arkeologi 4

Tampilkan postingan dengan label arkeologi 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arkeologi 4. Tampilkan semua postingan

arkeologi 4












TOPIK ini tidak bisa lepas dari aspek metodologi, baik arkeologi maupun 
sejarah. Terutama sekali pada kajian arkeologi yang termasuk historical 
archaeology. Menurut Gideon Sjoberg dan Roger Nett, metodologi mempunyai 
pengertian yang sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, secara sederhana, 
metodologi berkenaan dengan prosedur teknik dalam penghimpunan data. 
Pengertian metodologi yang lebih luas perlu dikaitkan dengan konsep yang 
lebih luas, dengan lebih menggunakan alat-alat penelitian, dan prosedur�prosedur yang turut ambil bagian dalam seleksi hasil-hasil yang dipelajari 
dan diobservasi, yang secara langsung atau tidak langsung ditempatkan dalam 
seluruh proses penelitian. Yang kedua inilah yang diartikan dengan arkeologi�sejarah (historical-archaeology ). Termasuk di dalamnya adalah arkeologi 
Islam (Islam ic archaeology), yaitu arkeologi yang mempelajari masyarakat 
Islam masa lampau melalui artefak, feature dan ekofak yang berasal dari 
masa sejarah di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Sedangkan 
yang disebut arkeologi prasejarah (archaeology of prehistory ) adalah 
arkeologi yang mempelajari kehidupan masyarakat yang belum mengenal 
tulisan. Karena arkeologi prasejarah memerlukan ilmu bantu antropologi, 
maka di Amerika sering dikatakan anthropology of the past ,
Melacak mempunyai pengertian luas. Bukan hanya pengumpulan data 
yang dalam sejarah lazim disebut heuristik semata-mata, tetapi juga me�liputi kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan penelitian, yang bertujuan 
me rekonstruksi sejarah kehidupan masyarakat pembuat jejak arkeologis 
ter sebut. Hasil kegiatan itu bertujuan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung dari jejak-jejak arkeologis tersebut untuk kepentingan agama, 
sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sesuai pe�manfaatan sebagaimana tercantum dalam Bab VI, Pasal 19 ayat (1) UU No. 5 
tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yaitu: (a) benda buatan manusia, 
bergerak tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian�bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima 
puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya 
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai 
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, (b) benda alam 
yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan 
kebudayaan. Sedangkan situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga 
mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan 
bagi pengamanannya. 
Dalam proses pencarian dan pengumpulan data itu, seseorang memerlukan 
pengetahuan atau sekurang-kurangnya mengerti apa yang disebut arkeologi 
dan atau sejarah , Meskipun deinisi 
arkeologi dengan sejarah terdapat perbedaan sedikit, disiplin arkeologi dalam 
studinya lebih menitikberatkan kepada benda-benda atau artefak yang tidak 
perlu ada tulisan, sedangkan sejarah lebih mengutamakan studinya melalui 
data-data tertulis (arsip, dokumen). Tetapi tujuannya sama, yaitu untuk 
merekonstruksi kehidupan masyarakat masa lampau.
Sumber tinggalan arkeologis dapat berupa artefak, terutama yang ber�gerak dan tak bergerak disebut feature (itur). Baik artefak maupun itur ada 
yang mengandung tulisan dan ada pula yang tidak. Ada yang berasal dari 
masa prasejarah dan ada pula dari masa sejarah. Benda atau itur seperti 
ba ngunan dari masa sejarah yang tidak mengandung tulisan pun, tetapi 
masuk dalam arkeologi-sejarah (historical archaeology ), dalam mencari 
dan mengkajinya dapat menggunakan data tekstual seperti arsip, dokumen�dokumen, naskah-naskah kuno tentang hikayat, babad, bahkan dongeng atau 
legenda karena terkadang tetap mengandung kebenaran atau kenyataan ,
Karenanya, dalam melacak jejak arkeologis di lapangan, dilakukan 
beberapa cara, antara lain: pertam a, melalui pemberitaan orang, baik lang�sung atau tidak langsung, mengenai adanya temuan yang diduga tinggalan 
arkeologis. Kedua, melalui hasil kajian sumber literatur yang mungkin me�ngan dung petunjuk adanya temuan atau pernah adanya temuan yang belum 
diteliti di lapangan tentang keadaan sebenarnya. Sumber tersebut dapat 
dicari dari arsip, dokumentasi, laporan, berita-berita asing, naskah-naskah 
kuno seperti babad, hikayat, tambo, legenda, dan lainnya. Ketiga, ber�dasarkan petunjuk-petunjuk adanya tinggalan arkeologis yang dikenali dari 
sumber-sumber seperti di atas, mulailah melacak jejak arkeologis tersebut �di lapangan. Keem pat, setelah jejak atau tinggalan arkeologis atau situsnya 
di lapangan benar-benar diyakini termasuk benda cagar budaya, maka perlu 
dilakukan langkah-langkah berikutnya, yakni inventarisasi dan dokumentasi 
tentang keberadaan atau kondisinya. Kelim a, setelah jejak arkeologis itu 
diinventarisasi dan didokumentasikan, baru kemudian direncanakan apakah 
hendak diadakan ekskavasi, pemugaran, konservasi, dan pengamanan sesuai 
tujuan pemanfaatannya seperti tercantum pada UU No. 5 Tahun 1992 Pasal 
19, yaitu untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu 
pengetahuan, dan kebudayaan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa langkah-langkah di atas memiliki 
rambu-rambu. Selain rambu-rambu sesuai dengan bidang keilmuan, juga 
terdapat rambu-rambu hukum sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1992 
tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan PP No. 10 Tahun 1993 beserta Kepmen 
dan Perda yang mungkin masih perlu dibuat ketentuan-ketentuannya, jika 
belum dibuat. Dan jika sudah dibuat, perlu diingat adanya hierarki peraturan 
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang�undangan tingkat nasional. 
Bahkan, konvensi-konvensi internasional UNESCO dan non-UNESCO, 
perlu juga menjadi perhatian. Di antara konvensi-konvensi internasional 
UNESCO dan lembaga-lembaga internasional non-pemerintah ialah: (a) 
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed 
Conlict (The Hague Convention), 14 May 1954, (b) Convention on the Means 
of Prohibiting and Preventing, the Ellicit Import, Export and Transfer of 
Ownership of Cultural Property, Paris, 14 November 1970, (c) Convention 
Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage,
Paris, 16 November 1972, (d) International Council on Monuments and Sites 
(ICOMOS) atau Vinice Charter, Italy, 1964, yang telah mengalami beberapa 
revisi dalam beberapa kongres, (e) Burra Charter, Australia, 1978, (f) Charter 
of Cultural Tourism, Brussels-Belgium, 8-9 November 1976. 
Demikian langkah-langkah dalam mencari jejak arkeologis. Bagaimana 
kemudian praktiknya dalam mencari jejak arkeologis Banten? Jejak arkeologis 
Banten yang pernah dilacak, dicatat, diinventarisasi, dan didokumentasi, 
dapat diteliti atau dibaca antara lain dalam Inventaris der Hindoe-Oudheden, 
ROD, 1914, yang diterbitkan oleh Batavia’s-Genootschap van Kunsten en 
Wetenschappen, 1915, halaman 1-15, 20. Dalam keterangannya, terdapat 
benda-benda yang telah disimpan di museum dan yang masih di lokasi. 
Sebuah candi yang bagian bawah kepalanya rusak semula ditempatkan di 
Pancaniti Kabupaten kemudian hilang tetapi ditemukan lagi ketika menggali 
kanal Karangantu dan kini disimpan di Museum Banten. Contoh lainnya, 
yakni temuan arca-arca batu Brahma, Mahadewa, Guru, Durga dan Area 
Ganesha berasal dari Caringin, sudah disimpan di Museum Jakarta. Tetapi �jejak arkeologis berupa punden berundak di Si Bedug dan di Cibeo, masih 
berada di lokasinya (B. van Tricht, 1929: 43-120).
Jejak-jejak arkeologis dari daerah Provinsi Banten setelah tahun 1915, 
masih banyak terdapat pada catatan-catatan yang terhimpun di lembaga yang 
mengurusi peninggalan sejarah dan purbakala atau benda cagar budaya, baik 
di pusat maupun di daerah.
Benda-benda yang khusus berasal dari masa prasejarah, apakah alat-alat 
kapak, batu, pahat, beliung, dan lainnya dari periode batu baru (neolitikum) 
atau masa bercocok tanam dan pada masa Hindia-Belanda, telah banyak 
ditemukan di beberapa tempat di daerah Provinsi Banten. Di antaranya dari 
Serpong, Cihuni, Ciledug (Serang), dan Pandeglang. Alat-alat batu tersebut 
telah diinventarisasikan dan tersimpan di museum (dahulu Bataviasch 
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, hasil karya A.N.J . Th. van 
der Hoop, dalam Praehistorische Verzam eling, Bataviaasch Genootschap 
van Kunsten en Wetenschappen, 1941 [van der Hoop, 1941]). Selain jejak 
arkeologis berupa alat-alat dari masa batu baru, termasuk alat-alat dari tanah 
liat berupa gerabah atau periuk belanga dari daerah Serpong, terdapat juga 
jejak arkeologis dari masa perunggu-besi berupa alat-alat yang dibuat dari 
perunggu dan besi. Di antaranya sebuah nekara atau genderang perunggu 
tipe Heger IV dari daerah Banten. 
Mengenai benda-benda dan situs-situs yang terdaftar dalam Inventaris 
Hindoe-Oudheden, ternyata selain alat-alat neolitik, juga terdaftar punden�punden berundak, antara lain di Si Bedug, Cibeo, dan lainnya, sebagai 
jejak arkeologis megalitik. Adapun jejak arkeologis dari masa Indonesia 
Hindu-Buddha, seperti dari Caringin, Karangantu, dan beberapa tempat 
lainnya, telah dikemukakan. Yang perlu dicatat, di Cidangiang desa Munjul�Pandeglang, telah ditemukan prasasti tahun 1947, salah satu jejak arkeologis 
masa Tarumanagara yang memuat nama Sri Maharaja Purnawarman yang 
namanya tercantum dalam Prasasti Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, J ambu, 
dan Pasir Awi. Di antara ahli yang pernah membicarakan prasasti-prasasti 
dari Tarumanegara ialah R.M.Ng. Poerbatjaraka dalam Riw ayat Indonesia 
I, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1952.
Kemudian, didapatkan pula jejak arkeologis dari masa Indonesia Hindu, 
yaitu Area Siwa dan lainnya di Ujung Kulon, yang kini disimpan di Museum 
Sri Baduga, Bandung. J ejak arkeologis dari masa Indonesia-Hindu agak 
akhir ialah berupa jejak hunian atau mungkin situs Keraton Banten Girang 
yang konon menurut Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, merupakan 
tempat Keraton Prabu Pucuk Umun. Di situs ini, beberapa kali dicari jejaknya 
dengan ekskavasi arkeologis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi 
Nasional (1967-1977) (Hoesein Djajadiningrat, 1913; J an Edel, 1938). Dari 
situs ini juga ditemukan sejumlah pecahan keramik asing dari masa Dinasti �Sung (abad ke-10 sampai 13 M) dan Ming (abad ke-14 sampai 15 M) yang 
da pat menunjang keberadaan situs Banten Girang semasa menjadi sebuah 
Kadipaten Kerajaan Sunda Pajajaran (Mundardjito, 1978).
Sebenarnya, jejak-jejak arkeologis yang terdapat di daerah Provinsi 
Banten telah diinventarisasikan dalam rangka pemeliharaan dan pemugaran, 
terutama terhadap bangunan atau situs-situs dalam rangka Pembangunan 
Nasional (Uka Tandrasasmita, 1982). Dalam upaya mencari jejak arkeologis, 
terutama arkeologi-sejarah (historical archaeology), seperti arkeologi masa 
Hindu-Buddha, dan terutama arkeologi Islam, tak lepas dari pencarian jejak 
sumber tertulis yang dapat memberikan petunjuk adanya tinggalan arkeologis 
tersebut. Sumber-sumber tertulis dari naskah-naskah kuno, terutama yang 
berkaitan dengan hikayat atau babad, sering memberikan gambaran adanya 
situs pertempuran, bangunan, perkotaan, makam, dan lainnya. Demikian 
pula berita-berita asing dari Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, 
dan lainnya dalam daghregister, arsip, hasil-hasil perjalanan, perjanjian, dan 
sebagainya, tidak kurang pentingnya memberikan petunjuk untuk melacak 
jejak arkeologis. 
Oleh karena itu, jejak arkeologis masa Kesultanan Banten dari awal 
abad ke-16 sampai akhir abad ke-19, akan diperoleh dari sumber naskah�naskah kuno, misalnya Sejarah Banten, Hikay at Hasanuddin, Babad 
Cirebon, Babad Tanah Jaw i, dan Carita Purw aka Caruban Nagari sebagai 
hasil kajian ilologi yang telah dibicarakan oleh Edi S. Ekadjati. Petunjuk 
naskah-naskah yang berasal dari Banten disampaikan Edi S. Ekadjati karena 
ia pernah meneliti dan menerbitkan naskah-naskah Sunda, seperti Naskah 
Sunda Lam a Kelom pok Babad (Pusat Pembinaan dan Pengembangan 
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) dan Naskah Sunda 
(Universitas Pajajaran, kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran 
dengan The Toyota Foundation, Bandung, 1988).
Di antara naskah-naskah kuno (manuskrip) yang berasal dari Banten da�pat ditelusuri dari beberapa katalog dan dari naskah yang mungkin masih 
banyak tersimpan di masyarakat. Di antaranya adalah beberapa katalog yang 
berada di Museum Nasional – kini Perpustakaan Nasional – yang di susun 
oleh Moh. Amir Sutaarga dan kawan-kawan dalam Koleksi Naskah Melayu 
Museum Pusat, 1972; Vivian Sukanda Tessier-Hasan Muarif Ambary, Catalog 
Ratsonne Naskah Jaw a Barat I: Naskah Islam , Tim EFEO-Puslit Arkenas, 
Bandung-Jakarta, 1990; Henri Chambert-Loir-Oman Fathurrahman, Khazanah 
Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia, Ecole française 
d’Extrême-Orient-Yayasan Obor Indonesia 1999. Masih banyak lagi katalog 
yang kemungkinan mencantumkan naskah kuno dari Banten.
Bagaimana pentingnya hasil kajian ilologi untuk membantu pelacakan 
jejak arkeologis atau penelitian arkeologi-sejarah, contohnya dapat dikutip�
dari Sejarah Banten, antara lain seperti tercantum dalam pupuh XIX berikut 
ini:
Sunan Gunung Jati bersama Molana Judah, ia menyuruh anaknya untuk 
mendirikan sebuah kota di pantai, dan diberinya petunjuk, di mana dalem 
(istana), di mana pasar, dan di mana alun-alun harus dibangun. Terutama 
sekali w ati gigilang tidak boleh dipindahkan dari tempatnya, karena hal itu 
berarti jatuhnya negeri itu. (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 36).
Kutipan tersebut jelas merupakan petunjuk untuk mencari lebih jauh jejak 
arkeologis Banten. Dan ternyata benar, meskipun kini tinggal reruntuhannya, 
petunjuk tentang jejak arkeologis ini lebih cenderung menjadi acuan bagi 
arkeologi perkotaan (urban archaeology ). J ejak arkeologis perkotaan ini 
diperkuat lagi dengan berita-berita asing, antara lain De Eerste Schipvaart 
der Nederlanders naar Oost-lndie onder Cornelis de Houtm an. Ketika bangsa 
Belanda pertama kali datang ke Banten mulai bulan Juni 1596, saat itu Sultan 
Maulana Muhammad sedang melakukan penyerangan ke Palembang.
Willem Lodewycksz, ketika mengikuti Cornelis de Houtman, memberikan 
gambaran tentang Kota Banten. Dalam sketsanya, tampak jelas letak keraton, 
alun-alun, masjid, pasar, dan tempat kediaman para pembesar, serta 
perkampungan para pedagang asing (Rouffer dan Ijzerman, 1915: 78-133, Peta 
Sketsa Kota Banten: 104; Uka Tjandrasasmita, 2000: 136-137, Gambar: 49).
Pelacakan perkembangan kota Banten, Surasowan, dan sekitarnya sejak 
abad ke-19, antara lain dilakukan oleh J .A. van der Chijs yang hasilnya 
berupa karangan Oud Bantan, 1881, yang cukup memberikan gambaran 
sejarah kota Banten kuno dari awal sampai abad ke-19 M (J.A. van der Chijs, 
1881: 1-62). Sejak memasuki abad ke-20, jejak arkeologis perkotaan ini terus 
dicatat dan didokumentasikan dan dapat ditelusuri dalam Oudheidkundige 
Verslag (OV) 1913, 1914, 1915, 1928, 1930. Oudheidkundig Verslag (OV) 
merupakan laporan pekerjaan Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala), 
yang diterbitkan setiap tahun 1913, 1914, 1915, 1928, 1930. Selain pencatatan 
dan pendokumentasian, juga telah dilakukan pemugaran dan penelitian oleh 
instansi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama 
dengan Pemda dan Universitas Indonesia.
Dari hasil penelitian, ekskavasi, dan pemugaran Banten ini banyak di�temu kan benda, selain sisa-sisa fondasi bangunan, juga sejumlah pecahan 
keramik dari Anam, Thailand, Tiongkok, dan Jepang. Terdapat juga pipa-pipa 
dari Gouda (Belanda) dan keramik dari beberapa negeri di Eropa (Katalogus 
Koleksi Data Arkeologi Banten, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan 
Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jakarta, 1988). Demikian juga gerabah�gerabah buatan lokal banyak ditemukan baik dari hasil ekskavasi maupun �
dari pemugaran. Juga, ditemukan mata uang, baik mata uang lokal maupun 
mata uang asing Tionghoa, VOC, dan sebagainya, serta peluru dan alat-alat 
senjata, termasuk pencetakan peluru.
Semua benda temuan yang merupakan jejak arkeologis dari situs 
perkotaan Banten itu disimpan dan disajikan dalam Museum Banten yang 
telah diresmikan tanggal 15 Juli 1985. Baik dari jejak-jejak arkeologis yang 
telah ditemukan, maupun dari puing-puing yang sebagian telah dipugar, jelas 
Banten (Surasowan) merupakan kota bersejarah yang penting. Dan, selain 
sebagai pusat pemerintahan, Banten juga menjadi pusat perdagangan antar�bangsa (Uka Tjandrasasmita, 1995: 106-125). Kota Banten ini juga memenuhi 
persyaratan sebagai negara-kota (city-state) karena berperan penting dalam 
kegiatan perdagangan regional dan internasional yang mencapai puncaknya 
pada abad ke-7 M (Peter J .M. Nas, 1986: 26-28). Data-data historis baik 
berita-berita Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, dan naskah-naskah �
kuno yang berisi sejarah dan keagamaan, sangat menunjang keberadaan 
Banten dan ibukotanya sebagai kesultanan yang mempunyai peranan dalam 
sejarah nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, dalam melacak jejak-jejak arkeologis, selain berdasarkan 
pemberitaan langsung atau tidak langsung, benda-benda atau bangunan dan 
situs-situsnya, juga harus didasarkan pada naskah-naskah kuno, berita asing, 
serta arsip-arsip. Naskah-naskah kuno itu sendiri, bila ditilik dari segi bahan, 
bentuk tulisan, dan tahun dalam kolofon, mestinya juga termasuk Benda 
Cagar Budaya (BCB) yang harus dilindungi sesuai UU BCB No. 5 Tahun 1992 
dengan PP No. 10 Tahun 1993, bahkan dengan UU Hak Cipta Isi. Naskah 
kuno amat penting karena bukan hanya memberikan petunjuk bagi pencarian 
jejak arkeologis, tapi juga berisi tentang berbagai aspek kebudayaan bangsa 
untuk penelitian keagamaan, pemikiran, sistem birokrasi, pemerintahan, 
politik, ekonomi-perdagangan, kesenian, hukum, obat-obatan, dan lain-lain 
(Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, 1999: 7).
Pada m asa pem erintahan Sultan Abul Mafakhir Mahm ud Abdul 
Kadir, Banten menjadi sebuah pusat ilmu pengetahuan Islam. Pada masa 
kejayaannya, Banten didatangi ulama-ulama dari berbagai daerah Nusantara 
untuk memperoleh pengetahuan agama yang lebih mendalam. Terlebih 
dengan adanya jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, tarekat-tarekat 
menjadi berkembang seperti Tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Qadariyah 
wa Naqsyabandiyah, Sattariyah, Rifaiyah, dan Tarekat Khalwatiyah. Banten 
juga terkenal dengan permainan debus sebagai kesenian Islami. Tetapi 
adakah naskah aslinya yang menjadi pedoman para syekhnya? Demikian 
pula mengenai peranan dan kedudukan seorang qadi di Kesultanan Banten 
yang bergelar Fakih Najamuddin (Martin van Bruinessen, 1995: 248-257), di 
manakah naskah-naskah karyanya?
Pelacakan jejak-jejak arkeologis, selain melalui pernaskahan juga melalui 
kearsipan, catatan-catatan harian (daghregisters), dan berita asing dari 
berbagai zaman. Semua itu akan memperkaya dan memberikan informasi 
yang penting untuk menindaklanjuti kegiatan terhadap jejak-jejak arkeologis 
dari abad ke-19 sampai 20 M seperti kabupaten, karesidenan, kantor polisi, 
dan bangunan-bangunan arsitektur Indis (bangunan pengaruh masa kolonial) 
yang dapat ditelusuri dari arsip-arsip, paling tidak yang tersimpan di Arsip 
Nasional di Jakarta (Joko Utomo, 1995). 
Melacak jejak arkeologis Banten sebenarnya tidak hanya terbatas pada 
pencatatan atau inventarisasi, dokumentasi, ekskavasi atau pemugaran semata, 
tetapi juga perlu mengkaji dan menganalisa nilai-nilai yang terkandung 
agar dapat disajikan dalam bentuk tulisan yang disertai audio-visual 
untuk kepentingan dunia keilmuan, pendidikan, pariwisata, kebudayaan, 
keagamaan, dan kemasyarakatan. Kegiatan yang disebut terakhir sudah�
tentu memerlukan penelitian dalam arti luas terhadap jejak arkeologis yang 
terdapat di daerah Banten agar dapat menghasilkan sebuah karya yang benar�benar disusun secara ilmiah untuk bacaan masyarakat umum dan Perguruan 
Tinggi. Temanya dapat berupa sejarah, kesenian, keagamaan (ikih, akidah, 
suisme-tarekat), perekonomian-perdagangan, pelayaran, dan sebagainya. Hal 
itu demi mencerdaskan masyarakat Banten pada khususnya dan masyarakat 
Indonesia pada umumnya. Tema-tema tersebut memerlukan pendekatan 
ilmu-ilmu sosial atau Mazhab Annales (Peter Burke, 1999).
Syukurlah, sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang, sudah banyak 
hasil penelitian dari berbagai aspek, bahkan disertasi para mahasiswa dari 
berbagai universitas berkenaan dengan jejak arkeologis perkotaan Banten. 
Untuk keperluan dokumentasi, hasil penelitian tersebut sebaiknya dihimpun 
dan disimpan di Museum Banten untuk bahan studi orang lain. Dahulu, 
museum ini, selain menyimpan dan memajang benda-benda temuan, juga 
memuat perpustakaan tentang sejarah Banten berupa sejumlah literatur, 
arsip, dokumen, gambar, peta, dan lainnya, mengenai perkembangan Banten 
lama. 
Berdasarkan uraian tentang pelacakan jejak arkeologis Banten di atas, 
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: pertam a, hasil pelacakan jejak 
arkeologis Banten terdapat dalam buku inventaris tahun 1915 yang sebenarnya 
merupakan hasil catatan dari berbagai museum (NBG) dan hasil perjalanan 
serta kunjungan para ahli yang dimuat dalam karya tulis. Para ahli tersebut 
antara lain Brumund, van Hoevell, J unghuhn, Friederich, Veth, de Haan, 
C.M. Pleyte, Penning, dan lainnya, yang tulisannya berasal dari beberapa 
tahun sebelum tahun 1914. Untuk jejak-jejak yang masih berada di lokasi 
(situs) atau yang sudah disimpan di museum, masih perlu diteliti sampai 
sejauh mana nilai-nilai arkeologis yang dikandungnya. Yang masih berada di 
situs, perlu diteliti lagi bagaimana keberadaannya, apakah masih utuh atau 
sudah hilang.
Kedua, bangunan atau situs yang pernah dipugar, tetapi keberadaannya 
semrawut, sebagai bekas Kota Banten yang mempunyai peran penting dalam 
sejarah nasional, perlu ditertibkan demi kelestarian dan pemanfaatannya 
dalam berbagai kegiatan keilmuan, pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan, 
keagamaan, dan kepariwisataan. Ketiga, dalam menjaga kelestarian jejak�jejak arkeologis dan historis Banten, perlu adanya partisipasi aktif dari 
masyarakat melalui kerjasama dengan pihak instansi pemerintah baik pusat 
maupun daerah. Pengertian kelestarian ialah melindungi dan memelihara 
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keem pat, pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta lembaga�lembaga pendidikan dan kebudayaan, seyogyanya memprogramkan dan 
me laksanakan inventarisasi dan dokumentasi benda, bangunan, situs, �
naskah-naskah kuno, arsip-arsip, berita, dan dokumen-dokumen mengenai 
berbagai tinggalan arkeologis, sejarah dan kebudayaan, terutama yang berada 
atau berhubungan dengan Provinsi Banten. Kelim a, hasil inventarisasi ter�sebut diperlukan sebagai dokumen dan database, serta berguna untuk me�mudah kan siapapun baik siswa, mahasiswa, kaum cerdik cendekiawan, atau 
dari lapisan manapun dalam generasi kini dan mendatang yang hendak me�lakukan penelitian.

Sumber-Sumber
Untuk merekonstruksi sejarah Lengkong Ulama, atau dikenal juga sebagai 
Lengkong Sumedang, di Kabupaten Tangerang, dilakukan metode atau cara�cara berikut: (1) pengumpulan data atau sumber sejarah (heuristik), baik 
di lapangan maupun di perpustakaan, (2) melakukan kritik sumber, mana 
yang primer dan mana yang sekunder, (3) menganalisa data hingga menjadi 
fakta-fakta sejarah, (4) penulisan atau narasi sejarah (historiograi) (Sartono 
Kartodirdjo, 1992).
Data atau sumber-sumber sejarah dan arkeologis (peninggalan purbakala) 
yang dikumpulkan dan ada kaitannya dengan kesejarahan Lengkong 
Ulama, baik melalui penelitian lapangan (ield research) maupun penelitian 
kepustakaan (library research) adalah: (1) babad dan cerita tradisional ma�syarakat, (2) dokumen kearsipan, (3) karya tulis para ahli, (4) peninggalan 
arkeolo gis (kepurbakalaan), (5) peta lokasi dan hasil penelitian lapangan, (6) 
wa wancara.
Dalam sumber-sumber tersebut jelas akan terdapat sejumlah data yang 
per lu diperbandingkan satu dengan lainnya untuk memperoleh fakta sejarah 
demi merekonstruksi sejarah tersebut seobjektif mungkin. Dengan sendirinya, 
dilakukan pendekatan teori yang juga berkaitan dengan objek kajian, yaitu 
sejarah Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang.
Sejarah Lengkong Ulama (Sumedang)
Nama Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang dalam peta topograi ha�nya disebut Lengkong, tanpa tambahan “Ulama” atau “Sumedang”. Disebut �Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang karena sejak masa lampau 
kampung ini ditempati seorang ulama atau kiai yang berasal dari Sumedang 
yang dikenal dengan sebutan Raden Aria Wangsakara. Bekas rumah yang di�tempati istrinya yang kedua masih ada, meski sudah mengalami perubahan. 
Sedangkan yang ditempati istri pertama konon sudah tidak ada, dan kini 
menurut masyarakat setempat, tandanya adalah pohon asam besar yang 
terletak di seberang barat Sungai Cisadane. 
Masjidnya kini sudah mengalami pembaruan yang menyeluruh. Untung�nya, masjid tersebut telah difoto terlebih dahulu, sebelum dipugar total (kini 
ada pada Pak Najib). Dari hasil foto, tampak jelas masjidnya beratap tingkat 
dua. Sedangkan bata-bata aslinya, meskipun sudah tidak tampak, namun me�nurut Bapak Soleh, bentuk ubinnya berwarna merah dengan ukuran besar. 
Tentang siapakah tokoh yang dinamakan R.A. Wangsakara itu, dapat di�ketahui dari tulisan yang disusun oleh H. Mukri Mian, pensiunan Departemen 
Agama, penduduk Kampung Lengkong Kulon, Legok, Tangerang. Naskah 
tersebut disusun tahun 1983 dan dipersembahkan kepada segenap warga 
keturunan R.A. Wangsakara khususnya, dan umumnya bangsa Indonesia 
(Mukri Mian, 1983).
Ketika ditanyakan berdasarkan sumber apa Mukri Mian menyusun 
Sejarah Kampung Lengkong itu, jawabannya adalah berdasarkan naskah asli 
yang pernah disimpan oleh almarhum Kiai Muchtar dan Bapak Yasin. Tetapi 
sayangnya ia belum tahu keberadaan naskah yang katanya ditulis dalam huruf 
pegon pada kertas daluw ang yang kabarnya pernah dipinjamkan kepada 
kelompok mahasiswa dengan dosennya yang melakukan Kuliah Kerja Nyata 
(KKN) ke Kampung Lengkong. Jika naskah aslinya ditulis dengan huruf pegon
pada kertas daluw ang dengan tinta Cina, maka sangat mungkin naskah itu 
merupakan naskah asli. 
Akan tetapi, perlu juga dipertanyakan apakah versinya asli ataukah 
pengambilan dari naskah utamanya. Untungnya, dalam naskah yang disusun 
tahun 1983 oleh H. Mukri Mian tersebut, terdapat silsilah R.A. Wangsakara 
dari garis ayah maupun ibu, baik ke atas maupun ke bawah. Berdasarkan 
sil silah inilah dapat dilakukan perbandingan dengan yang terdapat dalam 
naskah-naskah lain berupa babad lokal atau catatan karya tulis para ahli 
serta peminat sejarah. 
Mengingat dalam naskah baru itu terdapat isi yang dihubungkan dengan 
Sumedang, maka perlu dicari kaitannya dengan data atau sumber sejarah 
Sumedang, antara lain Babad Sum edang. Dibandingkan dengan Babad 
Cirebon, Babad Galuh, dan babad lainnya, bahkan dibanding dengan karya 
tulis para ahli Belanda yang telah diterbitkan oleh R.D. Asikin Wijayakusuma 
dan R. Mohammad Saleh dengan judul Rutjatan Sadjarah Sum edang: 
Sam em eh Sarta Nepi Ka Tjam purna Djeung Kum peni (Asikin Wijayakusuma �dan R.M. Saleh, 1960), Babad Sum edang lebih menitikberatkan cerita bahwa 
Pangeran Santri merupakan cikal bakal bupati-bupati Sumedang. Hal ini 
mungkin karena bupatilah yang pertama mulai memeluk Islam di Sumedang, 
sesuai dengan nama atau julukannya, yaitu “Pangeran Santri”. 
Menurut Babad Sum edang, dari garis ayahnya, Pangeran Santri me�rupakan keturunan Sunan Gunung Jati, karena disebutkan bahwa: (1) Sunan 
Gunung Jati mempunyai putra, (2) Pangeran Panjunan mempunyai putra, (3) 
Pangeran Pamekaran (Palakaran) mempunyai putra, (4) Pangeran Santri.
Anehnya, dalam Babad Cirebon (J.L.A. Brandes dan Dr. Rinkes, 1911), 
nama Pangeran Santri sama sekali tidak disebut. Mungkin karena bagi 
masyarakat Cirebon, Pangeran Santri tidak memberikan keturunan bagi raja�raja di Cirebon. Hal ini berbeda dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan 
Gunung Jati dan keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah. Bahkan, juga 
disebut-sebut nama Syekh Abdurrahman yang bergelar Pangeran Panjunan, 
meski tidak disebutkan sebagai putra Sunan Gunung J ati, melainkan sebagai 
saudara misan (saderek m isan). 
Dalam naskah Carita Purw aka Caruban Nagari karya Pangeran Arya 
Cerbon tahun 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Abdurrahman, yang kelak 
men dapat julukan Pangeran Panjunan, adalah salah seorang putra Sultan 
Sulaiman dari Baghdad. Ia pergi ke Pulau Jawa dengan adik-adiknya, yaitu 
Syarif Abdurrahim, Syarif Kahfi, dan Syarifah Baghdad. Mereka diusir 
oleh ayahnya setelah belajar tasawuf kepada Syekh Juned (Atja, 1972). Se�te lah berdebat tentang ajaran Islam dengan Sunan Gunung J ati, Syekh 
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan bersama istrinya pergi ke Wringin 
Pitu-Junti, Japura.
J adi, jika dalam naskah yang disusun Mukri Mian disebutkan bahwa 
Syekh Abdurrahman adalah putra Sultan Maulana Hud, maka itu didasarkan 
pada Babad Cirebon dan Carita Purw aka Caruban Nagari. 
Mengenai Pangeran Pamekaran sebagai putra Syekh Abdurrahman dan 
merupakan ayah Pangeran Santri, perlu dilakukan perbandingan dengan 
babad lainnya. Berdasarkan penelitian sumber yang diperoleh R.D. Asikin 
Wijayakusuma dalam Sejarah Sum edang, dikatakan bahwa Pangeran 
Panjunan mempunyai dua istri, yaitu Ratu Petak dari Panjunan dan putri 
Sunan Gunung J ati bernama Ratu Martasari. Pernikahan antara Pangeran 
Panjunan dengan Ratu Petak melahirkan Pangeran Pamekaran yang kemudian 
di anggap putra Ratu Martasari (R.D. Asikin Wijayakusuma, 1960). 
Oleh tradisi, makam Pangeran Pamekaran disebutkan berada di kompleks 
makam Pronggol di Pegambiran, Cirebon. Silsilah Sunan Gunung Jati, baik ke 
garis atas terutama melalui garis ibu, hampir dalam setiap babad, antara lain 
Babad Cirebon, Carita Purw aka Caruban Nagari, Sejarah Banten, Hikayat 
Hasanuddin, dan sebagainya, dihubungkan dengan raja-raja Pajajaran. �Demikian pula garis ayahnya dihubungkan dengan Sultan Hud (Hoesein 
Djajadiningrat, 1913; Jan Edel, 1938).
Putra Pangeran Pamekaran, yaitu Pangeran Santri sebagai Bupati 
Sumedang yang pertama kali masuk Islam, mempunyai putra yang terkenal 
dengan Geusan Ulun yang kemudian menurunkan para Bupati Sumedang. 
Setelah berguru agama di Demak, Geusan Ulun dari Sumedang pulang dan 
untuk sementara menginap di Cirebon mengadakan pembicaraan keagamaan 
dengan Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati). Istri muda Panembahan, 
Ratu Harisbaya, jatuh cinta kepada Geusan Ulun. Lalu keduanya melarikan 
diri ke Sumedang. Akibatnya, terjadi peperangan di mana di pihak Sumedang 
dipimpin Sayang Hawu atau J ayaperkosa, Terong Peot, Nangganan, 
Kondanghapa. Tetapi akhirnya Panembahan Ratu merelakan istrinya dengan 
penyerahan Sindangkasih (Majabangka) ke Cirebon. Peristiwa sejarah Geusan 
Ulun ini telah saya bahas dalam makalah “Sumedang Larang dan Sebab-Sebab 
Keruntuhannya” dalam Seminar Sejarah Sumedang Larang, tahun 1998.
Cerita dalam Babad Sum edang itu masih dikenal oleh masyarakat se�karang, terutama oleh orang-orang yang sudah sepuh. Cerita itu juga terdapat 
dalam beberapa babad lainnya. 
Peristiwa pelarian Ratu Harisbaya oleh Geusan Ulun ke Sumedang 
mung kin sekali terjadi sekitar tahun 1588 atau sebelum Cirebon di bawah 
Panembahan Ratu mendapat pengaruh Mataram; dan bantuan Mataram di 
bawah Panembahan Senopati (1590 M) yang membangun dan memperkuat 
tembok yang mengelilingi Kota Cirebon (Asikin Wijayakusuma, 1960; H.J. 
de Graaf & Th.G. Pigeaud, 1986: 144). 
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang sehubungan dengan 
Geusan Ulun yang membawa lari Ratu Harisbaya ke Sumedang juga diambil 
dari tulisan Veth, van Deventer, de Roo de la Faille, dan juga dari cerita di 
Sumedang dan Cirebon dari Keraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin 
Wijayakusuma, 1960: 51).
Dalam cerita dikatakan bahwa, ketika dibawa ke Sumedang, Ratu 
Harisbaya sedang mengandung dua bulan. Setelah lahir, putranya diberi nama 
Raden Suriadiwangsa yang oleh Geusan Ulun dianggap anak sendiri bahkan 
kelak menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata. 
Me nurut Babad Sum edang, sebelum Geusan Ulun menikah dengan Ratu 
Harisbaya, ia sudah mempunyai istri, yaitu Nyi Gedengwaru, putra Sunan 
Pa da dan masih keturunan Prabu Siliwangi. Pernikahan antara Geusan Ulun 
de ngan istri tuanya itu melahirkan putra antara lain yang dikenal dengan 
Pangeran Rangga Gede. 
Putra-putra Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya yang dicatat R.D. Asikin 
Wijayakusuma (Asikin Wijayakusuma, 1960: 51) antara lain: (1) Pangeran Aria 
Suradiwangsa atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumah Dinata I, Bupati �Wadana Mataram ke-I untuk seluruh Pasundan, (2) Pangeran Tumenggung 
Tegalkalong, mertua Sultan Mataram, (3) Raden Rangga Nitinegara yang 
menurunkan bupati-bupati dan pembesar-pembesar (Keluarga Wangsatanu), 
dan (4) Raden Arya Wiraraja I. Putranya ialah Wiraraja II yang antara tahun 
1631-1633 (zaman Perang Dipati Ukur) meloloskan diri dari Sumedang lalu 
membuat pemukiman (bahasa Sunda: ngababakan) di Lengkong Sumedang 
di pinggir Cisadane, sebelah Girang Tangerang.
Yang menarik dari silsilah itu ialah nama Pangeran Arya Wiraraja II, 
karena namanya disamakan dengan nama Wangsakara yang tercatat dalam 
silsilah yang disusun Mukri Mian. Penyebutan nama R.A. Wangsakara yang 
disamakan dengan Raden Arya Wiraraja II dikatakan oleh Mukri Mian setelah 
ia berkunjung ke Sumedang dan mengidentiikasinya dengan yang tercatat 
dalam Babad Sum edang di Museum Geusan Ulun. 
Dengan demikian, perihal Pangeran Arya Wiraraja, alias R. Arya 
Wangsakara yang makamnya ada di Lengkong Ulama atau Lengkong 
Sumedang tersebut perlu dicari kebenaran sejarahnya: apakah ia memang 
ber asal dari Sumedang yang pergi meninggalkan Sumedang pada masa 
Perang Dipati Ukur antara tahun 1631-1633 M? Dan, apa yang menyebabkan 
ia pergi meninggalkan Sumedang ke Lengkong dan bermukim di pinggir 
Sungai Cisadane di seberang barat?
Cerita tentang beberapa pembesar dari Sumedang yang pergi ke Banten, 
antara lain terdapat dalam naskah di Leiden yang memuat cerita Dipati 
Ukur versi Sumedang (Ekadjati, 1982: 180-1885). Diceritakan bahwa, ke�tika pemerintahan Pangeran Sumedang yang dimintai bantuan menyerang 
Madura, terutama di bawah Adipati Martalaya, Madura tidak dapat ditakluk�kan Mataram. Namun berkat Pangeran Sumedang, yaitu Pangeran Arya 
Suriadiwangsa (putra Pangeran Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya) yang me�lakukan cara kekeluargaan karena masih memiliki garis hubungan dengan 
Madura dari ibunya Ratu Harisbaya, putri dari Arosbaya di Madura, maka 
perang tidak berlangsung dan kemudian Madura mengakui kekuasaan 
Mataram. Karena itulah Pangeran Arya Suriadiwangsa diberi gelar Pangeran 
Dipati Rangga Gempol Kusumahdinata (Rangga Gempol I). 
Diceritakan bahwa suatu ketika Pangeran Sumedang berkelakar dengan 
kakaknya, Pangeran Rangga Gede. Pangeran Sumedang menyatakan bahwa, 
jika saja ia mau, maka ia dapat menaklukkan Mataram dalam waktu sete�ngah hari saja. Kelakar ini terdengar oleh dua pembesar Mataram, yaitu 
Tumenggung Suralaya dan Dipati Ukur. Akhirnya, Pangeran Sumedang tidak 
di pedulikan oleh Sultan Mataram dan diasingkan ke Kampung Bembem 
sampai meninggal dan terkenal dengan sebutan Pangeran Bembem.
Setelah berkelakar dengan kakaknya, Pangeran Sumedang (mungkin sekali 
Rangga Gempol I) menyuruh kakaknya, Pangeran Rangga Gede, kembali ke�Sumedang. Tetapi ketika sampai di Sumedang, Pangeran Rangga Gede tidak 
mendapatkan putranya, yakni Raden Arya Suriadiwangsa (mungkin Arya 
Suriadiwangsa II atau Pangeran Wiraraja II) karena pergi ke Banten dengan 
para pengikutnya. Akibatnya, Pangeran Rangga Gede dipanggil ke Mataram 
dan kemudian dimasukkan dalam penjara. Diceritakan bahwa, putri angkatnya 
memberitahukan bahwa Pangeran Rangga Gede akan dihukum mati. Tetapi 
bila ia sanggup menumpas pemberontakan Dipati Ukur, ia dibebaskan 
dan kembali ke Sumedang dan juga diberi gelar Pangeran Rangga Gempol 
(mungkin Gempol II). Setelah sampai di Sumedang, ia dengan pasukannya 
pergi mencari Dipati Ukur. Tetapi ketika sampai di Citepus, Pangeran Rangga 
Gede meninggal. Sedangkan Dipati Ukur dengan pasukannya sudah tidak ada 
di Ukur dan pergi ke arah Banten. 
Putra Pangeran Rangga Gede yang juga memperoleh gelar Pangeran 
Rangga Gempol dan tinggal di Mataram, bernama Ki Tubagus Weruh. Ia 
menggantikan ayahnya serta diangkat oleh Sultan Mataram sebagai Rangga 
Gempol (mungkin Rangga Gempol III). Ketika Sultan Mataram wafat, 
ia berkunjung ke Mataram yang ketika itu sudah diganti oleh Susunan 
Pakubuwono.
Berdasarkan cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembesar 
yang lolos dari Sumedang ke Banten pada masa terjadinya pemberontakan 
Dipati Ukur adalah Pangeran Arya Suriadiwangsa II atau Wiraraja II. 
Namun, meskipun dalam Babad Sum edang disebutkan Pangeran Wiraraja 
II (1631-1633), tetapi yang disebut masyarakat sebagai Lengkong Sumedang 
ialah R.A. Wangsakara. Sebabnya tidak lain karena mereka tidak senang 
kepada Mataram yang ingin menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Hingga 
Pangeran Rangga Gede meninggal di Citepus, Dipati Ukur belum tertangkap 
dan sebagian dari pasukannya sudah lolos ke Banten.
Berdasarkan temuan di atas, diperoleh gambaran yang jelas bahwa 
ke datang an orang-orang dari Sumedang – dengan R.A. Wangsakara atau 
Pangeran Arya Wiraraja II sebagai tokohnya – tidak dapat membantu dalam 
menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Jika diperhatikan, tahun kedatangan 
Pangeran Arya Wiraraja II ke Banten, terutama sampai bermukim di Lengkong 
Sumedang atau Lengkong Ulama, adalah tahun 1631-1633 M. Maka, tahun 
kehadiran Pangeran Wiraraja II itu tidak begitu jauh dari masa sebelum 
berakhirnya pemberontakan Dipati Ukur.
Dalam Sejarah Banten, terdapat data yang menceritakan bahwa setelah 
se rangan tentara Mataram ke Batavia tahun 1628 gagal, banyak orang-orang 
dari Priangan, yaitu dari Ukur, Sumedang, dan lainnya, kembali untuk men�cari perlindungan karena takut terhadap hukuman dari Mataram, serta ka�rena didorong keinginan untuk bebas dari kekuasaan Mataram. Dipati Ukur 
mempertahankan diri, dan pada tahun 1630, pasukannya yang berada di �Gunung Lumbung tetap bertahan dari serangan Mataram. Tetapi karena 
ketakutan, banyak pengikut yang meninggalkan Dipati Ukur. Mereka mencari 
perlindungan ke Batavia dan Banten. Sayangnya, hanya Kesultanan Banten 
yang memberi izin untuk menetap di Cisadane. 
Dikatakan bahwa, pada awal tahun 1632, pemberontakan Dipati Ukur 
dapat ditumpas. Hal itu didasarkan sangkala (tahun) dalam Sejarah Banten
yang berbunyi: buta tata gati ajrih (yaitu 1555 Jawa = 1633/ 34 Masehi). 
Oleh Hoesein Djajadinigrat, perkataan itu dikoreksi dan dibetulkan. Menurut 
Hoesein, perkataan buta seharusnya dibetulkan menjadi bata yang bernilai 
angka 3. Sehingga bata tata gati ajrih bernilai angka 1553 tahun Jawa atau 
dari 30 Juli 1631 sampai 16 Juli 1632 M (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 191).
Kesultanan Banten pada tahun itu masih di bawah pemerintahan 
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651). Waktu itu sudah 
mulai terjadi beberapa pertempuran dengan tentara VOC Belanda. Ketika 
wafat tahun 1651, Abdulkadir diganti oleh cucunya, yaitu Sultan Abdul 
Fatah yang terkenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa, yang oleh G.G. 
van Goens dikatakan sebagai musuh terbesar kompeni belanda (de grootste 
vijand der Com pagnie). Di bawah pemerintahannya, kesultanan mencapai 
"Zaman Keemasan". Ia membuat maju berbagai bidang kegiatan pertanian 
dengan pembuatan saluran-saluran, memajukan perdagangan antardaerah 
di Indonesia dan juga perdagangan antarbangsa dengan negeri-negeri di 
Barat, Timur Tengah, Timur J auh seperti Tiongkok dan J epang, bahkan 
dengan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, perjuangan kakeknya 
untuk mengenyahkan penjajahan Belanda makin ditingkatkan, baik dengan 
mengadakan pertempuran di lautan dan di perairan antara Untung Jawa dan 
Cisadane, antara Angke dan Tangerang. 
Pertempuran di antara daerah Angke dan Tangerang terjadi tahun 
1658 dan 1659. Sultan Ageng Tirtayasa memperbanyak penduduk di daerah 
Tangerang hingga mencapai kurang lebih 6.000 jiwa dan mungkin termasuk 
kampung-kampung di pinggir Cisadane bagian barat, termasuk Kampung 
Lengkong yang kemudian disebut Lengkong Sumedang atau Lengkong Ulama. 
Pertempuran terjadi antara Tangerang-Angke dengan membumihanguskan 
tanaman dan penggilingan tebu. Pertempuran yang terjadi antara tentara Ke�sultanan Banten dengan VOC, serta pendirian perkampungan dengan jumlah 
penduduk di daerah Tangerang itu, senantiasa dibicarakan dalam Sejarah 
Banten yang diperkuat oleh data-data historis lainnya, seperti arsip-arsip dari 
VOC, serta dalam daghregisters (catatan-catatan harian). Peristiwa tersebut 
telah ditulis dalam buku Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh 
Besar Kom peni Belanda (Uka Tjandrasasmita, 1967).
Dalam buku De Haan, Priangan de Preanger-Regentschappen onder het 
Nederlandsch Bestuur tot 1811 (De Haan, 1912), nama Lengkong di pinggir �barat Cisadane sebagai daerah yang dikuasai oleh kepala-kepala di bawah 
Kesultanan Banten yang dicatat sebagai Gubernur Tangerang ialah Pangeran 
Dipati di bawah Sultan Banten yang tua, yang mungkin sekali Sultan Ageng 
Tirtayasa. Pada tahun 1682 perang masih berkecamuk dan dalam serangan 
Kompeni Belanda ke keraton Tirtayasa membantu Sultan Haji atau Sultan 
Abu Nasr Abdul Kahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa yang menginginkan 
kekuasaan Kesultanan Banten. 
Menarik perhatian karena, berdasarkan arsip 20 Desember 1668, tercatat 
pimpinan-pimpinan yang ditempatkan di Tangerang pada masa Sultan Ageng 
Tirtayasa. Di antaranya ialah Radin Sina Pattij (Raden Senapati) dan Kieeij 
Daman (Kiai Demang). Raden Senapati kemudian diganti oleh putranya, 
Raden Aria Wangsadireja yang sering datang kepada VOC dan meninggal 
di Kademangan. Ada pula catatan berdasarkan berita Caeff tanggal 4 Maret 
1680 yang menyebutkan ketua-ketua di Tangerang di bawah pemerintahan 
Kesultanan Banten. Di antaranya ialah Kiai Dipati Suradilaha (mungkin 
Suriadilaga) yang menjadi ketua di Tangerang dan sekitarnya. Saudaranya 
bernama Tumenggung Yuda Mangagala (De Haan: Tanumanggala). Peng�gantinya mungkin Sutadilaga, saudara Pangeran Wangsadireja. 
Nama-nama yang ditulis pada silsilah setelah Pangeran Arya Wangsakara 
– dalam naskah susunan Mukri Mian – mungkin saja masih keturunannya 
yang memimpin Tangerang, termasuk Lengkong Sumedang sampai masa 
sete lah berakhirnya pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dengan dimulainya 
pemerintahan Sultan Haji yang dibantu VOC Belanda. Berdasarkan data 
tanggal 2 J uli 1682, yang menghadap Gubernur J enderal ialah Kiai Mas 
Sutadilaga, saudara laki-laki Pangeran Aria Wangsadiraja. Dan berdasarkan 
arsip tanggal 2 J anuari 1686, Raden Aria Subraja juga menghadap VOC. 
Dikatakan bahwa Kiai Mas Aria Sutadilaga menjadi Bupati Tangerang per�tama di bawah perlindungan Kompeni Belanda atau VOC, yaitu setelah Ke�sultanan Banten berada di tangan Sultan Haji.
Di Lengkong dan sekitarnya, sejak Kesultanan Banten di bawah peme�rintahan Sultan Ageng Tirtayasa sampai sekitar akhir tahun 1682, masih 
ter jadi serangan dari kedua belah pihak dan merusakkan benteng masing�masing. Tempat-tempat yang disebut dalam berita-berita waktu itu, selain 
Lengkong, juga Songi Tiga (Siang Tiga atau Tiang Tiga). Dan dari sana 
ke Pondok Tatsjor, Pondok Kacang, Kampung Kekulonan, Cikokol, Prigi, 
Sampora, dan tempat lainnya. 
Setelah perjanjian kemenangan Sultan Abu Nasr Abdul Kahar dengan 
VOC tanggal 17 April 1684 – Sultan Tirtayasa sudah tertangkap lalu dibawa 
ke Batavia dan dimasukkan penjara sampai wafat, maka Kesultanan Banten 
ber ada di bawah Sultan Haji. Tetapi kekuasaan politik maupun ekonominya 
tetap dipegang kolonial Belanda-VOC, termasuk monopoli perdagangannya�Sungai Cisadane, termasuk Kampung Lengkong, seringkali menjadi 
tem pat perkebunan kopi. Kopi tersebut didatangkan dari daerah Bogor 
yang kemudian dilanjutkan melalui pengangkutan perahu-perahu sampai 
ke Untung Jawa, dan dari sana melalui pengangkutan yang lebih cepat. Di�katakan bahwa perahu-perahu yang mengangkut kopi dari Lengkong itu 
dikuasai Bupati (regent) Tangerang yang terjadi sampai abad ke-19 M (F. 
de Haan, 1912: 294, 661). 
Sejak berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, orang-orang yang 
menjadi Bupati Tangerang juga berada di bawah pengawasan VOC sam�pai masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Terlebih setelah Daendels meng�hapuskan Kesultanan Banten menjadi kabupaten-kabupaten, termasuk 
se lanjutnya sebagai karesidenan.
Dari data atau sum ber-sum ber sejarah, sejak R.A. Wangsakara, 
Lengkong Sumedang telah menjadi perkampungan yang bersejarah dengan 
letak geograis yang strategis. Lengkong Sumedang berada di belokan Sungai 
Cisadane seberang barat. Sesuai dengan daerah bagian barat Cisadane sejak 
Kesultanan Banten, terutama masa Sultan Ageng Tirtayasa yang men�jadikannya sebagai daerah perbatasan dalam menghadapi kekuasaan VOC 
di seberang timur Cisadane. 
Untuk memperkuat data historis itu, dapat ditinjau data arkeologis 
be rupa makam, bekas rumah, dan masjid yang pernah didirikannya. Se�mentara naskah asli dari Lengkong Sumedang itu masih perlu dicari ke�ber adaannya agar dapat dikenali bahan kertas, jenis tinta, segi isik, dan isi 
kesejarahannya.
Letak makam R.A. Wangsakara berada di bagian bukit dalam perkam�pungan Lengkong Sumedang itu. Penempatan makam seseorang yang dianggap 
leluhur atau suci di atas bukit banyak contohnya di beberapa tempat, misalnya 
makam Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Sendang, Sunan Giri, dan 
kompleks makam di Imogiri, tempat Sultan Agung Hanyokrokusumo, serta 
sultan-sultan Yogyakarta dan Solo (Uka Tjandrasasmita, 1992). 
Dari segi akeologis, nisan kubur R.A. Wangsakara yang terbuat dari batu 
(mungkin batu kali), menunjukkan bentuk atau tipe sederhana. Ukurannya 
kecil, di bagian puncaknya terpangkas dan melengkung sedikit seperti bahu. 
Bagian tersebut kedua sisinya lurus tetapi pendek, membentuk badan nisan 
lurus ke bagian kaki. Bagian kakinya merupakan bagian bingkai dengan 
lekukan-lekukan, yang kedua bagian sisinya seakan-akan membentuk se gitiga 
dan menjadi penghias bagian badan paling bawah. Pada bidang nisan itu 
tidak ada tulisan apa pun, kecuali bentuk hiasan spiral yang seakan mem�bentuk medali. Pola dasar nisan semacam ini bersifat lokal, meskipun juga 
terdapat di tempat lain, misalnya di Troloyo, Demak, bahkan di Banten sen�diri (Othman Mohd. Yatim, 1988: 33). �Di depan kubur R.A. Wangsakara terdapat makam yang nisannya ber�ukuran kecil dan berbentuk bundar seperti gada. Di bagian puncaknya ber�bentuk bulat lengkung menjadi penutup bagian kepala. Tipologi nisan tersebut 
juga ditemukan di kompleks makam Banten pengaruh Mandar. Meskipun 
sederhana, kedua nisan kubur itu mengingatkan kepada nisan tipe arkaik
lebih kurang akhir abad ke-17 M.
Di luar kompleks makam R.A. Wangsakara di samping masjid kuno yang 
telah dirombak total, terdapat sebuah makam dalam cungkup, yaitu makam 
se seorang bernama Mustakim, dan di luar bagian depan terdapat makam 
Darda. Berdasarkan keterangan dari H. Soleh, Kiai Mustakim itu adalah 
anak nya Darda.
Yang menarik perhatian, tipe atau bentuk nisan kuburnya seperti bentuk 
gada bulat memanjang dengan puncaknya yang berbentuk lebih besar dengan 
bagian meruncing. Bagian badannya yang seperti gada itu membentuk segi 
delapan semu. Bagian kakinya berbentuk segi empat dengan bentuk segi tiga 
pada setiap ujung pertemuan sisi-sisinya yang disebut sebagai anteik. 
Dalam sejarah perkembangannya, tipologi nisan-nisan kubur semacam 
itu, usianya diperkirakan dari abad ke-18 dan 19 M, yang oleh Dr. Moh. 
Othman Yatim, ahli Malaysia, dikelompokkan kepada Tipe Otman-M. Bentuk 
nisan semacam ini ditemukan di Banda Aceh, juga di Malaysia. Tipe nisan 
kubur seperti itu terdapat di Banten dan dalam kompleks makam Masjid 
Agung Banten, karena hubungan antara Banten dengan Aceh pada masa�masa lampau amat kuat. Bentuk nisan yang memuat cara penulisan seperti 
itu, ditemukan juga di Kampung Garisul-Jasinga dari abad ke-19 M dan telah 
disebut-sebut oleh Dr. Hoesein Djajadiningrat. Tetapi lebih jauh, telah diteliti 
oleh almarhum Muhammad Thoha Idris (Toha Idris, 1995). 
Di antara nisan-nisan kubur dari Garisul tersebut, yang terbaca tulisannya 
ialah makam Haji Syarif tahun 1200 H/ 1822 M, makam Embah Adong tahun 
1215 H/ 1837 M, dan ada juga nisan kubur dari tahun 1238 H/ 1860 M. Angka�angka tahun dari abad ke-19 itu jelas ada kaitannya dengan masa pergerakan 
rakyat yang mungkin semula mereka berada di Banten. Jika demikian, maka 
atas dasar perbandingan bentuk nisan yang berada di Garisul dengan ke�terangan silsilah makam Kiai Mustakim, sangat mungkin ia hidup pada masa 
pergolakan di Banten waktu mulai muncul lagi perlawanan terhadap penjajah 
Hindia-Belanda.
Tinggalan arkeologis yang ada kaitannya dengan R.A. Wangsakara ialah 
rumah istrinya yang kedua. Meskipun rumahnya sudah mengalami perbaikan, 
tetapi masih ada beberapa gaya dan bahannya yang menunjukkan periode 
se jarah. Bata-bata merahnya masih tampak jelas merupakan bata-bata 
kuno, dan dinding dari gedeg bambu yang dikerjakan dengan cara disasak 
(bu kan kepang), masih tampak. Bagian-bagian ruangan yang sederhana� itu kesemuanya masih menunjukkan keaslian, meskipun mungkin sudah 
beberapa kali mengalami perbaikan. 
Rumah yang ditempati istri pertamanya di bagian sisi Cisadane sudah 
tidak ada sama sekali. Yang ada hanyalah tanda, yaitu pohon asam yang 
su dah tua. Dari segi letak, tempat ini tepat berada di tepi barat Sungai 
Cisadane dan sejak Kesultanan Banten sudah merupakan salah satu basis 
untuk penyerangan terhadap VOC yang menguasai daerah sebelah timur 
Sungai Cisadane sampai Angke. J adi, ini pun merupakan situs sejarah. 
Bahkan katanya, terdapat gua-gua yang ketika diteliti di lapangan tak sempat 
ditelusuri.
Peninggalan yang tidak kurang pentingnya dari segi arkeologis ialah 
mas jid yang kini sudah berubah total. Untung masih didapatkan foto sebelum 
dirombak total – foto dari Drs. Edi, Kasi Kebudayaan, telah disampaikan 
kepada Drs. Najib. Dari foto tampak bahwa atapnya masih bertingkat, 
meskipun hanya dua tingkat (seperti masjid-masjid di daerah Jakarta dari 
abad ke-18 M, semuanya bertingkat dua). Fondasinya masih pejal dan persegi 
empat. Tetapi bata-bata aslinya, menurut H. Soleh, dahulu bentuknya besar�besar dan berupa bata-bata merah. Kalau ini benar, maka memang masjid�masjid kuno, baik di Banten maupun di Jakarta, juga menggunakan bata-bata 
merah ukuran besar seperti Masjid Agung Banten Lama yang berukuran 40 
x 40 m. Berdasarkan cerita setempat, masjid ini didirikan oleh Wangsakara. 
Karena ia juga berperan sebagai kiai atau ulama. Dengan demikian, pantas 
pula apabila Kampung Lengkong Sumedang itu juga disebut Kampung 
Lengkong Ulama. 
Ditinjau dari segi geografis dan ekologisnya, Kampung Lengkong 
Sumedang yang berada di pinggir Sungai Cisadane sejak masa sebelum 
pemukiman yang didirikan pada masa R.A. Wangsakara sudah mempunyai 
arti penting bagi lalu lintas perairan, terutama mungkin sekali sejak masa Ke�rajaan Taruma, karena di Muara Cianten dan Ciaruteun (Ciampea) terdapat 
prasasti m edio (pertengahan) abad ke-5 M dari Tarumanegara yang dibuat 
pada masa Sri Maharaja Purnawarman. Demikian pula pada masa Kerajaan 
Pajajaran, meskipun Ciliwung menjadi jalan perairan utama ke Pelabuhan 
Kalapa, namun Cisadane juga tetap dipergunakan sebagai lalu lintas menuju 
Tangerang, dan terutama ke Pelabuhan Tangerang yang pada awal abad ke-
16 M diberitakan Tome Pires (1512-1515) (Armando Cortesao, 1967: 171). 
Demikian juga sejak masa Kesultanan Banten abad ke-16 M, Cisadane 
dijadikan tempat perhubungan perairan dan tempat pertempuran melawan 
penjajah Belanda. Padahal, pada masa pemberontakan Kiai Tapa dan Tubagus 
Buang pada pertengahan abad ke-18 M, daerah Rumpin dengan Gunung 
Munara-nya telah menjadi ajang pertahanan dan pertempuran gerilyawan 
Banten melawan VOC. �Letak geograis Lengkong Sumedang memang sangat strategis, karena 
Cisadane membentuk belokan m eander atau tanjung. Di sebelah barat ber�hadapan dengan daerah seberang timur Cisadane. Menariknya, di Kam pung 
Lengkong Sumedang itu, selain terdapat bukit makam R.A. Wangsakara, ter�dapat bukit lain di sebelahnya, yang memiliki sumber air yang membentuk 
se lokan atau sungai kecil menuju Sungai Cisadane. Jikalau sungai kecil itu 
dapat dibentuk menjadi danau kecil, maka ia dapat dijadikan tempat pe�nampungan air yang bersih sekaligus memberikan pemandangan yang cukup 
bagus. Oleh karena itu, jika dilakukan penataan lingkungan dengan baik, 
maka Lengkong Sumedang dapat dijadikan objek wisata alam dan wisata 
sejarah atau budaya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertam a, 
tokoh pendiri Kampung Lengkong, yaitu R.A. Wangsakara atau Pangeran 
Aria Wiraraja II yang berasal dari Sumedang antara tahun 1631-1633, pergi 
ke Banten dan kemudian diberikan izin menempati Lengkong di pinggir 
barat Cisadane, pada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud 
Abdul Kadir (1596-1851 M). Kepergiannya ke Banten bertujuan untuk me�nyingkirkan serta menolak pengaruh Mataram terhadap Sumedang sejak 
Pangeran Rangga Gempol I. Selain itu juga karena ketidakmauan menumpas 
pemberontakan Dipati Ukur yang juga membangkang kepada Mataram.
Kedua, perjuangan Wangsakara sebagai kiai atau ulama dalam mendidik 
serta mengajarkan agama Islam membuatnya terdorong mendirikan masjid. 
Bahkan, ia dengan masyarakatnya turut aktif dalam mengadakan perlawanan 
terhadap usaha-usaha kolonial Kompeni Belanda (VOC) sejak tahun 1651 dan 
seterusnya, yang diteruskan oleh para penggantinya mungkin sampai akhir 
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M). Akhirnya, Tangerang 
dikuasai VOC dengan bupati di bawah naungan VOC, yaitu Pangeran Aria 
Sutadilaga dan Pangeran Aria Subraja.
Ketiga, berdasarkan analisa sejarah, arkeologis, tradisi setempat, bahkan 
dari segi geograis serta lingkungannya, Kampung Lengkong Sumedang atau 
Lengkong Ulama, yang kini termasuk Kecamatan Gedangan Kabupaten 
Tangerang, merupakan kampung bersejarah atau situs bersejarah (historical 
site) yang perlu diperhatikan kelestariannya, dan dapat menjadi salah satu 
objek wisata sejarah atau budaya serta wisata alam.�



ARTIKEL ini bertujuan memberikan gambaran kehidupan masyarakat 
di wilayah J akarta sebelum munculnya Batavia sejak awal abad ke-17 M. 
Tepatnya, sejak Jayakarta diganti namanya oleh VOC menjadi Batavia pada 
30 Mei 1619. Dengan bertumpu pada kehidupan masyarakat di Jakarta yang 
mencakup ruang yang kini termasuk wilayah DKI J akarta tersebut, maka 
cakupan waktu yang perlu dibicarakan ialah dari masa prasejarah, masa 
Indonesia Hindu-Buddha (Kerajaan Taruma dan Sunda Pajajaran), dan masa 
Islam (Jayakarta sampai menjadi Batavia). 
Untuk merekontruksi keadaan masyarakat dengan berbagai aspeknya dari 
masa-masa tersebut, perlu digunakan metodologi sejarah dengan pendekatan 
teori ilmu-ilmu sosial (social sciences approach) yang dikenal dengan Mazhab 
Annales. Mazhab Annales adalah mazhab sejarah yang dipelopori oleh Lucien 
Febvre, Marc Bloch, dan lain-lain, yang mencetuskan karya-karyanya dalam 
majalah Annales d’Histoire Econom ique et Social (Peter Burke, 1990 ). 
Sumber-sumber yang menjadi acuan, antara lain tinggalan arkeologis dan 
data tekstual, selain prasasti, babad yang relevan, juga terdapat berita-be�rita asing. Setelah itu, dilakukan kritik dan analisa sumber sampai pada 
historiograinya sesuai metodologi sejarah (Louis Gottcschalk, 1975). 
Mengingat peristiwa sejarah yang mencangkup faktor tempat atau ruang 
tidak dapat dipisahkan sampai wilayah ini tumbuh dan berkembang menjadi 
suatu kota, maka gambaran geograis, geologis, dan ekologis, perlu diberikan 
lintasannya berdasarkan sumber yang mengkaji masalah tersebut. � Keletakan Geograis dan Ekologis
Sejak dahulu, Jakarta mempunyai letak yang strategis, baik ditinjau dari segi 
geograis maupun lingkungan alam atau ekologisnya. Jakarta dengan teluk�nya, terletak antara 160.40’ dan 170.0’ Garis Bujur Timur. Jakarta di kelilingi 
kepulauan seperti Pulau Damar Besar, Air Besar, Nyamuk Kecil, Damar Kecil, 
Gosong, Kelor, dan Sabit. Mengingat banyaknya pulau-pulau tersebut, maka 
terkenallah sebutan Kepulauan Seribu. 
Berdasarkan potret dari udara, Sungai Cisadane dahulunya bermuara di 
bagian barat teluk Jakarta. Sedangkan Sungai Citarum bermuara lebih jauh ke 
timur. Perkembangan garis pantai Jakarta dibentuk oleh endapan lumpur Sungai 
Cisadane dan Ciliwung. Dataran alluvial pesisir utara terjadi karena pengendapan 
lumpur Sungai Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Sungai Citarum. 
Di bagian tengah Jakarta dataran alluvial sampai ke bagian dalam, le�bih kurang 7 km. Tetapi dengan proses pengendapan lumpur Cisadane yang 
membentuk delta, maka ke bagian barat dataran alluvial melebar lebih ku�rang 15 km yang membatasi teluk J akarta di bagian barat. Sedangkan ke 
arah timur, karena pengendapan lumpur Kali Bekasi dan Citarum, maka 
pe le baran dataran alluvial lebih kurang 35 km yang menjadi batas dataran 
Teluk Jakarta bagian timur. Pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai�sungai Cisadane, Ciliwung, dan Kali Bekasi, serta memencar membentuk ki�pas angin, berasal dari gunung berapi Pangrango, Gede, dan Salak. H. Th. 
Verstappen, ahli geomorfologi Belanda, berpendapat bahwa kecepatan pe�ngen dapan lumpur yang mengandung bahan-bahan vulkanis di pantai da�taran Teluk J akarta sekarang itu, diperkirakan terjadi lebih kurang 5.000 
tahun yang lalu. Lapisan tanah yang terbatas dari endapan puing berkipas itu 
berasal dari za man Holocen atau sekurang-kurangnya dari zaman pertengahan 
Holocen (Verstappen, 1953: 53).
Keadaan geografis dan ekologis daerah J akarta dengan teluk yang 
terlindungi kepulauan itu, menjadi faktor potensial bagi pertumbuhan dan 
per kembangan pemukiman masyarakatnya. Bahkan, Jakarta dapat tumbuh 
dan berkembang menjadi sebuah perkotaan. Menurut teori Gideon Sjoberg, 
penyebabnya ada tiga faktor: ekologi yang menguntungkan, adanya teknologi 
yang maju, baik agrikultur maupun non-agrikultur, dan adanya suatu or�ganisasi sosial yang kompleks dan struktur kekuasaan yang berkembang 
(Gideon Sjoberg, 1965: 7-15). Kemajuan tersebut berlangsung terutama sejak 
Jakarta menjadi kota pelabuhan Kelapa, masa Kerajaan Sunda Pajajaran yang 
ber ibukota di Pakuan-Pajajaran, Bogor. 
Kehidupan Masyarakat Masa Prasejarah
Awal pemukiman di daerah ini berlangsung sejak lebih kurang zaman 
prasejarah, khususnya Zaman Batu Baru atau Zaman Masyarakat Bercocok �Tanam. Menurut pendapat beberapa ahli, misalnya Robert von Heine 
Geldern dan W.G. Solheim, zaman itu diperkirakan dari tahun 2500-1500 
SM. Pendapat tersebut tidak begitu berbeda dengan perkiraan pengendapan 
lumpur yang membentuk dataran alluvial daerah J akarta sebagaimana 
diperkirakan Verstappen, yaitu 5.000 tahun lalu (Rober von Heine Geldern, 
1945: 129-167; W.G. Solheim II, 1972: 34-41). Dugaan waktu tersebut 
didasarkan pada temuan bukti arkeologis, yaitu artefak yang pernah dihim�pun pada masa Hindia-Belanda dan telah diinventarisasi Th.Th van der 
Hoop. Benda-bendanya sekarang tersimpan dalam koleksi Museum Nasional, 
ditambah dengan hasil-hasil ekskavasi di situs Kelapa Dua sekitar tahun 1971 
(Th.Th van der Hoop, 1941). Alat-alat atau artefak itu ada yang berupa kapak 
persegi, beliung, serpihan batu, mute, gelang batu, bahkan pecahan-pecahan 
kreweng atau gerabah. 
Yang menarik, dalam daftar inventaris museum yang dilakukan Van der 
Hoop, ternyata ada sebuah alat batu yang berbentuk pacul hasil temuan dari 
daerah Jatinegara. Tempat-tempat (situs) temuan alat-alat batu dari Zaman 
Batu Baru atau Masa Bercocok Tanam itu berada di sekitar daerah Jakarta, 
yaitu di Pasar Minggu, Pasar Rebo, Tanjung Timur, Kampung Salak dekat 
Pesing, Kampung Sukabumi, Cililitan, Sunter, Condet di tepi jalan Jakarta�Bogor, dekat stasiun J atinegara, Kampung Kranggan, dekat Pasar Rebo, 
Kampung Karang Tengah, Pasar Jumat, Kebayoran, Karet, Gedungijo Pasar 
Jumat, Pondok Betung-Ciputat, Kebayoran Lama, Kampung Pulo Jatinegara, 
Kebon Sirih, Cawang, Kampung Cipayung-Kebayoran, Pondok Pinang�Kebayoran, Kebon Pala-Jatinegara, Kebon Nanas, Rawa Belong-Kebayoran, 
Rawa Lele, Kampung Kelapa Dua, dan beberapa tempat lainnya. 
Karena banyaknya alat-alat yang ditemukan dengan sejumlah pecahan 
tem bikar dan batu asahan serta letaknya yang berada di pinggir Sungai 
Ciliwung, memungkinkan adanya pemukiman masyarakat pada masa itu, 
antara lain di Kelapa Dua. Artefak-artefak tersebut merupakan hasil eks�kavasi arkeologis tahun 1971. Sejak masa itu, masyarakatnya sudah me�nge nal tempat tinggal yang tetap dan sudah mempunyai pengetahuan 
mem bangun perumahan, mengenal bercocok tanam di tanah darat, sudah 
me ngenal organisasi sosial dengan pemimpin sukunya yang dipilih anggota�ang gota masyarakatnya, sudah mengenal perdagangan meski cara barter, 
me ngenal pelayaran, ilmu perbintangan, mengenal pembuatan pakaian, me�masak makanan dengan cara dibakar dan direbus, dan mengenal ilmu per�bintangan.
Pendeknya, sebelum kehadiran orang-orang India, masyarakat pada masa 
itu sudah berkebudayaan tinggi. Hal ini pernah dikemukakan oleh beberapa 
peneliti asing seperti J .L.A. Brandes yang terkenal dengan teori “sepuluh 
pe ngetahuan” yang dikenal masyarakat Indonesia sebelum kehadiran orang �India, N.J. Krom, F.D.K. Bosch, dan lainnya (Brandes, 1887: 122-129; N.J. 
Krom, 1923: 44-45; F.D.K. Bosch, 1952: 8).
Berdasarkan banyaknya situs temuan, jelas bahwa daerah Jakarta sejak 
masa prasejarah sudah pernah ditempati atau sekurang-kurangnya telah 
dijelajahi komunitas masyarakat dalam mencari penghidupannya. Meskipun 
kita tidak mengetahui kependudukan waktu itu, ada pendapat bahwa pada 
Zaman Masyarakat Bercocok Tanam atau Batu Baru, diperkirakan berjumlah 
dua keluarga per kilometer persegi (R.P. Soejono, 1984: 169). Masyarakat 
masa itu biasanya dikaitkan dengan nenek moyang bangsa Indonesia yang 
disebut jenis bangsa Austronesia yang semula menempati daerah dataran 
Asia Tenggara antara Yunan dan Tonkin (Robert von Heine Geldern, 1930: 
364; H. Kern, 1889: 270-287). 
Ditemukannya berbagai peralatan dari masa berikutnya, yaitu masa 
Kebudayaan Logam yang disebut perundagian (lebih kurang sejak 500 
SM), di beberapa tempat di wilayah Jakarta yang membuat alat dari logam 
perunggu dan besi, memberi bukti adanya kesinambungan masyarakat dengan 
kebudayaan. Paling tidak, masyarakatnya telah mengenal unsur-unsur universal 
kebudayaan sebagaimana lazim dimiliki suatu kelompok, apakah itu clan atau 
suku masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 202-208). Benda-benda atau artefak 
dari perunggu-besi itu antara lain berupa kapak sepatu atau corong, tombak, 
bekas coran besi dan sisa-sisa besi. Alat-alat itu ditemukan di situs Kelapa 
Dua, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Pasar Minggu, dan Jatinegara. Dengan 
temuan alat-alat tersebut, jelas dalam ke hidup an masyarakat sudah muncul 
dan berkembang pengetahuan logam dan teknologi pembuatan alat-alat dari 
logam dengan cara pengecoran da lam cetakan (bivalve) atau mungkin dengan 
teknik pelelehan lilin (ā cire perdue).
Selain itu, dengan munculnya pengetahuan logam atau metalurgi, 
mun cul pula golongan masyarakat tertentu yang mungkin dapat disebut 
golongan tukang atau pandai besi, pedagang, pembuat gerabah, dan lainnya, 
yang membentuk lapisan kependudukan berdasarkan kekayaan. Kehidupan 
masyarakat di daerah Jakarta sejak masa itu makin berkembang dan sejak 
abad-abad pertama mulai berhubungan dengan orang India. Sehingga, 
terjadi proses akulturasi di antara kedua kebudayaan itu yang berakibat 
pada munculnya kebudayaan yang bercorak Indonesia Hindu-Buddha dengan 
Kerajaan Taruma sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa.
Kehidupan Masyarakat Masa Kerajaan Taruma 
Sejak abad-abad pertama Masehi telah terjadi pelayaran dan perdagangan 
internasional melalui Selat Malaka, di mana orang-orang India dan orang�orang dari kepulauan Indonesia mulai berkenalan melalui perdagangan dan 
penyampaian agama Hindu oleh kaum Brahmana (F.D.K. Bosch, 1946). �Dengan kontak masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jakarta, lambat 
laun proses akulturasi itu memunculkan pemerintahan yang berbentuk 
kerajaan yang sejak pertengahan abad ke-5 dikenal sebagai Kerajaan Taruma 
dengan penguasa bernama Maharaja Purnawarman. 
Nama kerajaan dan nama rajanya dapat diketahui dari sumber primer, 
yaitu prasasti yang berjumlah tujuh buah. Ketujuh prasasti tersebut adalah 
Prasasti Tugu (Jakarta Utara), Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor), Prasasti 
Kebon Kopi (Ciampea, Bogor), Prasasti Jambu (Bogor), Prasasti Pasir Angin 
(Bogor), Prasasti Muara Cianten (Ciampea, Bogor, belum dapat dibaca), 
dan Prasasti Munjul (Cidangiang Lebak, Banten). Prasasti-prasasti tersebut 
bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Bukan berdasarkan 
angka tahun, tetapi berdasarkan palaegrai, para ahli memperkirakan prasasti 
tersebut berasal dari pertengahan abad ke-5 M dan merupakan prasasti tertua 
di Pulau Jawa (J.Ph Vogel, 1945: 15-35). 
Di India, penggunaan huruf Pallawa itu ditemukan pada masa Dinasti 
Pallawa, sebuah kerajaan yang berkembang di India bagian selatan. Bahasa 
yang dipergunakan adalah Sanskerta dalam bentuk syair. Bahasa Sanskerta 
di India biasanya hanya dikenal oleh kaum Brahmana atau kaum pendeta 
agama Hindu yang mahir membaca kitab-kitab Veda. Selain itu, dalam 
Prasasti Tugu, disebutkan bahwa para Brahmanalah yang memimpin upacara 
keagamaan Hindu bagi Kerajaan Taruma. Berdasarkan prasasti-prasasti yang 
telah diteliti dan dibaca oleh para ahli epigraf Belanda dan ahli Indonesia, 
yaitu R.M.Ng. Poerbatjaraka (Poerbatjaraka, 1952), maka dapat disimpulkan 
arti penting prasasti tersebut sebagai berikut:
Pertam a, sejak pertengahan abad ke-5 M masyarakat di daerah Jakarta 
dan sekitarnya, lebih khusus di lingkungan kerajaan, telah mengenal agama 
Hindu dan bentuk Kerajaan Indonesia Hindu dengan Maharaja Purnawarman 
yang memerintah Kerajaan Taruma yang meliputi daerah J akarta, Bekasi, 
Citarum, Bogor, dan Banten.
Kedua, dalam Prasasti Tugu disebutkan bahwa Maharaja Purnawarman 
telah menggali Sungai Candrabhaga yang mengalirkan airnya ke laut setelah 
sampai di istana kerajaan yang termasyur. Pada pemerintahan tahun ke-
22 masa pemerintahannya, Maharaja Purnawarman memerintahkan lagi 
menggali Sungai Gomati yang permai dan jernih setelah mengalir di tengah�tengah tanah kediaman yang mulia sang Pendeta Nenekda. Penggalian sungai 
itu dimulai tanggal 8 Paro Petang bulan Phalguna dan berakhir tanggal 13 
Paro Terang bulan Caitra. Jadi, berlangsung dalam 21 hari dengan panjang 
Gomati 6122 tombak. Selamatan untuk penggalian itu dilakukan oleh para 
Brahmana dan dihadiahkan 1.000 ekor sapi.
Ketiga, agama yang dianut maharaja dan masyarakat, terutama di pusat 
ke rajaan, adalah agama Hindu. Lebih khusus lagi, rupa-rupanya Maharaja �Purnawarman merupakan penganut Dewa Wisnu, karena pada baris keempat 
Prasasti Ciaruteun, dikatakan bahwa sepasang kaki yang dipahatkan dan 
dihubungkan kedua jari kakinya oleh laba-laba diibaratkan sepasang kaki 
Dewa Wisnu. Keem pat, dalam prasasti-prasasti pada masa Maharaja 
Purnawarman, terdapat tulisan yang mengandung gambaran kekuasaan dan 
penaklukan Purnawarman terhadap kerajaan-kerajaan lainnya.
Kelim a, upaya penggalian Sungai Candrabhaga dan Gomati merupakan 
upaya Maharaja Purnawarman yang mungkin bertujuan mengurangi banjir di 
musim hujan karena dikerjakan pada bulan-bulan Phalguna dan Caitra yang 
bersamaan dengan bulan Februari sampai April, yang secara teoritis biasanya 
merupakan bulan-bulan di mana musim hujan mulai reda.
Keenam , karena disebut-sebut tentang istana, maka ibu kota Kerajaan 
Taruma mungkin terletak di daerah Jakarta. Sebuah pendapat mengatakan, 
mungkin terletak di daerah Cakung (Noorduyn & Verstappen, 1972). Ada 
pula yang mengira di sekitar Kali Bekasi (Poerbatjaraka). Upaya penelitian 
arkelogis bekas kota itu sampai kini belum ditemukan.
Ketujuh, adanya Kerajaan Taruma yang bercorak Hinduistis, di mana 
agama Buddha masih sangat terbatas seperti diberitakan Fa Hien tahun 414 
M, di mana kehidupan masyarakatnya makin berkembang dalam berbagai 
aspek dan mulai mengenal tulisan Pallawa serta mengenal bahasa Sanskerta. 
Dengan adanya hubungan antara penduduk setempat dengan bangsa India 
dan Tionghoa, berarti telah ada hubungan perdagangan yang bersifat 
internasional (J.C. van Leur, 1955: 80-89).
Bagaimana perkembangan Kerajaan Taruma selanjutnya tidak dapat 
diketahui dengan pasti. Karena berdasarkan pendapat beberapa ahli, mungkin 
pada akhir abad ke-7 M kerajaan itu sudah lenyap. Apakah penyebabnya 
akibat penaklukan Sriwijaya atau karena sebab lainnya, tidak begitu jelas. 
Masih banyak pertanyaan lain yang sejatinya dapat dimunculkan: apakah 
ada kaitannya dengan peninggalan arkeologis di Cibuaya terlebih di Batujaya? 
Bagaimana hubungannya dengan Prasasti Simangambat dari pertengahan abad 
ke-9 M dan Kerajaan Sunda dengan raja yang bernama Sri Jayabhupati se�bagaimana disebut dalam Prasasti Citatih dari tahun 1030 M? Bagaimana kait�an nya dengan Kerajaan Galuh di daerah Priangan Timur dari abad ke-8 M? 
Ja wabannya belum dapat dipastikan dan masih perlu penelitian lebih jauh. Dari 
semua pertanyaan itu, bagaimana hubungan dengan keberadaan ma sya ra kat di 
Jakarta, masih perlu jawaban yang dihasilkan dari penelitian yang akurat. 
Kehidupan Masyarakat Kota Pelabuhan Kalapa
Berdasarkan data arkeologis, data historis, dan berita-berita asing pada masa 
pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran, Kalapa sudah merupakan kota 
pelabuhan yang terpenting sebagaimana diberitakan Tome Pires (1512-1515). � Waktu itu Kerajaan Sunda memiliki enam kota pelabuhan: Banten, Pontang, 
Cigeude, Tangerang, Kalapa, dan Cimanuk. Sebenarnya sebelum Tome 
Pires datang, Cirebon termasuk kota pelabuhan Kerajaan Sunda (Armando 
Cortesao, 1944/ 1967: 166, 183). Meskipun Kerajaan Sunda Pajajaran pusatnya 
terletak di daerah pedalaman, namun kerajaan itu mempunyai fungsi sebagai 
negara-kota (city-state) yang di antaranya melakukan kegiatan perdagangan 
yang bersifat regional dan internasional (Peter J.M. Nas, 1986: 18-36; Uka 
Tjandrasasmita, 1998). 
Diberitakan Tome Pires bahwa Kalapa adalah kota pelabuhan terpenting. 
Dari Kerajaan Sunda, diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari 
berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan. Peranan Ciliwung sebagai 
sungai yang menghubungkan Bogor dengan pusat kota Kerajaan Sunda, amat 
penting. Demikian pula Cisadane yang mengubungkan daerah pedalaman 
Bogor dengan Pelabuhan Tangerang yang dengan mudah menuju pelabuhan 
Kalapa. Pun, Citarum dapat membawa barang dagangan sampai di muara, 
sehingga mudah menghubungi Pelabuhan Kalapa. 
Komoditas perdagangan yang diekspor adalah lada, beras, asam, sayur�sayuran, daging dan ternak seperti sapi, kambing, babi, domba, dan buah�buahan. Hasil-hasil bumi itu diekspor ke Malaka, Maladewa, dan negeri 
lainnya. Hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, 
juga dilakukan. Hasil-hasil bumi yang diperdagangkan diambil dari daerah 
pedalaman sebagai hasil para petani atau peternak. Gambaran itu didapatkan 
dari cerita dalam naskah Sunda, Sanghyang Siksakandang Karesian (sekitar 
tahun 1518 M) (Atja dan Saleh Danasasmita, 1981). 
Kalapa sebagai kota pelabuhan bukan hanya mengekspor komoditas hasil 
bumi masyarakat Kerajaan Sunda, tetapi juga tempat mengimpor komoditas 
yang penting bagi kebutuhan masyarakatnya. Komoditas yang diimpor 
bermacam-macam, misalnya belacu, pakaian dari Cambay dan Keling, dan 
keramik. Hubungan perdagangan yang bersifat internasional dan regional itu 
menyebabkan Kota Pelabuhan Kalapa menjadi ramai dikunjungi orang-orang 
India, Tionghoa, Melayu, dan orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia 
seperti orang-orang Maluku dan lainnya.
Selain barter, sistem perdagangan mungkin juga sudah menggunakan 
uang. Diberitakan oleh Tome Pires bahwa cash, adalah jenis mata uang 
Tionghoa yang dipakai sebagai alat penukar. Mata uang tersebut bentuknya 
kecil-kecil dan mempunyai lubang. Beratus-ratus cash itu diikat oleh benang 
seperti halnya mata uang yang disebut ceiti. Mata uang Tionghoa cash yang 
bernilai 1.000 sama nilainya dengan dua puluh lima calais mata uang Malaka. 
Mata uang tum daya yang dibuat orang pribumi dari emas yang beratnya 
de lapan m ate, sama dengan dua belas ribu cash atau sembilan crusado 
(Portugis) (Armando Cortesao, 1944: 181). �Kota Pelabuhan Kalapa yang dikunjungi para pedagang dari dalam 
dan luar Indonesia, menambah keramaian. Dengan kondisi demikian, perlu 
ada aturan yang memadai dan penanganan dari para pemimpinnya. Oleh 
karenanya, kota pelabuhan yang amat penting itu, menurut berita Tome 
Pires, dipimpin oleh paybu (prabu), atau pate (adipati). Pusat kerajaan 
dipimpin oleh raja yang disebut sam bariang dengan wakil coconum , setelah 
itu m akubum y. Yang dimaksud dengan nama-nama jabatan itu ialah mung�kin Sang Hyang, Prabu Anom, dan Mangkubumi. Oleh Tome Pires, jabatan 
Mangkubumi disamakan dengan bendahara sebagai suatu jabatan yang dikenal 
di Malaka. Di Kerajaan Malaka, jabatan bendahara bertugas menghubungkan 
para pedagang asing dengan raja atau sultan (Leirissa, 1973: 20).
Mengenai jabatan di kota Pelabuhan Kalapa, didapatkan dari berita 
De Barros yang menceritakan hubungan antara Portugis di Malaka dengan 
Kerajaan Sunda pada 21 Agustus 1522. Ketika itu, Henrique Leme mewakili 
J orge d’Albuquerque dalam suatu perundingan dengan Ratu Samiam 
(Ratu Sanghyang) yang waktu itu sudah menjadi Raja Sunda Pajajaran. 
Raja didampingi oleh Mandar Tadam (Mantri Dalem), Tum ango Sangue 
de Pate (Tumenggung Sang Adipati) dan Bengar Xabandar (Syahbandar). 
Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Samiam atau Sanghyang ialah 
Ratu Surawisesa. Sebelum menjadi Raja Pakuan, sebagai putra mahkota, ia 
ditempatkan sebagai penguasa Kota Pelabuhan Kalapa. Ia pernah diperintah 
ayahnya, Sang Ratu Jaya Dewata, Raja di Pakuan, menjadi utusan ke Malaka 
tahun 1512 untuk minta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque (Bambang 
Soemadio, 1984: 373-374; Atja, 1968).
Jumlah penduduk Kota Pelabuhan Kalapa tidak dapat diketahui dengan 
pasti. De Barros memperkirakan penduduk Kerajaan Sunda berjumlah sekitar 
100.000 orang. Sementara di lima kota pelabuhan, lebih kurang 50.000 
orang (Leirissa, 1973: 21; Uka Tjandrasasmita, 1997/ 1998: 25). Mengingat 
Kota Pelabuhan Kalapa merupakan pelabuhan terpenting dan terbesar, maka 
dari perkiraan itu, mungkin penduduk Kalapa berjumlah sekitar 15.000 
orang. Dari jumlah tersebut, penduduk Kota Pelabuhan banyak bergiat se�bagai pedagang. Sedangkan di daerah pedalaman, sebagaimana diketahui 
dari naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, kebanyakan penduduk 
ber aktivitas sebagai petani, peternak, pencari ikan, dan lainnya. Pertanian di 
dae rah Kerajaan Sunda Pajajaran pada umumnya masih mengerjakan huma 
atau ladang.
Mengenai kehidupan budaya dan keagaman, berdasarkan naskah 
Sanghyang Siksakandang Karesian, masyarakat Kerajaan Sunda Pajajaran 
sudah mengenal kesenian seperti tukang banyol, tukang ngam en, gamelan, 
wayang, penyanyi, dan lain-lain. Agama yang dipeluk adalah Hindu yang ter�kadang bercampur dengan agama Buddha, di samping ada unsur keagamaan �setempat, yaitu Sunda Wiwitan yang bercorak animisme dan dinamisme. Ke�agamaan waktu itu bukan hanya diketahui dari naskah-naskah Sunda kuno, 
tetapi juga dari apa yang tertulis dalam Prasasti Batu Tulis di Bogor, dari 
lempengan tembaga dari Kebantenan (Hasan Djafar, 1993: 197-199, 202-206) 
dan juga dari berita asing, seperti berita Tome Pires, yang memberikan gam�baran tentang keagamaan yang dianut oleh raja dan masyarakatnya. Demikian 
juga dengan kehidupan keagamaan yang dianut oleh para penduduk Kota Pe�labuhan Sunda Kelapa.
Kondisi sosial politik menjelang tahun 1527 M mengalami perubahan 
karena adanya perluasan Kesultanan Demak, di mana Cirebon yang semula 
men jadi daerah Kerajaan Sunda, ketika kehadiran Tome Pires (1513), menjadi 
masuk ke Jawa. Dengan demikian, sudah tentu Cirebon juga mendapat penga�ruh politik Demak. Bahkan sebelum tahun 1527, Cirebon sudah menyiapkan 
pengi riman tentaranya untuk menyerang Kalapa yang sudah bersahabat 
dengan Portugis. 
Kehidupan Masyarakat Jayakarta
Kerajaan Sunda Pajajaran yang ibu kotanya – sebagaimana dikatakan Tome 
Pires dan De Barros – diperkirakan di Bogor dengan Kalapa sebagai pelabuhan 
utamanya, masih meneruskan hubungan dengan Portugis melalui perjanjian 
1522 yang bersifat ekonomi dan politik. Perjanjian ini diketahui oleh Kerajaan 
Islam Demak dan dianggap membahayakan kedudukan Kerajaan Demak 
yang sedang meluaskan kekuasaanya baik ke arah timur maupun ke arah 
barat Pulau J awa. Situasi dan kondisi politik tersebut menggugah ingatan 
kita pada kekalahan Demak tahun 1513 sewaktu gagal menyerang kedudukan 
Portugis di Malaka. 
Dengan kondisi demikian, kedatangan seorang yang berasal dari Pasai 
ber nama Fadhillah, sangatlah menguntungkan Demak. Fadhillah kemudian 
diangkat sebagai menantu dan dijadikan panglima untuk menyerang Sunda�Kelapa. Ketika singgah di Cirebon, Panglima Fadhillah disertai prajurit ga�bungan dari Demak dan Cirebon. Ini karena Fadhillah juga merupakan 
me nantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan dorongan se�mangat dari tentara gabungan Demak dan Cirebon, berangkatlah ia menuju 
medan perang (Atja: 56-57). 
Tetapi mereka terlebih dahulu menuju Banten untuk mendapatkan ban�tuan dari Maulana Hasanudin yang sejak tahun 1526 sudah menguasai daerah 
Banten. Dari sana, mereka menuju Kalapa dan melancarkan serangan dari 
arah barat yang pada tanggal 22 Juni 1527 M (berdasarkan Sukanuto yang 
disahkan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai hari jadinya Jakarta) berhasil me�ngenyahkan orang-orang Portugis yang berada di bawah pimpinan Francisco 
de Sa. Sejak saat itu (22 J uni 1527), Kalapa diganti namanya menjadi �Jayakarta yang artinya telah “Membuat Kemenangan“ dan terinspirasi ayat 
al-Quran: “Sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan sempurna”, 
yang artinya sama dengan Jayakarta (Hoesein Djajadiningrat, 1956).
Penyerangan Kota Pelabuhan Kalapa terdapat dalam berita Portugis 
dan dalam Carita Purw aka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon 
(1720 M). Terdapat perbedaan penyebutan nama pemimpin penyerangan 
ke Kalapa. Berita Portugis menyebut Faletehan, sedangkan berita Carita 
Purw aka Caruban Nagari menyebut Fadhillah atau Fadhillah Khan yang 
lebih sesuai dengan sebutan Fatahillah. Sementara itu, Hoesein Djajadiningrat 
dalam karyanyanya Critische Beschouw ing van den Sejarah Banten (Diss. 
1913) sampai karya “Hari Lahirnya J ayakarta” (1956), masih berpendapat 
bahwa Faletehan (berita Portugis) sama dengan Sunan Gunung J ati atau 
Syarif Hidayatullah. Tetapi dengan ditemukannya Carita Purw aka Caruban 
Nagari karya Pangeran Arya Cirebon 1720 M pada tahun 1970 itu, saya 
berkesimpulan bahwa yang disebut Faletehan ialah Fadhillah Khan.
Sejak J ayakarta di bawah Fadhillah dan pemerintahannya bercorak 
Islam, kehidupan masyarakatnya mulai mengalami perubahan suasana ke�agamaan dari Hindu ke Islam. Antara Jayakarta dengan Banten diikat hu�bungan keluarga. J ayakarta dianggap bagian dari Kesultanan Banten. Hal 
ini terjadi terutama sejak hubungan perkawinan antara putri Maulana 
Hasanudin dengan Tubagus Angke dan juga perkawinan antara putri Sultan 
Abuma’ali Ahmad dengan Pangeran Wijayakrama, Bupati J ayakarta (Uka 
Tjandrasasmita, 1967). 
Pada masa pemerintahan Tubagus Angke, Jayakarta (berita Belanda me�nyebutnya Jaccatra dan penguasanya disebut Koninck van Jaccatra) mulai 
didatangi orang-orang Belanda yang pertama kali datang di bawah pimpinan 
Cornelis de Houtman sekitar 13 November 1596, seperti diberitakan De Eerste 
Schipyaart der Nederlanders Naar Oos-Indie Onder Cornelis de Houtm an, 
1595-1597 (Rouffer & Ijzerman, 1915: 104). Dalam berita ini disebutkan 
bahwa Tubagus Angke sudah tua. Ketika ia diganti putranya, Pangeran 
Wijaya, J ayakarta mulai menghadapi VOC dan mengadakan perjanjian 
dengan Gubernur Jenderal Pieter Both melalui Jaques Hermite pada 10-13 
November 1610 M (Uka Tjandrasasmita, 1977: 17). 
Tetapi ketika menghadapi VOC di bawah Jan Pieterzoon Coen, dengan 
keras Pangeran Jakarta Wijayakrama melarang VOC mendirikan benteng. 
Akibat nya, terjadi peperangan setelah J.P. Coen kembali dari Ambon. Dalam 
pe perangan yang terjadi pada tanggal 30 Mei 1619 itu, Jayakarta dapat di�taklukkan VOC. Tetapi jauh hari sebelumnya, Pangeran Wijayakrama sudah di�ambil oleh Mangkubumi Banten melalui Pontang (Ijzerman, 1917: 558-679). 
Pada waktu serangan VOC, sebagian orang-orang Jayakarta mundur ke 
dae rah Pulo Gadung, kini daerah Jatinegara Kaum. Di tempat inilah terdapat �makam para pangeran keturunan Pangeran Wijayakrama. Sedangkan makam 
Pangeran Wijayakrama sendiri ada di Kampung Katengahan Banten (Uka 
Tjandrasasmita, 1970). Setelah berhasil direbut VOC, nama Jayakarta diganti 
menjadi Batavia oleh J.P. Coen. 
Demikianlah terjadinya pergeseran politik pada masa Jayakarta dan ba�gai mana kehidupan masyarakat di wilayah Jakarta waktu itu yang dapat di�ketahui dari babad dan berita asing. Dari Sejarah Banten, Carita Purw aka 
Caruban Nagari, dan berita asing, diketahui nama Fadhillah, Tubagus Angke, 
dan Pangeran Wijayakrama. 
Tempat kediaman Tubagus Angke mungkin ada kaitannya dengan 
nama Kampung Angke sekarang. Tetapi pada masa pemerintahan Pangeran 
Wijayakrama, pembangunan keraton dengan lingkungan masjid, alun-alun, 
dan penempatan para pejabatnya, seperti terdapat dalam sketsa, menunjukkan 
denah kota yang menyerupai pola kota-kota Muslim, terutama Kerajaan 
Islam di Jawa: keraton di bagian selatan, alun-alun masjid di bagian barat, 
pasar di bagian timur-laut atau utara (Uka Tjandrasmita, 200: 45-47; J.R. 
van Diessen, 1989: 16).
Kehidupan keagamaan Islam makin berkembang. Perdagangan regional 
dan internasional juga makin berkembang, terlebih setelah adanya hubungan 
dagang dengan orang-orang dari Arab, Persia, Turki, Mesir, dan negeri�negeri lainnya di Timur Tengah. Hubungan perdagangan juga terjadi dengan 
orang-orang Barat, Jepang, Tionghoa, dan lainnya. Para pedagang asing itu 
menempati perkampungan tersendiri di Pecinan, Pakojan, Bali, Bandan, dan 
lainnya. 
Jumlah populasi Jayakarta makin banyak. Mereka terdiri dari berbagai 
etnis: Sunda, J awa, Bali, Ambon, Banda, Banjar, Bugis, dan lainnya. Dan, 
karena adanya hubungan dengan para pedagang dari Tiongkok, Belanda, 
Inggris, Jepang, Turki, Iran, Arab, Abessinia, India, Portugis, dan lain-lain, 
maka sejak saat itu, Jayakarta menjadi kota yang bersifat internasional. 
Bahasa untuk komunikasi, yaitu bahasa Melayu, sudah dipergunakan. 
Bahkan ketika memarahi orang-orang Belanda, di antaranya Pieter van de 
Broek, penguasa dari benteng VOC, Pangeran Wijayakrama menggunakan 
bahasa Melayu: “Orang ollanda pitsiara keras, condati dialo m au berkeji 
juga, m au m ufakat m ufakat lagi,” demikian bunyi bait bahasa Melayu dalam 
perjanjian antara VOC dengan Pangeran Wijayakrama tahun 1610  Bahasa Melayu itu juga dipakai di 
samping bahasa Belanda, dan waktu itu masih menimbulkan perbedaan 
penafsiran (J.R. van Diessen, 1989: 22).
Lapisan penduduk Jayakarta ialah orang Sunda bercampur dengan orang 
J awa. Terutama sejak adanya hubungan antara Cirebon, Demak, Banten, 
dan kota J ayakarta. Terdapat juga orang-orang dari berbagai pulau serta�kelompok pedagang dari negeri-negeri di Asia Tenggara-Melayu: Patani�Thailand, Birma, Kamboja; dan dari Timur Tengah seperti Arab, Persia, 
Turki, Irak, Mesir, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan Portugis. 
Pendeknya, sejak abad ke-16 hingga 17 M, J akarta sudah cukup ber�kembang sebagai kota dan pelabuhan ditinjau dari segi demograi dan juga 
dari segi kegiatan dalam bidang politik, perekonomian dan perdagangan, ke�agamaan dan kebudayaan. 
Penduduk yang terdiri dari berbagai etnis dalam sebuah kota yang ber�sifat internasional itu memerlukan bahasa komunikasi, yaitu Melayu. Seperti 
telah dikemukakan bahwa ketika pemimpin J ayakarta, yaitu Pangeran 
Wijayakrama, marah kepada Pieter van den Broek, ia telah menggunakan 
ba hasa Melayu. Apakah bahasa Melayu itu dalam bentuk bahasa Melayu 
Betawi atau bukan, dibutuhkan penelitian segera, terutama oleh ahli di 
bidang linguistik.
 
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, letak 
geograis daerah Jakarta yang strategis dengan ekologis yang subur serta 
memiliki Muara Ciliwung yang berfungsi sebagai pelabuhan penting, sangat 
sesuai dengan daya tarik masyarakat yang berkembang dari masa ke masa 
untuk mencari kehidupan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, dan 
kebudayaan.
Kedua, kehidupan masyarakat dengan berbagai aspeknya di mulai 
dari suatu pemukiman sampai kehidupan perkotaan dari masa prasejarah, 
masa Indonesia Hindu-Buddha dengan Kerajaan Taruma, Sunda Pajajaran, 
J ayakarta, sampai terbentuknya Batavia, dapat digambarkan peninggalan 
arkeologisnya berdasarkan berbagai sumber, baik lokal maupun asing.
Ketiga, penduduk utama masa Pelabuhan Sunda Kelapa, ialah suku 
Sunda. Tetapi sejak Kalapa menjadi Jayakarta, penduduknya bercampur de�ngan suku Jawa, terutama sejak dibawa Fadhillah dalam penaklukan Sunda�Kalapa dari Demak dan Cirebon. Dalam perkembangan selanjutnya, Jakarta 
didatangi orang-orang dari berbagai suku lainnya di Nusantara, seperti Bali, 
Banda, Ambon, Ternate, Tidore, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, 
bahkan Sumatera.
Keem pat, setelah Jayakarta menjadi Batavia karena banyak menghadapi 
ke lompok dari berbagai daerah dan bangsa, mereka membutuhkan eksis�tensinya sebagai orang Betawi yang mungkin asalnya dari sebutan Batavia 
sejak abad ke-17 M, yang bagi masyarakat umum, terutama di Jakarta dan 
se ki tarnya, menyebut Batavia dengan sebutan Betawi. Sebelum disebut 
Batavia, orang Belanda pada masa kedatangan pertamanya – masa Tubagus 
Angke dan Pangeran Wijayakrama – masih menyebut dengan sebutan Conick �van Jaccatra. Yang jelas, pada zaman Hidia-Belanda, sebutan Betawi makin 
di kenal dengan adanya Kota Betawi, orang Betawi, dan bahasa Betawi. 
Di bidang politik, pada masa Hindia-Belanda, Mohammad Husni Tamrin 
(Tamrin, 1996) menyatakan dirinya sebagai rakyat Betawi, melalui pidatonya 
dalam Gem eenteraad, 29 oktober 1919, yang diucapkan kepada Van der Zee: 
“Toean kepala, saja doedoek dalam kota boekan sebagai w akil dari K.P.M 
tetapi sebagai w akil ra’jat Betaw i, m aka toean djangan loepa bahw a saja 
bagian dari ra’jat itu”