arkeologi 5

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 5. Tampilkan semua postingan

arkeologi 5












TOPIK ini mengandung dua pengertian sekaligus: sejarah dan arkeologi. 
Keduanya saling berhubungan, baik objek maupun tujuannya. Hubungan 
tersebut tercermin pada pengertian sejarah yang pernah dikemukakan oleh 
para sejarawan, antara lain Bernheim, Henri Pirenne yang pernah dikutip 
G.J . Renier (1965: 33-34), Ibnu Khaldun (Issawi, 1963: 25-27), Sartono 
Kartodirdjo (1992: 58-59). Demikian pula deinisi beberapa arkeolog tentang 
arkeologi, antara lain dikemukakan oleh Grahame Clark (1960: 17), James 
Deetz (1967: 3), Lewis R. Binford (1972), Mortimer Wheeler (1968: 13-14). 
Hubungan sejarah dan arkeologi terletak pada fakta bahwa objek utama 
keduanya adalah manusia dan sama-sama bertujuan untuk merekonstruksi 
kehidupan masyarakat masa lampau (Uka Tjandrasasmita, 1989: 16-17). 
Sementara perbedaannya terletak pada metode. Dalam pengertiannya yang 
sempit sejarawan meneliti masa lampau masyarakat manusia berdasarkan 
sumber-sumber tertulis; sedangkan arkeologi berdasarkan artefak, feature 
(itur), dan ekofak. Selain bahwa salah satu metode arkeologi adalah dengan 
melakukan ekskavasi. 
Untuk lebih detailnya, metode penelitian arkeologi ini dapat dilihat 
dalam terbitan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, 1999). 
Nugroho Notosusanto, misalnya, berpendapat bahwa disiplin sejarah hanya 
“mengerjakan” bagian-bagian masa lampau manusia yang meninggalkan tu�lisan. Sementara apa yang mendahului masa bertulisan itu diserahkan kepada 
disiplin-disiplin lain, antara lain arkeologi. Tetapi objeknya tetap sama, masa 
lampau manusia yang berbeda-beda, namun tak dapat dipisah-pisahkan 
(Nugroho, 1963: 59-60). �Mengenai arkeologi, Montimer Wheeler berpendapat bahwa arkeolog 
bukanlah menggali benda, melainkan manusia (Wheeler, 1968: 13). Ar�keologi prasejarah tidak memerlukan sumber tertulis, pendekatannya lebih 
antropologis. Karena itulah, di Amerika muncul pendapat sebagaimana di�kemukakan James Deetz, bahwa arkeologi memusatkan dirinya pada manusia 
di masa lalu; disebut juga antropologi manusia yang sudah punah (Deetz, 
1967: 3). Ini berbeda dengan arkeologi sejarah yang, selain menggunakan 
data arkeologis itu sendiri, juga perlu menggunakan data banding, yaitu 
data sejarah seperti naskah, arsip, dan dokumen-dokumen lainnya (Uka 
Tjandrasasmita, 1989: 15-16).
Berdasarkan pembicaraan tentang hubungan antara arkeologi dan 
sejarah itu, maka untuk mendiskusikan sejarah Jakarta, kedua pendekatan 
tersebut tak dapat dipisahkan. Namun di sini saya ingin lebih memusatkan 
tinjauan arkeologisnya. Meski saya juga tak dapat melepaskan pikiran dari 
apa yang disebut arkeologi-perkotaan, karena bangunan-bangunan serta 
ber bagai situs arkeologis itu keberadaannya tak dapat dipisahkan dari se�jarah pertumbuhan dan perkembangan suatu kota. Bahkan, kini dapat di�katakan kota metropolitan. Sebagaimana dimaklumi, suatu kota memiliki 
kompleksitas yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, 
kependudukan, bangunan-bangunan, prasarana dan sarana, masalah kri�minalitas, dan lain-lain. Tidak mengherankan apabila diperlukan suatu 
studi interdisiplin: planologi, ekologi, teknologi, arkeologi, sejarah, sosiologi, 
antropologi, ekonomi, demograi, politik, dan lain-lain (Uka Tjandrasasmita, 
1991/ 1992: 4; 2002: 8-13).
Tentang sejarah kota Jakarta, sudah banyak penelitian yang dilakukan. 
Di antaranya F. de Haan (Oud Batavia, 1922), E. Breton de Nijs (Batavia 
koningin van het Oosten, 1977), Uka Tjandrasasmita (Sejarah J akarta, 
1977), A. Heuken (Historical Sites of Jakarta, 1982), Tris Susilastuti (Batavia 
Kisah Jakarta Tempo Doeloe, 1988), J.R. van Diessen (1989), R.Z. Leirissa, 
dkk. (J akarta Kota J uang, 1997/ 1998), Uka Tjandrasasmita, dkk. (Sejarah 
Perkembangan Kota Jakarta, 2000). 
Dalam kajian ini saya akan memusatkan kepada tinjauan arkeologis, ba�gaimana pentingnya Jakarta memiliki situs-situs serta bangunan-bangunan 
bersejarah atau benda cagar budaya yang dilindungi kelestariannya sesuai 
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1992 atau Perda DKI Jakarta yang 
ber kaitan dengan benda cagar budaya. Untuk memudahkan pembahasan, saya 
mem bagi periodisasi sejarah Jakarta ke dalam: masa prasejarah, masa Hindu�Buddha, Islam (Jayakarta), kolonial Belanda, Jepang, dan kemerdekaan.
J umlah situs dan bangunan di DKI J akarta yang telah digolongkan 
ke pada cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala 
Daerah Khusus Ibukota (DKI) J akarta Nomor 475 Tahun 1993, pada 29 �Maret 1993, tercatat 132 bangunan. Persebarannya adalah: Jakarta Pusat 67 
buah; Jakarta Utara 16 buah; Jakarta Barat 32 buah; Jakarta Selatan 7 buah; 
Jakarta Timur 6 buah; dan di Kepulauan Seribu terdapat 4 gugusan (Dinas 
Museum dan Pemugaran DKI Jakarta, Bangunan Cagar Budaya di Provinsi 
DKI Jakarta, 2000: 152-154). 
Semua bangunan cagar budaya itu diuraikan dengan singkat tentang 
ke letakan dan sejarah pembangunannya. Namun, sayangnya, bangunan�ba ngunan cagar budaya tersebut tidak dibicarakan menurut kronologi se�jarahnya, karena tidak dimulai dari gedung-gedung yang lebih tua yang 
umum nya terletak di wilayah J akarta Utara, yang dulu dikenal dengan 
sebutan Beneden Stad, yang oleh masyarakat sekarang disebut “Kota”. Saya 
akan mencoba meninjau situs-situs dan bangunan-bangunan cagar budaya 
itu secara garis besar sesuai dengan perkembangan Kota Jakarta.
Masa Prasejarah
Di beberapa tempat di wilayah Jakarta ditemukan sejumlah benda (artefak) 
dari Masa Kebudayaan Batu-Baru (neolitikum) berupa kapak persegi, beliung, 
pahat, gurdi, serpihan, gelang, batu asahan, dan lainnya, yang dibuat dari 
bahan batu. Selain itu juga ditemukan mute dan kreweng atau pecahan tem�bikar. Alat-alat semacam itu ada yang berasal dari temuan permukaan dan 
ada juga dari hasil ekskavasi arkeologis. Sejak masa kolonial Belanda, benda�benda tersebut telah dihimpun sebagai koleksi museum (Van der Hopp, 
Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1941). 
Mengenai tempat temuan benda-benda batu baru itu, di antaranya adalah 
Pasar Minggu, Pasar Rebo, Tanjung Timur, Cililitan, Kampung Sunter, Condet, 
Pondok Gede, Pasar J umat, Kebayoran, Kebon Sirih, Cawang, Kampung 
Pulo-Jatinegara, Kebon Nanas, Kebon Pala-Jatinegara, Rawa Belong, Rawa 
Lele, Kampung Maninjo-Kebayoran, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, dan 
lain-lain.
Sekitar tahun 1971, tim survei Lembaga Purbakala dan Peninggalan 
Nasional bersama Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta berhasil meng�adakan ekskavasi arkeologis di situs Kelapa Dua. Lokasinya berada di 
belukar Sungai Ciliwung pada ketinggian 63,98 meter di atas permukaan 
laut, atau lebih kurang 29 meter di atas permukaan air Sungai Ciliwung, 
de ngan kedalaman penggalian 5,50 cm. Di sana ditemukan sejumlah benda, 
seperti kapak persegi, beliung, gelang dan mute, pecahan kreweng, dan benda 
lainnya. 
Waktu itu diduga bahwa situs tersebut kemungkinan merupakan pe�mukiman masyarakat masa batu-baru, suatu masa yang sering dihubungkan 
dengan mulai adanya pengetahuan bercocok tanam. Jika didasarkan pendapat 
R. van Heine Geldern, masa batu-baru itu berusia sekitar 1.500 SM-1.000 M. �Atau, menurut W. Solheim, 2.500 SM (Geldern, 1945: 129-167; Solheim II, 
1972: 34-41)
Dari daftar benda-benda yang telah dihimpun di museum, terdapat juga 
benda-benda dari masa kemudian, yaitu Masa Kebudayaan Perunggu-Besi, 
berupa kapak corong, tombak, dan juga bekas pengecoran besi, ditemukan 
di situs Kelapa Dua. Tempat-tempat lain di daerah J akarta, di mana pernah 
ditemukan alat-alat dari logam perunggu-besi ialah Pasar Minggu, Lenteng 
Agung, dan Tanjung Barat. 
Dengan adanya temuan alat-alat logam perunggu-besi, tampaknya daerah 
Jakarta pernah mengalami Masa Kebudayaan Perunggu-Besi atau juga disebut 
Kebudayaan Dong-Son. Menurut P.V. van Stein Callenfels, kebudayaan ini 
sampai di Indonesia kira-kira beberapa abad sebelum masehi (Callenfels, 
1961: 26). Masa Kebudayaan Perunggu-Besi atau Dong-Son oleh R.P. Soejono 
dimasukkan kepada masa Perundagian. Mengenai usia kebudayaan tersebut 
di Asia Tenggara dikenal kira-kira 3.000-2.000 SM. Tetapi di Indonesia, 
penggunaan logam baru diketahui kira-kira beberapa abad sebelum masehi 
(Soejono, 1984: 243). 
Berdasarkan temuan benda-benda dari Masa Batu-Baru dan Perunggu�Besi, dapat disimpulkan bahwa di daerah Jakarta kemungkinan sekali sudah 
terdapat pemukiman dengan tatanan masyarakat yang teratur, yang sudah 
mengenal bercocok tanam bahkan teknologi perundagian (pertukangan), 
yang umumnya merupakan dasar bagi perkembangan kebudayaan selanjut�nya, karena setidaknya sudah mengenal 7 unsur kebudayaan universal 
(Koentjaraningrat, 1990: 203-204). Masyarakat-masyarakat di wilayah ini 
tidak mustahil memiliki hubungan dengan masyarakat dari luar, seperti 
India, sehingga lambat laun timbullah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha, 
bahkan Kerajaan Tarumanagara.
Masa Indonesia Hindu-Buddha
Terjadinya hubungan antara orang-orang India dengan masyarakat Indonesia, 
dalam hal ini masyarakat di wilayah J akarta, terjadi sekitar abad-abad 
pertama masehi. Melalui proses akulturasi di antara kedua kebudayaan ter�sebut, timbullah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha.
Interaksi tersebut juga kemudian melahirkan Kerajaan Tarumanagara 
de ngan rajanya Maharaja Sri Purnawarman. Ini dibuktikan oleh adanya 
prasasti-prasasti yang diperkirakan berasal dari sekitar pertengahan abad 
ke-5 M , yang bertuliskan Pallawa dan berbahasa Sanskerta, dan dianggap 
seba gai prasasti tertua di Pulau J awa (Vogel, 1925). Prasasti dari masa 
Tarumanagara ini ada 7 buah: Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, Muara Cianten, 
Jambu, Pasir Awi, dan Cidangiang atau Munjul. Salah satu prasasti, Tugu, 
terdapat di Kampung Tugu, Jakarta Utara.�Isi prasasti menyebutkan adanya kegiatan penggalian Sungai Candrabhaga 
untuk mengalirkan airnya ke laut setelah sampai di istana raja. Kemudian, 
pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman juga menggali sungai 
yang jernih, yaitu Sungai Gomati yang mengalir di tengah-tengah tanah 
kediaman Sang Pendeta, nenek Purnawarman. Pekerjaan tersebut dimulai 
tanggal 8 paro-petang bulan Phalguna dan diakhiri tanggal 13 paro-terang 
bulan Caitra. J adi, hanya 21 hari penggalian dengan panjang 6.122 busur. 
Kemudian diadakan selamatan yang dilakukan oleh para Brahmana dengan 
dihadiahkannya 1.000 ekor sapi. (Poerbatjaraka, 1952: 13-15; Soemadio [ed], 
1984: 41).
Berdasarkan prasasti Tugu-Jakarta ini, Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka 
berpendapat bahwa secara etimologis Candrabhaga disebut dalam bahasa 
J awa dengan Sasihbaga yang kemudian menjadi Bagasasih, dan akhirnya 
men jadi sebutan Bekasi kini. Sehingga, pusat kerajaan tersebut seharusnya 
dicari di sekitar Sungai Bekasi. Tentu saja, ini menarik karena dikaitkan 
dengan ibu kota kerajaan yang dari sudut arkeologi mendorong untuk pe�nelitian urban-archaeology. 
J . Noorduyn dan H.Th. Verstappen telah mencoba mengadakan pe�ne litian berdasarkan geomorfologi dan isi Prasasti Tugu. Kesimpulannya, 
kemungkinan ibu kota kerajaan itu ada di sekitar Tugu, tidak jauh dari Kali 
Cakung yang masa dahulu masih mengalirkan airnya ke laut (Noorduyn & 
Verstappen, 1972: 298-307). 
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional bersama Dinas Museum 
dan Sejarah DKI sekitar tahun 1973 telah mengadakan ekskavasi di sekitar 
tem pat temuan Prasasti Tugu, tetapi tidak menghasilkan tanda-tanda urban�archaeology (Dinas Museum, 1973). 
Penelitian terpadu antara Universitas Tarumanagara, Universitas 
Indonesia, Puslit Arkenas, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Pe ning�galan Sejarah dan Purbakala, pada tahun 1982 dan 1984 telah melakukan 
penelitian arkeologis di daerah Cilincing-Marunda, serta tempat-tempat lain�nya, tetapi sama sekali tak menemukan adanya tanda-tanda situs bekas Kota 
Tarumanagara (Hasan Djafar, dkk., 1988: 36-76). Ini menuntut dilakukannya 
penelitian secara terus-menerus terhadap kemungkinan adanya situs bekas 
Kota Tarumanagara. Isi prasasti-prasasti lain yang temuannya berada di luar 
DKI Jakarta dan juga temuan area Wisnu di Cibuaya tak akan dibicarakan 
meskipun jelas ada kaitannya dengan Kerajaan Taruma.
Dari masa Indonesia Hindu-Buddha wilayah J akarta juga mempunyai 
bukti sejarah dari masa Kerajaan Sunda-Pajajaran, karena daerah ini termasuk 
kota bandar yang paling utama. Kerajaan Sunda-Pajajaran, ibu kotanya 
Pakuan, terletak di daerah Bogor. Berita Portugis De Barros, lebih-lebih 
Tome Pires, telah memberikan gambaran kota bandar sekitar awal abad ke��16 M, mengenai lalu-lintas pelayaran perdagangan regional dan internasional 
yang dilakukan oleh kota bandar yang dinamakan Kalapa atau Sunda Kalapa 
(Armando Cortaseo, 1944: 166-173). Berita Tome Pires mengenai komoditas 
ekspor dari bandar Kalapa dapat diperkuat oleh data historis dari naskah�naskah kuno seperti Siksakandang Karesian, Carita Parahyangan, Carita 
Purwaka Caruban Nagari, dan lainnya (Uka Tjandrasasmita, 1998).
Situs-situs arkeologis, terutama di muara Sungai Ciliwung yang dikenal 
sebagai daerah Pasar Ikan, menarik untuk terus-menerus dilakukan penelitian 
urban-archaeology . Demikian pula situs Sangiang di daerah Pulo Gadung 
yang kini penduduknya sebagian besar masih berbahasa Sunda. 
Kecuali yang menunjukkan bukti benda-benda prasejarah, maka ke mung�kinan benda-benda dari masa Kerajaan Sunda-Pajajaran juga masih da pat 
ditemukan di sepanjang Sungai Ciliwung, mengingat peran sungai itu sebagai 
jalur lalu-lintas antara ibu kota dengan kota bandar. Situs-situs arkeologis 
dan historis dari masa Kerajaan Hindu-Buddha Sunda-Pajajaran di wilayah 
DKI Jakarta, kemudian dikuasai kerajaan bercorak Islam, terutama sejak Kota 
Bandar Kelapa dikuasai Fadhillah Khan (Faletehan) pada 22 Juni 1527.
Masa Islam (Jayakarta)
Masa ini dimulai sejak 22 J uni 1527, yaitu masa setelah Fadhillah Khan, 
me nurut Carita Purwaka Caruban Nagari atau Faletehan menurut berita 
Portugis, berhasil menguasai Kota Bandar Kalapa setelah berhasil mengusir 
bangsa Portugis dari bandar itu di bawah pimpinan Fransisco de Sa yang 
akan melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat pada 21 Agustus 1522 
dengan Raja Samiam (Surawisesa). 
Dengan keberhasilan Fadhillah merebut kota bandar itu, maka na�ma Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang mungkin mendapat ins�pirasi dari surat al-Fath dari al-Quran: Sesungguhnya kemenangan ini 
ada lah kemenangan yang sempurna (inna fatahna laka fathan mubinan)
(Djajadiningrat, 1956). 
Di mana letak kediaman Fadhillah Khan, tidak diketahui dengan pasti. 
Tetapi kemungkinan yang kelak diteruskan oleh Tubagus Angke dan yang 
terakhir dibangun oleh Pangeran Jakarta Wijayakrama. Situs yang terletak 
di seberang barat muara Ciliwung itu kini sudah dipenuhi bangunan. Oleh 
J .W. Ijzerman, lokasi itu telah direkonstruksi pada sketsa peta (Ijzerman, 
1917: 585; J.R. van Diessen, 1989: 16). 
Keletakan alun-alun, keraton (dalem) di sebelah selatan alun-alun, 
masjid di sebelah barat alun-alun dan pasar di sebelah selatan. Sketsa peta 
kota itu ditinjau dari sudut arkeologi-perkotaan sangat penting, mengingat 
secara morfologis ada persamaan dengan kota-kota Muslim di Jawa, seperti 
Demak, Banten, dan lainnya (Uka Tjandrasasmita, 2000: 12; 56-70). �Kehancuran pusat kota terjadi karena penyerangan VOC di bawah 
pimpinan J.P. Coen pada 30 Mei 1619. Setelah kemenangannya, J.P. Coen 
mengganti nama J ayakarta dengan nama Batavia. Meskipun bangunan�bangunan Islam masa itu sudah lenyap, tetapi paling tidak situsnya masih 
dapat diteliti dari sudut arkeologi-perkotaan. 
Masa Kolonial Belanda
Setelah kehancuran Kota J akarta masa Fadhillah Khan, Tubagus Angke 
dan terakhir Pangeran Wijayakrama, maka berdirilah Kota Batavia sebagai 
pusat kekuasaan VOC yang diperluas di bagian timur Kali Besar atau muara 
Kali Ciliwung, dengan memperluas waterkasteel dan pendirian bangunan�bangunan lain. Dengan adanya interaksi antara penduduk setempat dengan 
orang-orang Belanda, terutama melalui perkawinan, pekerjaan, perdagangan, 
keagamaan, dan lain sebagainya, lambat laun terjadilah proses akulturasi 
yang kemudian menumbuhkan kebudayaan yang mengandung unsur-unsur 
kebudayaan Barat. Djoko Soekiman dalam disertasinya menyebutnya sebagai 
“kebudayaan Indis” (Soekiman,1996: 4).
J akarta yang disebut Batavia sejak abad ke-17 M merupakan tempat 
awal timbulnya kebudayaan Indis, yang mulai tersebar ke berbagai daerah 
di Indonesia, terutama ke pesisir utara Jawa, sejak abad ke-18 M dan abad�abad selanjutnya ke berbagai tempat lain di Indonesia, sesuai dengan proses 
kolonialisasi sejak masa VOC dan Hindia Belanda. Kebudayaan Indis itu 
tampak pada segi arsitektur, bahasa, gaya hidup, pendidikan, dan sebagainya, 
yang pernah saya bicarakan dalam suatu seminar di J akarta mengenai 
kebudayaan Indis (Uka Tjandrasasmita, 1997). 
Sebagaimana telah saya sebutkan, situs-situs dan bangunan-bangunan 
benda cagar budaya dari masa Kolonial Belanda, baik dari masa VOC maupun 
Hindia-Belanda, terdapat sekitar 132 bangunan. Secara rinci situs-situs dan 
bangunan-bangunan bersejarah yang berada di wilayah J akarta dapat kita 
perhatikan dari karya F. de Haan dalam Oud Batavia (1922, 3 jilid), A. 
Heuken dalam Historical Sites of J akarta (1982), J .R. van Diessen dalam 
Jakarta/ Batavia (1989), dan masih banyak lainnya. 
Dalam kaitan ini, perlu disebutkan karya yang memuat himpunan 
gambar-gambar bangunan karya Johannes Rach, yang antara lain terdapat 28 
reproduksi yang dipakai dalam ilustrasi buku F. de Haan (Uka Tjandrasasmita, 
2001: 2). Versi lengkap tentang gambar-gambar J ohannes Rach beserta 
analisisnya, terdapat dalam karya J. de Loos-Haaxman dalam Johannes Rach 
en Zijn Werk (1928). Gambar-gambar bangunan lama dari Johannes Rach 
banyak terkait dengan Batavia, meskipun dua dimensi. Namun, gambar-gambar 
itu penting pula untuk kajian arkeologi, di samping peta-peta lama untuk 
mengenali perkembangan kota dari segi morfologi dan urban-archaeology.
�Situs dan bangunan cagar budaya di Jakarta yang tampak dan sampai 
pada masa kita, berdiri sejak masa awal VOC di Batavia, terletak di Jakarta 
Kota, atau dahulu disebut Beneden Stad (Lower Town). Bangunan seperti 
pakhuizen atau gudang-gudang barang, bangunan tempat pembuatan alat�alat besi dan mesiu yang disebut ijzermagazijn berasal dari abad ke 17-18, 
terdapat di sebelah timur Jalan Tongkol – kini di daerah Pasar Ikan. 
Di Jalan Patin ada menara peninjauan (uitkijk) dan sisa bastion culem 
borg yang mungkin asalnya dari tahun 1645, mengingatkan pada tempat 
kelahiran G.G. van Diemen (1636-1645). Dekat colemborg bastion dan 
menara terdapat bangunan yang kini difungsikan sebagai Museum Bahari, 
bangunan dari zaman VOC yang dipakai sampai masa Hindia-Belanda. 
Bangunan-bangunan yang pada masa awal VOC disebut Kasteel van Batavia 
kini sudah tidak ada lagi peninggalannya, karena sejak masa G.G. Daendels 
tahun 180 9 dihancurkan total setelah bahan-bahannya dipakai untuk 
pembangunan kantornya di Weltevreden – di lapangan Banteng sekarang. 
Namun, untuk kepentingan arkeologi, di situs Kasteel van Batavia itu pernah 
dilakukan penelitian dan ekskavasi oleh K.C. Crucq dan Orsoy de Flines di 
bawah pimpinan V.V.F. Stutterheim dari 1 April sampai 9 September 1940 
(Stutterheim, 1940). 
Di atas kali besar Ciliwung sampai kini masih terdapat sebuah jembatan 
angkat atau ophaalbrug yang pernah direstorasi. Bangunan Stadhuis atau 
Balai Kota yang kini difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta di Taman 
Fatahillah, adalah bangunan yang berasal dari awal abad ke-18, yaitu dari 
tahun 1707-1710. Di bagian depan lapangan tersebut terdapat Meriam Si 
Jagur dan di sekitar Stadhuis tersebut masih banyak gedung-gedung lama 
meskipun bukan hanya dari masa VOC, misalnya gedung yang dipakai 
sebagai Museum Wayang yang didirikan tahun 1912. 
Di daerah Kota Jakarta lama itu juga didapatkan stasiun kereta api yang 
didirikan tahun 1929, menggantikan bangunan tahun 1870. Masih banyak 
bangunan-bangunan yang berasal dari abad ke-18 sampai awal abad ke-20, 
dan dimasukkan sebagai bangunan cagar budaya.
Berdasarkan morfologi Kota Batavia Lama yang dikembangkan sejak masa 
VOC menarik untuk dikaji dari segi arkeologi perkotaan yang menunjukkan 
bagaimana peletakan parit-parit dengan gedung-gedung yang berjejer, dengan 
gaya bangunan Indis sehingga tampak jelas morfologi sebagai Indische town 
(Peter J.M. Nas, 1986: 6-9). 
Pada tahap awal kekuasaan VOC, arsitek-arsitek Belanda membuat 
bangunan-bangunan di Kota Batavia Lama itu dengan secara khas menerapkan 
gaya bangunan di kota-kota negeri Belanda yang sudah tentu tidak sesuai 
dengan iklim tropis yang panas serta berhujan lebat (Diessen, 1989: 78). 
Kemudian, gaya tersebut mulai abad ke-18 disesuaikan dengan keberadaan �iklim di Indonesia, terutama di Jakarta. Sehingga, timbul pembuatan gedung�gedung gaya Indis yang merupakan campuran dengan unsur arsitektur 
setempat, terutama rumah-rumah pangeran. Ini terlihat dengan adanya 
serambi-serambi dan jendela-jendela besar, serta di bagian halaman belakang 
dibuat bangunan-bangunan kecil atau kamar-kamar untuk para pembantu 
pembesar VOC. Contohnya antara lain kediaman G.G. Reinier de Klerk (1777-
1780) di Molenviiet dahulu, atau Jalan Gajah Mada sekarang ini. Bangunan 
itu juga sudah dilengkapi halaman taman. Gedung itu kini menjadi kantor 
Arsip Nasional. 
Memang, sejak abad ke-18 itulah para pembesar VOC dan orang-orang 
kaya atau para tuan tanah mulai meninggalkan Kota Batavia Lama yang 
dirasakan sudah pengap. Mereka pindah ke luar dan membuat bangunan 
kediamannya di daerah yang disebut Weltevreden, tempat yang benar-benar 
memuaskan hati karena kenyamanan udaranya. Karena di kota inti, parit�parit mulai tertimbuni lumpur akibat sedimentasi. Ada juga beberapa parit 
yang tertutup dan dibuat jalan atau kemudian didirikan bangunan.
Sejak awal abad ke-19, Daendels mendirikan kantornya di Weltevreden 
yang kini menjadi Kantor Keuangan, berada di sisi Lapangan Banteng. Pada 
masa itu, gaya bangunan didominasi oleh gaya yang disebut empire dan 
neo-klasik. Contohnya adalah bangunan Harmonie (1811), Witte Huis (1809) 
kantor Gubernur J enderal Daendels – kini kantor Departemen Keuangan, 
Stadschouwburg atau Gedung Kesenian (1821). 
Di bagian sudut Lapangan Banteng (Waterlooplein) didirikan gereja 
besar atau katedral mulai tahun 1809, yang kemudian mengalami renovasi 
pada 1829 dan 1879. Gaya bangunan neo-klasik menjadi lebih populer sejak 
tahun 1825. Sebagai contoh, bangunan Gedung Pancasila kini di Pejambon, 
Balai Kota (Stadhuis) di Jalan Merdeka Selatan, Kantor Gubernur DKI kini, 
dan bangunan yang kini dikenal sebagai Istana Merdeka, yang dahulu disebut 
Paleis Hijswijk dan semula tempat kediaman J acob Andries van Braam. 
Dibangun pada tahun 1796, bangunan tersebut kemudian dibeli pemerintah 
Hindia-Belanda pada 1820, dan kemudian ditempati oleh para Gubernur 
Jenderal Hindia Belanda. Gedung tersebut mengalami pembangunan kembali 
tahun 1848. Penggunaan gedung tersebut sebagai kediaman Gubernur Jenderal 
Belanda berakhir pada masa Tjarda van Starkenborch. Karena selanjutnya, 
pada masa kekuasaan Jepang, gedung tersebut ditempati Panglima Tentara 
Jepang Seiko Shikikan (1942-1945).
Kecuali gedung-gedung tempat kediaman para pembesar VOC dan Hindia�Belanda, tempat-tempat peribadatan agama Kristen (gereja) juga termasuk 
bangunan benda cagar budaya yang kelestariannya dilindungi UU Benda 
Cagar Budaya (BCB). Di antaranya adalah Gereja Tugu, Gereja Sion, Gereja 
Katedral, Gereja Emanuel, dan lain-lain, dari abad ke-18 sampai 19 M. �Di samping itu, juga banyak rumah-rumah tuan tanah (landhuizen) 
dari abad ke-18 sampai 19 seperti di Palmerah, Pondok Cina, Pondok Gede, 
yang umumnya berada di luar Kota J akarta. Bangunan-bangunan lainnya 
yang berasal dari masa Hindia-Belanda, terutama sejak 1870, sesuai dengan 
kemajuan ekonomi. Akibatnya, terjadi kemajuan di bidang transportasi laut 
terutama setelah terusan Suez dibuka tahun 1867. Maka, bermunculanlah 
di Hindia-Belanda perkebunan yang menghasilkan komoditas ekspor seperti 
karet, tembakau, gula, kopi, dan lain sebagainya. Alhasil, di Batavia banyak 
terdapat kantor-kantor dagang dan maatschappij. Bersamaan dengan itu, 
diperlukan pembuatan jalan kereta api, stasiun kereta api, pelabuhan, seperti 
Tanjung Priok dengan kantornya, jalan kereta api ke Bogor, trem tahun 1881, 
dan juga pada masa kemudian electriciteit, dan lain-lain.
Bangunan-bangunan dari tahun 1870 -1920 mulai tampak dominan 
didasarkan pada gaya arsitektur lama seperti Gothik. Dan, dari tahun 1900, 
menggunakan gaya J ugen dari Deco Art di mana batu-bata bukan hanya 
untuk bangunan saja, tetapi juga untuk dekorasi seperti kantor pusat KPM 
tahun 1916 yang kini menjadi Kantor Perhubungan Laut. Masih banyak lagi 
bangunan-bangunan dari masa Hindia-Belanda di sekitar Lapangan Merdeka 
atau Waterfoqplein dahulu, di antaranya bangunan Museum Nasional (1778), 
Kantor Menko Polkam yang kini sudah dianggap bangunan benda cagar 
budaya, berasal dari abad ke-18 hingga 19 atau awal abad ke-20.
Meskipun selama VOC sampai Hindia-Belanda banyak bangunan 
ala Indis berupa gereja yang didirikan, pada masa tersebut juga banyak 
peninggalan Islam yang didirikan oleh masyarakat Muslim, terutama masjid. 
Di antara masjid-masjid tersebut: Masjid Tambora (1761), didirikan oleh Haji 
Mustoyib Ki Daeng, Masjid al-Mansur (abad ke-18), Masjid Angke (1761), 
Masjid Bandengan (1749), Langgar Tinggi (1740), Masjid al-Anshor (1848), 
Masjid Marunda (abad ke-17 sampai 18), Masjid Kebon Jeruk (1785/ 1786), 
didirikan oleh Tamien Dosol Seeng, seorang Tionghoa-Muslim. 
Dari segi arkeologi, jelas bangunan masjid yang khas dengan atap 
bertingkat mengandung unsur-unsur bangunan Tionghoa dan Eropa. 
Demikian pula dengan makam-makam Islam yang dikaitkan dengan tokoh�tokoh Muslim waktu itu, misalnya makam dan Masjid Luar Batang, dibangun 
pada 1739 M oleh Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus yang dimakamkan 
di sana.
Selain itu, di Batavia banyak bangunan dengan gaya Tionghoa, terutama 
di daerah Glodok. Bahkan juga terdapat beberapa kelenteng, antara lain 
Kelenteng J in de Yuan dari abad ke-17 di Glodok yang kini dinamakan 
Kelenteng Wihara Dharma Bhakti, Kelenteng Da Bo Gong di Ancol, dan masih 
banyak lagi yang berasal dari abad ke-18, 19, bahkan awal abad ke-20. Jumlah 
kelenteng kuno di wilayah DKI J akarta lebih kurang 24 buah (Direktorat �Purbakala, Depdiknas, 2000). Banyaknya bangunan gaya Tionghoa di DKI 
J akarta itu jelas memperkaya khazanah budaya, dan dari sudut penelitian 
arkeologi, lebih-lebih jika dikaitkan dengan arkeologi-perkotaan, tidak dapat 
diabaikan.
Dengan jatuhnya Hindia-Belanda oleh Jepang sekitar tahun 1942, maka 
sejak itu Indonesia masuk pada masa pendudukan Jepang.
Masa Jepang
Zaman pendudukan Jepang dikenal juga sebagai masa perang. Oleh karena 
itu, tidak ada pembangunan gedung-gedung. Untuk tempat kediaman serta 
kantor-kantornya, Jepang menggunakan gedung-gedung yang sudah ada dari 
masa Hindia-Belanda. Hanya nama-namanya yang menggunakan bahasa 
Jepang sesuai dengan sistem pemerintahannya. 
Gedung tempat G.G. misalnya, dijadikan tempat Panglima Tentara 
Jepang atau Seiko Shikikan (1942-1945). Setelah Jepang kalah perang pada 
tahun 1945, masuklah zaman Kemerdekaan Republik Indonesia.
Masa Kemerdekaan
Masa kemerdekaan juga banyak menggunakan bangunan-bangunan yang su�dah ada sejak masa Hindia-Belanda. Sebagai contoh, Istana Merdeka di Gambir 
tahun 1945 dan kemudian sejak 1949 ditempati sebagai kantor dan ke diam an 
presiden. Demikian pula Balai Kota di Merdeka Selatan yang asalnya Stadhuis 
digunakan sebagai kantor dan kediaman walikota yang kemudian Gubernur 
DKI Jakarta. Gedung Museum Pusat di Merdeka Barat 12 masih me lan jutkan 
fungsinya sebagai museum, dahulu Bataviaasch Genootschap van Kunssten en 
Wetenschappen, sebuah bangunan yang berasal dari tahun 1877.
Hari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 juga dilaksanakan 
di Gedung Pegangsaan Timur yang semula dipakai sebagai kediaman Bung 
Karno pada masa J epang. Gedung Museum Kebangkitan Nasional yang 
dahulu sebagai Gedung STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Arisen) 
di mana terbentuknya Perhimpunan Budi Utomo 20 Mei 1908. Demikian 
juga Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya Nomor 106, yang pada 
masa Hindia-Belanda disebut sebagai Gedung Indonesise Ciubgebouw. Di 
gedung inilah dicetuskan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Karena 
mempunyai nilai penting bagi sejarah, maka gedung tersebut dinyatakan 
sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi UU sejak 10 Januari 1972. 
Masih banyak lagi gedung-gedung yang karena mempunyai nilai sejarah 
penting dijadikan bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang.
Demikian garis besar pembicaraan tentang sejarah Jakarta dari perspektif 
arkeologi yang juga berkaitan dengan sejarah perkembangan Kota J akarta 
yang kini menjadi ibu kota negara. Ditinjau dari sudut arkeologi, khususnya �arkeologi-perkotaan, jelas mempunyai arti penting serta memberi bukti-bukti 
penguatan sejarah Kota Jakarta sebagai kota metropolitan.
Penentuan situs-situs dan benda atau bangunan cagar budaya dapat 
didasarkan atas kriteria yang tercantum pada UU Nomor 6 Tahun 1992 (dulu 
M.O. Stbl. 238, 1931) tentang Benda Cagar Budaya dengan Keppres Nomor 
10 Tahun 1993 dan tentunya untuk daerah oleh Peraturan Daerah tahun 1993 
seperti telah disebutkan. Jelaslah bahwa keunikan bangunan-bangunan serta 
situs-situs benda cagar budaya di wilayah DKI Jakarta berasal dari berbagai 
masa sesuai dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Kota Jakarta 
sendiri. Kemudian, unsur-unsur dari berbagai masa itu terjalin melalui proses 
akulturasi yang homogen sehingga membentuk kekhasannya sebagai cerminan 
budaya J akarta yang tumbuh dan berkembang dari perkampungan hingga 
menjadi kota besar bahkan metropolitan, dan mempunyai fungsi yang amat 
panting sebagai ibu kota negara. Karena itu pula, sebenarnya Kota Jakarta 
merupakan sebuah arena untuk kajian bukan hanya untuk arkeologi atau 
arkeologi-perkotaan saja, tetapi juga penting bagi kajian ilmu-ilmu lainnya.


ARTIKEL ini membahas Kesultanan Cirebon dari dua perspektif. Pertam a, tent�ang historisnya yang meliputi pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan. 
Kedua, tentang kebudayaannya dari beberapa aspek, yaitu seni bangunan, 
seni sastra, dan seni pertunjukan yang mentradisi sampai sekarang. 
Masa Pertumbuhan 
Letak geograis Cirebon di pesisir utara Jawa yang memiliki muara-muara 
sungai mempunyai peranan penting bagi pelabuhan, yaitu sebagai tempat 
untuk menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan yang bersifat regional 
maupun internasional. Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah 
berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu�Buddha. Pertumbuhan pelabuhan Kerajaan Sunda Pajajaran dapat diketahui 
dari sumber-sumber lokal seperti babad dan carita, yang juga didukung oleh 
berita asing. 
Babad Cirebon dan Carita Purw aka Caruban Nagari, menceritakan 
bahwa Cirebon dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah oleh seorang 
juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh 
kuwu. Pelabuhan awal ialah Muara Amparan J ati yang berada di Dukuh 
Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Yang men�jadi kepala atau juru labuhannya ialah Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian Ki 
Gedeng Tapa yang berganti lagi menjadi Ki Gedeng Jumjanjati. Waktu itu, 
konon Kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di Pakuan, diperintah oleh 
Prabu Siliwangi yang setiap tahunnya menerima upeti berupa garam dan 
terasi (uyah kalaw an terasi), sebagai hasil daerah Cirebon. �Sebutan Prabu Siliwangi yang dikenal hanya pada hasil sastra-sejarah 
pernah diidentiikasikan dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Pakuan 
Pajajaran yang tercantum pada Prasasti Batu Tulis di Bogor hasil kajian 
Moh. Amir Sutaarga (1965: 38-42). Sementara ibu kota Kerajaan Sunda 
Pajajaran yang diperkirakan terletak di daerah Bogor adalah mengacu pada 
pendapat J. Nooduyn, C.M. Pleyte, R.M.Ng. Poerbatjaraka, S. Ekajati, dan 
sarjana lainnya. Hal ini pernah dibicarakan oleh Uka Tjandrasasmita dalam 
seminar internasional yang diselenggarakan oleh Association of Historians of 
Asia (AHA), Jakarta, 27 Augustus-1 September 1998, dengan makalah yang 
berjudul “The International Trade of Sunda Pajajaran Kingdom in the XIVth
-
the XVIth Century”. 
Dukuh Pasambangan, dengan pelabuhan Muara Amparan J ati, sudah 
mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari beberapa daerah di Indonesia, 
seperti dari Pasai, Palembang, Jawa Timur, Madura, juga beberapa pedagang 
negeri asing seperti Arab, Persia (Iran), Irak, India, Tionghoa, Malaka, 
Tumasik, dan Campa. Itulah sebabnya Dukuh Pasambangan menjadi ramai 
dan banyak penduduk yang hidupnya menjadi makmur.
Dalam Carita Purw aka Caruban Nagari, diceritakan bahwa Dukuh 
Pasambangan kedatangan guru-guru agama Islam dari Mekkah dan Campa, 
antara lain Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik, ulama terkenal di 
Campa yang mendirikan pondok di Quro, Karawang, yang kemudian terkenal 
dengan nama Syekh Quro. J uru Labuhan, Ki Gedeng Tapa, menyuruh 
putrinya, Nyai Subanglarang, berguru agama Islam di Pondok Quro, yang 
akhirnya menjadi istri Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro. 
Diceritakan pula saat J uru Labuhan Ki Gedeng J umajanjati, Dukuh 
Pasambangan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Idhofi atau 
Nuruljati dari Kerajaan Persia yang waktu itu beribukota di Baghdad. Syekh 
Datuk Kahi sebagai utusan dari Persia, disertai oleh dua puluh orang pria 
dan dua orang Wanita. Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan 
dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajanjati (Atja, 1972: 46-47).
Pada waktu itu kapal Tionghoa, di bawah Panglima bernama Wai Ping 
dan Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya yang berjumlah banyak, sing�gah di Pasambangan dalam perjalanannya ke Majapahit. Oleh Juru Labuhan, 
mereka diterima baik dan selama di dukuh itu mereka membuat menara api 
di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai imbalan, oleh Juru Labuhan Ki Gedeng 
J umajanjati yang berkedudukan sebagai Mangkubumi, mereka diberikan 
hadiah berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati 
(Atja, 1972: 7).
Walang Sungsang (Cakrabuwana) bersama istrinya yang bernama Endang 
Ayu, dan adiknya, Nyai Lara Santang, oleh Ki Gedeng Jumajanjati disuruh 
ber guru kepada Syekh Datuk Kahi yang mendirikan pondok di sebelah �Bukit Amparan Jati. Setelah berguru kepada Syekh Datuk Kahi, Walang 
Sungsang mendapat julukan Samdullah atau Cakrabumi. Atas petunjuk 
gurunya, Samdullah pergi ke Dukuh Kebon Pasisir, mendirikan gedung dan 
tajug serta membangun sarana dan prasarana lainnya. Sehingga, tempat 
yang semula dinamakan Tegal Alang-Alang itu, menjadi desa dengan kepala 
yang disebut kuwu. Tempat itu kemudian dinamakan Caruban atau Caruban 
Larang. Karena itu para pedagang yang biasanya mengunjungi pelabuhan di 
Muara Jati, Dukuh Pasambangan, pindah ke pelabuhan Caruban, sehingga 
lambat laun desa itu tumbuh menjadi sebuah perkotaan, terutama setelah 
menjadi kesultanan.
Dalam sumber-sumber lokal, baik Babad Cirebon maupun Carita Purw aka 
Caruban Nagari, diceritakan tentang kepergian Pangeran Cakrabuwana atau 
Cakrabumi dengan adiknya, Nyai Lara Santang, untuk menunaikan ibadah haji 
atas saran Syekh Datuk Kahi, setelah mereka berdua tinggal selama sembilan 
bulan di Kebon Pesisir atau Caruban. Mereka melaksanakan ibadah haji 
selama dua tahun. Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuwana 
mendapat gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman. Sedangkan Nyai Lara 
Santang diberi gelar Syarifah Mudha’im (Atja, 1972: 48-49; Rinkers, 1911; 
Naskah Zang 1, 2, 3: 30-37). Diceritakan bahwa Syarifah Mudha’im dinikahi 
oleh Syarif Abdullah dari negeri Mesir yang kemudian melahirkan seorang 
putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M. 
Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa menyusul ibunya dan 
pamannya, Syekh Duliman yang telah menjadi Kuwu Cirebon. Kedatangan 
Syarif Hidayatullah di Cirebon terjadi tahun 1470 M. Setelah menikah de ngan 
putri pamannya, Nyai Pakungwati, ia diangkat menjadi Kuwu Cirebon meng�gantikan pamannya, Pangeran Cakrabumi atau Syekh Duliman (Abdullah 
Iman), tahun 1479. Sejak itu pula Syarif Hidayatullah mendapat gelar 
Sinuhun Carbon. Karena itu, dari segi struktur pemerintahan, Cirebon sudah 
boleh disebut awal kesultanan sesuai dengan proses pelepasan dari kerajaan 
bercorak Hindu-Buddha, Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. 
Dalam sumber lokal dikatakan bahwa, sejak pemerintahan Sinuhun Carbon 
yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, pajak garam dan terasi (bulu 
bekti uyah kalaw an terasi) dari Cirebon yang biasanya dibaktikan kepada 
Raja di Pakuan, dihentikan sama sekali.
Daerah Cirebon pernah menjadi bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal 
itu bukan hanya diceritakan dalam babad atau cerita sastra-sejarah lokal, tetapi 
juga dibuktikan oleh berita asing, antara lain oleh Tome Pires dalam berita 
perjalanannya, Sum a Oriental (1512-1515), yang sekitar tahun 1513 singgah di 
kota Cirebon yang ia sebut Cherim on (Choroboam). Dikatakan bah wa tanah 
Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah Sunda, tetapi kini masuk Jawa. 
Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vassal Pate Rodim, Raja Demak. �Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik. Banyak kapal berlabuh di sana. 
Selain itu, terdapat tiga atau empat jung di sana. Cirebon juga mempunyai 
banyak hasil bumi beras dan bahan makanan. Yang menarik perhatian adalah, 
Tome Pires menyebutkan pelabuhan Cimanuk sebagai pelabuhan keenam 
yang masuk ke dalam Kerajaan Sunda meskipun sudah banyak orang-orang 
Muslim. Pelabuhan Cimanuk atau Indramayu merupakan batas Kerajaan 
Sunda (Armando Cortesao, 1967: 173, 183).
Bukti arkeologis bahwa Cirebon sudah mengalami pertumbuhan dan 
masuk wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran adalah ditemukannya sebuah 
prasasti batu dari Huludayeuh dekat Cirebon yang aksara dan nama rajanya 
serupa dengan tulisan dalam Prasasti Batu Tulis Bogor (Hasan Djafar, 
1994).
Dari uraian di atas, jelas bahwa Cirebon, sebelum menjadi kota pusat 
kesultanan sudah mengalami pertumbuhan, yaitu sejak zaman Kerajaan 
Sunda Pajajaran dengan pelabuhan pertam a yang berada di Dukuh 
Pasambangan dan kemudian pindah ke Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang 
(Lemah Wungkuk) sampai menjadi Desa Caruban yang lambat laun menjadi 
sebuah kota pesisir yang mencapai perkembangannya sejak pemerintahan 
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung J ati), putra Syarifah Mudha’im yang 
sebelumnya bernama Nyai Lara (Rara) Santang.�Masa Perkembangan 
Apabila pertumbuhan Cirebon sebelum menjadi kesultanan sudah terjadi, 
maka sejak Syarif Hidayatullah memerintah sekitar 1479 M sudah dapat 
di sebut Kesultanan Cirebon, meskipun dalam berbagai sumber naskah 
kuno, waktu itu penguasa-penguasanya tidak digelari sultan, tetapi masih 
pa nembahan atau pangeran. Pemberian gelar sultan kepada raja-raja 
atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua ke�sultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677), setelah 
kedua putra Panembahan Girilaya yang pergi ke Mataram diselamatkan 
dari pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Sekembalinya 
dari Banten, kedua putra panembahan itu, yakni Pangeran Syamsuddin 
Martawijaya dan Pangeran Badruddin Kartawijaya, menjadi Sultan Sepuh 
(Syamsuddin Martawijaya) dan Sultan Anom (Badruddin Kartawijaya) (Atja, 
1972, 68; Rinkes, 1911; Naskah Zang 36: 142-143).
Meskipun sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah dikatakan sebagai masa 
Kesultanan Cirebon, tetapi kedatangan dan penyebaran Islam di daerah itu 
sudah ada, sebagaimana dapat diketahui dari sumber-sumber seja rah antara 
lain Babad Cirebon dan Carita Purw aka Caruban Nagari. Berita Tome 
Pires (1512-1515) menyebutkan bahwa, kira-kira 40 tahun lalu, di tempat ini 
(Choroboam atau Cirebon) masih terjadi perbudakan. Waktu itu Raja Demak 
mempunyai budak dari Gresik yang ditempatkannya sebagai kapten di Cirebon 
dengan gelar Pate Choroboam (Cirebon), yakni kakek Pate Rodim dari Demak 
yang sekarang menjadi raja (Armando Cortesao, 1944: 183). 
Jika berita Tome Pires itu kita terima, dengan kehadiran Islam di Cirebon 
lebih kurang 40 tahun lalu ketika Tome Pires singgah di Kota Cirebon (1513), 
maka jatuhnya lebih kurang tahun 1473. Tahun ini setidaknya menunjukkan 
waktu kehadiran Syarif Hidayatullah tahun 1470 dan mungkin sejak kehadiran 
Syekh Datuk Kahi, Syekh Abdullah Iman (Samdullah atau Cakrabuwana) 
pada tahun-tahun sebelum 1470. Diberitakan Tome Pires bahwa, pada waktu 
kehadiran Tome Pires di Cirebon, yang menjadi raja ialah Lebe Uca, vassal
Pate Rodim, Raja Demak.
Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik sebagai tempat singgah kapal�kapal. Di sana, ada tiga atau empat buah jung. Cirebon mempunyai banyak 
beras dan bahan-bahan makanan dan memiliki sepuluh lanchara. Selain itu, 
tapi tidak banyak diceritakan, Cirebon mempunyai penduduk sampai 1.000 
jiwa. Pate Quider, salah seorang pemberontak di Upeh (Malaka) juga tinggal 
di Cirebon. Di Cirebon ada lima atau enam pedagang besar, misalnya Pate 
Quedir, ia seorang pedagang yang berani dan ksatria (Cortesao, 1944: 183). 
Nama Lebe Uca dan Pate Quedir, sebagaimana disebut-sebut oleh Tome 
Pires, masih sukar untuk diidentiikasikan dengan nama-nama yang disebut 
dalam sumber-sumber lokal.�Masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) merupakan masa 
perkembangan Kesultanan Cirebon. Pada masanya, bidang politik, keagamaan, 
dan perdagangan, makin maju. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam ke 
Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah, 
yaitu Maulana Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Unum, 
penguasa kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di 
Banten Girang. Setelah Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin 
terletak di Surosowan dekat Muara Cibanten (Hoesein Djajadiningrat, 1983), 
Priangan Timur antara lain ke Kerajaan Galuh tahun 1528, kemudian Talaga 
tahun 1530. 
Penyebaran Islam ke daerah Babadan, Kuningan (Selatan Cirebon), 
Indramayu, dan Karawang, terjadi dengan damai. Mungkin fenomena ini bisa 
ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk memperbesar posisinya di bidang 
perdagangan dan pelayaran dengan cara menguasai daerah pedalaman 
yang menjadi sumber penghasil komoditas perdagangan seperti beras dan 
kayu, serta sekaligus tempat mensuplai barang-barang dari luar (Singgih Tri 
Sulistiyono, 1997: 82). 
Penyebaran Islam ke arah barat, yaitu di sepanjang pesisir utara Jawa 
bagian barat, juga erat kaitannya dengan politik Kesultanan Demak. Antara 
kedua kesultanan itu sejak semula sudah ada hubungan kekerabatan. 
Dari segi politik, penyebaran Islam di pesisir utara J awa bagian barat itu 
lebih jelas pada waktu Kesultanan Banten sudah berdiri. Penyerangan ke 
pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran terjadi tahun 1527 oleh tentara 
gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten. Penguasaan Islam tersebut 
jelas membendung pengaruh Portugis yang sudah menduduki Malaka sejak 
tahun 1511. Dengan demikian, perdagangan internasional dan regional dari 
daerah Maluku ke pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa melalui 
Selat Sunda, menjadikan kesultanan-kesultanan tersebut dapat leluasa untuk 
menyingkirkan lalu lintas perdagangan melalui Selat Malaka yang sudah 
berada di tangan kekuasaan Portugis (Uka Tjandrasasmita, 2001: 43-64). 
Perdagangan internasional yang dilakukan kesultanan-kesultanan dari 
Nusantara melalui Samudera-Hindia ke negeri-negeri Timur Tengah, me�lalui Teluk Aden sampai ke Afrika Timur, selalu mendapat rintangan dengan 
cara pencegatan di Lautan Hindia oleh kapal-kapal Portugis. K.N. Chaudhuri 
mengatakan, “Kedatangan Portugis di Benua India secara tiba-tiba memang 
mengakhiri sistem pelayaran yang damai yang menandai kawasan ini” (K.N. 
Chaudhuri, 1989). Meskipun demikian di berbagai pelabuhan di sepanjang 
pesisir utara Jawa seperti Gresik, Sedayu, Tuban, J epara, Demak, termasuk 
Cirebon, J ayakarta, dan Banten, terdapat kelompok-kelompok pedagang 
dari Arab dan Timur Tengah, India, dan lainnya, di samping para pedagang 
Tionghoa dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Cirebon dengan demikian �ma kin tumbuh menjadi kota Muslim yang sejak kehadiran Tome Pires 
(1513) penduduknya berjumlah sekitar 1.000 orang. Lebih-lebih pada masa 
pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang lebih kurang berusia 
setengah abad, penduduk dan keramaian kota pusat pemerintahan Kesultanan 
Cirebon sudah lebih banyak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Trenggono, di Kesultanan Demak dan 
Syarif Hidayatullah, terjadi perluasan politik dengan adanya serangan terhadap 
kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu Kalapa, pada 22 Juni 
1527. Keberhasilan serangan tentara gabungan Demak-Cirebon, dan kemudian 
Banten di bawah pimpinan panglimanya, Fadhillah Khan (berdasarkan Carita 
Purw aka Caruban Nagari), atau Faletehan (berdasarkan berita Portugis de 
Barros) dalam merebut kekuasaan Kalapa dan mengusir armada Portugis 
di bawah pimpinan Francisco de Sa, menyebabkan nama Kalapa diganti 
menjadi Jayakarta oleh Fadhillah Khan (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 99; 
Atja, 1972: 56-57).
Sementara itu, Hoesein Djajadiningrat menyamakan Falatehan atau 
Tagaril (berita Portugis) dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung 
J ati Mazdkurullah. Namun, menurut saya, pendapat Djajadiningrat perlu 
di kritisi. Karena, berdasarkan hasil temuan dari Carita Purw aka Caruban 
Nagari susunan Pangeran Arya Cirebon (1720), ternyata yang berperan 
meng ada kan serangan ke Kalapa ialah Fadhillah Khan, seorang yang berasal 
dari Pasai yang datang ke Jepara, Demak, dan kemudian dijadikan menantu 
Pangeran Trenggono. Kemudian Fadhillah Khan menjadi panglima untuk 
menyerang Kalapa dengan membawa tentara gabungan Demak dan Cirebon 
yang berjumlah 1967 (berita Portugis: 2.000) orang. Ketika tiba di Cirebon, 
Fadhillah Khan diterima Syarif Hidayatullah dan mendapat restu karena 
dijadikan menantu oleh Syarif Hidayatullah. Dari fakta tersebut kita dapat 
memisahkan adanya dua tokoh Syarif Hidayatullah dan Fadhillah Khan. 
Karena itu, kemungkinan besar Falatehan yang dimaksud berita Portugis 
itulah yang sama dengan Fadhillah Khan. 
Syarif Hidayatullah yang mendapat julukan Pandita Ratu (ulama yang 
menjadi raja) adalah salah seorang dari Wali Sanga yang lebih giat men�jalankan keagamaan dari pada bergerak di bidang politik. Pada masa serangan 
Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono terhadap Pasuruan di J awa 
Timur, menurut berita Portugis, Tagaril dari Cirebon juga turut serta dalam 
serangan. Setelah Pangeran Trenggono wafat tahun 1546, ia kembali. Tetapi 
menurut Carita Purw aka Caruban Nagari, pada tahun 1552, Fadhillah ada di 
Cirebon mewakili Susuhunan Gunung Jati. Setelah itu ia menjadi pengganti 
sementara sebelum kemudian digantikan lagi oleh Pangeran Pasarean. 
Setelah Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan Sunan Gunung J ati 
wafat tahun 1568, putranya, yakni Pangeran Pasarean, menggantikan �ayahnya. Setelah itu, Kesultanan Cirebon diperintah oleh putra Pangeran 
Pasarean, yaitu Panembahan Ratu (1546-1649), cucu Sunan Gunung J ati. 
Pada masa ini terjalin hubungan antara Mataram dan Cirebon yang se�benar nya sudah terjadi sejak pemerintahan Senapati Ing Alaga yang juga 
mem punyai pengaruh kekuasaan di daerah Priangan Timur. Konon, sebuah 
cerita menggambarkan bahwa pada tahun 1590, Raja Mataram, Panembahan 
Senapati, membantu pemimpin agama Cirebon, Pangeran Ratu, untuk men�dirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Waktu itu Raja 
Mataram menganggap Cirebon sebagai suatu pertahanan militer di ba gian 
barat Kerajaan Mataram (De Graaf dan Pigeaud, 1986: 144-1450). Panembahan 
Ratu mengalami pergolakan dengan munculnya kekuasaan Belanda di Batavia 
dan dengan terjadinya peperangan antara Mataram dan Banten.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon masih 
me nunjukkan kegiatannya dalam bidang perdagangan. Setelah terjadinya 
serangan Mataram terhadap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629, pihak 
VOC tetap menaruh kecurigaan terhadap orang-orang Cirebon dan Mataram. 
Dalam Daghregister tahun 1632, Belanda memberitakan bahwa sekitar 
tanggal 30 April, ada empat atau lima ribu orang dari Mataram dan seribu 
orang dari Cirebon, di bawah pimpinan orang kaya Mattasary, dikhawatirkan 
akan menuju Batavia. Dikabarkan bahwa 50 kapal dari Cirebon dengan 
muatan beras, memasuki daerah perairan sebelah timur Karawang. Pada 
tanggal 7 Mei 1632 datang juga perahu-perahu dari Cirebon dan kapal 
Melayu yang membawa muatan gula dan lain-lain, yang oleh pihak Belanda 
diduga menuju Batavia. Kemudian, tanggal 12 Mei 1632, datang kapal-kapal 
Melayu dengan muatan gula, minyak, dan lain-lain. Kesibukan perdagangan 
Kesultanan Cirebon itu telah dicatat dalam Daghregister tahun 1633 dan 
1634, yang menjelaskan datangnya sejumlah komoditas perdagangan berupa 
beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan sebagainya (Daghregister
Gehouden in ‘t Casteel Batavia Anno 1631-1634, 1898; Daghregister 1632: 72, 
73, 76, 104; Daghregister 1633: 291, 374, 408, 409, 410, 418; Daghregister
1634: 291, 374, 408, 409, 410, 418, 419, 438). 
Setelah Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Pangeran 
Girilaya. Hubungan antara Mataram dengan Cirebon makin erat, karena 
seorang putri Susuhunan Amangkurat I menikah dengan Panembahan 
Girilaya. Pertalian kekerabatan antara Kesultanan Mataram dengan 
Cirebon, sebelumnya juga telah dilakukan antara saudara kakak perempuan 
Panembahan Ratu, yaitu Ratu Sakluh dengan Sultan Agung yang melahirkan 
Susuhunan Amangkurat I. Sikap Kesultanan Banten terhadap Kesultanan 
Cirebon tetap baik, karena sultan-sultan Banten masih mengakui dan hormat 
kepada sultan-sultan Cirebon yang dipandang sebagai leluhurnya, yaitu Sunan 
Gunung Jati, ayah Maulana Hasanuddin.
�Kesultanan Cirebon pada masa Panembahan Girilaya masih melakukan 
kegiatan perdagangan. Sebagaimana dicatat dalam Daghregister tahun 
1675 bahwa pada 30 April 1675, ada 25 kapal dari Cirebon dengan 1067 
penumpangnya sampai di Batavia dengan membawa 38.000 potong barang�barang kecil, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula hitam, 10 karung gula putih, 
1717 karung beras, 155 pot minyak, 24 sak kapuk, 10.000 telur asin, 1300 ikat 
padi, 2 pikul tembakau jawa, 200 lembar kulit kerbau, dan barang-barang 
lainnya. Ada pula kapal-kapal dari Cirebon yang membawa barang dagangan 
ke Batavia, sebagaimana diberitakan dalam Daghregister tahun 1676, 1677, 
dan 1678 (Daghregister, 1675: 111, 113; Daghregister, 1676: 111, 118).
Ketika pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura, Panembahan 
Girilaya minta kepada Pangeran Trunojoyo agar kedua putra Panembahan 
Girilaya diselamatkan. Ia kemudian dibawa ke Banten dan diberi gelar 
sul tan sekitar tahun 1677. Ketika itu, Pangeran Syamsuddin Martawijaya 
men jadi Sultan Kasepuhan dan Pangeran Badruddin Kartawijaya menjadi 
Sultan Kanom an. Lain halnya dengan Pangeran Wangsakerta, putra 
Panembahan Girilaya. Waktu kedua saudaranya berada di Mataram dengan 
restu Sultan Mataram, ia tetap ada di Cirebon, mewakili ayahnya. Tetapi 
ia tidak memperoleh gelar sultan. Sejak masa inilah mulai ada tanda-tanda 
keruntuhan Kesultanan Cirebon.
Masa Keruntuhan
Bibit keruntuhan Kesultanan Cirebon dimulai ketika kesultanan ini dibagi 
menjadi dua kekuasaan, yakni Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman. 
Perselisihan antara kedua kesultanan itu ditambah dengan ketidakpuasan 
Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. 
Antara Kesultanan Cirebon dan VOC, terjadi persahabatan melalui perjanjian�perjanjian pada 7 Januari 1681 yang dilanjutkan dengan perjanjian tanggal 4 
Desember 1685, 5 Desember 1688, 4 Agustus 1699, 17 Januari 1708, dan 18 
Januari 1752 (Uka Tjandrasasmita, 1997: 55-75). 
Sejak perjanjian 7 Januari 1681, dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dan 
Dewan Hindia, mengakui keberadaan ketiga raja di Cirebon. Masing-masing 
berdiri sendiri, dan dari status vassal dan bawahan, mereka menjadi rekan 
dan sahabat (van vassalen en onderhorigen tot bondgenoten en vrienden) (F. 
de Haan, 1910: 53). Meskipun demikian, hal itu tetap merupakan keuntungan 
bagi VOC untuk mencampuri urusan-urusan politik Kesultanan Cirebon dan 
juga memonopoli perdagangan. Sejak adanya campur tangan politik di antara 
sultan-sultan di Cirebon, bibit perselisihan yang ada makin menjadi. 
Tahun 170 0 , kesultanan terbagi menjadi empat kekuasaan. Selain 
Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan Kacirebonan di bawah 
Pangeran Arya Cirebon, dan Keprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran 
Wangsakerta. Sejak itu perdagangan internasional melalui Pelabuhan Cirebon �sudah berada di tangan VOC. Untuk memudahkan monopoli perdagangan 
dan pengumpulan hasil-hasil pertanian, terutama lada dari daerah Priangan 
Timur, Pangeran Arya Cirebon diangkat menjadi pengawas para bupati 
di Priangan Timur (Mason Claude Hoadley, 1975: 77) pada tahun 1706, 
sehingga hasil bumi dari daerah itu mudah dikumpulkan untuk dibawa ke 
Cirebon demi kepentingan VOC. Pengangkatan Pangeran Arya bertujuan 
agar kedudukannya menjadi terpandang, meskipun ia tidak bergelar sultan. 
Sejak awal abad ke-18, Kesultanan Cirebon, baik di bidang politik maupun 
ekonomi-perdagangan, mengalami keruntuhan karena dikendalikan VOC yang 
berlanjut hingga pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan 
masa pendudukan Jepang tahun 1942, di mana sultan-sultan mendapat gaji 
dari pemerintah kolonial itu. 
Keagamaan 
Di atas sudah dikemukakan bahwa sejak sebelum kedatangan Syarif 
Hidayatullah ke Cirebon, Islam sudah masuk melalui Pelabuhan Muara 
Amparan Jati di Dukuh Pasambangan. Di antara mereka, Syekh Hasanuddin 
terus mendirikan pondok pesantren di Quro, Karawang. Kemudian datang 
pula Syekh Datuk Kahi dengan rombongannya yang membangun pondok di 
sebelah timur Bukit Amparan Jati, di mana Nyai Lara (Rara) Santang dan 
Pangeran Cakrabuwana atau Walangsungsang, yang setelah pergi ke Mekkah, 
mendapat gelar Syarifah Mudha’im dan Syekh Abdullah Iman atau Syekh 
Duliman. Sekembalinya ke Cirebon, Syekh Abdullah Iman menjadi Kuwu, 
Kepala Desa Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemahwungkuk yang 
kemudian terkenal dengan Cirebon.
Syarif Hidayatullah, putra Syarifah Mudha’im, datang ke Cirebon tahun 
1470. Dan pada tahun 1479, ia dijadikan pengganti Syekh Abdullah Iman 
atau Pangeran Cakrabumi sebagai Ki Kuwu Cirebon yang akhirnya menjadi 
penguasa utama dengan gelar Sinuhun Cirebon. Ia bukan hanya berkedudukan 
sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai wali dari Wali Sanga yang 
berusaha mengislamkan masyarakat di Tatar Sunda. Sehubungan dengan 
dua jabatan itulah, ia mendapat gelar Pandita Ratu. Pada tahun 1525-1526, 
ia dengan putranya, Maulana Hasanuddin, menyebarkan Islam di Banten 
sehingga menjadi kesultanan yang maju sejak Maulana Hasanuddin dan 
Maulana Yusuf dan terutama pada masa Sultan Abdul Fatah Abdul Fathi atau 
terkenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang oleh VOC dianggap 
sebagai musuh terbesar (Uka Tjandrasasmita, 1965). 
Berdasarkan Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati merupakan penganut 
ahlu al-Sunnah w al-Jam a’ah dari Mazhab Syafii. Pernikahan Syarifah 
Mudha’im, ibu Syarif Hidayatullah, dengan Maulana Hud di Mekkah, di 
mana Syekh Abdullah Iman yang menjadi walinya, juga memakai cara-cara �
Mazhab Syaii (haji ngabdullah pinangka w alinira sang Mudha’im im am 
Syai’i angijab aken paningkah sang dewi maring maulana Hud…) (D.A. 
Rinkers, 1911: 35).
Dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan bahwa, 
sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, ia telah mendalami akidah, syariah, 
bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Berdasarkan Sajarah Banten Rante-Rante 
dan Hikayat Hasanuddin, Martin van Bruinessen berpendapat bahwa Sunan 
Gunung J ati merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah, dan Bruinessen 
membahasnya secara luas (Martin van Bruinessen, 1995: 223-245). Seperti 
telah dikatakan bahwa sumber lokal membahas guru-guru Sunan Gunung Jati 
dan 27 nama teman-teman seperguruannya yang tercantum pada silsilahnya 
dalam sumber babad tersebut. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang 
dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon
dan Hikayat Hasanuddin selalu disebut-sebut. Setelah itu, ia berguru kepada 
Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah 
dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Ia 
juga belajar Tarekat Syattariyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.
Tarekat Syattariyah berkembang di Cirebon mungkin diajarkan oleh 
Syekh Abdul Muhyi yang pernah berguru kepada Syekh Kuala atau Abdu 
al-Rauf al-Singkili di Aceh. Syekh Abdul Muhyi, sekembalinya dari Timur 
Tengah ke Jawa, menetap beberapa lama di daerah Cirebon. Ia mengajarkan 
ajaran Syattariyah yang di dalamnya menerangkan tentang “Martabat Tujuh” 
(Alifya M. Santrie, 1992: 105-129; Azyumardi Azra, 1998: 189-211). Setelah 
dari Cirebon, Syekh Abdul Muhyi akhirnya pergi ke Pamijahan sampai 
meninggal dan dimakamkan di kampung tersebut (Kabupaten Tasikmalaya) 
yang sampai kini banyak diziarahi masyarakat dari berbagai daerah.
Di Cirebon, selain Tarekat Syattariyah juga terdapat Tarekat Qadiriyah, 
Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah. Karena tarekat dianggap sebagai sumber 
kekuatan spiritual sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja 
(Martin van Bruinessen, 1995: 197). Di Banten, Cirebon, Aceh, dan Maluku, 
terdapat permainan debus yang biasanya dihubungkan dengan Tarekat 
Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Syattariyah. Di daerah Cirebon dan Garut (J awa 
Barat) juga terkenal ajaran Tarekat Tijaniyah yang mula-mula dicetuskan 
Ahmad al-Tijani (1757-1815). Tetapi di daerah lainnya di Nusantara, tarekat 
ini mendapat tantangan dari tarekat-tarekat lainnya (Martin van Bruinessen,
1995: 201). 
Di dalam sejarah keagamaan Kesultanan Cirebon, selain pada umumnya 
menjadi penganut Mazhab Syaii, yang berarti termasuk golongan Sunni, juga 
terdapat unsur-unsur aliran Syiah seperti terbukti dari cerita-cerita tentang 
Ali bin Abi Thalib. Dalam naskah kuno seperti Babad Cirebon, juga terdapat 
silsilah yang tidak dipisahkan dari beberapa nama yang dapat dikaitkan �
dengan tokoh Syiah. Lukisan di Cirebon yang menggambarkan “Macan Ali” 
banyak didapatkan pada Mushaf al-Quran dan pada ukiran kayu. Pendapat 
Hasan Mu’arif Ambary bahwa di Cirebon Islam pernah berkembang dalam 
dua bentuk mazhab, yaitu Sunni dan Syiah, mungkin ada benarnya (Hasan 
Mu’arif Ambary, 1997: 35-53). Perkembangan keagamaan Islam di Cirebon 
sudah tentu tereleksi pada bidang kebudayaan yang akan dibicarakan di 
bawah.
Seni Bangun dan Ragam Hias 
Berdasarkan tinjauan teori proses akulturasi, yang terjadi di Cirebon sejak 
berkembangnya kesultanan, jelas tidak dapat dipisahkan adanya unsur-unsur 
budaya sebelumnya, yaitu Hindu-Buddha yang tumbuh dan berkembang 
dengan unsur-unsur budaya releksi dari keagamaan Islam. Contohnya 
adalah pada pembentukan kota dari segi morfologis, bangunan keraton, ba�ngunan masjid, seni ukir atau hiasan, naskah-naskah kuno (manuskrip), dan 
lainnya.
Cirebon tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota, terutama sejak 
pemerintahan Cirebon dipimpin Syarif Hidayatullah tahun 1479. Karena itu, 
tidak mengherankan apabila musair Portugis, Tome Pires, ketika singgah 
di tempat ini, mengatakan bahwa Coroboum (Cirebon) merupakan kota 
yang sudah berpenduduk 1.0 0 0 orang dengan bandar yang ramai dan 
sudah melakukan ekspor dan impor barang-barang yang diperlukan. J ika 
diperhatikan dari segi morfologi, Kota Cirebon, baik Kesultanan Kasepuhan 
maupun Kanoman, mempunyai tatanan letak sebagai berikut: Keraton 
Pakungwati yang kini tinggal reruntuhannya terletak di bagian selatan, 
menghadap ke utara dengan tiga pelataran sampai ke alun-alun di sebelah 
utaranya. Di sebelah barat alun-alun terletak Masjid Agung, dan di sebelah 
timur laut terletak pasar. Demikian juga Keraton Kanoman meskipun letak 
pasarnya di sebelah utara alun-alun. Dari segi morfologi, Kota Cirebon tidak 
berbeda dengan kota-kota pusat kesultanan di pesisir utara J awa seperti 
Demak, Banten, dan daerah lain (Uka Tjandrasasmita, 2000: 56-60). 
Di Keraton Kesultanan Kasepuhan, yakni di tempat Sultan Sepuh, masih 
terdapat pelataran: pelataran pertama, kedua, dan yang paling belakang, 
pelataran ketiga, dengan bangunan keraton. Tiga pembagian pelataran 
mengingatkan kepada letak kompleks percandian di Jawa Timur masa Kerajaan 
Majapahit, seperti Candi Panataran di daerah Blitar. Nama-nama bangunan, 
baik yang dimiliki Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon maupun 
keraton-keraton di Yogyakarta dan di Surakarta (Solo), juga menggunakan 
istilah lokal J awa. Keraton Kasepuhan itu sendiri dibagi atas tiga bagian, 
yakni Pancaniti, Prabayaksa-Paseban sampai dalem , ruangan khusus Sultan. 
Sitinggil di pelataran depan sebelah kanan mempunyai bangunan dengan �
gerbang berupa bentuk Candi Bentar. Bangunan-bangunan yang berada di 
Sitinggil itu ada yang dinamakan dengan Islam, seperti di bagian terdepan 
yang bertiang 20 dan menjadi tempat sultan dengan para pembesarnya duduk 
melihat upacara-upacara yang diselenggarakan di alun-alun yang berfungsi 
sebagai tempat berkumpulnya masyarakat umum. Bangunan bertiang 20 
itu dihubungkan dengan “sifat dua puluh”. Di atas Sitinggil bagian kanan 
belakang terdapat bangunan kecil bertiang dua yang disebut Semar Tinandu 
dan diberi sebutan Islam dengan ucapan Kalimat Syahadat; di bagian kiri 
belakang bangunan yang bertiang dua puluh ada bangunan bertiang lima 
Pancapandawa yang dihubungkan dengan Rukun Islam. 
Bangunan Masjid Agung di Kasepuhan yang dinamakan Sang Cipta Rasa 
oleh para Wali Songo, juga mempunyai gaya arsitektur khas Indonesia kuno 
yang mengingatkan pada bentuk m eru seperti pada relief-relief beberapa 
candi di Jawa Timur dan bangunan pura di Bali. Masjid Agung Cirebon yang 
sekarang atapnya hanya dua, sebenarnya merupakan suatu arsitektur untuk 
susunan atap tiga. Bagian dalam masjid dibuat dari tembok batu-bata dengan 
pintu masuk yang besar di tengah; sedangkan di tembok sampingnya dibuat 
pintu-pintu masuk yang rendah. Mihrab masjid dihiasi unsur-unsur hiasan 
pola teratai. Jadi, dalam arsitektur masjid dan juga ragam hiasannya lebih 
cenderung kepada gaya arsitektur pra-Islam. 
Ragam hiasan yang terdapat di keraton mempunyai bentuk khas w adasan. 
Menarik bahwa pada tiang-tiangnya terdapat hiasan pattra dan lainnya. Tetapi 
dinding tembok Keraton Kasepuhan sekarang banyak dihiasi oleh tegel-tegel 
delf dan juga piring-piring porselen Tionghoa. Bagian-bagian tembok bata 
dan ukiran-ukiran pada tiang-tiang Sitinggil dan Keraton, menunjukan gaya 
campuran, antara lain geometrik yang memberikan gambar akulade dan 
jalinan tambang yang agaknya menunjukkan pengaruh ragam hiasan Islam. 
Pengaruh kesenian hiasan Tionghoa terlihat sangat jelas pada hiasan din�ding tembok dan gerbang keraton yang menggunakan piring-piring Tionghoa. 
Adanya unsur-unsur bangunan bata dan juga hiasan w adas seperti sisia 
aw an, kemudian hiasan teratai dalam bentuk hati, dimungkinkan karena, 
menurut cerita dalam babad-babad lokal, pernah terjadi bahwa kepala tukang 
dari Majapahit bernama Raden Sepet, setelah mengerjakan bangunan-ba�ngunan di Demak, juga diminta mengerjakan bangunan Cirebon (Uka 
Tjandrasasmita, 1975: 93-98; Uka Tjandrasasmita, 1976). 
Bangunan lainnya, Guha Sunia Ragi yang dibuat tahun 1703 sebagai 
tempat peristirahatan sultan, juga menunjukkan arsitektur gaya Tionghoa 
dan dibuat dari batu karang dan batu yang ditambah dengan pot-pot bunga 
dan bale kam bang dan lorong-lorong yang mengingatkan kita kepada ba�ngunan yang berada di Forbidden City di Beijing, yang saya lihat pada waktu 
menghadiri Seminar Internasional Arkeologi tahun 1983.�
Yang menarik adalah bangunan dan tata letak kompleks Makam Sunan 
Gunung J ati yang serupa dengan sebuah bukit yang dibuat 9 tingkatan. 
Ting katan paling atas adalah jinem , yakni bangunan untuk makam Sunan 
Gunung Jati beserta keluarganya. Menarik perhatian karena, setelah terjadi 
per pecahan politik, di mana terjadi pembagian Kesultanan Kasepuhan dan 
Kanoman, kemudian Kesultanan Cirebon dan Panembahan-Keprabonan, 
maka tata letak kuburan para Sultan Kasepuhan berada di sebelah kanan 
yang dipisah oleh jalan bertingkat-tingkat. Sedang di sebelah kirinya untuk 
ku buran para Sultan Kanoman. Di bawahnya terdapat deretan kuburan Sultan 
Ka cirebonan dan Panembahan Keprabon sampai tingkat tiga. Perpecahan 
politik ketika di dunia, dibawa setelah di kubur dengan ditempatkan secara 
ter pisah. Ketika belum ada perpecahan politik, sangat jelas masa Sunan 
Gunung J ati dan beberapa sultan lainnya ditempatkan dalam jinem atau 
cung kup teratas, seperti halnya di kompleks makam Imogiri yang terpisah, 
di mana tempat kuburan para Sultan Yogyakarta berada di sebelah kanan, se�dang kan kuburan Susuhunan Solo berada di sebelah kiri terpisah oleh sebuah 
jalan bersama; tempat kubur Sultan Agung Hanyokrokusumo berada paling 
atas (Uka Tjandrasasmita, 1999: 285-300).
Kompleks makam yang dibuat sembilan tingkat itu mungkin pula mem�berikan simbol songo, Wali Songo; nilai sembilan juga untuk masa sebelum 
Islam. Sedangkan bukit juga dapat dipandang sebagai m eru yang mungkin �sekali mempunyai kaitan dengan pikiran bahwa gunung merupakan tempat 
tinggi roh-roh nenek moyang. Seperti halnya sebutan Imogiri untuk Himagiri. 
J adi, membuat kompleks makam orang-orang yang dianggap suci di atas 
bukit-bukit seperti halnya kompleks makam Sunan Giri di Gresik Jawa Timur, 
kompleks makam Sunan Muria di Solo, atau kompleks makam Sunan Bayat 
di Tembayat, Klaten, merupakan hal biasa dan mentradisi.
Terakhir adalah kereta-kereta kuno. Di Keraton Kasepuhan terdapat 
Kereta Singa Barong atau Singa Naga Liman yang menurut Candrasangkala 
Iku Pandito Buto Rupanane, berarti 1751 dibaca 1571 Saka, sama dengan 
1649 M. Kereta ini, dari segi rodanya, bukan untuk ditarik kuda tetapi oleh 
sapi. Bentuk itulah yang menyerupai burung, naga, dan gajah dengan penuh 
ukiran pada sayapnya. Di Keraton Kanoman juga terdapat Kereta Paksi Naga 
Liman yang memuat angka tahun Jawa pada m edallion ban lehernya tahun 
1350 yang berarti sama dengan 1428 M (Drs. H.B. Vos, 1986: 39-42).
Wayang dan Topeng
Di Cirebon terdapat wayang kulit dan wayang cepak (papak, m enak). Wayang 
kulit menyajikan cerita-cerita yang diambil dari episode (kisah) Mahabrata 
dan Ramayana. Wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Menak yang 
meng ambil kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah yang berkaitan erat 
dengan penyebaran Islam. Wayang cirebon masih kuat dengan ritus-ritus bagi 
komunitas dan dalang-dalangnya. Faktor yang menunjang ketahanan motivasi 
ritusnya ialah bahwa komunitas Cirebon ada di antara dua budaya besar, 
yakni Jawa Tengah (Solo, Yogyakarta) dan Jawa Barat. Demikian pula dari 
segi bahasa yang khas sebagai Jawa-Cirebon, bertahan untuk jati dirinya. 
Ungkapan dalam kesenian, selain pertunjukan wayang, juga dalam topeng 
Cirebon yang sampai kini pembuatan topengnya masih hidup di Gresik. Selain 
itu, kekhasan seni yang disebut tarling (permainan gitar dan suling), gamelan 
Cirebon, kuda lumping, sintren, lais, barongan (bengberokan), lukisan kaca, 
dan angklung bungko yang kesemuanya sampai kini masih cukup terpelihara 
keberadaannya (Saini K.M., 1997: 163-167). 
Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat penting sebagai pengungkap 
jati diri kecirebonannya. Faktor lain yang mendukung adalah keberadaan 
keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan). Ketiga keraton ini, 
selain menjadi buhul tali pengikat yang menghubungkan masyarakat budaya 
Cirebon, yang terpenting adalah upacara Panjang Jimat dalam Maulid Nabi 
Muhammad SAW.
Topeng bukan hanya terdapat di Cirebon, tetapi di mana-mana. Namun 
demikian, topeng Cirebon mempunyai kekhasannya sendiri. Pertunjukan 
topeng biasanya dilakukan di siang hari dan dilakukan di desa sampai ko�ta. Dalang topeng, seperti juga dalang wayang, biasanya berasal dari ke��turunan dan ternyata juga kadang-kadang punya pertalian keluarga. 
Per tunjukan topeng secara tradisional diselenggarakan untuk merayakan 
upacara semalaman, khitanan, perkawinan, dan juga pada upacara penting 
yang kini sudah menipis tetapi masih ada, adalah sedekah bumi, kaulan, dan 
upacara-upacara keagamaan. Pertunjukan topeng seperti tari Panji, Pamindo, 
Patih, Tumenggung dan J ingganamon, dan Klana, semua itu memerlukan 
keterampilan tarian masing-masing (Endo Suanda, 1997: 169, 192).
Seni Sastra
Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam, dikenal pula dalam bidang seni 
sastra yang pada umumnya bersifat keagamaan Islam, terutama sejak 
per kembangan Kesultanan Cirebon. Naskah-naskah kuno (manuskrip) 
yang berasal dari daerah Cirebon yang dapat dicatat oleh hasil penelitian 
Pudjiastuti, terdapat lebih kurang 200 naskah. Naskah-naskah dari Cirebon 
itu sudah dibicarakan pula oleh Agus Arismunandar dan Pudjiastuti sendiri 
(Agus Arismunandar dan Pudjiastti, 1997: 193-202). Naskah-naskah tersebut 
ditulis dalam berbagai bentuk penyajian, yakni prosa dan pupuh (m acapat, 
tembang, skema dan gambar-gambar). 
Tulisan yang dipergunakan juga bermacam-macam: tulisan Arab bahasa 
Jawa atau Pegon dan Jawi (tulisan Arab bahasa Melayu). Berdasarkan isinya, 
naskah-naskah Cirebon dapat ditafsirkan ke dalam 13 kategori jenis sastra. 
Ketiga belas kategori itu adalah sejarah, silsilah yang umumnya ditulis dalam 
bentuk skema (wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita Islam, primbon, 
obat-obatan, mantra, hukum, dongeng, legenda, dan lain-lain). Termasuk 
dalam kategori lain-lain adalah naskah-naskah yang isinya mengenai jimat 
(biasanya dalam bentuk gambar), adat istiadat, dan pelajaran asmara.
Dari sejumlah 200 naskah yang telah berhasil didata, naskah yang berisi 
sejarah cukup banyak, yakni sekitar 31 naskah. Naskah sejarah ini tampil 
dengan judul yang bermacam-macam. Di antaranya yang berbahasa Cirebon 
adalah Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, Carang Satus dan 
Carang Sew u. Naskah-naskah yang berisi tentang sejarah Cirebon, antara 
lain adalah Babad Cirebon, Carita Purw aka Caruban Nagari, dan naskah 
W angsakerta. Belum lama ini ditemukan sebuah naskah dari Metasinga oleh 
Amman N. Wahyu dan sudah dialihaksarakan dengan judul Sejarah W ali 
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. 
Di Cirebon juga terdapat sejumlah naskah kuno yang berisi tentang 
suluk atau tasawuf yang ditulis oleh kalangan ulama dari keraton seperti 
Pangeran Wangsakerta dan Pangeran Arya Cirebon. Karena itu, keraton�keraton di Cirebon dapat disebut sebagai pusat kebudayaan. Naskah-naskah 
kuno, baik Mushaf al-Quran maupun kitab-kitab ikih, juga sering ditemukan 
di pesantren-pesantren, antara lain Pesantren Buntet.�Penutup 
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertam a, per tum�buhan Cirebon sampai menjadi kesultanan, baik dari segi politik maupun 
perdagangan, sudah dimulai sejak Cirebon di bawah pemerintahan Kerajaan 
Sunda Pajajaran. Kedua, pada masa sebelum menjadi kesultanan di bawah 
pimpinan Syarif Hidayatullah, agama Islam sudah datang dan mulai menyebar 
melalui pesantren, bukan hanya oleh ulama dan para syekh, tetapi juga oleh 
penguasa desa (Kuwu) Cirebon, yaitu Syekh Abdullah Iman atau Pangeran 
Cakrabuwana (Cakrabumi).
Ketiga, agama Islam makin luas disebarkan ke daerah-daerah Talaga, 
Kuningan, Galuh, dan terutama ke Banten, oleh Syarif Hidayatullah, disusul 
ke mudian oleh Fadhillah Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran 
Trenggono. Juga dorongan Syarif Hidayatullah untuk menyerang Kalapa yang 
berhasil tahun 1527 hingga Kalapa diganti menjadi J ayakarta. Keem pat, dari 
segi politik, agama, dan ekonomi-perdagangan, sejak Syarif Hidayatullah, 
Cirebon menjadi pusat kesultanan yang mengalami pertumbuhan dan 
perkembangan sampai pemerintahan Panembahan Ratu dan Girilaya.
Kelim a, setelah kesultanan dipecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan 
Kanoman, dan karena timbul perpecahan yang dipicu oleh perjanjian dengan 
VOC Belanda, Kesultanan Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan 
pada awal abad ke-18, kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik 
maupun di bidang perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan 
seterusnya Hindia-Belanda.
Keenam, meski demikian, masih dapat dicatat bahwa Kesultanan Cirebon 
ma sih mempunyai peran dalam menghasilkan seni bangunan, seni ukir, dan 
seni hias, bahkan menonjol pula dalam seni sastra dengan banyaknya naskah�naskah kuno yang dapat ditemukan. Ketujuh, hasil-hasil seni bangunan, seni 
ukir, seni pertunjukan, serta seni hias Kesultanan Cirebon, memberikan bukti 
hasil proses akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami. �