita!
Bukan hanya rasionalitas milenium – namun juga kegilaan sering menyertai
tindakan kita. Adalah berbahaya untuk menjadi pewaris.
Kita tetap bertempur setapak demi setapak melawan si raksasa
Keberuntungan, dan hingga kini nonsen yang tidak berarti, tetap menguasai umat
manusia.
Semoga spirit dan kebajikan kau membaktikan dirinya pada makna dunia
ini, para saudaraku: semoga nilai segala sesuatunya ditentukan baru oleh kau!
Untuk ini kau musti menjadi satria! Untuk ini kau musti menjadi sang pencipta!
Dengan ilimu pengetahuan sang badan mensucikan dirinya; mencoba-coba
dengan ilmu pengetahuan dia memuliakan dirinya; bagi manusia cerdas segala
naluri itu adalah suci; bagi manusia mulia spirit menjadi penuh dengan ukacita.
Tabib, sembuhkan diri kau: lalu kau bisa menyembuhkan pasien kau pula.
Biar alat-penyembuh terbaiknya itu adalah pandangan matanya sendiri yang
melihat seseorang yang membuat dirinya sendiri sehat.
Di sana ada beribu-ribu jalan yang belum pernah dijejaki, beribu-ribu
macam kesehatan dan pulau-pulau tersembunyi kehidupan. Manusia dan dunianya
manusia belum lagi letih dan belum lagi ditemukan.
Perhatikan dan dengar, kau para penyendiri! Dari masa depan datang tiupan
angin bersama kepakan sayap-sayap diam-diam; dan berita baik menyambangi
telinga-telinga halus.
Kau para penyendiri masa kini, kau yang telah mengundurkan diri dari
masyarakat, suatu waktu nanti kau akan menjadi rumpun puak: dari kau, yang
telah memilih diri kau sendiri, manusia terpilih pasti muncul – dan dari manusia
terpilih, sang Superman.
Sungguh dunia ini nanti akan menjadi tempat penyembuhan! Dan telah ada
aroma baru bertebaran di sekeliling, aroma yang memberi keselamatan – dan
harapan baru!
Setelah Zarathustra berkata kata-kata demikian, ia berhenti, seolah-olah
tidak pernah berkata apa-apa; lama ia mengimbangi tongkatnya sangsi. Akhirnya
ia berseru demikian, dan suaranya berbeda:
Sekarang aku pergi sendirian, para penganutku! Kau juga sekarang pergi -
sendirian! Maka aku menginginkan ini.
Sungguh, aku nasihatkan kau: pergi jauh dariku dan jaga diri kau dari
Zarathustra! Dan lebih baik lagi: jadilah malu akannya! Mungkin ia telah menipu
kau.
Seorang ilmuwan harus tidak saja bisa mencintai musuh-musuhnya, namun
juga bisa membenci teman-temannya.
Seseorang membalas ke gurunya dengan buruk jika ia tetap saja seperti
murid. Dan mengapa kau tidak mau memetik rangkaian daun-daun bungaku?
Kau menghormatku; namun bagaimana jikasuatu saat nanti kehormatan
kau itu jatuh? Jagalah agar patung yang jatuh tidak menimpa kau!
Kau berkata kau percaya pada Zarathustra? namun apa pentingnya
Zarathustra? Kau para pemercayaku: namun apa pentingnya semua para pemercaya
itu?
Kau belum lagi mencari diri kau saat kau mendapatkan aku. Demikianlah
semua para pemercaya itu; maka segala kepercayaan itu kecil artinya.
Sekarang aku mohon kau untuk melepaskan aku dan temukanlah diri kau;
dan hanya saat kau menyangkalku aku mau kembali pada kau.
Sunggguh, dengan mataku yang lain lagi, para saudaraku, aku lalu mau
mencari mereka yang kehilanganku; dengan cinta yang lain lagi, aku lalu mau
mencintai kau.
Dan sekali lagi kau musti menjadi teman-temanku, dan anak-anakku dari
sebuah harapan: lalu aku mau bersama kau untuk ketiga kalinya, untuk merayakan
tengah hari megah bersama kau.
Dan ini adalah tengah hari megah itu: saat manusia ada di tengah-tengah
perjalanannya antara binatang dan Superman, dan merayakan perjalanannya ke
malam hari sebagai harapan tertingginya: sebab ini adalah perjalanannya ke pagi
hari baru.
Di saat-saat seperti itulah, manusia yang pergi kebawah, memberkahi
dirinya; sebab ia manusia yang melintas ke sang Superman; dan matahari ilmu
pengetahuannya akan berada di tengah hari.
‘Semua tuhan-tuhan sudah mati: sekarang kita mau sang Superman untuk
hidup’ – Biar ini menjadi kemauan terakhir kita di tengah hari megah!
Para Pandita
Dan sekala Zarathustra membuat sebuah tanda pada para penganutnya dan berseru
kata-kata ini ke mereka:
„Di sini ada para pandita: walau mereka adalah musuh-musuhku, liwatilah
mereka perlahan, dengan pedang terkulai!
Ada para pahlawan bahkan di antara mereka; kebanyakan dari mereka
sangat menderita: maka mereka, ingin membuat orang lainnya menderita pula.
Mereka adalah musuh-musuh terburuk: tidak ada yang lebih pendendam
selain kerendahatian mereka. Dan seseorang yang menyentuh mereka dengan
mudahnya menjadi bejad.
namun darahku berhubungan ke darah mereka; dan aku ingin tahu bahwa
darahku ini adalah darah terhormat bahkan dalam darah mereka.‟
Dan tatkala mereka meliwati mereka, Zarathustra terserang rasa nyeri; ia
tidak meronta lama akan nyerinya saat ia mulai berseru demikian:
Hatiku tersentuh oleh para pandita ini. Selera mereka berlawanan dengan
seleraku, pula; namun ini adalah soal kecil bagiku, sejak aku ada di tengah-tengah
para manusia.
namun aku menderita dan telah banyak menderita dengan mereka: mereka
tampaknya ke aku, seperti para nara pidana dan para manusia ditandai. Ia yang
mereka namakan Juru Selamat telah membelenggukan mereka – membelenggukan
mereka ke dalam nilai-nilai palsu dan mashaf-mashaf palsu! Ah, semoga ada
seseorang yang akan menyelamatkan mereka dari Juru Selamat mereka!
Mereka mengira telah mendarat di sebuah pulau, saat samudera
menghantam mereka kian kemari: namun perhatikan itu adalah sebuah monster
yang sedang tidur!
Nilai-nilai palsu dan mashaf-mashaf palsu: semua ini adalah monstermonster terburuk bagi para manusia – takdir tidur dan menunggu lama di
dalamnya.
namun akhirnya monster ini sadar, bangun dan menelan segala sesuatu yang
mendirikan tempat-tempat beribadat di atasnya.
Oh, coba lihat tempat-tempat beribadat yang telah dibangun oleh para
pandita ini. Mereka namakan guha-guha berbau manis ini gereja-gereja!
Oh cahaya palsu ini! Oh udara apek ini! Di sini, jiwa tidak bisa terbang ke
ketinggiannya! Sebaliknya, kepercayaan mereka memerintahkan: „Berlutut, naik tangga,
kau para pendosa!
Sungguh, aku malah ingin melihat para manusia tetap tanpa rasa malu
dibandingkan mata juling perasaan malu dan ketaatan mereka!
Siapa yang menciptakan guha-guha dan tangga-tangga penyesalan dosa
seperti ini? Bukankah mereka yang ingin untuk menyembunyikan diri mereka,
dan merasa malu di hadapan sang langit bening?
Dan hanya saat sang langit bening sekali lagi melihat melalui puing-puing
atap, ke bawah ke rerumputan dan ke kembang-kembang popi merah di atas
puing-puing tembok – aku lalu mau menolehkan hatiku kembali ke tempattempat Tuhan ini.
Mereka menamakan itu Tuhan pada apa-apa yang menentang dan
menyengsarakan mereka: dan sungguh, ada banyak spirit kepahlawanan dalam
cara beribadat mereka!
Dan mereka tidak tahu cara untuk mencintai Tuhan mereka selain
memakukan para manusia ke Salib!
Mereka berpikir untuk hidup seperti mayat, mereka memakaikan mayatmayat mereka kain hitam; bahkan dalam pembicaraan mereka aku tetap mencium
bau busuk kamar mati.
Dan ia yang hidup dekat dengan mereka hidup dekat dengan kolam-kolam
hitam, dimana katak, menembangkan lagunya dengan kesenduan manis
menggoda.
Seharusnya mereka menembang lagu-lagu yang lebih baik, agar membuatku
percaya pada Juru Selamat mereka: agar tampak bagiku bahwa para penganutnya
itu lebih selamat!
Aku musti melihat mereka telanjang: sebab hanya keindahanlah yang musti
mengkhotbahkan penyesalan dosa. namun siapa yang bisa yakin pada kenestapaan
palsu ini!
Sunguh, Juru Selamat mereka sendiri pun bukan datang dari kebebasan dan
surga ke tujuh kebebasan! Sungguh, mereka sendiri pun tidak pernah melangkah
di atas permadani-permadani pengetahuan!
Spirit dari Juru Selamat mereka itu penuh dengan kecacatan; namun di setiap
kecacatan mereka taruh ilusi mereka, penyumbat mereka, ini yang dinamakan
Tuhan oleh mereka.
Spirit mereka hanyut dalam rasa belas kasihan mereka; dan tatkala mereka
menggelembung dan menggelembung berlebihan dengan belas kasihan lalu satu
kebodohan besar selalu mengapung ke permukaan.
Dengan bersemangat dan berteriak-teriak mereka giring gembalaan mereka
menyeberangi jembatan mereka: seolah-olah hanya ada satu jembatan ke masa
depan! Sungguh, para penggembala ini, pula, masih sebagian dari domba-domba
ini!
Para penggembala ini punya intelek kecil dan jiwa besar: namun , para
saudaraku, di negeri-negeri kecil yang bahkan punya jiwa terbesar, apa yang telah
mereka lakukan?
Mereka menuliskan huruf-huruf darah di atas jalan yang mereka ikuti, dan
kebodohan mereka mengajarkan bahwa kebenaran itu dibuktikan dengan darah.
namun darah adalah saksi terburuk kebenaran; darah meracuni kemurnian
ajaran dan merubahnya menjadi khayalan dan kebencian hati.Dan jika seseorang berjalan menerobos api demi ajarannya – mau
membuktikan apa ini? Sungguh, lebih baik lagi apabila ajaran seseorang itu
datang dari api pembakarannya sendiri!
Hati panas dan kepala dingin: dimana mereka bertemu, di sana muncul si
penggembar-gembor, si „Juru Selamat.‟
Pernah ada para manusia yang lebih megah dan dilahirkan lebih mulia
dibandingkan mereka yang rakyat namakan para Juru Selamat, mereka hanyalah para
perayu dan angin-angin penggertak!
Dan kau, para saudaraku, musti diselamatkam oleh para manusia yang lebih
megah dibandingkan setiap Juru Selamat yang pernah ada, jika kau ingin mendapatkan
jalan ke kebebasan!
Namun, belum pernah ada sang Superman hingga kini. Aku pernah melihat
manusia terhina dan manusia termegah kedua-duanya telanjang.
Mereka masih saja serupa satu sama lainnya. Sungguh, aku telah
mendapatkan bahkan manusia terakhbar sekali pun – masih terlalu bersifat
kemanusiaan!
Para Manusia Berbudi Luhur
Dengan bergemuruh dan dengan semarak kembang-api yang menyenangkan
seseorang itu harus berbicara pada perasaan-perasaan yang lamban dan
mengantuk.
namun suara keindahan berseru halus: dia masuk menyelinap hanya ke
dalam para jiwa yang telah tergugahkan.
Dengan lembut cerminku bergetar dan tertawa padaku hari ini; ini adalah
tawa dan getaran sucinya sang keindahan.
Pada kau sang keindahanku itu tertawa, kau yang berbudi luhur, hari ini.
Lalu datang suaranya ke aku: „Mereka ingin – dibayar pula!‟
Kau ingin dibayar pula, manusia berbudi luhur! Kau ingin pahala bagi budi
pekerti, dan surga bagi dunia, dan keabadian bagi keharinian kau?
Dan sekarang kau marah padaku sebab aku ajarkan bahwa tidak ada sang
pemberi-pahala tidak pula sang pemberi-upah? Dan sungguh, aku tidak
mengajarkan bahwa budi pekerti itu adalah pahala itu sendiri.
Duh, ini adalah dukacitaku: pahala dan hukuman telah diterapkan secara
tidak langsung ke dalam dasar pondasi segalanya – bahkan sekarang ke dalam
jiwa kau, kau para manusia berbudi luhur!
namun seperti moncong babi hutan kata-kataku akan mengkoyak-koyakan
dasar-dasar pondasi jiwa kau; kau akan menamakan aku sang mata bajak.
Semua rahasia-rahasia di dalam hati kau akan dibawa ke cahaya; dan saat
kau berbaring di cahaya sinar surya, terkoyak-koyak dan patah hati, lalu kepalsuan
kau akan memisahkan diri dari kebenaran kau.
sebab ini adalah kebenaran kau: Kau terlalu murni bagi kata-kata kotor:
dendam, hukuman, pahala, pembalasan.Kau mencintai budi pekerti kau laksana ibu mencintai anaknya; namun
bilakah kau dengar ibu minta dibayar bagi cintanya?
Itu adalah diri kau yang kau sayangi, budi pekerti kau itu. Rasa dahaganya
siklus ada di dalam diri kau: untuk mendapatkan kembali dirinya lagi dan lagi –
setiap siklus berjuang dan berputar sendiri demi ini.
Seperti bintang yang padam, begitulah setiap karya dari budi pekerti kau
itu: cahaya terangnya terus berjalan – dan kapan dia akan berhenti dari
perjalanannya?
Begitulah sinar cahaya budi perkerti kau itu menjelajah, bahkan jika
karyanya sudah selsai. Apa sudah dilupakan atau sudah mati, sinar cahayanya
tetap hidup dan menjelajah.
Bahwa budi pekerti kau itu adalah Diri kau, dan bukan sesuatu yang asing,
kulit, atau jubah penutup; bahwa budi pekerti ini adalah kebenaran dari dasar jiwa
kau, kau manusia berbudi luhur!
namun sungguh ada mereka yang bagi mereka budi pekerti itu adalah
geleparan di bawah pecutan cemeti: dan kau terlalu banyak mendengarkan
teriakan-teriakan mereka!
Dan dengan yang lainnya, kejahatan-kejahatan mereka tumbuh malas dan
mereka menamakan ini budi pekerti; dan begitu kebencian dan kecemburuan
mereka merebahkan diri untuk relaks, „keadilan‟ mereka menjadi hidup dan
menggosok-gosokan mata kantuknya.
Dan ada lagi yang lainnya yang telah terseret ke bawah: setan-setan mereka
menyeret mereka. namun lebih dalam mereka kelelap, lebih terang sinar mata
mereka dan rindu bagi Tuhan mereka.
Duh, teriakan mereka, sampai pula ke telinga-telinga kau, kau manusia
berbudi luhur: „Apa yang bukan aku, bagiku adalah Tuhan dan budi pekerti!‟
Dan ada lagi yang berjalan, berat dan keriutan, seperti pedati membawa
batu-batuan turun bukit: mereka banyak berseru akan martabat dan budi pekerti –
rem mereka mereka namakan budi pekerti!
Dan ada lagi yang seperti jam; saat diputar mereka berdetik, mereka dan
meminta rakyat untuk menamakan tik-tok tik-tok mereka - itu budi pekerti!
Sungguh, aku mendapatkan kesenangan dalam semua ini: di mana saja aku
temui jam-jam seperti ini aku akan putar mereka dengan cemoohanku; biar
mereka berdesing oleh sebab itu!
Dan yang lainnya lagi yang bangga akan budi pekerti kecil mereka, dan
demi ini melakukan kekerasan ke segala sesuatunya: maka dunia terperosok ke
dalam kejahilan mereka.
Duh, betapa tidak layaknya kata „budi pekerti‟ itu terdengar dari mulutmulut mereka! Dan saat mereka berkata: „Aku adalah adil,‟ ini senantiasa
terdengar seperti: „Aku adalah dendam!‟
Dengan budi pekerti mereka, mereka ingin mencongkel biji mata musuhmusuh mereka; dan mereka ingin meninggikan diri mereka hanya demi
merendahkan yang lainnya.
Dan lagi, ada mereka yang duduk di tengah-tengah rawa mereka, dan
berkata demikian dari tengah-tengah rumput ilalang: „Budi pekerti – itu
bermakna untuk duduk hening di tengah rawa.
„Kami tidak menggigit siapa pun dan menghindari ia yang ingin menggigit:
dan dalam segala hal kami pegang opini yang telah ditujukan pada kami.Dan lagi, ada mereka yang suka pamer dan berpikir: Budi pekerti itu
semacam pameran.
Lutut-lutut mereka selalu memuja dan lengan-lengan mereka memuliakan
budi pekerti, namun hati mereka sama sekali tidak mengerti apa itu budi pekerti.
Dan lagi, ada mereka yang menganggap itu sebagai budi pekerti, berkata:
“Budi pekerti adalah penting‟; namun pada dasarnya mereka hanya percaya bahwa
polisi itu penting.
Dan banyak manusia tidak bisa melihat keluhuran dalam diri manusia, dan
menamakan ini budi pekerti supaya ia bisa melihat kerendahan manusia lebih
dekat: maka ia menamakan mata jahatnya itu budi pekerti.
Dan banyak manusia yang ingin dimajukan dan ditinggikan dan menamakan
ini budi pekerti; dan yang lainnya ingin dilempar ke bawah – dan menamakan ini
budi pekerti pula.
Dan mereka semu berpikir bahwa mereka berpartisipasi dalam budi
pekerti; dan setiap orangnya mengklaim bahwa ia adalah pemegang otoritas
dalam hal “ kebaikan” dan “kejahatan.”
namun Zarathustra bukannya telah datang untuk berseru pada semua para
pendusta dan orang bodoh: „Apa yang kau tahu tentang budi pekerti? Apa yang
kau bisa tahu tentang budi pekerti?‟
Agar kau, temanku, menjadi letih akan kata-kata kuno yang telah kau
pelajari dari orang-orang bodoh dan para pendusta.
Supaya kau tumbuh letih akan kata-kata „pahala‟, „balasan‟, „hukuman‟,
„dendam sejati‟.
Agar kau tumbuh letih akan perkataan “pahala,” “balas jasa,” “hukuman,”
“dendam kesumat.”
Agar kau tumbuh letih akan perkataan „Suatu tindakan itu baik bila tindakan
itu tidak mementingkan diri sendiri.‟
Ah, para temanku! Semoga Diri kau sendiri ada dalam tindakan, laksana
ibu pada anaknya: biar ini menjadi prinsip budi pekerti kau!.
Sungguh, aku telah mengambil beratus-ratus prinsip-prinsip dan mainanmainan kesayangannya budi pekerti kau jauh dari kau; dan kau cerca aku
sekarang, seperti anak-anak mencerca.
Mereka sedang bermain di pesisir pantai – lalu datang gelombang dan
menyapu mainan-mainan mereka ke tengah lautan dalam: sekarang mereka
menangis.
namun ombak yang sama ini akan membawa ke mereka mainan-mainan baru
dan menggelar ke hadapan mereka aneka warna kulit-kulit kerang baru!
Maka mereka akan terlipur hatinya; dan kau pula, para temanku, akan
serupa mereka, mempunyai pelipur-pelipur hati – aneka warna kulit-kulit kerang
baru!
Gerombolan
Kehidupan itu bagai sumur yang mempesona; namun dimana si gerombolan ikut
minum, semua air mancur teracunkan.
Aku sangat menyukai segala sesuatu yang bersih; aku tidak suka melihat
seringai mulut-mulut dan dahaga-dahaga si yang tidak bersih.
Mereka melemparkan tatapan mereka ke dalam sumur: dan sekarang
senyuman menjijikan mereka menatapku dari dalam sumur.
Mereka meracuni air suci ini dengan hawa nafsu mereka; dan saat mereka
menamakan impian-impian kotor mereka itu „pesona,‟ mereka meracuni kata-kata
ini, pula.
Nyala api marah saat mereka menaruh hati lembab mereka ke atas api;
spirit ini sendiri menggelembung dan berasap tatkala gerombolan mendekati api.
Buah menjadi hambar dan kematangan di tangan mereka: pohon buah
menjadi goyah dan layu di pucuknya di bawah tatapan mereka.
Dan banyak orang yang undur diri dari kehidupan, mereka hanya undur diri
dari gerombnolan: ia benci untuk berbagi air mancur, api, dan buah-buahan
bersama mereka.
Dan banyak orang undur diri ke padang pasir dan menderita dahaga bersama
para binatang pemangsa, ia tidak ingin duduk di sekeliling waduk air bersama
para penunggang unta kotor.
Dan banyak orang datang serupa sang penghancur dan hujan es ke semua
taman-taman buah hanya untuk meletakan kakinya ke dalam rahang-rahang
gerombolan dan menyumbat kerongkongannya.
Dan itu bukanlah kata-kata panjang yang telah mencekikku, agar tahu
bahwa kehidupan itu membutuhkan permusuhan dan kematian dan syuhadasyuhada.
namun aku bertanya sekala itu, dan pertanyaanku ini nyaris mencekikku:
Apakah gerombolan itu dibutuhkan pula dalam kehidupan?
Apakah air-air mancur beracun itu perlu, dan api-api busuk dan impianimpian kotor dan belatung-belatung dalam roti kehidupan?
Bukanlah kebencianku namun kejijikanku dengan laparnya menggerogoti
kehidupanku! Duh, aku kerap tumbuh letih akan spirit, saat aku mendapatkan
bahwa gerombolan pun punya spirit!
Dan aku membalikan punggungku terhadap para penguasa, saat aku
melihat apa yang mereka namakan kekuasaan: tukar-menukar dan tawar-menawar
kekuatan – dengan si gerombolan!
Aku hidup ditengah-tengah para rakyat yang berbahasa janggal, memakai
penyumbat telinga: lalu bahasa tukar menukar dan tawar-menawar kekuatan itu
akan tetap janggal bagiku.
Menutup hidungku, aku pergi dengan murung melalui segala masa lampau
dan masa kini: sungguh, semua masa lampau dan masa kini itu berbau busukan
corat-coret tulisan gerombolan!
Serupa si timpang yang menjadi buta, tuli, dan gagu: maka aku telah hidup
sebegitu lamanya, semoga aku tidak akan hidup dengan si gerombolan-penguasa,
si gerombolan-penulis dan si gerombolan-penikmat kesenangan Dengan letih spiritku mendaki tangga-tangga dan berhati-hati; sedekah yang
mempesona adalah makanannya; dengan orang buta kehidupan itu melata di atas
tongkat.
Apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa membebaskan diriku dari
kejijikan? Siapa yang telah menyegarkan kembali mataku? Bagaimana aku bisa
terbang ke ketinggian di mana si gerombolan tidak lagi duduk di sumur-sumur?
Telahkah kejijikanku ini sendiri menciptakan sayap dan daya penemu air
bagiku? Sungguh, ke puncak tertinggi aku musti terbang, untuk menemukan
kembali sumur yang mempesona itu!
Oh, aku telah menemukannya, saudaraku! Di sini di ketinggian tertinggi ini
dia muncrat bagiku sumur mempesona ini! Dan di sini ada satu kehidupan
yangmana tidak ada seorang gerombolan pun minum bersamaku!
Kau muncrat sangat bersemangat, air mancur pesona! Dan kau kerap
mengosongkan cawannya saat ingin dipenuhi lagi!
Dan aku masih harus belajar untuk mendekati kau dengan lebih berendah
hati: sangat bersemangat hatiku mengalir ke arah kau dan terlalu semberono.
Hatiku, di atas mana musim panasku membakar, yang singkat, panas,
melankoli, musim panas penuh sukacita: bagaimana hati musim panasku
merindukan kesejukan kau!
Sudah berakhir, sisa-sisa penderitaannya musim semiku yang masih
tertinggal itu! Sudah berakhir kejahatannya serpihan-serpihan saljuku di bulan
Juni! Aku telah menjadi musim panas seutuhnya, dan siang hari musim panas!
Musim panas di ketinggian tertinggi, dengan air-air mancur dingin dan
keheningan yang membahagiakan: oh, mari, para temanku, semoga dengan
keheningan ini bisa lebih membahagiakan lagi!
sebab ini adalah ketinggian kita dan rumah kita: terlalu tinggi dan terlalu
curam kita di sini telah hidup, bagi orang-orang yang tidak besih dan bagi dahaga
mereka.
Coba lemparkan tatapan murni kau ke dalam sumur pesonaku, para
temanku! Kau tidak akan mengeruhi kemilaunya! Sumur ini akan tertawa kembali
pada kau dengan segala kemurniannya!
Di atas pohon masadepan kita membuat sangkar kita; burung-burung elang
akan membawakan makanan pada kita, kita para penyendiri, di paruh-paruh
mereka!
Sungguh, makanan yangmana tidak ada manusia yang tidak bersih bisa
makan bersama kita! Mereka pikir itu api yang mereka makan yang membakar
mulut mereka!
Sungguh, kita tidak menyiapkan rumah di sini bagi para manusia kotor!
Kebahagiaan kita itu seperti guha es ke tubuh juga ke spirit mereka!
Dan laksana badai, kita hidup di atas mereka, para tetangganya elang-elang,
para tetangganya salju-salju, para tetangganya matahari-matahari: beginilah badai
itu hidup.
Dan seperti angin aku di suatu hari nanti akan menghembus di tengahtengah mereka, dan bersama dengan spiritku, mengambil nafasnya spirit mereka:
maka masa depanku memaui ini.
Sungguh, Zarathustra adalah badai kencang ke semua dataran-dataran
rendah; dan ia sajikan anjuran ini pada musuh-musuhnya dan pada semua yang
muntah atau pun meludah: „Waspada jangan meludah melawan angin! Para Tarantula
Lihat, ini adalah tempat persembunyiannya tarantula! Maukah kau melihat
tarantula ini? Di sini bergantungan jaringnya: sentuhlah, ini membuat dia
bergetar.
Ini dia datang dengan jinaknya: selamat datang, tarantula! Hitam warna segi
tiga dan lambang kau, di punggung kau; dan aku tahu pula apa yang ada dalam
jiwa kau.
Dendam ada dalam jiwa kau: di mana saja kau menggigit, di sana tumbuh
benjutan hitam; dengan dendam, bisa kau membuat jiwa pening!
Maka aku berseru pada kau dalam bahasa kiasan, kau membuat jiwa pening,
kau para pengkhotbah ekualitas! Kau adalah tarantula dan penyulut rasa dendam
tersembunyi!
namun aku segera akan membawa tempat persembunyian kau ke cahaya:
lalu aku akan tertawa di hadapan muka kau, tertawaanku dari ketinggianketinggian.
Lalu aku tarik jaring kau, agar amarah kau menggoda kau untuk keluar dari
tempat persembunyiannya kebohongan kau, semoga dendam kau meloncat ke
depan dari belakang kata-kata „adil‟ kau.
sebab , agar manusia bisa terbebas dari segala dendam - ini bagiku
adalah jembatan ke harapan tertinggiku, dan pelangi sehabis badai-badai yang
berkepanjangan.
namun , pada galibnya, para tarantula memaui sesuatu yang lain lagi.
„Semoga dunia menjadi penuh dengan badai-badai dendam kita, biar ini tepatnya
yang dinamakan keadilan oleh kita‟ – maka mereka berkata satu sama lainnya..
„Kita harus menggunakan dendam, dan penghinaan melawan mereka yang
tidak serupa kita‟ – maka hati para tarantula berjanji pada diri mereka sendiri.
„Dan “Kemauan pada Ekualitas” – ini sendiri musti selanjutnya menjadi
nama kebajikan; kita akan memberontak, melawan semua yang punya kekuatan!‟
Kau para pengkhotbah ekualitas, maka tirani yang menggila dari ketidak
berdayaan kau itu berteriak bagi „ekualitas‟: maka nafsu-mentirani rahasia kau itu
menyamar diri sebagai kata-kata kebajikan.
Kecongkakan yang mendongkolkan dan rasa dengki yang ditekan, mungkin
kecongkakan dan kedengkian bapak-bapak kau: di dalam kau semua ini meledak
bagai nyalaan api dan kegilaan dendam.
Apa yang bapaknya rahasiakan putranya akan ungkapkan; dan kerap aku
temui di putranya rahasia-rahasia bapaknya terbuka.
Mereka seperti para manusia yang terilhami: namun bukan hati yang
mengilhami mereka – namun dendam. Dan saat mereka menjadi halus dan
dingin, ini bukan spirit mereka, namun dengki mereka yang membuat mereka
seperti ini.
Kecemburuan mereka menggiring mereka ke jalan para pemikir pula: dan
ini adalah tanda kecemburuan mereka – mereka selalu berlebihan: lalu keletihan
mereka akhirnya harus berbaring dan tidur di atas salju.Dalam semua keluhan-keluhannya ada dendam, dalam semua puji-pujian
ada kejahatan, dan untuk menjadi hakim ini tampaknya yang membahagiakan
mereka.
Namun, aku nasihatkan kau, para temanku: jangan percaya pada mereka
yang nafsunya untuk menghukum itu kuat!
Mereka adalah rakyat dari asuhan dan keturunan buruk; dari wajah-wajah
mereka mengintai para algojo dan anjing pemburu.
Jangan percaya pada mereka semua yang berbicara banyak akan keadilan
mereka! Sungguh, tidak saja madu yang kurang dalam jiwa mereka .
Dan saat mereka menamakan diri mereka „si baik dan si adil,‟ jangan
lupa, mereka idak kekurangan apa-apa untuk menjadi seorang Farisi kecuali -
kekuatan!
Para temanku, aku tidak mau disalah mengertikan dengan yang lainnya atau
dimengertikan sebagai yang bukan aku.
Di sana ada mereka yang mengkhotbahkan doktrin kehidupanku: namun
pada saat yang sama mereka adalah para pengkhotbah ekualitas, dan para
tarantula.
Bahwa mereka berseru baik akan kehidupan, walau mereka hidup di tempat
persembunyian mereka, laba-laba berbisa ini, dan undur diri dari kehidupan, ini
sebab mereka mau membuat kerugian.
Pada mereka yang sekarang memiliki kekuatan, mereka ingin membuat
kerugian: dengan mereka itu sejenis dengan para pengkhotbah kematian.
Jika ini lain, maka para tarantula ini akan mengajarkan yang lainnya pula:
mereka dahulunya adalah para ahli fitnah dunia dan para pembakar manusia
durhaka.
Aku tidak mau disalah artikan dan tidak mau dianggap sebagai para
pengkhotbah ekualitas. sebab sang keadilan berkata padaku demikian: „Para
manusia itu tidak ekual.‟
Dan mereka tidak semustinya ekual! Apa arti cintaku pada sang Superman,
jika aku berseru sebaliknya?
Di atas beribu-ribu jembatan dan dermaga-dermaga mereka harus berupaya
ke masa depan, dan musti ada banyak lagi perang dan ketidaekualan di antara
mereka: maka cinta megahku membuatku berseru begini!
Mereka musti menjadi para pencipta tanda-tanda dan hantu-hantu dalam
permusuhan mereka, dan dengan tanda-tanda dan hantu-hantu itu mereka musti
bertarung bersama pertarungan besar!
Kebaikan dan kejahatan, kaya dan miskin, mulia dan hina, dan semua
nama-nama kebajikan: harus menjadi senjata-senjata dan tanda-tanda yang
mengeluarkan suara, bahwa kehidupan ini musti mengatasi diri lagi dan lagi!
Kehidupan ini sendiri - mau timbul tinggi dengan saka-saka dan tanggatangga; ke kejauhan ia mau menatap, dan pergi ke kebahagiaan nan indah – maka
ia butuh ketinggian!
Oleh sebab ia butuh ketinggian, maka ia butuh anak-tangga dan
persengketaan antara anak-anak tangga dengan mereka yang mendakinya!
Kehidupan mau mendaki dan dalam mendaki mengatasi dirinya.
Dan lihatlah, para temanku! Di sini, dimana tempat persembunyian
tarantula itu berada, tinggi berdiri sebuah reruntuhan candi purba – lihat ini
dengan mata yang tercerahkan!Sungguh, ia yang sekala menegakan ide-ide luhurnya pada batu-batu ini
tahu baik sebaik manusia bijaksana mengenai rahasia kehidupan!
Bahwa ada perjuangan dan ketidak setaraan bahkan dalam keindahan, dan
ada peperangan demi kekuatan dan kekuasaan: ia mengajarkan kita begitu di sini
dalam kiasan-kiasan yang sangat jelas.
Alangkah agungnya kubah dan lengkung memperlihatkan perbedaannya
dalam perjuangan: alangkah mulianya mereka berjuang melawan satu sama
lainnya, bersama cahaya dan bayang.
Indah dan mantap laksana mereka, mari kita pula menjadi musuh, para
temanku! Secara mulia mari kita berjuang melawan satu sama lainya!
Ha! Sekarang tarantula, musuh gaekku ini, menggigitku! Dengan indah dan
mantap, dia menggigit jariku!
„Di sini musti ada hukuman dan keadilan‟ – maka pikirnya: „tidak sia-sia ia
akan menembang untuk menghormat kepermusuhan!‟
Ya, dirinya telah mendendam! Dan duh, sekarang dia mau membuat jiwaku
pening, pula, dengan dendam!
namun supaya aku tidak berpusingan ke sekeliling, ikat erat aku ke saka ini,
para temanku! Aku malah ingin untuk menjadi saka-guru dibandingkan pusingan
dendam!
Sungguh, Zarathustra itu bukan angin taufan bukan pula angin pusing;
walau ia sang penari, ia sama sekali bukan sang penari tarantela!
Ini seruan Zarathustra.
. Para Filsuf Kondang
Kau telah melayani rakyat dan tahyul-tahyul rakyat - bukan kebenaran! - kau
semua para filsuf kondang! Dan tepatnya sebab inilah mereka menghormati kau.
Dan sebab ini pula mereka mentolelir ketidakpercayaan kau, sebab itu
adalah dagelan dan jalan pintas bagi rakyat. Maka sang juragan menyenangkan
para budaknya bahkan terhibur oleh kepongahan mereka.
namun ia yang dibenci rakyat adalah bagai serigala ke anjing-anjing: ia
adalah sang spirit bebas, musuhnya sengkela-sengkela, tidak memuja apa-apa,
tinggal di hutan-hutan.
Untuk memburu ia dari sarangnya – rakyat selalu menamakan ini „hak‟:
mereka selalu menyediakan anjing-anjing bergigi tertajam baginya.
„sebab di mana ada rakyat, di situ ada kebenaran! Terkutuklah, terkutuk
ia yang mencari-cari!‟ Iniselalunya demikian sedari mulanya.
Kau mencari bukti akan kesahihan rasa hormat rakyat: ini yang kau
namakan „Kemauan pada Kebenaran,‟ kau para filsuf kondang!
Dan hati kau selalu berkata pada diri kau sendiri: „Dari rakyat aku datang :
dari mereka pula suara Tuhan itu datang padaku.‟
Kau selalu keras kepala dan licik, seperti keledai, seperti si penasihat rakyat.
Dan banyak penguasa yang mau rukun dengan rakyat, telah mengikat di
depan kudanya – seekor keledai kecil, si filsuf kondang!
Dan sekarang, kau para filsuf kondang, aku minta kau untuk menanggalkan
kulit-singa dari badan kau itu!
Kulit binatang pemangsa, kulit bertutul, dan rambut gembelnya sang
penyelidik, sang pencari, sang penakluk!
Ah, bagiku untuk bisa mempercayai „kesejatian,‟ kau, kau musti pada
awalnya menghancurkan kemauan kau pada pengabdian.
Kesejatian - ini adalah yang akau namakan ia yang pergi ke padang-padang
pasir sunyi, dan mematahkah hati pengabdiannya.
Di pasir kuning dan terbakar oleh sinar surya, mungkin ia menatap dengan
tajam dan kehausan ke pulau-pulau yang kaya dengan mata air, di mana segala
kehidupan beristirahat di bawah bayang-bayang pepohonan.
namun dahaganya tidak membujuk ia untuk menjadi serupa mereka mahlukmahluk senang: sebab di mana ada oasis-oasis di sana ada berhala-berhala.
Lapar, berangasan, sendirian, tanpa tuhan: seperti inilah singa itu ingin
untuk menjadi.
Bebas dari kebahagiaan pelayan-pelayan, bebas dari tuhan-tuhan dan
pemujaan, tidak takut dan ditakuti, megah dan sendirian: begitulah kemauan
manusia sejati.
Para manusia sejati, para manusia bebas, selalu hidup di padang pasir,
sebagai juragan-juragan padang pasir; namun di kota-kota hidup makmur para
filsuf kondang – para binatang penghela beban.
sebab , mereka selalu menarik, bagai keledai-keledai, pedati rakyat!
Tidaklah aku murka pada mereka akan hal ini: namun, mereka tetap saja
para pelayan dan para binatang dalam kekang, bahkan jika mereka berkilauan
dengan pakaian emas.
Dan mereka selalunya baik-baik dan pelayan yang sesuai dengan upahnya.
sebab berseru kebajikan: „Jika kau harus menjadi pelayan, carilah ia yang bisa
kau layani dengan baik!
„Spirit dan kebajikan juragan kau musti tumbuh baik, sebab kau
pelayannya: maka kau sendiri akan tumbuh baik bersama dengan spirit dan
kebajikan juragan kau!‟
Dan sebenarnya, kau para filsuf kondang, kau para pelayan rakyat! Kau
sendiri telah membaik oleh sebab spirit dan kebajikan rakyat – dan rakyat
membaik oleh sebab kau! Demi kehormatan kau aku mengatakan ini!
namun bagiku, kau tetap saja sebagian dari rakyat, bahkan dalam kebajikan
kau, sebagian dari rakyat dengan mata lamur mereka – sebagian dari rakyat yang
tidak tahu apa itu spirit!
Spirit itu adalah kehidupan yang ini sendiri menusuk ke kehidupan: melalui
siksaannya sendiri bertambahlah pengetahuannya – tahukah kau sebelumnya?
Dan kebahagiaannya spirit adalah ini: untuk ditahbiskan dan disakralkan
dengan air mata laksana binatang korban – tahukah kau sebelumnya?
Dan kebutaan manusia buta, dan pencarian dan perabaannya namun musti
menjadi saksi akan kekuatan pancaran sang surya yang ia tatap – tahukah kau
sebelumnya?
Dan manusia yang tercerahkan harus belajar untuk membangun dengan
gunung! Adalah hal kecil bagi spirit untuk memindahkan gunung – tahukah kau
sebelumnya?
Kau hanya tahu percikan-percikan api spirit: namun kau tidak melihat
paronnya di mana sang spirit itu berada, tidak pula kebengisan palunya!
Sungguh, kau tidak tahu tentang rasa bangganya spirit! Bahkan kau kurang
bisa tahan pada kerbersahajaannya spirit, jika ia bekenaan angkat bicara!
Dan kau tidak pernah berani melemparkan spirit kau ke liang salju: kau
tidak cukup panas untuk ini! Maka kau tidak tahu pula, akan gairahnya pada
dinginnya dingin.
namun dalam segala hal, kau seolah-olah kau mengenali spirit; dan dari
kebijaksanaan kau kerap membuat panti bagi orang miskin dan rumah sakit bagi
para pujangga buruk.
Kau bukan elang: maka kau tidak tahu akan sukacita hatinya spirit pada
teror. Dan ia yang bukan burung tidak musti membuat rumahnya di atas ngaraingarai maha dalam.
Kau, tampaknya ke aku, manusia yang suam-suam kuku: namun segala
pengetahuan yang dalam mengalir dingin. Sumur-sumur mahadalam spirit itu
sedingin es: satu penyegar bagi tangan-tangan dan penangan-penangan panas.
Kau berdiri di sana tegar dan terhormat, dan dengan punggung tegap, kau
para filsuf kondang! – tidak ada angin atau kemauan kuat bisa mendorong kau.
Pernahkah kau melihat perahu layar mengarungi samudera, bulat
menggelembung, dan bergetar di hadapan keberangasannya angin?
Laksana perahu layar, bergetar di hadapan keberangasannya spirit,
kebijaksanaanku mengarungi samudera – kebijaksanaan liarku!
namun kau pelayan rakyat, kau para filsuf kondang – bagaimana kau bisa
berlayar bersamaku?
Ini seruan Zarathustra.
. Tembang Malam
Ini adalah malam: sekarang semua muncratan air mancur berseru lebih
keras. Dan jiwaku pun adalah muncratan air mancur.
Ini adalah malam: hanya sekaranglah segala tembangan-tembangan para
pecinta tergugah. Dan jiwaku pun adalah tembangan sang pecinta.
Suatu yang tidak bisa dipadamkan, tidak terpadamkan, ada dalam diriku,
ingin mendapatkan ekspresi. Gandrung akan cinta ada dalam diriku, ini sendiri
berseru bahasa cinta.
Cahaya adalah aku: ah, jika diriku ini malam! Ini adalah kesendirianku yang
dikelilingi cahaya.
Ah, seandainya aku ini kelam lagi suram! Niscaya akan menghisap buahbuah dada cahaya!
Dan aku musti memberkahi kau, bintang-bintang kecil berkelipan dan
kunang-kunang di atas sana! – dan bahagia di hadiah-hadiah cahaya terang kau.
namun aku hidup dalam cahayaku sendiri, aku minum kembali ke dalam
diriku nyala cahaya yang lepas dariku.
Aku tidak tahu rasa bahagianya sang penerima; dan aku kerap bermimpi
bahwa mencuri itu mustilah lebih terberkahi dibandingkan menerima.
Ini adalah kemiskinanku bahwa lenganku tidak pernah berhenti memberi; ini
adalah rasa dengkiku bahwa aku melihat mata yang mengharap dan kemilau
malamnya rasa rindu.
Oh, kenestapaan semua para pemberi! Oh, gerhana matahariku! Oh, hasrat
untuk menghasrat! Oh rasa lapar yang beringas dalam kekenyangan!
Mereka mengambil dariku: namun telahkah aku menyentuh jiwa mereka?
Ada jurang yag menganga di antara memberi dan menerima; dan jurang yang
terkecil pun akhirnya harus dijembatani.
Rasa lapar tumbuh dari keindahanku: aku ingin melukai ia yang aku terangi;
aku ingin untuk merampas mereka yang aku beri – maka aku lapar bagi
kejahatan.
Menarik lenganku saat lengan yang lainnya siap menjangkaunya; gundah,
bak air terjun yang gundah bahkan dalam lompatannya, maka aku lapar bagi
kejahatan.
Dendam seperti ini membuat keberlimpahanku mengada-ada; kejahilan ini
bermuara dari tempat penyendirianku.
Rasa sukacitaku dalam memberi mati dalam memberi, kebajikanku tumbuh
letih akan dirinya melalui keberlimpahannya!
Bahaya ia yang selalu memberi adalah kehilangan rasa malunya; ia yang
selalu membagikan, lengan dan hatinya menjadi tanpa perasaan tumbuh sebab
selalu membagikan.
Mataku tidak lagi berlinangan bagi rasa malunya para pemohon; lenganku
menjadi terlalu keras bagi getaran lengan-lengan yang telah dipenuhi.
Kemanakah linangan air mataku dan kehalusan hatiku telah pergi? Oh,
kesepiannya semua para pemberi! Oh, keheningannya para pemberi cahaya!
Banyak matahari-matahari berkeliling di udara hampa: bagi segala yang
kelam mereka berseru dengan cahaya mereka – namun padaku mereka hening
senyap.
Oh, ini adalah kepermusuhan cahaya pada yang memberikan cahaya: tanoa
perduli ia mengejar tujuannya.
Tidak adil pada sang pemberi cahaya dari dalam kalbunya, dingin pada
matahari-matahari – maka begitulah setiap matahari itu menjelajah.
Laksana badai matahari-matahari itu terbang mengejar edarannya; ini adalah
penjelajahannya. Mereka mengikuti kemauan tegar mereka; ini adalah dinginnya.
Oh, ini hanyalah kau, yang suram, kelam, yang menyadap kehangatan dari
sang para pemberi cahaya! Oh, hanya kaulah yang minum susu dan mendapatkan
kesenangan dari ambing-ambing cahaya!
Ah, ada es di sekelilingku, lenganku terbakar es! Ah, ada rasa dahaga di
dalam diriku, yang rindu pada dahaga kau!
Ini adalah malam: duh, aku harus menjadi cahaya! Dan haus bagi barang
malam! Dan tempat penyendirian!
Ini adalah malam: sekarang rasa rinduku menerabas dalam diriku serupa air
mancur – aku rindu bagi seruan.
Ini adalah malam: sekarang semua muncratan air mancur berseru lebih
keras. Dan jiwaku pun muncratan air mancur.
Ini adalah malam: hanya sekaranglah semua tembangan-tembangan para
pecinta itu tergugah. Dan jiwaku pun adalah tembangan sang pecinta.
Tembang Tari
Suatu malam Zarathustra berjalan melalui hutan bersama para penganutnya; dan
seraya ia sedang mencari sumur, perhatikan, ia sampai di padang rumput hijau
yang sepi di kelilingi pepohonan dan semak-semak belukar: dimana para gadis
sedang menari bersama. Segera setelah para gadis ini mengenali Zarathustra
mereka berhenti menari; Zarathustra, namun, mendekati mereka dengan ramah
dan berseru kata-kata ini:
Jangan berhenti menari, para gadis juwita! Bukan orang semberono yang
telah datang pada kau dengan mata jahatnya, bukan musuh ke gadis-gadis.
Aku adalah sang pembela tuhan dengan setan; namun, ia, adalah sang Spirit
Gayaberat. Bagaimana aku bisa, menjadi musuh ke tarian agung, kau mahluk
lincah? Atau ke kaki gadis dengan pergelangan kaki nan indah?
Untuk jelasnya, aku adalah hutan dan gelapnya pepohonan: namun ia yang
tidak takut pada kegelapanku akan mendapatkan punjung-punjung bunga mawar
pula di bawah pepohonan cemaraku.
Dan tentu pula ia akan mendapatkan, tuhan kecil yang sangat dicintai para
anak gadis: dia rebahan di samping air mancur, masih, dengan mata tertutup.
Sungguh, ia tertidur di tengah hari, si pemalas ini! Telahkah ia kebanyakan
mengejar kupu-kupu?
Jangan marah padaku, kau para penari cantik, jika aku siksa sedikit tuhan
kecil ini! Mungkin dia akan menjerit dan menangis tersedu, namun dia
menggelikan bahkan dalam seduannya!
Dan dengan air mata di mukanya, ia akan meminta pada kau satu tarian; dan
aku sendiri akan menembangkan sebuah lagu bagi tariannya.
Tembang tari dan tembang ejekan ke Spirit Gayaberat, setanku yang paling
prima, terkuat, apa yang mereka katakan „dewa dunia.‟
Dan ini adalah tembangan yang Zarathustra nyanyikan seraya dewa asmara
dan para gadis menari bersama:
Akhir-akhir ini aku melihat ke dalam mata kau, O Kehidupan! Dan aku
tampaknya tenggelam ke dalam misteri.
namun kau tarik aku dengan tangkai emas; kau tertawa dengan mengejek
saat aku namakan kau sang misteri.
„Semua ikan-ikan berkata seperti ini,‟ kau berkata; „apa yang mereka tidak
bisa mengerti adalah misteri.
namun aku hanyalah yang berubahan, liar dan dalam segalanya perempuan,
dan tidak berbudi luhur.
Walau kau para lelaki memanggilku “amat dalam” atau “setia,” “abadi,”
“misterius.”
namun kau para lelaki selalu menganugerahi kami dengan kebajikankebajikan kau – ah, kau para lelaki yang berbudi luhur!
Maka ia tertawa, perempuan yang luar biasa ini; namun aku tidak pernah
mempercayainya atau pun tawanya, saat ia mengatakan bahwa dirinya jahat.
Dan saat aku berkata diam-diam pada Kebijaksanaan liarku, ia berkata
marah padaku: „Kau memaui, kau menghasrati, kau mencintai, oleh sebab ini
kau memuji Kehidupan!‟
Lalu aku hampir menjawabnya dengan marah, dan mengatakan yang
sebenarnya pada Kebijaksanaanku yang berang; dan seseorang tidak bisa
menjawab dengan lebih marah lagi selain saat seseorang „berkata kebenaran‟
pada Kebijaksanaannya sendiri.
Beginilah keadaan kita bertiga. Dari dalam hati aku hanya mencintai
Kehidupan – dan sungguh, aku sangat mencintainya saat aku membencinya!
namun aku menyayangi Kebijaksanaan, dan kerap terlalu menyayanginya,
sebab ia sangat banyak mengingatkanku pada Kehidupan!
Ia mempunyai matanya, tawanya, dan bahkan tangkai pancing kecilnya:
apakah aku bertanggung jawab untuk itu bahwa mereka keduanya sangatlah
serupa?
Dan saat Kehidupan sekala bertanya padaku: „Siapakah ia itu,
Kebijaksanaan itu?‟ – lalu aku berkata bersemangat: Ah, ya! Kebijaksanaan!
„Seseorang dahaga baginya dan tidak pernah terpuaskan, seseorang melihat
ianya melalui cadar-cadar, seseorang menangkapnya melalui jala.
Apakah ia cantik? Aku tidak tahu! namun para ikan gaek yang tercerdik pun
tetap saja tergoda olehnya.
Ia adalah berubahan dan suka melawan; aku kerap melihat ia mencibirkan
bibirnya dan menentang.
Mungkin ia jahat dan palsu, dan dalam segalanya perempuan; namun saat
ia menjelak-jelakan dirinya sendiri, lalu tepatnya inilah yang sangat menggoda.‟
saat aku berkata demikian pada Kehidupan, lalau ia tertawa dengan
culasnya dan memejamkan matanya. „namun siapa sih yang kau bicarakan itu?‟
katanya, „mungkinkah mengenaiku?
Dan jika kau benar – apakah layak kau mengatakan ini ke hadapan
mukaku? namun sekarang, mohon, berserulah mengenai Kebijaksanaan kau itu,
pula!‟
Ah, lalu kau buka kedua mata kau lagi, O Kehidupan tercinta! Dan lagi aku
tampaknya tenggelam ke dalam misteri.
Ini tembangannya Zarathustra. namun saat tarian itu selesai dan para gadis
telah pergi jauh, ia menjadi sedih.
„Sang surya telah terbenam,‟ ia berkata akhirnya; „padang rumput ini
lembab, hawa dingin datang dari hutan-hutan.
Sesuatu yang janggal tidak di kenal ada di sekelilingku, menatap dengan
seksama. Apa! Kau masih hidup, Zarathustra?
Mengapa? Sebab apa? sebab apa? Kemana? Dimana? Bagaimana?
Tidakkah ini bodoh untuk terus hidup?
Ah, para temanku, ini adalah malam yang bertanya demikian dalam diriku.
Maafkanlah kesedihanku ini!
Malam telah tiba: maafkanlah aku dia telah menjadi malam!
Tembang Kematian
„Nun jauh di sana ada pulau-suram, pulau bisu; nun jauh di sana pula kuburan
keremajaanku. Aku mau pergi ke sana membawa serangkaian dedaunan hijau
kehidupan.‟
Menetapkan demikian di hatiku, lalu aku mengarungi samudera.
O, kau penglihatan dan visi remajaku! O, kau semua tatapan-tatapan cinta,
kau tatapan sekesan agung! Bagaimana kau punah terlalu cepat! Hari ini aku
mengenang kau sebagai yang mati.
Dari kau datanglah semerbak bau harum padaku, sayangku yang mati,
aroma yang menenangkan hati yang menghapus air mata. Sungguh, ini
menggerakan dan melegakan hati sang pelaut penyendiri.
Masihkah aku manusia yang terkaya dan yang sangat musti didengki – aku,
sang mahapenyendiri! sebab aku pernah memiliki kau, dan kau masih tetap
memilikiku. Katakan padaku: pada siapa apel-apel merah itu jatuh dari pohon
sebagaimana telah jatuh padaku?
Apakah aku masih menjadi pewaris dan pemegang pusaka cinta kau,
memekari kenangan kau dengan aneka warna tumbuhan liar kebajikan-kebajikan,
O kau kekasihku tersayang!
Ah, kita ditakdirkan bagi satu sama lainnya, kau halus, kesemarakankesemarakan janggal; dan kau datang padaku dan pada kerinduanku tidak seperti
burung-burung penakut – tidak, kau datang mempercayaiku, yang juga bisa
dipercaya!
Ya, ditakdirkan bagi kesetiaan, serupaku, dan bagi keabadian lembut:
mustikah aku sekarang menamakan kau dengan nama ketidaksetiaannya kau, kau
tatapan-tatapan agung dan kesan-kesan sekilas: hingga kini aku belum tahu lagi
nama lainnya.
Sungguh, terlalu cepat kau mati, kau insan pelarian. Namun kau tidak lari
dariku, tidak pula aku lari dari kau: kita adalah lugu ke satu sama lainnya dalam
ketidaksetiaan kita.
Untuk membunuhku, mereka mencekik kau, kau burung-burungpenembang harapan-harapanku! Ya, panah-panah si dengki itu selalunya
diarahkan ke kau, kau kekasihku – untuki menyerang hatiku!
Dan mereka berhasil! sebab kau adalah kekasih hatiku, kepunyaanku dan
kegilaan hatiku: maka kau musti mati muda dan semuanya terlalu cepat!
Ke tempat yang mudah terserang mereka memanahkan panahnya: dan ini
adalah kau, yang kulitnya seperti bulu bahkan lebih seperti senyum yang sekilas
padam!
namun aku mau mengatakan ini pada para musuhku: Apa itu segala
pembunuhan manusia dibandingkan dengan apa yang kau telah lakukan padaku!
Kau telah melakukan sesuatu lebih buruk terhadapku melebihi
pembunuhan manusia; kau telah mengambil dariku sesuatu yang tidak-akankembali – maka aku berseru pada kau, para musuhku!
Kau tidak membunuh visi remajaku dan kesemarakan-kesemarakan
tersayangku! Kau ambil dariku teman-teman sepermainanku, mereka para spirit
terberkahi! Bagi kenangan merekalah aku baringkan rangkaian bunga-bungaan
dan kutukan ini.
Laknat ke atas kau, para musuhku! Kau telah potong pendek keabadianku,
bagai nada yang perlahan-lahan berhenti di malam yang dingin! Ia datang padaku
langka bagai gemilap mata agung – serupa sekilas pancaran cahaya!
Lalu sekala dimasa bahagia kemurnianku berseru: „segala mahluk-mahluk
musti menjadi agung bagiku.‟
Lalu kau menggerayangiku dengan hantu-hantu busuk; duh, kemanakah
masa bahagia itu lari sekarang?
„Segala hari-hari musti menjadi suci bagiku‟ – maka kebijaksanaan
remajaku berseru: sungguh, seruan kebijaksanaan penuh sukacita!
namun lalu kau, kau para musuhku, mencuri malam-malamku dariku dan
menjualnya pada sang ketidak tiduran yang menyiksa: duh, kemanakah
kebijaksanaan penuh sukacita itu lari sekarang?
Sekala aku pernah merindukan burung-burung pembawa keberuntungan
yang ceria: lalu kau membawa burung hantu monster melintasi jalanku, satu tanda
persengketaan. Duh, kemanakah kerinduan halusku lari kemudian?
Aku sekala bersumpah untuk menolak segala kejijikan; lalu kau merubah
keluargaku dan para tetanggaku menjadi nanah-nanah. Duh, kemanakah sumpahsumpah muliaku lari kemudian?
Sekala, sebagai orang buta, aku berjalan di atas jalan-jalan yang terberkahi;
lalu kau lemparkan sampah ke jalan orang buta ini: dan sekarang jalan setapak
purba ini menjijikannya.
Dan saat aku menyelsaikan tugas terpelikku, dan merayakan kejayaan
kemenanganku: lalu kau membuat mereka yang aku cintai berteriak bahwa aku
sangat menyakiti mereka.
Sungguh, semua ini adalah pekerjaan-pekerjaan kau: kau memahitkan madu
dan kerajinan lebah-lebah terbaikku.
Kau selalu mengirim para pengemis yang kurang ajar ke kedermawananku;
kau selalu menjejalkan orang-orang yang tidak tahu malu dan tidak bisa
disembuhkan ke sekeliling rasa simpatiku. Maka kau telah melukai keimanan
kebajikanku.
Dan saat aku mempersembahkan sesuatu yang tersuciku sebagai korban,
langsung „ketakwan‟ kau menaruh sajian lebih gemuk di sampingnya: maka
kemahasucianku tercekik dalam asap lemak kau.
Dan sekala aku ingin menari sebab aku belum pernah menari: aku ingin
menari melebihi segala surga-surga. Lalu kau pikat dan membawa musisi
kesayanganku.
Lalu ia menabuhkan irama sendu, menakutkan: duh, ia menerompetkannya
pula ke kupingku seperti sangkakala kematian!
Musisi kejam, instrumen kemem bunuh ekstaseku dengan nada-nada kau!
Hanya dalam tarian aku tahu bagaimana untuk berseru kiasan tentang
sesuatu yang mahaluhur – dan sekarang kiasan termegahku tetap ada di kakiku,
tidak terserukan!
Harapan tertinggiku tetap tidak terserukan dan tidak tersampaikan! Dan
semua visi dan pelipuran remajaku pun mati di sana!
Bagaimana aku bisa tahan semua ini? Bagaimana aku bisa pulih dari lukaluka seperti ini, bagaimana aku bisa mengatasi hal ini? Bagaimana jiwaku bisa
bangkit kembali dari kubur-kubur ini?
Ya, sesuatu yang digjaya, yang tidak bisa terkuburkan ada dalam diriku,
sesuatu yang menghancurkan batu berkeping-keping: ini dinamakan Kemauanku.
Membisu dia melangkah, dan tidak berubah melalui waktu.
Dia musti pergi ke jalannya di atas kakiku, Kemauan tuaku ini; hati keras
dan digjaya ini wataknya.
Aku digjaya hanya di tumitku. Kau selalu hidup di sana dan selalu sama diri,
kau yang maha penyabar! Kau selalu menghancurkan kubur-kubur!
Dalam diri kau pula tetap hidup segala ketidak tersampaian keremajaanku;
dan kau duduk di sana sebagai sang kehidupan dan sang keremajaan, penuh
dengan harapan, di atas kekuningan puing-puing kubur.
Ya, kau tetaplah sang penghancurku ke segala kubur-kubur: Hiduplah kau,
Kemauanku! Dan di mana ada kubur-kubur di sana ada kebangkitan-kebangkitan.
Ini tembangan Zarathustra.
. Pengatasan Diri
“Kemauan pada Kebenaran‟ ini apa yang kau namakan, yang mendorong dan
membangkitkan gereget kau itu, kau manusia arif?
Kemauan untuk memahami segala kehidupan: maka aku namakan kemauan
kau itu!
Kau ingin agar semua kehidupan itu bisa terpahami: sebab kau meragukan
dengan alasan yang sehat, apakah itu nyatanya bisa dipahami.
namun ini harus cocok dan membungkuk pada kau! Lalu kemauan kau
memaui ini. Ini musti menjadi halus dan menjadi subjeknya spirit, sebagai cermin
dan pantulan hatinya.
Itu adalah kemauan utuh kau itu, kau manusia terarif; itu adalah Will to
Power; bahkan saat kau berbicara tentang kebaikan dan kejahatan, tentang
pengevaluasian nilai-nilai.
Kau mau mencipta dunia yang di hadapannya kau bisa bersujud: itulah
harapan dan ekstase terakhir kau.
Para manusia bodoh, lebih jelasnya, rakyat – mereka seperti sungai di
hamparan mana perahu mengapung: dan di atas perahu itu duduk sang
pengevaluasi nilai-nilai, penuh khidmat dan menyamar.
Kau letakan kemauan kau dan nilai-nilai kau di atas sungai kemenjadian; ini
memperlihatkan padaku Will to Power zaman lampau, yang dipercayai oleh
rakyat sebagai kebaikan dan kejahatan.
Itu adalah kau, para manusia terarif, yang meletakan para penumpang
seperti ini di perahu itu, dan memberikan mereka nama-nama besar dan mulia –
kau dan hukumnya Kemauan kau!
Sekarang sungai ini membawa perahu kau meluncur; dia harus
membawanya. Masalah kecil jika gelombang kencang itu membusa dan dengan
amarahnya menahan lunas perahu!
Bukan sungai marabahaya kau, bukan pula tamatnya kebaikan dan kejahatan
kau, kau para manusia terarif: namun Kemauan itu sendiri, the Will to Power -
kemauan-kehidupan yang prokreatif, yang tidak pernah kehabisan tenaga..
Agar kau bisa mengerti tentang ajaranku mengenai kebaikan dan kejahatan,
maka aku akan mengatakan pada kau tentang ajaranku mengenai kehidupan, dan
sifat alaminya segala mahluk hidup.
Aku telah mengikuti mahluk-mahluk hidup, aku berjalan di jalan-jalan yang
terlebar dan tersempit supaya aku dapat mengerti sifat alaminya.
Dengan beratus-ratus cermin, aku menangkap tatapannya, saat mulutnya
tertutup, supaya matanya bisa berbicara padaku. Dan matanya telah berbicara
padaku.
namun di mana saja aku menemukan mahluk-mahluk hidup, disana pula aku
mendengar bahasa kepatuhan. Semua mahluk-mahluk hidup adalah mahlukmahluk yang patuh.
Dan ini adalah yang kedua yang aku dengar: Ia yang tidak bisa patuh
kedirinya sendiri, akan diperintah. Ini sifat alami semua mahluk hidup.
namun ini adalah yang ketiga yang aku dengar – yaitu, bahwa memberi
perintah itu lebih sulit dibandingkan patuh. Tidak saja sang komandan itu mengemban
beban dari semua yang patuh, dan beban ini dapat dengan mudahnya menibannya.
Usaha dan risiko ini bagiku seperti memberi perintah: dan kapan saja ia
memberi pemerintah, lalu mahluk hidup menanggung risikonya.
Ya, bahkan saat ia memerintah dirinya sendiri: lalu ia harus menebus
segala perintah-perintahnya. Demi hukumnya itu sendiri, ia harus menjadi hakim
dan pembalas dendam dan korbannya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Maka aku bertanya pada diriku. Apa yang
membujuk segala mahluk hidup untuk patuh dan memberi perintah, bahkan untuk
patuh saat memberi perintah?
Sekarang dengarkanlah ajaranku, kau para manusia terarif! Telaah secara
sungguh-sungguh, apakah aku telah merangkak diam-diam ke dalam hati
kehidupan itu sendiri, dan ke bawah akar-akar hatinya!
Di mana saja aku temui mahluk hidup, di sana aku temui the Will to Power;
bahkan dalam kemauannya seorang pelayan aku temui kemauan untuk menjadi
tuan.
Kepada yang lebih kuat yang lebih lemah harus melayaninya - maka
membujuk kemauannya untuk menjadi tuan bagi yang lebih lemah lagi. Pesona ini
sendiri tidak mau ia lepaskan.
Dan sebagaimana yang lebih kecil itu menyerah ke yang lebih besar,
supaya ia bisa memiliki pesona dan kekuatan ke atas segala yang paling kecil,
maka yang paling terbesar, pun, menyerah dan mempertaruhkan hidup – demi
power.
Itu adalah kepasrahannya si yang terbesar untuk menghadapi risiko dan
bahaya, dan bermain dadu mempertaruhkan nyawa.
Dan di mana ada pengorbanan dan pelayanan dan tatapan-tatapan cinta, di
sana ada pula kemauan untuk menjadi tuan. Memakai jalan pintas lalu yang
lemah menyelinap ke dalam benteng, dan kedalam hati manusia yang perkasa
lalu mencuri power.
Dan Kehidupan ini sendiri mengatakan rahasia ini kepadaku. „Perhatikan,‟
katanya, „Aku harus mengatasi diri selalu.
Jelasnya, kau menamakan ini kemauan pada prokreasi, atau dorongan hati
ke arah satu tujuan, ke arah lebih tinggi, lebih jauh, lebih beraneka: namun semua
itu adalah satu dan satu rahasia.
Aku malah mati dibandingkan memungkiri yang satu ini; dan sungguh, di mana
ada yang mati dan ada jatuhan dedaunan, perhatikan, di sana Kehidupan
mengorbankan dirinya – demi power!
Semoga aku menjadi perjuangan, dan kemenjadian, dan tujuan dan
persengketaan: ah, ia yang telah menerka kemauanku, tentunya ia telah menerka,
pula, sepanjang jalan-jalan berliku seperti apa yang harus dilaluinya!
Apa saja yang aku ciptakan, dan seberapa besar aku mencintainya – nanti
aku musti melawannya, dan menjadi kesayanganku: maka kemauanku memaui
ini.
Bahkan kau pula, manusia tercerahkan, hanyalah arah dan langkah kakinya
kemauanku: sungguh, Will to Powerku berjalan di atas kaki-kaki Will to
Truthnya kau!
Tentunya ia tidak akan bisa memanah kebenaran, ia yang memanahnya
dengan doktrin: “ Kemauan pada eksistensi”: kemauan itu - tidak eksis!
sebab apa yang tidak eksis, tidak bisa memaui; namun, apa yang sudah
eksis, mengapa ia tetap saja berjuang bagi eksistensi?
Hanya di mana ada kehidupan, di sana ada kemauan: namun bukan Will to
Life, namun – maka aku ajarkan kau –Will to Power!
Banyak sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan, yang dinilai sangat
berharga oleh mahluk hidup itu sendiri; namun penilaian itu sendiri berseru – the
Will to Power!
Begitulah Kehidupan sekala mengajarkanku: lalu aku berhasil menebak
teka-teki hati kau, kau para manusia terarif.
Sungguh, aku katakan pada kau: kebaikan dan kejahatan yang tidak berubah
- itu tidak ada! Dari dalam diri mereka sendiri, mereka harus terus mengatasi diri,
lagi dan lagi.
Dengan nilai-nilai dan doktrin-doktrin kau mengenai kebaikan dan
kejahatan, kau menjalankan power, kau pengevaluasi nilai-nilai; dan ini adalah
cinta yang tersembunyinya kau itu, dan kemilaunya, getarannya dan
keberlimpahannya jiwa kau.
namun satu kekuatan lebih besar dan satu keunggulan baru itu lahir dari
nilai-nilai kau: harus memecahkan telur dan kulit-telur.
Dan ia yang harus menjadi sang pencipta kebaikan dan kejahatan, sungguh,
mulanya ia harus menjadi sang penghancur dan pendobrak nilai-nilai.
Maka kejahatan termegah ini dimiliki oleh kebaikan termegah: ini, namun,
kreatifitas baik.
Mari kita berseru seperti ini, kau para manusia terarif, walau pun ini buruk.
Untuk diam membisu adalah terburuk; segala kebenaran-kebenaran yang tertekan
akan menjadi racun.
Dan biarkan semua yang bisa dipecahkan oleh kebenaran kita - pecah!
Banyak rumah-rumah yang masih harus dibangun!
Para Manusia Sublim
Tenang adalah dasar samuderaku: siapa yang bisa menerka bahwa ini
menyembunyikan monster-monster lucu!
Tidak bergerak adalah kedalamanku: namun berkilauan dengan berbagai
macam misteri dan tawa yang berenang kesana kemari.
Aku melihat manusia sublim hari ini, manusia serius, spirit taubat: oh,
bagaimana jiwaku tertawa akan keburukannya!
Dengan dada yang membusung, dan bertingkah seperti seorang yang sedang
menarik nafas: maka ia berdiri disana, manusia sublim, dan hening membisu.
Bergantungan bersama dengan kebenaran-kebenaran buruknya, barang
rampasan hasil perburuannya, dan kaya akan pakaian-pakaian rombeng; banyak
duri, pula, melekat pada dirinya – namun aku tidak melihat bunga mawar.
Ia belum lagi belajar tentang gelak tawa dan keindahan. Dengan murungnya
si pemburu ini kembali dari hutan pengetahuan.
Ia kembali kerumahnya dari pertarungan sengitnya melawan binatangbinatang liar: namun tetap saja ada belalakan binatang liar di dalam keseriusannya
itu – binatang yang belum ditaklukan!
Seperti macan mau menerkam, ia berdiri di sana; namun aku tidak suka para
jiwa tegang ini; seleraku bermusuhan ke para manusia yang serba tertutup ini.
Dan kau para temanku, mengatakan padaku, bahwa tidak ada perselisihan
mengenai selera dan rasa? namun semua kehidupan itu adalah perselisihan
mengenaiselera dan rasa!
Selera: ini adalah bobot dan adalah juga timbangan dan penimbang; dan
sengsaralah semua mahluk yang ingin hidup tanpa perselisihan-perselisihan
mengenai bobot dan timbangan dan penimbang!
Seandainya ia letih akan kesublimannya, manusia sublim ini, lalu hanya
kemudianlah keindahannya akan bermula - dan hanya saat itulah aku mau
merasakannya dan mengenyam kelezatannya.
Seandainya saja ia membalikan diri dari dirinya sendiri bisalah ia melompati
bayangannya sendiri – dan sungguh! Ke sang suryanya sendiri.
Terlalu lama ia duduk di bayang-bayang, pipi spirit taubatnya menjadi
pucat; nyaris ia kelaparan di atas harapan-harapannya.
Masih ada kebencian di bola matanya, dan kejijikan bersembunyi di
sekeliling mulutnya. Tentunya, ia beristirahat sekarang, namun ia belum pernah
rebahan di sinar surya.
Ia musti bertingkah seperti lembu; dan kebahagiannya musti berbau bumi,
bukan kebencian pada bumi.
Aku suka melihat ia sebagai lembu putih, yang mendengus dan melenguh
seraya melangkah di muka bajak: dan lenguhannya, pula, harus menyanjung
sesuatu yang keduniawian!
Mukanya tetap saja hitam; bayang-bayang lengannya menari di atasnya.
Indera penglihatannya, pula, terhalang bayang.
Tindakannya sendiri masih seperti bayang-bayang di atasnya: perbuatannya
menggelapkan sang pelaku. Ia belum mengatasi tindakannya.
Supaya lebih pasti, dalam dirinya yang aku cinta adalah bahu lembu: namun
sekarang aku mau melihat mata bidadari, pula.
Ia harus melupakan kemauannya yang heroik pula: ia harus menjadi
manusia mulia bukan saja manusia sublim – sang angkasa itu sendiri musti
menjulang tinggikannya, sang tanpakemauan itu!
Ia telah menaklukan monster-monster, ia telah menebak teka-teki. namun ia
harus pula menyelamatkan monster-monster dan teka-teki ini; harus merubah
mereka menjadi anak-anak surgawi.
Hingga kini ilmu pengetahuannya belum lagi belajar untuk tersenyum, dan
menjadi tanpa cemburu; hingga kini gairah pasionnya belum menjadi tenang
dalam keindahan.
Sungguh, bukan dalam kekenyangan kerinduannya itu harus pergi dan
menghilang, namun dalam keindahan! Keanggunan itu dimiliki oleh
kemurahatiannya orang mulia.
Lengannya menyilang di atas kepalanya: begitulah cara sang pahlawan
beristirahat, dengan cara ini pula ia harus mengatasi istirahatnya.
namun bagi sang pahlawan, justru keindahan itulah yang tersulit dari
segalanya. Keindahan tidak bisa diperoleh dengan kemauan-kemauan yang penuh
nafsu.
Sedikit lebih, sedikit kurang: justru ini adalah banyak di sini, di sini inilah
yang terbanyak.
Untuk berdiri dengan otot-otot relaks dan kemauan-kemauan kendur: inilah
yang tersulit dari segalanya bagi kau semua, kau para manusia sublim!
saat power tumbuh menjadi anggun dan mengejawantah: aku namakan
pengejawantahan seperti ini, keindahan.
Dan tidak dari siapa pun juga aku menginginkan keindahan seperti yang aku
sangat inginkan dari kau, kau manusia kuat: semoga kebaikan kau menjadi
penaklukan-diri kau yang menentukan.
Aku percaya kau sanggup untuk berbuat segala kejahatan: maka aku
menghasrati kau untuk berbuat kebaikan.
Sungguh, aku kerap tertawa
Langganan:
Postingan
(
Atom
)