bahasa indonesia 1

Tampilkan postingan dengan label bahasa indonesia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasa indonesia 1. Tampilkan semua postingan

bahasa indonesia 1


Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara memiliki peran
yang sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Perannya
sebagai bahasa persatuan didasarkan pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda
1928 yang berbunyi "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia." Perannya sebagai bahasa negara bersumber
pada Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal yang
menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Di samping itu,
masih ada faktor lain yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara yang masing￾masing amat penting bagi para penuturnya sebagai bahasa ibu.
Penting atau tidaknya suatu bahasa juga dilihat dari jumlah penutur,
luas sebaran, serta perannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap
budaya. Berdasarkan jumlahnya penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa
ibu memang tidak sebanyak penutur bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Akan
tetapi, jika pada jumlah itu ditambahkan jumlah penutur bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua, jumlah penutur bahasa Indonesia paling banyak di
antara jumlah penutur bahasa-bahasa lain di Indonesia. Pertambahan jumlah
penutur bahasa Indonesia itu juga diakibatkan oleh (1) arus urbanisasi yang
menimbulkan komunitas para pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya
dan yang pada gilirannya menciptakan keperiuan akan alat komunikasi
verbal yang sama; (2) perkawinan antaretnis yang mendorong orang tua
untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan anaknya; (3) kecenderungan
generasi muda keturunan warga negara asing yang tidak lagi merasa perlu
menguasai bahasa leluhurnya.
Jika dilihat dari faktor luas sebarannya, bahasa Indonesia digunakan
hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai
bahasa setempat, bahasa itu digunakan di daerah pantai timur Sumatra,
Kepulauan Riau, Bangka dan Belitung, Jakarta, daerah pantai Kalimantan,
serta beberapa daerah di wilayah Indonesia bagian timur. Kontak bahasa
Indonesia dengan bahasa daerah di wilayah itu menimbulkan kreol Melayu￾Indonesia, yakni bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Melayu,
seperti yang didapati di Jakarta dan sekitarnya, Manado, Ternate, Ambon,
Banda, Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua, bahasa Indonesia
menyebar dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari ujung utara sampai
ke ujung selatan Republik Indonesia. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia
dipelajari di negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Cina,
Filipina, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Francis, Rusia, dan
Selandia Baru. Belum lagi bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan yang, jika ditinjau dari
sudut pandang ahli bahasa, memiliki akar bahasa yang sama dengan bahasa
Indonesia.
Berdasarkan perannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan peng￾ungkap budaya, bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi wahana dalam
penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk mengungkapkan seni
sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia yang berlatar belakang budaya
serta bahasa daerah yang berbeda-beda. Namun, tidak dapat diingkari bahwa
bahasa daerah juga berperan penting dan taktergantikan di dalam peng￾ungkapan seni dan budaya daerah. Dalam konteks keindonesiaan, bahasa
Indonesia merupakan sarana untuk memperkenalkan seni dan budaya suatu
daerah ke daerah lain.
Harus diingat bahwa pentingnya sebuah bahasa ialah bukan
sekadar karena mutunya sebagai bahasa, karena banyak-sedikitnya jumlah
kosakata, keluwesan tata kalimat, atau kemampuan daya ungkap bahasa
itu, melainkan juga karena pertimbangan politik, ekonomi, dan demografi.
Di dalam sejarah manusia pemilihan suatu bahasa sebagai lingua franca,
yakni bahasa perantara antarkelompok masyarakat penutur yang berbeda
latar budaya dan bahasanya, tidak pernah didasarkan pada pertimbangan
linguistik, logika, atau estetika, tetapi pada pertimbangan politik, ekonomi,
dan demografi. Misalnya, di Arena, yang menjadi pusat pemerintahan dan
kebudayaan Yunani, sebelum datangnya kekuasaan Romawi, dialek kota
Arena itu menjadi bahasa umum bersama (koine), sebagai tolok ukur yang
menggantikan dialek Yunani yang lain.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaian dan bermacam ragam
penuturnya hams takluk pada hukum perubahan. Faktor sejarah dan
perkembangan masyarakat juga berpengaruh terhadap perubahan bahasa
sehingga menimbulkan sejumlah ragam bahasa Indonesia. Karena masih
memiliki teras atau inti bersama—terutama yang menyangkut kaidah tata
bunyi, pembentukan kata, dan tata makna—ragam yang beraneka macam itu
masih disebut bahasa Indonesia. Oleh karena itu, orang-orang yang berbeda
ragam bahasanya masih dapat berkomunikasi dan saling memahami meskipun
ada beberapa perbedaan dalam hal perwujudan bahasa Indonesianya.
Mengenai ragam bahasa, dapat disebutkan dua ragam bahasa yang
saling bertautan, yaitu ragam menurut golongan penutur bahasa dan ragam
menurut jenis pemakaian bahasa. Ragam menurut golongan penutur dapat
dibedakan berdasarkan daerah asal, pendidikan, dan sikap penuturnya.
Sementara itu, ragam menurut jenis pemakaian bahasa mencakup ragam
menurut bidang atau pokok persoalan, ragam menurut sarana, dan ragam
yang mengalami percampuran.
Ragam daerah dikenal juga dengan nama logat atau diaiek. Bahasa
yang menyebar luas selalu mengenai logat. Setiap diaiek dapat dipahami
secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur
diaiek yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya
orang tidak mudah berhubungan (misalnya, karena tempat kediamannya
dipisahkan oleh pegunungan, hutan, selat, atau laut), lambat laun logat itu
akan banyak berubah sehingga dianggap sebagai bahasa yang berbeda. Hal itu
pernah terjadi dahulu kala pada logat-logat bahasa Nusantara Purba, seperti
yang sekarang disebut bahasa Batak, Jawa, Sunda, Bali, dan Tagalog. Berkat
sarana perhubungan yang makin maju, baik yang berupa alat transportasi
(darat, laut, udara) maupun media massa (cetak, elektronik), logat daerah
bahasa Indonesia yang sekarang masih dikenali agaknya tidak akan berkem￾bang menjadi bahasa tersendiri.
Logat daerah dapat dikenali dari tata bunyinya. Logat Indonesia￾Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena
tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali mudah dikenali
karena pelafalan bunyi /t/ dan / d/-nya; logat bahasa Indonesia orang Aceh
mudah dikenali karena pelafalan bunyi /t/ dan /6/. Ciri-ciri khas yang
meliputi tekanan, turun-naiknya nada, dan panjang-pendeknya bunyi
bahasa membangun aksen yang berbeda-beda. Perbedaan kosakata dan
variasi gramatikal tentu ada juga walaupun kurang tampak. Logat dengan
sendirinya erat hubungannya dengan bahasa ibu si penutur.
Berapa banyak jumlah logat dalam bahasa Indonesia? Jawaban atas
pertanyaan itu bergantung pada kecermatan pengamatan dan keakraban
seseorang dengan tata bunyi atau tata bahasa berbagai bahasa daerah
Nusantara. Orang Bugis yang belum pernah mendengar bahasa Lampung
akan berpendapat bahwa logat Indonesia orang Lampung tidak beraksen
kedaerahan. Sebaliknya, orang Lampung dapat membedakan logat Indonesia
di daerahnya yang dipengaruhi oieh dialek Abung atau Krui. Jadi, makin
cermat pengamatan dan makin akrab seseorang dengan tata bunyi atau tata
bahasa daerah tertentu akan makin banyak pula jumlah logat Indonesia yang
dapat dikenalinya.
Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap aksen penutur lain berbeda￾beda. Akan tetapi, umumnya seseorang dapat menerima perbedaan aksen
orang lain selama bahasa Indonesia orang tersebut masih dapat dipahami.
Hal itu menunjukkan bahwa toleransi orang Indonesia terhadap logat
sangat tinggi. Selain itu, mungkin juga polarisasi logat yang belum jelas
itu disebabkan oleh kenyataan bahwa bahasa Indonesia belum terlalu lama
berperan sebagai bahasa persatuan.
Ragam bahasa menurut pendidikan penuturnya, yang berbeda dari
ragam dialek, menunjukkan perbedaan antara kaum yang berpendidikan
dan yang tidak. Tata bunyi bahasa Indonesia golongan yang tidak terpelajar
pada umumnya berbeda dengan tata bunyi kaum terpelajar. Bunyi /f/, /j/,
/x/, dan gugus konsonan /ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran
orang yang tidak berpendidikan atau hanya berpendidikan rendah. Kata
efektif^ syaraU khusus., dan ekspres yang dilafalkan [efektif], [Jarat], [xusus],
dan [ekspres] sering dilafalkan [epektip], [sarat], [kusus], dan [ekpres]
karena terpengaruh etnis tertentu.
Perbedaan ragam kedua kelompok itu juga tampak pada tata bahasa.
Kalimat Saya mau tulis itu surat kepamanku sering ditemukan dalam tuturan
nonformal. Kalimat tersebut cukup jelas maksudnya, tetapi bentuk bahasa
formal yang digunakan oleh kaum berpendidikan adalah Saya mau menulis
surat itu kepada paman saya,
Rangkaian kata dalam bahasa Indonesia dapat disusun menjadi
kalimat dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak setiap kalimat dalam bahasa
Indonesia termasuk kalimat yang apik. Hal itu dapat dianalogikan dengan
Ali yang berpakaian lusuh dan koyak atau Ali yang berdandan dengan rapi,
tetap disebuty4//. Akan tetapi, jikay4// ingin diperlakukan dengan baik dalam
pergaulannya, sebaiknya ia memelihara penampilan dan berpakaian bersih.
Itulah sebabnya bahasa orang yang berpendidikan/terpelajar—yang lazim
disebut dengan bahasa persekolahan—pada umumnya memperlihatkan
pemakaian bahasa yang apik. Badan pemerintah, seperti lembaga perwakilan
rakyat, lembaga kehakiman, pers, radio, teievisi, mimbar agama, dan forum
ilmiah seharusnya menggunakan ragam bahasa orang terpeiajar yang lazim
digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
Selain ragam baku, ada juga pengelompokan ragam bahasa yang
dldasarkan pada sikap penutur dan jenis pemakaiannya. Ragam bahasa
menurut sikap penutur dan jenis pemakaiannya—yang dapat disebut langgam
atau gaya—mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang digunakan
oleh setiap pemakai bahasa berdasarkan pemilihannya. Pemilihan ragam itu
bergantung pada sikap penutur terhadap lawan bicara atau pembacanya yang
dipengaruhi, antara lain, oleh umur, kedudukan orang yang disapa, tingkat
keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang disampaikan, atau tujuan
penyampaian informasi.
Sehubungan dengan langgam atau gaya itu, pembicara berhadapan
dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap
yang kaku, resmi, santun, dingin, hambar, hangat, akrab, atau santai. Perbedaan
berbagai langgam atau gaya itu tercermin dalam kosakata dan tata bahasanya.
Perhatikanlah, misalnya, gaya bahasa seseorang dalam membuat laporan kepada
atasan atau ketika seseorang memarahi orang lain, membujuk anak, menulis surat
kepada kekasih, atau mengobrol dengan sahabat karib yang memperlihatkan
adanya perbedaan pilihan kata dan tata bahasa yang digunakan.
Ada pula sebagian orang yang dalam usahanya untuk menunjukkan
kesopanan yang tinggi memanfaatkan bahasa daerah yang menjadi bahasa
ibu orang yang diajak bicara. Misalnya, seorang dosen yang berbicara dengan
seorang direktur jenderal yang bahasa ibunya sama dengannya, misalnya
bahasa Jawa, boleh jadi akan memakai kalimat, seperti Saya dengar Bapak
gerah beberapa waktu yang lalu. Penggunaan kata gerah (bahasa Jawa) yang
merupakan kata halus untuk makna 'sakit' itu dimaksudkan untuk menun
jukkan sikap bicara yang sangat menghormati lawan bicara.
Kemampuan menggunakan berbagai gaya itu pada dasarnya dimiliki
oleh setiap orang dewasa. Kemampuan itu tidak datang dengan sendirinya,
tetapi harus diraih lewat pelatihan dan pengalaman. Untuk mencapai maksud
itu, diperlukan kematangan, kepekaan, dan kearifan yang memungkinkan
penutur mengamati dan mencontoh gaya orang yang dianggapnya cocok
pada suasana tertentu. Penggunaan gaya yang sama dalam situasi yang
berlainan, seperti halnya anak kecil yang hanya menguasai satu gaya yang
biasa dipakainya dalam lingkungan keluarganya, menimbulkan kesan
keterbatasan kemampuan berbahasa penutur. Di pihak lain, penguasaan
hanya satu gaya bahasa, misalnya gaya pidato atau gaya instruksi, dapat
menimbulkan anggapan bahwa dengan bahasa Indonesia orang seakan-akan
tidak dapat bergaul dengan akrab atau hangat.
Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat diperinci menjadi
(1) ragam menurut bidang atau pokok persoalan, (2) ragam menurut sarana
yang digunakan, dan (3) ragam yang mengalami percampuran.
Setiap penutur bahasa hidup dalam lingkungan masyarakat yang adat
istiadat atau tata cara pergaulannya berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat pula
dalam pemakaian bahasanya sesuai dengan atau bergantung pada pergaulan,
pendidikan, profesi, kegemaran, dan/atau pengalamannya. Orang yang
ingin turut terlibat dalam pembicaraan bidang tertentu atau yang ingin
membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan itu harus memilih
salah satu ragam yang dikuasainya dan sesuai dengan bidang atau pokok
pembicaraan. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya, ialah agama, politik,
ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni rupa, seni sastra, olahraga,
perundang-undangan, atau angkatan bersenjata.
Perbedaan ragam itu terlihat, antara lain, dalam pemakaian sejumlah
kata atau istilah tertentu yang dihubungkan dengan bidangnya, misalnya
kata akidah, akad nikah, dan nabi untuk bidang agama; atom, nuklir, dan
radiasi untuk bidang fisika; serta libero, wasit, dan maraton untuk bidang
olahraga. Di samping itu, ada juga variasi tata bahasa pada setiap ragam.
Perhatikanlah bangun kalimat yang tersusun dalam, misalnya, uraian resep
dapur, wacana ilmiah, surat keputusan, undang-undang, wawancara, doa,
iklan, dan susastra. Penulis karya ilmiah, misalnya, sering menghindari
pemakaian kata aku, saya, atau bahkan pengarang itu dan menggantinya
dengan kami atau penulis ini. Penulis karya ilmiah lebih suka menggunakan
kalimat pasif sehingga bentuk verbanya hampir selalu menggunakan awalan
di~. Sementara itu, pemakaian kosakata dan tata bahasa dalam seni kata yang
menghasilkan ragam susastra tidak terlalu diatur.
Dalam pemakaian ragam menurut bidang atau pokok persoalan
yang dibicarakan itu, ada praanggapan pemakaian ragam bahasa yang lain.
Misalnya, kalimat yang berkaitan dengan topik dalam bidang ekonomi
atau manajemen juga mengisyaratkan pemakaian ragam bahasa orang yang
terpelajar.
Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau
ujaran dan ragam tulis. Karena setiap masyarakat bahasa memiliki ragam lisan,
sedangkan ragam tulis baru muncul kemudian, masalah yang perlu ditelaah
ialah bagaimana orang menuangkan ujarannya ke dalam bentuk tulisan.
Bahasa Melayu sejak dahulu dianggap berperan sebagai lingua franca. Bahasa
bersama itu, untuk sebagian besar penduduk Indonesia, berupa ragam lisan
untuk keperluan yang agak terbatas. Sampai masa kini pun, bagi berjuta-juta
orang yang masih buta huruf, bahasa Indonesia yang dikuasainya hanyalah
ragam lisan.
Sehubungan dengan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulis,
ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu suasana peristiwa dan cara
yang digunakan dalam ujaran. Dalam hal suasana peristiwa, bahasa yang
digunakan dalam ragam tulis harus lebih jelas dan eksplisit daripada ragam
lisan. Bahasa yang digunakan dalam ragam tulis tidak dapat disertai gerak
isyarat, pandangan, atau gerak tubuh seperti yang lazim digunakan dalam
bahasa lisan sebagai tanda penegasan agar mitra wicara atau pendengar
lebih mudah memahami. Itulah sebabnya kalimat dalam ragam tulis harus
disusun secara lebih cermat. Fungsi gramatikal—seperti subjek, predikat,
dan objek—dan hubungan di antara fungsi-fungsi itu masing-masing harus
jelas. Sementara itu, di dalam ragam lisan fungsi-fungsi tersebut kadang￾kadang dapat ditanggalkan karena kalimat ragam lisan itu dapat disertai
gerak isyarat, pandangan, atau gerak tubuh pembicara sebagai penegas.
Orang yang halus rasa bahasanya sadar bahwa kalimat yang ditulisnya
berlainan dengan kalimat yang diujarkannya karena dapat dibaca ulang,
dikaji, dan dinilai oleh orang secara mudah. Oleh karena itu, bahasa ragam
tulis sepatutnya diusahakan agar lebih tertata dan lebih elok daripada ragam
lisan. Itulah sebabnya versi akhir bahasa ragam tulis tidak jarang merupakan
hasil beberapa kali penyuntingan.
Dalam hal cara yang digunakan dalam ujaran, yang membedakan
ragam lisan dari ragam tulis adalah tinggi rendah dan panjang pendek
suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata
tulis. Penulis acap kali perlu merumuskan kembali kalimatnya jika ingin
menyampaikan jangkauan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan
perasaan yang sama telitinya dengan kalimat ragam lisan. Misalnya,
ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang diwujudkan dengan intonasi
khusus, dalam tulisan mungkin sama maksudnya dengan Bukan Darto yang
mengambil uangmu. Harus ditambahkan di sini bahwa ragam tulis juga
mempunyai kelebihan. Kaidah-kaidah bahasa tulis yang mengatur, misalnya,
pemakaian huruf kapital, huruf miring, tanda kutip, dan paragraf atau alinea
tidak mengenal padanan yang sama jelasnya dalam ujaran.
Setiap penutur bahasa pada dasarnya dapat memanfaatkan ragam
lisan dan ragam tulis sesuai dengan keperluannya apa pun latar belakangnya.
Meskipun demikian, kemampuan setiap orang berbeda dalam menggunakan
ragam tulis sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pokok pengajaran bahasa
di sekolah pada hakikatnya berkisar pada upaya meningkatkan keterampilan
dalam menggunakan kedua ragam itu.
Di dalam penggunaan ragam lisan dan tulis masih terdapat kendala
atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih
mudah dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain. Misalnya,
laporan keuangan dengan tabel bilangan dan grafik, uraian kimia yang
berisl lambang unsur dan rumus hidrolisis, atau peraturan perundang￾undangan yang struktur kalimatnya bersusun-susun lebih mudah disusun
dan dibaca dalam ragam tulis. Sebaliknya, laporan pandangan mata tentang
pertandingan olahraga yang disampaikan dalam bentuk lisan sulit dipahami
orang jika ditranskripsikan sebagaimana adanya ke dalam bentuk tulisan.
Walaupun diakui adanya proses saling memengaruhi di antara bahasa
yang digunakan secara berdampingan, seperti halnya di Indonesia, interaksi
kebahasaan itu ada batasnya. Selama pemasukan unsur suatu bahasa ke dalam
bahasa yang lain dimaksudkan untuk mengisi kekosongan kosakata atau
memperkaya kesinoniman, gejala itu dianggap wajar. Akan tetapi, apabila
unsur bahasa yang bersangkutan itu mengganggu keefektifan penyampaian
informasi, ragam bahasa yang tercampur unsur itu hendaknya dihindari.
Itulah yang disebut ragam bahasa yang mengalami gangguan pencampuran
atau interferensi. Tentu saja tidak terlalu jelas batas antara pencampuran
yang mengganggu dan yang tidak. Banyaknya unsur pungutan yang berasal
dari bahasa Jawa, misalnya, dianggap memperkaya bahasa Indonesia, tetapi
masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap
mencemari keaslian dan kemurnian bahasa Indonesia. Lafal Indonesia yang
kesunda-sundaan masih dapat diterima orang.
Tingkat kemahiran orang dalam mewujudkan berbagai ragam
bahasa—yang sama teras atau inti sari bersamanya—dalam suatu uraian
berbeda-beda. Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan, "Apakah seseorang
dapat menguasai semua ragam yang terpakai dalam bahasanya?" Dalam
teori, jika masyarakat bahasa yang bersangkutan sangat sederhana dan serba
beragam perikehidupannya, tidak mustahil orang mencapai kemahiran itu.
Akan tetapi, jika masyarakat bahasa sudah majemuk coraknya dan sistem
bagi-kerjanya sudah amat berkembang, hampir tidak mungkin orang
mengenal dan menguasai semua ragam bahasa dengan lengkap.
Bertalian dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa jumlah ragam
yang dipahami biasanya lebih besar daripada jumlah ragam yang dikuasai.
Hal itu juga berlaku bagi pengetahuan tentang kosakata dan sintaksis. Dalam
praktik tidak semua ragam bahasa yang tersedia perlu dipelajari. Sekolah,
misalnya, tidak harus mengajarkan ragam takformal. Ragam kelompok
khusus, yang dikenal dengan istilah slang, juga tidak perlu dimasukkan ke
dalam bahan pengajaran bahasa. Perlu dikemukakan kepada para siswa bahwa
bahasa Indonesia bukan merupakan bongkahan emas murni, melainkan
gumpalan yang unsurnya berupa emas tulen, emas tua, emas muda, dan
mungkin juga tembaga. Semua ragam itu termasuk bahasa Indonesia, tetapi
tidak semuanya dapat disebut bahasa yang baik dan henar. Apakah yang
sebenarnya dimaksudkan dengan bahasa yang baik dan benar? Sebelum
menjawab pertanyaan itu, berturut-turut akan ditelaah situasi diglosia dan
hakikat bahasa baku atau bahasa standar.
1.3 DIGLOSIA
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam
pokok—yang masing-masing mungkin memiliki berjenis-jenis subragam
lagi—dipakai secara bersama-sama atau berdampingan untuk fungsi
kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat
dilapiskan di atas ragam pokok yang lain, merupakan sarana kepustakaan
dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakat bahasa, seperti bahasa
Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh
dalam berbagai rupa dialek masyarakat. Ragam pokok yang pertama itu
disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua disebut ragam rendah.
Ragam tinggi digunakan, misalnya, dalam pidato resmi, khotbah,
kuliah, atau ceramah, siaran radio dan televisi, tulisan ilmiah, berita dan
artikel surat kabar, serta karya sastra. Ragam rendah biasanya dipakai,
misalnya, di dalam percakapan yang akrab di lingkungan keluarga atau
dengan teman sebaya, di pasar dalam interaksi tawar-menawar antara penjual
dan pembeli, di dalam seni pertunjukan rakyat seperti lenong dan cerita
Kabayan, di dalam surat pribadi kepada teman karib, atau di dalam pojok
surat kabar atau kolom khusus majalah yang secara khusus dimaksudkan
untuk memeragakan ragam itu.
Karena mengemban peran kemasyarakatan yang dinilai lebih tinggi
atau lebih berharga, ragam tinggi memiliki gengsi yang lebih tinggi. Bahkan,
ragam itu dianggap lebih elok, lebih adab, dan lebih mampu mengungkapkan
pikiran yang berbobot dan rumit. Di dalam proses pemerolehan bahasa, ragam
rendah dipelajari melalui orang tua sebagai bahasa ibu atau lewat pergaulan
dengan teman sebaya. Anak-anak pada usia prasekolah mungkin pernah
mendengar ragam tinggi, tetapi mereka baru diharuskan mempelajarinya
terutama lewat pendidikan formal. Tata bahasa ragam rendah dikuasai tanpa
pembahasan kaidah-kaidahnya, sebaliknya tata bahasa ragam tinggi dipelajari
lewat pemahiran norma dan kaidah.
Di dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi
gramatikal tentang ragam tinggi. Hal itu dapat dipahami karena ragam
tinggi itulah yang diajarkan di dalam sistem persekolahan. Tradisi penulisan
tata bahasa Melayu dan tata bahasa Indonesia membuktikan kecenderungan
itu. Tradisi itulah yang meletakkan dasar bagi usaha pembakuan bahasa.
Kodifikasi sebagai rangkaian dari proses pembakuan bahasa dilakukan pada
ragam tinggi, baik norma di bidang ejaan, tata bahasa maupun kosakata.
Ragam rendah tidak mengenal pembakuan dan kodifikasi sehingga dalam
perkembangannya menunjukkan variasi yang luas di dalam hal ejaan, lafal,
tata bahasa, dan kosakata. Luasnya wilayah pemakaian bahasa, seperti bahasa
Indonesia, dapat mengakibatkan timbulnya berjenis-jenis ragam rendah
kedaerahan yang akhirnya akan mempersulit pemahaman timbal balik.
Komunikasi di antara para penutur ragam rendah bahasa Melayu-Indonesia
di berbagai wilayah kepulauan Nusantara, misalnya, bertambah sulit karena
adanya sejumlah dialek geografis Melayu-Indonesia atau bahasa daerah yang
hidup secara berdampingan dan mencoraki ragam itu.
Situasi diglosia itu pulalah yang menjelaskan mengapa setakat ini
ada perbedaan yang cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia
ragam tulis di satu pihak dan pemakaian ragam lisan di pihak yang lain.
Jika penutur bahasa Indonesia dewasa ini berkata bahwa bahasa Indonesia
termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk pada bahasa
Indonesia ragam rendah yang biasa digunakannya. Sementara itu, jika ia
berkata bahwa bahasa Indonesia itu sulit, yang dimaksudkan adalah bahasa
Indonesia ragam tinggi. Pengacuan ke ragam bahasa yang pada hakikatnya
berbeda itu agaknya menggambarkan adanya paradoks di dalam masyarakat
bahwa bahasa Indonesia itu mudah dan sekaligus sukar dipelajari dan dipakai.
1.4 PEMBAKUAN BAHASA
Dengan memperhatikan acuan kediglosiaan yang diuraikan di atas,
masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi tambahan yang
hingga kini jarang dipersoalkan atau yang memang dianggap tidak perlu
diperhitungkan bagi keberhasilan usaha pembakuan bahasa. Sehubungan
dengan itu, hal yang perlu dibahas, misalnya, ialah norma bahasa yang mana
yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang
dapat dijadikan patokan bagi norma itu. Selanjutnya, juga dapat dipersoalkan
tentang seberapa jauh bahasa Indonesia baku kelak dapat menjalankan segala
jenis fungsi kemasyarakatannya.
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam situasi diglosia ada tradisi
keilmuan yang memilih ragam pokok yang tinggi sebagai dasar usaha
pembakuan. Di Indonesia pun hal itu terjadi. Penyusunan tata bahasa
Indonesia didasarkan pada ragam tinggi bahasa Indonesia tulis. Dahulu
norma bahasa baku disusun berdasarkan ragam tinggi bahasa Melayu-Riau
saja. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini pemilihan norma
yang akan dibakukan tidak monosentris lagi. Dengan merunut sejarah
pertumbuhan bahasa Indonesia sejak kepustakaan Baiai Pustaka yang
redakturnya banyak yang berlatar bahasa ibu Minangkabau, bahasa pers dan
bahasa persuratan kepegawaian sebelum perang, sampai pada bahasa media
massa dewasa ini yang dikelola oleh redaktur yang bahasa ibunya berbeda￾beda, dapatlah dikatakan bahwa dasar penentuan norma bahasa Indonesia
sekarang ini sudah majemuk sifatnya.
Patokan yang bersifat tunggal yang didasarkan pada salah satu dialek
dan patokan yang majemuk yang didasarkan pada gabungan beberapa dialek
tidak perlu dipertentangkan. Namun, pada saat norma itu dikodifikasi dan
dimekarkan oleh penuturnya, dasar penentuan norma itu hampir tidak
dapat dikenali lagi asalnya. Secara tentatif dapat dikatakan bahwa dewasa ini
ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang-tindih. Yang satu berupa
norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang
diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma yang dirumuskan
berdasarkan adat pemakaian {usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan
yang, antara lain, dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda.
Keduanya bertumpang-tindih karena di samping berbagi inti bersama, ada
norma yang berlaku di sekolah, tetapi tidak diikuti oleh media massa dan
sebaliknya.
Tarik-menarik di antara kedua norma itu dapat dilihat, misalnya, pada
bentuk pengrusak yang pernah menimbulkan perbedaan pendapat antara
guru dan murid di suatu sekolah. Dengan berpedoman pada norma baku,
guru menuntut pemakaian bentuk perusak, tetapi murid sulit menerima itu
karena alih-alih perusak mereka menemukan banyak kata pengrusak di dalam
surat kabar dan majalah yang mereka baca.
Pertentangan serupa juga ditemukan dalam pemakaian kata
penggolong {classifier) nomina di dalam pembilangan. Ada norma yang
cenderung berpandangan bahwa kata penggolong dalam bahasa Indonesia
hanya ada tiga, yaitu orang, ekor^ dan buah. Norma ini dianut, antara lain,
oleh kalangan media massa. Akan tetapi, kata penggolong yang tercantum
di dalam buku tata bahasa sekolah mencakupi perangkat yang lebih lengkap.
Selain ketiga bentuk yang telah disebutkan itu, kata penggolong meliputi
pula kata bidang, bilah, bentuk, butir, batang, helai, pucuk, sisir, utas, dan
sebagainya. Kedua norma itu dewasa ini tampaknya sedang bersaing.Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pen￾didikan, merupakan pokok yang sudah sering ditelaah orang. Ragam itu
jugalah yang kaidah-kaidahnya sudah diperikan secara lebih lengkap jika
dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain, Ragam itu tidak saja ditelaah
dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Sejarah umum perkembangan
bahasa Indonesia menunjukkan bahwa ragam bahasa Melayu Tinggi pada
awal masa perkembangan bahasa Indonesia memperoleh gengsi dan wibawa
yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum berpendidikan yang
kemudian berhasil menjadi tokoh penting di berbagai bidang kehidupan.
Pemuka masyarakat yang berpendidikan umumnya terlatih dalam ragam
sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok ukur bagi pemakaian bahasa
yang benar. Fungsinya sebagai tolok ukur memunculkan nama bahasa baku
atau bahasa standar baginya. Proses tersebut terjadi di dalam banyak masya
rakat bahasa yang terkemuka, seperti Prancis, Inggris, Jerman, Belanda,
Spanyol, dan Italia.
Di Indonesia keadaannya agak berlainan. Para pejabat tinggi dan
tokoh masyarakat, yang telah berjasa memperjuangkan kemerdekaan,
tidak semuanya memperoleh kesempatan memahiri ragam bahasa sekolah
secara cukup dan baik. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengidentikkan
bahasa Indonesia baku dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh para
pejabat tinggi dan tokoh masyarakat Indonesia. Masalah itu timbul karena
di Indonesia kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum
menjadi salah satu prasyarat untuk mengukur tingkat kelayakan seseorang
menempati kedudukan yang terpandang di dalam masyarakat.
Kenyataan yang tidak menggembirakan itu perlu dikembalikan ke
salah satu peran dunia pendidikan sebagai ajang persemaian para pemimpin
masa depan. Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di dalam ling￾kungan itulah yang akan menjadi ragam bahasa calon pemimpin sehingga
pada suatu saat bahasa Indonesia yang baku memang dapat disamakan
dengan ragam bahasa para tokoh dan pemimpin yang memancarkan gengsi
dan wibawa kemasyarakatan. Oleh sebab itu, di Indonesia semua pemba￾kuan hendaknya bermula pada ragam bahasa pendidikan dengan berbagai
coraknya dari sudut pandang sikap, bidang, dan sarananya.
Ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa
kaidah dan aturan yang tetap serta tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah
pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan
taat asas harus dapat menghasilkan bentuk lain, seperti perajin dan perusak,
bukan pengrajin dan pengrusak.
Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu bukan alasan
yang cukup kuat untuk menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun
tidak dapat terpisah dari kehomoniman. Di pihak lain, kemantapan itu ti￾dak kaku, tetapi cukup iuwes sehingga memungkinkan perubahan yang
bersistem dan teratur di bidang kosakata dan peristilahan serta mengizin￾kan perkembangan berbagai ragam yang diperlukan di dalam kehidupan
modern. Misalnya, di bidang peristilahan muncul keperluan untuk mem￾bedakan pelanggan 'orang yang berlangga(an)' dan langganan 'orang yang
tetap menjual barang kepada orang lain; hal menerima terbitan atau jasa
atas pesanan secara teratur'. Ragam baku yang baru, antara lain, dalam
penulisan laporan, karangan ilmiah, undangan, dan percakapan telepon
perlu dikembangkan lebih lanjut.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya.
Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih
besar mengungkapkan pernalaran atau pemikiran yang teratur dan logis.
Proses pencendekiaan bahasa Indonesia itu amat penting karena pengenalan
ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih menggunakan sarana
bahasa asing, harus dapat dilakukan lewat buku yang menggunakan bahasa
Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendekia bersifat se￾mesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan baha
sa Indonesia tidak perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.
Yang tersirat di balik yang tersurat dari kata baku atau standar itu
ialah praanggapan tentang adanya keseragaman. Dengan demikian, sampai
taraf tertentu pembakuan berarti penyeragaman kaidah, bukan penyamaan
ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah ciri ketiga ragam
bahasa yang baku. Setelah mengenali ketiga ciri umum ragam bahasa baku,
yang perlu dicermati berikutnya adalah pembakuan di bidang ejaan, lafal,
kosakata, dan tata bahasa.
1.6 FUNGSI BAHASA BAKU
Bahasa baku mendukung empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan. Tiga fungsi pertama disebut fungsi pe￾lambang atau simbolik, sedangkan satu fungsi terakhir disebut fungsi objektif.
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek
bahasa itu. Dalam fungsi pemersatu, bahasa baku membentuk satu
masyarakat bahasa yang mencakupi seluruh penutur dialek bahasa tersebut,
selain mempermudah proses identifikasi penutur dengan seluruh anggota
kelompok masyarakat penutur bahasa Baku itu. Bahasa Indonesia yang
digunakan di dalam media massa nasional, baik cetak maupun elektronik,
agaknya dapat diberi predikat sebagai pendukung fungsi pemersatu. Bahasa
Indonesia ragam tulis dalam media yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat
pembangunan, baik yang berupa buku teks, karya ilmiah populer maupun
berbagai jenis tulisan dalam majalah dan surat kabar, memainkan peranan
yang sangat menentukan sebagai pemersatu. Untuk bahasa lisan, peranan
seperti itu terlihat dalam penggunaan bahasa Indonesia di radio dan televisi,
terutama dalam siaran berita, pidato, ceramah, dan acara resmi lain. Pengaruh
media massa itu begitu intens sehingga sebagian orang tidak sadar akan
adanya diaiek geografis atau diaiek regional bahasa Indonesia yang jumlahnya
banyak dan coraknya amat beragam. Di balik semua itu, sesungguhnya
sudah lama tumbuh keinginan dan tekad agar hanya ada satu ragam bahasa
Indonesia baku bagi seluruh penutur di seluruh wilayah Indonesia.
Fungsi pemberi kekhasan bahasa baku terlihat ketika bahasa itu
diperbandingkan dengan bahasa-bahasa yang lain. Jika dibandingkan
dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam, bahkan juga dengan bahasa Melayu Riau-Johor yang menjadi
induknya, bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda. Perbedaan seperti
itu pada gilirannya akan memberikan dampak positif terhadap makin
mantapnya perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa di Indonesia.
Fungsi bahasa baku sebagai pembawa kewibawaan atau prestise
bersangkutan dengan usaha seseorang untuk mencapai kesederajatan dengan
peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa baku sendiri.
Ahli bahasa dan beberapa kalangan di Indonesia pada umumnya berpendapat
bahwa perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa
lain di Asia Tenggara (dan mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan
bahasa yang modern. Prestise itu dibangun oleh bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, alih-alih sebagai bahasa baku. Pengalaman menunjukkan
bahwa di beberapa tempat penutur yang mahir berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar memperoleh wibawa di mata orang lain.
Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan dalam
pemakaian bahasa berdasarkan kodifikasi kaidah dan norma yang jelas.
Kaidah dan norma itu menjadi tolok ukur untuk menilai atau menentukan
benar tidaknya pemakaian bahasa seseorang. Bahasa baku juga menjadi
kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak hanya terbatas pada
bidang susastra, tetapi juga termasuk segala jenis pemakaian bahasa yang
menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan
kata, iklan, dan tajuk berita. Fungsi bahasa Indonesia baku sebagai kerangka
acuan belum berjalan dengan baik meskipun fungsi tersebut berkali-kali
diungkapkan di dalam setiap Kongres Bahasa Indonesia, seminar dan
simposium, serta berbagai penataran guru. Kalangan guru bahkan berkali￾kali mengimbau agar disusun tata bahasa normatif yang dapat menjadi pe￾gangan atau acuan bagi guru bahasa dan pelajar.
Pembakuan atau standardisasi bahasa dapat dilakukan oleh badan pe￾merintah yang resmi atau oleh organisasi swasta. Di Amerika, misalnya, pe￾nerbit mengeluarkan pedoman gaya tulis-menulis yang kemudian dianggap
baku sehingga pengarang yang ingin menerbitkan karyanya, mau tidak mau,
harus mengikuti petunjuk yang ditentukan oleh pihak penerbit. Di antara
penerbit Indonesia belum ada pegangan yang mantap. Contohnya, masih
ada yang mengizinkan perangkaian penulisan preposisi dengan nomina di
beiakangnya.
Mengingat kedudukan bahasa nasional yang amat penting dalam
kehidupan masyarakat penutur suatu bahasa, di Indonesia ada badan pe￾merintah yang ditugasi menangani pembakuan bahasa, yaitu Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Karena ragam bahasa dunia pen￾didikan diprioritaskan dalam proses pembakuan, kerja sama antara Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, para guru, dan pengembang ilmu
di berbagai jenis lembaga pendidikan merupakan prasyarat bagi berhasilnya
pembakuan bahasa. Hal itu tidak berarti bahwa kerja sama dan dukungan
golongan lain, seperti pengasuh media massa dan tokoh masyarakat, tidak
diperlukan.
Ejaan atau tata cara menulis bahasa Indonesia dengan huruf Latin
untuk ketiga kalinya dibakukan secara resmi pada tahun 1972, setelah
berlakunya Ejaan Van Ophuijsen (1901) dan Ejaan Soewandi (1947). Untuk
memudahkan penerapan ejaan itu, telah diterbitkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempumakan dengan beberapa kali penyempurnaan.
Edisi pertama pedoman itu diterbitkan tahun 1975, yang selain mengatur
tata tulis secara umum, juga menetapkan perubahan penulisan huruf,
misalnya dari dj, nj^ dan tj masing-masing menjadi y, ny^ dan c. Edisi kedua
tahun 1988 dan edisi ketiga tahun 2009 lebih banyak menguraikan kaidah
tanda baca, selain penggunaan huruf dengan mengakomodasi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Edisi mutakhir pedoman ejaan disebut dengan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBl) yang ditetapkan dalam
Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015.
Meskipun dapat dikatakan bahwa kaidah ejaan kini sudah dibakukan
dan mempunyai dasar penyusunan yang memenuhi syarat kecendekiaan,
pelaksanaannya belum dapat dikatakan mantap karena terbukti masih
ditemukan penulisan kata hutang di samping utang, misalnya. Mengingat
toleransi pelafalan bahasa Indonesia akibat banyaknya ragam kedaerahan
yang berpengaruh terhadap tata tulis sangat besar, penerapan ejaan baku
dapat mengurangi kesalahpahaman antarpenutur yang tersebar di kepulauan
Indonesia. Oleh karena itu, apa pun lafal kata yang mengacu ke 'mobil
tumpangan yang dapat memuat orang banyak' di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa
Tengah, atau Minahasa, misalnya, perlu disepakati ejaan baku kata itu ialah
bus, bukan bis atau bes. Tentu saja, bis atau bes dapat dipakai dalam ragam
bahasa yang tidak formal.
Sebagaimana dinyatakan di atas, lafal bahasa Indonesia banyak
coraknya. Upaya pembakuan tidak saja berhadapan dengan ragam kedaerahan,
tetapi juga berhadapan dengan ragam orang yang berpendidikan rendah,
yang sistem bunyi bahasanya berbeda antara yang satu dan yang lain. Jika
ditinjau dari sudut pembakuan, ada dua pandangan atau sikap yang patut
dipertimbangkan. Pandangan pertama beranggapan bahwa variasi lafal tidak
perlu dipersoalkan selama lafal itu tidak mengganggu arus komunikasi antar￾penuturnya. Artinya, kebebasan dalam hal pelafalan seyogianya dibiarkan
saja sejauh kelancaran komunikasi tidak terkendala. Bukankah lafal bahasa
Inggris yang dituturkan di Australia, India, Britania, Kanada, dan Amerika
juga tidak menimbulkan gangguan komunikasi?
Pandangan kedua beranggapan bahwa lafal yang santun mutlak
diperlukan. Golongan yang berpandangan ini dahulu mempelajari lafal
bahasa Belanda yang santun dan umum. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia disusun berdasarkan prinsip pandangan yang kedua ini. Oleh
karena itu, pedoman ini mengatur rambu-rambu penggunaan ragam baku
bahasa tulis.
Masalahnya adalah bahwa lafal yang santun atau lafal yang baku
tidak mudah ditetapkan di Indonesia. Lafal siapa dan lafal daerah mana yang
harus dijadikan tolok ukur agar dapat disebut lafal Indonesia baku belum
bisa diputuskan. Oleh karena itu, agaknya upaya pembakuan lafal ini belum
dapat dilakukan secara jelas, tegas, dan menyeluruh. Perlu ditambahkan
bahwa karena banyak dan beragamnya logat atau lafal kedaerahan yang
secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada pelafalan bahasa
Indonesia, lafal baku bahasa Indonesia diberi batasan sebagai lafal yang tidak
memperlihatkan ciri atau warna kedaerahan penuturnya.
Selain masalah ejaan yang menyangkut ragam tulis dan masalah lafal
yang berhubungan dengan ragam lisan, komponen yang tidak kalah penting
dalam pembakuan adalah satuan bahasa yang lazim disebut kata. Di dalam
setiap bahasa, dengan perangkat bunyi dan huruf yang jumlahnya terbatas,
dapat disusun kata, baik dalam ujaran maupun dalam tulisan, yang jumlahnya
tak terbatas. Satuan bahasa itu dipakai untuk mengacu ke barang, perbuatan,
sifat, atau gagasan apa saja yang bertalian dengan kehidupan. Kumpulan kata
itu disebut kosakata yang menggambarkan perbendaharaan atau kekayaan
kata suatu bahasa. Istilah leksikon dipakai dengan makna yang sama, tetapi
kadang-kadang dimaknai juga sebagai pengacu kumpulan seluruh jumlah
morfem sehingga semua afiks juga termasuk di dalamnya.
Dalam setiap bahasa yang sudah mengenal budaya tulis, kosakata
disusun menurut abjad dalam kamus. Dalam bahasa Indonesia hingga kini
ada dua buah kamus yang dijadikan rujukan, yaitu Kamus Umum Bahasa
Indonesia susunan Poerwadarminta (edisi pertama 1953; edisi kedua
1982; edisi ketiga 2003) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (edisi pertama 1988; edisi kedua
1991; edisi ketiga 2001; edisi keempat 2008; dan edisi kelima 2016). Kamus
itu tidak hanya memuat kosakata yang baku, tetapi juga memuat semua
bentuk yang ada, termasuk ragam yang tidak baku.
Sehubungan dengan pembakuan kata, ada kalanya orang bertanya,
apakah kata, seperti cewek, ngelotok^ ngopU dan nggak sudah diterima se
bagai kosakata bahasa Indonesia. Kata-kata itu sudah menjadi bagian
kosakata bahasa Indonesia, tetapi tidak termasuk ke dalam kelompok yang
baku. Dalam pada itu, unsur bahasa yang semula tidak termasuk ragam
standar lambat laun dapat diterima menjadi bagian kosakata yang baku.
Bandingkanlah, misalnya, perbedaan sikap pengguna bahasa Indonesia
beberapa waktu yang lalu dengan sikap mereka sekarang terhadap kata pacar^
bisa, dan dimengerti. Karena banyaknya kesangsian di antara penutur bahasa
dan demi tujuan pengajaran bahasa yang tepat, usaha pembakuan kata—
yang seyogianya ditafsirkan pemantapan kata dalam ragam bahasa yang
baku—perlu digiatkan.
Pembakuan kata, terutama dalam hal peristilahan, sudah lama
dilakukan, yaitu dimulai sejak tahun 1942 dengan adanya Komisi Bahasa
Indonesia. Akan tetapi, baru pada tahun 1975 diterbitkan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah, yang memberikan patokan menyeluruh sehingga tata
istilah bahasa Indonesia memenuhi syarat kemantapan, kecendekiaan,
dan keseragaman. Penyusunan istilah khusus dan pengembangannya pada
hakikatnya merupakan unsur sertaan pengembangan ilmu. Oleh karena itu,
penataan istilah bahasa Indonesia yang baku juga diamanatkan kepada para
ahli di berbagai bidang.
Hingga tahun 1988 pembakuan tata bahasa Indonesia belum pernah
dilakukan secara resmi. Buku tata bahasa, baik yang berupa saduran ka￾rangan ahli bahasa dari Belanda maupun yang berupa karya asli masih
sering digunakan di lembaga pendidikan tinggi dan buku itu tidak sedikit
pengaruhnya dalam upaya pembakuan karena sering dijadikan sumber
rujukan. Buku yang cukup kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhan
dan perkembangan penulisan tata bahasa di Indonesia adalah buku-buku
yang ditulis oleh, antara lain, Ch.A. van Ophuijsen, S.M. Zain, Madong
Loebis, S.T. Alisjahbana, C.A. Mees, A.A. Fokker, I.R. Poedjawijatna, PJ.
Zoetmulder, Slametmuljana, Gorys Keraf, WJ.S. Poerwadarminta, Samsuri,
dan M. Ramlan.
Dari buku-buku yang disebutkan di atas, ada beberapa di antaranya
yang digunakan dalam pengajaran bahasa di sekolah dan berhasil menjaga
kesinambungan pemahiran berbahasa Indonesia. Namun, buku-buku
tersebut tidak luput dari dua kelemahan, yaitu kelemahan taraf perincian
dan kekaburan kaidah tata bahasa.
Dalam hal taraf perincian, di antara bagian tata bunyi (fonologi), tata
bentuk (morfologi), dan tata kalimat (sintaksis), umumnya paparan tentang
tata bentuk atau morfologilah yang paling terperinci. Paparan tentang fonologi
masih bertolak dari pengetahuan orang tentang tata bunyi bahasa Belanda.
Itulah sebabnya, dalam buku tata bahasa Indonesia masa itu dipersoalkan
juga letak tekanan kata dan jenis tekanan, seperti tekanan dinamik, tekanan
tinggi, dan tekanan waktu. Dalam hal sintaksis, pengaruh pandangan ahli
bahasa dari Belanda dalam tata bahasa Indonesia terlihat, misalnya, pada
analisis kalimat seperti Ayah di rumah, Dalam bahasa Belanda predikat
kalimat selalu berupa verba sehingga ada penulis tata bahasa Indonesia yang
berpendapat bahwa contoh tadi bukan kalimat yang sempurna karena pada
kalimat tersebut tidak terdapat verba.
Kelemahan yang kedua berkaitan dengan kekaburan tentang apa
yang dapat dan apa yang tidak dapat disebut kaidah tata bahasa. Kaidah tata
bahasa mengandung kemampuan penerapan secara umum. Dalam morfologi,
misalnya, pembentukan kata yang kaidahnya tidak dapat dirumuskan secara
umum dianggap sebagai idiom dan merupakan bagian kosakata. Jika kata
tertulang dan terbuku ditafsirkan 'sampai ke tulang' dan 'sampai ke buku',
tidak dapat dijabarkan kaidah yang menyatakan bahwa awalan ter- dapat
bermakna sampai ke'. Penyebabnya ialah awalan ter- dengan makna itu
tidak dapat dirampatkan atau digeneralisasikan sehingga tidak mungkin
disusun bentuk {la jatuh) terjurang atau {Kemarin kami) ter-Bandung.
Bentuk tertulang dan terbuku sebaiknya dimasukkan golongan idiom seperti
halnya meninggal {dunia) dan memberi tahu. Pembauran kaidah gramatikal
yang dapat diterapkan secara umum dengan idiom atau adat bahasa, yang
seharusnya dihafalkan secara utuh, agaknya akan menyulitkan pemelajaran
bahasa.
Jika bahasa sudah Baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi
lewat surat putusan pejabat pemerintah maupun yang diterima berdasarkan
kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat disaksikan dalam praktik
pengajaran bahasa, pembedaan antara bahasa yang benar dan yang tidak
benar dapat dilakukan dengan lebih mudah. Bahasa yang sesuai dengan
kaidah baku itulah yang disebut bahasa yang benar,
Pada kenyataannya seseorang mungkin berhadapan dengan bahasa
yang (1) semua tatarannya sudah dibakukan; (2) sebagian sudah baku,
sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan; atau (3) semua
bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia agaknya
termasuk ke dalam golongan yang kedua karena kaidah ejaan, pembentukan
kata dan istilah, serta tata kalimatnya sudah dibakukan, tetapi pelaksanaannya
belum mantap.
Orang yang berada dalam situasi tertentu harus memilih salah satu
ragam bahasa yang sesuai dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat
dan serasi menurut situasi pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang
baik. Orang yang mahir berbahasa dapat menyampaikan pesan secara efektif
sehingga sasaran komunikasi dapat dicapai. Bahasa yang mengenai sasaran
tidak selalu harus berupa bahasa baku. Dalam tawar-menawar di pasar,
misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan,
atau kecurigaan. Akan sangat ganjil apabila dalam percakapan di pasar
digunakan bahasa baku seperti berikut.
1) T
J
T
J
"Berapakah Ibu mau menjual bayam ini?"
"Bayam ini berharga lima ribu rupiah per ikat."
"Bolehkah saya menawarnya?"
"Boleh. Berapakah Ibu akan menawarnya?"
Percakapan (1) merupakan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang
benar, tetapi tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi pemakaiannya.
Untuk situasi seperti contoh (1), percakapan berikut akan lebih tepat.
2) T
J
T
J
"Berapa bayamnya?"
"Lima ribu."
"Boleh kurang?"
"Berapa?"
Dari segi bentuk, kalimat dalam percakapan (2) bukan merupakan
bentuk baku seperti kalimat dalam percakapan (1). Kalimat Lima ribu,
misalnya, merupakan kalimat tidak baku karena strukturnya tidak lengkap
(tidak memiliki subjek). Akan tetapi, kalimat tersebut lebih komunikatif
karena digunakan sesuai dengan situasi pemakaian.
Berdasarkan uraian tersebut, anjuran berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar dapat diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa Indonesia
yang sesuai dengan situasi pemakaian dan kaidah. Ungkapan bahasa Indonesia
yang baik dan benar mengacu pada ragam bahasa yang sekaligus memenuhi
persyaratan sebagai bahasa yang baik dan bahasa yang benar,
 HUBUNGAN BAHASA INDONESIA DENGAN BAHASA
DAERAH DAN BAHASA ASING
Di Indonesia, selain bahasa Indonesia yang menjadi bahasa terpenting,
juga ada bahasa daerah dan bahasa asing. Baik bahasa Indonesia, bahasa
daerah maupun bahasa asing menjalankan fungsi khusus yang ditetapkan
dalam Politik Bahasa Nasional. Sejumlah fungsi khusus yang penting dari
bahasa-bahasa itu, antara lain, adalah (1) fungsi bahasa resmi, (2) fungsi
bahasa perhubungan luas, (3) fungsi bahasa pendidikan, (4) fungsi bahasa
kebudayaan, (5) fungsi bahasa keilmuan, dan (6) fungsi bahasa teknologi.
Fungsi bahasa resmi pada taraf nasional, misalnya, dijalankan oleh
bahasa Indonesia. Hal itu berarti bahwa bahasa Indonesia digunakan dalam
segala urusan resmi negara, seperti kegiatan tata usaha, layanan publik,
peradilan, pendidikan, dan penyelenggaraan politik, Pada taraf daerah,
misalnya dalam berbagai upacara adat, bahasa daerah dapat berfungsi
sebagai bahasa resmi, Artinya, bahasa daerah, selain bahasa Indonesia,
dapat digunakan di muka umum pada kesempatan seperti itu, Pada taraf
internasional, bahasa asing, seperti bahasa Inggris, digunakan sebagai bahasa
resmi, Akan tetapi, dalam pertemuan internasional yang diselenggarakan di
Indonesia, bahasa Indonesia wajib digunakan, Bahkan, Undang-Undang No,
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan mengamanatkan perlunya peningkatan fungsi bahasa Indonesia
sebagai bahasa internasional,
Fungsi bahasa dalam perhubungan luas pada komunikasi antardaerah
dan antarbudaya dilaksanakan oleh bahasa Indonesia dan sejumlah bahasa
asing, Dalam fungsi itu bahasa Indonesia menjadi alat perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan, pemerintahan, dan
pelaksanaan pembangunan. Bahasa asing berfungsi sebagai alat perhubungan
antarbangsa untuk pemanfaatan ilmu dan teknologi modern,
Fungsi bahasa dalam sistem pendidikan formal berkaitan dengan
garis kebijakan dalam penentuan jenis bahasa sebagai bahasa pengantar
dan sebagai objek studi. Sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, garis
kebijakan (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, bahasa daerah dan bahasa asing
berfungsi sebagai pendukung.
Sebagai objek studi, pemelajaran bahasa berhadapan dengan tiga
tantangan penting. Pertama, bagaimana peserta didik memperoleh kemahiran
dalam menggunakan bahasa kebangsaannya demi tercapainya perpaduan
nasional dan demi pemerataan kesempatan bekerja yang mensyaratkan
kemampuan itu. Kedua, bagaimana orang dapat memahami bahasa etnisnya
sehingga ia dapat menghayati dan melestarikan warisan budayanya. Ketiga,
bagaimana orang dapat mempelajari bahasa asing yang akan membukakan
gerbang baginya ke dunia ilmu dan teknologi modern dan ke berbagai
peradaban lain. Perlu diingat bahwa penguasaan pengetahuan dan teknologi
juga dapat dilakukan melalui bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia
sudah dikembangkan menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fungsi bahasa kesenian bertalian dengan pengungkapan berbagai
cabang seni, seperti prosa, puisi, drama, teater, dan film lewat bahasa. Karya
seni itu diciptakan oleh penyair, pengarang, dan penggubah yang latar
sosial budayanya beragam. Oleh karena itu, fungsi bahasa kesenian dapat
dilaksanakan, baik dalam bahasa Indonesia, daerah maupun asing, sesuai
dengan latar belakang sosial budaya penulis, tokoh cerita, latar penceritaan,
dan masyarakat penikmatnya.
Fungsi bahasa keilmuan akan berkembang jika bahasa yang bersang￾kutan memiliki ragam tulis yang dapat dipakai untuk merekam penelitian
dan pengolahan ilmu serta untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam
pelbagai jenisnya. Dewasa ini fungsi itu terutama dilaksanakan oleh bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris.
Karena ketiga jenis bahasa itu hidupnya berdampingan, proses saling
memengaruhi antarbahasa itu tidak dapat dihindarkan, terutama dalam hal
bentuk kata dan pengayaan kosakata. Proses itu sebenarnya dapat berlangsung
secara timbal balik. Bahasa Indonesia, misalnya, menyerap kosakata dari
bahasa daerah dan sebaliknya bahasa daerah itu juga menyerap kosakata
bahasa Indonesia. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang masih menekankan
peran bahasa daerah sebagai sumber pengembangan dan bukan sebagai
bahasa yang dikembangkan.Hubungan saling memengaruhi antara bahasa Indonesia dan bahasa
asing tidak dapat dihindari karena komunikasi antarbangsa memang tidak
dapat dicegah. Dalam hal itu, bahasa Indonesia dapat memanfaatkan bahasa
asing untuk pengembangan kosakata. Tanpa disadari bahasa Indonesia teiah
menyerap banyak kata asing, antara lain, dari bahasa Sanskerta, seperti karya,
dwi, dan asrama\ dari bahasa Belanda, seperti kamar, kantor, dan pos\ dari
bahasa Cina, seperti sempoa, bakpao, dan sinse\ serta dari bahasa Portugis,
seperti bendera, kemejay A2^\ jendela.
Pengaruh bahasa asing dalam bahasa Indonesia tidak perlu di￾khawatirkan. Bahkan, bahasa Inggris yang dianggap telah mapan atau lengkap
kosakatanya juga dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti bahasa Keltik, Sakson
Kuno, Latin, Prancis, dan bahasa Indo-Jerman yang lain. Dalam kasus di
Indonesia, peristiwa saling memengaruhi antara bahasa Indonesia dan
bahasa-bahasa daerah di satu pihak dapat membantu asimilasi kelompok etnis
dan di pihak lain dapat menjamin pemenuhan kosakata bahasa daerah yang
bersangkutan yang harus menyesuaikan dirinya dengan arus perkembangan
masyarakatnya. Oleh karena itu, hubungan antarbahasa tersebut seyogianya
dikembangkan ke arah bagi-tugas yang saling melengkapi.
Penulisan buku tata bahasa ini bercujuan mendeskripsikan prinsip-prinsip
gramatikal bahasa Indonesia baku, bukan uncuk mempertahankan atau
memberi gambaran tentang teori tata bahasa tertentu. Namun, untuk
mendeskripsikan bahasa manusia yang begitu kompleks perlu digunakan
suatu teori. Pada bagian ini akan dijelaskan hubungan antara deskripsi dan
teori serta garis besar pembedaan teoretis yang diterapkan.
Upaya mendeskripsikan bahasa Indonesia tanpa menggiinakan suatu
teori akan sangat sulit. Deskripsi itu dilakukan dengan membuac generalisasi
atau perampatan terhadap data bahasa yang dihadapi. Tanpa teori tidak
mungkin ada generalisasi.
Tidak ada ukuran atau pembatasan yang jelas mengenai panjang
kalimat dalam bahasa Indonesia. Tidak jarang ditemukan kalimat, terutama
dalam bahasa tulis, yang terdiri atas lima puluh kata atau lebih. Suatu
kalimat selalu dapat diperluas dengan jalan menambahkan kata atau untaian
kata tertentu pada suatu kata. Kata adjektiva cantik., misalnya, dapat diganti
dengan cantik sekali atau sangat cantik dalam kalimat tertentu; verba bekerja
dapat diikuti frasa preposisional dengan rajin sehingga menjadi bekerja
dengan rajin] nomina rumah dapat diganti dengan rumah baru atau rumah
baru dan besar. Untaian kata seperti saya pikir, saya kira, atau menurut hemat
saya umumnya dapat ditambahkan di awal kalimat deklaratif. Bahkan,suatu kalimat dapat diperluas dengan menambahkan kalimat lain melalui
penggabungan (koordlnasi atau subordinasi). Kalimat membaca koran,
misalnya, dapat diperluas menjadi Ayah membaca koran dan saya menonton
televisi atau Ayah membaca koranyang dibawanya dart kantor. Hampir semua
kalimat yang gramatikal dalam bahasa Indonesia dapat diperluas dan kalimat
yang sudah diperluas itu masih tetap dapat dipahami oleh para penuturnya.
Kenyataan bahwa berbagai jenis kalimat dapat disusun sepanjang yang
dikehendaki untuk mengungkapkan makna tertentu menyebabkan kalimat￾kalimat bahasa Indonesia tidak mungkin dapat dirangkum dalam sebuah
daftar. Jumlah kalimat yang telah diucapkan atau ditulis sudah begitu banyak
dan yang baru diucapkan atau ditulis pun sudah ribuan, bahkan jutaan.
Betapa pun besarnya fasilitas penyimpanan informasi yang tersedia, daftar
yang menampung segala jenis kalimat itu tetap saja tidak dapat ditentukan
batas akhirnya.
Alih-alih mendaftarkan kalimat-kalimat itu, yang diperlukan ialah
mendeskripsikan secara umum struktur kalimat-kalimat dalam bahasa
Indonesia. Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang berlaku pada semua
kalimat perlu dikumpulkan agar kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan
untuk memahami kalimat baru yang ditemukan dan melihat bagaimana
kalimat baru itu disusun. Ini berarti mengembangkan suatu teori tentang
cara menyusun kalimat dengan merangkai kata-kata. Dalam hubungan itu,
buku ini merupakan upaya merangkum dan memberikan ilustrasi tentang
cara-cara pembentukan kalimat dalam bahasa Indonesia yang sudah ada
(ditemukan) berdasarkan anggapan akan adanya teori tentang klasifikasi kata
yang terdapat dalam kamus yang menjelaskan cara penggabungan kata-kata
itu dalam kalimat.
Perlu dikemukakan bahwa buku ini tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan keunggulan teori linguistik umum tertentu dalam hal
deskripsi. Sebaliknya, jika perlu, dalam buku ini juga dipaparkan penjelasan
tentang kenyataan pemakaian bahasa yang menyimpang dari teori umum.
Di sana-sini juga dikemukakan argumentasi mengenai analisis
tertentu yang dipilih, berdasarkan kerangka teori yang dianggap cocok.
Artinya, analisis berdasarkan kerangka teori lain, yang diterapkan pada data
lain dalam bahasa Indonesia akan memperoleh hasil yang sama. Oleh karena
itu, pandangan dan analisis terdahulu yang secara tradisional tidak diterima
perlu disertai atau dilengkapi dengan analisis gramatikalnya sehingga frasa
preposisional di rumah pada kalimat Dia di rumah, misalnya, berfungsi
sebagai predikat, dan analisis seperti itu berbeda dengan analisis dalam edisi
terdahulu buku tata bahasa ini.
Istilah tata bahasa umumnya digunakan untuk mengacu pada deskripsi
kalimat dan deskripsi kata suatu bahasa. Deskripsi bunyi-bunyi yang ada
dalam bahasa itu tidak termasuk paparan utama dalam tata bahasa tersebut.
Demikian juga halnya dengan deskripsi makna. Di dalam buku ini istilah
tata bahasa dipakai dalam arti luas, yakni deskripsi sistem bahasa Indonesia
secara luas yang meliputi sistem bunyi (fonologi), sistem kata (morfologi),
sistem kalimat (sintaksis), dan sistem makna (semantik/pragmatik). Tidak
mungkin orang dapat memakai dan memahami kalimat tanpa memahami
sistem bunyi dan sistem makna dalam bahasa tersebut.
 Fonologi
Istilah fonologi umumnya digunakan untuk mengacu pada deskripsi sistem
bunyi bahasa yang terdapat dalam suatu bahasa. Bahasa pada dasarnya
berupa untaian bunyi yang membentuk satuan-satuan bahasa, seperti kata,
frasa, dan kalimat. Untaian bunyi pada dasarnya hanya dapat didengar.
Untuk dapat mendeskripsikan bahasa yang berupa untaian bunyi itu,
diperlukan bentuk yang merupakan representasi visual dari untaian bunyi
tersebut. Jika menggunakan seperangkat bentuk berupa alfabet, representasi
visual itu disebut bentuk tulisan (secara teknis disebut bentuk grafemis) dan
ditandai dengan sepasang kurung sudut (<...>). Jika berupa seperangkat
bentuk yang melambangkan bunyi fungsional (fonem) yang sifatnya abstrak
dan berfungsi membedakan (bentuk dan arti) kata, representasi visual itu
disebut bentuk fonemis dan ditandai dengan sepasang garis miring (/.../).
Jika berupa seperangkat bentuk yang melambangkan bunyi konkret yang
didengar, representasi visual itu disebut bentuk fonetis dan ditandai dengan
sepasang kurung siku ([...]).
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, umumnya digunakan bentuk
tulisan tanpa ditandai kurung sudut. Hubungan ketiga bentuk visual (unsur￾unsur) bahasa itu dapat diperlihatkan pada contoh berikut.
(1) Tulisan Fonemis Fonetis
anak /anak/ [ana?]
ember /ember/ [ember]
dengan /dsgan/ [dsgan]
syarat /Jarat/ [Jaraf]
sofa /sofa/ [sofa]
visa /fisa/ [fisa]
mau /mau/ [mau]
harimau /harimaw/ [harimaw]
Dari contoh di atas tampak bahwa hubungan antara huruf dalam
representasi tulisan, lambang yang bertalian dalam representasi fonemis, dan
lambang dalam representasi fonetis cukup rumit. Diperlukan konsep analitis
untuk memilih lambang-lambang yang akan digunakan dalam representasi.
Pemilihan lambang itu harus memperhatikan prinsip ekonomi (tidak terlalu
banyak) dan prinsip kepraktisan (mudah dalam mengingat dan memakainya).
Untaian bunyi yang membentuk satuan-satuan bahasa dalam berbicara dilihat
sebagai (a) untaian bunyi, yaitu bunyi yang satu muncul setelah bunyi yang lain
dan (b) gejala suara yang menyertai untaian bunyi itu. Atas dasar itu, fonologi
dapat dibedakan atas (a) fonologi segmental dan (b) fonologi suprasegmental.
Representasi tulisan pada contoh (1) di atas hanya memperhatikan
kaidah-kaidah fonologi segmental, dalam arti hanya memperhatikan
seperangkat lambang untuk dapat membedakan suatu kata dari kata yang
lain. Representasi fonemis juga demikian karena hanya membedakan kata
dengan memilih seperangkat lambang (fonem) yang mewakili sejumlah
bunyi yang mempunyai banyak persamaan. Representasi fonetis mencoba
membedakan kata dengan memperhitungkan perbedaan kualitas bunyi yang
dianggap tergolong dalam satu bunyi. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah
pemakaian e dalam kata ember dan dengan. Bentuk tersebut dipakai pada
ketiga macam representasi itu untuk melambangkan bunyi-bunyi yang
kualitasnya banyak persamaannya, dalam hal ini e, 3, £. Representasi pada
contoh (1) tidak menjelaskan bahwa tekanan ditempatkan pada suku awal
pada kata ember dan pada suku akhir pada dengan.
Tekanan merupakan dasar pertimbangan utama dalam pemilihan
lambang yang dipakai untuk representasi itu. Tidak menculnya lambang
untuk tekanan pada resepresentasi visual (1) tidak berarti bahwa para penutur
bahasa Indonesia yang relatif mahir akan salah menempatkan tekanan
kalau mengucapkan kata-kata itu. Lambang tekanan pada representasi itu
diabaikan karena tekanan tidak fungsional dalam bahasa Indonesia sehingga
tempatnya dalam kata selalu dapat diduga.
Dalam representasi visual satuan berupa kalimat, aspek suprasegmental
itu diwujudkan oieh seperangkat tanda baca, seperti tanda tanya (?), tanda
seru (!), atau tanda titik (.), untuk mengisyaratkan apakah dimaksudkan
sebagai pertanyaan, ungkapan perasaan, atau pernyataan, Di tengah kalimat
digunakan tanda baca lain, seperti koma (,), titik koma (;), atau titik dua (:),
untuk mengisyaratkan apakah suara agak naik, suara turun, atau suara datar.
Tanda-tanda baca itu membantu pemakai bahasa menafsirkan makna yang
diungkapkan kalimat tertentu.
Berbagai pengertian, konsep, dan istilah yang digunakan dalam
deskripsi fonologi bahasa Indonesia, baik segmental maupun suprasegmental
akan dibicarakan pada BAB III.
 Morfologi
Pada 2.2 telah disebutkan bahwa tata bahasa dalam arti sempit sering
digunakan untuk mengacu pada deskripsi morfologi dan sintaksis.
Pandangan itu dilatarbelakangi oleh status khas kata sebagai satuan bahasa.
Sejalan dengan anggapan orang awam, bahwa kata merupakan satuan terkecil
bahasa, kata dilihat sebagai satuan terkecil dalam kalimat dan kalimat dilihat
sebagai satuan terbesar dalam tata bahasa. Karena tata bahasa merupakan
deskripsi kalimat dalam bahasa, tata bahasa itu harus meliputi deskripsi kata￾kata (morfologi) dan deskripsi kalimat (sintaksis).
Tugas morfologi adalah memerikan bentuk-bentuk kata dan cara
pembentukan kata. Pengertian mengenai bentuk kata dalam pemakaian
sehari-hari dapat berbeda-beda. Jika kalimat Sebelum kami pulang, kami
pergi makan di rumah makan ditanyakan terdiri atas berapa kata, jawabannya
dapat berbeda, bergantung pada pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan kata. Mungkin ada yang menjawab sembilan kata karena melihat
kata sebagai tanda {token) berupa wujud nyata dari satuan berupa kata atau
tujuh kata karena melihat kata sebagai tipe sehingga kami dan makan (walau
masing-masing muncul dua kali) hanya dua kata. Hubungan antara tanda
dan tipe ini menjadi dasar pertimbangan di dalam telaah bentuk kata.
Morfologi lazim dibedakan atas morfologi infleksional dan morfologi
derivasional. Morfologi infleksional bertalian dengan deskripsi perubahan
bentuk kata karena tuntutan tata bahasa, misalnya penggunaan awalan di- pada
verba di dalam kalimat pasif dibandingkan dengan penggunaan awalan meng￾pada verba di dalam kalimat aktif. Pada kalimat PakAmir membeli sebuah sepeda
dan Sebuah sepeda dibeli oleh Pak Amir kata membeli dan dibeli merupakan
varian (atau tanda) dari bentuk butir leksikal yang sama, lazim disebut leksem,
yaitu beli. Morfologi derivasional berkaitan dengan telaah bentuk dan cara
pembentukan leksem. Dengan kata lain, morfologi infleksional berkaitan
dengan deskripsi perubahan bentuk struktur suatu leksem dan morfologi
derivasional bertalian dengan deskripsi pembentukan leksem baru.
Contoh:
(2) a) darat
b) daratkan/darati/mendaratkan/mendarati/mendarat
c) pendaratan/daratan
Semua bentuk pada contoh di atas bertalian dengan kata darat. Bentuk￾bentuk pada (2b) dan (2c) merupakan bentuk turunan yang dilakukan
dengan penambahan afiks, Penambahan afiks itu akan menghasilkan leksem
baru jika penambahan itu merupakan tuntutan makna. Jika penambahan
afiks itu merupakan tuntutan gramatika, hasilnya merupakan varian dari
leksem pangkalnya. Persoalannya adalah mana yang merupakan leksem baru
yang diturunkan dari pangkalnya dan mana bentuk varian leksem tertentu.
Untuk itu, perlu diketahui mana bentuk pangkal dari suatu bentuk turunan.
Pada (2b) hanya ada dua leksem baru, yaitu daratkan (dengan varian
daratiy mendaratkan^ mendarati) dan mendarat. Pada (2c) ada dua leksem,
yaitu pendaratan dan daratan. Proses pembentukan kata-kata di atas dapat
diperlihatkan lebih jelas pada (3) berikut.
Bentuk pendaratan dapat diturunkan dari bentuk mendarat atau dari
mendaratkan!mendarati (bukan dari daratkan!darati). Pembahasan aspek
morfologis bahasa Indonesia lebih lanjut dikemukakan pada Bab IV—VIII.
Sintaksis
Uraian mengenai sintaksis sebagai telaah kalimat menduduki bagian terbesar
dalam penulisan suatu buku tata bahasa. Hal itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa jumlah kalimat yang begitu banyak dan, bahkan, hampir tak terbatas.
Meskipun begitu, terdapat hal yang sama pada hampir semua kalimat yang
menjadi dasar teori sintaksis yang digunakan dalam buku ini. Hal itu dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a) Semua kalimat terdiri atas beberapa bagian dan tiap bagian dapat
pula terdiri atas beberapa bagian yang lebih kecil.
b) Bagian-bagian kalimat itu tergolong dalam jenis atau tipe yang
jumlahnya terbatas.
c) Tiap-tiap bagian kalimat itu mempunyai peran dan fungsi
tersendiri di dalam bagian kalimat yang lebih besar.
Hal yang pertama, bahwa setiap kalimat terdiri atas beberapa bagian
dan tiap bagian dapat terdiri atas beberapa bagian yang lebih kecil, menjadi
dasar analisis struktur konstituen dalam sintaksis. Hal kedua, bahwa setiap
bagian tergolong dalam jenis atau tipe tertentu yang dapat dirujuk dalam
deskripsi, menjadi dasar analisis kategori sintaksis. Hal ketiga, bahwa bagian￾bagian kalimat itu mempunyai peran dan fungsi tersendiri atau tempat yang
dapat diisi dalam bagian yang lebih besar, menjadi dasar analisis fungsi
gramatikal.
 Struktur Konstituen
Pada dasarnya setiap kalimat mengandung bagian-bagian yang lebih kecil
yang disebut dengan konstituen. Konstituen-konstituen (kalimat) itu dapat
mengandung konstituen yang lebih pendek. Komposisi atau susunan hierarkis
yang berupa kesatuan dari bagian-bagian itu disebut struktur konstituen.
Kalimat sederhana yang terdiri atas satu klausa Anak itu membeli
sebuah buku, misalnya, pertama-tama dapat dibagi atas Anak itu (subjek)
dan membeli sebuah buku (predikat). Bagian (frasa) anak itu dapat dibagi atas
anak dan itu. Demikian juga dengan membeli sebuah buku yang dapat dibagi
atas membeli dan sebuah buku. Yang terakhir, sebuah buku, dapat dibagi lebih
lanjut atas sebuah dan buku. Struktur kalimat itu dapat digambarkan seperti
pada (4) berikut.
Representasi struktur konstituen seperti itu lazim disebut diagram
pohon atau pohon (walaupun pohonnya terbalik, akarnya terdapat di atas
dan bagian-bagian terkecil dari cabang pohon itu terdapat di bawah). Pada
diagram pohon itu tampak bahwa kata merupakan konstituen terkecil dan
simpul berupa pertemuan cabang menunjukkan kata-kata yang membentuk
konstituen yang lebih besar. Makin dekat simpul cabang itu ke akar, makin
besar konstituen yang diwakilinya. Bentuk Anak itu, misalnya, membentuk
satu konstituen karena deretan kata itu berada di bawah satu simpul cabang
yang sama dalam diagram pohon itu; demikian pula dengan membeli sebuah
buku dan sebuah buku.
Bagian kalimat yang terdapat langsung di bawah suatu konstituen—
Anak itu dan membeli sebuah buku—disebut konstituen langsung kalimat
tersebut. Demikian pula membeli dan sebuah buku merupakan konstituen
langsung dari membeli sebuah buku. Kata-kata yang membentuk kalimat itu
lazim disebut konstituen akhir dari kalimat itu.
Kebenaran analisis kalimat itu tentu saja ditentukan oleh keseluruhan
gramatika yang memperlihatkan, melalui koherensi deskripsi yang disaji￾kan, bukti bahwa garis pemisahan bagian-bagian kalimat dilakukan pada
tempat yang tepat. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada contoh (5) berikut.
Kata (adverbial) tadi dapat disisipkan dalam kalimat (paling tidak kalimat
sederhana) yang diwatasinya tanpa mengubah makna dasarnya atau
proposisinya asal tidak memisahkan suatu konstituen.
(5) a) 1. Tadi anak itu membeli sebuah buku.
11. *Anak tadi Itu membeli sebuah buku.
b) 1. Anak Itu tadi membeli sebuah buku.
11. *Anak Itu membeli tadi sebuah buku.
c) 1. Anak Itu membeli sebuah buku tadi.
11. *Anak Itu membeli sebuah tadi buku.
Kalimat-kalimat (a)ii, b)ll, dan c)ii tidak berterima karena kata tadi
memisahkan kata-kata yang membentuk satu konstituen seperti tampak pada
(4) di atas. Dengan kata lain, analisis kalimat berdasarkan konstituen seperti
yang dilakukan di atas memungkinkan dibuat pernyataan umum mengenai
tempat adverbial waktu seperti tadi di dalam kalimat.
Perlu diingat bahwa keputusan dalam deskripsi gramatikal dilandasi
sepenuhnya oleh konfirmasi dari begitu banyak bukti yang saling mendukung.
Diagram (4) di atas memperlihatkan bahwa hubungan antara bagian dan
keseluruhan di dalam kalimat bersifat hierarkis. Ini merupakan langkah awal
dalam deskripsi, yakni mengidentifikasi konstituen-konstituen yang perlu
dideskripsikan. Langkah berikutnya adalah mengklasifikasi konstituen￾konstituen itu dengan cara menetapkan kategori sintaksis konstituen￾konstituen itu. Kategori sintaksis tersebut berkaitan dengan apa yang secara
tradisional disebut kelas kata,
Umumnya kategori-kategori untuk konstituen yang lebih besar
didasarkan pada kelas kata itu. Untuk merujuk pada kategori yang anggotanya
hanya berupa kata, digunakan istilah kategori leksikal.
 Kategori Leksikal
Setiap teori sintaksis yang bersifat umum, seperti yang dikemukakan di sini
dan juga di kamus pada umumnya, harus memuat daftar kategori leksikal
atau kelas kata. Hampir semua teori dan hampir semua kamus akan mengenal
adjektiva, adverbia, nomina, dan verba.
Secara historis istilah-istilah itu berasal dari tata bahasa bahasa Latin
klasik dan bahasa Yunani klasik. Meskipun diperkenalkan sekitar dua ribu
tahun lalu, istilah-istilah itu masih dapat dipakai untuk mendeskripsikan
hampir semua bahasa manusia. Berikut ini disajikan daftar kategori yang
dipakai disertai contoh keanggotaan sebagai ilustrasi.
(6) Kategori Label Contoh
a. nomina N anak, kuda, buku, air, Bogor, persatuan
b. verba V makan, tidur, pergi, bekerja, membaca
c. adjektiva Adj besar, cantik, sakit, gelap, rajin
d. adverbial Adv amat, juga, lebih, biarpun, sering-sering
e. preposisi Prep dari, di, ke, pada, kepada, tentang
f. pronomina Pron aku, dia, kamu, kami, kita, mereka, saya
g- numeralia Num sam, dua, sepiUuh, dua puluh, kedua puluh
h. penentu Pen itu, ini
artikula Art si, sang
demons trativa Dem ini, im, begini, begitu
pcn^olong pgi orang, ekor, buah, batang, pucuk
parti tif Prt sisir, tandan, rumpun, genggam, (se)gelas
Kat^ri
konjungsi
j. interjcksi
k. partikel
Label
Konj
subordinatif
koordinatif
Contoh
bahwa, karcna
atau, dan, tctapi, baik ... maupun
aduh, ayo, hai, syukur, insyaallah
-pun, -lab, -kah, -tab

 Kategori Frasa
Konstituen yang terdiri atas dua kata atau lebih (khususnya yang mengandung
satu kata yang terpenting yang diperluas dengan kata lain yang mengeiaborasi
kontribusinya terhadap kalimat) disebut frasa. Penentuan label kategon
frasa didasarkan pada kategori ieksikal kata terpenting dalam frasa tersebut.
Sebuah frasa yang rerdiri atas nomina yang diperluas dengan konstituen
lain, misalnya adjektiva atau penentu. disebut frasa nominal; verba dengan berbagai komplemennya membentuk frasa verbal; frasa nominal dan frasa
verbal membentuk klausa dan seterusnya. Di bawah ini diberikan daftar
kategori frasa y3^rig digunakan dalam buku ini.
(7) Kategori Label Contoh
a. klausa Klausa dia melibat seorang anak kecil tadi
b. frasa nominal FN anak kecil, mobil merab, dua ekor sapi
c. frasa verbal FV mengirim surat, tidur dengan nyenyak
d. frasa adjektival FAdj amat senang, mahal betul, agak besar
e. frasa adverbial FAdv agak sering, jarang sekali
f. frasa preposlsional FPrep dengan mudab, di atas meja makan
g. frasa numeral ia FNum lima puluban, kedua pulub
Struktur kalimat dapat digambarkan dengan jalan memberi label
kategori konstituennya seperti tampak pada (8) berikut.
Pengertian teoretis utama berikutnya yang perlu dikemukakan adalah bahwa
setiap konstituen selalu mempunyai peran di dalam konstruksi yang lebih
besar. Peran itu disebut fungsi gramatikal. Pada contoh kalimat di atas, frasa
anak itu dan sebuah buku tergolong dalam satu kategori yang sama, yaitu FN,
tetapi mempunyai fungsi yang berbeda, masing-masing sebagai subjek dan
objek. Keduanya tergolong dalam satu kategori karena kedua frasa itu serupa
dalam struktur internalnya (keduanya memiliki nomina sebagai unsur utama),
tetapi mempunyai fungsi yang berbeda karena berada dalam hubungan yang
berbeda dengan verba. Hal sebaliknya terlihat dalam contoh berikut.
(9) a. Kesalahannya jelas.
b. Bahwa dia bersalah jelas.
Konstituen kesalahannya pada (9a) dan bahwa dia bersalah pada (9b)
mempunyai fungsi yang sama (subjek), tetapi tergolong dalam kategori
berbeda (FN dan Klausa). Kedua konstituen tersebut mempunyai fungsi yang
sama karena keduanya mempunyai hubungan yang sama dengan predikat
dan tergolong dalam kategori yang berbeda, yaitu yang pertama berpusat
pada nomina {kesalahan) dan yang kedua berpusat pada verba {bersalah).
 Inti (Hulu) dan Noninti (Terikat)
Ada seperangkat fungsi yang diterapkan dengan cara yang sama pada semua
kategori frasa. Setiap frasa terdiri atas inti (hulu) dan noninti (terikat).

Inti biasanya bersifat wajib dan mempunyai peran utama dalam
penentuan distribusi frasa dalam struktur kalimat yang dapat diisi oleh frasa
tersebut. Perhatikan bahwa kesalahannya dan bahwa dia bersalah pada (9) di
atas keduanya berfungsi sebagai subjek, tetapi dalam hal lain kedua konstituen
tersebut dapat berbeda dalam distribusinya. Bentuk Berita bahwa dia bersalah
menghebohkan<\z.^2it6\tcv\m2i,x.&x.2i^\hcr\x.\x\s*Beritakesalahannyamenghebohkan
tidak dapat diterima. Kalimat itu akan berterima kalau diselipkan preposisi
tentang di antara berita dan kesalahannya {Berita tentang kesalahannya meng￾hebohkan). Perbedaan itu disebabkan oleh kenyataan bahwa inti pada (9a)
adalah nomina, sedangkan pada (9b) adalah verba.
Noninti, biasanya bersifat manasuka (opsional), merupakan unsur
subordinatif dari segi sintaksis. Istilah itu mengisyaratkan bahwa pada setiap
konstruksi kehadiran unsur noninti sangat ditentukan oleh unsur inti.
 Jenis-Jenis Noninti
Noninti merupakan fungsi yang sangat umum. Untuk berbagai keperluan,
jenis-jenis noninti perlu dibagi berdasarkan hubungan khasnya dengan inti.
Pada tahap pertama dibedakan komplemen, pewatas, dan penentu.
Contoh:
(10) a. gambar anjingy2S\^ mereka bawa itu
b. gambar anjing mereka bawa itu
c. gambar anjing yang mereka bawa itu
Pada contoh (10a) anjing melengkapi nomina inti gambar, yang
mereka bawa pada (10b) mewatasi frasa nom\n2\ gambar anjing, dan itu pada
(10c) menentukan frasa gambar anjing yang mereka bawa.
Fungsi penentu hanya terdapat pada struktur FN, sedangkan fungsi
komplemen dan pewatas terdapat hampir pada semua frasa.
 Konstruksi Tanpa Inti
Pada umumnya konstruksi mempunyai inti, tetapi ada juga sejumlah
konstruksi tanpa inti, seperti pada contoh berikut.
(11) a. Dia membeli sayuran, buah, dan ikan.
(koordinatif)
b. Hujan lebat menghanyutkan, demikian diberitakan, puluhan
kendaraan. (suplementasi)

Nomina yang dicetak miring pada (11a) mempunyai kedudukan
sintaksis yang sama dan tidak dapat dinyatakan bahwa yang satu merupakan
inti dan yang lain sebagai noninti. Ketiganya {sayuran, buah, dan ikan)
memiliki fungsi yang sama, yakni fungsi koordinatif.
Pada (lib) konstituen yang dicetak miring disebut suplementasi,
yang tidak terintegrasi dalam klausa Hujan lebat menghanyutkan puluhan
kendaraan dan yang dipisahkan dari klausa oleh koma atau sepasang tanda
pisah dalam tulisan dan oleh intonasi dalam bahasa lisan.
2.2.3.3.4 Representasi Fungsi dengan Diagram
Telah dikemukakan di atas bahwa fungsi pada dasarnya adalah konsep relasi dan pe￾netapan fungsi suatu konstituen pada hakikatnya merupakan pengidentifikasian re￾lasinya dalam konstruksi yang mengandungnya. Salah satu cara untuk menyatakan
hal im adalah dengan menuliskan nama fungsi pada garis (cabang) pada diagram
yang menghubungkan konstituen yang bersangkutan dalam konstruksi. Langkah
pertama diagram kalimat akan tampak seperti contoh (12) berikut.
Selain yang telah dikemukakan di atas, ada pula inti tanpa unsur noninti
yang menyertainya.
Contoh:
(14) a. Anak-anak itu sedang bermain di taman.
b. Anak-anak sedang bermain di taman.
Konstituen yang dicetak miring tergolong FN yang berfungsi sebagai
subjek klausa, anak-anak merupakan inti dan itu sebagai noninti pada (14a),
tetapi berdiri sendiri tanpa unsur noninti pada (l4b). Bagan dari struktur
yang bersangkutan dapat disajikan seperti pada (15) berikut.
Diagram pada dasarnya berfungsi untuk memperjelas sesuatu yang kalau
dideskripsikan secara verbal akan lebih panjang. Dalam kaitannya dengan
deskripsi kalimat, diagram berfungsi menggambarkan struktur suatu
konstruksi secara ringkas dan padat, tetapi sederhana dan benar, Kenyataan
bahwa kalimat terdiri atas beberapa klausa menyebabkan buku ini memilih
model diagram pohon seperti pada (16) berikut.

Kehadiran label K di puncak memperjelas bahwa satuan bahasa
itu adalah satu kalimat. Penggunaan label Sbj, Pred, dan Ket memberikan
informasi tentang fungsi satuan di bawahnya walaupun tidak termasuk
kategori sintaksis.
2.3 SEMANTIK, PRAGMATIK, DAN RELASI MAKNA
Dalam mendeskripsikan kalimat-kalimat yang gramatikal, jarang terjadi
bahwa faktor makna diabaikan. Dalam mengevaluasi apakah suatu kalimat
tergolong gramatikal atau tidak, yang perlu dilihat tidak hanya bentuknya,
tetapi juga makna apa yang diungkapkannya. Hal itu berarti bahwa makna
yang terkandung dalam kalimat yang bersangkutan perlu diinterpretasikan.
Di bawah ini disajikan beberapa konsep dan istilah yang diperlukan dalam
menafsirkan makna kalimat yang biasa dibicarakan dalam topik-topik
semantik dan pragmatik. Semantik dan pragmatik menelaah sistem makna.
Semantik menelaah makna menurut kaidah-kaidah gramatika, sedangkan
pragmatik menelaah makna menurut (yang dimaksudkan oleh) si pembicara/
penulis.
2.3.1 Kondisi Kebenaran dan Perikutan
Pada bagian ini akan dibicarakan proposisi kalimat dan perikutan. Kedua
topik itu berkaitan erat dengan makna kalimat serta pemahaman terhadap
kebenaran kalimat yang meliputi makna dan pemakaiannya secara benar.

2.3.1.1 Proposisi Kalimat
Suatu kalimat tidak dengan sendirinya dapat dikatakan salah atau benar. la
baru salah atau benar setelah dikaitkan dengan pemakaiannya dalam peristiwa
tertentu. Hal itu berarti bahwa persoalan benar atau salahnya suatu kalimat
sangat terkait dengan beberapa faktor, seperti siapa yang mengucapkan
kalimat itu dan kapan diucapkan. Jadi, jika makna suatu kalimat sudah
diketahui, perlu juga diketahui kondisi-kondisi atau syarat-syarat yang harus
ada untuk dapat menggunakan kalimat tersebut dalam membuat pernyataan
yang benar. Dengan kata lain, harus diketahui kondisi kebenaran kalimat
tersebut.
Contoh:
(17) a. Presiden Sukarno meresmikan IPB tahun 1952.
b. IPB diresmikan Presiden Sukarno 65 tahun lalu.
c. Ayah saya meresmikan IPB tahun 1952.
Kalimat (17a) mengungkapkan suatu peristiwa yang pernah terjadi.
Siapa saja yang mempunyai pengetahuan sejarah mengenai peristiwa tersebut
dapat mengucapkan kalimat itu. Kalimat (17b) juga mengungkapkan
peristiwa sejarah yang sama kalau itu diucapkan pada tahun 2017. Kalimat
(17c) mengungkapkan peristiwa yang sama jika itu diucapkan oleh seseorang
yang merupakan anak Sukarno, presiden RI yang pertama. Ketiga kalimat
tersebut mengungkapkan proposisi (makna abstrak) yang sama, tetapi
kebenaran proposisi itu bergantung pada pemenuhan kondisi-kondisi
tertentu, yakni pengetahuan umum, pembicara/penulis, tempat, dan waktu.
Perlu diingat bahwa dua kalimat yang mempunyai kondisi kebenaran yang
berbeda akan mempunyai makna yang berbeda pula.
Contoh:
(18) a.* Inggris liiggiid adalah ctuciictii ivcictjctaii* kerajaan
b. Kekuasaan tertinggi di Inggris di tangan ratu.
c. Kekuasaan tertinggi di Inggris di tangan raja.
Sampai dengan awal abad kedua puluh satu ini, proposisi yang
dinyatakan kalimat (18a) dan (18b) benar. Akan tetapi, kalimat (18c)
proposisinya dapat sama dengan (18a) jika yang menggantikan ratu seorang
putra mahkota. Selama hal itu tidak terjadi, kalimat (18c) tidak memenuhi
kondisi kebenaran. Oleh karena itu, kalimat (18c) mempunyai makna yang
berbeda dengan (18a).
2.3.1.2 Perikutan
Salah satu cara untuk menjelaskan kondisi kebenaran proposisi adalah dengan
makna perikutan, yakni makna yang terkandung dalam suatu kalimat yang
secara otomatis dianggap benar jika kalimat tersebut benar.
Contoh:
(19) a. Pak Raden membeii mobil baru,
b. Pak Raden mempunyai kendaraan baru.
(20) a. Semua binatang dilarang.
b. Semua anjing dilarang.
Kalimat (19b) akan benar jika (dan hanya jika) kalimat (19a) benar.
Demikian juga halnya dengan kalimat (20b). Kalimat itu akan benar jika
kalimat (20a) benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proposisi
kalimat (19a) dan (20a) masing-masing memperikutkan proposisi pada
(19b) dan (20b).
2.3.1.3 Proposisi Tertutup dan Proposisi Terbuka
Dalam membicarakan proposisi kalimat, kadang-kadang perlu pembedaan
yang lebih halus.
Contoh:
(21) a. Presiden Sukarno meresmikan IPB pada tahun 1952.
b. Presiden Sukarno meresmikan IPB?
c. Apa yang diresmikan Presiden Sukarno pada tahun 1952?
Kalimat (21a) mengidentifikasi apa yang dilakukan, siapa yang
melakukan peresmian, apa yang diresmikan, apa jabatan yang melakukan
peresmian, dan kapan waktu terjadinya peresmian itu. Proposisi kalimat itu
disebut proposisi tertutup karena tidak ada informasi yang harus dicari sendiri
oleh pembaca/pendengar. Kalimat (21b) dan (21c) menuntut pembaca/
pendengar mencari sendiri informasi tertentu. Proposisi yang dinyatakan
(21b) dan (21c) disebut proposisi terbuka.
2.3.2 Aspek Takberkondisi Benar Makna Kalimat
Pada bagian ini akan dibicarakan makna ilokusioner dan makna implikatur
konvensional. Kedua topik ini berkaitan erat dengan makna kalimat yang
tidak berkaitan dengan kondisi kebenaran kalimat.
2.3.2.1 Makna Ilokusi dan Isi Proposisi
Pada seksi ini akan dibicarakan makna kalimat yang bertalian dengan pem￾bedaan antara kalimat deklaratif dan kalimat interogatif.
Contoh:
(22) a. Wali kota itu mengunjungi rumah warga.
b. Apakah wali kota itu mengunjungi rumah warga?
Kalimat (22b) tidak dipakai untuk membuat pernyataan dan karena
itu ia tidak mempunyai kondisi kebenaran atau perikutan. Walaupun begitu,
terasa ada kemiripan di samping perbedaan antara (22a) dan (22b), baik
dalam bentuk maupun dalam makna. Dari segi bentuk, perbedaan terletak
pada tipe klausanya, yaitu deklaratif (22a) dan interogatif (22b). Persama￾annya ialah bahwa (22b) merupakan pasangan interogatif dari (22a). Korelasi
semantik tipe klausa disebut makna ilokusi. Makna ilokusi kalimat deklaratif
(22a) adalah untuk membuat pernyataan dan kalimat interogatif (22b) untuk
membuat pertanyaan.
Hal yang sama pada kedua kalimat itu adalah bahwa keduanya
mengekspresikan proposisi. Kalimat (22a) digunakan untuk menyatakan
proposisi Wali kota itu mengunjungi rumah warga^ sedangkan (22b) untuk
mempertanyakannya, tetapi proposisi itu tetap diekspresikan. Pertanyaan
bersifat memerlukan jawaban dan jawaban pertanyaan seperti yang
dibicarakan itu dapat disimpulkan dari proposisi Wali kota itu mengunjungi
rumah warga, sedangkan proposisi negatifnya ialah Wali kota itu tidak
mengunjungi rumah warga. Dengan kata lain, kedua kalimat itu mempunyai
ilokusi yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai isi proposisi yang sama.
2.3.2.2 Implikatur Konvensional
Sering terdapat dua kalimat dengan ilokusi yang sama dan mempunyai
kondisi kebenaran yang sama pula, tetapi masih berbeda maknanya.
Contoh:
(23) a. Adi bekerja pagi had dan belajar sore had.
b. Adi bekerja pagi hari, tetapi belajar sore hari.
(24) a. Andi menganggap soal ujian itu sulit.
b. Andi saja menganggap soal ujian itu sulit.
Kedua kalimat pada (23) mempunyai kondisi kebenaran dan perikutan
yang sama, asal saja memang Adi bekerja pada pagi hari dan belajar sore hari;
keduanya akan salah jika Adi, misalnya, bekerja pagi hari dan berolahraga
sore hari. Keduanya mengikutkan, misalnya, makna Adi rajin'. Akan tetapi,
kedua kalimat itu tidak sepenuhnya sama maknanya karena perbedaan
konjungsinya. Kalimat (23a) hanya mengekspresikan kegiatan seseorang
(Adi), terasa hanya menyatakan fakta yang diketahui. Akan tetapi, kalimat
(23b) menyiratkan bahwa kegiatan belajar itu dilakukan dengan motivasi
tertentu, misalnya, Adi ingin meningkatkan pengetahuannya walaupun
sudah bekerja.
Kalimat (24a) dan (24b) menyatakan proposisi yang sama kondisi
kebenarannya, tetapi terasa ada perbedaan makna oleh kehadiran saja pada
(24b). Kalimat (24a) menyatakan suatu keadaan mengenai soal ujian secara
netral, sedangkan kalimat (24b) menyiratkan bahwa soal ujian itu begitu
sulit karena Andi yang dianggap paling pintar pun menilainya sulit. Dapat
pula dimaknai hanya Andi yang menganggap soal ujian itu sulit.
Makna yang tersirat dari suatu kalimat yang bukan makna proposisinya
lazim disebut makna implikatur konvensional. Berbeda dengan perikutan,
implikatur kovensional tidak hanya terbatas pada kalimat deklaratif. Makna
implikatur pada (23b) dan (24b) itu terdapat juga pada kalimat interogatif
seperti Apakah Adi bekerja pagi hari, tetapi belajar sore hari? dan Apa betul
bahwa Andi saja menganggap soal ujian itu sulit? walaupun tidak mempunyai
kondisi kebenaran.
2.3.3 Pragmatik dan Implikatur Percakapan
Pragmatik dirumuskan pada awal seksi ini sebagai telaah makna menurut si
pembicara/penulis. Dengan cara lain, pragmatik berkaitan dengan penafsiran
makna ujaran di dalam konteks. Sering makna ujaran dalam konteks tidak
dapat ditafsirkan hanya berdasarkan makna kata-kata yang diucapkan.
Contoh:
(25) A: "Apa Mama sudah makan?"
B: "Mama sudah kasih makan kucing."
(26) A: "Selamat pagi, Bu. Saya mau ujian."
B: "Apa kamu sudah menghadap Dekan?
A: "Sudah, Bu."
Contoh (25) adalah percakapan antara suami (A) dan istri (B).
Jawaban istri tidak menjawab pertanyaan si suami jika hanya melihat kata￾kata yang digunakan. Akan tetapi, si suami akan menafsirkan jawaban si
istri bahwa ia sudah makan. Si suami tahu bahwa, sesuai dengan kebiasaan,
kucing diberi makan setelah si istri makan.
Contoh (26) adalah percakapan antara seorang dosen pengawas ujian
(B) dengan seorang mahasiswa (A) yang mau mengikuti ujian, Pertanyaan
sang dosen itu bukanlah karena seorang mahasiswa harus menghadap
dekan setiap kali sebelum ujian. Tuntutan menghadap dekan itu hanya
dipersyaratkan bagi yang melanggar peraturan tertentu, misalnya terlambat.
Dalam konteks seperti itu, pertanyaan si dosen (B) adalah "Apa kamu sudah
menghadap Dekan?"
Pada kedua contoh itu tampak bahwa pesan yang disampaikan "Sudah
makan" pada (25) dan pertanyaan "Apa kamu sudah dapat izin dari Dekan?"
(26) diperoleh bukan berdasarkan makna kalimat, tetapi melalui penafsiran
berdasarkan konteks ujaran. Prinsip dasar dalam menafsirkan ujaran adalah
bahwa semua ujaran yang ditujukan kepada lawan bicara relevan. Makna
berupa tafsiran percakapan seperti