arkeologi 6

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 6. Tampilkan semua postingan

arkeologi 6












UNTUK mendiskusikan topik ini, saya akan menggunakan sumber-sumber 
sejarah berupa hikayat, berita asing, arsip, dan karya-karya para ahli sejarah 
baik asing maupun pribumi, ditambah dengan peta-peta geograis. Di antara 
sumber hikayat atau kisah yang memuat sekilas cerita yang berkaitan dengan 
sejarah Pulau Berhala ialah Undang-Undang Negeri Jam bi. Konon dalam 
kitab itu, khususnya pada pasal sisilah keturunan Raja Jambi, diberitakan 
bahwa Raja Jambi yang bernama Tan Talani meninggal. Akibatnya, Jambi 
tidak punya raja lagi. Maka, turunlah anak Raja Pagar Ruyung, yaitu seorang 
perempuan yang bernama Tuan Putri Salaro Pinang Masak, putri tertua dari 
Raja Beramah. 
Tuan Putri Salaro Pinang Masak kemudian menjadi raja di Jambi dan 
ber kuasa di Tanjung Jabung. Ia kemudian menikah dengan Datuk Paduko 
Berhala, anak raja dari negeri Satambul dan keduanya (suami-istri) menjadi 
raja di tanah J ambi. Dari keduanya lahirlah empat orang anak. Yang tua 
bernama Orang Kayo Pingai dan yang muda bernama Orang Kayo Kedataran. 
Anak yang ketiga bernama Orang Kayo Hitam dan yang paling muda, seorang 
perempuan, bernama Orang Kayo Gemuk. Di antara keempat putra Datuk 
Paduko Berhala dengan Tuan Putri Salaro Pinang Masak tersebut, yang 
kemudian menjadi raja di J ambi dan menyebarkan Islam adalah Orang 
Kayo Hitam dengan lambang pemegang pusaka kerajaan, yaitu sebuah keris 
bernama “Siginjai” (Nazir, 1979).
Selanjutnya, dalam kitab Undang-Undang Negeri Jam bi diceritakan 
bah wa, ketika Orang Kayo Hitam pergi ke J awa, Datuk Paduko Berhala 
yang sudah tua meninggal dunia dan dimakamkan oleh Orang Kayo Pingai �di Pulau Berhala (Iskandar Zakaria dkk., 1991/ 1992: 22-29). Mengenai per�nikahan antara Tuan Putri Salaro Pinang Masak dengan Datuk Paduko 
Berhala dan anak-anaknya, dalam Pasal 12 Undang-Undang Negeri Jam bi
itu, Oemar Ngebi Suto Dilago Peria Rejo Sari yang menulis naskah itu tahun 
1358 M, mengatakan bahwa nama sebenarnya ayah Orang Kayo Hitam yang 
diberi gelar Datuk Paduko Berhala adalah Ahmad Salim, pembawa Islam 
dari Kerajaan Turki yang terdampar dekat Pulau Berhala (Iskandar Zakaria 
dkk., 1991/ 1992: 210).
Cerita tentang keberadaan Datuk Paduko Berhala telah menjadi cerita 
tradisional masyarakat dan seringkali dipetik oleh pemerhati sejarah dan bu�daya dari luar. Di antaranya adalah J. Tideman yang menulis tentang Jambi 
(Tideman, 1938: 29, 64-65, 82-83).
Berdasarkan sumber dari Undang-Undang Negeri Jam bi, di mana di be�ritakan bahwa Datuk Paduko Berhala sejak awal mendarat di Pulau Berhala 
dan setelah meninggal dunia juga dimakamkan di tempat itu, maka Pulau 
Ber hala jelas masuk ke wilayah Kerajaan J ambi. Terlebih ketika Kerajaan 
J ambi sudah di tangan pemerintahan Orang Kayo Hitam, sosok raja yang 
ter kenal baik menurut sumber-sumber hikayat maupun cerita tradisional 
masyarakat.
Berita Portugis, yaitu Sum a Oriental yang ditulis Tome Pires di Malaka 
dan India tahun 1512-1515, memberikan gambaran tentang Tanah Tungkal 
dan Jambi dari segi letak geograisnya serta kehidupan perekonomian atau 
per dagangannya. Tome Pires juga menyebut pulau-pulau Calantiga yang 
terletak di depan Tanah Tungkal. Yang dimaksud dengan Calantiga ialah tiga 
ke pulauan yang berada di tengah-tengah yang disebut pulo. Mengenai tanah 
Jambi, Cortesao menyatakan: “Pada satu sisi, Tanah Jambi terletak di depan 
Tanah Tungkal dan pada sisi lain bersebelahan dengan Palembang, mengarah 
ke Minangkabau dan di depannya adalah Pulau Berhala.” (Cortesao, 1944: 
153-154, petanya di halaman 228; Uka Tjandrasasmita, 1992: 326-327). Dari 
berita Tome Pires itu, jelas bahwa Pulau Berhala termasuk ke daerah Jambi. 
Apabila pada abad ke-15 M dan ke-16 M, sesuai pemberitaan hikayat atau 
Undang-Undang Negeri Jam bi dan pemberitaan Tome Pires dalam Sum a 
Oriental-nya, maka Pulau Berhala tempat Datuk Paduko Berhala awal 
mendarat dan meninggal, sudah termasuk Kerajaan Jambi. 
Besar kemungkinan lalu lintas pelayaran dan perdagangan baik regional 
maupun internasional yang menuju Selat Malaka terlebih dahulu melintasi 
pulau tersebut. Peranan pelayaran dan perdagangan, sesuai dengan fungsi 
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, mungkin sudah ada sejak abad-abad 
pertama Masehi. Hal itu dapat dibuktikan oleh sumber-sumber Tionghoa�Arab, temuan benda-benda keramik, percandian dan lain-lain di sepanjang 
DAS Batanghari (Tjandrasasmita, 1992: 310-335). Berdasarkan penelitian �paleogeograi, S. Sartono mengira bahwa Teluk Wen, sebuah teluk besar yang 
terdapat dalam berita Tionghoa T’ai P’ing Yu Lan, terletak jauh di daerah 
pedalaman Jambi di mana terdapat beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan 
Ko-Ying, sebelum munculnya Kerajaan Melayu (Sartono, 1981: 39-40). Sejak 
Kerajaan Ko-Ying (sekitar abad ke-3 M), kemungkinan sudah terjadi kegiatan 
pelayaran dan perdagangan dengan negeri-negeri Tongkin di Asia Tenggara 
daratan bahkan dengan India barat laut di mana para pedagang Yue-Chih 
mengimpor kuda-kuda dari Kunu atau Kanadwipa. Sedangkan komoditas 
yang diekspor dari Ko-Ying ialah batu permata, batu giok, emas, kristal, 
buah pinang (areca-nuts), dan barang-barang lain (Wolters, 1967: 60; Uka 
Tjandrasasmita, 1992: 312).
Perdagangan internasional kemudian dilanjutkan sejak Kerajaan Melayu 
abad ke-7 M dengan Tiongkok dan India bahkan pada pertengahan abad 
ke-9 M di mana mulai muncul nama Chan-Pei yang dapat disamakan dengan 
Jambi. Penamaan Jambi itu mungkin sekali diambil dari nama buah jambe 
atau pinang, salah satu di antara barang dagangan yang dihasilkan di daerah 
Jambi. Jenis buah-buahan yang disebut jambe itu, sekitar pertengahan abad 
ke-9 M seringkali dijadikan barang ekspor yang diambil dari daerah Jambi 
oleh orang Po-Ssu (Persia/ Iran). Adanya keramik-keramik Tionghoa dari 
masa Sung, Yuan, Ming, Cing, Thailand, Timur Tengah, Jepang, dan Belanda 
yang banyak ditemukan di DAS Batanghari, memberi bukti adanya aktivitas 
perdagangan internasional (Abu Ridho, 1992: 298-306; 1995: 198-214). 
Yang menarik perhatian, di daerah Muara Sabak, ditemukan wadah 
dari gelas atau kaca yang berasal dari Timur Tengah. Nama Muara Sabak 
yang letaknya berada di pesisir timur Provinsi Jambi, termasuk Kabupaten 
Tanjung J abung, menarik perhatian karena mungkin nama tersebut dapat 
diidentiikasikan dengan Zabag yang pernah diberitakan orang Arab, Abu 
Zayd. Abu Zayd mengatakan bahwa dahulu ada konlik antara Zabag dengan 
Kamboja. Ibnu Sulaiman juga menyebut-nyebut Maharaja Zabag atau Sribuza 
yang menurut N.J. Krom, nama-nama itu tidak lain untuk menyebut Sriwijaya 
(Krom, 1931: 133). Tetapi, belum diketahui apakah nama Zabag dapat di�hubungkan dengan Muara Sabak yang terletak di pesisir timur Provinsi 
Jambi, suatu tempat yang juga banyak ditemukan benda-benda purbakala, 
dan tempat tersebut berhadapan dengan Selat Malaka, jalur lalu-lintas 
pelayaran dan perdagangan internasional.
Demikian pentingnya peranan DAS Batanghari dalam perdagangan re�gional dan internasional sejak abad-abad pertama sampai abad-abad ke-16 M 
dan abad-abad selanjutnya. Oleh karena itu, VOC Belanda, sejak abad ke-17 
M berkeinginan melakukan perdagangan dengan Jambi, dengan mendirikan 
kantor dagang atau loji di Muara Kumpeh pada tahun 1615-1616. Tujuannya 
adalah untuk pembelian lada dan hasil hutan lainnya (J.W.J. Wellan, 1926: �339-383). Akan tetapi, adanya perdagangan dengan pihak VOC di Jambi, se�lalu menimbulkan kerusuhan dan pertentangan dengan sultan-sultan Jambi 
bahkan menimbulkan perlawanan yang hebat dari rakyat J ambi de ngan 
gugurnya Sultan Thaha pada bulan April 1904. Peristiwa gugurnya Sultan Thaha 
tidak menyebabkan berhentinya perlawanan rakyat Jambi. Ka re na ternyata 
pada tahun 1916, tanggal 1 sampai 2 September, masih ada pemberontakan�pemberontakan yang dilakukan rakyat Jambi, di Muara Tebo.
Meski keamanan belum reda, pemerintah Hindia-Belanda, melalui 
Koninklijk Besluit tanggal 1 Februari 1906, menyatakan bahwa Jambi adalah 
daerah yang langsung diperintah Hindia Belanda sebagai tindak lanjut dari 
Indische Stb. 1906 No. 187 Jo No. 239 dan 250 Afdeeling. Jambi disatukan 
dengan Kerinci sebagai daerah bagian barat Jambi di bawah seorang residen. 
Dikatakan bahwa Residensi Jambi terbagi atas Afdeeling Djambi yang ter�bagi lagi atas Onderafdeeling, yaitu: J ambi, Muaratembesi, Muaratebo, 
Muarabungo, Sorolangun. Dikatakan bahwa Kepulauan Berbak yang terletak di 
muara Sungai Berbak di sebelah kanan muara Sungai Batanghari dan gugusan 
Pulau Berhala yang terletak berhadapan dengan Tanjung J abung, adalah 
termasuk dalam wilayah Residens: J ambi. Termasuk pada Onderafdeeling 
Jambi itu adalah pulau-pulau Berbak dan Berhala (Tideman, 1938: 4). 
Berdasarkan surat-surat keputusan pemerintah Belanda yang dicantumkan 
pada Lembaran Negara (Staatsblad) di atas, sekaligus dengan peta Residensi 
Jambi dan sesuai pula dengan cerita baik tertulis maupun lisan pada Undang�Undang Negeri Jam bi, maka secara historis, Pulau Berhala yang ada di depan 
Tanjung Jabung dan termasuk Kabupaten Tanjung Jabung, sejak lama sudah 
masuk ke dalam wilayah Jambi dari masa kerajaan-kerajaan Jambi sampai 
pada masa terbentuknya Karesidenan dan kini Provinsi Jambi. �




PERNASKAHAN klasik yang dimaksud di sini adalah naskah yang menjadi 
objek penelitian, yaitu naskah-naskah yang ditulis tangan atau manuskrip 
(ms, mss) atau (hs, hss) yang berasal dari periode klasik. Berdasarkan 
pendapat V.I. Braginsky dalam The System of Classical Malay Literature, 
sejarah kesusastraan pertengahan terbagi atas tiga periode: (1) periode ke�susastraan Melayu kuno (masa indianisasi kerajaan-kerajaan di Sumatera 
dan Semenanjung Melayu) yang meliputi waktu dari abad ke-7 sampai awal 
pertengahan abad ke-14 M, (2) periode kesusastraan Islam awal, dari awal 
pertengahan abad ke-14 sampai awal pertengahan abad ke-16, (3) periode 
kesusastraan klasik yang meliputi waktu dari awal pertengahan abad ke-16 
sampai pertengahan awal abad ke-19 (V.I. Braginsky, 1993: 9-10). 
Dengan demikian, yang menjadi objek penelitian adalah khasanah per�naskahan klasik yang umumnya berasal dari awal pertengahan abad ke-16 
sampai pertengahan awal abad ke-19 M.
Untuk mengetahui keberadaan pernaskahan itu, dapat dilihat dalam 
be berapa katalog yang ada di lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, 
baik dalam maupun luar negeri, dan juga mungkin dari koleksi perorangan 
atau himpunan-himpunan dalam masyarakat. Katalog pernaskahan itu antara 
lain: (1) Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departem en Pen�didikan dan Kebudayaan 1972 (Tim Drs. M Sutaarga), (2) Koleksi naskah�naskah di 26 Museum Provinsi, (3) Naskah Sunda: Inventarisasi dan 
Pencatatan, Edi. S. Ekadjati, Universitas Pajajaran bekerjasama dengan 
Toyota Foundation, Bandung, 1998, (4) Katalog Naskah Melayu Bim a 1 dan 
II, Dr. S.W.R Mulyadi dan Maryam R. Salahuddin SH, Yayasan Museum �Kebudayaan Samparaja Bima, 1990, (5) Katalog Induk Naskah-Naskah 
Nusantara Museum Sonobudoyo-Yogyakarta, disunting oleh T.E. Behrend, 
Penerbit Djambatan, 1990, (6) Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah�Naskah Indonesia Sedunia, Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, 
Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, 1999, (7) 
Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in 
Indonesian Languages in Britich Collections, M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve, 
Oxford University Press, 1997.
Masih banyak lagi katalog naskah-naskah kuno di Indonesia, khususnya 
di Perpustakaan Nasional, dan luar negeri. Demikian pula naskah-naskah yang 
telah dicatat oleh Uka Tjandrasasmita dalam beberapa catatan tentang naskah 
kuno islami Indonesia berjudul Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Agam a 
dan Probem atika Masa Kini, Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta, 1996.
Namun demikian, dalam mencari data berupa naskah-naskah di berbagai 
lembaga melalui katalog-katalog itu, perlu diperhatikan apakah naskah yang 
akan diteliti itu digunakan untuk tujuan penelitian ilologi, sejarah, arkeologi, 
budaya, perdagangan, pertanian, birokrasi pemerintahan, sistem keprajuritan, 
organisasi sosial, struktur sosial, dan sebagainya. Selain itu, dalam meneliti 
pernaskahan perlu ditentukan sejauh mana jangkauan lokasinya. Dengan 
demikian, dalam mencari data dari katalog, terlebih dahulu ditentukan arah 
atau sasaran yang akan dikerjakan sesuai judul, waktu, ruang, dana, sarana 
dan prasarana yang dipersiapkan bagi penelitian yang hendak dicapai.
Naskah-naskah klasik itu ada dalam berbagai bahasa: Arab, Melayu, 
Bugis, Makassar, Jawa, Sunda, dan bahasa daerah lainnya. Aksaranya juga 
bermacam-macam. Ada yang ditulis dalam aksara (tulisan) J awi (Arab�Melayu), Pegon (Arab Sunda atau Jawa), Sunda, Jawa, Bugis, Rencong, dan 
lain-lain. Mengenai kebahasaan dan aksara yang dipakai, memang merupakan 
ma salah. Karena, belum tentu seorang ilolog menguasai semua bahasa dan 
aksara daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, untuk mengenali dua atau tiga 
jenis bahasa dan aksara daerah, seorang ilolog perlu mempelajarinya dengan 
tekun. Untuk ahli-ahli lain, misalnya ahli sejarah, antropologi, hukum, dan 
lain nya, dapat menggunakan sumber naskah hasil penelitian ilologi untuk 
bidang kajiannya masing-masing.
Berbagai naskah klasik mengandung berbagai informasi yang berlimpah. 
Karena isi naskah tidak terbatas pada kesusastraan, tetapi mencakup berbagai 
bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, teknik, dan 
lain-lain, maka para ahli di berbagai bidang semestinya memanfaatkan data 
yang terpendam dalam koleksi naskah. Demikianlah himbauan Chambert�Loir & Oman Fathurahman dalam kata pengantar bukunya, Khazanah 
Naskah Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (Ecole français 
d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, 1999: 7).
�Beberapa ahli telah menggunakan data naskah-naskah lokal untuk meng�ungkapkan sejarah lokal. Di antara mereka adalah Hoesein Djajadiningrat de�ngan disertasinya berjudul Critische Beschouw ing van de Sejarah Banten: 
Bijdrage Terkentschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving, Haarlem�Nederland, 1913; C.A. Mees dalam De Kronik van Kutai, 1935; A.A. Cense 
dalam De Kronik van Banjarm asin, 1928; J. Noorduyn dalam Een Achtiende 
Eeuw se Kronik van W ajo (1955), J.J. Ras dalam Hikayat Banjar: A Study 
in Malay Historiography , Leiden, 1968; H.J . De Graaf dan Th.G.Th. 
Pigeaud dalam De Eerste Moslim se Vorstendom m an op Java: Studien 
over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw, VKITLV, 
’S-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1974; M.C. Ricklefs dalam Yogyakarta 
Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, London-Oxford University Press, New 
York-Kuala Lumpur, 1974.
Di samping itu, beberapa ahli telah memberikan gambaran tentang segi 
keagamaan, antara lain suisme. Hal tersebut didasarkan pada naskah-naskah 
klasik yang berisi tentang tasawuf, antara lain B.J.O. Shcrieke dalam Het 
Boek van Bonang, 1916; H. Kraemer dalam Een Javaansche Prim bon uit de 
Zestiede Eeuw, 1921; Johan Doorenbosch dalam De Geschriften van Ham zah 
Fansuri Uitgegeven en Toegelich (1993); C.A.O. Van Nieuwenhuijzen dalam
Sam s al-Din van Pasai: Bijdragen tot de Kennins der Sum atraanche Mystiek
(1945). Masih ada beberapa ahli yang telah menelaah keagamaan berdasarkan 
naskah-naskah suistik, termasuk ahli-ahli dalam negeri seperti Tujimah, A. 
Hasymi, Ahmad Purwadaksi, dan Nabilah Lubis (Uka Tjandrasasmita, 1996: 
245, 246, 248).
Para ahli di atas, terutama yang menulis sejarah lokal berdasarkan data 
naskah-naskah itu, sebenarnya belum menggunakan pendekatan Annales 
yang sudah dikenal sejak sekitar tahun 1929 dengan munculnya sejumlah 
sejarawan Perancis yang memelopori pendekatan sejarah dengan ilmu-ilmu 
sosial, antara lain Lucien Febre, Marc Bloch, Albert Demangeon, dan G. 
Espinas. Ahli-ahli sejarah ini menerbitkan karyanya dalam majalah Annales 
L’Histoire Econom ique et Socilae’. Karena itu, aliran sejarawan tersebut 
terkenal dengan Mazhab Annales (Marwick, 1970: 74).
Pengaruh mazhab ini sampai ke Belgia, Inggris, J erman, dan bagian 
Eropa lainnya, termasuk Amerika, tetapi agaknya tidak mempunyai pengaruh 
kepada sejarawan Belanda (Peter Burke, 1990: 94-105). Oleh karena aliran 
Annales tidak mempengaruhi sejarawan Belanda, maka mereka yang mengajar 
di Indonesia tidak menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sejarawan 
Belanda di Indonesia yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial antara 
lain J.C. van Leur dalam Indonesian Trade and Society (1955), Schrieke, dan 
Wertheim. Baru sejak tahun 1960-an, Sartono Kartodirdjo menyemarakkan 
kajian sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, melalui disertasinya The Peasant’s Revolt of Banten in 1988; Its Conditions, Course and Sequel: A 
Case Study of Social Movem ents in Indonesia, ‘S-Gravenhage, 1966.
Contoh-contoh sejarawan yang menggunakan naskah dengan pendekatan 
sejarah intelektual antara lain Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulam a Tim ur 
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan, 1994) 
dan Suntingan Ahmad Rifa’i Hasan, W arisan Intelektual Islam Indonesia: 
Telaah atas Karya-Karya Klasik (1987, 1990, 1992). Selain itu, Martin van 
Bruinessen dalam bukunya Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (1992) dan
Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia 
(1995), juga banyak menggunakan naskah-naskah klasik.
Karya tulis berupa disertasi tentang hukum yang menggunakan naskah�naskah Jawa adalah karya Suripto dalam Ontw ikkeling den Vorstenlandsche 
W etboeken, Leiden, 1929; G.A.J . Hazeu, Cirebonch W etboek (Papakem 
Cirebon), Van het Laar, 1968. VBG LV, 2de Stuk 1905; dan Mason Claude 
Hoadley, Javanese Procedural Law : A History of The Chirebon-Priangan 
Jaksa Colledge 1706-1735, Cornell University, Januari, 1975.
Dalam menelaah arkeologi perkotaan juga telah digunakan naskah-naskah 
untuk menyoroti masalah morfologi, struktur sosial, struktur ekonomi, sistem 
birokrasi kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan. Telah dipergunakan 
juga naskah-naskah yang berisi sastra sejarah seperti hikayat, tambo, babad, 
carita, dan lain-lain. Di antaranya dapat dibaca dalam Uka Tjandrasasmita, 
Masa Pertum buhan dan Perkem bangan Kota-Kota Muslim di Indonesia 
Abad ke-XIII sam pai Abad ke-XVIII Masehi, PT. Menara Kudus, 2000, dan 
Inajati Adrisijanti dalam Arkeologi Perkotaan Mataram Islam , Penerbit 
Jendela, Yogyakarta, 2000.
Dari beberapa contoh di atas, jelaslah penelitian pernaskahan klasik dari 
berbagai disiplin ilmu memberikan peluang yang besar. Tulisan-tulisan saya 
sendiri telah menggunakan pendekatan Mazhab Annales, sebagaimana telah 
diungkapkan dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VI, 12-14 
Agustus 2002, Manassa cabang Bandung, dalam makalah berjudul “Naskah�Naskah Kuno dan Tinggalan Arkeologi” (Perpustakaan Nasional, 2004), dan 
“Historical Archaelogy-Filologi dan Rekonstruksi Kebudayaan Islam Masa 
Lampau di Indonesia” dalam Simposium Internasional Pernaskahan dan Munas 
Manassa ke-3 di Wisma Syahida UIN Syarif Hidayatullah, 26-28 Juli 2004.
Namun demikian, masih terdapat ribuan naskah yang belum dijadikan 
objek penelitian dari berbagai bidang keahlian, misalnya tradisi, hukum adat, 
obat-obatan tradisional, teknologi arsitektur, upacara keagamaan, geograi, 
status sosial, dan lain-lain. Namun, telaah berdasarkan naskah-naskah itu 
dengan sendirinya memerlukan objektiitas dengan metodologi yang telah 
diteliti, baik dari segi ilologi maupun dari segi sejarah.
Selain itu, diperlukan perbandingan dengan sumber-sumber asing, berita, �dokumen, dan arsip. Pernaskahan juga penting bagi petunjuk penelitian 
arkeologi, mengingat dalam sastra-sastra sejarah banyak sekali situs, peristiwa 
peperangan, peristiwa wafatnya raja-raja, pendirian kota, pendirian keraton, 
dan lainnya, yang dapat memberikan petunjuk bagi penelitian arkeologi. 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, kha�zanah pernaskahan amat penting sebagai objek penelitian di berbagai bi�dang keilmuan. Kedua, khazanah pernaskahan yang akan dijadikan objek 
pe nelitian perlu dipilah-pilah terlebih dahulu sesuai dengan tujuan penelitian 
yang dikehendaki. Perlu dicermati segi keabsahannya sebagai sumber, baik 
isik maupun isinya (perlu kritik internal dan eksternal). Ketiga, agar objektif, 
naskah yang telah dikaji dari segi ilologi harus dikomparasikan dengan 
dokumen lain berupa arsip, berita asing, dan lainnya. Keem pat, jika penelitian 
naskah itu bukan didasarkan dari hasil penelitian sendiri dari segi ilologi, 
maka sekurang-kurangnya dapat digunakan hasil penelitian oleh ilolog lain. 
Kelim a, penerapan pendekatan ilmu-ilmu sosial dengan dasar data dari per�naskahan perlu hati-hati. Karena, tidak semua konsep ilmu-ilmu sosial dapat 
di terapkan untuk menganalisis masyarakat tradisional.



SEBAGIAN besar ahli ilologi berpendapat bahwa studi naskah (m anuscript) 
sangat penting, karena naskah menyimpan informasi yang berlimpah, lebih 
banyak daripada sastra. Ia mengandung bidang-bidang seperti agama, sejarah, 
hukum, adat istiadat, obat-obatan, teknologi, dan lebih banyak lagi. Para ahli 
berbagai bidang seharusnya dapat memanfaatkan kekayaan informasi ini. 
Ahli hukum dan ahli sejarah telah lama menyadari hal ini, namun mereka 
biasa menggunakan edisi teks yang disunting dan diterbitkan ahli-ahli ilologi 
(ilolog), sementara naskah yang belum diterbitkan banyak sekali jumlahnya 
(Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, 1999: 19-20).
Terdapat ribuan naskah dalam beragam bahasa lokal di Indonesia yang 
telah disimpan, dilindungi, dan didaftarkan oleh beberapa lembaga, yang di�temukan di Indonesia maupun di beberapa negara lain. Tetapi, masih sedikit 
yang telah dipelajari oleh para ahli. Untungnya, pengetahuan tentang kum�pulan naskah tersebut diinformasikan oleh beberapa katalog yang telah 
dihasilkan oleh ilolog dari lembaga-lembaga yang terkait. Daftar kumpulan 
naskah-naskah Indonesia di beberapa negara di dunia telah disebutkan dan 
di catat oleh Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman dalam Khazanah 
Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia (World Guide to 
Indonesian Manuscript Collections) (Uka Tjandrasasmita, 1996: 235-263). 
Menurut Chambert-Loir, di antara negara-negara di dunia, Belanda mem�punyai kumpulan naskah Indonesia yang paling banyak yang ditulis dalam 
bahasa Melayu dan huruf Jawi. Dia juga menyebutkan bahwa Wieringa telah 
menyusun suatu daftar (katalog) baru yang lengkap dan sistematis pada 
1998 dengan tujuan menghimpun semua naskah-naskah berbahasa Melayu. �Sebenarnya meskipun bukunya setebal 600 halaman lebih, tetapi dia menyusun 
tidak lebih dari seperempat kumpulan naskah di Perpustakaan Universits 
Leiden (Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, 1999: 136, 139). 
Di Perpustakaan Nasional Indonesia, naskah-naskah Melayu telah 
dibuatkan katalog yang mencatat sebanyak 953 naskah yang terdiri dari 6 
kelompok: hikayat (chronics) 243 naskah, cerita-cerita kenabian (the stories 
on prophetics) 138 naskah sejarah (history) 55 naskah hukum dan adat (law 
and custom s), 50 naskah puisi (poetry ), 99 naskah literatur agama Islam 
(literature of Islam Religion), 275 naskah aneka ragam (m iscelaneous) (Amir 
Sutaarga, 1972: xx). 
Koleksi lain naskah Melayu dapat ditemukan dalam beberapa katalog 
yang telah dipublikasikan oleh beberapa lembaga di Indonesia maupun di 
negara lain di dunia. Selain buku Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, 
beberapa katalog yang telah dipublikasikan adalah karya M.C. Ricklefs dan 
P. Voorhoeve, Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of 
Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections, Oxford 
University Press, 1977. Di Indonesia, selain katalog naskah Melayu di 
Museum Nasional (1972), terdapat koleksi naskah berbahasa Indonesia di 
beberapa museum daerah yang telah tercatat dalam makalah saya, seperti 
Beberapa Catatan Tentang Naskah-Naskah Kuno Islam i Indonesia; Dr. T.E. 
Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara I Museum Sonobudoyo, 
Yogyakarta, J embatan: J akarta, 1990 ; S.W.R Mulyadi dan Maryam R. 
Salahuddin, SH., Katalog Naskah Melayu Bim a I dan II, Yayasan Museum 
Kebudayaan “Samparaja” Bima (1990), dan masih banyak lagi.
Karena Belanda memiliki koleksi naskah Indonesia paling banyak, 
terutama naskah berbahasa Melayu, maka sebuah kelompok yang diketuai 
oleh Prof. Dr. H.M. Atho, berkunjung ke Belanda untuk sebuah studi 
komparatif demi memperkaya pengetahuan mengenai ilologi. 
Tulisan ini difokuskan pada naskah-naskah Melayu, karena memang 
sebagian besar naskah Melayu kaya akan kisah-kisah yang melukiskan 
beragam aspek Islam, seperti sejarah, riwayat, literatur, adat istiadat dan 
hukum, obat-obatan, suisme dan tarekat, teologi, ikih, politik, ekonomi, 
perdagangan, transportasi, arsitektur, organisasi sosial, mobilitas sosial, 
struktur sosial, dan sebagainya. 
Sebagian besar naskah Melayu, terutama setelah masuk dan ber kem�bangnya Islam, ditulis oleh ulama yang memiliki jaringan bagi transmisi 
naskah-naskah tersebut dan membuat salinan (copy ) untuk kebutuhan 
masyarakat dalam wilayah yang jauh dan luas. Beberapa pelajar dari sekolah�sekolah agama tradisional seperti rangkang, dayah, surau, pondok, dan pe�santren, membutuhkan naskah-naskah Melayu yang ditulis oleh ulama 
terkenal. Sebagai contoh naskah-naskah yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, �Nur al-Din al-Raniri, dan Abd al-Rauf al-Singkili dari abad ke-17 di Aceh, 
dalam waktu yang singkat disalin secara langsung dalam beberapa wilayah di 
Indonesia seperti di Bima, Buton, dan sebagainya (Azyumardi Azra, 2004).
Bagaimanapun, permulaan studi naskah-naskah Indonesia yang ditulis 
dalam bahasa dan tulisan lokal, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Melayu, 
dan sebagainya, dilakukan oleh para ilolog asal Belanda. Siti Baroroh Baried 
menyebutkan bahwa studi ilologi diterapkan untuk naskah-naskah warisan 
Indonesia dengan mengikuti ahli ilologi Belanda. Dia juga menyebutkan 
kegiatan-kegiatan beberapa ilolog dalam mempelajari naskah-naskah di 
Nusantara (Siti Baroroh Baried, 1994: 45-54). 
Sarjana asal Belanda yang telah mempelajari naskah-naskah Islam, di 
antaranya adalah B.J .O. Schrieke dalam karyanya Het Boek van Bonang
(1916) yang kemudian diteliti oleh G.W.J. Drewes dalam The Adm onitions 
of Syekh Bari (1969), H. Kraemer dalam Een Javaansche Goeroe’s, Hun 
Leven Onderricth en Messiasprediking (1925), Johan Doorenbosch dalam De 
Geschriften van Ham zah Fansuri, Uitgegeven en Toegelichk (1933), C.A.O. 
Van Niewenhuijze dalam Sam s al-Din van Pasai: Bijdragen tot de Kennis 
der Soem atraansche Mystiek (1945), P. Voorhoeve dalam Tw ee Malesche 
Geschriften van Noeroeddin ar-Raniri (1955). Masih banyak sarjana Belanda 
lain yang telah mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai studi 
naskah-naskah Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan aspek-aspek 
keislaman.
Sarjana-sarjana yang mempelajari ilologi dan telah menerbitkan buku 
serta artikelnya, di antaranya: Tujimah dalam Asrar al-Insan i Ma’rifa al�Ruh w a-al-Rahm an (1961), T. Iskandar dalam Syam suddin al-Sum atrani: 
Tokoh W ujudiyah (1965), A. Hasymi dalam Ruba’i Ham zah Fansuri Abad 
XVII (1976), Nabilah Lubis dalam Zubdat al-Asrar i Tahqiq Masyarib al�Akhyar yang diterbitkan dengan judul: Syekh Yusuf al-Taj al-Makassari: 
Menyingkap Intisari Segala Rahasia (1992), Ahmad Purwadaksi dalam 
Raw atib Sam m an dan Hikayat Syeikh Muham m ad Sam m an: Suntingan 
Naskah dan Kajian Isi Teks (1992), Oman Fathurahman dalam Syattariah 
di Sum atera Barat. 
Terdapat ahli yang tidak selalu menulis artikel atau buku yang terfokus 
pada suisme Islam, namun lebih memperhatikan persoalan antara Islam dan 
mistik Jawa, misalnya H. Muhammad Rasyidi dalam tesisnya Considerations 
Critiques du Livre Centini (1956), G.W.J . Drewes dalam The Struggle 
Betw een Javanism and Islam as Illustrated by Serat Darm ugandul (1966) 
(Uka Tjandrasasmita, 1998: 20).
Sejak permulaan abad ke-20, ada beberapa sarjana yang mempelajari 
ilologi dan penerapannya untuk rekonstruksi sejarah yang kebanyakan 
sejarah lokal. Dengan kata lain, ada upaya-upaya dari para ilolog dalam �menerapkan ilologi untuk studi sejarah. Naskah-naskah yang dipakai untuk 
historiograi lokal, sebagian besar adalah hikayat, babad, tambo, sajarah, dan 
carita, yang tergolong ke dalam kelompok riwayat lokal.
Salah seorang sarjana Indonesia, Hoesein Djajadiningrat, menulis sejarah 
lokal Banten dengan menggunakan naskah Sedjarah Banten dan riwayat lain 
yang berkaitan dalam disertasinya Critische Beschouw ing van de Sedjarah 
Banten, Bijdrage Terkentschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving
(Leiden, 1913). Menariknya, dia juga menggunakan catatan asing untuk 
menguatkan argumentasi historisnya. Dua tahun sebelumnya, Hoesein 
Djajadiningrat sebenarnya telah mempublikasikan artikelnya Critisch Overzicht 
van de in Maleische W erken Vervatte Gegevens over de Geschiedenis van 
het Sultanat van Aceh (1911). 
Selain itu, terdapat pula sejumlah karya sarjana dari luar negeri, 
misalnya Leyden, Sejarah Melayu (1921), Hans Overbeck, Hikayat Hang 
Tuah (1922), A.A. Cense, Kroniek van Banjarm asin (1928), C.A. Mees, De 
Kroniek van Kutai (1935), J. Noorduyn, En Achtiende Eeuw se Kroniek van 
Wadjo Buginese Historiograie (1955). 
Sarjana Indonesia lain yang menggunakan periwayatan lokal dalam 
penulisan sejarahnya adalah E.S. Ekadjati dalam Ceritera Dipati Ukur Karya 
Sastra Sejarah Sunda (1979, 1982) (Uka Tjandrasasmita, 1998: 21).
Menarik untuk mencatat nama H.J. de Graaf yang telah menulis banyak 
artikel dan buku, khususnya mengenai sejarah Jawa, dengan menggunakan 
banyak naskah berbahasa J awa sebagai sumber historis. Graaf menulis de 
Regering van Panem bahan Senapati Ingalaga (1954), De Regering van 
Sultan Agung Vorst van Mataram (1613-1646) en die van zijn Voorhanger 
Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613) (1958). Bersama G.Th. Pigeaud, 
Graaf menulis De Eerste Moslim se Vorstendom m en op Java: Studien over 
de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en de 16 de Eeuw (1974).
Dua tahun setelah mempublikasikan De Regeering van Panem bahan 
Senapati Ingalaga (1954), Graaf dikritik oleh C.C. Berg yang berpendapat 
bahwa Panembahan Senapati dan Panembahan Krapyak Mataram bukanlah 
tokoh sejarah. De Graaf menjawab melalui artikelnya De Historische 
Betrouw baarheid van de Javaanse Overlevering (1956), bahwa keduanya riil 
merupakan tokoh historis berdasarkan Babad Tanah Jaw i, Babad Sengkala, 
dan Babad Mom ana yang diperbandingkan dengan sumber-sumber asing. 
Bahwa naskah-naskah itu mendukung fakta-fakta historis yang dapat 
dibenarkan, telah ditegaskan oleh Graaf melalui artikelnya (1958: 55-73).
Penegasan Graaf dijadikan pembenaran bagi sejarawan untuk meng guna�kan naskah sebagai sumber sejarah untuk historiograi lokal maupun nasional 
dalam arti yang luas. Ini berarti, naskah tidak hanya dijadikan sumber un�tuk menulis sejarah politik, tetapi juga sejarah sosial, sejarah ekonomi, se��ja rah budaya, sejarah intelektual, sejarah agama, bahkan arkeologi, dan 
se bagainya. 
Penerapan ilologi dengan pendekatan disiplin ilmu lain sangat dibutuhkan 
dan dapat memperkaya pengetahuan tentang sejarah umat manusia. Di 
Indonesia, Prof. Dr. Sartono Kartodirjo, seorang sejarawan senior, selalu 
menganjurkan para pelajarannya untuk melakukan penulisan sejarah dengan 
pendekatan multidimensi. Dia telah memberikan metode penulisan sejarah 
melalui artikel dan buku-buku sejarahnya yang telah dipublikasikan. Sebagai 
contoh, The Peasant Revolt of Banten in 1888, its Condition, Course and 
Sequels: A Case Study of Social Movem ent in Indonesia (1966), Pem ikiran 
dan Perkembangan Historiograi Indonesia: Suatu Alternatif (1982), Modern 
Indonesia Tradition and Transform ation (1988), dan Pendekatan Ilm u Sosial 
dalam Ilm u Sejarah (1992). Metodologi dalam ilmu sejarah terinspirasi oleh 
sejarawan Annales di Perancis sejak 1929 (Peter Burke).
Contoh penulisan sejarah yang didasarkan pada manuskrip yang dite�mukan di Indonesia dan di Timur Tengah, telah dilakukan di antaranya oleh 
Azyumardi Azra dengan disertasi Ph.D-nya di Universitas Columbia, The 
Transm ission of Islam ic Reform ation to Indonesia: Netw orks of Middle 
Eastern and Malay Indonesian Ulam a in the Seventeenth and Eighteenth 
Centuries (1992) yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul 
Jaringan Ulam a Tim ur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan 
XVIII: Melacak Akar-Akar Pem baharuan Islam di Indonesia (Azyumardi 
Azra, 1994). Karya Azra tersebut merupakan sebuah contoh penulisan sejarah 
intelektual Islam.
Penggunaan naskah bagi studi sejarah dengan pendekatan ilmu sosial juga 
telah saya sampaikan pada Simposium Internasional tentang Pernaskahan 
Nusantara ke-6 pada 12-14 Agustus 2002 di Bandung serta seminar-seminar 
lainnya (Uka Tjandrasasmita, 2006). Keberadaan komunitas Manassa (Ma�syarakat Pernaskahan Nusantara), sebenarnya memberikan pengaruh positif 
untuk pengembangan studi tentang pernaskahan Indonesia. Setiap seminar 
atau simposium nasional maupun internasional selalu dihadiri oleh para 
ilolog dari beberapa universitas di Indonesia dan bahkan dari luar negeri. 
Ber dasarkan makalah yang dipresentasikan oleh para peserta, diketahui bah�wa naskah-naskah pada umumnya digunakan untuk beberapa jenis topik 
mengenai beberapa aspek ilmu pengetahuan sosial. 
Namun demikian, jika berbicara tentang jumlah ilolog di Indonesia, 
masih sangatlah minim jika dibandingkan dengan total ribuan naskah yang 
ditulis dalam beberapa bahasa di Indonesia. Jumlah ilolog di beberapa uni�versitas tertentu yang mempunyai Fakultas Sastra juga masih minim. Begitu 
juga dengan jumlah pelajar yang sedang mempelajari apalagi menekuni 
ilologi, masih sangatlah sedikit. �Filolog di Departemen Pernaskahan Perpustakaan Nasional juga ti�dak cukup memadai untuk mengadakan penelitian, penyimpanan, serta 
pe meliharaan ribuan naskah yang ada. Di berbagai lembaga di daerah, se�perti museum daerah provinsi, perpustakaan khusus istana, dan lembaga 
pen didikan agama seperti pesantren, semuanya tidak memiliki orang-orang 
khusus yang dapat mempelajari dan mengelola naskah-naskah dengan pro�fesio nal. Dan, setahu saya, sekarang ini masih ada beberapa kumpulan nas�kah yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang belum didokumentasikan 
dan dipelajari oleh para ilolog, sementara kondisinya terancam oleh keadaan 
iklim dan ketidakpedulian dari pemilik naskah untuk menjaganya dengan 
baik. 
Karena kurangnya tenaga manusia untuk mempelajari, menyimpan, 
men jaga, serta mengelola nilai dan manfaaat naskah, Pusat Penelitian dan 
Pengem bangan Agama dengan Pusat Kepustakaan Agama (Puslitbang Lektur 
Keagamaan) Departemen Agama, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing�masing, berupaya melakukan beberapa usaha: (1) mengadakan penelitian atas 
pernaskahan, dengan tahap pertama mempelajari naskah-naskah klasik yang 
ditulis dalam bahasa Melayu dan dalam tulisan Jawi, (2) pencarian informasi 
bagaimana memajukan keahlian dan kemampuan sumber daya manusia bagi 
pe nyimpanan dan pemeliharaan pernaskahan, setidaknya melalui kursus 
pelatihan di Indonesia dan Belanda, (3) penelitian bersama studi pernaskahan, 
terutama naskah-naskah lama yang berisi berbagai aspek agama Islam – 
po litik, ekonomi, sosial, dan budaya – untuk rekonstruksi agama Islam di 
Indonesia, (4) kerjasama dalam membuat dokumentasi naskah, khususnya 
yang masih dimiliki oleh masyarakat, (5) pertukaran majalah atau buku-buku 
hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari kedua pihak.
Sejak kurun waktu yang lalu, Pusat Kepustakaan Agama, di bawah ketua 
Drs. Fadhal al Bafadal, telah memberikan kesempatan bagi para sarjana dari 
beberapa IAIN di provinsi untuk mengadakan penelitian naskah-naskah 
pen ting yang masih disimpan oleh masyarakat umum di beberapa provinsi. 
Hasil studi tersebut telah diterbitkan dalam Naskah-Naskah Keagam aan 
Nusantara: Cerm inan Buday a Bangsa (20 0 5) yang didistribusikan ke 
sekolah-sekolah agama dan umum. 
Masih banyak buku, majalah, dan tafsir al-Quran yang telah diterbitkan 
dan didistribusikan kepada publik. Pusat Kepustakaan Agama dan Puslitbang 
Departemen Agama juga telah mendokumentasikan beberapa naskah Islam 
yang masih disimpan oleh masyarakat. Selain itu, telah dikumpulkan juga 
data yang berkenaan dengan kehidupan religius masyarakat Indonesia terkini 
yang belum terpublikasikan.




SECARA khusus, makalah ini dipersembahkan untuk kerabat saya, Prof. Dr. 
R.P. Soejono, seorang ahli arkeologi prasejarah pertama di Indonesia yang se�karang berusia 80 tahun. Makalah ini saya tulis sesuai dengan keahlian saya, 
yaitu arkeologi Islam, yang merupakan salah satu disiplin dalam arkeologi 
sejarah. Meskipun arkeologi prasejarah (prehistoric archeology ) memiliki 
prinsip yang sama dengan arkeologi sejarah dalam hal penggunan artefak dan 
itur untuk rekonstruksi sejarah kebudayaan dari masyarakat tertentu di masa 
lalu, tetapi penggunaan artefak dan itur tersebut berbeda dalam hal masa 
atau waktunya. Karena itu, penting mengutip beberapa deinisi arkeologi yang 
dikemukakan oleh James Deetz, Stuart Piggot, dan Grahame Clark.
J ames Deetz, dalam bukunya Invitations to Archeology , mengatakan, 
“Arkeologi merupakan disiplin yang memusatkan perhatiannya terhadap 
tipe tertentu dari ahli antropologi. Kita tidak dapat mendeinisikan arkeologi 
kecuali dalam hubungannya dengan antropologi, suatu disiplin di mana 
arkeologi menjadi bagiannya. Antropologi merupakan sebuah studi tentang 
manusia dalam pengertian yang lebih luas, termasuk aspek psikologis dan 
isiknya serta hubungan timbal balik antarkeduanya. Perhatian antropologi 
terhadap manusia di masa lalu, telah menjadikannya sebagai disiplin yang 
mempelajari makhluk yang telah punah.” (James Deetz, 1967: 3).
Stuart Piggot, dalam Approach to Anthropology, mengatakan, “Arkeologi 
merupakan suatu disiplin yang mempelajari peristiwa yang tidak disadari dan 
dibuktikan oleh peninggalan benda-benda yang masih ada apakah hasil-hasil 
kekunoan itu produk dari sebuah masyarakat dengan menggunakan catatan 
tertulis atau tanpa tulisan.” (Stuart Piggot, 1965).
�Sementara Grahame Clark, dalam bukunya Archeology and Society , 
me ngatakan, “Arkeologi secara sederhana dapat dideinisikan sebagai studi 
sis tematis terhadap benda-benda purbakala sebagai sebuah alat untuk me�rekonstruksi masa lampau.” Clark juga menambahkan bahwa, meski bidang 
kajian arkeologi tergantung pada artefak, mengklasiikasikan dan mengartikan 
suatu perkembangan gayanya, arkeologi juga perlu memberikan gambaran 
lebih luas tentang bentuk, tekstur, dan artistiknya, sehingga ahli arkeologi itu 
dapat membedakan produk-produk budaya yang terpisah-pisah, menentukan 
tahap perkembangan sejarahnya, atau mendeteksi interaksi berbagai tradisi 
yang berbeda-beda. Clark juga mengatakan bahwa selain merekonstruksi ke�hidupan masyarakat pembuat artefak-artefak yang dikajinya itu, ahli arkeologi 
juga perlu menghubungkan sistem kehidupan ekonomi masyarakat bahkan 
lingkungan alamnya (Clark, 1960: 17-21).
Tiga defenisi arkeologi yang disebut oleh para ahli di atas dapat dibagi 
ke dalam dua jenis studi mengenai artefak dan itur sebagai produk dari 
suatu masyarakat dengan atau tanpa dokumen tertulis. Dari deinisi para ahli 
ter sebut, berarti ada arkeologi yang mempelajari artefak dan itur sebagai 
ha sil dari masyarakat zaman prasejarah yang disebut arkeologi prasejarah 
(prehistoric archeology) dan ada arkeologi sejarah (historic archeology) yang 
me nekankan studi pada artefak dan itur sebagai peninggalan masyarakat 
zaman sejarah. Dengan terminologi arkeologi sejarah yang mempelajari artefak 
atau itur sebagai data arkeologis, tentu saja penting untuk menggunakan 
sumber-sumber historis seperti dokumen, arsip, riwayat, laporan asing, dan 
naskah-naskah tua.
Penting untuk mencatat apa jenis naskah yang harus dipelajari dan 
yang berkontribusi terhadap studi arkeologi, khususnya arkeologi Islam. 
Naskah-naskah umumnya merupakan objek dari studi ilologi sebagaimana 
bisa dikutip dari beberapa deinisi yang dinyatakan oleh ilolog, misalnya Siti 
Baroroh Baried dan Nabilah Lubis.
Siti Baroroh Baried dkk., dalam Pengantar Teori Filologi, mengatakan, 
“Filologi adalah studi tentang kebudayaan yang didasarkan pada bahan tertulis 
dengan tujuan mengungkapkan informasi di masa lampau yang terkandung 
di dalamnya. Filologi dengan konsep seperti itu mencoba melacak bentuk 
asli teks yang berisi informasi tentang masa lampau itu.” (Baroroh Baried, 
1994: 7-10).
Nabilah Lubis, dalam Syekh Yusuf al-Taj al-Makassar: Menyingkap 
Intisari Segala Rahasia, mengatakan, “Filologi adalah suatu pengetahuan 
ten tang sastra yang dalam pengertian luas mencakup bidang bahasa, sastra, 
dan kebudayaan. Filologi merupakan sebuah disiplin yang meneliti bahasa 
melalui studi linguistik, makna kata, dan ungkapan bahasa sastra. Dan arti 
dari tahqiq al-nusus adalah upaya membuat suatu teks sesuai dengan teks�aslinya sebagaimana dibuat oleh pemilik dan pengarangnya, dari segi pe�nulisan lafal dan arti.” (Nabilah Lubis, 1998: 1-17).
Berdasarkan definisi di atas, sebenarnya dapat dikatakan bahwa 
arkeologi dan ilologi mempunyai kesamaan maksud dan tujuan di dalam 
m e rekonstruksi sejarah kebudayaan m asyarakat pada m asa lam pau. 
Arkeologi Islam sebagai salah satu arkeologi sejarah sangat penting untuk 
menggunakan naskah-naskah (manuskrip), terutama naskah-naskah Islam 
yang mengandung segi-segi kultural dalam arti yang luas. 
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilm u Antropologi, 
yang mendasarkan pendapatnya pada antropolog lain seperti C. Kluckohn, 
me nyebutkan bahwa dalam setiap bangsa di dunia, terdapat 7 unsur universal 
kebudayaan: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) 
sistem peralatan untuk kehidupan dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, 
(6) sistem keagamaan, dan (7) kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 203-204).
Ribuan naskah Islam dalam beragam bahasa masyarakat Indonesia, telah 
terdaftar dalam beberapa katalog dan disimpan oleh beberapa institusi luar 
negeri dan di Indonesia, terutama di Perpustakaan Nasional. Henri Chambert�Loir & Oman Fathurahman, dengan keahlian mereka dalam bidang ilologi, 
telah menyusun sebuah buku penting Khazanah Naskah: Panduan Koleksi 
Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (W orld Guide to Indonesian Manuscript 
Collections) yang diterbitkan oleh Ecole française d’Extrême-Orient-Yayasan 
Obor Indonesia, tahun 1999. Keberadaan naskah-naskah Indonesia di dunia 
telah diberitahukan dan digambarkan; beberapa katalog dan juga literatur�literatur tentang ilologi, juga telah disempurnakan. Jelas bahwa usaha Henri 
Chambert-Loir & Oman Fathurahman telah memberi sebuah kontribusi 
berharga bagi akselerasi dan perkembangan studi ilologi di Indonesia. Selain 
itu, mereka juga telah menyumbangkan pengetahuan bagi orang Indonesia 
mengenai bagaimana mendapatkan informasi tentang naskah Indonesia di 
dunia. 
Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman dalam pendahuluan buku 
mereka mengatakan bahwa:
“Bidang-bidang yang terkandung dalam naskah sangatlah luas. Siapapun 
yang akrab dengan naskah Indonesia, mengetahui bahwa naskah-naskah 
itu mengandung kekayaaan informasi yang berlimpah. Naskah memuat 
in formasi lebih banyak daripada sastra yang bersifat terbatas. Naskah 
mengan dung hal-hal yang terdapat dalam disiplin ilmu lain seperti agama, 
sejarah, hukum, adat istiadat, obat-obatan, teknologi, dan informasi lain. 
Para ahli dari wilayah yang beragam ini seharusnya dapat memanfaatkan 
ke kayaan informasi ini. Ahli hukum dan ahli sejarah telah lama menyadari 
hal ini. Meskipun begitu mereka cenderung menggunakan edisi teks yang �disunting ahli-ahli ilologi, walaupun banyak sekali naskah-naskah yang 
belum diterbitkan dan belum terpakai.” (Henri Chamber-Loir & Oman 
Fathurahman, 1999: 19-20).
Seperti telah saya katakan di atas, bahwa untuk studi arkeologi sejarah, 
dalam hal ini arkeologi Islam, perlu menggunakan naskah-naskah Islam, 
terutama naskah yang berisi segi-segi peristiwa sejarah dan aktivitas budaya 
masyarakat pada masa lampau. Naskah-naskah seperti riwayat atau babad, 
hikayat, dan tambo yang seharusnya digunakan untuk studi arkeologi Islam 
di Indonesia, biasanya merupakan produk dari periode pertumbuhan dan 
perkembangan kerajaan Islam. Namun demikian, disadari bahwa informasi 
dari naskah-naskah penting disusun untuk data historis yang berkaitan de�ngan studi arkeologi Islam. Metode ini sebaiknya dianggap sebagai langkah 
pertama atau petunjuk bagi penelitian lebih lanjut di tempat-tempat (situs) 
untuk mengetahui secara tepat keberadaan objek-objek arkeologis Islam. 
Kemudian, kita harus membuat dokumentasi, seleksi, analisa, dan sebagainya, 
berdasarkan metode arkeologis tersebut (Tim Redaksi, 1999).
Informasi mengenai objek-objek yang diberikan oleh naskah-naskah 
Islam yang seharusnya dipelajari dari pokok arkeologi Islam, di antaranya 
situs, artefak, dan itur. Dari segi arkeologis, naskah-naskah itu secara isik 
da pat digolongkan sebagai objek arkeologis; bahan-bahan yang digunakan 
un tuk naskah seperti kertas tulis, kertas sampul, jenis-jenis tinta, jenis dan 
ben tuk huruf, dan sebagainya. J ika naskah termasuk peninggalan budaya 
yang penting, maka pemerintah harus melindunginya. 
Arti benda-benda cagar budaya dinyatakan dalam Pasal 1 Undang�Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 yang mengatur persoalan 
Benda Cagar Budaya (BCB) (Tim Redaksi, 1999: 3-4). Dengan UU ini, yang 
dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah: (a) benda buatan manusia, 
bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, bagian 
atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili 
masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai 
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, (b) benda alam 
yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan 
kebudayaan. Sementara situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga 
mengandung Benda Cagar Budaya, termasuk lingkungannya yang diperlukan 
bagi pengamanannya
Naskah-naskah Indonesia jelas mempunyai kriteria yang sesuai dengan 
UU di atas. Sekarang akan didiskusikan objek-objek peninggalan arkeologis 
yang berkaitan dengan episode-episode (kisah-kisah) dalam naskah.�Situs
Dalam naskah-naskah yang berkaitan dengan kesejarahan seperti hikayat, 
babad, dan tambo, terdapat episode-episode yang menyebutkan beberapa 
jenis situs dari kegiatan perang, susunan bangunan, kota-kota besar dan kecil, 
makam, keraton, benteng pertahanan, dan sebagainya. Sebagai contoh, naskah 
Sajarah Banten yang mengandung sebuah episode mengenai pembuatan situs 
ibu kota Kesultanan Banten atas dasar nasihat dari Syarif Hidayatullah atau 
Sunan Gunung Jati kepada anaknya, Maulana Hasanuddin, sultan pertama 
Banten (1525-1570). Maulana Hasanuddin kemudian memutuskan sejumlah 
tempat untuk keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan lain-lain (Hoesein 
Djajadiningrat, 1983: 35-36). 
Dalam naskah lain, Babad Tanah Jaw i, ada sebuah episode yang meng�gambarkan tempat untuk pembangunan perkampungan di Bintara yang 
menjadi ibu kota Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan terbesar 
di Jawa. Bintara merupakan tempat bagi ibu kota kesultanan, yang menurut 
Babad Tanah Jaw i, diadakan karena nasihat Sunan Rahmat atau Sunan 
Ampel, pemimpin Wali Songo kepada Raden Patah (W.L Olthof, 1941: 23). 
Masih ada banyak contoh yang berkaitan dengan situs-situs bersejarah ten�tang peperangan, benteng, taman kerajaan yang luas, dan seterusnya, yang 
selalu diinformasikan oleh naskah-naskah.
Artefak-Artefak
Kebanyakan naskah-naskah tua berisi episode-episode tentang artefak yang 
digunakan oleh komunitas atau masyarakat untuk kebutuhan sosial, ekonomi, 
agama, budaya, dan politik. Di antara benda-benda atau artefak yang selalu 
disebutkan oleh naskah Babad Tanah Jaw i adalah keris, tombak, bende 
(gong), dan senjata-senjata lain untuk kebutuhan sehari-hari atau untuk 
perang. Dalam Babad Tanah Jaw i, sering disebutkan nama-nama benda 
pusaka sebagai simbol kerajaan, seperti cincin (Lali-Lali Manjangan-Bang 
Si Uluk), gong (Bende Kyai Bicak, Ki Macan, Gam elan Monggang, Gong 
Ki Sekar Delim a, Ki Udan Arum ), keris (Ki Belabar, Ki Betok, Ki Jaka Tua, 
Ki Setan Kober, Ki Kalam uyeng), tombak (Tom bak Ki Dandang Mungsuh, 
Ki Plered), kain (Pakaian Antakusum a atau Ki Gundil), meriam (Meriem Si 
Gulu, Si Guntur Geni, Si Kum ba Raw i, Nyi Sitom i) (J.J. Ras, 1987).
Di antara benda-benda pusaka sebagai tanda kerajaan itu, dalam 
Babad Tanah Jaw i disebutkan bahwa gong Ki Macan pernah digunakan 
oleh Sunan Kudus, ketika dia diperintahkan oleh Raden Patah menyerang 
Pengging yang berada di bawah Ki Ageng Pengging, yang membawa Bende 
Ki Udan Arum untuk mengumpulkan rakyatnya menghadapi pertempuran 
dari penduduk Demak. Tombak Kyai Plered adalah salah satu dari simbol 
Kesultanan Mataram. Setelan pakaian dengan nama Antakusuma atau Ki � Gundil dianggap sebagai setelan pakaian suci yang disimpan oleh Sunan Kali 
Jaga dan dijadikan simbol pakaian Sultan Mataram (W.L. Olthof, 1941: 34-
35; Uka Tjandrasasmita, 1993: 328).
Dalam naskah Undang-Undang Negeri Jam bi, Keris Si Ginjai diceritakan 
sebagai sebuah keris pusaka penting kerajaan. Keris Si Ginjai menjadi 
pegangan sultan sebagai simbol Kesultanan Jambi. Pertama kali benda ini 
dimiliki oleh Orang Kayo Hitam (sekitar 1500-1540) (Uka Tjandrasasmita, 
2003: 145-165). 
Dalam Babad Banten, terdapat episode-episode yang menyebutkan 
meriam atau senapan yang digunakan oleh pemimpin pasukan, ketika Ke�sultanan Banten menghadapi perang melawan kompeni Belanda. Nama be�berapa meriam atau senapan yang masing-masing diserahkan kepada para 
punggawa tersebut adalah Jaka Tua yang diserahkan kepada pangeran Papatih, 
Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Lor, Nilantaka 
kepada Pangeran Kulon, Kalijaya kepada Pangeran Wetan, Muntab kepada 
Tubagus Suradinata, Urang Ayu kepada Pangeran Wirasuta dan Pranggi Sela 
kepada Pangeran Prabangsa (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 76).
Dalam naskah-naskah lain mengenai Mataram, Aceh Darussalam, 
Cirebon, Hitu, Bugis, Makassar, Kalimantan, dan Maluku, ada beberapa 
episode yang menggambarkan beberapa jenis alat transportasi darat dan laut 
seperti kapal, kapal raja, dan kapal-kapal dagang. 
Menarik untuk dicatat bahwa dalam naskah-naskah tertentu, kita 
dapat membaca bagaimana dan apa jenis-jenis alat transportasi darat yang � digunakan oleh para raja dan rakyat, yakni gerobak atau kereta yang ditarik 
oleh kuda, sapi, dan kerbau. Di Keraton Kesultanan Cirebon, Kesultanan 
Yogyakarta, dan Surakarta, terdapat beberapa kereta raja. Di Keraton Sultan 
Kasepuhan ada kereta tua (kreta) yang dinamakan Paksi Naga Liman (dibuat 
pada 1428 M) yang ditarik oleh kerbau; di Keraton Sultan Kanoman terdapat 
Kreta Singa Barong dibuat pada 1571 atau 1649 M. 
Di Keraton Sultan Yogyakarta, terdapat beberapa kereta yang ditarik 
oleh kuda dengan nama Kanjeng Nyai J imat (1740-1750 M), Kreta Kyai 
Garudayaksa (1867-1869 M), Kyai Wimanputra (1850-1860), Kyai Harsuna 
(1850-1860 M), Kyai J alara (1870-1890 M), Kyai Kuthakaharjo (sekitar 
1900 M). Di Keraton Yogyakarta juga ada Kereta Jenazah (setelah 1900 M). 
Kereta Sultan Yogyakarta berasal dari abad ke-18 hingga 19 M yang dibuat di 
Belanda dan di Jawa. Di Keraton Pakualaman, dijumpai juga beberapa kereta 
raja seperti Kyai Manik Kumolo (1800-1810 M) yang dibuat di London dan 
Berlin (sekitar 1900 M).
Di Keraton Sunan Solo, ditemui juga kereta raja seperti Kyai Garudo 
(1700-1725 M), Kyai Kumoloretno (17501780 M), Kyai Garuda Kencana 
(1859 M), Kyai Garudaporto (1850-1860 M), Kyai Retno Seroko (1830-1840 
M), dan sebagainya. Di Keraton Mangkunegara, diceritakan ada kereta raja, 
seperti Kyai Gondroretno (1850-1860 M), dan lain-lain. 
Semua kereta raja yang disebutkan di atas telah didiskusikan, dianalisa, 
dan diilustrasikan oleh foto dan gambar-gambar yang dipublikasikan oleh 
H.B. Vos dalam bukunya Keraton Koetsen op Java (H.B. Vos, 1986: 35). Di 
buku ini dapat dibaca tentang sebuah kereta tua yang rusak dan oleh pen�duduk dinamakan ‘pedati’ di Pakalangan (Cirebon) dengan nama Ki Gede 
Pakalongan (Vos, 1986: 110-111). Pedati lain dapat dijumpai di Karangampel, 
Kabupaten Indramayu. Beberapa dari kereta raja itu sebenarnya telah di�lukiskan dalam naskah-naskah berbahasa Jawa dari Yogyakarta, Surakarta, 
dan Cirebon.
Pada acara penobatan raja dan kenaikan pangkat para elit, seperti per�dana menteri, menteri, dan bupati, biasanya diberikan artefak-artefak yang 
menyimbolkan kedudukan dan fungsi mereka dalam bentuk mahkota, payung, 
lam pit (terbuat dari rotan), kandaga, dan sebagainya. 
Bangunan (itur)
Naskah-naskah yang berkenaan dengan episode-episode bangunan atau itur 
dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni bangunan sakral atau bangunan 
biasa, meskipun pada masa Indonesia kuno terdapat juga bangunan tertentu 
yang termasuk ke dalam semi sakral, seperti keraton sultan. Jika masjid ter�golong ke dalam bangunan sakral, rumah penduduk termasuk ke dalam 
ba ngunan biasa (duniawi). Ada masjid-masjid tua, terutama masjid-masjid �besar yang di Jawa disebut Masjid Agung dan di Sumatera disebut Masjid 
Raya atau Masjid Jami’, yang pada periode pertumbuhan dan perkembangan 
kerajaan-kerajaan Islam berfungsi sebagai masjid-masjid kerajaan dan 
biasanya dibangun di ibukota kerajaan (Uka Tjandrasasmita, 1975).
 Ada beberapa masjid besar yang tergolong warisan atau peninggalan 
Islam, misalnya Masjid Agung Demak, Masjid Agung Cirebon, Masjid Banten, 
Masjid Agung Kartasura, Masjid Agung Yogyakarta, Masjid Agung Sumenep, 
Masjid Agung Palembang, Masjid Raya Baiturrahman di Aceh, Masjid Raya 
di Medan, Masjid Raya di Ternate, Masjid Raya di Banjarmasin, dan Masjid 
Raya di Pontianak. Bangunan-bangunan ini, selama beberapa waktu, telah 
diperbarui, sehingga tidak semuanya mempunyai bentuk asli.
Sejarah pendirian Masjid Agung Demak sering dijumpai dalam beberapa 
naskah seperti Babad Tanah Jaw i, Babad Dem ak, dan sebagainya (Olthof, 
1941: 305-306; J.J. Ras, 1987: 31). Cerita mengenai Masjid Agung Kasepuhan 
disebutkan dalam Babad Cirebon, Carita Purw aka Caruban Nagari, dan 
sebagainya. Untuk masjid besar di Cirebon, Atja menamainya Sang Ciptarasa 
(Atja, 1972: 63). Cerita tentang Masjid Raya Baiturrahman disebut dalam 
Hikayat Aceh (Denys Lombard, 1967: 136-137). Cerita Masjid Agung Banten 
disebutkan dalam Babad Banten (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 42).
Masjid-masjid besar yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram-Islam, 
seperti di Kota Gede, Plered, Kartasura yang termasuk salah satu komponen 
ibukota kerajaan Islam, telah dibahas oleh Inayati Adrisiyanti dalam tesisnya �Arkeologi Perkotaan Mataram -Islam . Diskusinya mengenai arkeologi per�kotaan Mataram-Islam, memasukkan masjid-masjid besar atau masjid agung, 
di antaranya tentang pokok naskah-naskah berbahasa J awa seperti Babad 
Tanah Jaw i, Babad Ing Sangkala, dan Babad Mom ana (Inayati Adrisiyanti, 
2000: 55, 67, 80).
Keraton-keraton sultan merupakan tinggalan arkeologis Islam yang sa�ngat penting. Karena, keraton tidak hanya dianggap sebagai pusat kerajaan, 
tetapi juga sebagai keraton dari Dewa-Raja Tuhan. Dan oleh karena itu, ke�raton dianggap sebagai suatu bangunan semi-sakral. Hal ini sesuai dengan 
kepercayaan tradisional masyarakat mengenai raja-raja atau sultan sebagai 
Dewa-Raja (God-King) atau Pandita Ratu (Brandes dan Rinkes, 1911: 104). 
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendirian Keraton 
Demak dan Banten tidak dapat dipisahkan dari pembangunan pusat-pusat 
ibu kota di mana kadang-kadang menuruti nasihat manusia suci seperti 
Sunan Rahmat untuk Bintara atau Demak, dan Sunan Gunung J ati untuk 
ibukota Banten, Surosowan. Situs bagi keraton, masjid, pasar, alun-alun, 
semua komponen pusat ibukota kerajaan-kerajaan Islam, disebutkan dalam 
beberapa naskah. 
Tempat-tempat keraton di Jawa dijumpai di bagian selatan alun-alun pasar 
di bagian timur utara atau barat utara dari alun-alun (Uka Tjandrasasmita, 
2000: 56-60). Menarik untuk dicatat bahwa di pusat ibu kota Kesultanan Aceh 
Darussalam, arah tempat keraton atau dalem berada di bagian selatan benar�benar sama seperti keraton dan komponen lain ibu kota atau Daruddunia. 
Episode ini dapat dibaca dalam naskah seperti Hikayat Aceh, Bustanussalatin,
dan yang lain (Denys Lombard, 1967: 127-134).
Makam dan Nisan Kubur
Sudah tidak asing lagi bahwa cerita-cerita dalam beberapa naskah mengisahkan 
kematian raja-raja dan masyarakat umum yang kemudian dikubur di tempat�tempat makam raja dan makam masyarakat biasa. Dalam babad, hikayat, 
tam bo, dan carita, ditemui beberapa episode tentang perayaan keagamaan 
ketika raja atau sultan meninggal. J ika raja dan keluarganya meninggal, 
mereka dikubur di makam-makam khusus kerajaan. Cerita tentang kematian 
raja-raja, perayaan keagamaan yang berhubungan dengan kematian raja atau 
keluarga raja, sistem pemakaman, sesungguhnya penting untuk dipelajari 
oleh para sejarawan maupun ahli arkeologi. Karena, tujuan arkeologi Islam 
tidak hanya mempelajari perayaan keagamaan, sistem pemakaman, tetapi 
juga mempelajari tempat-tempat di mana mereka dikubur, situasi dan kondisi 
makam, makam-rumah dan nisan kubur.
Dari sumber-sumber historis seperti naskah Sajarah Banten dan 
Hasanuddin, diketahui di mana tempat kuburan raja dari sultan-sultan �Banten; dari naskah Babad Tanah Jaw i, Babad Dem ak, dapat diketahui 
tempat makam sultan Demak; dari naskah Hikayat Aceh dan Hikay at 
Bustanussalatin, dapat diketahui tempat makam sultan-sultan Aceh. 
Lalu, tempat atau situs makam-makam raja dari kerajaan lain di Indonesia 
dapat diketahui dari informasi yang tergambar dalam naskah-naskah yang 
d itulis oleh masyarakat lokal. Contohnya, Hikayat Banjar, Hikayat Hitu, 
Hikayat Kutai, Syair Kerajaan Bim a, dan Hikayat Talo. 
Masih banyak naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang me�ngandung kisah mengenai makam-makam raja yang telah tercantum dalam 
katalog Perpustakaan Nasional dan institusi-institusi di Belanda, Inggris, 
Jerman, dan negara lainnya (Henri Chambert- Loir & Oman Fathurahman, 
1999). Oleh karena itu, siapa saja yang akan meneliti objek dan wilayah yang 
beragam, penting untuk mengambil catatan dari katalog yang relevan untuk 
kerja penelitiannya. 
Tempat makam-makam raja ada yang dekat dengan Masjid Agung, mi�salnya Sultan Demak, Sultan Banten, Sultan Mataram-Islam di Kota Gede. Di 
samping itu, terdapat makam-makam raja dan Wali Sanga yang berlokasi di 
atas bukit-bukit seperti tempat pemakaman Sunan Gunung Jati dan sultan�sultan Kasepuhan, Kanoman, Keprabonan dan Kacirebonan; makam sultan�sultan Yogyakarta dan Surakarta berlokasi di atas bukit Imogiri. Di sebelah 
makam Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang berada di atas Bukit 
Gunung Jati atau Amparanjati, masih ada makam-makam Wali Songo dan 
pemuka-pemuka Islam, yang mengambil lokasi di atas bukit, misalnya Sunan 
Giri di Gresik, Sunan Muria di Solo, Sunan Bayat di Bayat, Sunan Sendang di 
Sendang Duwur, raja-raja Madura di Bangkalan, Astatinggi, Sumenep. 
Di Sulawesi Selatan, juga terdapat makam-makam yang berlokasi di atas 
bukit, di antaranya makam raja-raja di Katangka dan di Jene Ponto. Menarik 
untuk dicatat bahwa lokasi makam raja-raja dan orang-orang suci yang 
berada di atas bukit itu, sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebudayaan 
tradisional Indonesia Hindu-Buddha dan animisme prasejarah yang memiliki 
unsur-unsur pemujaan nenek moyang atau dewa-dewa.
Makam-rumah dan nisan-nisan kubur menarik untuk dipelajari arkeolog 
Islam, meski tidak ada gambaran mendetail mengenai persoalan batu nisan. 
Terbuat dari apa bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kuburan 
dan batu nisan dan bagaimana bentuk atau tipe nisan-nisan tersebut? Kalau 
pertanyaan dan persoalan ini tidak dapat dijawab dan dipecahkan, ini karena 
jawabannya hanya bisa diketahui dari naskah. Oleh karena itu, sangatlah pen�ting untuk menjawab persoalan ini dengan melakukan penelitian lebih lanjut 
terhadap objek-objek arkeologis yang diinformasikan oleh naskah-naskah.
Ribuan peningggalan arkeologis Islam di Indonesia seperti situs-situs, 
artefak atau benda-benda, bangunan, dan unsur-unsur lain yang telah diteliti �oleh arkeolog-arkeolog Islam, masihlah sangat sedikit. Penelitian-penelitian 
yang telah dilakukan terhadap objek-objek ini, dengan didasarkan pada studi 
naskah-naskah sebagai sebuah pedoman, masih belum memuaskan. Namun 
demikian, telah ada beberapa artikel dan buku yang berkaitan dengan studi 
arkeologi Islam di Indonesia yang telah dihasilkan oleh beberapa ahli yang 
berminat pada wilayah ini sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. 
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan penelitian ar�keologi Islam di Indonesia, saya telah menulis sebuah buku dengan judul 
Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa. Dalam buku 
ini, saya menyebutkan beberapa ahli yang tertarik pada arkeologi Islam. Saya 
juga telah mengeluarkan sejumlah artikel dan buku-buku yang berjumlah 
le bih dari 150 artikel. Saya telah memberikan tambahan daftar para ma�ha siswa dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gajah Mada dan 
Universitas Indonesia yang berjumlah 120 pelajar, berikut tesis mereka (Uka 
Tjandrasasmita, 2000: 134-146).
Meskipun saya telah memberikan cukup informasi tentang perkembangan 
penelitian dalam bidang arkeologi Islam di Indonesia, tetapi di sini saya ingin 
mem berikan pandangan singkat dari sasaran penelitian tersebut. 
Penelitian peninggalan-peninggalan arkeologis Islam yang dimulai dari 
akhir abad ke-19, telah dilakukan oleh Snouck Hurgronje, diikuti oleh J.P. 
Moquette dan para ahli lain di zaman kolonial, terutama yang fokus pada 
makam-makam Islam di wilayah tertentu, yaitu Aceh. Hasil dari penelitian 
nisan-nisan kubur dari Samudera Pasai dan Banda Aceh, dapat membuktikan 
sejarah berdiri dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Provinsi Aceh 
Darussalam. 
Sangatlah bermanfaat untuk mencatat bahwa penelitian J.P. Moquette 
pada tahun 1913 terhadap batu nisan kuburan Malik as-Shalih (meninggal 
696 H/ 1297 M) menguatkan teori Snouck Hurgronje tentang kedatangan 
Islam ke Indonesia pada abad ke-13 M. Setahun sebelumnya, J.P. Moquette 
meneliti nisan makam Sultanah Nahrisyah (kira-kira 823 H) dari Pasai, Malik 
Ibrahim (kira-kira 822 H) dari Gresik, dan nisan makam Umar bin Ahmad 
al-Kazaruni (kira-kira 734 H) dari Cambay. Dari dasar bentuk, bahan, dan 
cara mengukir huruf-huruf Arab, J .P. Moquette menyatakan bahwa nisan�nisan kuburan itu dibuat dari satu pabrik di Cambay-Gujarat (J.P. Moquette, 
1912: 536-548, 1913: 1-15; Snouck Hurgronje, 1913).
Namun demikian, saya ingin mengatakan bahwa di zaman kolonial 
Belanda, mayoritas penelitian arkeologi Islam masih berfokus pada nisan�nisan kubur. Sedangkan aktivitas lain dari Dinas Arkeologi, dimaksudkan 
untuk pemeliharaan dan pemugaran nisan-nisan dan bangunan-bangunan 
Islam lain seperti masjid dan keraton. Tidak ada tulisan ditemukan pada 
masa ini. �Pada masa kemerdekaan, Indonesia mempunyai beberapa ahli dari luar 
negeri maupun Indonesia yang tertarik pada studi peninggalan arkeologis 
Islam, misalnya G.F. Pijper, H.J . de Graaf, Louis Charles Damais, Uka 
Tjandrasasmita, Sutjipto Wirjosuparto, Solihin Salam, Mundardjito, Hasan 
Mu’arif Ambary, Inayati Adrisiyanti, dan lain-lain.
Sebagaimana telah saya sebutkan di atas bahwa ada beberapa mahasiswa 
dari Fakultas Sastra UI dan UGM, khususnya dari Departemen Arkeologi, yang 
sejak tahun 1960 tertarik pada studi arkeologi Islam, ketika saya diajukan oleh 
kedua fakultas tersebut sebagai dekan untuk mata kuliah Arkeologi Islam. Di 
antara sejumlah pelajar itu, saya hanya ingin menyebutkan beberapa dari 
mereka yang menghasilkan pencapaian-pencapain penting atas studi mereka 
mengenai arkeologi Islam di Indonesia. Mereka adalah Hasan Mu’arif Ambary 
dan Inayati Adrisiyanti. Keduanya merupakan murid saya sejak 1960 yang 
meraih gelar doktor dalam bidang arkeologi Islam: Hasan Mu’arif Ambary 
dengan disertasinya Etude de l’Art Funéraire Musulm an en Indonesie des 
Origines au XIX-em e Siecle: Etude Epigraphique et Typologique, EHESS, 
Paris 1984 (tidak diterbitkan) dan Inayati dengan disertasinya Arkeologi 
Perkotaan Mataram -Islam , Gajah Mada University, 1998, diterbitkan oleh 
Jendela Yogyakarta, 2000.
Perkembangan penelitian arkeologi Islam sejak akhir abad ke-19 hingga 
sekarang, mengalami kemajuan dasar metodologi. Dan objek yang bervariasi 
telah dipelajari, seperti nisan kuburan, masjid, situs, benteng, keraton, dan 
lain-lain. Dengan adanya Departemen Islam di bawah Pusat Penelitian 
Nasional untuk Arkeologi dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pe�nelitian Arkeologi Islam menjadi lebih produktif. Dalam analisisnya, para 
arkeolog Islam telah menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sosial, 
misalnya sosiologi, ekonomi, sejarah, dan antropologi. 
Meski demikian, sesungguhnya penerapan ilologi bagi studi arkeologi 
Islam masih minim. Oleh karena itu, Henri Chambert-Loir dan Oman 
Fathurahman dalam buku yang telah disebut di atas, menyebutkan bahwa 
ada ribuan naskah yang masih belum digunakan oleh para ahli dalam 
bidang sejarah. Barangkali sejarawan tidak memerlukan secara langsung 
un tuk mempelajari naskah-naskah sebagaimana ilolog, tetapi paling tidak, 
mengunakan naskah yang dipelajari oleh mereka sebagai langkah atau pe�doman pertama bagi para arkeolog Islam yang seharusnya diikuti oleh peneliti 
dalam bidang lain. 
Naskah-naskah yang mempunyai episode atau informasi yang berkenaan 
dengan peninggalan Islam adalah salah satu sumber penting untuk studi ar�keologi Islam dan latar belakang historis serta kebudayaannya. Sudah pasti 
bahwa arkeologi Islam sebagai disiplin yang menjadi bagian dari arkeologi 
sejarah sangat diperlukan dan akan bermanfaat dan berhasil jika meng�gunakan naskah. Tetapi, tentu saja, naskah-naskah tersebut harus di banding�kan dengan sumber-sumber tertulis lain, seperti dokumen, arsip, dan laporan 
asing. Arkeologi Islam juga perlu menggunakan pendekatan ilmu sosial 
untuk memperkaya pengetahuan dalam mempelajari sejarah kebudayaan 
Indonesia.