arkeologi 9

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 9. Tampilkan semua postingan

arkeologi 9








KOMUNIKASI merupakan perilaku interaksi dalam masyarakat, baik antara 
per orangan maupun kelompok masyarakat, yang dilakukan secara verbal 
dan non-verbal. Komunikasi verbal dilakukan melalui bahasa atau tulisan. 
Sedangkan komunikasi non-verbal dilakukan secara sadar atau tidak sadar. 
Contoh komunikasi non-verbal yang disadari, antara lain melalui isyarat 
atau tanda, misalnya menggigit jari, menganggukkan kepala, menatap, atau 
tersenyum. Sedangkan yang bersifat tidak disadari, misalnya membetulkan 
letak kacamata, mengubah tempat duduk, dan lainnya 
Komunikasi yang akan didiskusikan dalam tulisan ini adalah komunikasi 
yang bersifat verbal, yaitu komunikasi melalui bahasa dan tulisan semata 
yang tidak langsung, bahkan yang terjadi pada zaman silam. Sehubungan 
dengan komunikasi verbal dalam masyarakat lampau itu, objek kajiannya 
diambil dari prasasti-prasasti dan naskah-naskah kuno yang terdapat di 
Indonesia. 
Prasasti adalah salah satu sumber sejarah dalam negeri yang berguna untuk 
menyusun sejarah kerajaan-kerajaan zaman Indonesia Hindu-Buddha dari 
zaman kerajaan-kerajaan tertua, seperti Kerajaan Kutai (abad ke-4 M), Kerajaan 
Taruma (pertengahan abad ke-5 M), dan zaman-zaman berikutnya, misalnya 
Kerajaan Majapahit (awal abad ke-16 M) (Bambang Soemadio, 1984). 
Dalam prasasti yang dipahat pada batu atau logam, terdapat tulisantulisan sebagai media komunikasi penting yang dilakukan oleh seorang raja 
ke rajaan untuk masyarakatnya sesuai zamannya. Prasasti dari zaman yang 
ter tua sampai akhir Kerajaan Majapahit, ada yang ditulis dengan aksara Pallawa, aksara Kawi atau J awa Kuno, aksara Kediri, aksara Sunda Kuno, 
dan lainnya. 
Bahasa yang dipakai antara lain Sanskerta, Jawa Kuno, dan Sunda Kuno. 
Prasasti (bahasa Sanskerta), inscription (Inggris), dan inscripties atau oorkonden (Belanda), dapat diartikan sebagai suatu pernyataan, maklumat, 
atau piagam dari zaman Indonesia Hindu-Buddha. Pada umumnya, prasasti 
me nerangkan tentang pendirian tempat suci dan pemberian hadiah yang 
diberikan kepada anggota masyarakat yang tanahnya dibebaskan untuk 
pendirian tempat suci (sima) dan hadiah yang diberikan kepada anggota 
masyarakat atau pejabat kerajaan yang berjasa ,
Sejumlah prasasti dari zaman kerajaan Indonesia Hindu-Buddha itu 
telah diteliti oleh beberapa ahli epigrai (ahli-ahli pertulisan) dan arkeolog 
baik dari luar maupun dalam negeri, seperti J.L.A. Branders, F.D.K. Bosch, 
N.J . Krom, W.F. Stutterheim, G. Coedes, L.-Ch. Damais, J .G. de Casparis, 
R.M.Ng. Poerbatjaraka, M. Boechari, Sukarto A. Atmojo MM, dan Machi 
Suhadi. Mereka itulah yang secara tidak langsung telah menyampaikan isi 
pernyataan, pesan, dan maklumat isi prasasti-prasasti melalui karya-karyanya 
kepada masyarakat sekarang yang mempelajari sejarah Indonesia zaman itu 
mengenai berbagai hal: politik, sosial, ekonomi dan kebudayaannya. 
Meski harus disadari bahwa hal-hal yang dikomunikasikan secara verbal 
kepada masa sekarang masih bersifat terbatas dan perlu dilakukan perbandingan dengan sumber-sumber lainnya untuk memperkaya pikiran kita 
dewasa ini. Namun, tak dimungkiri bahwa komunikasi verbal yang terkandung 
dalam prasasti dari zaman Indonesia Hindu-Buddha, mempunyai peranan 
penting bagi masa kini dan akan datang. Karenanya, komunikasi dari masamasa lampau itu mempunyai makna komunikasi lintas ruang, tempat, dan 
waktu atau zaman.
Berdasarkan isi prasasti-prasasti dari zaman Indonesia Hindu-Buddha 
itu, dapat dikenali sejarah timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan, misalnya 
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad ke-4 M), Kerajaan Tarumanegara 
di J awa Barat (pertengahan abad ke-5 M sampai abad ke-7 M), Kerajaan 
Sriwijaya di Sumatera (abad ke-8 M sampai abad ke-10 M), Kerajaan 
Kanjuruhan di J awa Timur (abad ke-8 M), Kerajaan Sindok 9 (abad ke-
10 M), Kerajaan Darmawangsa-Erlangga di J awa Timur (abad ke-11 M), 
Kerajaan Kediri di Jawa Timur (abad ke-12 M), Kerajaan Singasari di Jawa 
Timur (abad ke-13 M), Kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang kekuasaannya 
meliputi hampir seluruh Nusantara (akhir abad ke-13 sampai awal abad ke-
16 M), Kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa Barat (abad ke-14 M sampai akhir 
abad ke-16 M), Kerajaan Melayu di Sumatera (abad ke-7 M, di Jambi, abad 
ke-13 sampai 14 M di Sumatera Barat), Kerajaan Nagaradwipa di Kalimantan 
Selatan (abad ke-14 sampai 15 M), Kerajaan Kutai Tenggarong di Kalimantan Timur (abad ke-14 sampai 15 M). Kelengkapan komunikasi melalui prasastiprasasti itu seharusnya diperkaya oleh sumber-sumber sejarah lainnya, seperti naskah-naskah kuno dan berita-berita asing yang berkaitan dengan 
zamannya.
Komunikasi mengenai kemasyarakatan dan perekonomian, berdasarkan isi 
prasasti-prasasti dari zaman Indonesia Hindu-Buddha, diketahui serba ter batas, 
seperti masyarakat yang terlibat dalam pendirian tempat suci, adanya kasta, 
sistem birokrasi pemerintahan dan para pejabatnya dari maharaja, raja, pejabat 
tinggi dari pusat sampai daerah terkecil atau desa yang dikepalai oleh ram ani
desa. Demikian pula kehidupan ekonomi perdagangan, baik di pusat maupun 
di daerah, tidak banyak diketahui secara luas dan masih perlu diperkaya 
oleh sumber-sumber lain, seperti naskah kuno dan berita-berita asing. N.J. 
Kroom membicarakan tambahan sumber seperti literatur, antara lain naskah 
Negarakertagam a, Pararaton, dan lain-lain. Sedangkan untuk sumber asing: 
berita Tionghoa, India, Arab dan Barat ,
Bagaimana dengan kehidupan kebudayaan, termasuk keagamaan yang 
terkandung dalam komunikasi verbal itu melalui data prasasti-prasasti zaman 
Indonesia Hindu-Buddha? Kebudayaan, khususnya bidang keagamaan, dapat diketahui dari prasasti kerajaan-kerajaan awal yang muncul pada abad 
ke-4 sampai 8 M, seperti Kutai, Taruma, Sriwijaya, Sanjaya, Sailendra, dan 
Kanjuruhan. Berdasarkan isi 7 buah yupa (prasasti) yang ditemukan dari 
Muara Kaman-Mahakam di Kutai, yang berdasarkan bentuk tulisannya 
(paleograi) berasal dari abad ke-4 M, dapat diketahui dengan jelas adanya 
pemujaan kepada dewa-dewa agama Hindu dan upacara-upacara yang 
dipimpin oleh kaum Brahmana (pendeta agama Hindu) di Kerajaan Kutai 
masa Maharaja Mulawarman ,
Demikian pula prasasti-prasasti dari masa pemerintahan tahun ke-22 
Maharaja Purnawarman dari Tarumanegara, terutama isi Prasasti Tugu (Desa 
Tugu, Jakarta Utara), terdapat upacara-upacara keagamaan Hindu yang juga 
dipimpim oleh kaum Brahmana. Dalam Prasasti Ciaruteun (di Kecamatan 
Ciampea, Bogor), disebutkan bahwa sepanjang telapak (yang dipahatkan) 
Maharaja Purnawarman itu diibaratkan sepasang kaki Dewa Wisnu (w isnor 
iva pada dvayam ) ,
Dalam Prasasti Canggal (Kedu) tahun 732 M (654 Saka) pada masa pemerintahan Maharaja Sanjaya, dapat diketahui juga adanya pemujaan terhadap agama Hindu, terutama Dewa Siwa yang diejawantahkan dalam lingga. 
Keagamaan Hindu itu diperkuat pula oleh temuan reruntuhan Candi Gunung 
Wujir yang menunjukkan sisa-sisa peninggalan bangunan yang bersifat Hindu. 
Pemujaan terhadap lingga itu, didapati dari isi Prasasti Dinoyo (di Malang,
dari tahun 760 M/ 682 Saka)  yang diperkuat 
dengan adanya sebuah Candi Badut yang memuat kedewaan agama Hindu. Di Jawa Tengah, dengan munculnya Dinasti Sailendra, pada abad ke-8 
M dan abad-abad berikutnya, mulai muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak 
Buddha. Contoh adanya prasasti yang berisi keagamaan Buddha antara lain 
adalah Prasasti Kalasan dari tahun 778 M/ 700 Saka. Dalam prasasti tersebut 
dikatakan bahwa Maharaja Rakai Pancapana Panangkaran mendirikan sebuah 
candi yang ditujukan untuk Dewi Tara, dan Wihara untuk para Biksu (pendeta 
agama Buddha). Menurut para ahli, maharaja itu berasal dari Dinasti Sanjaya 
yang namanya disebut Rake Panangkaran dan telah memeluk agama Buddha ,
Sejak abad ke-8 M dan seterusnya, kerajaan bercorak Hindu dan Buddha 
di J awa Tengah saling berganti, yang tampak memuncak dalam pendirian 
bangunan keagamaan yang monumental, seperti Candi Borobudur yang 
budhistis dari Dinasti Sailendra (abad ke-8 sampai 9 M) dan Prambanan atau 
Rara Jonggrang yang juga hinduistis (abad ke-9 M) dari Dinasti Sanjaya. Sejak 
tahun 1991, kedua kompleks percandian yang mempunyai nilai arsitektur dan 
seni arca yang luar biasa itu sudah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan 
Budaya Dunia (W orld Cultural Heritage) ,
Prasasti-prasasti, baik di J awa Tengah maupun J awa Timur, dari 
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha sejak abad ke-8 dan seterusnya sampai 
zaman Kerajaan Majapahit yang berakhir sekitar awal abad ke-16 M, ada 
yang berisi keagamaan Hindu dan ada pula keagamaan Buddha. Keadaan 
tersebut dibarengi oleh pendirian candi-candi yang sesuai dengan zaman dan 
semangat keagamaannya. 
Menarik bahwa pada zaman Kerajaan Singasari, seorang maharaja yang 
bernama Kertanegara, menganut agama Siwa dan Buddha (Siwa-Buddha). 
Candinya juga mengandung kedua keagamaan itu. Pada zaman Majapahit sendiri, selain beberapa prasasti serta percandian yang mengandung dua unsur 
keagamaan Hindu dan Buddha itu, dalam kitab Negara Kertagam a karya 
penyair besar Mpu Prapanca tahun 1340 M, juga disebut tentang masyarakat 
golongan penganut agama Buddha yang disebut golongan Kasogatan, dan 
golongan Kasaiwan untuk golongan penganut agama Hindu ,
Di Sumatera, dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, 
keagamaan Buddha mendapat tempat yang baik. Terbukti berdasarkan data 
prasasti-prasasti dari Kedukan Bukit tahun 682/ 3 M (604 Saka), Talang Tua 
ta hun 684 M, Talaga Batu dan dari Bangka tahun 686 M, Sunagi Merangin 
(tahun 686 M), dan dari Alas Pasemah di daerah Lampung ,
Bukti keagamaan Buddha dalam Kerajaan Sriwijaya diketahui dari be rita musyair Tionghoa, I-Tsing (689-692 M), yang pernah mengadakan perjalanan ke India dan kembali singgah di ibukota Kerajaan Sriwijaya yang ia
sebut San Fo Che atau Sili Fo Che. Diceritakan bahwa di tempat itu banyak 
ter da pat penganut dan biksu agama Buddha. Sebelum ke India, mereka 
ter lebih dahulu mempelajari agama Buddha dan gramatika serta bahasa 
Sanskerta,
Demikian garis besar prasasti-prasasti dari zaman Indonesia HinduBuddha yang berfungsi sebagai media komunikasi sesuai konteks masyarakat nya dan yang pada masa sekarang dapat dikomunikasikan lagi secara 
tidak langsung melalui para ahli di bidang arkeologi, epigrai, dan sejarah, 
atau siapa saja yang mempelajari sejarah zaman Indonesia Hindu-Buddha. 
Dan sebagimana telah disebutkan bahwa untuk memperkaya komunikasi berdasarkan data prasasti-prasasti itu, perlu digunakan sumber-sumber lainnya 
be rupa naskah-naskah kuno. 
Naskah kuno biasanya merupakan tulisan tangan (Belanda: handschriften, 
Inggris: m anuscripts) yang ditulis pada berbagai bahan seperti lontar, kertas 
deluang atau kertas yang berasal dari masa-masa lampau. Tulisan atau aksara yang dipakai, antara lain Kawi dengan bahasa J awa Kuno, aksara dari 
bahasa Jawa pertengahan, aksara dan bahasa Bali, aksara dan bahasa Bugis 
Makassar, aksara dan bahasa Batak, aksara dan bahasa Sunda. Dari zaman 
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, huruf yang 
dipakai untuk naskah-naskah kuno, ialah huruf Arab-Melayu yang disebut 
huruf J awi untuk naskah-naskah dalam bahasa Melayu dan huruf Pegon untuk naskah-naskah dalam bahasa Jawa dan Sunda. Indonesia kaya sekali 
akan naskah-naskah kuno. Ribuan naskah dalam berbagai bahasa dan aksara 
sudah banyak dihimpun dalam katalog yang tersimpan di berbagai lembaga, 
baik dalam maupun luar negeri ,
Naskah-naskah kuno itu umumnya menjadi objek kajian ilologi, sua tu 
ilmu yang berkaitan dengan naskah dan pernaskahan yang disebut juga kodekologi atau ilmu tentang kodeks, kata lain untuk naskah. Objek ka jian ilologi 
berupa teks, yaitu informasi yang terkandung dalam naskah atau muatan 
naskah. Ilmu yang berkaitan dengan teks yang terkandung da lam naskah 
disebut pula tekstologi. Dalam sejarah perkembangannya, ilologi dapat diartikan sebagai ilmu bahasa, ilmu sastra tinggi, atau studi teks. Filologi merupakan suatu disiplin yang diperlukan untuk upaya yang di lakukan ter hadap 
peninggalan di masa lampau dalam rangka menggali nilai-nilai masa lampau. 
Karena karya-karya tulisan masa lampau itu pada hakikatnya merupakan 
suatu budaya atau produk dari kegiatan manusia, maka dapat dikatakan 
bah wa ilologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora ,
Pendapat bahwa isi naskah-naskah kuno dari zaman Indonesia HinduBuddha dan zaman Indonesia-Islam merupakan suatu budaya, tak ada 
ahli ilologi yang menentangnya. Bahkan Henri Chambert-Loir dan Oman 
Fathurahman, dalam bukunya Khazanah Naskah: Panduan Naskah-Naskah 
Indonesia Sedunia, mengatakan bahwa dunia pernaskahan sebenarnya lebih 
luas. Barang siapa sudah akrab dengan dunia ini, akan mengetahui bahwa 
naskah mengandung kekayaan informasi yang berlimpah. Isi naskah itu tidak 
terbatas pada kesusastraan saja, tapi juga berbagai bidang lain seperti agama, 
sejarah, hukum, adat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain ,
Ditinjau dari segi berlimpahnya informasi tentang berbagai aspek kehidupan, maka jelas bahwa naskah atau pernaskahan sebagai media komunikasi 
verbal dari zaman ke zaman, lebih luas dan kaya dibanding dengan media 
prasasti. Karena, berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui tulisan dalam 
naskah lebih luas daripada hanya pada batu atau lempengan logam seperti 
pada prasasti yang mempunyai ruang terbatas untuk menulis.
Jika dikatakan bahwa naskah-naskah kuno memiliki kandungan informasi 
yang berlimpah, berarti naskah-naskah kuno itu dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai pesan dan pernyataan berbagai pikiran individu atau 
kelompok masyarakat kepada individu atau kelompok masyarakat lainnya. 
Dengan kata lain, naskah-naskah kuno dapat berfungsi sebagai media berbagai komunikasi verbal melalui tulisan dan bahasa-bahasa daerah sesuai 
de ngan perkembangan zamannya 
Di antara bahasa-bahasa daerah yang pemakaiannya dalam komunikasi 
amat luas antaretnik di Nusantara ialah bahasa Melayu. Bahasa ini tumbuh 
dan berkembang sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, yang dipakai dalam prasastiprasastinya sejak abad ke-7 M dan mencapai perkembangannya sejak kirakira abad ke-15 sampai 16 M dengan menjadi lingua franca. Pemakaian dan 
persebarannnya bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam 
serta perdagangan. Sejak perkembangan Islam, huruf yang dipakai untuk 
menuliskan bahasa Melayu ialah huruf Arab yang lazim disebut Huruf Jawi 
atau Pegon untuk bahasa J awa, Sunda, dan lainnya ,
Demikian majunya bahasa Melayu sebagai media komunikasi antaretnik 
serta menjadi lingua franca, maka dengan mudah bahasa tersebut bisa 
men jadi bahasa Indonesia, bahasa resmi Negara Republik Indonesia, serta 
men jadi bahasa Melayu-Malaysia dan Brunei Darussalam. Naskah-naskah 
kuno dalam berbagai bahasa di Nusantara ternyata dapat menjadi media 
ko munikasi yang penting dalam aspek pemerintahan, yang jika isi prasastiprasasti itu diperhatikan, maka tampaklah bahwa prasasti menjadi media 
komunikasi dari pemerintah suatu kerajaan kepada masyarakat. 
Naskah-naskah kuno juga dapat dipakai sebagai media komunikasi, 
bu kan hanya dari pihak pemerintah saja, tapi juga dari pihak penulis 
zaman nya. Yang dikomunikasikan melalui pernaskahan itu bukan hanya 
mengenai pemerintahan suatu kerajaan, tetapi juga mengenai perekonomianperdagangan. Naskah-naskah kuno yang dipakai sebagai media komunikasi 
politik, pemerintahan, struktur birokrasi, struktur masyarakat, hubungan 
perdagangan dan perekonomian kerajaan-kerajaan, adalah naskah-naskah 
berupa hikayat, sejarah, babad atau tambo. Contohnya adalah Sejarah 
Banten, Hikayat Hasanuddin, Hikayat Raja-Raja Pasai, Bustanussalatin, 
Tajussalatin, Hikayat Banjar, Babad Cirebon, Babad Tanah Jaw i, dan 
lainnya ,
Naskah-naskah kuno, baik dari zaman Indonesia Hindu-Buddha maupun 
Indonesia-Islam, selain merupakan seni sastra dalam bentuk puisi dan prosa, 
juga banyak dipergunakan untuk media komunikasi keagamaan. Contohnya 
ada lah Mahabarata, Ram ayana, dan kakawin lainnya dari zaman IndonesiaHindu. Contoh naskah-naskah kuno zaman Indonesia-Islam adalah banyaknya 
para ahli sui atau tasawuf yang menggunakan sastra Jawa, Melayu, dan lain nya, 
baik puisi maupun prosa, untuk media komunikasi keagamaan seperti karyakarya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga di Jawa, dan karya-karya Hamzah 
Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri, Abd Rauf al-Sinkili di 
Sumatera, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari di Goa-Sulawesi Selatan. 
Selain itu, terdapat karya-karya dari ulama abad ke-18, antara lain 
dari Abd al-Shamad al-Palembani dan Muhammad Arsyad al-Banjari dari Kalimantan Selatan, di mana riwayat hidup, ajaran, serta kitab-kitabnya, 
secara lengkap telah dibicarakan secara akurat oleh Azyumardi Azra. Kitabkitab karya ulama Indonesia tentang tarekat, ikih, dan lainnya, termasuk 
go longan kitab kuning, juga merupakan khazanah naskah-naskah kuno 
ke agama an yang menjadi tradisi untuk pelajaran di pesantren-pesantren ,
Perlu juga disebut di sini tentang adanya pernaskahan yang disebut “suratsurat emas” yang biasanya berisi tentang korespondensi atau surat menyurat 
antara para raja dengan pembesar VOC di Batavia sampai masa HindiaBelanda yang biasanya menggunakan bahasa Melayu. Contohnya adalah surat 
dari Sahalak Abdul Kadir di Ambon (1658 M) kepada VOC di Batavia, surat 
Sultan Iskandar Muda dari Aceh untuk Raja James I (tahun 1615), dan masih 
banyak contoh lainnya. Sebaliknya juga ada surat dari Gubernur J enderal 
Belanda, Renier de Klerk dan Raad van Indie, kepada Sultan Muhammad 
Bahauddin di Palembang pada 1782 M ,
Yang juga menarik perhatian, bahasa Melayu digunakan untuk komunikasi antarpembesar VOC dengan raja-raja pribumi. Contohnya adalah 
peng angkatan seorang yang sangat paham bahasa Melayu, misalnya Enci 
Amat dari Patani. Ia menjadi juru tulis dan penerjemah, pemimpin upacara, dan duta penghubung dengan raja-raja pribumi . Bahasa 
Me layu juga pernah digunakan untuk komunikasi pers, majalah, dan surat 
kabar. Terutama sejak awal abad ke-20 pada masa Hindia-Belanda .
Alhasil, dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal: pertam a, 
prasasti-prasasti dalam berbagai huruf dan bahasa, meskipun isinya agak 
terbatas, jelas mempunyai arti penting sebagai media komunikasi sesuai 
konteks zamannya. Terbatas, karena ruang untuk menuliskan pesan atau 
pernyataan hanya dari pihak penguasa atau pemerintahan kerajaan kepada 
para pejabat dan masyarakat umum. Kedua, naskah-naskah kuno yang 
isinya lebih luas, yang ditulis dalam berbagai huruf dan bahasa, dapat 
me nyampaikan pesan atau pernyataan pikiran baik dari perorangan atau 
kelompok penulisnya, dan bermakna bagi siapapun, baik perorangan maupun 
kelompok masyarakatnya.
Ketiga, prasasti-prasasti terutama naskah-naskah kuno, memiliki arti 
penting sebagai media komunikasi dalam berbagai bidang, baik pemerintahan, 
perdagangan-perekonomian, kesenian, sastra, kemasyarakatan, keagamaan, 
dan kebudayaan pada umumnya. Keem pat, untuk mengkomunikasikan 
nilai-nilai yang dikandung oleh prasasti-prasasti dan naskah-naskah kuno 
yang penuh informasi masa lampau itu, perlu adanya upaya dari bangsa 
Indonesia sebagai pemiliknya, untuk mempelajari prasasti dan naskah tersebut melalui pengetahuan epigrai, ilologi, dan sejarah budaya. Dengan 
demikian, nilai-nilai penting dari khasanah budaya bangsa masa lampau 
dapat ditransformasikan lagi kepada masyarakat dewasa ini dalam upaya 
pembinaan dan pengembangan jatidirinya.

BEBERAPA pokok bahasan yang akan didiskusikan di sini adalah: (1) penggunaan jenis tulisan di Indonesia sebelum tulisan J awi, (2) pengertian tulisan 
Jawi dan awal penggunaannya, dan (3) kesinambungan penggunaan tulisan 
Jawi dan fungsi bahasa Melayu di Indonesia.
Penggunaan Jenis Tulisan di Indonesia Sebelum Tulisan Jawi
Sebelum kedatangan Islam di Indonesia, yang lazim dikenal dengan zaman 
kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu-Buddha (abad ke-4 sampai 16 M), jenis 
tulisan (aksara) yang dipergunakan pada prasasti-prasasti dan naskah-naskah 
kuno ialah tulisan Pallawa, Pranagari, Jawa Kuno (Kawi), Sunda Kuno dan 
Bugis. Tulisan pada zaman ini sudah mendapat perhatian dari para ahli 
epigrai dan palaeograi seperti G. Coedes, L.-Ch. Damais, J.G. de Casparis, 
R.M.Ng. Poerbatjaraka, dan lainnya. Meski sejak abad ke-7 M pada prasastiprasasti Kerajaan Sriwijaya di Kedukan Bukit, Talang Tuwa, Telaga Batu, 
Kota Kapur, Merangin, Alas Pasemah, dan lainnya belum menggunakan 
tulisan J awi, tetapi bahasa Melayu kuno sudah dipergunakan bercampur 
dengan bahasa Sanskerta.
Bahasa Melayu yang terdapat pada prasasti-prasasti zaman Kerajaan 
Sriwijaya, dalam periodisasi sejarah bahasa Melayu, disebut Bahasa Melayu 
Kuno, yang meliputi kurun abad ke-7 M sampai abad ke-14 M. Kemudian 
menyusul periode yang oleh Harimurti Kridalaksana disebut Bahasa Melayu 
Tengahan. Tercakup di dalamnya apa yang lazim disebut Melayu klasik yang 
meliputi kurun abad ke-14 M sampai abad ke-18 M. A. Teeuw menempatkan 
periode bahasa Melayu Kuno itu setelah periode bahasa Melayu Purba, baru kemudian periode bahasa Melayu klasik ,
Ahli Rusia, V.I. Braginsky, dengan mempertimbangkan segi linguistik dan 
faktor-faktor literalnya, menempatkan periodisasi sejarah kesusastraan 
Melayu Pertengahan ke dalam tiga periode yaitu: Melayu Kuno, Islam Awal 
dan Klasik. 
Periode kesusastraan Islam Awal dimasukkan ke dalam kurun dari 
per tengahan kedua abad ke-14 M sampai awal pertengahan abad ke-16 M. 
Sedangkan periode Melayu klasik berlangsung dari pertengahan pertama abad 
ke-16 M sampai awal pertengahan abad ke-19 M ketika masa kesusastraan 
Melayu disadari sebagai kesusastraan dunia Muslim di mana karya-karya 
besar diciptakan ,. Kalau mengambil patokan bahasa 
Melayu klasik itu meliputi kurun abad ke-14 M sampai abad ke-18/ 19 M, 
berarti bahasa Melayu klasik itu termasuk kepada zaman setelah kedatangan 
Islam di Nusantara, bahkan sampai zaman pertumbuhan dan perkembangan 
kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara.
Pengertian Tulisan Jawi dan Awal Penggunaannya 
Kedatangan Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan 
sudah berlangsung sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Secara 
bertahap, perkembangan itu disertai penyebaran bahasa Arab dengan tulisan nya. Data arkeologis nisan-nisan kubur dari abad ke-11, 13, sampai 
awal 15 M, menunjukkan bahwa tulisan yang digunakan ialah tulisan Arab. 
Contohnya adalah nisan kubur Fatimah binti Maimun bin Hibatullah (475 
H/1082 M) dengan huruf Kui, di Leran-Gresik; nisan kubur Sultan Malik asSaleh (696 H/ 1297 M) dengan huruf Tsuluts, di Gampong Samudera Pasai, 
Lhokseumawe; dan nisan kubur Maulana Malik Ibrahim (822 H/ 1419 M) 
dengan huruf Tsuluts, di Gresik ,
Mengenai pengenalan tulisan Arab ke Asia Tenggara, pernah dibicarakan 
sepintas oleh Othman Mohd. Yatim dalam Batu Aceh Early Islam ic 
Gravestones in Peninsular Malaysia. Yatim mengatakan bahwa di antara 
sumbangan besar Islam bagi rakyat di Kepulauan Melayu-Indonesia ialah 
dampaknya bagi perkembangan bahasa Melayu. Dengan masuknya kerajaankerajaan Melayu ke agama Islam, maka tulisan Arab dan Jawi dikenalkan dan 
diterima oleh orang-orang Melayu sebagai media penulisan bahasa Melayu ,
Menurut pendapat beberapa ahli, penggunaan tulisan J awi sudah ada 
sejak sekitar abad ke-14 M. Awal temuan tulisan J awi adalah pada Batu 
Bersurat dari Trengganu-Malaysia yang bertanggal 4 Rajab 702 Hijriah atau 
22 Februari 1303 Masehi dan telah ditelaah oleh Syed Muhammad Naquib 
al-Attas (1970). Pendapat mengenai temuan awal tulisan J awi tersebut 
disepakati ahli-ahli lainnya seperti dikemukakan Hasyim Musa dalam bukunya Sejarah Perkem bangan Tulisan Jaw i, bahwa bukti pertama yang 
me nunjukkan tulisan Arab untuk mengeja teks berbahasa Melayu adalah 
seperti apa yang terdapat pada Batu Bersurat Trengganu yang bertarikh 702 
H/ 1303 M itu. Menurut pendapat Hasyim Musa, skrip Arab yang diadaptasi 
oleh bahasa Melayu untuk pengejaan itu dikenal dengan nama tulisan Jawi. 
Namun demikian, Hasyim Musa, dengan merujuk pendapat Omar Awang, 
mengatakan tidak mengetahui dengan pasti siapakah yang memberikan nama 
kepada tulisan itu. Dan, ia menyangkal jika tulisan Jawi itu berkaitan dengan 
nama Jawa atau Pulau Jawa. Hal itu tidak logis karena tulisan Jawi sudah 
ada dan digunakan di Sumatera dan Tanah Semenanjung sebelum Jawa jatuh 
ke tangan orang Islam pada 883 H/ 1468 M.
Pendapat Musa itu diperkuat oleh pendapat Omar Awang yang menyata kan perkataan J awi kemungkinan berasal dari perkataan Arab ‘alJaw ah’ yang pernah digunakan dalam catatan Arab yang tertulis sebelum 
pertengahan abad ke-14 M untuk menamakan Pulau Sumatera oleh Yaqut, 
Abu al-Fida, dan Ibnu Batutah. Dikatakannya bahwa fakta ini menunjukkan 
satu kemungkinan yang kuat bahwa tulisan Jawi itu dinamakan oleh orang 
Arab untuk menunjuk tulisan yang digunakan oleh orang Sumatera, yaitu 
penduduk al-Jaw ah yang beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu 
Hubungan tulisan J awi dengan bahasa Melayu pada abad ke-14 M 
itu dikemukakan pula oleh Abdul Hadi W.M. yang merujuk pendapat 
Ismail Halim, James Collins, dan Ibrahim Alian. Halim, Collins dan Alian 
mengatakan bahwa di Pasai juga telah ada penggunaan aksara Arab-Melayu 
yang lazim disebut tulisan Jawi. Hal itu sesuai dengan perkembangan bahasa 
Melayu yang mengalami proses islamisasi yang menjadikannya berbeda 
dengan bahasa Melayu zaman Sriwijaya. Setelah Kerajaan Pasai mengalami 
kemunduran, peran sebagai pusat peradaban Islam dan kebudayaan Melayu 
digantikan oleh Malaka (1400-1511). 
Setelah Malaka jatuh karena direbut Portugis pada tahun 1511 M, Aceh 
segera mengambil perannya lagi sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan 
internasional, serta sebagai pusat kegiatan intelektual dan penulisan sastra 
Melayu. Kitab-kitab dan Hikayat Melayu yang pernah disalin dan ditulis di 
Pasai dan Malaka, ditulis kembali pada masa Aceh Darussalam. 
Hikayat Raja-Raja Pasai diperkirakan ditulis di Pasai pada tahun 1365 
M setelah hikayat negeri itu ditaklukkan oleh Majapahit ,. Selain menyebut tulisan Jawi untuk penulisan bahasa Melayu itu, ada 
pula yang menyebut tulisan atau huruf Jawi-Pasai didasarkan pada sumber 
Syekh Abdul Rauf Singkel  
H. Amat J uhari Mosin, Pengarah Pusat Islam Universitas Pertanian 
Malaysia, berpendapat bahwa tulisan Jawi atau tulisan Melayu huruf Arab yang diambil dari perkataan Arab Jawa dan Jawi, merujuk ke daerah Asia 
Tenggara dan penduduknya. Pada zaman bahasa Melayu klasik, kebanyakan 
para pengarang yang terdiri dari para ulama, telah membubuhi nama al-Jawi 
di ujung nama mereka. Contohnya adalah Syekh Abdul Samad al-Palimbani 
al-J awi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari al-J awi, Syekh Muhammad 
Zainuddin al-Sambawi al-Jawi, Syekh Yusuf Khalwati al-Makassari al-Jawi, 
Syeikh Muhammad Daud al-Fatani al-J awi, dan lain sebagainya ,
Tulisan Jawi dan Fungsi Bahasa Melayu di Indonesia
Sejak abad ke-14 M, penggunaan tulisan Jawi makin mengalami ke majuan 
dan berkesinambungan. Kemajuan itu mulai tampak sejak Kerajaan Aceh 
Darussalam pada zaman pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah (1589-
160 4 M) dan mencapai puncaknya pada zaman Sultan Iskandar Muda 
(1607-1636 M) dan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Sejak abad ke-14 
M dan selanjutnya, apa yang disebut tulisan Jawi, yaitu tulisan Arab untuk 
menuliskan bahasa Melayu, amatlah jelas. Tulisan J awi telah disesuaikan 
dengan kaidah-kaidah bahasa Melayu, dari segi fonem, ejaan, penggantian 
tanda baca, dan penciptaan huruf saksi yang diterapkan pada suku pertama 
dan juga suku keduanya. 
Di antara para ahli yang namanya telah disebut di atas, Hasyim Musa 
merupakan ahli yang telah mengkaji sejarah perkembangan tulisan Jawi yang 
meliputi bentuk tulisam Jawi dan sejarahnya, tahap-tahap pensisteman ejaan 
Jawi dari mulai ejaan Jawi pada Batu Bersurat Trengganu, sistem ejaan Jawi 
dari abad ke-10 H/ 16 M sampai abad ke-11 H/ 17 M, dan sistem ejaan Jawi 
abad ke-18 M sampai 19 M dan abad ke-20 M. Hasyim Musa, setelah mengkaji 
sistem ejaan tulisan J awi dalam Batu Bersurat Trengganu, berpendapat 
bahwa terdapat kombinasi sistem tulisan Arab dengan pemvokalan secara 
baris dan tulisan Melayu dengan pemvokalan secara abjad alif, w au, dan ya
dalam sistem ejaan Jawi.
Selain itu, dalam Batu Bersurat tersebut, telah dimasukkan lima abjad 
baru dengan menambahkan tanda-tanda titik ke atas atau bawah bentuk 
abjad Arab yang ada, misalnya: : ベ ネ ァ ミ d ラ
やケ f や や ヲゎ
ベ ネ ァ ミ dan n ラ . 
やケ f や や ヲゎ
. Abjad-abjad w au dan ya
sebagai huruf yang melambangkan konsonan separuh vokal, selain sebagai 
lambang vokal, juga telah digunakan dalam perkataan
ベ ネ ァ ミ ラ
n やケ f (raya), dan や や ヲゎ
ベ ネ ァ ミ ラ
やケ f n やヲゎ や 
(atawa). Selain Batu Bersurat, masih ada contoh dari beberapa naskah atau 
manuskrip dari abad ke-16 sampai abad ke-20 M. Sistem pemvokalan dengan 
abjad vokal pada suku kata awal atau tengah terbuka, pemvokalan tanpa 
abjad vokal yaitu dengan sistem baris pada suku kata akhir terbuka, sistem 
baris pada suku kata tertutup, dan sistem lainnya, dapat dibaca selengkapnya 
dalam buku Hasyim Musa . Di Indonesia, kesinambungan dan kemajuan penggunaan tulisan Jawi 
nampak jelas pada abad ke-17 M di Kerajaan Aceh Darussalam berkat dorongan kegiatan ahli-ahli pikir keagamaan dan sastrawan-sastrawan terkenal yang 
menulis kitab-kitab Jawi yang isinya mengandung berbagai keilmuan, misalnya 
bidang keagamaan, kesusastraan, kesejarahan, hukum, dan lainnnya. Di antara 
ahli-ahli pikir keagamaan di Aceh ialah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin alSumatrani, Bukhari al-J auhari, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Singkili, 
dan sebagainya. Hamzah Fansuri pernah mengatakan bahwa ia banyak 
menerjemahkan kitab-kitab dalam bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa 
Jawi (Melayu) untuk bangsanya yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persia ,
Naskah-naskah hasil karya para ulama itu dapat ditelusuri di berbagai 
katalog pernaskahan, baik yang berada di lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta di dalam dan luar negeri, maupun yang masih dimiliki masyarakat 
di beberapa daerah lainnya. Kitab-kitab Jawi karya para ulama di Aceh itu 
bukan hanya berpengaruh ke kerajaan Islam di Sumatera, tetapi juga sampai 
ke daerah-daerah kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan Indonesia lainnya 
seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. 
Bila sebutan tulisan Jawi yang dipergunakan berkaitan erat dengan penulisan bahasa Melayu, termasuk bahasa Melayu setempat, maka di Jawa dan 
Sunda, tulisan Arab yang digunakan untuk menulis kedua bahasa itu disebut 
tulisan Pegon. Naskah-naskah tersebut banyak ditulis oleh cendekiawan 
Muslim di Jawa dan Sunda dan dapat ditelusuri dalam berbagai katalog yang 
telah diterbitkan. Di antaranya oleh T. Behrend (1999) untuk naskah-naskah 
Jawa dan Edi S. Ekajati untuk naskah-naskah Sunda (1990).
Tulisan Jawi yang digunakan untuk menulis pernaskahan atau manuskripmanuskrip di berbagai daerah di Indonesia pada umumya dalam bentuk huruf 
Tsuluts, Naskhi atau Nashta’lik dengan gaya beraneka sesuai penulisnya dan 
juga pengaruh bahasa tempat. Sampai sejauh mana perkembangan bentuk 
tulisan J awi pada berbagai naskah atau manuskrip dari zaman ke zaman, 
memerlukan pengkajian secara teliti dari sudut epigrai atau paleograi. 
Upaya itu akan memakan waktu yang lama. 
Annabel Teh Gallop dalam tulisannya Beautifing Jaw i betw een 
Calligraphy and Palaeography mengatakan bahwa kebanyakan studi-studi 
tulisan Jawi telah berpusat pada perkembangan ortograi. Sebaliknya, perhatian 
pada kaligrai Melayu, yaitu studi karya penulisan di mana tulisan-tulisan itu 
pertama-tama dievaluasi dari kualitas seni dan keindahananya, masih relatif 
sedikit. Studi palaeograi adalah studi sejarah perkembangan bentuk-bentuk 
tulisan tangan (handw riting) di berbagai daerah di dunia Melayu. Gallop 
menyatakan bahwa survei palaeograi tulisan Jawi menunjukkan keberadaan 
perbedaan tangan-tangan daerah dan menunjukkan pentingnya sumbangan palaeograi yang dapat membantu ilologi Melayu menentukan keaslian 
geograis manuskrip-manuskrip tertentu. Sesuai dengan judul artikelnya, Teh 
Gallop menjelaskan bahwa studinya bukan kaligrai dan bukan palaeograi, 
tetapi menelaah tempat dalam teks-teks manuskrip biasa, di mana beberapa 
penulisan Melayu mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan rasa 
seninya dan mencapai dampak-dampak visual tertentu.
Tulisan hiasan atau tambahan teks-teks yang elemen fungsionalnya 
terjalin itu, seringkali dipergunakan untuk menarik perhatian kepada katakata khusus untuk menolong navigate (mengemudikan) sekitar teks. Teksteks yang dipakai untuk contoh, adalah tulisan dari dokumen-dokumen 
resmi yang mempunyai proil tinggi. Piagam-piagam kerajaan dan surat-surat 
diplomatik biasanya disampaikan dan diterima dengan upacara besar yang 
disebut Surat Emas Raja-Raja. 
Melalui penelitiannya tentang sifat-sifat dekoratif kaligraik yang ada 
dalam manuskrip-manuskrip dunia Melayu, Gallop memusatkan penelitiannya 
pada tiga elemen yang bersifat umum dalam dunia Islam. Pertama, dalam 
mengerjakan perkataan bism illah, terutama dengan memanjangkan tali pengikat sin-m im dari bism yang dalam manuskrip di Asia Tenggara sering sekali
dikerjakan. Kedua, melebih-lebihkan kaf dari Aceh, barangkali memberikan 
gambaran tentang tradisi pemanjangan kaf yang bisa ditelusuri kembali pada 
manuskrip-manuskrip Arab dalam tulisan Kui, tetapi pada bentuk yang 
sangat dekoratif pada suatu daerah tertentu di kepulauan Melayu. Ketiga, terdapat pada dunia Melayu sendiri, yaitu pemakaian titik ta m arbuta .
Di atas telah disinggung bahwa tulisan Jawi yang berkaitan erat dengan 
penggunaan bahasanya ialah bahasa Melayu Klasik dari abad ke-14 M sampai 
dengan abad ke-18 M/ 19 M. Kesusastraan Melayu muncul dan berkembang 
mulai pada abad ke-14 M di beberapa bandar di kedua sisi Selat Malaka. 
Bahasa Melayu tersebar di Kepulauan Indonesia dan di dunia Melayu, pada 
umumnya menjadi bahasa perantara (lingua franca), serta menjadi media 
dakwah agama Islam. Oleh karena itu, Henri Chambert-Loir mengatakan 
bahwa sastra Melayu yang tertulis dengan huruf Arab menyebar pula di 
seluruh Dunia Nusantara. Karya-karya dalam bahasa Melayu tidak ditulis di 
Riau atau di Semenanjung Melayu saja, melainkan di berbagai pusat kerajaan 
yang berjauhan seperti di Aceh, Bima dan Ternate . Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya naskah-naskah yang 
berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang telah disimpan dalam koleksikoleksi pernaskahan baik di dalam maupun di luar negeri. Naskah-naskah itu 
sendiri telah dibuatkan katalognya. 
Tercatat ada 953 nomor naskah-naskah J awi atau Melayu yang dapat 
ditelusuri dalam berbagai katalog seperti Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat tahun 1972 yang kini menjadi Perpustakaan Nasional di 
Jakarta. Tetapi menurut informasi dari bagian pernaskahan, sekarang sudah 
ada lebih kurang 1.000 naskah. J ika dalam katalog itu disebutkan naskah 
Melayu, tentunya naskah-naskah itu merupakan naskah Jawi. Koleksi naskah 
Melayu (J awi) itu sudah termasuk koleksi yang pernah dikatalogisasikan 
pada masa kolonial Belanda oleh ahli-ahli asing seperti A.B. Cohen Stuart 
(tahun 1871) dan L.W.C. van den Berg (tahun 1875). Katalog yang lebih 
teratur adalah yang disusun oleh Ph.S. van Ronkel, karena ditambah dengan 
keterangan-keterangan berupa perbandingan dengan naskah-naskah Melayu 
yang terdapat di luar negeri, yakni Leiden, London, Brussel, dan Paris ,
Tiga tahun sebelum penyusunan Katalog Koleksi Naskah Melay u 
Museum Pusat tahun 1972, tepatnya tahun 1969, Jazamuddin Baharuddin 
telah menyusun Naskah Lam a Melayu di dalam Sim panan Museum Pusat 
Jakarta sebanyak 2 jilid. Mengenai beberapa katalog yang ada di Indonesia 
dan di luar negeri tentang pernaskahan baik Jawi maupun bukan Jawi tetapi 
mengandung keagamaan Islam, telah saya kemukakan dalam sebuah seminar 
dengan judul Beberapa Catatan Tentang Naskah Kuno Islam i Indonesia
Perlu dicatat perkiraan jumlah naskah-naskah Melayu (J awi) selain 
yang ada di Perpustakaan Nasional. Henri Chambert-Loir dalam tulisannya 
Catalogus des Catalogus de Manuscripts Malais memperkirakan jumlah 
naskah Melayu di perpustakaan-perpustakaan di dunia lebih kurang 4.000 
buah naskah. Koleksi-koleksi yang amat penting di negeri Belanda, misalnya di 
Leiden, lebih kurang 1.650 naskah. Sedangkan di Indonesia (di Perpustakaan 
Nasional J akarta) lebih kurang ada 1.000 naskah. Di Inggris lebih kurang 
600 buah. Di Malaysia, naskah Melayu (Jawi) berjumlah lebih kurang 200 
naskah dan di Perancis lebih kurang ada 130 naskah 
Yang menarik perhatian ialah pencatatan naskah-naskah Indonesia dalam berbagai bahasa, termasuk naskah-naskah Melayu yang disimpan di berbagai lembaga di Indonesia dan di luar negeri yang secara lengkap telah 
di susun oleh Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman dalam Khazanah 
Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (W orld Guide 
to Indonesian Manuscript Collections). Apabila di atas sudah dikatakan bahwa 
perkiraan jumlah naskah-naskah Melayu di seluruh dunia berjumlah lebih 
kurang 4.000, maka dalam katalog yang baru saja disebut, jumlah naskahnaskah yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan berjumlah empat sampai 
lima ribu naskah. Bahkan dengan adanya usaha yang dilakukan oleh beberapa 
lembaga, terutama di Malaysia dan Aceh selama 15 tahun terakhir ini untuk 
mengumpulkan naskah sampai berhasil mengumpulkan ribuan naskah baru, membuktikan bahwa jumlah naskah-naskah masih sangat banyak di tangan 
masyarakat ,
Ahli-ahli dari Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen 
Agama RI telah berhasil mengadakan inventarisasi pernaskahan di berbagai 
daerah di Indonesia dan hasilnya diterbitkan dalam Katalog Naskah Kuno 
yang Bernafaskan Islam di Indonesia I, II (Depag, 1997/ 1998 dan 1998/ 1999). 
Ternyata, dari 759 naskah, yang berbahasa Melayu dengan tulisan Jawi ada 
lebih kurang 50 persen. 
Sudah dikatakan bahwa kesinambungan dan kemajuan penulisan naskahnaskah J awi, terutama pada zaman memuncaknya pemerintahan Sultan 
Iskandar Muda dan Iskandar Tani pada abad ke-17 M, terjadi akibat kegiatan 
dan keberadaan para ulama yang terkenal dalam pemikiran keagamaan 
Islam. Denys Lombard mengatakan bahwa munculnya beberapa karya besar 
bukanlah karya yang disampaikan turun-temurun secara lisan atau “dongeng” 
yang sering dianggap sebagai inti kesusastraan Melayu, melainkan karangan 
yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, dihiasi dengan sajak dan ada 
tanggal serta nama pengarangnya. Satu hal yang harus diingat, dari mana 
pun asal mereka, semua pengarang menulis dalam bahasa Melayu. Sebagai 
contoh, Nuruddin adalah orang yang berasal dari Gujarat, tetapi dari pada 
menonjolkan sifatnya sebagai “orang asing”, ia lebih baik mengarang Bustan
dalam bahasa Melayu, hanya beberapa bulan sesudah kedatangannya di Aceh. 
Tak ayal lagi, wibawa bahasa Melayu pada saat itu besar sekali 
Beberapa ulama-ulama kenamaan dari Aceh ialah Hamzah al-Fansuri, 
Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Singkili. 
Ri wayat ulama-ulama terkenal ini telah banyak dibicarakan para ahli baik 
asing maupun pribumi, Melayu, dan Indonesia, terutama dalam kaitan de ngan 
karya-karya mereka berupa naskah-naskah yang sampai pada masa kini. 
Seorang ulama yang namanya belum disebutkan ialah Bukhari al-Jauhari, 
pengarang kitab Tajus Salatin (bahasa Arab) dan Mahkota Raja-Raja (bahasa 
Melayu) yang dikarang tahun 1012 H atau 1603/ 4 M, atau diperkirakan pada 
masa pemerintahan Sultan Alaud-Din Riayat Syah. Kitab Taj itu terkenal 
dan naskah-naskahnya banyak sekali. Pada abad ke-19, kitab tersebut masih 
dibaca di Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Rafles menyatakan bahwa, pada 
zamannya, Sultan Singapura memerintah dengan mengacu asas-asas dalam 
kitab Taj. Demikian pula sekretaris Rafles, yaitu Abdullah Munsyi, berusaha 
mengetahui watak Rafles berdasarkan asas-asas ilmu irasat yang ditemukan 
dalam Taj ,
Hamzah al-Fansuri adalah pengarang yang produktif. Syair-syairnya 
sangat banyak. Akan tetapi, Nuruddin al-Raniri menyampaikan kepada 
Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) bahwa ajaran Hamzah al-Fansuri, yaitu paham Wujudiah, adalah ajaran sesat sesat. Karya-karya Hamzah al-Fansuri 
akhirnya dibakar. Akibatnya banyak karyanya yang tidak sampai pada kita. 
Pun, jumlah naskah yang dijumpai amatlah sedikit. Beberapa karya Fansuri 
yang mengandung risalah tasawuf ada tiga, yakni Syarah al-Asyikin, Asrar 
al-Ariin dan al-Muntahi yang telah ditelaah Abdul Hadi W.M dengan metode 
takwil – sebuah bentuk hermeneutika keruhanian sui – melalui artikelnya 
Perjalanan Anak Dagang: Estetika Syair-Syair Tasaw uf Ham zah Fansuri. 
Kitab Syarah al-Asyikin (Minuman Orang Berahi), dianggap karya 
pertama Fansuri dan sekaligus sebagai risalah tasawuf paling awal yang 
ditulis dalam bahasa Melayu. Menurut Abdul Hadi, sajak-sajak Hamzah 
Fansuri memperlihatkan lima ciri menonjol yang menjadi semacam konvensi 
sastra atau puisi Melayu Klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan 
seperti “fakir”, “anak dagang”, “asyik”, dan lainnya yang ditransformasikan 
dari gagasan sui tentang peringkat rohani (m aqam ) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk. Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, hadis, 
pepatah, dan kata-kata Arab yang di antaranya dijadikan metafora, istilah 
dan pencitraan konseptual penulis-penulis sui Arab-Persia seperti Imam 
al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan lainya. Ketiga, dalam setiap bait akhir ikatanikatan syairnya, sang sui selalu mencantumkan nama diri dan julukannya 
ber dasarkan nama tempat kelahiran penyair atau kota tempat sang sui 
dibesarkan. Keempat, dijumpai tamsil atau konseptual yang biasa digunakan 
sui Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan tentang 
cinta transendental, kemabukan mistikal, fana, ma’rifat, tatanan wujud, dan 
lain-lain. Kelima, mengandung paduan yang seimbang antara diksi, rima, dan 
unsur-unsur puitik lainnya 
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Mysticism of Ham zah 
Fansuri menyebut Fansuri sebagai penyair suisme Melayu terbesar dan 
orang pertama yang mengajarkan doktrin sui dan metaisik di dunia Melayu . Syamsuddin al-Sumatrani, murid Hamzah al-Fansuri, juga 
banyak menulis, antara lain Mir’at al-Mu’m in, Syarh Rubba’i Ham zah alFansuri dan Jauhar al-Haqa’iq. 
Ulama terkenal yang menentang ajaran sui Hamzah al-Fansuri dan 
muridnya Syamsuddin al-Sumatrani adalah Nuruddin al-Raniri (nama lengkapnya Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Humaid al-Raniri). 
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, ”Al-Raniri w as a Sufi, 
theologian, historian, m an of letters, and m issionary par excellence (Raniri 
adalah seorang sui, teolog, sejarawan, sastrawan, sekaligus seorang da’i berpengaruh).”
Pengaruh Raniri di dunia Melayu luar biasa. Ia adalah orang pertama 
di dunia Melayu yang menjelaskan dalam bahasa Melayu perbedaan antara 
yang benar dengan yang palsu, menerangkan sui teosoi dan metaisik sebagaimana tercantum dalam karyanya Hujjat al-Siddiq li Daf’al-Zindiq alRaniri 
Pembicaraan ini perlu dikaitkan dengan naskah-naskah yang dihasilkan 
dalam bahasa Melayu. Karya-karya tulis Al-Raniri telah dihimpun oleh beberapa ahli seperti Van der Tuuk, P. Voorhoeve, dan Naquib al-Attas. Mereka 
mencatat bahwa karya tulis Nuruddin al-Raniri berjumlah 18 buah, termasuk 
Hujjat al-Siddiq tersebut. Pengaruh al-Raniri di bidang kesusastraan Melayu 
sangatlah luas. Hal itu dapat dilihat dari kitabnya Bustan al-Salatin yang 
merupakan suatu kitab besar dalam bahasa Melayu. 
Salinan (copy ) dari karya-karya Raniri ditemukan di seluruh dunia 
Melayu. Melalui kitabnya itu, pengaruhnya menyebar ke banyak bidang 
tulisan-tulisan Melayu dan penulisan sejarah. Dialah penulis pertama yang 
me nyuguhkan sejarah dalam perspektif universal dan memprakarsai ilmu 
pengetahuan dan penulisan sejarah Melayu Modern. Dengan penulisan 
keagamaan dalam bahasa Melayu, al-Raniri memberi banyak kontribusi bagi 
perkembangan, modernisasi, dan islamisasi bahasa Melayu sebagai sebuah 
wahana ilmu pengetahuan dan pelajaran ,
Dalam Jaringan Ulam a Tim ur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 
XVII dan XVIII, Azyumardi Azra telah membicarakan tentang perbedaan 
ajaran W ujudiyah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani yang 
bersifat mistik ilosois dengan ajaran al-Raniri yang mementingkan syariah 
dan dianggap sebagai perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara yang 
disebut neo-suisme,
Pembicaraan tentang al-Raniri dihubungkan pula dengan karya tulisnya 
baik di bidang keagamaan, misalnya ikih dan tasawuf ataupun kesejarahan. 
Tujimah, melalui disertasinya Asrar al-Insan i Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, 
selain menjelaskan riwayat hidup Nur al-Din al-Raniri, juga memberikan 
daftar karangan Raniri yang berjumlah 23 buah, baik dalam bahasa Arab 
maupun Melayu. Menurut Tujimah, al-Raniri lebih pandai menggunakan 
bahasa Jawi dari pada bahasa Arab. Itu terbukti dari terjemahan Raniri dari 
bahasa Arab ke dalam bahasa Jawi yang dengan mahir dilakukan secara kata 
demi kata ,
Ulama lainnya yang terkenal di Aceh pada abad ke-17 M ialah Abd al-Rauf 
al-Singkili atau Syekh Kuala (lahir 1024 H/ 1615 M). Di antara sejumlah karya 
tulisnya di bidang keagamaan, seperti ikih, tafsir, suisme, dan kumpulan 
hadis, Turjuman al-Mustaid merupakan kitab tafsirnya yang paling awal 
dan beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Kitab tafsir ini mempunyai 
peranan dalam sejarah Islam di Nusantara dan dalam banyak hal merupakan 
suatu pedoman dalam sejarah keilmuan Islam di tanah Melayu. Kitab tersebut 
banyak memberi kontribusi bagi telaah tafsir al-Qur’an di Nusantara dan 
meletakkan dasar-dasar bagi terjembataninya terjemahan dan tafsir. Selama 
hampir tiga abad Turjuman al-Mustaid merupakan satu-satunya terjemahan 
lengkap al-Qur’an di tanah Melayu. Barulah dalam tiga puluh tahun terakhir 
muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu-Indonesia ,
Selain Aceh sebagai pusat penulisan kitab-kitab J awi, di Palembang 
zaman kesultanan, juga banyak penulis yang bermunculan, misalnya Syihab 
al-Din, Kemas Fakhr al-Din, Muhammad Muhyi al-Din, Kemas Muhammad, 
dan yang paling menonjol Abd al-Shamad al-Palimbani. 
Dengan ditemukan cukup banyak riwayat Abd al-Shamad al-Palimbani 
dalam kamus-kamus biograi Arab, Azyumardi Azra berpendapat bahwa hal itu 
menunjukkan al-Palimbani sebagai tokoh yang mempunyai karier terhormat 
di Timur Tengah. Di antara kitabnya yang berbahasa Melayu ialah Zuhrat alMurid i Bayan Kalimat Tawhid yang membahas tentang logika, mantik, dan 
teologi (ushul al-din). Karyanya yang terakhir ialah Siyar al-Salikin, Ihya 
Ulum al-Din, dan Ratib Sam an. Palimbani adalah salah seorang ulama yang 
tergolong sebagai pembaharu Islam dari abad ke-18 M ,
Sebenarnya, kesusastraan zaman Islam mulai berkembang di lingkungan 
istana Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan J amaluddin atau 
Sultan Abdurrahman (1662-1706 M). Di antara hasil sastra Islam awal di 
Palembang ialah Seribu Masail yang ditulis sebelum 1712 M. Shibuddin bin 
Abdullah Muhammad menulis antara lain Syarh yang Latif atas Mukhtasar 
Jaw harat al-Taw hid dan Kitab ‘Aqidat al-Bayan. Dari kalangan istana, 
Sultan Mahmud Badaruddin (1766-1852), memiliki perhatian yang sangat 
besar terhadap kesusastraan Melayu Palembang. Ia mengarang Syair Burung 
Nuri, Hikayat Martalaya, Syair Sinyor Kosta, Pantun Sultan Badaruddin.
Karya Sultan Mahmud Badaruddin tentang Syair Burung Nuri itu, oleh 
Sastri Sunarti, telah dibuatkan ringkasannya dan ditelaah dari segi romantisme 
dan estetika. Syair Burung Nuri itu ditulis oleh Sultan Mahmud Badaruddin 
ketika ia dalam pembuangan di Ternate. Syair tersebut termasuk kategori 
syair percintaan dari kalangan bangsawan ,
Di daerah Riau, pusat kegiatan penulisan naskah Melayu dengan huruf 
J awi terdapat terutama di Pulau Penyengat yang pernah menjadi pusat 
pe me rintahan sejak abad ke-18 dan ke-19 M. Perhatian penulisan dan penyalinan naskah-naskah Melayu-Riau yang ditulis dalam tulisan J awi di 
Pulau Penyengat adalah berkat dorongan para pengarang kerabat istana. 
Yang terkenal di antaranya ialah Engku Haji Ahmad dan putranya, yaitu Raja 
Ali Haji. Naskah-naskah karya para pengarang tersebut telah banyak dicatat 
dan dibicarakan, baik oleh ahli-ahli asing maupun dari daerah Riau sendiri. 
Karya-karya sastra yang dikarang Raja Ali Haji banyak yang berupa syair 
keagamaan dan kesejarahan: Syair Hukum Nikah, Syair Hukum Fara’id, 
Syair Gem ala Mestika Alam , dan Silsilah Melayu dan Bugis. Karya yang 
ditulis bersama ayahnya, Raja Haji Ahmad, ialah Tuhfat al-Nais. Raja AlHaji juga membuat karya tulis yang bersifat panduan untuk raja-raja di 
bidang ketatanegaraan dan nasihat, seperti Tam arat al-Muhim m ah Diyafah 
lil um ara w al Kubara li Ahl al-Mahkam a, Syair Nasihat, dan Gurindam 
Dua Belas.
Selain Raja Ali Haji dan ayahnya, masih ada pengarang-pengarang lain 
seperti Raja Daud bin Raja Ahmad yang mengarang Syair Pangeran Syarif 
Hasyim dan Encik Kamariah yang menulis Syair Sultan Mahm ud di Lingga.
Masih terdapat beberapa karya pengarang lainnya yang tidak dapat semuanya 
dikemukakan di sini. Namun perlu dicatat bahwa seorang cendekiawan dari 
Riau, yaitu Siti Zahra Yundiai, secara khusus telah menelaah Tuhfat al-Nais 
karya Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji yang ditulis tahun 1866. Tuhfat 
Al-Nais merupakan sastra sejarah yang mengamanatkan dilaksanakannya 
ajaran Islam dan adat-istiadat Melayu. Oleh Siti Zahara Yundiai, Tuhfat AlNais bukan hanya ditinjau dari sudut kesejarahan, tetapi juga dari estetika 
dalam penggunaan ungkapan yang bersahaja dan menunjukkan kekentalan 
rasa keislaman pengarangnya ,
Di daerah Kerinci, selain naskah-naskah yang ditulis dalam aksara incung
(rencong), terdapat naskah-naskah yang ditulis dalam huruf J awi. Untuk 
naskah berbahasa Melayu Kerinci, jumlahnya lebih kurang 92 buah dan 
umumnya menggunakan kertas. Naskah-naskah tersebut isinya berupa piagam 
dan surat-surat dari abad ke-18 sampai 19 M, di antaranya adalah dari sultan 
Jambi kepada para adipati di Kerinci. Di samping surat-surat dan piagam, 
ada juga sejumlah kitab undang-undang, misalnya Tam bo Kerinci. Beberapa 
naskah Melayu Kerinci yang pernah diteliti P. Voorhoeve mendapat perhatian 
Direktorat Jenderal Kebudayaan yang melakukan penelitian dan pengkajian 
yang diketuai Iskandar Zakaria dan kawan-kawan ,
Di Sumatera Barat, tempat penulisan naskah-naskah dalam huruf Jawi 
bahasa Melayu Minangkabau berada di Pagar Ruyung sebagai pusat kerajaan. 
Untuk sastra Melayu tradisional, terdiri dari sastra sejarah (tambo), sastra 
undang-undang (undang-undang Minangkabau), dan syair-syair. Naskahnaskah tersebut telah dicatat dalam beberapa katalog, di antaranya ialah 
katalog van Ronkel (1909), katalog Museum Pusat oleh Amir Sutaarga dkk. 
(1972) – kini Perpustakaan Nasional, dan katalog di Universiteit Bibliotheek 
Leiden. Tam bo Minangkabau pernah dibuat sebagai disertasi oleh Edwar 
J amaris dengan judul Tam bo Minangkabau: Suntingan Teks Disertai 
Analisis Struktur yang diterbitkan Balai Pustaka, 1991. Sebelumnya Jamaris 
telah melakukan penyuntingan teks Undang-Undang Minangkabau dan telah 
diterbitkan dalam buku Naskah Undang-Undang dalam Sastra Indonesia 
Lam a, 1981 ,
Naskah-naskah Melayu yang bertulisan J awi dapat pula diperoleh di 
daerah NTB, yaitu di Lombok dan Bima. Naskah-naskah di Lombok yang ber bahasa Melayu dengan tulisan J awi, dalam kegiatan pembacaannya 
disebut “ber-hikayat” atau “bakayat/ kayat”. Di antara teks bacaan hikayat, 
contohnya adalah Isra’ Mi’raj, Hikayat Abu Naw as, Kisah al-Anbiya, Ceritacerita Nabi Muham m ad, Siti Zubaedah, Hikayat Muham m ad Hanaiah dan 
Kitab 1.000 Masail . Anehnya, Di Lombok Timur di 
desa Ketangga, Kecamatan Suela – dahulu termasuk Kerajaan Selaparang, 
terdapat banyak naskah-naskah keagamaan yang ditulis dalam huruf Arab 
dan dengan bahasa Jawa yang telah dicatat dan dikaji secara garis besar oleh 
Mujib dan Ahmad Cholid Sodri (2004). Di Bima, terdapat banyak naskah 
yang sudah diinventarisasikan oleh S.W.R. Mulyadi dan H.S. Maryam R. 
Salahuddin dalam Katalog Naskah Melayu Bim a I dan II (1990, 1992).
Dalam katalog itu, naskah-naskah dikelompokkan berdasarkan isinya, 
yaitu: bo, doa dan ilmu agama, ilsafat, hikayat, silsilah, surat, dan surat 
keputusan. Dalam jilid II, ditambah dengan surat peraturan, perjanjian, 
kontrak, dan ilmu tua. Bo, yang dicatat dalam dua jilid katalog, berjumlah 
76 naskah; doa dan ilmu agama berjumlah 32 naskah; ilsafat ada 4 naskah; 
hikayat ada 5 naskah; silsilah ada 14 naskah; surat ada 6; surat keputusan 
ada 14; surat peraturan ada 4 naskah; surat perjanjian dan kontrak ada 10; 
ilmu tua, jimat, perhitungan waktu ada 3 naskah.
Dari kelompok naskah itu, jumlah yang paling banyak ialah bo. Dan di 
antaranya yang telah disunting oleh Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R.
Salahuddin ialah Bo Sangaji Kai. Buku catatan raja-raja Bima yang merupakan 
dokumen arsip sejarah Kerajaan Bima adalah naskah terpenting di antara 
berbagai jenis bo yang lain. Bo yang diedit itu meliputi kurun waktu abad ke-
17 sampai 19 M. Filolog Perancis, Henri Chambert-Loir, juga telah mengkaji 
dan menerbitkan Kerajaan Bim a dalam Sastra dan Sejarah: Cerita Asal
Bangsa Jin dan Segala Dew a-Dew a Hikayat Sang Bim a. Naskah-naskah 
yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan Jawi ialah Syair Kerajaan 
Bim a ,
Di Indonesia bagian timur, yaitu Maluku, juga terdapat naskah-naskah 
bertulisan J awi, terutama di Ternate dan Tidore sebagai pusat kesultanan 
sejak abad ke-16 M. Katalog naskah-naskah dari Maluku itu pernah disusun 
oleh Yumsari Yusuf dan kawan-kawan tahun 1980, dan Pujiastuti tahun 2001. 
Naskah-naskah tersebut dikelompokkan ke dalam: (1) geograi, (2) sejarah 
dan cerita rakyat, (3) perjanjian dan kontrak, (4) laporan catatan surat, (5) 
pemberitahuan dan pengangkatan, (6) bahasa dan sastra, (7) peta. Di antara 
surat-surat tertua dari Ternate yang tersimpan di Arsip Nasional, Lisbon, 
berasal dari Sultan Abu Hayat kepada raja Portugal tanggal 27 April dan 8 
November 1521. Surat yang kedua mungkin berasal dari tahun berikutnya. 
Hasyim Musa telah memakai contoh surat-surat sultan dari Ternate, 
Sultan Abu Hayat, dan dari ayahandanya, Sultan Bayan Sirullah, tahun 1514 
kepada King Manuel. Musa menyatakan bahwa ejaan sistem pemvokalan 
yang dipakai pada surat Sultan Ternate itu sudah menunjukkan perbedaan 
dibanding dengan sistem pada Batu Bersurat Trengganu  Hasan Muarif Ambary juga telah mencatat beberapa naskah yang masih 
tersimpan di Ternate (11 maklumat) dari paruh abad ke-19 M ,
Di antara hikayat-hikayat yang penting ialah Hikayat Tanah Hitu
yang ditulis oleh Rijali pada pertengahan abad ke-17 M. Naskah itu ada di 
Perpus takaan Universitas Leiden, Pernah dipakai Z.J. Manusama tahun 1977 
untuk disertasinya yang belum diterbitkan. Pada Simposium Internasional 
Pernaskahan Nusantara VIII & Munas Manassa III di J akarta, 26-28 J uli 
2004, Jan van der Putten menyampaikan makalahnya Hikayat Tanah Hitu: 
W asiat Im am Rijali, yang menyoroti teks tersebut dari segi sastra setelah 
menjelaskan konteks sejarahnya ().
Dari Indonesia bagian barat, yaitu di Buton, pernaskahan telah di bicarakan oleh La Niampe yang menerangkan bahwa, selain naskah-naskah dalam 
bahasa Wolio, juga terdapat naskah dalam bahasa Melayu, misalnya karya 
Muhammad Isa Qaimuddin, Istiadat Tanah Negeri Butun, ditulis pada masa 
pemerintahan Sultan Butun XXX, ayah penulis kitab tersebut. Haji Abdul 
Ganiu menulis Mir’at a-Tam am dan Kebun Segala Saudara di dalam 
Berkat Ibadah kepada Tuhan dalam bahasa Melayu huruf Jawi. Selain itu, ada naskah yang dikenal sebagai Hikayat Negeri Butun (1267 H) yang diperkirakan dibuat oleh saudagar dari Banjar ,
Di Sulawesi Selatan, sejumlah naskah-naskah dalam bahasa Melayu dengan tulisan Jawi telah dicatat dalam Khazanah Naskah yang disusun oleh 
Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman. Di antaranya berada di Universitas Hasanuddin, di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La Galigo 
Ujung Pandang, dan di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara 
Ujung Pandang.
Dari daerah Kalimantan didapati naskah-naskah yang pernah ditulis 
dalam tulisan Jawi bahasa Melayu setempat. Naskah-naskah dari Banjarmasin 
tersebut isinya beragam, yaitu undang-undang, sejarah, keagamaan, astronomi, 
bahasa, dan surat-surat. Naskah yang berisi undang-undang yang terkenal 
adalah Undang-Undang Sultan Adam . Contoh naskah yang bersifat sejarah 
dan silsilah ialah Hikayat Banjar dan Silsilah Pangeran Antasari. Hikayat 
Banjar pernah diteliti J.J. Ras dan berhasil disusun sebagai disertasi dengan 
judul Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography . 
Di antara ulama yang terkenal dari abad ke-18 M ialah Syekh Muhammad 
Arsyad al-Banjari (1710-1812) yang oleh Azyumardi Azra digolongkan sebagai 
seorang ulama pembaharu abad ke-18. Keahliannya di bidang ikih atau 
syariat tampak dalam kitabnya, Sabil al-Muhtadin 
Ia juga ahli tasawuf dan astronomi. Dalam bidang astronomi, pemikirannya 
tertuang melalui karangannya tentang ilmu pertanian dan ilmu falak. Kitabkitabnya yang lain di Banjarmasin masih disimpan di Museum Lambung 
Mangkurat, di Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar.
Mu’jizah telah mencatat bahwa naskah dari Banjarmasin, di Museum 
Lambung Mangkurat, tentang syair dan hikayat berjumlah 50 naskah; di 
Yayasan Pendidikan Islam Pagar Dalam, Martapura, tentang ilmu falak, 
ikih, al-Qur’an dan mantik ada 10 naskah; di Perpustakaan Nasional Jakarta 
tentang hikayat, antara lain Hikayat Banjar dan Kota W aringin, UndangUndang Kota W aringin, dan lainnya, ada 11 naskah; dan di Perpustakaan 
Universitas Leiden tercatat ada 26 naskah. Dicatat pula naskah yang terdapat 
dalam koleksi naskah di Perpustakaan Universitas Tubingen, Jerman Barat, 
dan di Perpustakaan British Museum,
Menurut Chairil Effendy, di Kalimantan Barat, di lingkungan masyarakat 
Melayu yang ada di wilayah kebudayaan Melayu Sambas, wilayah kebudayaan 
Melayu Pontianak, wilayah kebudayaan Melayu Sanggau, wilayah kebudayaan 
Melayu Hulu Sungai Kapuas, dan wilayah kebudayaan Melayu Ketapang, 
pada umumnya jenis kesusastraannya dalam bentuk lisan berupa pantun 
dan syair yang dinyanyikan atau diceritakan. Dari sekian banyak pantun 
dan syair, telah ada upaya perekaman, antara lain sejak tahun 1998 dengan 
ada nya kerjasama antara Pusat Penelitian Kebudayaan Melayu Universitas Tanjungpura dan Institut Alam Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan 
Malaysia dan berhasil merekam 112 buah teks cerita di daerah Kecamatan 
Sambas ,
Bagaimana keberadaan naskah-naskah di Pulau Jawa yang menggunakan 
tulisan Jawi dan berbahasa Melayu? 
Dari Pulau J awa, daerah J awa Barat dan J awa Tengah, keberadaan 
nas kah dapat diketahui berdasarkan catatan pada Khazanah Naskah yang 
disusun Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman yang juga mengambil 
dari catatan Ekajati (1988). Di antaranya ada 2 naskah milik perorangan 
dari Tasikmalaya. Demikian pula dalam katalog Ekajati dan Undang A. 
Darsa. (1999), terdapat beberapa naskah Melayu yang di antaranya banyak 
naskah J awa dan Sunda. Sementara Pujiastuti dan kawan-kawan (1994) 
hanya mencatat satu naskah Melayu milik perorangan. Di Fakultas Sastra 
Universitas Indonesia, berdasarkan catatan Poerbatjaraka (tahun 1933) ada 
16 naskah Melayu; pada tahun 1936 ada 4 naskah Melayu; pada tahun 1937 
ada 1 naskah Melayu. Behrend dan Pudjiastuti (1997) mencatat 34 naskah 
Melayu. Sementara dari Keraton Keprabonan dan Kasepuhan Cirebon, 
Pujiastuti (1994) mencatat 20 naskah.
Dari Banten, naskah yang ditulis dengan huruf J awi dan berbahasa 
Melayu ialah Hikayat Hasanuddin yang diperkirakan dari abad ke-18 M dan 
merupakan karya Muhammad Saleh, cucu Sultan Abul Mufakhir Mahmud 
Abdulkadir ,
Di Betawi juga terdapat karya tulisan Jawi dalam bahasa Melayu sebagaimana diketahui dari daftar yang dibuat oleh Mu’jizah dan banyak salinan. 
Yang didaftar bukan hanya naskah yang berada di Jakarta, tetapi juga yang 
terdapat di luar negeri. Naskah-naskah dikelompokkan ke dalam lima bagian, 
terdiri dari hikayat-hikayat dan syair-syair, kelompok naskah yang ada pada 
daftar Muhammad Bakir, syair buah-buahan, dan naskah-naskah di Leiden 
dan Leningrad ,
Akhirnya, banyak naskah-naskah yang berasal dari berbagai daerah di 
Indonesia dari Aceh sampai Ternate-Tidore. Seperti telah disebutkan di bagian terdahulu, bahwa awal penggunaan tulisan J awi dan bahasa Melayu 
telah berlangsung sejak abad ke-14 M, seperti dibuktikan oleh Batu Bersurat 
Trengganu dan Hikayat Raja-Raja Pasai yang telah disusun di Pasai. Kemudian, perkembangan penggunaannya adalah terutama dalam penulisan 
naskah-naskah sastra klasik, surat-surat, perjanjian-perjanjian, dan lainnya. 
Per kembangan penggunaan tulisan J awi dan bahasa Melayu dari zaman 
ke zaman itu tidak ayal lagi karena berkaitan erat dengan fungsinya dalam 
berbagai bidang. 
Dalam makalah berjudul Kegunaan Bahasa dan Sastra Melayu Abad 
VII-XIX Masehi dalam Berbagai Bidang Kom unikasi: Suatu Tinjauan Historis (2002), saya pernah membentangkan sejarah fungsi penggunaan 
bahasa Melayu Indonesia. Beberapa fungsi tersebut terwujud dalam berbagai 
aspek: (1) bidang perdagangan, di mana bahasa Melayu menjadi lingua 
franca, (2) fungsi keagamaan, terbukti dari banyaknya naskah-naskah bertulisan Jawi dengan bahasa Melayu yang menimbulkan perkembangan kitabkitab sastra keagamaan yang isinya mengenai ikih, syariat, tasawuf atau 
suluk, teologi, tafsir, ilmu falak, dan sebagainya, (3) fungsi yang berkenaan 
de ngan korespondensi dan perjanjian-perjanjian antara kerajaan-kerajaan 
Islam dengan pemerintahan asing. Hal itu terbukti dari banyaknya suratme nyurat. Contohnya adalah surat Sultan Alauddin Riayat Syah (sultan Aceh) 
tahun 1602 kepada Harry Middleton, surat sultan Iskandar Muda tahun 
1615 kepada Raja James I, surat Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja 
Portugal tahun 1521, dan surat Sultan Bayan Sirrullah kepada King Manuel 
Portugal (1514). 
Surat-surat perjanjian yang dibuat oleh VOC dan Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti dengan Riau, Palembang, Bima, 
Makassar, Ternate, dan di Jawa (Banten, Cirebon, Yogyakarta), ter dapat dalam koleksi Arsip Nasional Jakarta. Di Museum Nasional – kini Per pustakaan 
Nasional – tercatat surat-surat kontrak dan perjanjian antara VOC, pemerintah 
Hindia-Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Maluku. Dari lebih kurang 42 
surat-surat itu, sebagian ditulis dalam bahasa Melayu dan tulisan Jawi. 
Di bidang pembuatan peraturan perundang-undangan, banyak dibuktikan 
dari naskah-naskah tentang undang-undang kerajaan. Di bidang pengajaran, 
baik formal maupun non-formal, di sekolah-sekolah zaman Hindia-Belanda, 
bahasa Melayu diajarkan sejak sekolah dasar (volkschool). 
Dan yang terakhir, fungsi bahasa Melayu untuk dunia pers. Melalui suratsurat kabar zaman Hindia-Belanda, bahasa Melayu juga telah dipergunakan 
untuk komunikasi kepada masyarakat. Contohnya adalah surat kabar Medan 
Priyayi yang didirikan Raden Mas Tirto Adisoerjo (1875-1916) dari awal abad 
ke-20 di Surabaya. Di Padang, terbit surat kabar Bintang Tim ur pada tahun 
1862. Dan, di Batavia terbit Bianglala tahun 1867. 
Dengan didirikan Commisie voor de Inlandsche Shool en Volkslectuur 
(1908) dan kemudian mendapat perubahan nama tahun 1917, minat penulisan 
dalam bahasa Melayu makin maju di kalangan para pujangga Indonesia. 
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan: pertam a, tulisan 
Jawi yang penggunaannya diperkirakan sejak awal abad ke-14 M mempunyai 
peranan penting sebagai wahana untuk penulisan bahasa Melayu dalam 
menyampaikan berbagai perasaan dan buah pikiran masyarakat bangsa pemakai bahasa Melayu itu dalam mengkomunikasikan berbagai aspek, yaitu 
keagamaan Islam, kemasyarakatan, perekonomian, kesenian dan kebudayaan, 
teknologi korespondensi, hubungan diplomatik, dan sebagainya. Kedua, tulisan Jawi dan bahasa Melayu, kaitannya tak dapat dipisahkan 
dari sejarah masa silam di mana ia telah menjadi lingua franca dan mudah 
dipahami masyarakat pemakainya di kalangan masyarakat-masyarakat di 
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, atau di sebagian besar penduduk 
Asia Tenggara. Melalui proses sejarah perkembangannya, bahasa Melayu itu 
sendiri menjadi bahasa resmi negaranya. Di Indonesia sendiri sejak 1928, 
bahasa Melayu diakui sebagai bahasa Indonesia. Sejak kemerdekaan, dalam 
UUD 1945, bahasa Melayu dinyatakan sebagai bahasa resmi Negara Republik 
Indonesia.
Ketiga, mengingat nilai-nilai penting tersebut, ditambah adanya ke khawatiran semakin terdesaknya penggunaan tulisan Jawi serta makin kurangnya 
peminat di negeri-negeri pemakainya, maka upaya Kerajaan Pahang Malaysia 
menyelenggarakan Persidangan Kebangsaan Tulisan Jawi: Sejarah, Seni, dan 
Warisan, pada 2-4 Juli 2007, adalah tonggak untuk membangkitkan perhatian 
terhadap usaha penggunaan tulisan Jawi di berbagai kalangan masyarakat, 
terutama pemakai bahasa Melayu.
Selain itu, melalui tulisan ini saya ingin memberikan beberapa catatan. 
Mengingat tidak mudahnya upaya pembangkitan penggunaan Tulisan Jawi itu, 
perlu dilakukan langkah-langkah sosialisasi di kalangan masyarakat tingkat 
atas, menengah, dan bawah. Selain itu, perlu ada penyediaan sarana dan prasarana dan pembuatan program jangka pendek, menengah, dan panjang. Dan, 
perlu ada himbauan bagi bangsa pemakai bahasa Melayu yang dahulunya 
per nah memiliki dasar perkembangan, baik penulisan Jawi maupun bahasa 
Melayu, agar dapat bekerjasama dalam upaya membangkitkan penggunaan 
tulisan Jawi


PENINGGALAN kepurbakalaan Islam, baik yang bergerak seperti mata uang, 
alat perhiasan, alat rumah tangga, alat pertanian, alat upacara, dan lainnya, 
maupun benda tak bergerak seperti rumah, bangunan peribadatan, benteng, 
dan lainnya, dapat dikatakan sebagai benda cagar budaya, jika benda-benda itu 
memenuhi kriteria pasal I, Undang Undang (UU) RI Nomor 5 Tahun 1992.
Dalam UU ini, yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah: (a) 
benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan 
atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur 
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai 
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, (b) benda alam 
yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan 
kebudayaan. Sementara yang dimaksud situs adalah lokasi yang mengandung 
atau diduga mengandung banda cagar budaya, termasuk lingkungannya yang 
diperlukan bagi pengamanannya.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka kepurbakalaan Islam yang terdapat 
di daerah istimewa Aceh ada yang berupa kompleks makam-makam kuno 
dengan kubur dan nisan-nisannya, masjid-masjid kuno dengan lingkungannya, 
mata uang kuno, sarakata-sarakata, cap-cap kerajaan, alat-alat perhiasan, 
benteng-benteng dengan lingkungannya, naskah-naskah kuno, dan sebagainya. 
Jikalau benda bergerak atau tidak bergerak itu sudah memenuhi kriteria dan 
kemudian dicatat bahkan dikeluarkan surat penetapannya oleh Departemen 
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi 
undang-undang No. 5 Tahun 1992, maka apakah benda-benda cagar budaya 
tersebut dibiarkan begitu saja? Tidak, karena benda-benda cagar budaya yangdilindungi oleh undang-undang tersebut seharusnya dimanfaatkan sesuai 
dengan tujuannya. Dalam bab 2, pasal 2, UU No. 5 Tahun 1992 dinyatakan 
bahwa tujuan dan lingkup perlindungan adalah untuk melestarikan dan memanfaatkannya demi memajukan kebudayan nasional Indonesia. Se mentara 
dalam pasal 3 dinyatakan bahwa lingkup pengaturan UU tahun 1992 tersebut 
meliputi benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda 
berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs. 
Dari pasal 2 dan 3 tersebut, jelaslah bahwa cagar budaya tidak hanya 
untuk dilestarikan saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Bagaimana memanfaatkan peninggalan budaya 
terutama kebudayaan di daerah Aceh yang kaya akan peninggalan Islam itu 
dalam rangka memajukan kebudayaan nasional Indonesia? Dalam pasal 19 
ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1992 dinyatakan: (1) benda cagar budaya tertentu 
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, 
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, (2) pemanfaatan sebagaimana dimaksud 
dalam ayat 1 tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila: (a) bertentangan 
dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud 
dalam pasal 15 ayat 2; (b) semata-mata untuk mencari kepentingan pribadi 
dan atau golongan.
Mengenai benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama dimuat dalam pasal 37 dan 38. Dalam pasal 37 dinyatakan: 
(1) terhadap benda cagar budaya yang masih dimanfaatkan untuk kepentingan 
agama, masyarakat dapat tetap melakukan pemanfaatan dan pemeliharaan 
sesuai dengan fungsinya, (2) pemanfaatan dan pemeliharaan sebagaimana 
di maksud dalam ayat 1 dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian 
benda cagar budaya. Khusus mengenai pasal 38, perlu diperhatikan dengan 
sungguh-sungguh inti yang dimaksudkan dari pernyataan: “Benda cagar 
budaya yang pada saat ditemukan ternyata sudah tidak dimanfaatkan lagi 
seperti fungsinya semula dilarang untuk dimanfaatkan lagi.” Pernyataan pasal 
38 itu sudah tentu tidak dimaksudkan bagi pemanfaatan demi kepen tingan 
pendidikan, kepariwisataan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sesuai 
dangan topik artikel ini, pemanfaatan yang saya maksudkan lebih dititikberatkan kepada: (1) pemanfaatan bagi kajian ilmu pengetahuan, dan (2) 
pemanfaatan bagi pengembangan kepariwisataan.
Pemanfaatan bagi Kajian Ilmu Pengetahuan
Kajian peninggalan Islam, terutama terhadap kompleks makam dengan 
nisan kuburnya yang bersifat inventarisasi dan dokumentasi, merupakan 
usaha yang penting. Usaha-usaha inventarisasi dan dokumentasi itu dimulai 
dengan melakukan pengkajian terhadap nisan-nisan kubur dari Gampong 
Blangmeh (Pasai) dan Samudera di daerah Kabupaten Lhokseumawe sebelum berdirinya Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst), yaitu tahun 1884, 1899, 
1901, 1906 (NBG XXII, 1884: 41; NBG XXXIX, 1901: 61; Ensiklopedie Van 
Nederlandsch Oost-Indie).
Tahun 1907 Snouck Hurgronje melakukan kajian terhadap nisan-nisan 
kuno dari Samudera Pasai, antara lain nisan kubur yang memuat nama 
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Abdul Aziz bin al-Mansyur bin 
Abu Ja’far al-Abbas al-Muntasir Billah Amir al-Mu’minin Khalifah Rabb al-
‘Alamin yang wafat tahun 1407 M, nisan kubur seorang wanita yang wafat 
tahun 1428 M (namanya waktu itu tidak terbaca), yakni Binti as-Sultan Zainul 
Abidin bin as-Sultan Ahmad bin as-Sultan as-Sultan Muhammad bin AsSultan Malik as-Salih (Snouck Hurgronje, 1924: 101-102, Catatan 1 dan 2). 
Nama wanita baru dapat terbaca pada tahun 1940 oleh G.L. Tichelman dengan 
bantuan Syekh Muhammad bin Salim al-Kalali. Namanya ternyata adalah 
Sultanah Bahiyah yang wafat tahun 831 H (1428 M) Pada makalah saya yang berjudul 
Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan Islam di Aceh (1981), 
dikemukakan bahwa Bahiyah yang dibaca Tichelman dapat dibaca Nahrisyah.
J.P. Moquette menguatkan teori Snouck Hurgronje tentang kedatangan 
Islam ke Indonesia melalui tulisannya yang terbit tahun 1913, yang menyatakan 
bahwa masuknya Islam ke Indonesia baru pada abad ke-13, yaitu antara 
tahun 1270-1275 M. Ia berhasil pula membaca nisan kubur yang memuat 
nama Sultan Malik as Salih (wafat tahun 696 H/ 1297 M), yang namanya 
tercantum dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, yang 
dibandingkan juga dengan berita Marco Polo. Moquette juga telah membaca 
nisan kubur putra Sultan Malik as Salih, yaitu Sultan Muhammad Malik az 
Zahir yang wafat tahun 726 H/ 1326 M. Sultan Malik as Salih disebutnya 
sebagai sultan pertama Samudera-Pasai, kerajaan bercorak Islam tertua di 
Indonesia ,
Pada tahun 1912, kemudian diperkuat lagi tahun 1920, J.P.Moquette berhasil 
mengadakan perbandingan antara nisan-nisan kubur dari Samudera Pasai 
tahun 822 H/ 831 M dan nisan kubur Malik Ibrahim di Gresik tahun 822 
H dengan nisan kubur di Cambay yang memuat nama Umar bin Ahmad alKhazaruni (wafat tahun 734 H). Berdasarkan persamaan bahan, jenis huruf, 
dan cara menulis pada nisan kuburnya, Moquette berkesimpulan bahwa nisan 
kubur dari Samudra Pasai dan Gresik berasal dari satu pabrik di CambayGujarat ,
Menjelang berdirinya Oudheidkundige Dienst (akhir tahun 1912) dan ketika 
lembaga tersebut berdiri tahun 1913, inventarisasi dan pendokumentasian 
serta penelitian peninggalan purbakala Islam berupa kompleks makammakam dan nisan-nisan kuburnya, bukan hanya dilakukan di Gampong 
Samudera dan Blangmeh di Kabupaten Lhokseumawe saja, melainkan juga di daerah Kutaraja (Banda Aceh) yang hasilnya dapat dilihat pada laporan 
Dinas Purbakala dari tahun 1912 sampai tahun 1917 
Inventarisasi dan penelitian di daerah Kutaraja yang dilakukan oleh 
Moquette pada tahun 1914 itu manghasilkan pembacaan nisan-nisan kubur 
yang terdapat di kompleks Kandang XII. Nisan-nisan kubur yang berhasil 
dibaca adalah yang memuat nama-nama sultan, seperti Sultan Ali Mughayat 
Syah (wafat tahun 936 H/ 1530 M), Sultan Salahuddin (wafat tahun 955 
H/ 1546 M), Sultan Alauddin al Khahar (wafat tahun 979 H/ 1571 M), Sultan 
Ali Ri’ayat Syah (wafat tahun 987 H/ 1579 M), dan Sultan Yusuf (wafat tahun 
987 H/ 1597 M) (Moquette, 1914: 73-80). Nama-nama Sultan yang dapat 
dibaca tersebut merupakan tokoh-tokoh sejarah karena dalam sumber-sumber 
lain nya, terutama dalam kitab Bustanussalatin dan Tajussalatin (abad 
17) yang telah ditelaah oleh Hoesein Djajadiningrat, nama para sultan itu 
sering disebut. Menurut Hoesein Djajadiningrat, nama Sultan Ali Mughayat 
Syah itu sama dengan nama Raja Ibrahim dalam berita Portugis 
Nisan kubur yang terdapat di kompleks makam Peuet Ploh Peuet, Minye 
Tujuh, merupakan nisan yang penting karena nisan pada bagian kakinya 
mem punyai tulisan yang menurut penelitian F.D.K Bosch merupakan jenis 
huruf Jawa kuno di Jawa Timur . Sementara menurut 
hasil bacaan W.F. Stutterheim, nisan kubur pada bagian kepala itu memuat 
syair dalam huruf Arab-Melayu yang memuat nama raja Iman Werda Rahmat 
Allah yang wafat tahun 781 H/ 1380 M, tanggal 14 hari Jumat. Nisan kubur 
tersebut memuat syair dalam bahasa Indonesia kuno bercampur bahasa 
Sanskerta ,
Pada tahun 1923, dengan bantuan R.A. Hoesein Djajadiningrat, J .P 
Moquette menelaah nisan kubur dari Samudera Pasai yang memuat nama 
Tuhan Perbu, putri Sultan Zainal Abidin yang wafat pada tahun 848 
H, hari J umat tanggal 17 Rajab atau J umat tanggal 30 Oktober 1444 M. 
Yang menarik perhatian, angka tahun yang dituliskan pada nisan tersebut 
didasarkan pada huruf abjad , Dari salah satu nisan kubur dari daerah Lhokseumawe, khususnya 
dari Meunasah Manchang atau Pi di Gampong Ulee Blang, didapatkan bukti 
adanya hubungan antara Indonesia dengan Persia (Iran) yang dinyatakan 
dengan adanya ghazal yang bercorak Sa’adi. Tanda-tanda, kata-kata, dan 
istilah pada akhir tiap bait terdiri dari 6 bait atau 12 m isra. Nama orang 
yang dikubur ialah Naina Husam Addin yang wafat pada bulan Syawal 823 
H/ Oktober-November 1420 M ,
Jika penelitian beberapa ahli tersebut hanya dilakukan pada beberapa 
nisan kubur dan dan bersifat fragmentaris, maka penelitian yang mendalam terhadap nisan-nisan kubur dari Samudera Pasai, Aceh besar, dan daerah 
lain nya, telah dilakukan oleh Hasan Muarif Ambary dan Othman Mohd. 
Yatim yang kedua-duanya menghasilkan disertasi. Dalam disertasinya 
yang berjudul L’Art Funeraire Musulm an en Indonesie des Origines au 
XIXe Siecle Eutude Epigraphique et Typologique (Paris, 1984), Hasan 
Muarif Ambary membicarakan sumber-sumber sejarah penyebaran Islam 
di Indonesia, kedatangan Islam ke Sumatera dan Jawa, pendirian kerajaan 
pertama Islam dan perkembangannya sampai abad ke-19 M, kebiasaan cara 
menguburkan jenazah dalam Islam di Indonesia berdasarkan Babad Tanah 
Jaw i, Negarakertabum i, Purw aka Tjaruban Nagari, Hikayat Banjar, Syair 
Kerajaan Bim a; pelaksanaan kebiasaan penguburan atas dasar etnograi, 
pemberian tanda-tanda pada kubur dan penguburan. Pada bagian kedua dibicarakan hasil-hasil studi regional diberbagai tempat, seperti Aceh, Malaysia, 
J awa, Wonosobo, Lampung, dan di situs-situs penguburan di J akarta. Di 
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bima, Kalimantan Selatan, dan 
daerah lainnya, diteliti secara sistematik bukti-bukti epigrai dan kronogram
pada nisan-nisan kubur serta nisan kubur yang mempunyai karekteristik 
seperti makam di Binamu Jeneponto dan tempat lainnya. 
Pokok bahasan disertasi Ambary yang merupakan sumbangan berharga 
adalah tentang penyebaran bentuk nisan-nisan kubur dengan tinjauan tipologi, karena dia berhasil mengkategorikan nisan-nisan kubur Aceh ke dalam 
beberapa tipe: bucrane-aile, tipe campuran bucrane-aile, tipe cylindrique, 
tipe-tipe yang berbeda dari Demak, Troloyo, Tipe-tipe Bugis-Makassar, 
Ternate, dan berbagai tipe lokal. Ambary juga menempatkan lokalisasi kuburkubur kuno secara tipologi yang berbeda di puncak-puncak bukit dan daerah 
masjid ,
Dalam disertasi Othman Mohd. Yatim yang berjudul Batu Aceh: Early 
Gravestones in Peninsular Malaysia (terbit tahun 1988 oleh Muzeum 
Association of Malaysia), hal yang penting diketahui adalah kajian tipologi 
nisan-nisan kubur yang disebut Batu Aceh yang dibagi dalam dua bentuk 
dengan pembagian sub-tipenya, yang dikenal dengan istilah tipe Othman A 
sampai N dengan ciri masing-masing yang kemudian ditelaah pula masingmasing tulisan, dekorasi, dan persebaran masing-masing tipe tersebut. Tipetipe nisan itu ditempatkan pula dalam kronologinya , Perlu dicatat bahwa Huzaeni telah berhasil pula mengadakan 
penelitian nisan-nisan kubur dari Samudera Pasai yang dibandingkan dengan 
data tertulis mengenai berbagai aspek sejarahnya. Hasil penelitian Huzaini 
dituangkan dalam tesis Pasca Arkeologi (S2), Universitas Indonesia.
Selain terhadap peninggalan berupa makam dengan nisan kuburnya, 
penelitian arkeologis juga dilakukan terhadap hasil-hasil bangunan. Pada 
tahun 1920-21, J . Kreemer telah menaruh perhatian terhadap Masjid Raya di Kutaraja (Banda Aceh). Menurut pendapatnya, Masjid Raya tersebut 
awalnya adalah Masjid Baiturrahman yang didirikan pada masa Sultan 
Iskandar Muda (1607-1636 M) dan diperbaiki pada 9 Oktober 1879 dengan 
mengacu pada gambar yang dibuat oleh arsitek Belanda bernama Bruins 
yang pada waktu itu bekerja pada Departement van Burgerlijke Openbare 
Werken.
Dengan terbitnya buku Atjeh oleh Kreemer (tahun 1922), dapat dikenal 
garis-garis besar mengenai kepurbakalan Islam di daerah Aceh, termasuk hasil 
bangunan yang ditempatkan secara khusus dalam satu bab , Ambary juga telah mengadakan penelitian terhadap Masjid Indrapuri di 
Kabupaten Aceh Besar. Masjid tersebut atapnya bertingkat dan diperkirakan 
dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda. Pada salah satu tiang bagian atas 
yang menjadi penyangga atap tingkat pertama masjid pada kayu yang dalam 
arsitektur Jawa disebut blandar, terdapat pahatan huruf Arab tahun 1107 H, 
yang lengkapnya berbunyi “hijrah nabi SAW: 1107.” Dari keterangan tertulis 
itu, Ambary menyimpulkan bahwa pada tahun 1107 H (12 Agustus 1695-2 
Juli 1696), telah diadakan perbaikan pada masjid tersebut. Jadi, angka tahun 
tersebut merupakan titim angsa perbaikan Masjid Indrapuri di mana angka 
tahun tersebut dapat dikaitkan dengan masa pemerintahan raja-raja Aceh, 
antara lain Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Oleh karena itu, pendapat 
bahwa masjid itu didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), 
tidak begitu meleset (Hasan M. Ambary, 1985: 42-46).
Mata uang yang juga merupakan benda cagar budaya adalah mata uang 
emas yang ditemukan dari Samudera Pasai, Aceh. Hasil penelitian H.K.J 
Cowan mengenai mata uang emas tersebut dapat menambah keterangan 
sejarah Kerajaan Samudra Pasai yang pernah dikemukakan oleh Moquette dan 
ahli lainnya. Mata uang yang ditemukan itu memuat nama Sultan Alauddin, 
Sultan Mansur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah ,
Selanjutnya, pada awal tahun 1973, saya menemukan 11 mata uang 
dirham. Di antara mata uang tersebut ada yang memuat nama Muhammad 
Malik az-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, yang kesemuanya adalah 
Sultan-Sultan Pasai yang dikenal pada abad ke-14 dan 15 M. Terdapat dua 
buah mata uang yang dibuat dari timah dan tulisannya sudah tidak dapat 
dibaca (Uka Tjandrasasmita, 1975: 233). Ibrahim Alian juga telah mengkaji 
sejumlah mata uang emas dari kerajaan-kerajaan Aceh dengan nama-nama 
sultan pembuatnya, ukuran-ukuran, serta gambarnya. Hasil penelitian 
Ibrahim diterbitkan pada tahun 1979 dengan judul Mata Uang Em as 
Kerajaan-Kerajaan di Aceh.
Mengenai peninggalan benteng-benteng juga telah mendapat perhatian 
dari Nasrudin dari Banda Aceh yang berhasil menyusun tesis S2 dari Uni versitas Indonesia pada tahun 1997 dengan judul Bentuk-Bentuk Benteng yang 
Fungsinya pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam Abad XVI-XVIII M.
Uraian di atas memfokuskan tentang pemanfaatan peninggalan kepurbakalaan Islam bagi kajian ilmu arkeologi, khususnya arkeologi Islam. 
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda yang disebut artefak 
dan feature guna menyusun kembali sejarah kehidupan masyarakat masa 
lampau , Karena sejarah masyarakat manusia 
di masa lampau itu mengandung beberapa aspek seperti politik, ekonomi, 
so sial, dan kebudayaan, maka benda-benda cagar budaya yang berupa pening galan kepurbakalaan bagi pemanfaatan keilmuan humaniora sudah 
tentu perlu didekati pula dari ilmu-ilmu lainnya seperti ekonomi, sosiologi, 
ekologi, teknologi, anthropologi, politik, religi, dan lainnya, yang merupakan 
interdisiplin seperti halnya sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial 
lainnya. 
Selain itu, tentu perlu dilakukan pula perbandingan dengan sumbersumber lain yang relevan. Mengingat arkeologi dan sejarah mempunyai tujuan 
yang sama, yaitu merekonstruksi kehidupan masyarakat masa lampau, maka 
kedua disiplin ini perlu saling membantu. Ilmu sejarah dengan pendekatan 
ilmu-ilmu sosial tersebut sudah berkembang sejak munculnya sejarawan 
Mazhab Annales di Perancis tahun 1929 yang dipelopori oleh Lucien Vebre, 
Marc Bloch, dan lain-lain. Karena itu, arkeologi pun dapat didekati dengan 
ilmu pengetahuan lainnya sehingga terbentuk apa yang disebut Environm ental 
Archaeology , dan lainnya  Untuk arkeologi Islam yang merupakan historic-archaeology, jelas tidak 
dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, bahkan dengan ilologi. 
Dengan demikian, maka tinjauan serta kajian arkeologi akan menambah 
cakrawala yang lebih luas.
Pemanfaatan bagi Pengembangan Kepariwisataan 
Bagian ini akan mendiskusikan kemanfaatan benda cagar budaya atau peninggalan kepurbakalaan Islam di daerah Aceh bagi pengembangan kepariwisataan. Dalam UU Nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, pasal 
4 ayat 1 b, dikatakan bahwa objek dan daya tarik adalah wisata hasil karya 
manusia yang berbentuk museum, peninggalan purbakala, peninggalan 
sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan 
alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Jadi, isi UU No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya atau peninggalan purbakala dan sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan 
kepariwisataan sesuai dengan isi UU No. 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan. Namun demikian, usaha pemanfaatan objek-objek benda cagar budaya bagi 
kepariwisataan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap benda 
cagar budaya dan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan tujuan perlindungan 
demi pelestarian dan pemanfaatannya seperti disebutkan dalam UU No. 5 
tahun 1992.
Objek-objek kompleks makam dengan nisan kubur yang bentuknya 
khas dan beraneka ragam, dekorasinya yang beragam pola hiasan, serta 
huruf-huruf kaligrais Arab bentuk tsulutsi, naskhi, nashtaliq dan kui, amat 
menarik perhatian terutama bagi wisatawan Muslim baik domestik maupun 
asing. Objek tersebut juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan dari negerinegeri Islam seperti Timur Tengah. Demikian pula masjid-masjid Indrapuri 
dan Masjid Raya Banda Aceh yang bergaya Timur Tengah, mata uang emas, 
dan benda hias lainnya yang tentunya harus disimpan di museum dapat 
menarik perhatian wisatawan. Nisan kubur, masjid kuno, benteng-benteng, 
gunongan, dan situs-situs bersejarah, merupakan daya tarik tersendiri bagi 
wisatawan di bidang keislaman. Namun demikian, semuanya itu harus sudah 
siap dipasarkan dan dikunjungi para wisatawan baik domestik maupun 
mancanegara. Artinya, objek-objek tersebut harus dalam kondisi yang prima, 
bersih, terpelihara, dan aman. Lebih akan menarik lagi apabila ditunjang oleh 
alam atau pemandangan indah di sekitarnya. Selain itu, jika ada, objek-objek 
lainnya seperti kesenian tradisional dapat dipertontonkan sebagai atraksi 
yang menarik. Dengan demikian, cultural dan natural tourism dapat saling 
menunjang dengan dipacu oleh promosi gambar yang menarik pula. 
Demikian manfaat objek-objek peninggalan sejarah dan purbakala atau 
benda cagar budaya bagi pengembangan kepariwisataan, khususnya di daerah 
Aceh dan umumnya Indonesia. Suatu pemanfaatan yang teramat penting 
untuk terus ditingkatkan demi persahabatan antardaerah di Indonesia sendiri 
dan antarbangsa di dunia.