Home » All posts
ADA dua pokok pikiran yang akan didiskusikan dalam artikel ini: (1) siapakah
yang mempunyai tugas dan fungsi dalam menggugah kesadaran masyarakat
tentang pentingnya naskah kuno sebagai warisan budaya, (2) kalangan
masyarakat mana yang menjadi sasaran untuk digugah kesadarannya tentang
pentingnya naskah-naskah kuno sebagai warisan budaya bangsa.
Para ilolog dan peminat ilologi pasti telah memahami pengertian naskah
-naskah kuno termasuk naskah-naskah klasik. Lain halnya bagi masyarakat
umum. Istilah klasik biasanya dipakai dalam hubungan dengan Yunani dan
Rumawi Kuno, misalnya dengan sastra, musik, arsitektur, patung, dan lain�lain yang pada prinsipnya mempunyai keunggulan atau contoh terbaik. Jadi,
naskah klasik merupakan sub-kategori hasil pemilahan dari kategori- kategori
pernaskahan berdasarkan penelitian secara sistematik dan ilmiah. Untuk
naskah klasik khusus masa Islam di Indonesia pernah saya analogikan dengan
pendapat V.I. Braginsky, yaitu dari awal pertengahan abad ke-16 M sampai
awal pertengahan abad ke-19 M (Braginsky, 1993: 8-10; Uka Tjandrasasmita,
2006: 3-4).
Adapun yang dimaksudkan dengan naskah (Inggris=Mss; Belanda=Hss);
deinisi, studi, metodologi, dan kandungan teksnya, bagi ilologi dan pe�minatnya pasti tidak menjadi permasalahan. Karena itu, saya tidak perlu
menjelaskan hal-hal tersebut melalui artikel ini. Meski demikian, dalam
mengkaji pernaskahan yang jumlahnya begitu banyak, para ahli ilologi akan
menghadapi masalah berkenaan dengan bahasa dan tulisan naskah. Hal itu
akan terjadi jika para ilolog hanya mengenali satu macam bahasa atau satu
jenis huruf. Padahal, seiring dengan perkembangan zaman, dan dengan �jumlah suku bangsa serta budaya di Nusantara yang begitu beragam, terdapat
beragam bahasa dan huruf. Contoh sejumlah besar naskah yang ditulis dalam
berbagai bahasa lokal di Indonesia dengan beragam jenis tulisan dapat dilihat
dari katalog yang disusun M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve (Ricklefs dan
Voorhoeve, 1977), Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, serta sejumlah
katalog naskah-naskah daerah yang pernah disusun oleh para ilolog dari
Perpustakaan Nasional, beberapa Universitas, Puslitbang Lektur Keagamaan
Departemen Agama RI, dan lembaga lainnya (Uka Tjandrasasmita, 1996:
235-263; Uka Tjandrasasmita, 2006: 28-31).
Mengenai pentingnya kandungan isi naskah, saya yakin para ilolog dan
peminat studi pernaskahan pada umumnya akan menyetujui pendapat yang
pernah dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman yang
mengatakan, “Barang siapa sudah akrab dengan dunia pernaskahan, jelas
mengetahui bahwa naskah mengandung kekayaan informasi yang berlimpah.
Isi naskah itu tidak terbatas pada kesusastraan, tetapi mencakup berbagai
bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, teknik, dan
lain-lain. Selanjutnya, dihimbau agar para ahli di berbagai bidang semestinya
memanfaatkan data yang terpendam dalam naskah.” (Henri Chambert-Loir
& Oman Fathurahman, 1999: 7).�Himbauan ilolog Perancis tersebut jelas merupakan himbauan yang
tidak mudah dilaksanakan sebagaimana dikatakan L.F. Brakel dalam
karyanya “Dichtung und Wahrheit: Some Notes on the Development of the
Study of Indonesian Historiography” yang ditujukan kepada siapa saja yang
ingin mengkaji isi naskah kuno seperti hikayat, babad, lontar, tambo, dan
lainnya. Pendapat tersebut juga ditujukan kepada ilolog sendiri, karena
Brakel mengatakan bahwa sekalipun sudah banyak usaha dilakukan para
ahli di bidangnya, tetapi karena masih pada tahap awal dalam membedakan
antara dichtung und w arhheit, maka penelitian di bidang ilologi yang lebih
sungguh-sungguh dan lebih komparatif masih sangat dibutuhkan. Dan, di atas
semuanya diperlukan pendekatan antropologi serta komparasi keagamaan
dan sejarah secara integratif sebelum sampai pada pengertian yang lebih baik
terhadap permasalahan itu sendiri (Brakel, 1980: 35-44).
Dengan adanya permasalahan di kalangan ahli-ahli di bidangnya dan
faktor-faktor lainnya, maka saya mencoba menulis buku untuk menjembatani
ilologi dengan sejarah Islam dan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya,
terutama bagi sejarawan dan arkeolog untuk menggunakan sumber-sumber
naskah kuno. Paling tidak, menggunakan hasil suntingan naskah-naskah
oleh ilolog. Dengan catatan, kandungan isi naskah-naskah tersebut perlu
diperbandingkan dengan data-data historis lain, antara lain dokumen, arsip,
berita asing, dan sebagainya (Uka Tjandrasasmita, 2006). Studi sejarah
yang menggunakan pernaskahan dengan perbandingan data historis sudah
dipelopori antara lain oleh R.A. Hoesein Djajadiningrat melalui artikel (1911)
dan disertasinya (1913) (Hoesein Djajadiningrat, 1911, 1913).
Sehubungan dengan uraian di atas, jelas bahwa yang mempunyai tugas
menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai naskah-naskah kuno
sebagai warisan budaya bangsa adalah para ahli ilologi sendiri dan juga
para peminat studi pernaskahan. Dengan kata lain, semua yang terhimpun
dalam Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) ini mempunyai tugas
dan fungsi untuk menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai
naskah sebagai warisan budaya bangsa yang isinya penuh dengan beragam
informasi. Tugas menggugah kesadaran itu merupakan tugas mulia karena
turut serta mencerdaskan bangsa serta membina kepribadian budaya bangsa.
Upaya menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya kandungan isi
naskah-naskah kuno itu, perlu sekali. Karena, kalau tidak ada upaya itu,
maka masyarakat akan terjebak pada pameo “Tak Kenal, maka Tak Sayang”
(Bhs. Belanda: “Onbekend Maakt Onbem ind”).
Menggugah kesadaran masyarakat di bidang apapun sebenarya tidaklah
mudah, karena kesadaran itu sendiri berhubungan erat dengan faktor hati
nurani seseorang atau kelompok masyarakat (self-consciousness and social
consciousness), yaitu kesadaran akan keberadaan dan karakternya sendiri �yang biasanya berkaitan dengan orang atau objek-objek lain. J adi, secara
populer menggugah kesadaran adalah keberadaan emosional dari kesadaran
mengevaluasi orang-orang lain yang diarahkan pada dirinya dan biasanya
kemudian mengikuti orang-orang lain itu. Upaya menggugah kesadaran
masyarakat terhadap sesuatu objek bersifat luas karena menyangkut faktor
sosiologis (Henry Pratt Fairchild, 1970 : 269, 278). Suatu objek dalam
pengertian kesadaran dapat dikaitkan dengan naskah-naskah kuno yang
nilainya penting untuk menggugah individu dan masyarakatnya.
Upaya menggugah kesadaran masyarakat tak dapat dipisahkan dari tugas
dan fungsi para ilolog dan peminat ilologi yang memerlukan keterampilan
cara mengkomunikasikan pengetahuannya tentang pernaskahan itu kepada
seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak atau belum mengetahuinya.
Sehubungan dengan upaya menggugah kesadaran akan nilai penting naskah�naskah kuno sebagai warisan budaya bangsa, para ahli ilologi atau kita
semua dalam himpunan Manassa perlu melakukan atau menyelenggarakan
hal-hal berikut:
Pertam a, seminar atau simposium, baik yang bersifat lokal, nasional,
maupun internasional sebagaimana sejak awal telah dilaksanakan di ber�bagai kota – di Bandung sudah dua kali. Kedua, bekerjasama dengan
berbagai lembaga pemerintah maupun swasta untuk melakukan penelitian
dan penerbitan hasil kajian naskah kuno. Untuk melakukan penelitian dan
penerbitan naskah-naskah kuno yang berasal dari suatu daerah tertentu
di anjurkan mengadakan kerjasama dengan provinsi, kota, dan kabupaten,
ter lebih dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang dalam UU-nya
sudah mencantumkan kewajiban mengurusi, memelihara, membina, dan
mengembangkan kebudayaannya.
Ketiga, hasil terjemahan naskah-naskah kuno dalam bahasa Indonesia
dan hasil kajian beberapa ilolog asing dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman,
Perancis, dan bahasa lainnya, yang sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, perlu disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat. Keem pat,
mengingat naskah-naskah kuno ditulis dalam bahasa, tulisan, atau huruf sesuai
zamannya dan tidak atau kurang dikenal lagi oleh masyarakat masa sekarang,
maka para ahli ilologi atau peminatnya perlu menyampaikannya dengan cara
verbal, yaitu melalui bahasa dan aksara yang dikenal masyarakat dewasa ini
(Uka Tjandrasasmita, 2006). Kelim a, mengajak lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta yang mempunyai dana, sarana, dan prasarana untuk membantu
konservasi dan pengawetan atau pemeliharaan koleksi naskah-naskah yang
masih dimiliki masyarakat tertentu (Uka Tjandrasasmita, 1996: 235-263).
Demikian antara lain tugas para ahli ilologi dan kita semua dalam
himpunan Manassa. Bagaimana dengan masyarakat yang akan menjadi
sasaran untuk digugah kesadarannya tentang pentingnya nilai naskah-naskah �kuno sebagai warisan budaya bangsanya? Masyarakat umum yang harus
digugah kesadarannya itu, setidaknya terdiri dari beberapa kalangan:
Pertam a, para pejabat lembaga pemerintah dan swasta, terutama pembuat
keputusan, agar dalam kebijakannya mereka menaruh perhatian. Setidaknya,
turut mendorong jajarannya untuk membantu upaya-upaya pemeliharaan dan
pengamanan terhadap khazanah pernaskahan warisan budaya bangsanya.
Kedua, para ahli lainnya di luar ilolog, misalnya sejarawan, antropolog,
sosiolog, ahli hukum, ahli teknik, ahli pengobatan, dan lainnya untuk saling
melengkapi dan memperkaya wawasannya yang dapat diterapkan ke dalam
kajian isi naskah-naskah kuno. Ketiga, para pengajar tingkat pendidikan
dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Dengan harapan, selain mendapat
tambahan pengetahuan pernaskahan, mereka dapat memetik manfaat dari
naskah-naskah kuno yang penuh informasi tentang kehidupan masyarakat
masa lampau dan kemudian diharapkan dapat ditransformasikan lagi kepada
anak-anak didiknya secara turun-temurun.
Keem pat, kalangan pelajar, terutama pelajar tingkat menengah, atas,
dan juga mahasiswa, agar mereka dapat mengenal ilologi, tujuan serta ke�gunaannya bagi pembinaan pengetahuan serta jati diri bangsa. Selain itu,
mungkin di antara para pelajar itu, setelah memahami kepentingan mem�pelajari pernaskahan sebagai warisan budaya bangsanya, kelak akan berminat
mempelajari ilologi. Dengan demikian, terjadi kaderisasi yang pada suatu
waktu dapat menambah jumlah ahli ilologi yang jumlahnya kini sangat
sedikit dan tidak seimbang dengan jumlah ribuan naskah kuno yang ada.
Kelim a, kalangan masyarakat umum terutama yang masih awam
terhadap pentingnya naskah. Terlebih bagi mereka yang masih memiliki
dan menyimpan tetapi tidak tahu akan makna isinya, maka dengan sukarela
mereka akan menyerahkan kepada ahli ilologi untuk dipelajari bahkan ke�mungkinan mereka akan menyerahkan atau menitipkannya kepada lembaga
yang bertugas dan berkewajiban untuk meneliti, menyimpan, serta me�meliharanya. Kalaupun tidak demikian, diharapkan mereka yang masih me�miliki naskah-naskah kuno itu maupun yang tidak, akan turut memelihara
dan menjaga keamanannya dari pencurian atau bahkan dari penjualan liar
yang dapat mengakibatkan hilangnya naskah-naskah kuno itu dari daerah
asalnya.
Keenam , untuk menerangkan nilai penting isi pernaskahan sebagai
warisan budaya leluhur masyarakat, perlu dilakukan pertemuan ahli ilologi
dengan kepala-kepala pemerintahan dari tingkat desa, kecamatan, sampai
kabupaten dan kotamadya. Dari pihak pemerintahlah penerangan tersebut
akan diteruskan kepada masyarakat umum, paling tidak akan menggugah
kesadaran untuk turut-serta menjaga keamanan dan memelihara naskah�naskah kuno yang masih dimiliki masyarakat.�Ketujuh, para ahli ilologi dan kita yang ada dalam himpunan Manassa
untuk menyampaikan pentingnya naskah kuno kepada masyarakat, ter�utama mereka yang benar-benar awam. Terhadap masyarakat awam, cara
pe nyampaiannya harus sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Ini karena
naskah-naskah kuno kurang dikenal masyarakat modern. Seperti dikatakan
Achadiati Ikram, antara lain karena naskah dalam bentuk terjemahan belum
disebarluaskan, serta ada beberapa naskah dalam bahasa asing seperti Inggris,
J erman, Belanda, dan sebagainya yang kurang berguna bagi masyarakat
Indonesia (Achadiati Ikram, 1981: 75-79).
Kedelapan, untuk menggugah perhatian masyarakat umum akan pen�tingnya kandungan naskah-naskah kuno itu, selain dengan penyajian secara
verbal, perlu juga melalui tulisan yang mudah dimengerti masyarakat dan
diberikan contoh-contoh naskah kuno dengan berbagai bahan, bahasa, jenis
tulis an atau aksara, dan sebagainya secara visual melalui gambar, ilm,
dan lain sebagainya. Akan lebih menarik apabila ditunjukkan tradisi cara
pembuatan naskah oleh orang-orang yang secara tradisional masih melakukan
pembuatan naskah kuno dengan berbagai bahan dan peralatannya. Contohnya
orang Bali yang di antaranya masih mempunyai kebiasaan membuat naskah-
naskah untuk menyalin atau untuk keperluan komersial wisata.
Kesem bilan, penyajian naskah-naskah kuno dengan dinyanyikan atau di�tembangkan, mengingat di antara sejumlah naskah kuno itu ada yang ditulis
dengan pupuh yang disusun dalam bentuk tembang m acapat dan w aw acan,
seperti Asm arandana, Sinom , Dangdanggula, Kinanti, Durm a, Pangkur,
Magatru, Pucung, dan lainnya. Sejumlah naskah kuno yang ditulis dalam
bentuk puisi dengan pupuh seperti itu banyak terdapat dalam sejumlah
koleksi. Contohnya adalah tiga naskah kuno, yaitu Babad Galuh, koleksi
dari Keraton Kasepuhan Cirebon (Edi S. Ekadjati, 1999: 89-90), Babad
Mertasinga yang diberi judul Sejarah W ali Syekh Syarif Hidayautullah
Sunan Gunung Jati dari Mertasinga Cirebon. Naskah-naskah tersebut telah
diterjemahkan ke dalam aksara pegon dan bahasa Jawa (Amman N. Wahyu,
2005: 249-488). Katalog naskah kuno di Museum Sonobudoyo Yogyakarta
juga banyak yang ditulis dalam bentuk tembang m acapat, contohnya Serat
Am biya (Behrend, 1999: 210-218).
Kesepuluh, perlu diadakan pameran naskah-naskah kuno baik yang
diselenggarakan secara khusus di Perpustakaan Nasional, di berbagai mu�seum daerah, dan di sekolah-sekolah. Mungkin individu atau kelompok
dalam masyarakat yang masih memiliki koleksi naskah akan turut juga dalam
pameran tersebut. Dalam festival kebudayaan baik yang diselenggarakan di
pusat maupun di daerah perlu pula disertakan pameran pernaskahan yang
di sertai seminar atau diskusi tentang pentingnya naskah kuno.
Mungkin masih ada beberapa cara lainnya yang dapat dilakukan untuk �meng gugah kesadaran masyarakat akan pentingnya naskah kuno sebagai
warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan, dipelihara, dikaji, dan di�sebarluaskan kandungan isinya dalam rangka mencerdaskan bangsa dan
turut membina jati diri budaya bangsa di tengah kehidupan dunia yang se�dang mengalami berbagai perubahan. �
ARTIKEL ini akan mendiskusikan tujuan kajian naskah kuno dan kajian
sejarah pendekatan mazhab Annales. Para ilolog pasti sudah memahami
apa yang diartikan dengan ilologi dan apa tujuannya. Menurut Siti Baroroh
Baried dkk., ilologi adalah studi mengenai kebudayaan yang didasarkan pada
bahan tertulis, dengan tujuan mengungkapkan informasi masa lampau yang
terkandung di dalamnya. Filologi dalam konsep demikian berusaha melacak
bentuk mula teks yang menyimpan informasi tersebut.
Secara rinci, kerja ilologi dibagi dua: tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum meliputi: (1) mengungkapkan produk masa lampau melalui
peninggalan tulisan, (2) mengungkapkan fungsi peninggalan tulisan pada
masyarakat penerimanya, baik pada masa lampau maupun pada masa kini,
(3) mengungkapkan nilai-nilai budaya masa lampau. Sedangkan tujuan
khususnya mencakup: (1) mengungkapkan bentuk mula teks yang tersimpan
dalam peninggalan tulisan masa lampau, (2) mengungkapkan sejarah per�kembangan teks, (3) mengungkapkan sambutan masyarakat terhadap suatu
teks sepanjang penerimaannya, (4) menyajikan teks dalam bentuk yang ter�baca oleh masyarakat zaman sekarang dalam bentuk suntingan.
Nabilah Lubis, dalam Pentingnya Pendekatan Filologi dalam Studi
KeIslam an – sebuah pidato pada Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Sastra
Arab Fakultas Adab lAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan
bahwa ilologi adalah pengetahuan tentang sastra dalam arti luas, mencakup
bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan. Filologi merupakan disiplin ilmu
yang berguna untuk meneliti bahasa atau karya melalui kajian linguistik,
mak na kata-kata, dan penilaian terhadap ungkapan bahasa sastra. �Nabilah juga menjelaskan kaitan ilologi dengan bidang studi naskah
yang dikenal dengan istilah Tahqiq al -Nusus, yaitu usaha untuk menjadikan
suatu teks sesuai dengan teks aslinya sebagaimana dibuat oleh pemilik dan
pengarangnya dari segi penulisan, lafaz, dan arti. Objek tahqiq ialah semua
naskah bertulisan tangan yang terdapat pada berbagai bahan seperti kertas,
daun lontar, kulit, daun nipah, bambu, kulit kayu, dan lain-lain. Dijelaskan
pula aspek-aspek tahqiq mengenai judul naskah, nama pengarang, dan
hubungan dengan pengarangnya (Nabilah Lubis, 1998: 1-17).
Berdasarkan deinisi ilologi dengan tujuan seperti telah dikemukakan
oleh kedua ahli ilologi itu, sangat jelas adanya kaitan erat antara pengertian
sejarah dan tujuannya. Karena itu, ada baiknya diambil contoh deinisi�deinisi yang pernah dikemukakan oleh beberapa sejarawan, baik sejarawan
asing maupun sejarawan Indonesia, seperti Bernheim, Henri Pirenne, dan
Sartono Kartodirjo.
Bernheim, sejarawan Jerman, memberikan deinisi tentang pengetahuan
sejarah sebagai ilmu yang menelusuri serta menempatkan peristiwa-peristiwa
tertentu dalam waktu dan ruang mengenai perkembangan manusia, baik
secara perorangan maupun kolektif, sebagai makhluk sosial dalam hubungan
sebab dan akibat, lahir mapun batin (G.J. Renier, 1965: 257).
Henri Pirenne, salah seorang sejarawan Perancis dari aliran Annales,
mem berikan pengertian sejarah sebagai cerita tentang peristiwa-peristiwa
dan tindakan-tindakan manusia yang hidup dalam masyarakat (G.J. Renier,
1965: 35, Uka Tjandrasasmita, 1998: 13).
Sedangkan menurut Sartono Kartodirdjo, sejarawan dan Guru Besar
Sejarah di Universitas Gajah Mada, sejarah dapat dideinisikan sebagai
berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Setiap
pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau pementasan
pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara membuat
hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan
verbal (Sartono Kartodirjo, 1992: 58-59).
Dengan membandingkan deinisi pengetahuan sejarah dari tiga orang
sejarawan tersebut dengan deinisi ilologi oleh dua ilolog di atas, dapat di�tarik adanya kesamaan tujuan antara sejarah dan ilologi, yaitu sama-sama
mengkaji peristiwa-peristiwa masyarakat manusia masa lampau dalam ber�bagai aspeknya. Mungkin saja ada aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Semua tergantung pada sumber atau data yang dikaji.
Erat sekali dengan topik ini adalah penggunaan naskah kuno hasil kajian
ilologi bagi kajian sejarah pendekatan mazhab Annales. Tetapi ada baiknya
terlebih dahulu didapatkan gambaran sejauh mana para filolog meng�hubungkan kajian naskah-naskah kuno dengan sejarah sebelum pendekatan
mazhab Annales. Dengan kata lain, tinjauan sejarah konvensional dalam �bentuk deskriptif-naratif, memusatkan perhatiannya kepada sejarah orang�orang besar, raja-raja, dinasti-dinasti, peperangan, dan lainnya, tetapi kurang
memperhatikan kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik yang
mempunyai makna lebih luas. Kenyataan ini dibuktikan oleh sejumlah karya
historiograi mengenai sejarah Indonesia sebelum pertengahan abad ke-20
M, baik yang tidak menggunakan sumber naskah kuno maupun yang sudah
menggunakannya (Uka Tjandrasasmita, 1977: 7-21).
Telah ada beberapa ilolog yang menghubungkan kajian naskah kuno
dengan pengetahuan sejarah umum. Di kalangan ahli sejarah, ada juga yang
berpendapat bahwa naskah-naskah kuno itu dipandang kurang berarti bagi
upaya penyusunan kembali sejarah suatu masyarakat atau bangsa.
Sekitar tahun 1950-an, di kalangan ahli Belanda terjadi perdebatan antara
C.C. Berg versus F.D.K. Bosch dan H.J . de Graaf. Berg, dalam tulisannya
De Sadeng Oorlog en de Mythe van Groot Majapahit (1951/ 1952: 385-
422), jelas-jelas menyatakan bahwa groot Majapahit itu ialah mitos belaka.
Pendapat tersebut dibantah oleh F.D.K. Bosch dalam tulisannya C.C. Berg
and Ancient Javanese History. Bosch mengatakan bahwa teori Berg beranjak
dari metode intuisi yang disebut brain w ave dan terletak pada argumentasi
yang terlalu sering menunjukkan aspek-aspek menara. Hipotesisnya sangat
tidak stabil dan ditempatkan di puncak satu dengan lainnya (Bosch, 1956:
1-24). Kebesaran Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk dengan Gajah Mada sebagai patihnya, berdasarkan berbagai sumber
seperti prasasti, peninggalan arkeologis, dan hasil-hasil sastra sejarah serta
berita asing, merupakan bukti kebesaran Kerajaan Majapahit.
Banyak ahli lainya, baik sebelum maupun setelah adanya perdebatan an�tara C.C. Ber versus F.D.K. Bosch dan H.J. de Graaf, telah memberikan bukti�bukti dalam karya- karyanya tentang Kerajaan Majapahit. N.J. Krom dalam
bukunya yang terkenal Hindoe Javaansche Geschiedenis, dalam bab 12, telah
mencantumkan Majapahitsche Bloeitijd dengan memberikan bukti sumber�sumber dari prasasti-prasasti, kesusastraan seperti Nagarakartagam a dan
Pararaton, bangunan- bangunan masa itu, serta berita-berita asing (Krom,
1931: 383-425).
Sartono Kartodirdjo dalam tulisannya Sejarah Perkem bangan Majapahit,
dengan tegas mengatakan bahwa puncak kejayaan Majapahit dicapai oleh
Raja Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai patihnya. Dikatakan pula
bahwa gagasan Nusantara yang dirintis oleh raja-raja sebelumnya dapat
direalisasikan pada masa itu. Seluruh Nusantara dapat dipersatukan dalam
satu panji Majapahit. Dan, pengaruh dan kerjasama Kerajaan Majapahit
meluas sampai ke luar Nusantara (Sartono Kartodirjo, 1993: 57-59).
C.C. Berg yang juga menentang karya H.J. de Graaf, Deregeering van
Panem bahan Senapati Ingalaga (1954), berpendapat bahwa Panembahan �Senapati dengan putranya, Panembahan Krapyak, bukanlah tokoh sejarah
tetapi legendaris. Pernyataan Berg tersebut dibantah H.J . de Graaf dalam
tulisannya De Historiche Betrouw baarheid der Javannse Overlevering (1956:
55-57). De Graaf menjelaskan bahwa Panembahan Senapati dan Panembahan
Krapyak adalah kenyataan historis yang dapat dibuktikan berdasarkan Babad
Tanah Jaw i, Babad Sangkala, dan Babad Mom ana yang dapat dibandingkan
dengan sumber-sumber asing.
De Graaf menulis dan menerbitkan karyanya yang senantiasa meng�gunakan hasil kajian naskah kuno yang dibandingkan dengan sumber asing.
Contoh karyanya antara lain De Eerste Moslim se Vorstendom m en op Java:
Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (1974),
hasil kerja sama dengan Th.G.Th. Pigeaud. Dewasa ini, Buku-buku de Graaf
sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KITLV dengan
Javanologi.
Sebenarnya, jauh sebelum de Graaf menulis sejarah dengan menggunakan
kajian naskah kuno, sudah ada sejumlah ahli yang mengkaji naskah-naskah
kuno yang berisi primbon dan tasawuf, misalnya H. Kraemer, B.J.O. Schrieke
dan G.W.J . Drewes (Uka Tjandrasasmita: 1998: 19-21). R.A. Hoesein
Djajadiningrat telah berusaha melakukan pengkajian naskah kuno Melayu
dalam hubungan sejarah Kesultanan Aceh melalui karyanya Critisch Overzicht
van de in Maleische W erken Vervatte gegevens over de Geschiedenis van het
Soeltanaat van Atjeh (1911: 135-165) yang kemudian disusul oleh disertasinya
Critische Beschouw ing van de Sejarah Banten Bijdrage Terkentschetsing
van de Javaansche Geschiedschrijving (1913). Dalam kajiannya, ia memilah�milah antara isi naskah yang historis dan yang legendaris atau mitologis dan
dengan sendirinya mengadakan perbandingan antara isi naskah kuno itu
dengan berita asing.
Kajian ilologi terhadap naskah-naskah kuno dari Sulawesi Selatan yang
lazim disebut lontara-lontara dan erat kaitannya dengan sejarah daerah
tersebut, pernah dilakukan antara lain oleh J. Noorduyn dalam Een Achtiende
Eeuwse Kronik van Wadjo Boeginese Historiograie (Proefschriff: 1955) dan
dalam Som e Aspects of Macassar-Buginese Historiography (1957:29-36), serta
A.A. Cense dalam Old Buginese and Macassarese Diaries (1966:416-428).
Baik Noorduyn maupun Cense, mengakui bahwa historiograi Bugis-Makassar
mempunyai sistem kronologi yang dapat dipercaya, dan yang dipakai terutama
penanggalan tahun Hijriah atau kadang-kadang tahun Masehi. Keabsahan
lontara-lontara mengandung kenyataan-kenyataan historis.
Hasil kajian ilologi terhadap naskah-naskah kuno dari Kalimantan
Selatan, antara lain dilakukan oleh A.A. Cense dalam De Kroniek van
Banjarm asin (1928) dan oleh J.J. Ras dalam Hikayat Banjar (1968), telah
memberikan gambaran historiograi Melayu. Ras mengatakan bahwa kajian
�ilologi terhadap teks Hikayat Banjar yang ia sebut Borneon Malay Text,
berguna untuk memberikan bukti bagi studi teks-teks kesejarahan Melayu
untuk merekonstruksi sejarah politik Indonesia atau paling tidak untuk
merekonstruksi sejarah kebudayaan Indonesia.
Dalam diskusi tentang naskah kuno Islami Indonesia di Forum IImiah
Festival Istiqlal II, saya pernah mencatat nama-nama ilolog lain yang
mengkaji naskah-naskah kuno yang kandungannya primbon, tasawuf, dan
sastra sejarah, serta membicarakan sampai sejauh mana jika dibandingkan
dengan jumlah ribuan naskah kuno yang belum mendapat perhatian untuk
dikaji (Uka Tjandrasasmita, 1996: 235-263). Beberapa katalog naskah kuno
yang ada di berbagai negeri adalah berdasarkan karya Henri Chambert-Loir
dalam Catalogue des Catalogues des Manuscrifts Malais (1980: 45-69).
Demikian pula di dalam negeri sendiri, selain yang sudah ada di Museum
Pusat – kini Perpustakaan Nasional – juga masih banyak di keraton-keraton
seperti Solo, Yogyakarta, bahkan di pesantren-pesantren. Belum lagi yang
masih berada di tangan masyarakat seperti di Kerinci, J ambi. Kini mulai
banyak katalog yang didasarkan koleksi naskah- naskah daerah tempat
temuannya seperti naskah Sunda, naskah Bima, naskah Melayu, dan lontara
(Uka Tjandrasasmita, 1996: 235-247).
Kembali kepada masalah keabsahan isi beberapa bagian naskah-naskah
kuno seperti hikayat, babad, tambo, dan lainnya itu untuk penyusunan sejarah,
telah diketahui dari pernyataan beberapa ilolog di atas. Meski demikian,
perlu diperhatikan himbauan L.F. Brakel yang mengatakan bahwa sekalipun
sudah banyak usaha yang dilakukan ahli-ahli yang berkompeten serta terkenal
di bidangnya, namun karena masih pada tahap awal dalam membedakan
antara dichtung dan w ahrheit, maka penelitian di bidang ilologi yang lebih
sungguh-sungguh dan lebih komparatif memerlukan pendekatan-pendekatan
antropologis, komparasi keagamaan dan sejarah secara integratif, sebelum
sampai pada pengertian yang lebih baik terhadap permasalahannya (Brakel,
1980: 35-44).
Pendapat Brakel tentang penelitian di bidang ilologi yang menyatakan
perlunya pendekatan antropologis, komparasi keagamaan dan sejarah secara
integratif, menurut hemat saya adalah suatu hal yang menarik dan penting.
Karena hasil kajian ilologi dari naskah kuno itu diperlukan bagi kajian
sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau dengan pendekatan mazhab
Annales. Jika di atas telah dibicarakan beberapa contoh hasil kajian naskah�naskah kuno oleh ilolog pada masa lampau hanya dengan pendekatan sejarah
konvensional, maka seharusnya pada masa sekarang dan akan datang, hasil
kajian naskah-naskah kuno itu digunakan untuk merekonstruksi sejarah
sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, dan sejarah yang tematis seperti sejarah
pertanian, perdagangan, intelektual, keagamaan, birokrasi pemerintahan,
struktur sosial, perpajakan, sejarah kesusastraan, dan tema-tema lainnya.�Pembicaraan tentang sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial se�benarnya sudah dimulai sejak Perang Dunia II. Dan proses saling men�dekati (rapproachm ent) antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial
lain nya, menurut Sartono Kartodirjo, ada beberapa sebabnya. Di antaranya
ialah karena sejarah deskritif-naratif sudah tidak memadai lagi untuk
menjelaskan berbagai masalah dan gejala yang serba kompleks. Oleh karena
itu, diperlukan pendekatan multidimensional serta studi sejarah yang tidak
terbatas pada pengkajian hal-hal yang normatif tentang apa, siapa, kapan,
di mana, bagaimana, tetapi juga melacak pelbagai struktur masyarakat, pola
kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Dalam
hubungan itu, Sartono Kartodirjo, juga memberikan gambaran bagaimana
hubungan antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, misalnya sejarah
dengan geograi, sejarah dengan ilmu politik, sejarah dengan ekonomi, sejarah
dengan psikologi sosial, sejarah dengan sosiologi dan dengan antropologi
(Sartono, 1992: 120-230).
Dua puluh tahun sebelum Sartono, tokoh yang pernah mengemukakan
pentingnya ilmu-ilmu sosial bagi kajian sejarah ialah Arthur Marwick dalam
bukunya The Nature of History (1971). Ia memberikan gambaran tentang
perkembangan kajian sejarah, sifat, dan metodologinya, hubungan antara
ilmu sejarah dengan disiplin-disiplin lainnya, kuantiikasi yang relevan,
dan teknik yang diberikan ilmu-ilmu sosial lainnya dalam arti luas tentang
historiograi. Bahkan, ia menghubungkan kepentingan antara sejarah dengan
statistik (Marwick, 1971: 97-130).
Kajian sejarah melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial sesunguhnya mulai
muncul di Perancis sejak tahun 1929 dan dipelopori oleh Lucien Febvre, Marc
Bloch, Albert Demangeon, G. Espinas, dan sejarawan lain. Para sejarawan
yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut, pada waktu itu
di namakan Annales-historians atau yang disebut dengan mazhab Annales.
Julukan tersebut didasarkan pada nama sebuah majalah yang menjadi wadah
bagi para sejarawan tersebut dalam menerbitkan karya-karyanya yang di�kenal dengan majalah Annales d'Histoire Econom ique et Sociale (Marwick,
1971: 74). Majalah Annales berisi tulisan-tulisan tentang sejarah ditinjau
dari berbagai sudut ilmu sosial. Pengaruh mazhab Annales itu menyebar
ke Amerika dan Eropa, tetapi tidak berpengaruh pada sejarawan-sejarawan
Belanda (Burke, 1990: 94-105).
Di Indonesia, metode sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial baru
dikenal sejak tahun 1957-an atas usaha Sartono Kartodirdjo, lebih-lebih
setelah disertasinya dengan judul The Peasant's Revolt of Banten in 1888,
Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movem ents in
Indonesia, terbit tahun 1966. Masih banyak karya beliau tentang gerakan
sosial dan gerakan keagamaan yang diterbitkan untuk mendorong penulisan
sejarah atau historiograi dengan metode pendekatan ilmu-ilmu sosial.
�Pada tahun 1997, melalui seminar di Universitas Pakuan Bogor, saya me�nyampaikan sebuah makalah berjudul Studi Sejarah di Indonesia Hubung�annya dengan Pendekatan IIm u-IIm u Sosial dan mencoba memaparkan
bahwa di Indonesia sejak sebelum pertengahan abad ke-20, penulisan sejarah
mengenai Indonesia masa prasejarah, Indonesia-Hindu, peralihan Hindu�Buddha ke Islam, masa kolonial, bahkan masa Kemerdekaan, pada umumnya
belum menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau mazhab Annales (Uka
Tjandrasasmita, 1997: 1-47).
Sehubungan dengan historiograi Indonesia itu, muncul pertanyaan
kenapa naskah-naskah kuno dapat dipergunakan bagi kajian sejarah dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial? Untuk menjawab hal ini, Siti Baroroh Baried
berpendapat bahwa kajian ilologi yang lebih komprehensif serta meluas,
perlu mendapat bantuan ilmu-ilmu lainnya seperti linguistik, ilmu sastra,
ilmu sejarah, ilmu sejarah kebudayaan, hukum adat, sejarah perkembangan
agama, ilsafat, dan lainnya. Sebaliknya, ilmu ilologi itu sendiri dapat menjadi
ilmu bantu bagi ilmu-ilmu lain (Siti Baroroh Baried, 1994: 12-31).
Menurut Achadiati Ikram, dalam penelitian sejarah seorang sejarawan
tidak hanya berusaha mengungkapkan kejadian-kejadian penting dalam se�jarah, tetapi juga meneliti sikap, pikiran, dan perasaan masyarakat yang men�jalani dan mendukung kejadian-kejadian itu, di mana unsur-unsur tersebut
terdapat dalam sastra-sejarah yang sering dicampuri unsur-unsur dongeng
setempat. Perbandingan dengan sumber-sumber lainnya mengenai fakta
da lam naskah lama kuno amat berguna. Lebih lanjut, Ikram memberikan
contoh mitos-mitos yang biasanya terdapat dalam kandungan naskah-naskah
lama, di mana dengan metode fungsional, pengertian mitos dapat dikenali
dan menjadi kunci pemahaman sikap-sikap dalam masyarakat tempat mitos
itu terjadi (Ikram, 1980/ 1981: 76-77).
Dengan demikian, jelaslah bahwa antara ilmu sejarah dengan ilmu
ilologi dapat saling membantu. Sebagaimana pendapat H.J. de Graaf ten�tang adanya keabsahan bagian-bagian isi naskah kuno yang mengandung
kenyataan historis. Henri Chambert-Loir dalam pengantar buku Khazanah
Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia, mengatakan
bahwa naskah mempunyai dimensi dan makna yang luas, karena merupakan
hasil tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya. Dunia
naskah perlu diamati dari berbagai segi teknis, segi estetis, sejarah tipe tulisan
Arab, Latin, aksara Prasasti Melayu, sistem tulisan Rencong, Rejang, aksara
Batak, dan lainnya.
Sarjana ilologi Perancis itu juga mengatakan bahwa dunia pernaskahan
sebenarnya bersifat lebih luas lagi karena mengandung kekayaan informasi
yang berlimpah. Isinya tidak terbatas pada kesusastraan, tetapi mencakup
berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum adat, obat-obatan, teknik, �dan lain-lain. Oleh karena itu, para ahli di berbagai bidang semestinya me�manfaatkan data yang terpendam dalam koleksi naskah. Para ahli hukum
dan sejarawan telah lama menyadari hal tersebut, namun mereka biasa
mempergunakan teks yang telah disunting dan diterbitkan oleh para ilolog,
sedang naskah yang belum diterbitkan masih sangat besar jumlahnya
(Chambert-Loir-Oman Fathurrahman, 1999: 7-8).
Contoh penggunaan naskah-naskah kuno untuk menulis hukum telah
dilakukan oleh Suripto dalam Ontw ikkelingsgangs der Vorstenlandsche
W etboeken (Leiden, 1929) dan G.A.J. Hazeu (ed.) dalam Pepakem Cirebon:
Cirebonsch W etboek van het Jaar 1768 (1905).
Karena dalam naskah sastra sejarah seringkali didapatkan gambaran
ba gaimana pemerintahan dengan para pejabatnya, keadaan bila ada per�sidangan, dan lain-lain, maka dapat disusun sejarah dengan tema struktur
politik dan struktur birokrasi. F.A. Sucipto telah memberikan contoh naskah�naskah kuno yang dapat dikaji dari segi politik dan birokrasi dari kandungan
isi naskah Serat Pustaka Raja Puw ara, Serat W adu Aji, dan Serat Raja
Kapa-Kapa. Ia juga telah memberikan contoh sistem birokrasi, sistim pem�bagian wilayah, hubungan pusat dengan daerah, perkawinan politik, pem�berian triman, sistem perang dari Babad Pakepung, Babad Tanah Jaw i,
Babad Kitha Pasuruan, dan serat-serat yang telah disebutkan di atas (Sucipto,
1981/ 1982: 56-67). Kajian semacam itu bisa saja dilakukan terhadap naskah�naskah kuno, terutama yang berupa sastra sejarah dari masing-masing daerah
untuk sejarah lokal, sejarah daerah, dan sejarah nasional, tetapi sifatnya mesti
tematis dalam rangka mengembangkan sejarah dengan pendekatan mazhab
Annales. Dari naskah-naskah yang kandungannya berisi tasawuf dan akidah,
dapat direkonstruksi sejarah intelektual.
Dengan memperhatikan isi naskah-naskah seperti dikemukakan oleh
Chambert-Loir, Ikram, Baroroh, Sucipto, dan ahli lainnya, maka para
sejarawan benar-benar dapat meyakini perlunya menggunakan hasil kajian
para ilolog. Apalagi jika mereka sendiri memiliki pengetahuan ilologi, mereka
dapat secara langsung menggunakan sumber-sumber naskah primer dengan
melakukan kritik naskah dan kritik historis sesuai dengan metodologinya.
Dengan memakai naskah-naskah kuno sebagai sumber penelitiannya dan
dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, para sejarawan dapat
menghasilkan historiograti yang bersifat tematis dari berbagai bidang ilmu
sosial.
Beberapa tahun belakangan sudah ada beberapa ahli yang telah meng�gunakan naskah-naskah kuno dalam kajian sejarah tematis. Contohnya adalah
Azyumardi Azra yang menggunakan naskah-naskah dari Indonesia dan Timur
Tengah dalam disertasinya yang telah diterjemahkan, Jaringan Ulam a Tim ur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (1994); Martin van �Bruinessen dalam Pesantren dan Tarekat: Tradisi -Tradisi Islam di Indonesia
(1995); M.C. Ricklefs dalam Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-
1792 (1974). Masih ada beberapa ahli sejarah lainnya yang sedikit banyak
menggunakan naskah dalam penyusunan historiograti lokal atau nasional.
Penulisan sejarah yang tematis sesuai gagasan Mazhab Annales sebe�narnya dapat lebih banyak mencuat ke permukaan jika naskah-naskah kuno
hasil kajian ilologi atau yang masih belum dikaji yang berjumlah ribuan,
de ngan kandungan informasi kehidupan yang beragam dari masyarakat masa
lampau, secara bertahap dikaji oleh sejarawan dengan pendekatan ilmu�ilmu sosial. Untuk mendapatkan sumber-sumber naskah itu, banyak katalog
telah diterbitkan mengenai koleksi naskah yang ada di dalam maupun di
luar negeri yang sudah saya catat dalam Beberapa Catatan Tentang Naskah�Naskah Kuno Islam i Indonesia (Uka Tjandrasasmita, 1996: 236-245). Selain
itu, banyak katalog seperti yang telah dicatat oleh Henri Chambert -Loir
(1980:45-69) dalam Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah
Indonesia Sedunia (Chambert-Loir-Oman Fathurrahman, 1999).
Selain itu, sudah banyak naskah-naskah lain yang bisa dijadikan sumber,
misalnya Naskah Sunda (1988) yang ditulis oleh Edi S. Ekajati, Katalog
Koleksi Naskah Melay u Museum Pusat Departem en Pendidikan dan
Kebudayaan (1972) oleh Amir Sutaarga dan kawan-kawan, Katalog Naskah
Melayu Bim a I dan II (1990) dan 1992) oleh Yayasan Museum Kebudayaan
Samparaja Bima, naskah-naskah kuno yang telah diteliti oleh P. Voorhoeve
dalam karangannya Kerinci Docum ents (1970); Indonesian Manuscripts in
Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in
British Public Collections, London Oriental Bibliographies (1977), oleh MC.
Ricklefs dan P. Voorhoeve, dan masih banyak lagi koleksi-koleksi naskah di
Jambi, di keraton Yogyakarta dan Surakarta, bahkan di beberapa universitas
serta di masyarakat yang belum semuanya didokumentasi.
Akhirnya, hasil-hasil kajian naskah kuno yang mengandung berbagai
aspek kehidupan masyarakat masa lampau, penting sekali digunakan untuk
kajian sejarah berdasarkan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau pendekatan
Mazhab Annales. Untuk mencapai hal itu, diperlukan peningkatan jumlah
kulaitas SDM baik di bidang ilologi maupun sejarah dengan dorongan politik
pemerintah maupun dari masyarakat. �
MENGINGAT luasnya tema yang terkandung dalam makna kebudayaan –
meliputi tujuh unsur universal: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 179-181, 202-206) – maka
artikel ini akan menitikberatkan pada tinggalan arkeologis Islam di Indonesia
yang berkaitan dengan kesenian, yakni seni bangun dan seni hias.
Dalam analisis terhadap kedua wujud kesenian tersebut, akan ditinjau
aspek kontinuitas masa sebelum dan sesudahnya, hingga pengaruhnya pada
kebudayaan kontemporer yang pada dasarnya juga merupakan kontinuitas.
Sudah tentu pendekatannya menggunakan teori akulturasi, atau lebih
spesiiknya proses islamisasi (Uka Tjandrasasmita, 1999).
Seni Bangun
Di antara hasil seni bangun Islam yang sangat menonjol adalah masjid�masjid kuno di Indonesia yang mempunyai kekhasan corak atau bentuk bila
dibandingkan dengan corak masjid-masjid di negeri lain. Kekhasan corak
seni bangun masjid itu mungkin disebabkan faktor keuniversalan yang ter�kandung dalam pengertian masjid menurut hadis, dan tidak adanya aturan
yang dicantumkan dalam ayat-ayat al-Quran bagaimana seharusnya membuat
bangunan masjid, kecuali arahnya yang disebut kiblat. Dengan demikian,
dalam dunia Islam, kalangan arsitek dan masyarakat Muslim mempunyai
kebebasan untuk berkreasi membuat bangunan masjid (Uka Tjandrasasmita,
1991: 48-75). Sejumlah masjid yang memperlihatkan kekhasan arsitektur �masjid-masjid kuno adalah Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten,
Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Yogyakarta, Masjid Agung
Surakarta, Masjid Agung Palembang, Masjid Raya Ternate, Masjid Raya
Baiturrahman – dulu Banda Aceh, Masjid Indrapuri Aceh, Masjid Agung
Sumenep, Masjid Angke Jakarta, dan masih banyak lagi.
Masjid-masjid kuno tersebut digolongkan sebagai bangunan benda
cagar budaya (BCB) yang dilindungi kelestariannya berdasarkan UU No. 5
dan PP. No. 10 tentang Benda Cagar Budaya, meski sebagian besar sudah
mengalami pemugaran (Uka Tjandrasasmita, 1982: 91-96; I.G.N Anom, PJPI
1996, PJPI Lanjutan, 1997). Kekhasan masjid-masjid kuno tersebut antara
lain: (1) denahnya persegi empat atau bujur sangkar dan berbentuk pejal, (2)
atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua, tiga, lima, atau lebih
dan makin ke atas makin lancip, (3) mempunyai serambi (suram bi) di depan
atau di samping ruangan utama masjid, (4) di bagian depan atau samping
masjid biasanya terdapat kolam, (5) di sekitar masjid diberi pagar tembok
dengan satu, dua, atau tiga buah gerbang.
J ika ditelusuri, kekhasan masjid-masjid kuno beratap tumpang yang
berasal dari abad ke-16 sampai 18 Masehi tersebut, tak lain mengambil bentuk
bangunan masa pra -Islam yang disebut m eru, yang mulai dikenal pada relief�relief candi di Jawa Timur seperti pada Candi Surawana, Panataran, Kedaton,
Jago atau Tumpang, Jawi, dan pura-pura di Bali sampai kini. Bahkan, ada
m eru yang atapnya bertumpang sebelas (Uka Tjandrasasmita, 1975: 40).
Berdasarkan bagian kaki yang berbentuk bujur sangkar dan pejal tinggi
serta atap bertumpang itu, Pijper berpendapat bahwa masjid-masjid kuno di
Indonesia, yang tak ada persamaannya dengan masjid di negeri-negeri Islam
lain, memiliki kekhasan yang dipengaruhi unsur bangunan candi (Pijper,
1947: 275). Tetapi juga, perlu dicatat bahwa jika diperhatikan beberapa masjid
kuno, seperti Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, dan
pada beberapa masjid lainnya yang pintu-pintunya disusun dari batu-bata
(tembok), memiliki bentuk lengkung asli (true-arc) yang benar- benar mulai
dikenalkan Islam dari segi teknik pembuatannya. Karena, sebagaimana
diketahui, bentuk lengkungan pintu candi-candi merupakan lengkung pintu�semu (fals-arc).
Pada beberapa masjid kuno, pintu-pintunya banyak yang dibuat rendah,
yang bila orang memasukinya harus berhati-hati agar tidak terantuk kepalanya.
Pembuatan ini sangat mungkin merupakan penerapan penghormatan terhadap
masjid seperti terdapat dalam hadis dan al-Quran (Surat at-Taubah, ayat
17 dan 18). Juga perlu diingat bahwa, meskipun bentuk bangunan masjid�masjid kuno di Indonesia berasal dari masa pra-Islam, namun tetap disebut
masjid sebagai tempat peribadatan keagamaan Islam karena mengingat
fungsinya, bukan semata-mata bentuknya. Selain itu, masjid-masjid tersebut �dibuat oleh orang Muslim, terlebih Masjid Agung (Raya) yang didirikan di
ibukota-ibukota kerajaan seperti di Demak, Banten, Cirebon, Banda Aceh,
Yogyakarta, Surakarta, dan Sumenep. Dari segi morfologi, masjid- masjid
besar tersebut adalah ciri penting bagi pusat keagamaan yang umumnya
di tempatkan di bagian barat alun-alun ibu kota kerajaan-kerajaan Islam
(Uka Tjandrasasmita, 2000: 57). Bahkan, bentuk bangunan bertingkat itu
sendiri lebih jauh dapat ditelusuri hingga ke belakang, yaitu bentuk punden
berundak yang mencerminkan kebudayaan Megalitik masa prasejarah yang
dapat dikenal di berbagai tempat di tanah air (Hoop, 1932).
Yang menjadi pertanyaan, kenapa masjid-masjid kuno mempunyai ke�khasan tersebut? Ada beberapa faktor penting. Pertam a, mungkin dapat
di tinjau dari segi teknik yang disesuaikan dengan ekologi, yaitu dengan
bangunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air meluncur
ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap di antaranya dengan bagian
lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara
dingin ke dalam masjid apabila hari panas. Terlihat sekali fungsi teknik
yang disesuaikan dengan klimatologi tropis yang mengenal musim hujan dan
musim panas. Dan, ini tidak dapat dipisahkan dari prinsip dasar arsi tektur
dalam pembuatan suatu bangunan yang perlu penyesuaian dengan ling�kungan. Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang disebut m eru, yang
pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha dianggap sebagai bangunan
suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan
masjid merupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka
yang melakukan peralihan agama Hindu-Buddha ke agama Islam, sehingga
tidak menimbulkan kekagetan budaya (cultural shock), terutama karena di
dalam masjid diajarkan ketauhidan.
J ika di atas telah ditelusuri bentuk masjid-masjid kuno di Nusantara
sam pai ke masa pra-Islam, kini akan diperhatikan daya kontinuitas pada
be berapa bangunan masa kebudayaan kontemporer. Di beberapa tempat di
Indonesia seperti di daerah Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lombok, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Sumatera Barat, dan di
daerah-daerah lainnya, masyarakat Muslim masih banyak yang mendirikan
masjid-masjid dengan atap bertumpang. Meskipun pembuatan bentuk masjid
dengan atap bertumpang itu tidak lagi berhubungan dengan tujuan untuk
me narik perhatian umat non-Islam, melainkan lebih kepada penyesuaian
kli matologi seperti dikemukakan di atas. Pembuatan sejumlah bangunan
non-keagamaan untuk gedung perguruan tinggi atau perkantoran dengan
teknologi kontemporer, toh, masih banyak yang beratap tumpang. Sebagai
contoh, yang dapat dilihat pada gedung-gedung Universitas Indonesia. Ini
menunjukkan adanya kesinambungan arsitektur, meskipun sudah bercampur
dengan unsur-unsur arsitektur modern. Perkembangan bentuk masjid yang �menggunakan kubah di Indonesia mungkin sekali baru pada abad ke-19
dan 20 seperti ditunjukkan oleh Masjid Raya Banda Aceh sekarang, yang
berdasarkan rencana gambar de Bruins 9 Oktober 1879, menggantikan
Masjid Baiturrahman masa Sultan Iskandar Muda yang beratap tingkat tiga
yang terbakar pada waktu Perang Aceh (J . Kreemer, 1920-21: 69-87; Uka
Tjandrasasmita, 2000: 36).
Demikian pula Masjid Raya Medan dari Kesultanan Maemun yang
didirikan pada awal abad ke-20, juga berkubah seperti Masjid Jami’ di Timur
Tengah. Selain seni bangun masjid-masjid kuno yang menunjukkan adanya
kesinambungan bentuk atau gaya dari masa pra-Islam dan pengaruhnya pada
seni bangun masjid-masjid masa Islam, terutama dari abad ke-16 sampai 18
M, dan kemudian pengaruhnya sampai kebudayaan kontemporer, ada lagi
sejumlah bangunan atau arsitektur seperti pintu gerbang, keraton, bahkan
bentuk makam serta ragam hias. Untuk hasil seni bangun atau arsitektur
berupa pintu gerbang yang terdapat baik pada kompleks masjid, keraton,
dan makam-makam kuno, masih dapat ditelusuri baik ke masa pra-Islam,
maupun pengaruhnya pada kebudayaan kontemporer.
Dilihat dari segi arkelogi Islam, ada dua macam bentuk pintu gerbang,
yaitu pintu gerbang yang disebut Candi Bentar dan Kori Agung (Paduraksa).
Disebut Candi Bentar karena bentuknya menyerupai candi yang dibelah dan
di atasnya tidak dibuat atap, sedangkan yang disebut Kori Agung mempunyai
atap. Penempatan kedua bentuk pintu itu biasanya dibedakan: Candi Bentar
senantiasa di bagian halaman depan dan Kori Agung ditempatkan di halaman
tengah. Penempatan tersebut, terutama dilakukan di pintu masuk halaman
pertama atau kedua kompleks keraton, masjid, dan makam. Ada juga Candi
Bentar yang ditempatkan di Sitinggil atau taman seperti di Keraton Kasepuhan,
Kanoman, dan Taman Sunyaragi di Cirebon, Keraton Kesultanan Yogyakarta,
Surakarta, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid
Kecil di Panjunan Cirebon, Masjid Sendangduwur, Masjid Kuto Gede, Masjid
Mantingan di Jawa Tengah, dan di tempat-tempat lain. Di kompleks makam�makam kuno juga terdapat Candi Bentar, seperti di kompleks makam Sunan
Gunung Jati, makam Imogiri, makam Kuto Gede, makam-makam di Pulau
Madura, makam Sultan Agung Kanari di Banten, makam Sunan Drajat,
makam Sunan Giri, makam Sunan Kudus, makam Sunan Bayat, makam
Sunan Ampel, makam Sunan Sendangduwur, makam Sunan Muria, makam
Sunan Bonang, dan lain-lain (Uka Tjandrasasmita, 1975: 45-46).
Penempatan Kori Agung di halaman kedua dan atau ketiga terdapat di
beberapa tempat seperti di Keraton Kesultanan di Yogyakarta, Kasepuhan
dan Kanoman di Cirebon, Kaibon di Banten. Kori Agung juga didapatkan di
kompleks makam di Sendangduwur, makam Sunan Bayat, dan di kompleks
makam-makam lainnya. Baik bentuk Candi Bentar maupun Kori Agung �atau Paduraksa, banyak terdapat di halaman-halaman pura. Di antara Candi
Bentar yang tertua di Bali, menurut Goris ialah di Pura Prasada di kapal yang
diperkirakan semasa dengan kesenian antara Singasari dan Majapahit abad
13 -15 M (Goris, 1938: 33-36).
Di Jawa Timur masa Majapahit, baik candi bentar maupun kori agung
sudah dibuat, seperti diketahui dari adanya w ringin law ang yang merupakan
pintu gerbang – mungkin jalan masuk ke kota Majapahit di Trowulan,
Bajang Ratu yang bentuknya kori agung, serta candi bentar dan kori agung
di kompleks Candi Panataran. Selain itu, juga dapat disaksikan pada relief
Candi J ago, Candi J awi, dan pada relief temuan dari Trowulan masa
Majapahit (Stutterheim, 1932: 261, 264; 1941: 4). Mengingat bentuk hiasan
Candi Bentar agak berbeda serta menunjukkan perkembangan yang tampak
pada Candi Bentar pada masa peralihan di Jawa, maka bentuk Candi Bentar
dari masa Majapahit berkembang ke Bali, dan seni bangunnya berkembang
pada masa kerajaan Islam, terutama di Jawa.
Yang paling menarik perhatian adalah bentuk dua buah Kori Agung di
kompleks makam Sunan Sendang di Sendangduwur, yaitu pada halaman kedua
dan halaman ketiga. Kedua gerbang tersebut mengingatkan pada gambaran
garuda yang sedang terbang di angkasa. Oleh karena itu, pintu gerbang itu
disebut pintu bersayap, yang merupakan perkembangan bentuk Kori Agung
dalam arsitektur, sebab pada masa Indonesia Hindu-Buddha baik di Jawa
Tengah maupun di J awa Timur belum pernah didapatkan pintu gerbang
semacam itu. Stutterheim berpendapat bahwa pintu gerbang dengan sayap
tersebut merupakan gambaran sayap m eru (Stutterheim, 1926: 345-346).
Jika Kori Agung yang bersayap ini ada kaitannya dengan perlambangan
m eru bersayap, dan juga melihat adanya bentuk kepala dan paruh garuda
pada sudut sisi sayap gerbang itu, maka mungkin sekali dapat dihubungkan
dengan mitologi Hindu yang digambarkan dalam sastra Jawa-Hindu, Arjuna
Sasrabahu, sebagai Carita Garudeya (Carita Pelepasan) seperti terdapat pada
relief di Candi Kedaton (Krom, 1923: 223-229). Demikian pula gambaran
Carita Garudey a yang memperlihatkan relief patung Menyuhun Kendi
Amerta di Candi Kidal. Selain itu, garuda dipandang sebagai kendaraan Dewa
Wisnu seperti diwujudkan dalam Wisnu yang melambangkan Raja Erlangga
naik di atas garuda dari pemandian kuno abad ke-11 M di Jawa Timur, yang
kini tersimpan di Museum Mojokerto (Kempers, 1959: 69-71).
Menariknya, pada gerbang atau Kori Agung di makam Sunan Sendang
itu, di pintu bagian kaki Kori Agung sebelah kiri, terdapat relief yang meng�gambarkan pohon hayat atau kalpadrum a atau kalpaw reksa atau the life
tree atau the w ishing tree atau pohon surga atau kekayon gunungan, yang
me nurut Bergema menunjukkan suatu elemen tentang adanya hubungan an�tara Indonesia dengan kebudayaan lama Asia (Bergema, 1938: 41-41). Pohon �hayat, dalam Islam mungkin dikenal pula dengan sebutan syajaratul khuldi
(Uka Tjandrasasmita, 1975: 47).
Dalam kebudayaan kontemporer, pintu bentuk Candi Bentar ala Majapahit
dapat dikenali di Banten (ada anjuran dari Pemda agar membuat pintu gerbang
berupa Candi Bentar ala pintu seperti di Banten Lama, di setiap pintu masuk
halaman rumah yang berada di pinggir jalan besar). Selain itu, bentuk pintu
demikian ditemukan pula di daerah Jawa Timur. Mengenai bangunan yang
puncaknya melambangkan m eru dapat disaksikan pada bangunan-bangunan
kerucut di Taman Mini Indonesia Indah, serta di kompleks bangunan yang
digunakan untuk memperingati pertempuran merebut kembali Yogya.
Gambaran kekayon atau gunungan masih dipergunakan wayang kulit sam�pai masa kini. Demikian pula gambaran kekayon pada salah satu mata uang
kertas Indonesia. Pembuatan bangunan atau hiasan yang memberikan gam�baran m eru tersebut, baik yang dimengerti oleh masyarakat awam bahwa
ia mengandung lambang kekekalan berdasarkan kepercayaan lama atau�pun tidak, nyatanya pada masa kebudayaan kontemporer juga masih di�lanjutkan.
Mengenai keraton yang dibagi atas tiga halaman, dan kompleks makam
dengan halaman – dan yang tersuci ada pada halaman paling belakang –
seperti telah dikemukakan, asalnya dari pengaruh kebudayaan masa Hindu�Buddha. Ini tampak jelas dari denah kompleks percandian di Jawa Timur.
Pada masa Hindia Belanda banyak bangunan kediaman bupati juga terbagi
atas tiga bagian, yakni pendopo, bagian tengah, dan belakang, yang juga
menggunakan teknologi baru dengan tiang dan tembok beton.
Seni Hias
Untuk mendiskusikan tentang seni hias, di sini akan diberikan beberapa
contoh seni hias dari masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia. Salah satu yang penting untuk disebutkan di sini adalah pola
hiasan pada beberapa nisan kubur. Studi mengenai nisan kubur ini telah
dilakukan oleh Hasan Muarif Ambary yang menganalisa nisan-nisan kubur
di Indonesia yang berasal dari masa awal Islam sampai abad ke-19 dengan
menitikberatkan pada epigrai, bentuk, serta ragam hias dan persebarannya
(Ambary, 1984). Mohammad Othman Yatim juga menganalisa bentuk-bentuk
nisan kubur Batu Aceh yang ada di Indonesia, terutama yang terdapat di
beberapa daerah di Malaysia, mengenai kronologi usia dan bentuk nisan
kubur tersebut yang terbagi atas sub-type Othman A sampai N. Demikian
pula penelitian terhadap nisan-nisan kubur di Troloyo, Trowulan, yang
secara khusus telah dilakukan seorang ahli epigrai bangsa Perancis, yaitu
almarhum L.- Ch. Damais (1957: 353-415). Selain itu, dapat diambil hasil
penelitian terhadap hiasan pada panel-panel di makam Ratu Kalinyamat yang �dilakukan oleh A. Steinman (Steinman, 1934: 89-97), juga penelitian saya
sendiri terhadap ragam hias yang ada di kompleks masjid dan makam di
Sendangduwur (Uka Tjandrasasmita, 1975: 34-52).
Salah satu contoh hasil penelitian tersebut adalah pola hiasan kaligrai
pada nisan kubur Sultan Malik as-Salih (wafat 696 H/ 1297 M) dari Gampung
Samudera yang bertulisan khat Tsulutsi, dan pada sejumlah nisan baik dari
Samudera Pasai maupun dari Aceh sendiri. Nisan kubur yang mungkin masih
dianggap tertua ialah nisan kubur dari Leran yang seluruhnya bertulisan
kaligrai kui dengan nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah (wafat 475
H/ 1082 M), Nisan kubur Malik Ibrahim dari Gresik (wafat 822 H/ 1419 M).
Pada beberapa nisan kubur dengan kaligrai itu, dituliskan petikan beberapa
ayat al-Quran seperti Surat al-Baqarah ayat 225, Surat Ali Imran ayat 17,
18, 19, 25, 26, 27, 185; dan beberapa ayat lain yang dipetik dari al-Quran
(Othman, 1988: 68-69). Yang juga menarik perhatian, pada kaligrai yang
dituliskan pada nisan kubur Sultan Malik as-Salih, terdapat syair yang dalam
bahasa Indonesia berbunyi: “Sesungguhnya dunia itu fana, dunia itu tidaklah
kekal. Sesungguhnya dunia itu bagaikan sarang laba-laba yang dijalin oleh
laba-laba.” (Othman, 1988: 72)
Dalam dunia Islam, seni hias yang mengambil pola geometri dan erat
kaitannya dengan kaligrai, adalah hiasan segitiga tumpal, kurawal, segi empat
atau belah ketupat, jalinan tali atau tambang, hiasan bunga Aceh yang disebut
boengong aw an si tangke, beragam rosetta dan hiasan pola bunga teratai.
Demikian pula seni hias pada puncak nisan-nisan kubur yang menunjukkan
beragam bentuk perlambangan, seperti candi dan stupa (Othman, 1988: 84-
91). Berbagai hiasan dari nisan kubur di Samudera Pasai dan Aceh tersebut
menunjukkan percampuran antara seni hias Islam dengan seni hias lokal
yang diambil dari pola loralistik.
Dari hiasan yang terdapat pada nisan kubur di kompleks makam
di Demak, juga Troloyo, Trowulan, terdapat pula hiasan yang dipenuhi
loralistik dan pola hiasan lambang kekayon. Pola ini kemudian berkembang
pada nisan-nisan kubur di Madura seperti pada makam Ratu Ibu di Air
Mata Bangkalan, dan Kalpajung Laut di Pamekasan (Kempers, 1959: 106-
107). Dari Troloyo ada juga nisan kubur yang pinggirannya diberi hiasan
lengkung kala-makara, seperti pada nisan kubur dengan angka tahun Saka
1379 atau 1457 M. Terdapat juga sejumlah nisan yang mempunyai hiasan
yang oleh Damais dikatakan sinar matahari dalam bentuk medali (1995: 266,
271). Pola hiasan nisan-nisan kubur di Pulau Jawa, terutama dari Troloyo,
jelas menunjukkan percampuran dengan kaligrai yang dibawa Islam. Tetapi
dengan banyaknya bentuk nisan maupun ragam hias yang cenderung berpola
lokal, maka mungkin sekali nisan-nisan kubur ini dibuat oleh masyarakat
Muslim dari Jawa sendiri. �Hiasan-hiasan floralistik dari Masjid Mantingan dan makam Ratu
Kalinyamat tahun 1559 M serta dari Sendangduwur tahun 1561 M, me�nunjukkan persamaan baik dalam bentuk kurawal, segi ketupat, dan lainnya.
Perbedaannya hanya pahatan pada cadas dan pada kayu. Yang menarik
perhatian ialah hiasan pada dinding masjidnya yang berupa hiasan loralistik,
terdiri dari bunga-bunga teratai dan pepohonan pandanus, dibuat sedemikian
rupa sehingga gambaran antropomorik seperti gajah, ular, kepiting, kera,
tidak tampak jelas apabila tidak diperhatikan sungguh-sungguh. Gambaran
kolam dengan bale kam bang bertiang 5 yang dipenuhi dengan bunga teratai
dan pohon- pohon pandanus merupakan pemandangan yang indah (Kempers,
1959: 347-350).
Dari pola hiasan yang terdapat di Cirebon, terutama pada makam Sunan
Gunung J ati, ada persamaan dalam beberapa hal dengan hiasan yang ada
di Mantingan, dan juga hiasan sisi awan pada pola wadasan yang mem per�lihatkan kaitan dengan seni hias dari Majapahit. Menurut Babad Tanah
Jaw i, hal itu disebabkan karena Raden Sepet, tukang dari Majapahit dibawa
ke Jepara, Demak, dan Cirebon (Uka Tjandrasasmita, 1975: 93-98). Hiasan�hiasan gerabah yang ditemukan dari situs Keraton Surasowan di Banten
Lama menunjukkan sekitar 15 macam pola geometri dengan bunga-bungaan
(Uka Tjandarasasmita, 2002: 77).
Ragam hias atau seni hias yang terdapat pada bangunan dan benda-benda
tinggalan arkeologis, juga digunakan pada masa kebudayaan kontemporer.
Contohnya dapat disaksikan pada batik, seperti hiasan segi tiga tumpal, pa�rang rusak, hiasan kawung sisi awan, udan liris, bahkan sidhomukti, yang
semula terdapat pada benda gerabah dan benda-benda perunggu serta
megalitik masa prasejarah. Kemudian, diteruskan pada hiasan di candi-candi,
lalu mengalami perkembangan dengan pencampuran unsur kebudayaan
Islam, dan diteruskan dalam hasil kebudayaan kontemporer (Pameran Pola
Hias Batik dari Masa ke Masa dalam rangka HUT Purbakala ke-77 Benteng
Vredeburg Yogyakarta, 1998).
Akhirnya, ditinjau dari tinggalan arkeologis berupa seni bangun dan
seni hias sejak masa prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan seterusnya, ke�bu dayaan bangsa Indonesia memperlihatkan jati-diri yang dibawa dari satu
masa ke masa selanjutnya, sesuai dengan perkembangan zamannya.�
Masa Pemerintahan Kolonial
Sejak abad ke-17 M, terutama sejak VOC di bawah pimpinan G.G. Jan Pieterzon
Coen merebut kekuasaan politik dari Pangeran Wijayakrama dan mengganti
nama Jayakarta menjadi Batavia pada 29 Mei 1619, unsur-unsur kebudayaan
Eropa lambat laun bercampur dengan kebudayaan lokal. Orang-orang yang
disebut “Mardijkers” dan “Mistizen”, menggunakan bahasa Portugis dan ba�hasa Melayu. Demikian juga orang-orang Belanda dengan istri-istri dari
golongan Mistizen dan para pembantunya, juga menggunakan bahasa Portugis
bercampur bahasa Melayu.
Selain itu, sekitar tahun 1714, muncul salah satu kesenian yang me�nunjukkan percampuran unsur kesenian Portugis, yaitu keroncong dengan
pemakaian gitar dan tambur. Sebuah nyanyian yang disebut fado di Jakarta
pada waktu itu dinyanyikan oleh orang-orang Betawi di sekitar Kampung Tugu
(F. de Haan, 1935: 424). Pendidikan agama Kristen yang diselenggarakan di
Fort Jakarta, dikunjungi bukan hanya oleh anak-anak Belanda, tetapi juga
oleh anak-anak bukan Belanda. Pendidikan tersebut disampaikan dalam
bahasa Portugis dan Melayu.
Sejak abad ke-17 dan 18 M, percampuran unsur-unsur budaya itu bukan
hanya terjadi dalam bidang kesenian, bahasa, dan keagamaan, tetapi juga
dalam gaya hidup bahkan dalam arsitektur yang disebut gaya “kolonial”, atau
menurut Djoko Sukiman, gaya “Indis” (Djoko Soekiman, 1996). Sejak abad
ke-18 M, sejalan dengan pendudukan berbagai daerah di pesisir utara Jawa,
unsur-unsur budaya kolonial itu juga lambat laun masuk ke dalam budaya
setempat hingga hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup.
Menarik bahwa pada abad ke-18 M, pada masa pemerintahan VOC
yang berpusat di Batavia itu, sudah terdapat perhatian terhadap upaya pe�me liharaan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan yang ada di wilayah
Indonesia dulu (Nederlandsch-Indie) melalui beberapa institusi. Di antara
kelembagaan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan il miah di bidang
kebudayaan, termasuk masa awal, ialah Bataviach Genoot schap van Kunsten
en Wetenschappen.
Perlu diketahui bahwa pada abad ke-17, seorang pe gawai VOC yang
benama G.E. Rumphius pernah ber mukim di Ambon dari tahun 1653 sampai
1702. Selama di Ambon ia memanfaatkan waktunya untuk menulis Am bonsche
Landbeschrijving yang antara lain memberikan gambaran tentang sejarah atau
hikayat kesultan an di daerah Maluku, selain mengenai keberadaan kepulauan,
kepen dudukan, dan sebagainya. Rumphius juga memberikan pengetahuan
tentang hasil-hasil penelitiannya terhadap jenis-jenis tumbuhan dari pu lau
Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya. Hasil karyanya itu baru diterbitkan
setelah ia meninggal dunia dengan judul D’Am bonsche Rariteitkam er
tahun 1705 dan dua jilid pertama dari Herbarium Am boinense atau Het
Am boinsche Kruidboek yang terdiri da ri 6 jilid yang dicetak tahun 1741 dan
jilid terakhir tahun 1750 (G.E. Rumphius, 1983: v-vi). Karya Rumphi us itu
sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang herbarium.
Sejak abad ke-18 dan seterusnya, baik pada masa VOC maupun Hindia�Belanda, perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan makin
berkembang dengan berdirinya kelembagaan yang benar-benar kompeten
seperti Ba taviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
Lembaga ini didirikan pada 24 April 1778 oleh suatu himpunan masyarakat
yang mempunyai kepedulian akan kesenian dan ilmu pengetahuan di Batavia.
Mengenai tempat kedudukan, waktu pendirian, dan tujuan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tersebut, dinyatakan dalam
Statuten (Statuten en Reglementen Koninklijk Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen Batavia [1936]), Pasal 1 sampai 3. Tujuan
pen diriannya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2, ialah memajukan
pengetahuan-pengetahuan kebudayaan, sejauh berkepentingan bagi penge�nalan kebudayaan di kepulauan Indonesia dan kepulauan sekitarnya.
Sedangkan dalam Pasal 3 Statuten, dinyatakan bahwa untuk mencapai
tujuan Genootschap, perlu diadakan: (1) memelihara museum termasuk perpus�takaan, (2) mengusahakan majalah-majalah dan penerbitan media lainnya, di
samping pengumpulan tulisan-tulisan dari Bataviaasch Genootschap sendiri,
(3) mengadakan dan memikat penelitian-penelitian, di samping memberikan
penerangan-penerangan dan kerjasama dengan semua yang melakukan studi��studi sesuai dengan lingkungan studi-studi Genootschap, (4) memperbanyak
penerangan-penerangan bagi Pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam Pasal 19 mengenai museum dinyatakan: (a) perbukuan (boekrij),
(b) himpunan etnograis, (c) himpunan kepurbakalaan, (d) himpunan pre�history , (e) himpunan keramik, (f) himpunan musikologis, (g) himpunan
numismatik dan cap-cap, (h) himpunan naskah-naskah (handschriften) dan
dapat diperluas dengan himpunan-himpunan lainnya atas keputusan Direksi
Genootschap.
Yang menarik perhatian adalah isi Pasal 20 Statuten yang menyatakan
bahwa semua benda yang telah menjadi himpunan museum atau Genootschap
tidak boleh dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga dan
anggota-anggota atau bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali
mengenai perbukuan dan himpunan naskah-naskah sepanjang reglem ent
(per aturan) membolehkan.
Perlu ditambahkan bahwa pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda,
perkembangan himpunan atau koleksi naskah-naskah kuno (handschriften)
sejak abad ke-19 M, mulai disusun daftarnya dalam bentuk katalog, antara
lain Catalogus de Malaische: Javaansche en Kaw i HSS van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en W etenschappen, oleh A.B. Cohen Stuart,
Batavia, 1872, dan Inventaris des HSS van het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en W etenschappen, oleh L.W.C. van den Berg, Batavia 1876, 1877.
Pada tahun-tahun berikutnya, terutama sejak abad ke-20 M, bermunculan
katalog naskah-naskah kuno yang berasal dari Indonesia dan juga himpunan
naskah-naskah kuno yang terdapat di berbagai negara di dunia seperti di
Belanda, Inggris, dan Perancis (Uka Tjandrasasmita, 1996: 235-263). Di
antara ahli bangsa Indonesia dapat dicatat R.M.Ng. Poerbatjara ka yang
telah menyusun daftar naskah-naskah kuno Jawa, yakni List der Javaansche
Handschriften, dalam Jaar Boek, KBG, Bandung, 1933.
Lengkapnya berbagai hal yang telah diatur baik dalam Statuten maupun
dalam Reglement (ARD dan ART) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen adalah mengenai donatur dan anggota-anggota Bataviaasch
Genootschap, para pembaca, direksi, para perwakilan, rapat-rapat umum,
pe nerbitan, bagian- bagian, ketentuan-ketentuan umum, dan ketentuan pe�nutup. Melalui rapat-rapat umum direksi, lembaga tersebut mengalami per�kembangan dalam peraturan-peraturannya, misalnya hasil keputusan rapat
umum direksi tanggal 16 November 1861, 1886, 1887, 1888, 1889, 1890, dan
seterusnya.
Contoh hasil rapat umum direksi tanggal 16 November 1861 untuk
men capai tujuan Genootschap, seperti tercantum dalam Pasal 1 Statuten,
ada lah berkenaan dengan upaya memajukan ilmu pengetahuan terutama
da lam hubungan: (a) sejarah, bahasa-bahasa, kepurbakalaan, kesusilaan, �adat kebiasaan dan kelembagaan-kelembagaan Indis (Indonesia) dan bang sa
Timur lainnya, (b) keadaan keilmubumian kepulauan Indonesia, (c) seja rah
Nederlandsch-Indie, dan (d) statistik Nederlandsch-Indie yang ada hu�bungannya dengan ilmu kerumahtanggaan negara.
Contoh lainnya dari keputusan rapat umum direksi tanggal 27 Desember
1888, sebagaimana tercantum pada Pasal I Statuten, adalah mengadakan
penerbitan-penerbitan tentang: (a) verhandelingen (karangan-karangan,
ceramah-ceramah), (b) tijdschrift (majalah), (c) notulen (catatan-catatan)
rapat, (d) afzonderlijke w erken (karya-karya istimewa), (e) katalog himpunan�himpunan (koleksi).
Demikian juga berbagai upaya dan kegiatan Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan sejak 24 April 1778 pada
masa VOC dan Hindia Belanda, juga diakui serta mendapat subsidi dari
pemerintahannya. Di antara kegiatan Genootschap yang dapat diteruskan ke
masa-masa berikutnya, selain pemeliharaan himpunan warisan budaya bangsa
Indonesia yang berupa kebendaan, adalah termasuk hasil-hasil penerbitan
berupa notulen (NBG), majalah (TBG), dan verhandelingen atau karangan
ceramah (VBG). Dari karya-karya tulis yang dimuat dalam majalah- majalah
tersebut, masyarakat pembacanya dapat mengenal berbagai hal tentang
sejarah, peninggalan arkeologis, dan cerita-cerita rakyat yang bermanfaat bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kegiatan-kegiatan lembaga
tersebut berjalan terus selama masa kolonial Belanda dan masa pergerakan
nasional. Perpustakaan yang awalnya hanya disebut boekerij, juga mengalami
perkembangan yang waktu itu masih di bawah lingkungan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dewasa ini perpustakaan itu
berdiri sebagai Perpustakaan Nasional.
Bataviaasch Kunstkring
Bataviaasch Kunstkring merupakan Lingkar Seni Batavia yang didirikan oleh
sekelompok kecil dan pelaku seni rupa yang sudah ada sejak tahun 1902.
Karena mengalami kemunduran, pada 7 Juli 1914, lembaga ini dibentuk lagi
dengan pendirian Ikatan Musik dan Sandiwara (Muziek en Tooneelverbond).
Tujuan Bataviaasch Kunstkring ialah untuk memajukan seni hias dan seni
rupa (versierende en beeldende kunsten), dan seni musik serta drama di
Batavia. Setelah ikatan musik itu mengalami
Langganan:
Postingan
(
Atom
)