Home » All posts
TOPIK ini tidak bisa lepas dari aspek metodologi, baik arkeologi maupun
sejarah. Terutama sekali pada kajian arkeologi yang termasuk historical
archaeology. Menurut Gideon Sjoberg dan Roger Nett, metodologi mempunyai
pengertian yang sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, secara sederhana,
metodologi berkenaan dengan prosedur teknik dalam penghimpunan data.
Pengertian metodologi yang lebih luas perlu dikaitkan dengan konsep yang
lebih luas, dengan lebih menggunakan alat-alat penelitian, dan prosedur�prosedur yang turut ambil bagian dalam seleksi hasil-hasil yang dipelajari
dan diobservasi, yang secara langsung atau tidak langsung ditempatkan dalam
seluruh proses penelitian. Yang kedua inilah yang diartikan dengan arkeologi�sejarah (historical-archaeology ). Termasuk di dalamnya adalah arkeologi
Islam (Islam ic archaeology), yaitu arkeologi yang mempelajari masyarakat
Islam masa lampau melalui artefak, feature dan ekofak yang berasal dari
masa sejarah di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Sedangkan
yang disebut arkeologi prasejarah (archaeology of prehistory ) adalah
arkeologi yang mempelajari kehidupan masyarakat yang belum mengenal
tulisan. Karena arkeologi prasejarah memerlukan ilmu bantu antropologi,
maka di Amerika sering dikatakan anthropology of the past ,
Melacak mempunyai pengertian luas. Bukan hanya pengumpulan data
yang dalam sejarah lazim disebut heuristik semata-mata, tetapi juga me�liputi kegiatan inventarisasi, dokumentasi, dan penelitian, yang bertujuan
me rekonstruksi sejarah kehidupan masyarakat pembuat jejak arkeologis
ter sebut. Hasil kegiatan itu bertujuan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung dari jejak-jejak arkeologis tersebut untuk kepentingan agama,
sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sesuai pe�manfaatan sebagaimana tercantum dalam Bab VI, Pasal 19 ayat (1) UU No. 5
tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yaitu: (a) benda buatan manusia,
bergerak tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian�bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, (b) benda alam
yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Sedangkan situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga
mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan
bagi pengamanannya.
Dalam proses pencarian dan pengumpulan data itu, seseorang memerlukan
pengetahuan atau sekurang-kurangnya mengerti apa yang disebut arkeologi
dan atau sejarah , Meskipun deinisi
arkeologi dengan sejarah terdapat perbedaan sedikit, disiplin arkeologi dalam
studinya lebih menitikberatkan kepada benda-benda atau artefak yang tidak
perlu ada tulisan, sedangkan sejarah lebih mengutamakan studinya melalui
data-data tertulis (arsip, dokumen). Tetapi tujuannya sama, yaitu untuk
merekonstruksi kehidupan masyarakat masa lampau.
Sumber tinggalan arkeologis dapat berupa artefak, terutama yang ber�gerak dan tak bergerak disebut feature (itur). Baik artefak maupun itur ada
yang mengandung tulisan dan ada pula yang tidak. Ada yang berasal dari
masa prasejarah dan ada pula dari masa sejarah. Benda atau itur seperti
ba ngunan dari masa sejarah yang tidak mengandung tulisan pun, tetapi
masuk dalam arkeologi-sejarah (historical archaeology ), dalam mencari
dan mengkajinya dapat menggunakan data tekstual seperti arsip, dokumen�dokumen, naskah-naskah kuno tentang hikayat, babad, bahkan dongeng atau
legenda karena terkadang tetap mengandung kebenaran atau kenyataan ,
Karenanya, dalam melacak jejak arkeologis di lapangan, dilakukan
beberapa cara, antara lain: pertam a, melalui pemberitaan orang, baik lang�sung atau tidak langsung, mengenai adanya temuan yang diduga tinggalan
arkeologis. Kedua, melalui hasil kajian sumber literatur yang mungkin me�ngan dung petunjuk adanya temuan atau pernah adanya temuan yang belum
diteliti di lapangan tentang keadaan sebenarnya. Sumber tersebut dapat
dicari dari arsip, dokumentasi, laporan, berita-berita asing, naskah-naskah
kuno seperti babad, hikayat, tambo, legenda, dan lainnya. Ketiga, ber�dasarkan petunjuk-petunjuk adanya tinggalan arkeologis yang dikenali dari
sumber-sumber seperti di atas, mulailah melacak jejak arkeologis tersebut �di lapangan. Keem pat, setelah jejak atau tinggalan arkeologis atau situsnya
di lapangan benar-benar diyakini termasuk benda cagar budaya, maka perlu
dilakukan langkah-langkah berikutnya, yakni inventarisasi dan dokumentasi
tentang keberadaan atau kondisinya. Kelim a, setelah jejak arkeologis itu
diinventarisasi dan didokumentasikan, baru kemudian direncanakan apakah
hendak diadakan ekskavasi, pemugaran, konservasi, dan pengamanan sesuai
tujuan pemanfaatannya seperti tercantum pada UU No. 5 Tahun 1992 Pasal
19, yaitu untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa langkah-langkah di atas memiliki
rambu-rambu. Selain rambu-rambu sesuai dengan bidang keilmuan, juga
terdapat rambu-rambu hukum sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan PP No. 10 Tahun 1993 beserta Kepmen
dan Perda yang mungkin masih perlu dibuat ketentuan-ketentuannya, jika
belum dibuat. Dan jika sudah dibuat, perlu diingat adanya hierarki peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang�undangan tingkat nasional.
Bahkan, konvensi-konvensi internasional UNESCO dan non-UNESCO,
perlu juga menjadi perhatian. Di antara konvensi-konvensi internasional
UNESCO dan lembaga-lembaga internasional non-pemerintah ialah: (a)
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Conlict (The Hague Convention), 14 May 1954, (b) Convention on the Means
of Prohibiting and Preventing, the Ellicit Import, Export and Transfer of
Ownership of Cultural Property, Paris, 14 November 1970, (c) Convention
Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage,
Paris, 16 November 1972, (d) International Council on Monuments and Sites
(ICOMOS) atau Vinice Charter, Italy, 1964, yang telah mengalami beberapa
revisi dalam beberapa kongres, (e) Burra Charter, Australia, 1978, (f) Charter
of Cultural Tourism, Brussels-Belgium, 8-9 November 1976.
Demikian langkah-langkah dalam mencari jejak arkeologis. Bagaimana
kemudian praktiknya dalam mencari jejak arkeologis Banten? Jejak arkeologis
Banten yang pernah dilacak, dicatat, diinventarisasi, dan didokumentasi,
dapat diteliti atau dibaca antara lain dalam Inventaris der Hindoe-Oudheden,
ROD, 1914, yang diterbitkan oleh Batavia’s-Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, 1915, halaman 1-15, 20. Dalam keterangannya, terdapat
benda-benda yang telah disimpan di museum dan yang masih di lokasi.
Sebuah candi yang bagian bawah kepalanya rusak semula ditempatkan di
Pancaniti Kabupaten kemudian hilang tetapi ditemukan lagi ketika menggali
kanal Karangantu dan kini disimpan di Museum Banten. Contoh lainnya,
yakni temuan arca-arca batu Brahma, Mahadewa, Guru, Durga dan Area
Ganesha berasal dari Caringin, sudah disimpan di Museum Jakarta. Tetapi �jejak arkeologis berupa punden berundak di Si Bedug dan di Cibeo, masih
berada di lokasinya (B. van Tricht, 1929: 43-120).
Jejak-jejak arkeologis dari daerah Provinsi Banten setelah tahun 1915,
masih banyak terdapat pada catatan-catatan yang terhimpun di lembaga yang
mengurusi peninggalan sejarah dan purbakala atau benda cagar budaya, baik
di pusat maupun di daerah.
Benda-benda yang khusus berasal dari masa prasejarah, apakah alat-alat
kapak, batu, pahat, beliung, dan lainnya dari periode batu baru (neolitikum)
atau masa bercocok tanam dan pada masa Hindia-Belanda, telah banyak
ditemukan di beberapa tempat di daerah Provinsi Banten. Di antaranya dari
Serpong, Cihuni, Ciledug (Serang), dan Pandeglang. Alat-alat batu tersebut
telah diinventarisasikan dan tersimpan di museum (dahulu Bataviasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, hasil karya A.N.J . Th. van
der Hoop, dalam Praehistorische Verzam eling, Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen, 1941 [van der Hoop, 1941]). Selain jejak
arkeologis berupa alat-alat dari masa batu baru, termasuk alat-alat dari tanah
liat berupa gerabah atau periuk belanga dari daerah Serpong, terdapat juga
jejak arkeologis dari masa perunggu-besi berupa alat-alat yang dibuat dari
perunggu dan besi. Di antaranya sebuah nekara atau genderang perunggu
tipe Heger IV dari daerah Banten.
Mengenai benda-benda dan situs-situs yang terdaftar dalam Inventaris
Hindoe-Oudheden, ternyata selain alat-alat neolitik, juga terdaftar punden�punden berundak, antara lain di Si Bedug, Cibeo, dan lainnya, sebagai
jejak arkeologis megalitik. Adapun jejak arkeologis dari masa Indonesia
Hindu-Buddha, seperti dari Caringin, Karangantu, dan beberapa tempat
lainnya, telah dikemukakan. Yang perlu dicatat, di Cidangiang desa Munjul�Pandeglang, telah ditemukan prasasti tahun 1947, salah satu jejak arkeologis
masa Tarumanagara yang memuat nama Sri Maharaja Purnawarman yang
namanya tercantum dalam Prasasti Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, J ambu,
dan Pasir Awi. Di antara ahli yang pernah membicarakan prasasti-prasasti
dari Tarumanegara ialah R.M.Ng. Poerbatjaraka dalam Riw ayat Indonesia
I, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1952.
Kemudian, didapatkan pula jejak arkeologis dari masa Indonesia Hindu,
yaitu Area Siwa dan lainnya di Ujung Kulon, yang kini disimpan di Museum
Sri Baduga, Bandung. J ejak arkeologis dari masa Indonesia-Hindu agak
akhir ialah berupa jejak hunian atau mungkin situs Keraton Banten Girang
yang konon menurut Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, merupakan
tempat Keraton Prabu Pucuk Umun. Di situs ini, beberapa kali dicari jejaknya
dengan ekskavasi arkeologis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (1967-1977) (Hoesein Djajadiningrat, 1913; J an Edel, 1938). Dari
situs ini juga ditemukan sejumlah pecahan keramik asing dari masa Dinasti �Sung (abad ke-10 sampai 13 M) dan Ming (abad ke-14 sampai 15 M) yang
da pat menunjang keberadaan situs Banten Girang semasa menjadi sebuah
Kadipaten Kerajaan Sunda Pajajaran (Mundardjito, 1978).
Sebenarnya, jejak-jejak arkeologis yang terdapat di daerah Provinsi
Banten telah diinventarisasikan dalam rangka pemeliharaan dan pemugaran,
terutama terhadap bangunan atau situs-situs dalam rangka Pembangunan
Nasional (Uka Tandrasasmita, 1982). Dalam upaya mencari jejak arkeologis,
terutama arkeologi-sejarah (historical archaeology), seperti arkeologi masa
Hindu-Buddha, dan terutama arkeologi Islam, tak lepas dari pencarian jejak
sumber tertulis yang dapat memberikan petunjuk adanya tinggalan arkeologis
tersebut. Sumber-sumber tertulis dari naskah-naskah kuno, terutama yang
berkaitan dengan hikayat atau babad, sering memberikan gambaran adanya
situs pertempuran, bangunan, perkotaan, makam, dan lainnya. Demikian
pula berita-berita asing dari Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis,
dan lainnya dalam daghregister, arsip, hasil-hasil perjalanan, perjanjian, dan
sebagainya, tidak kurang pentingnya memberikan petunjuk untuk melacak
jejak arkeologis.
Oleh karena itu, jejak arkeologis masa Kesultanan Banten dari awal
abad ke-16 sampai akhir abad ke-19, akan diperoleh dari sumber naskah�naskah kuno, misalnya Sejarah Banten, Hikay at Hasanuddin, Babad
Cirebon, Babad Tanah Jaw i, dan Carita Purw aka Caruban Nagari sebagai
hasil kajian ilologi yang telah dibicarakan oleh Edi S. Ekadjati. Petunjuk
naskah-naskah yang berasal dari Banten disampaikan Edi S. Ekadjati karena
ia pernah meneliti dan menerbitkan naskah-naskah Sunda, seperti Naskah
Sunda Lam a Kelom pok Babad (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) dan Naskah Sunda
(Universitas Pajajaran, kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran
dengan The Toyota Foundation, Bandung, 1988).
Di antara naskah-naskah kuno (manuskrip) yang berasal dari Banten da�pat ditelusuri dari beberapa katalog dan dari naskah yang mungkin masih
banyak tersimpan di masyarakat. Di antaranya adalah beberapa katalog yang
berada di Museum Nasional – kini Perpustakaan Nasional – yang di susun
oleh Moh. Amir Sutaarga dan kawan-kawan dalam Koleksi Naskah Melayu
Museum Pusat, 1972; Vivian Sukanda Tessier-Hasan Muarif Ambary, Catalog
Ratsonne Naskah Jaw a Barat I: Naskah Islam , Tim EFEO-Puslit Arkenas,
Bandung-Jakarta, 1990; Henri Chambert-Loir-Oman Fathurrahman, Khazanah
Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia, Ecole française
d’Extrême-Orient-Yayasan Obor Indonesia 1999. Masih banyak lagi katalog
yang kemungkinan mencantumkan naskah kuno dari Banten.
Bagaimana pentingnya hasil kajian ilologi untuk membantu pelacakan
jejak arkeologis atau penelitian arkeologi-sejarah, contohnya dapat dikutip�
dari Sejarah Banten, antara lain seperti tercantum dalam pupuh XIX berikut
ini:
Sunan Gunung Jati bersama Molana Judah, ia menyuruh anaknya untuk
mendirikan sebuah kota di pantai, dan diberinya petunjuk, di mana dalem
(istana), di mana pasar, dan di mana alun-alun harus dibangun. Terutama
sekali w ati gigilang tidak boleh dipindahkan dari tempatnya, karena hal itu
berarti jatuhnya negeri itu. (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 36).
Kutipan tersebut jelas merupakan petunjuk untuk mencari lebih jauh jejak
arkeologis Banten. Dan ternyata benar, meskipun kini tinggal reruntuhannya,
petunjuk tentang jejak arkeologis ini lebih cenderung menjadi acuan bagi
arkeologi perkotaan (urban archaeology ). J ejak arkeologis perkotaan ini
diperkuat lagi dengan berita-berita asing, antara lain De Eerste Schipvaart
der Nederlanders naar Oost-lndie onder Cornelis de Houtm an. Ketika bangsa
Belanda pertama kali datang ke Banten mulai bulan Juni 1596, saat itu Sultan
Maulana Muhammad sedang melakukan penyerangan ke Palembang.
Willem Lodewycksz, ketika mengikuti Cornelis de Houtman, memberikan
gambaran tentang Kota Banten. Dalam sketsanya, tampak jelas letak keraton,
alun-alun, masjid, pasar, dan tempat kediaman para pembesar, serta
perkampungan para pedagang asing (Rouffer dan Ijzerman, 1915: 78-133, Peta
Sketsa Kota Banten: 104; Uka Tjandrasasmita, 2000: 136-137, Gambar: 49).
Pelacakan perkembangan kota Banten, Surasowan, dan sekitarnya sejak
abad ke-19, antara lain dilakukan oleh J .A. van der Chijs yang hasilnya
berupa karangan Oud Bantan, 1881, yang cukup memberikan gambaran
sejarah kota Banten kuno dari awal sampai abad ke-19 M (J.A. van der Chijs,
1881: 1-62). Sejak memasuki abad ke-20, jejak arkeologis perkotaan ini terus
dicatat dan didokumentasikan dan dapat ditelusuri dalam Oudheidkundige
Verslag (OV) 1913, 1914, 1915, 1928, 1930. Oudheidkundig Verslag (OV)
merupakan laporan pekerjaan Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala),
yang diterbitkan setiap tahun 1913, 1914, 1915, 1928, 1930. Selain pencatatan
dan pendokumentasian, juga telah dilakukan pemugaran dan penelitian oleh
instansi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama
dengan Pemda dan Universitas Indonesia.
Dari hasil penelitian, ekskavasi, dan pemugaran Banten ini banyak di�temu kan benda, selain sisa-sisa fondasi bangunan, juga sejumlah pecahan
keramik dari Anam, Thailand, Tiongkok, dan Jepang. Terdapat juga pipa-pipa
dari Gouda (Belanda) dan keramik dari beberapa negeri di Eropa (Katalogus
Koleksi Data Arkeologi Banten, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jakarta, 1988). Demikian juga gerabah�gerabah buatan lokal banyak ditemukan baik dari hasil ekskavasi maupun �
dari pemugaran. Juga, ditemukan mata uang, baik mata uang lokal maupun
mata uang asing Tionghoa, VOC, dan sebagainya, serta peluru dan alat-alat
senjata, termasuk pencetakan peluru.
Semua benda temuan yang merupakan jejak arkeologis dari situs
perkotaan Banten itu disimpan dan disajikan dalam Museum Banten yang
telah diresmikan tanggal 15 Juli 1985. Baik dari jejak-jejak arkeologis yang
telah ditemukan, maupun dari puing-puing yang sebagian telah dipugar, jelas
Banten (Surasowan) merupakan kota bersejarah yang penting. Dan, selain
sebagai pusat pemerintahan, Banten juga menjadi pusat perdagangan antar�bangsa (Uka Tjandrasasmita, 1995: 106-125). Kota Banten ini juga memenuhi
persyaratan sebagai negara-kota (city-state) karena berperan penting dalam
kegiatan perdagangan regional dan internasional yang mencapai puncaknya
pada abad ke-7 M (Peter J .M. Nas, 1986: 26-28). Data-data historis baik
berita-berita Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, dan naskah-naskah �
kuno yang berisi sejarah dan keagamaan, sangat menunjang keberadaan
Banten dan ibukotanya sebagai kesultanan yang mempunyai peranan dalam
sejarah nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, dalam melacak jejak-jejak arkeologis, selain berdasarkan
pemberitaan langsung atau tidak langsung, benda-benda atau bangunan dan
situs-situsnya, juga harus didasarkan pada naskah-naskah kuno, berita asing,
serta arsip-arsip. Naskah-naskah kuno itu sendiri, bila ditilik dari segi bahan,
bentuk tulisan, dan tahun dalam kolofon, mestinya juga termasuk Benda
Cagar Budaya (BCB) yang harus dilindungi sesuai UU BCB No. 5 Tahun 1992
dengan PP No. 10 Tahun 1993, bahkan dengan UU Hak Cipta Isi. Naskah
kuno amat penting karena bukan hanya memberikan petunjuk bagi pencarian
jejak arkeologis, tapi juga berisi tentang berbagai aspek kebudayaan bangsa
untuk penelitian keagamaan, pemikiran, sistem birokrasi, pemerintahan,
politik, ekonomi-perdagangan, kesenian, hukum, obat-obatan, dan lain-lain
(Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, 1999: 7).
Pada m asa pem erintahan Sultan Abul Mafakhir Mahm ud Abdul
Kadir, Banten menjadi sebuah pusat ilmu pengetahuan Islam. Pada masa
kejayaannya, Banten didatangi ulama-ulama dari berbagai daerah Nusantara
untuk memperoleh pengetahuan agama yang lebih mendalam. Terlebih
dengan adanya jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, tarekat-tarekat
menjadi berkembang seperti Tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Qadariyah
wa Naqsyabandiyah, Sattariyah, Rifaiyah, dan Tarekat Khalwatiyah. Banten
juga terkenal dengan permainan debus sebagai kesenian Islami. Tetapi
adakah naskah aslinya yang menjadi pedoman para syekhnya? Demikian
pula mengenai peranan dan kedudukan seorang qadi di Kesultanan Banten
yang bergelar Fakih Najamuddin (Martin van Bruinessen, 1995: 248-257), di
manakah naskah-naskah karyanya?
Pelacakan jejak-jejak arkeologis, selain melalui pernaskahan juga melalui
kearsipan, catatan-catatan harian (daghregisters), dan berita asing dari
berbagai zaman. Semua itu akan memperkaya dan memberikan informasi
yang penting untuk menindaklanjuti kegiatan terhadap jejak-jejak arkeologis
dari abad ke-19 sampai 20 M seperti kabupaten, karesidenan, kantor polisi,
dan bangunan-bangunan arsitektur Indis (bangunan pengaruh masa kolonial)
yang dapat ditelusuri dari arsip-arsip, paling tidak yang tersimpan di Arsip
Nasional di Jakarta (Joko Utomo, 1995).
Melacak jejak arkeologis Banten sebenarnya tidak hanya terbatas pada
pencatatan atau inventarisasi, dokumentasi, ekskavasi atau pemugaran semata,
tetapi juga perlu mengkaji dan menganalisa nilai-nilai yang terkandung
agar dapat disajikan dalam bentuk tulisan yang disertai audio-visual
untuk kepentingan dunia keilmuan, pendidikan, pariwisata, kebudayaan,
keagamaan, dan kemasyarakatan. Kegiatan yang disebut terakhir sudah�
tentu memerlukan penelitian dalam arti luas terhadap jejak arkeologis yang
terdapat di daerah Banten agar dapat menghasilkan sebuah karya yang benar�benar disusun secara ilmiah untuk bacaan masyarakat umum dan Perguruan
Tinggi. Temanya dapat berupa sejarah, kesenian, keagamaan (ikih, akidah,
suisme-tarekat), perekonomian-perdagangan, pelayaran, dan sebagainya. Hal
itu demi mencerdaskan masyarakat Banten pada khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Tema-tema tersebut memerlukan pendekatan
ilmu-ilmu sosial atau Mazhab Annales (Peter Burke, 1999).
Syukurlah, sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang, sudah banyak
hasil penelitian dari berbagai aspek, bahkan disertasi para mahasiswa dari
berbagai universitas berkenaan dengan jejak arkeologis perkotaan Banten.
Untuk keperluan dokumentasi, hasil penelitian tersebut sebaiknya dihimpun
dan disimpan di Museum Banten untuk bahan studi orang lain. Dahulu,
museum ini, selain menyimpan dan memajang benda-benda temuan, juga
memuat perpustakaan tentang sejarah Banten berupa sejumlah literatur,
arsip, dokumen, gambar, peta, dan lainnya, mengenai perkembangan Banten
lama.
Berdasarkan uraian tentang pelacakan jejak arkeologis Banten di atas,
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: pertam a, hasil pelacakan jejak
arkeologis Banten terdapat dalam buku inventaris tahun 1915 yang sebenarnya
merupakan hasil catatan dari berbagai museum (NBG) dan hasil perjalanan
serta kunjungan para ahli yang dimuat dalam karya tulis. Para ahli tersebut
antara lain Brumund, van Hoevell, J unghuhn, Friederich, Veth, de Haan,
C.M. Pleyte, Penning, dan lainnya, yang tulisannya berasal dari beberapa
tahun sebelum tahun 1914. Untuk jejak-jejak yang masih berada di lokasi
(situs) atau yang sudah disimpan di museum, masih perlu diteliti sampai
sejauh mana nilai-nilai arkeologis yang dikandungnya. Yang masih berada di
situs, perlu diteliti lagi bagaimana keberadaannya, apakah masih utuh atau
sudah hilang.
Kedua, bangunan atau situs yang pernah dipugar, tetapi keberadaannya
semrawut, sebagai bekas Kota Banten yang mempunyai peran penting dalam
sejarah nasional, perlu ditertibkan demi kelestarian dan pemanfaatannya
dalam berbagai kegiatan keilmuan, pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan,
keagamaan, dan kepariwisataan. Ketiga, dalam menjaga kelestarian jejak�jejak arkeologis dan historis Banten, perlu adanya partisipasi aktif dari
masyarakat melalui kerjasama dengan pihak instansi pemerintah baik pusat
maupun daerah. Pengertian kelestarian ialah melindungi dan memelihara
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keem pat, pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta lembaga�lembaga pendidikan dan kebudayaan, seyogyanya memprogramkan dan
me laksanakan inventarisasi dan dokumentasi benda, bangunan, situs, �
naskah-naskah kuno, arsip-arsip, berita, dan dokumen-dokumen mengenai
berbagai tinggalan arkeologis, sejarah dan kebudayaan, terutama yang berada
atau berhubungan dengan Provinsi Banten. Kelim a, hasil inventarisasi ter�sebut diperlukan sebagai dokumen dan database, serta berguna untuk me�mudah kan siapapun baik siswa, mahasiswa, kaum cerdik cendekiawan, atau
dari lapisan manapun dalam generasi kini dan mendatang yang hendak me�lakukan penelitian.
�
Sumber-Sumber
Untuk merekonstruksi sejarah Lengkong Ulama, atau dikenal juga sebagai
Lengkong Sumedang, di Kabupaten Tangerang, dilakukan metode atau cara�cara berikut: (1) pengumpulan data atau sumber sejarah (heuristik), baik
di lapangan maupun di perpustakaan, (2) melakukan kritik sumber, mana
yang primer dan mana yang sekunder, (3) menganalisa data hingga menjadi
fakta-fakta sejarah, (4) penulisan atau narasi sejarah (historiograi) (Sartono
Kartodirdjo, 1992).
Data atau sumber-sumber sejarah dan arkeologis (peninggalan purbakala)
yang dikumpulkan dan ada kaitannya dengan kesejarahan Lengkong
Ulama, baik melalui penelitian lapangan (ield research) maupun penelitian
kepustakaan (library research) adalah: (1) babad dan cerita tradisional ma�syarakat, (2) dokumen kearsipan, (3) karya tulis para ahli, (4) peninggalan
arkeolo gis (kepurbakalaan), (5) peta lokasi dan hasil penelitian lapangan, (6)
wa wancara.
Dalam sumber-sumber tersebut jelas akan terdapat sejumlah data yang
per lu diperbandingkan satu dengan lainnya untuk memperoleh fakta sejarah
demi merekonstruksi sejarah tersebut seobjektif mungkin. Dengan sendirinya,
dilakukan pendekatan teori yang juga berkaitan dengan objek kajian, yaitu
sejarah Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang.
Sejarah Lengkong Ulama (Sumedang)
Nama Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang dalam peta topograi ha�nya disebut Lengkong, tanpa tambahan “Ulama” atau “Sumedang”. Disebut �Lengkong Ulama atau Lengkong Sumedang karena sejak masa lampau
kampung ini ditempati seorang ulama atau kiai yang berasal dari Sumedang
yang dikenal dengan sebutan Raden Aria Wangsakara. Bekas rumah yang di�tempati istrinya yang kedua masih ada, meski sudah mengalami perubahan.
Sedangkan yang ditempati istri pertama konon sudah tidak ada, dan kini
menurut masyarakat setempat, tandanya adalah pohon asam besar yang
terletak di seberang barat Sungai Cisadane.
Masjidnya kini sudah mengalami pembaruan yang menyeluruh. Untung�nya, masjid tersebut telah difoto terlebih dahulu, sebelum dipugar total (kini
ada pada Pak Najib). Dari hasil foto, tampak jelas masjidnya beratap tingkat
dua. Sedangkan bata-bata aslinya, meskipun sudah tidak tampak, namun me�nurut Bapak Soleh, bentuk ubinnya berwarna merah dengan ukuran besar.
Tentang siapakah tokoh yang dinamakan R.A. Wangsakara itu, dapat di�ketahui dari tulisan yang disusun oleh H. Mukri Mian, pensiunan Departemen
Agama, penduduk Kampung Lengkong Kulon, Legok, Tangerang. Naskah
tersebut disusun tahun 1983 dan dipersembahkan kepada segenap warga
keturunan R.A. Wangsakara khususnya, dan umumnya bangsa Indonesia
(Mukri Mian, 1983).
Ketika ditanyakan berdasarkan sumber apa Mukri Mian menyusun
Sejarah Kampung Lengkong itu, jawabannya adalah berdasarkan naskah asli
yang pernah disimpan oleh almarhum Kiai Muchtar dan Bapak Yasin. Tetapi
sayangnya ia belum tahu keberadaan naskah yang katanya ditulis dalam huruf
pegon pada kertas daluw ang yang kabarnya pernah dipinjamkan kepada
kelompok mahasiswa dengan dosennya yang melakukan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) ke Kampung Lengkong. Jika naskah aslinya ditulis dengan huruf pegon
pada kertas daluw ang dengan tinta Cina, maka sangat mungkin naskah itu
merupakan naskah asli.
Akan tetapi, perlu juga dipertanyakan apakah versinya asli ataukah
pengambilan dari naskah utamanya. Untungnya, dalam naskah yang disusun
tahun 1983 oleh H. Mukri Mian tersebut, terdapat silsilah R.A. Wangsakara
dari garis ayah maupun ibu, baik ke atas maupun ke bawah. Berdasarkan
sil silah inilah dapat dilakukan perbandingan dengan yang terdapat dalam
naskah-naskah lain berupa babad lokal atau catatan karya tulis para ahli
serta peminat sejarah.
Mengingat dalam naskah baru itu terdapat isi yang dihubungkan dengan
Sumedang, maka perlu dicari kaitannya dengan data atau sumber sejarah
Sumedang, antara lain Babad Sum edang. Dibandingkan dengan Babad
Cirebon, Babad Galuh, dan babad lainnya, bahkan dibanding dengan karya
tulis para ahli Belanda yang telah diterbitkan oleh R.D. Asikin Wijayakusuma
dan R. Mohammad Saleh dengan judul Rutjatan Sadjarah Sum edang:
Sam em eh Sarta Nepi Ka Tjam purna Djeung Kum peni (Asikin Wijayakusuma �dan R.M. Saleh, 1960), Babad Sum edang lebih menitikberatkan cerita bahwa
Pangeran Santri merupakan cikal bakal bupati-bupati Sumedang. Hal ini
mungkin karena bupatilah yang pertama mulai memeluk Islam di Sumedang,
sesuai dengan nama atau julukannya, yaitu “Pangeran Santri”.
Menurut Babad Sum edang, dari garis ayahnya, Pangeran Santri me�rupakan keturunan Sunan Gunung Jati, karena disebutkan bahwa: (1) Sunan
Gunung Jati mempunyai putra, (2) Pangeran Panjunan mempunyai putra, (3)
Pangeran Pamekaran (Palakaran) mempunyai putra, (4) Pangeran Santri.
Anehnya, dalam Babad Cirebon (J.L.A. Brandes dan Dr. Rinkes, 1911),
nama Pangeran Santri sama sekali tidak disebut. Mungkin karena bagi
masyarakat Cirebon, Pangeran Santri tidak memberikan keturunan bagi raja�raja di Cirebon. Hal ini berbeda dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati dan keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah. Bahkan, juga
disebut-sebut nama Syekh Abdurrahman yang bergelar Pangeran Panjunan,
meski tidak disebutkan sebagai putra Sunan Gunung J ati, melainkan sebagai
saudara misan (saderek m isan).
Dalam naskah Carita Purw aka Caruban Nagari karya Pangeran Arya
Cerbon tahun 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Abdurrahman, yang kelak
men dapat julukan Pangeran Panjunan, adalah salah seorang putra Sultan
Sulaiman dari Baghdad. Ia pergi ke Pulau Jawa dengan adik-adiknya, yaitu
Syarif Abdurrahim, Syarif Kahfi, dan Syarifah Baghdad. Mereka diusir
oleh ayahnya setelah belajar tasawuf kepada Syekh Juned (Atja, 1972). Se�te lah berdebat tentang ajaran Islam dengan Sunan Gunung J ati, Syekh
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan bersama istrinya pergi ke Wringin
Pitu-Junti, Japura.
J adi, jika dalam naskah yang disusun Mukri Mian disebutkan bahwa
Syekh Abdurrahman adalah putra Sultan Maulana Hud, maka itu didasarkan
pada Babad Cirebon dan Carita Purw aka Caruban Nagari.
Mengenai Pangeran Pamekaran sebagai putra Syekh Abdurrahman dan
merupakan ayah Pangeran Santri, perlu dilakukan perbandingan dengan
babad lainnya. Berdasarkan penelitian sumber yang diperoleh R.D. Asikin
Wijayakusuma dalam Sejarah Sum edang, dikatakan bahwa Pangeran
Panjunan mempunyai dua istri, yaitu Ratu Petak dari Panjunan dan putri
Sunan Gunung J ati bernama Ratu Martasari. Pernikahan antara Pangeran
Panjunan dengan Ratu Petak melahirkan Pangeran Pamekaran yang kemudian
di anggap putra Ratu Martasari (R.D. Asikin Wijayakusuma, 1960).
Oleh tradisi, makam Pangeran Pamekaran disebutkan berada di kompleks
makam Pronggol di Pegambiran, Cirebon. Silsilah Sunan Gunung Jati, baik ke
garis atas terutama melalui garis ibu, hampir dalam setiap babad, antara lain
Babad Cirebon, Carita Purw aka Caruban Nagari, Sejarah Banten, Hikayat
Hasanuddin, dan sebagainya, dihubungkan dengan raja-raja Pajajaran. �Demikian pula garis ayahnya dihubungkan dengan Sultan Hud (Hoesein
Djajadiningrat, 1913; Jan Edel, 1938).
Putra Pangeran Pamekaran, yaitu Pangeran Santri sebagai Bupati
Sumedang yang pertama kali masuk Islam, mempunyai putra yang terkenal
dengan Geusan Ulun yang kemudian menurunkan para Bupati Sumedang.
Setelah berguru agama di Demak, Geusan Ulun dari Sumedang pulang dan
untuk sementara menginap di Cirebon mengadakan pembicaraan keagamaan
dengan Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati). Istri muda Panembahan,
Ratu Harisbaya, jatuh cinta kepada Geusan Ulun. Lalu keduanya melarikan
diri ke Sumedang. Akibatnya, terjadi peperangan di mana di pihak Sumedang
dipimpin Sayang Hawu atau J ayaperkosa, Terong Peot, Nangganan,
Kondanghapa. Tetapi akhirnya Panembahan Ratu merelakan istrinya dengan
penyerahan Sindangkasih (Majabangka) ke Cirebon. Peristiwa sejarah Geusan
Ulun ini telah saya bahas dalam makalah “Sumedang Larang dan Sebab-Sebab
Keruntuhannya” dalam Seminar Sejarah Sumedang Larang, tahun 1998.
Cerita dalam Babad Sum edang itu masih dikenal oleh masyarakat se�karang, terutama oleh orang-orang yang sudah sepuh. Cerita itu juga terdapat
dalam beberapa babad lainnya.
Peristiwa pelarian Ratu Harisbaya oleh Geusan Ulun ke Sumedang
mung kin sekali terjadi sekitar tahun 1588 atau sebelum Cirebon di bawah
Panembahan Ratu mendapat pengaruh Mataram; dan bantuan Mataram di
bawah Panembahan Senopati (1590 M) yang membangun dan memperkuat
tembok yang mengelilingi Kota Cirebon (Asikin Wijayakusuma, 1960; H.J.
de Graaf & Th.G. Pigeaud, 1986: 144).
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang sehubungan dengan
Geusan Ulun yang membawa lari Ratu Harisbaya ke Sumedang juga diambil
dari tulisan Veth, van Deventer, de Roo de la Faille, dan juga dari cerita di
Sumedang dan Cirebon dari Keraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin
Wijayakusuma, 1960: 51).
Dalam cerita dikatakan bahwa, ketika dibawa ke Sumedang, Ratu
Harisbaya sedang mengandung dua bulan. Setelah lahir, putranya diberi nama
Raden Suriadiwangsa yang oleh Geusan Ulun dianggap anak sendiri bahkan
kelak menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata.
Me nurut Babad Sum edang, sebelum Geusan Ulun menikah dengan Ratu
Harisbaya, ia sudah mempunyai istri, yaitu Nyi Gedengwaru, putra Sunan
Pa da dan masih keturunan Prabu Siliwangi. Pernikahan antara Geusan Ulun
de ngan istri tuanya itu melahirkan putra antara lain yang dikenal dengan
Pangeran Rangga Gede.
Putra-putra Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya yang dicatat R.D. Asikin
Wijayakusuma (Asikin Wijayakusuma, 1960: 51) antara lain: (1) Pangeran Aria
Suradiwangsa atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumah Dinata I, Bupati �Wadana Mataram ke-I untuk seluruh Pasundan, (2) Pangeran Tumenggung
Tegalkalong, mertua Sultan Mataram, (3) Raden Rangga Nitinegara yang
menurunkan bupati-bupati dan pembesar-pembesar (Keluarga Wangsatanu),
dan (4) Raden Arya Wiraraja I. Putranya ialah Wiraraja II yang antara tahun
1631-1633 (zaman Perang Dipati Ukur) meloloskan diri dari Sumedang lalu
membuat pemukiman (bahasa Sunda: ngababakan) di Lengkong Sumedang
di pinggir Cisadane, sebelah Girang Tangerang.
Yang menarik dari silsilah itu ialah nama Pangeran Arya Wiraraja II,
karena namanya disamakan dengan nama Wangsakara yang tercatat dalam
silsilah yang disusun Mukri Mian. Penyebutan nama R.A. Wangsakara yang
disamakan dengan Raden Arya Wiraraja II dikatakan oleh Mukri Mian setelah
ia berkunjung ke Sumedang dan mengidentiikasinya dengan yang tercatat
dalam Babad Sum edang di Museum Geusan Ulun.
Dengan demikian, perihal Pangeran Arya Wiraraja, alias R. Arya
Wangsakara yang makamnya ada di Lengkong Ulama atau Lengkong
Sumedang tersebut perlu dicari kebenaran sejarahnya: apakah ia memang
ber asal dari Sumedang yang pergi meninggalkan Sumedang pada masa
Perang Dipati Ukur antara tahun 1631-1633 M? Dan, apa yang menyebabkan
ia pergi meninggalkan Sumedang ke Lengkong dan bermukim di pinggir
Sungai Cisadane di seberang barat?
Cerita tentang beberapa pembesar dari Sumedang yang pergi ke Banten,
antara lain terdapat dalam naskah di Leiden yang memuat cerita Dipati
Ukur versi Sumedang (Ekadjati, 1982: 180-1885). Diceritakan bahwa, ke�tika pemerintahan Pangeran Sumedang yang dimintai bantuan menyerang
Madura, terutama di bawah Adipati Martalaya, Madura tidak dapat ditakluk�kan Mataram. Namun berkat Pangeran Sumedang, yaitu Pangeran Arya
Suriadiwangsa (putra Pangeran Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya) yang me�lakukan cara kekeluargaan karena masih memiliki garis hubungan dengan
Madura dari ibunya Ratu Harisbaya, putri dari Arosbaya di Madura, maka
perang tidak berlangsung dan kemudian Madura mengakui kekuasaan
Mataram. Karena itulah Pangeran Arya Suriadiwangsa diberi gelar Pangeran
Dipati Rangga Gempol Kusumahdinata (Rangga Gempol I).
Diceritakan bahwa suatu ketika Pangeran Sumedang berkelakar dengan
kakaknya, Pangeran Rangga Gede. Pangeran Sumedang menyatakan bahwa,
jika saja ia mau, maka ia dapat menaklukkan Mataram dalam waktu sete�ngah hari saja. Kelakar ini terdengar oleh dua pembesar Mataram, yaitu
Tumenggung Suralaya dan Dipati Ukur. Akhirnya, Pangeran Sumedang tidak
di pedulikan oleh Sultan Mataram dan diasingkan ke Kampung Bembem
sampai meninggal dan terkenal dengan sebutan Pangeran Bembem.
Setelah berkelakar dengan kakaknya, Pangeran Sumedang (mungkin sekali
Rangga Gempol I) menyuruh kakaknya, Pangeran Rangga Gede, kembali ke�Sumedang. Tetapi ketika sampai di Sumedang, Pangeran Rangga Gede tidak
mendapatkan putranya, yakni Raden Arya Suriadiwangsa (mungkin Arya
Suriadiwangsa II atau Pangeran Wiraraja II) karena pergi ke Banten dengan
para pengikutnya. Akibatnya, Pangeran Rangga Gede dipanggil ke Mataram
dan kemudian dimasukkan dalam penjara. Diceritakan bahwa, putri angkatnya
memberitahukan bahwa Pangeran Rangga Gede akan dihukum mati. Tetapi
bila ia sanggup menumpas pemberontakan Dipati Ukur, ia dibebaskan
dan kembali ke Sumedang dan juga diberi gelar Pangeran Rangga Gempol
(mungkin Gempol II). Setelah sampai di Sumedang, ia dengan pasukannya
pergi mencari Dipati Ukur. Tetapi ketika sampai di Citepus, Pangeran Rangga
Gede meninggal. Sedangkan Dipati Ukur dengan pasukannya sudah tidak ada
di Ukur dan pergi ke arah Banten.
Putra Pangeran Rangga Gede yang juga memperoleh gelar Pangeran
Rangga Gempol dan tinggal di Mataram, bernama Ki Tubagus Weruh. Ia
menggantikan ayahnya serta diangkat oleh Sultan Mataram sebagai Rangga
Gempol (mungkin Rangga Gempol III). Ketika Sultan Mataram wafat,
ia berkunjung ke Mataram yang ketika itu sudah diganti oleh Susunan
Pakubuwono.
Berdasarkan cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembesar
yang lolos dari Sumedang ke Banten pada masa terjadinya pemberontakan
Dipati Ukur adalah Pangeran Arya Suriadiwangsa II atau Wiraraja II.
Namun, meskipun dalam Babad Sum edang disebutkan Pangeran Wiraraja
II (1631-1633), tetapi yang disebut masyarakat sebagai Lengkong Sumedang
ialah R.A. Wangsakara. Sebabnya tidak lain karena mereka tidak senang
kepada Mataram yang ingin menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Hingga
Pangeran Rangga Gede meninggal di Citepus, Dipati Ukur belum tertangkap
dan sebagian dari pasukannya sudah lolos ke Banten.
Berdasarkan temuan di atas, diperoleh gambaran yang jelas bahwa
ke datang an orang-orang dari Sumedang – dengan R.A. Wangsakara atau
Pangeran Arya Wiraraja II sebagai tokohnya – tidak dapat membantu dalam
menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Jika diperhatikan, tahun kedatangan
Pangeran Arya Wiraraja II ke Banten, terutama sampai bermukim di Lengkong
Sumedang atau Lengkong Ulama, adalah tahun 1631-1633 M. Maka, tahun
kehadiran Pangeran Wiraraja II itu tidak begitu jauh dari masa sebelum
berakhirnya pemberontakan Dipati Ukur.
Dalam Sejarah Banten, terdapat data yang menceritakan bahwa setelah
se rangan tentara Mataram ke Batavia tahun 1628 gagal, banyak orang-orang
dari Priangan, yaitu dari Ukur, Sumedang, dan lainnya, kembali untuk men�cari perlindungan karena takut terhadap hukuman dari Mataram, serta ka�rena didorong keinginan untuk bebas dari kekuasaan Mataram. Dipati Ukur
mempertahankan diri, dan pada tahun 1630, pasukannya yang berada di �Gunung Lumbung tetap bertahan dari serangan Mataram. Tetapi karena
ketakutan, banyak pengikut yang meninggalkan Dipati Ukur. Mereka mencari
perlindungan ke Batavia dan Banten. Sayangnya, hanya Kesultanan Banten
yang memberi izin untuk menetap di Cisadane.
Dikatakan bahwa, pada awal tahun 1632, pemberontakan Dipati Ukur
dapat ditumpas. Hal itu didasarkan sangkala (tahun) dalam Sejarah Banten
yang berbunyi: buta tata gati ajrih (yaitu 1555 Jawa = 1633/ 34 Masehi).
Oleh Hoesein Djajadinigrat, perkataan itu dikoreksi dan dibetulkan. Menurut
Hoesein, perkataan buta seharusnya dibetulkan menjadi bata yang bernilai
angka 3. Sehingga bata tata gati ajrih bernilai angka 1553 tahun Jawa atau
dari 30 Juli 1631 sampai 16 Juli 1632 M (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 191).
Kesultanan Banten pada tahun itu masih di bawah pemerintahan
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651). Waktu itu sudah
mulai terjadi beberapa pertempuran dengan tentara VOC Belanda. Ketika
wafat tahun 1651, Abdulkadir diganti oleh cucunya, yaitu Sultan Abdul
Fatah yang terkenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa, yang oleh G.G.
van Goens dikatakan sebagai musuh terbesar kompeni belanda (de grootste
vijand der Com pagnie). Di bawah pemerintahannya, kesultanan mencapai
"Zaman Keemasan". Ia membuat maju berbagai bidang kegiatan pertanian
dengan pembuatan saluran-saluran, memajukan perdagangan antardaerah
di Indonesia dan juga perdagangan antarbangsa dengan negeri-negeri di
Barat, Timur Tengah, Timur J auh seperti Tiongkok dan J epang, bahkan
dengan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, perjuangan kakeknya
untuk mengenyahkan penjajahan Belanda makin ditingkatkan, baik dengan
mengadakan pertempuran di lautan dan di perairan antara Untung Jawa dan
Cisadane, antara Angke dan Tangerang.
Pertempuran di antara daerah Angke dan Tangerang terjadi tahun
1658 dan 1659. Sultan Ageng Tirtayasa memperbanyak penduduk di daerah
Tangerang hingga mencapai kurang lebih 6.000 jiwa dan mungkin termasuk
kampung-kampung di pinggir Cisadane bagian barat, termasuk Kampung
Lengkong yang kemudian disebut Lengkong Sumedang atau Lengkong Ulama.
Pertempuran terjadi antara Tangerang-Angke dengan membumihanguskan
tanaman dan penggilingan tebu. Pertempuran yang terjadi antara tentara Ke�sultanan Banten dengan VOC, serta pendirian perkampungan dengan jumlah
penduduk di daerah Tangerang itu, senantiasa dibicarakan dalam Sejarah
Banten yang diperkuat oleh data-data historis lainnya, seperti arsip-arsip dari
VOC, serta dalam daghregisters (catatan-catatan harian). Peristiwa tersebut
telah ditulis dalam buku Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh
Besar Kom peni Belanda (Uka Tjandrasasmita, 1967).
Dalam buku De Haan, Priangan de Preanger-Regentschappen onder het
Nederlandsch Bestuur tot 1811 (De Haan, 1912), nama Lengkong di pinggir �barat Cisadane sebagai daerah yang dikuasai oleh kepala-kepala di bawah
Kesultanan Banten yang dicatat sebagai Gubernur Tangerang ialah Pangeran
Dipati di bawah Sultan Banten yang tua, yang mungkin sekali Sultan Ageng
Tirtayasa. Pada tahun 1682 perang masih berkecamuk dan dalam serangan
Kompeni Belanda ke keraton Tirtayasa membantu Sultan Haji atau Sultan
Abu Nasr Abdul Kahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa yang menginginkan
kekuasaan Kesultanan Banten.
Menarik perhatian karena, berdasarkan arsip 20 Desember 1668, tercatat
pimpinan-pimpinan yang ditempatkan di Tangerang pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa. Di antaranya ialah Radin Sina Pattij (Raden Senapati) dan Kieeij
Daman (Kiai Demang). Raden Senapati kemudian diganti oleh putranya,
Raden Aria Wangsadireja yang sering datang kepada VOC dan meninggal
di Kademangan. Ada pula catatan berdasarkan berita Caeff tanggal 4 Maret
1680 yang menyebutkan ketua-ketua di Tangerang di bawah pemerintahan
Kesultanan Banten. Di antaranya ialah Kiai Dipati Suradilaha (mungkin
Suriadilaga) yang menjadi ketua di Tangerang dan sekitarnya. Saudaranya
bernama Tumenggung Yuda Mangagala (De Haan: Tanumanggala). Peng�gantinya mungkin Sutadilaga, saudara Pangeran Wangsadireja.
Nama-nama yang ditulis pada silsilah setelah Pangeran Arya Wangsakara
– dalam naskah susunan Mukri Mian – mungkin saja masih keturunannya
yang memimpin Tangerang, termasuk Lengkong Sumedang sampai masa
sete lah berakhirnya pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dengan dimulainya
pemerintahan Sultan Haji yang dibantu VOC Belanda. Berdasarkan data
tanggal 2 J uli 1682, yang menghadap Gubernur J enderal ialah Kiai Mas
Sutadilaga, saudara laki-laki Pangeran Aria Wangsadiraja. Dan berdasarkan
arsip tanggal 2 J anuari 1686, Raden Aria Subraja juga menghadap VOC.
Dikatakan bahwa Kiai Mas Aria Sutadilaga menjadi Bupati Tangerang per�tama di bawah perlindungan Kompeni Belanda atau VOC, yaitu setelah Ke�sultanan Banten berada di tangan Sultan Haji.
Di Lengkong dan sekitarnya, sejak Kesultanan Banten di bawah peme�rintahan Sultan Ageng Tirtayasa sampai sekitar akhir tahun 1682, masih
ter jadi serangan dari kedua belah pihak dan merusakkan benteng masing�masing. Tempat-tempat yang disebut dalam berita-berita waktu itu, selain
Lengkong, juga Songi Tiga (Siang Tiga atau Tiang Tiga). Dan dari sana
ke Pondok Tatsjor, Pondok Kacang, Kampung Kekulonan, Cikokol, Prigi,
Sampora, dan tempat lainnya.
Setelah perjanjian kemenangan Sultan Abu Nasr Abdul Kahar dengan
VOC tanggal 17 April 1684 – Sultan Tirtayasa sudah tertangkap lalu dibawa
ke Batavia dan dimasukkan penjara sampai wafat, maka Kesultanan Banten
ber ada di bawah Sultan Haji. Tetapi kekuasaan politik maupun ekonominya
tetap dipegang kolonial Belanda-VOC, termasuk monopoli perdagangannya�Sungai Cisadane, termasuk Kampung Lengkong, seringkali menjadi
tem pat perkebunan kopi. Kopi tersebut didatangkan dari daerah Bogor
yang kemudian dilanjutkan melalui pengangkutan perahu-perahu sampai
ke Untung Jawa, dan dari sana melalui pengangkutan yang lebih cepat. Di�katakan bahwa perahu-perahu yang mengangkut kopi dari Lengkong itu
dikuasai Bupati (regent) Tangerang yang terjadi sampai abad ke-19 M (F.
de Haan, 1912: 294, 661).
Sejak berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, orang-orang yang
menjadi Bupati Tangerang juga berada di bawah pengawasan VOC sam�pai masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Terlebih setelah Daendels meng�hapuskan Kesultanan Banten menjadi kabupaten-kabupaten, termasuk
se lanjutnya sebagai karesidenan.
Dari data atau sum ber-sum ber sejarah, sejak R.A. Wangsakara,
Lengkong Sumedang telah menjadi perkampungan yang bersejarah dengan
letak geograis yang strategis. Lengkong Sumedang berada di belokan Sungai
Cisadane seberang barat. Sesuai dengan daerah bagian barat Cisadane sejak
Kesultanan Banten, terutama masa Sultan Ageng Tirtayasa yang men�jadikannya sebagai daerah perbatasan dalam menghadapi kekuasaan VOC
di seberang timur Cisadane.
Untuk memperkuat data historis itu, dapat ditinjau data arkeologis
be rupa makam, bekas rumah, dan masjid yang pernah didirikannya. Se�mentara naskah asli dari Lengkong Sumedang itu masih perlu dicari ke�ber adaannya agar dapat dikenali bahan kertas, jenis tinta, segi isik, dan isi
kesejarahannya.
Letak makam R.A. Wangsakara berada di bagian bukit dalam perkam�pungan Lengkong Sumedang itu. Penempatan makam seseorang yang dianggap
leluhur atau suci di atas bukit banyak contohnya di beberapa tempat, misalnya
makam Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Sendang, Sunan Giri, dan
kompleks makam di Imogiri, tempat Sultan Agung Hanyokrokusumo, serta
sultan-sultan Yogyakarta dan Solo (Uka Tjandrasasmita, 1992).
Dari segi akeologis, nisan kubur R.A. Wangsakara yang terbuat dari batu
(mungkin batu kali), menunjukkan bentuk atau tipe sederhana. Ukurannya
kecil, di bagian puncaknya terpangkas dan melengkung sedikit seperti bahu.
Bagian tersebut kedua sisinya lurus tetapi pendek, membentuk badan nisan
lurus ke bagian kaki. Bagian kakinya merupakan bagian bingkai dengan
lekukan-lekukan, yang kedua bagian sisinya seakan-akan membentuk se gitiga
dan menjadi penghias bagian badan paling bawah. Pada bidang nisan itu
tidak ada tulisan apa pun, kecuali bentuk hiasan spiral yang seakan mem�bentuk medali. Pola dasar nisan semacam ini bersifat lokal, meskipun juga
terdapat di tempat lain, misalnya di Troloyo, Demak, bahkan di Banten sen�diri (Othman Mohd. Yatim, 1988: 33). �Di depan kubur R.A. Wangsakara terdapat makam yang nisannya ber�ukuran kecil dan berbentuk bundar seperti gada. Di bagian puncaknya ber�bentuk bulat lengkung menjadi penutup bagian kepala. Tipologi nisan tersebut
juga ditemukan di kompleks makam Banten pengaruh Mandar. Meskipun
sederhana, kedua nisan kubur itu mengingatkan kepada nisan tipe arkaik
lebih kurang akhir abad ke-17 M.
Di luar kompleks makam R.A. Wangsakara di samping masjid kuno yang
telah dirombak total, terdapat sebuah makam dalam cungkup, yaitu makam
se seorang bernama Mustakim, dan di luar bagian depan terdapat makam
Darda. Berdasarkan keterangan dari H. Soleh, Kiai Mustakim itu adalah
anak nya Darda.
Yang menarik perhatian, tipe atau bentuk nisan kuburnya seperti bentuk
gada bulat memanjang dengan puncaknya yang berbentuk lebih besar dengan
bagian meruncing. Bagian badannya yang seperti gada itu membentuk segi
delapan semu. Bagian kakinya berbentuk segi empat dengan bentuk segi tiga
pada setiap ujung pertemuan sisi-sisinya yang disebut sebagai anteik.
Dalam sejarah perkembangannya, tipologi nisan-nisan kubur semacam
itu, usianya diperkirakan dari abad ke-18 dan 19 M, yang oleh Dr. Moh.
Othman Yatim, ahli Malaysia, dikelompokkan kepada Tipe Otman-M. Bentuk
nisan semacam ini ditemukan di Banda Aceh, juga di Malaysia. Tipe nisan
kubur seperti itu terdapat di Banten dan dalam kompleks makam Masjid
Agung Banten, karena hubungan antara Banten dengan Aceh pada masa�masa lampau amat kuat. Bentuk nisan yang memuat cara penulisan seperti
itu, ditemukan juga di Kampung Garisul-Jasinga dari abad ke-19 M dan telah
disebut-sebut oleh Dr. Hoesein Djajadiningrat. Tetapi lebih jauh, telah diteliti
oleh almarhum Muhammad Thoha Idris (Toha Idris, 1995).
Di antara nisan-nisan kubur dari Garisul tersebut, yang terbaca tulisannya
ialah makam Haji Syarif tahun 1200 H/ 1822 M, makam Embah Adong tahun
1215 H/ 1837 M, dan ada juga nisan kubur dari tahun 1238 H/ 1860 M. Angka�angka tahun dari abad ke-19 itu jelas ada kaitannya dengan masa pergerakan
rakyat yang mungkin semula mereka berada di Banten. Jika demikian, maka
atas dasar perbandingan bentuk nisan yang berada di Garisul dengan ke�terangan silsilah makam Kiai Mustakim, sangat mungkin ia hidup pada masa
pergolakan di Banten waktu mulai muncul lagi perlawanan terhadap penjajah
Hindia-Belanda.
Tinggalan arkeologis yang ada kaitannya dengan R.A. Wangsakara ialah
rumah istrinya yang kedua. Meskipun rumahnya sudah mengalami perbaikan,
tetapi masih ada beberapa gaya dan bahannya yang menunjukkan periode
se jarah. Bata-bata merahnya masih tampak jelas merupakan bata-bata
kuno, dan dinding dari gedeg bambu yang dikerjakan dengan cara disasak
(bu kan kepang), masih tampak. Bagian-bagian ruangan yang sederhana� itu kesemuanya masih menunjukkan keaslian, meskipun mungkin sudah
beberapa kali mengalami perbaikan.
Rumah yang ditempati istri pertamanya di bagian sisi Cisadane sudah
tidak ada sama sekali. Yang ada hanyalah tanda, yaitu pohon asam yang
su dah tua. Dari segi letak, tempat ini tepat berada di tepi barat Sungai
Cisadane dan sejak Kesultanan Banten sudah merupakan salah satu basis
untuk penyerangan terhadap VOC yang menguasai daerah sebelah timur
Sungai Cisadane sampai Angke. J adi, ini pun merupakan situs sejarah.
Bahkan katanya, terdapat gua-gua yang ketika diteliti di lapangan tak sempat
ditelusuri.
Peninggalan yang tidak kurang pentingnya dari segi arkeologis ialah
mas jid yang kini sudah berubah total. Untung masih didapatkan foto sebelum
dirombak total – foto dari Drs. Edi, Kasi Kebudayaan, telah disampaikan
kepada Drs. Najib. Dari foto tampak bahwa atapnya masih bertingkat,
meskipun hanya dua tingkat (seperti masjid-masjid di daerah Jakarta dari
abad ke-18 M, semuanya bertingkat dua). Fondasinya masih pejal dan persegi
empat. Tetapi bata-bata aslinya, menurut H. Soleh, dahulu bentuknya besar�besar dan berupa bata-bata merah. Kalau ini benar, maka memang masjid�masjid kuno, baik di Banten maupun di Jakarta, juga menggunakan bata-bata
merah ukuran besar seperti Masjid Agung Banten Lama yang berukuran 40
x 40 m. Berdasarkan cerita setempat, masjid ini didirikan oleh Wangsakara.
Karena ia juga berperan sebagai kiai atau ulama. Dengan demikian, pantas
pula apabila Kampung Lengkong Sumedang itu juga disebut Kampung
Lengkong Ulama.
Ditinjau dari segi geografis dan ekologisnya, Kampung Lengkong
Sumedang yang berada di pinggir Sungai Cisadane sejak masa sebelum
pemukiman yang didirikan pada masa R.A. Wangsakara sudah mempunyai
arti penting bagi lalu lintas perairan, terutama mungkin sekali sejak masa Ke�rajaan Taruma, karena di Muara Cianten dan Ciaruteun (Ciampea) terdapat
prasasti m edio (pertengahan) abad ke-5 M dari Tarumanegara yang dibuat
pada masa Sri Maharaja Purnawarman. Demikian pula pada masa Kerajaan
Pajajaran, meskipun Ciliwung menjadi jalan perairan utama ke Pelabuhan
Kalapa, namun Cisadane juga tetap dipergunakan sebagai lalu lintas menuju
Tangerang, dan terutama ke Pelabuhan Tangerang yang pada awal abad ke-
16 M diberitakan Tome Pires (1512-1515) (Armando Cortesao, 1967: 171).
Demikian juga sejak masa Kesultanan Banten abad ke-16 M, Cisadane
dijadikan tempat perhubungan perairan dan tempat pertempuran melawan
penjajah Belanda. Padahal, pada masa pemberontakan Kiai Tapa dan Tubagus
Buang pada pertengahan abad ke-18 M, daerah Rumpin dengan Gunung
Munara-nya telah menjadi ajang pertahanan dan pertempuran gerilyawan
Banten melawan VOC. �Letak geograis Lengkong Sumedang memang sangat strategis, karena
Cisadane membentuk belokan m eander atau tanjung. Di sebelah barat ber�hadapan dengan daerah seberang timur Cisadane. Menariknya, di Kam pung
Lengkong Sumedang itu, selain terdapat bukit makam R.A. Wangsakara, ter�dapat bukit lain di sebelahnya, yang memiliki sumber air yang membentuk
se lokan atau sungai kecil menuju Sungai Cisadane. Jikalau sungai kecil itu
dapat dibentuk menjadi danau kecil, maka ia dapat dijadikan tempat pe�nampungan air yang bersih sekaligus memberikan pemandangan yang cukup
bagus. Oleh karena itu, jika dilakukan penataan lingkungan dengan baik,
maka Lengkong Sumedang dapat dijadikan objek wisata alam dan wisata
sejarah atau budaya.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertam a,
tokoh pendiri Kampung Lengkong, yaitu R.A. Wangsakara atau Pangeran
Aria Wiraraja II yang berasal dari Sumedang antara tahun 1631-1633, pergi
ke Banten dan kemudian diberikan izin menempati Lengkong di pinggir
barat Cisadane, pada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir (1596-1851 M). Kepergiannya ke Banten bertujuan untuk me�nyingkirkan serta menolak pengaruh Mataram terhadap Sumedang sejak
Pangeran Rangga Gempol I. Selain itu juga karena ketidakmauan menumpas
pemberontakan Dipati Ukur yang juga membangkang kepada Mataram.
Kedua, perjuangan Wangsakara sebagai kiai atau ulama dalam mendidik
serta mengajarkan agama Islam membuatnya terdorong mendirikan masjid.
Bahkan, ia dengan masyarakatnya turut aktif dalam mengadakan perlawanan
terhadap usaha-usaha kolonial Kompeni Belanda (VOC) sejak tahun 1651 dan
seterusnya, yang diteruskan oleh para penggantinya mungkin sampai akhir
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M). Akhirnya, Tangerang
dikuasai VOC dengan bupati di bawah naungan VOC, yaitu Pangeran Aria
Sutadilaga dan Pangeran Aria Subraja.
Ketiga, berdasarkan analisa sejarah, arkeologis, tradisi setempat, bahkan
dari segi geograis serta lingkungannya, Kampung Lengkong Sumedang atau
Lengkong Ulama, yang kini termasuk Kecamatan Gedangan Kabupaten
Tangerang, merupakan kampung bersejarah atau situs bersejarah (historical
site) yang perlu diperhatikan kelestariannya, dan dapat menjadi salah satu
objek wisata sejarah atau budaya serta wisata alam.�
ARTIKEL ini bertujuan memberikan gambaran kehidupan masyarakat
di wilayah J akarta sebelum munculnya Batavia sejak awal abad ke-17 M.
Tepatnya, sejak Jayakarta diganti namanya oleh VOC menjadi Batavia pada
30 Mei 1619. Dengan bertumpu pada kehidupan masyarakat di Jakarta yang
mencakup ruang yang kini termasuk wilayah DKI J akarta tersebut, maka
cakupan waktu yang perlu dibicarakan ialah dari masa prasejarah, masa
Indonesia Hindu-Buddha (Kerajaan Taruma dan Sunda Pajajaran), dan masa
Islam (Jayakarta sampai menjadi Batavia).
Untuk merekontruksi keadaan masyarakat dengan berbagai aspeknya dari
masa-masa tersebut, perlu digunakan metodologi sejarah dengan pendekatan
teori ilmu-ilmu sosial (social sciences approach) yang dikenal dengan Mazhab
Annales. Mazhab Annales adalah mazhab sejarah yang dipelopori oleh Lucien
Febvre, Marc Bloch, dan lain-lain, yang mencetuskan karya-karyanya dalam
majalah Annales d’Histoire Econom ique et Social (Peter Burke, 1990 ).
Sumber-sumber yang menjadi acuan, antara lain tinggalan arkeologis dan
data tekstual, selain prasasti, babad yang relevan, juga terdapat berita-be�rita asing. Setelah itu, dilakukan kritik dan analisa sumber sampai pada
historiograinya sesuai metodologi sejarah (Louis Gottcschalk, 1975).
Mengingat peristiwa sejarah yang mencangkup faktor tempat atau ruang
tidak dapat dipisahkan sampai wilayah ini tumbuh dan berkembang menjadi
suatu kota, maka gambaran geograis, geologis, dan ekologis, perlu diberikan
lintasannya berdasarkan sumber yang mengkaji masalah tersebut. � Keletakan Geograis dan Ekologis
Sejak dahulu, Jakarta mempunyai letak yang strategis, baik ditinjau dari segi
geograis maupun lingkungan alam atau ekologisnya. Jakarta dengan teluk�nya, terletak antara 160.40’ dan 170.0’ Garis Bujur Timur. Jakarta di kelilingi
kepulauan seperti Pulau Damar Besar, Air Besar, Nyamuk Kecil, Damar Kecil,
Gosong, Kelor, dan Sabit. Mengingat banyaknya pulau-pulau tersebut, maka
terkenallah sebutan Kepulauan Seribu.
Berdasarkan potret dari udara, Sungai Cisadane dahulunya bermuara di
bagian barat teluk Jakarta. Sedangkan Sungai Citarum bermuara lebih jauh ke
timur. Perkembangan garis pantai Jakarta dibentuk oleh endapan lumpur Sungai
Cisadane dan Ciliwung. Dataran alluvial pesisir utara terjadi karena pengendapan
lumpur Sungai Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Sungai Citarum.
Di bagian tengah Jakarta dataran alluvial sampai ke bagian dalam, le�bih kurang 7 km. Tetapi dengan proses pengendapan lumpur Cisadane yang
membentuk delta, maka ke bagian barat dataran alluvial melebar lebih ku�rang 15 km yang membatasi teluk J akarta di bagian barat. Sedangkan ke
arah timur, karena pengendapan lumpur Kali Bekasi dan Citarum, maka
pe le baran dataran alluvial lebih kurang 35 km yang menjadi batas dataran
Teluk Jakarta bagian timur. Pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai�sungai Cisadane, Ciliwung, dan Kali Bekasi, serta memencar membentuk ki�pas angin, berasal dari gunung berapi Pangrango, Gede, dan Salak. H. Th.
Verstappen, ahli geomorfologi Belanda, berpendapat bahwa kecepatan pe�ngen dapan lumpur yang mengandung bahan-bahan vulkanis di pantai da�taran Teluk J akarta sekarang itu, diperkirakan terjadi lebih kurang 5.000
tahun yang lalu. Lapisan tanah yang terbatas dari endapan puing berkipas itu
berasal dari za man Holocen atau sekurang-kurangnya dari zaman pertengahan
Holocen (Verstappen, 1953: 53).
Keadaan geografis dan ekologis daerah J akarta dengan teluk yang
terlindungi kepulauan itu, menjadi faktor potensial bagi pertumbuhan dan
per kembangan pemukiman masyarakatnya. Bahkan, Jakarta dapat tumbuh
dan berkembang menjadi sebuah perkotaan. Menurut teori Gideon Sjoberg,
penyebabnya ada tiga faktor: ekologi yang menguntungkan, adanya teknologi
yang maju, baik agrikultur maupun non-agrikultur, dan adanya suatu or�ganisasi sosial yang kompleks dan struktur kekuasaan yang berkembang
(Gideon Sjoberg, 1965: 7-15). Kemajuan tersebut berlangsung terutama sejak
Jakarta menjadi kota pelabuhan Kelapa, masa Kerajaan Sunda Pajajaran yang
ber ibukota di Pakuan-Pajajaran, Bogor.
Kehidupan Masyarakat Masa Prasejarah
Awal pemukiman di daerah ini berlangsung sejak lebih kurang zaman
prasejarah, khususnya Zaman Batu Baru atau Zaman Masyarakat Bercocok �Tanam. Menurut pendapat beberapa ahli, misalnya Robert von Heine
Geldern dan W.G. Solheim, zaman itu diperkirakan dari tahun 2500-1500
SM. Pendapat tersebut tidak begitu berbeda dengan perkiraan pengendapan
lumpur yang membentuk dataran alluvial daerah J akarta sebagaimana
diperkirakan Verstappen, yaitu 5.000 tahun lalu (Rober von Heine Geldern,
1945: 129-167; W.G. Solheim II, 1972: 34-41). Dugaan waktu tersebut
didasarkan pada temuan bukti arkeologis, yaitu artefak yang pernah dihim�pun pada masa Hindia-Belanda dan telah diinventarisasi Th.Th van der
Hoop. Benda-bendanya sekarang tersimpan dalam koleksi Museum Nasional,
ditambah dengan hasil-hasil ekskavasi di situs Kelapa Dua sekitar tahun 1971
(Th.Th van der Hoop, 1941). Alat-alat atau artefak itu ada yang berupa kapak
persegi, beliung, serpihan batu, mute, gelang batu, bahkan pecahan-pecahan
kreweng atau gerabah.
Yang menarik, dalam daftar inventaris museum yang dilakukan Van der
Hoop, ternyata ada sebuah alat batu yang berbentuk pacul hasil temuan dari
daerah Jatinegara. Tempat-tempat (situs) temuan alat-alat batu dari Zaman
Batu Baru atau Masa Bercocok Tanam itu berada di sekitar daerah Jakarta,
yaitu di Pasar Minggu, Pasar Rebo, Tanjung Timur, Kampung Salak dekat
Pesing, Kampung Sukabumi, Cililitan, Sunter, Condet di tepi jalan Jakarta�Bogor, dekat stasiun J atinegara, Kampung Kranggan, dekat Pasar Rebo,
Kampung Karang Tengah, Pasar Jumat, Kebayoran, Karet, Gedungijo Pasar
Jumat, Pondok Betung-Ciputat, Kebayoran Lama, Kampung Pulo Jatinegara,
Kebon Sirih, Cawang, Kampung Cipayung-Kebayoran, Pondok Pinang�Kebayoran, Kebon Pala-Jatinegara, Kebon Nanas, Rawa Belong-Kebayoran,
Rawa Lele, Kampung Kelapa Dua, dan beberapa tempat lainnya.
Karena banyaknya alat-alat yang ditemukan dengan sejumlah pecahan
tem bikar dan batu asahan serta letaknya yang berada di pinggir Sungai
Ciliwung, memungkinkan adanya pemukiman masyarakat pada masa itu,
antara lain di Kelapa Dua. Artefak-artefak tersebut merupakan hasil eks�kavasi arkeologis tahun 1971. Sejak masa itu, masyarakatnya sudah me�nge nal tempat tinggal yang tetap dan sudah mempunyai pengetahuan
mem bangun perumahan, mengenal bercocok tanam di tanah darat, sudah
me ngenal organisasi sosial dengan pemimpin sukunya yang dipilih anggota�ang gota masyarakatnya, sudah mengenal perdagangan meski cara barter,
me ngenal pelayaran, ilmu perbintangan, mengenal pembuatan pakaian, me�masak makanan dengan cara dibakar dan direbus, dan mengenal ilmu per�bintangan.
Pendeknya, sebelum kehadiran orang-orang India, masyarakat pada masa
itu sudah berkebudayaan tinggi. Hal ini pernah dikemukakan oleh beberapa
peneliti asing seperti J .L.A. Brandes yang terkenal dengan teori “sepuluh
pe ngetahuan” yang dikenal masyarakat Indonesia sebelum kehadiran orang �India, N.J. Krom, F.D.K. Bosch, dan lainnya (Brandes, 1887: 122-129; N.J.
Krom, 1923: 44-45; F.D.K. Bosch, 1952: 8).
Berdasarkan banyaknya situs temuan, jelas bahwa daerah Jakarta sejak
masa prasejarah sudah pernah ditempati atau sekurang-kurangnya telah
dijelajahi komunitas masyarakat dalam mencari penghidupannya. Meskipun
kita tidak mengetahui kependudukan waktu itu, ada pendapat bahwa pada
Zaman Masyarakat Bercocok Tanam atau Batu Baru, diperkirakan berjumlah
dua keluarga per kilometer persegi (R.P. Soejono, 1984: 169). Masyarakat
masa itu biasanya dikaitkan dengan nenek moyang bangsa Indonesia yang
disebut jenis bangsa Austronesia yang semula menempati daerah dataran
Asia Tenggara antara Yunan dan Tonkin (Robert von Heine Geldern, 1930:
364; H. Kern, 1889: 270-287).
Ditemukannya berbagai peralatan dari masa berikutnya, yaitu masa
Kebudayaan Logam yang disebut perundagian (lebih kurang sejak 500
SM), di beberapa tempat di wilayah Jakarta yang membuat alat dari logam
perunggu dan besi, memberi bukti adanya kesinambungan masyarakat dengan
kebudayaan. Paling tidak, masyarakatnya telah mengenal unsur-unsur universal
kebudayaan sebagaimana lazim dimiliki suatu kelompok, apakah itu clan atau
suku masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 202-208). Benda-benda atau artefak
dari perunggu-besi itu antara lain berupa kapak sepatu atau corong, tombak,
bekas coran besi dan sisa-sisa besi. Alat-alat itu ditemukan di situs Kelapa
Dua, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Pasar Minggu, dan Jatinegara. Dengan
temuan alat-alat tersebut, jelas dalam ke hidup an masyarakat sudah muncul
dan berkembang pengetahuan logam dan teknologi pembuatan alat-alat dari
logam dengan cara pengecoran da lam cetakan (bivalve) atau mungkin dengan
teknik pelelehan lilin (ā cire perdue).
Selain itu, dengan munculnya pengetahuan logam atau metalurgi,
mun cul pula golongan masyarakat tertentu yang mungkin dapat disebut
golongan tukang atau pandai besi, pedagang, pembuat gerabah, dan lainnya,
yang membentuk lapisan kependudukan berdasarkan kekayaan. Kehidupan
masyarakat di daerah Jakarta sejak masa itu makin berkembang dan sejak
abad-abad pertama mulai berhubungan dengan orang India. Sehingga,
terjadi proses akulturasi di antara kedua kebudayaan itu yang berakibat
pada munculnya kebudayaan yang bercorak Indonesia Hindu-Buddha dengan
Kerajaan Taruma sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa.
Kehidupan Masyarakat Masa Kerajaan Taruma
Sejak abad-abad pertama Masehi telah terjadi pelayaran dan perdagangan
internasional melalui Selat Malaka, di mana orang-orang India dan orang�orang dari kepulauan Indonesia mulai berkenalan melalui perdagangan dan
penyampaian agama Hindu oleh kaum Brahmana (F.D.K. Bosch, 1946). �Dengan kontak masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jakarta, lambat
laun proses akulturasi itu memunculkan pemerintahan yang berbentuk
kerajaan yang sejak pertengahan abad ke-5 dikenal sebagai Kerajaan Taruma
dengan penguasa bernama Maharaja Purnawarman.
Nama kerajaan dan nama rajanya dapat diketahui dari sumber primer,
yaitu prasasti yang berjumlah tujuh buah. Ketujuh prasasti tersebut adalah
Prasasti Tugu (Jakarta Utara), Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor), Prasasti
Kebon Kopi (Ciampea, Bogor), Prasasti Jambu (Bogor), Prasasti Pasir Angin
(Bogor), Prasasti Muara Cianten (Ciampea, Bogor, belum dapat dibaca),
dan Prasasti Munjul (Cidangiang Lebak, Banten). Prasasti-prasasti tersebut
bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Bukan berdasarkan
angka tahun, tetapi berdasarkan palaegrai, para ahli memperkirakan prasasti
tersebut berasal dari pertengahan abad ke-5 M dan merupakan prasasti tertua
di Pulau Jawa (J.Ph Vogel, 1945: 15-35).
Di India, penggunaan huruf Pallawa itu ditemukan pada masa Dinasti
Pallawa, sebuah kerajaan yang berkembang di India bagian selatan. Bahasa
yang dipergunakan adalah Sanskerta dalam bentuk syair. Bahasa Sanskerta
di India biasanya hanya dikenal oleh kaum Brahmana atau kaum pendeta
agama Hindu yang mahir membaca kitab-kitab Veda. Selain itu, dalam
Prasasti Tugu, disebutkan bahwa para Brahmanalah yang memimpin upacara
keagamaan Hindu bagi Kerajaan Taruma. Berdasarkan prasasti-prasasti yang
telah diteliti dan dibaca oleh para ahli epigraf Belanda dan ahli Indonesia,
yaitu R.M.Ng. Poerbatjaraka (Poerbatjaraka, 1952), maka dapat disimpulkan
arti penting prasasti tersebut sebagai berikut:
Pertam a, sejak pertengahan abad ke-5 M masyarakat di daerah Jakarta
dan sekitarnya, lebih khusus di lingkungan kerajaan, telah mengenal agama
Hindu dan bentuk Kerajaan Indonesia Hindu dengan Maharaja Purnawarman
yang memerintah Kerajaan Taruma yang meliputi daerah J akarta, Bekasi,
Citarum, Bogor, dan Banten.
Kedua, dalam Prasasti Tugu disebutkan bahwa Maharaja Purnawarman
telah menggali Sungai Candrabhaga yang mengalirkan airnya ke laut setelah
sampai di istana kerajaan yang termasyur. Pada pemerintahan tahun ke-
22 masa pemerintahannya, Maharaja Purnawarman memerintahkan lagi
menggali Sungai Gomati yang permai dan jernih setelah mengalir di tengah�tengah tanah kediaman yang mulia sang Pendeta Nenekda. Penggalian sungai
itu dimulai tanggal 8 Paro Petang bulan Phalguna dan berakhir tanggal 13
Paro Terang bulan Caitra. Jadi, berlangsung dalam 21 hari dengan panjang
Gomati 6122 tombak. Selamatan untuk penggalian itu dilakukan oleh para
Brahmana dan dihadiahkan 1.000 ekor sapi.
Ketiga, agama yang dianut maharaja dan masyarakat, terutama di pusat
ke rajaan, adalah agama Hindu. Lebih khusus lagi, rupa-rupanya Maharaja �Purnawarman merupakan penganut Dewa Wisnu, karena pada baris keempat
Prasasti Ciaruteun, dikatakan bahwa sepasang kaki yang dipahatkan dan
dihubungkan kedua jari kakinya oleh laba-laba diibaratkan sepasang kaki
Dewa Wisnu. Keem pat, dalam prasasti-prasasti pada masa Maharaja
Purnawarman, terdapat tulisan yang mengandung gambaran kekuasaan dan
penaklukan Purnawarman terhadap kerajaan-kerajaan lainnya.
Kelim a, upaya penggalian Sungai Candrabhaga dan Gomati merupakan
upaya Maharaja Purnawarman yang mungkin bertujuan mengurangi banjir di
musim hujan karena dikerjakan pada bulan-bulan Phalguna dan Caitra yang
bersamaan dengan bulan Februari sampai April, yang secara teoritis biasanya
merupakan bulan-bulan di mana musim hujan mulai reda.
Keenam , karena disebut-sebut tentang istana, maka ibu kota Kerajaan
Taruma mungkin terletak di daerah Jakarta. Sebuah pendapat mengatakan,
mungkin terletak di daerah Cakung (Noorduyn & Verstappen, 1972). Ada
pula yang mengira di sekitar Kali Bekasi (Poerbatjaraka). Upaya penelitian
arkelogis bekas kota itu sampai kini belum ditemukan.
Ketujuh, adanya Kerajaan Taruma yang bercorak Hinduistis, di mana
agama Buddha masih sangat terbatas seperti diberitakan Fa Hien tahun 414
M, di mana kehidupan masyarakatnya makin berkembang dalam berbagai
aspek dan mulai mengenal tulisan Pallawa serta mengenal bahasa Sanskerta.
Dengan adanya hubungan antara penduduk setempat dengan bangsa India
dan Tionghoa, berarti telah ada hubungan perdagangan yang bersifat
internasional (J.C. van Leur, 1955: 80-89).
Bagaimana perkembangan Kerajaan Taruma selanjutnya tidak dapat
diketahui dengan pasti. Karena berdasarkan pendapat beberapa ahli, mungkin
pada akhir abad ke-7 M kerajaan itu sudah lenyap. Apakah penyebabnya
akibat penaklukan Sriwijaya atau karena sebab lainnya, tidak begitu jelas.
Masih banyak pertanyaan lain yang sejatinya dapat dimunculkan: apakah
ada kaitannya dengan peninggalan arkeologis di Cibuaya terlebih di Batujaya?
Bagaimana hubungannya dengan Prasasti Simangambat dari pertengahan abad
ke-9 M dan Kerajaan Sunda dengan raja yang bernama Sri Jayabhupati se�bagaimana disebut dalam Prasasti Citatih dari tahun 1030 M? Bagaimana kait�an nya dengan Kerajaan Galuh di daerah Priangan Timur dari abad ke-8 M?
Ja wabannya belum dapat dipastikan dan masih perlu penelitian lebih jauh. Dari
semua pertanyaan itu, bagaimana hubungan dengan keberadaan ma sya ra kat di
Jakarta, masih perlu jawaban yang dihasilkan dari penelitian yang akurat.
Kehidupan Masyarakat Kota Pelabuhan Kalapa
Berdasarkan data arkeologis, data historis, dan berita-berita asing pada masa
pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran, Kalapa sudah merupakan kota
pelabuhan yang terpenting sebagaimana diberitakan Tome Pires (1512-1515). � Waktu itu Kerajaan Sunda memiliki enam kota pelabuhan: Banten, Pontang,
Cigeude, Tangerang, Kalapa, dan Cimanuk. Sebenarnya sebelum Tome
Pires datang, Cirebon termasuk kota pelabuhan Kerajaan Sunda (Armando
Cortesao, 1944/ 1967: 166, 183). Meskipun Kerajaan Sunda Pajajaran pusatnya
terletak di daerah pedalaman, namun kerajaan itu mempunyai fungsi sebagai
negara-kota (city-state) yang di antaranya melakukan kegiatan perdagangan
yang bersifat regional dan internasional (Peter J.M. Nas, 1986: 18-36; Uka
Tjandrasasmita, 1998).
Diberitakan Tome Pires bahwa Kalapa adalah kota pelabuhan terpenting.
Dari Kerajaan Sunda, diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari
berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan. Peranan Ciliwung sebagai
sungai yang menghubungkan Bogor dengan pusat kota Kerajaan Sunda, amat
penting. Demikian pula Cisadane yang mengubungkan daerah pedalaman
Bogor dengan Pelabuhan Tangerang yang dengan mudah menuju pelabuhan
Kalapa. Pun, Citarum dapat membawa barang dagangan sampai di muara,
sehingga mudah menghubungi Pelabuhan Kalapa.
Komoditas perdagangan yang diekspor adalah lada, beras, asam, sayur�sayuran, daging dan ternak seperti sapi, kambing, babi, domba, dan buah�buahan. Hasil-hasil bumi itu diekspor ke Malaka, Maladewa, dan negeri
lainnya. Hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara,
juga dilakukan. Hasil-hasil bumi yang diperdagangkan diambil dari daerah
pedalaman sebagai hasil para petani atau peternak. Gambaran itu didapatkan
dari cerita dalam naskah Sunda, Sanghyang Siksakandang Karesian (sekitar
tahun 1518 M) (Atja dan Saleh Danasasmita, 1981).
Kalapa sebagai kota pelabuhan bukan hanya mengekspor komoditas hasil
bumi masyarakat Kerajaan Sunda, tetapi juga tempat mengimpor komoditas
yang penting bagi kebutuhan masyarakatnya. Komoditas yang diimpor
bermacam-macam, misalnya belacu, pakaian dari Cambay dan Keling, dan
keramik. Hubungan perdagangan yang bersifat internasional dan regional itu
menyebabkan Kota Pelabuhan Kalapa menjadi ramai dikunjungi orang-orang
India, Tionghoa, Melayu, dan orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia
seperti orang-orang Maluku dan lainnya.
Selain barter, sistem perdagangan mungkin juga sudah menggunakan
uang. Diberitakan oleh Tome Pires bahwa cash, adalah jenis mata uang
Tionghoa yang dipakai sebagai alat penukar. Mata uang tersebut bentuknya
kecil-kecil dan mempunyai lubang. Beratus-ratus cash itu diikat oleh benang
seperti halnya mata uang yang disebut ceiti. Mata uang Tionghoa cash yang
bernilai 1.000 sama nilainya dengan dua puluh lima calais mata uang Malaka.
Mata uang tum daya yang dibuat orang pribumi dari emas yang beratnya
de lapan m ate, sama dengan dua belas ribu cash atau sembilan crusado
(Portugis) (Armando Cortesao, 1944: 181). �Kota Pelabuhan Kalapa yang dikunjungi para pedagang dari dalam
dan luar Indonesia, menambah keramaian. Dengan kondisi demikian, perlu
ada aturan yang memadai dan penanganan dari para pemimpinnya. Oleh
karenanya, kota pelabuhan yang amat penting itu, menurut berita Tome
Pires, dipimpin oleh paybu (prabu), atau pate (adipati). Pusat kerajaan
dipimpin oleh raja yang disebut sam bariang dengan wakil coconum , setelah
itu m akubum y. Yang dimaksud dengan nama-nama jabatan itu ialah mung�kin Sang Hyang, Prabu Anom, dan Mangkubumi. Oleh Tome Pires, jabatan
Mangkubumi disamakan dengan bendahara sebagai suatu jabatan yang dikenal
di Malaka. Di Kerajaan Malaka, jabatan bendahara bertugas menghubungkan
para pedagang asing dengan raja atau sultan (Leirissa, 1973: 20).
Mengenai jabatan di kota Pelabuhan Kalapa, didapatkan dari berita
De Barros yang menceritakan hubungan antara Portugis di Malaka dengan
Kerajaan Sunda pada 21 Agustus 1522. Ketika itu, Henrique Leme mewakili
J orge d’Albuquerque dalam suatu perundingan dengan Ratu Samiam
(Ratu Sanghyang) yang waktu itu sudah menjadi Raja Sunda Pajajaran.
Raja didampingi oleh Mandar Tadam (Mantri Dalem), Tum ango Sangue
de Pate (Tumenggung Sang Adipati) dan Bengar Xabandar (Syahbandar).
Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Samiam atau Sanghyang ialah
Ratu Surawisesa. Sebelum menjadi Raja Pakuan, sebagai putra mahkota, ia
ditempatkan sebagai penguasa Kota Pelabuhan Kalapa. Ia pernah diperintah
ayahnya, Sang Ratu Jaya Dewata, Raja di Pakuan, menjadi utusan ke Malaka
tahun 1512 untuk minta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque (Bambang
Soemadio, 1984: 373-374; Atja, 1968).
Jumlah penduduk Kota Pelabuhan Kalapa tidak dapat diketahui dengan
pasti. De Barros memperkirakan penduduk Kerajaan Sunda berjumlah sekitar
100.000 orang. Sementara di lima kota pelabuhan, lebih kurang 50.000
orang (Leirissa, 1973: 21; Uka Tjandrasasmita, 1997/ 1998: 25). Mengingat
Kota Pelabuhan Kalapa merupakan pelabuhan terpenting dan terbesar, maka
dari perkiraan itu, mungkin penduduk Kalapa berjumlah sekitar 15.000
orang. Dari jumlah tersebut, penduduk Kota Pelabuhan banyak bergiat se�bagai pedagang. Sedangkan di daerah pedalaman, sebagaimana diketahui
dari naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, kebanyakan penduduk
ber aktivitas sebagai petani, peternak, pencari ikan, dan lainnya. Pertanian di
dae rah Kerajaan Sunda Pajajaran pada umumnya masih mengerjakan huma
atau ladang.
Mengenai kehidupan budaya dan keagaman, berdasarkan naskah
Sanghyang Siksakandang Karesian, masyarakat Kerajaan Sunda Pajajaran
sudah mengenal kesenian seperti tukang banyol, tukang ngam en, gamelan,
wayang, penyanyi, dan lain-lain. Agama yang dipeluk adalah Hindu yang ter�kadang bercampur dengan agama Buddha, di samping ada unsur keagamaan �setempat, yaitu Sunda Wiwitan yang bercorak animisme dan dinamisme. Ke�agamaan waktu itu bukan hanya diketahui dari naskah-naskah Sunda kuno,
tetapi juga dari apa yang tertulis dalam Prasasti Batu Tulis di Bogor, dari
lempengan tembaga dari Kebantenan (Hasan Djafar, 1993: 197-199, 202-206)
dan juga dari berita asing, seperti berita Tome Pires, yang memberikan gam�baran tentang keagamaan yang dianut oleh raja dan masyarakatnya. Demikian
juga dengan kehidupan keagamaan yang dianut oleh para penduduk Kota Pe�labuhan Sunda Kelapa.
Kondisi sosial politik menjelang tahun 1527 M mengalami perubahan
karena adanya perluasan Kesultanan Demak, di mana Cirebon yang semula
men jadi daerah Kerajaan Sunda, ketika kehadiran Tome Pires (1513), menjadi
masuk ke Jawa. Dengan demikian, sudah tentu Cirebon juga mendapat penga�ruh politik Demak. Bahkan sebelum tahun 1527, Cirebon sudah menyiapkan
pengi riman tentaranya untuk menyerang Kalapa yang sudah bersahabat
dengan Portugis.
Kehidupan Masyarakat Jayakarta
Kerajaan Sunda Pajajaran yang ibu kotanya – sebagaimana dikatakan Tome
Pires dan De Barros – diperkirakan di Bogor dengan Kalapa sebagai pelabuhan
utamanya, masih meneruskan hubungan dengan Portugis melalui perjanjian
1522 yang bersifat ekonomi dan politik. Perjanjian ini diketahui oleh Kerajaan
Islam Demak dan dianggap membahayakan kedudukan Kerajaan Demak
yang sedang meluaskan kekuasaanya baik ke arah timur maupun ke arah
barat Pulau J awa. Situasi dan kondisi politik tersebut menggugah ingatan
kita pada kekalahan Demak tahun 1513 sewaktu gagal menyerang kedudukan
Portugis di Malaka.
Dengan kondisi demikian, kedatangan seorang yang berasal dari Pasai
ber nama Fadhillah, sangatlah menguntungkan Demak. Fadhillah kemudian
diangkat sebagai menantu dan dijadikan panglima untuk menyerang Sunda�Kelapa. Ketika singgah di Cirebon, Panglima Fadhillah disertai prajurit ga�bungan dari Demak dan Cirebon. Ini karena Fadhillah juga merupakan
me nantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan dorongan se�mangat dari tentara gabungan Demak dan Cirebon, berangkatlah ia menuju
medan perang (Atja: 56-57).
Tetapi mereka terlebih dahulu menuju Banten untuk mendapatkan ban�tuan dari Maulana Hasanudin yang sejak tahun 1526 sudah menguasai daerah
Banten. Dari sana, mereka menuju Kalapa dan melancarkan serangan dari
arah barat yang pada tanggal 22 Juni 1527 M (berdasarkan Sukanuto yang
disahkan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai hari jadinya Jakarta) berhasil me�ngenyahkan orang-orang Portugis yang berada di bawah pimpinan Francisco
de Sa. Sejak saat itu (22 J uni 1527), Kalapa diganti namanya menjadi �Jayakarta yang artinya telah “Membuat Kemenangan“ dan terinspirasi ayat
al-Quran: “Sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan sempurna”,
yang artinya sama dengan Jayakarta (Hoesein Djajadiningrat, 1956).
Penyerangan Kota Pelabuhan Kalapa terdapat dalam berita Portugis
dan dalam Carita Purw aka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon
(1720 M). Terdapat perbedaan penyebutan nama pemimpin penyerangan
ke Kalapa. Berita Portugis menyebut Faletehan, sedangkan berita Carita
Purw aka Caruban Nagari menyebut Fadhillah atau Fadhillah Khan yang
lebih sesuai dengan sebutan Fatahillah. Sementara itu, Hoesein Djajadiningrat
dalam karyanyanya Critische Beschouw ing van den Sejarah Banten (Diss.
1913) sampai karya “Hari Lahirnya J ayakarta” (1956), masih berpendapat
bahwa Faletehan (berita Portugis) sama dengan Sunan Gunung J ati atau
Syarif Hidayatullah. Tetapi dengan ditemukannya Carita Purw aka Caruban
Nagari karya Pangeran Arya Cirebon 1720 M pada tahun 1970 itu, saya
berkesimpulan bahwa yang disebut Faletehan ialah Fadhillah Khan.
Sejak J ayakarta di bawah Fadhillah dan pemerintahannya bercorak
Islam, kehidupan masyarakatnya mulai mengalami perubahan suasana ke�agamaan dari Hindu ke Islam. Antara Jayakarta dengan Banten diikat hu�bungan keluarga. J ayakarta dianggap bagian dari Kesultanan Banten. Hal
ini terjadi terutama sejak hubungan perkawinan antara putri Maulana
Hasanudin dengan Tubagus Angke dan juga perkawinan antara putri Sultan
Abuma’ali Ahmad dengan Pangeran Wijayakrama, Bupati J ayakarta (Uka
Tjandrasasmita, 1967).
Pada masa pemerintahan Tubagus Angke, Jayakarta (berita Belanda me�nyebutnya Jaccatra dan penguasanya disebut Koninck van Jaccatra) mulai
didatangi orang-orang Belanda yang pertama kali datang di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman sekitar 13 November 1596, seperti diberitakan De Eerste
Schipyaart der Nederlanders Naar Oos-Indie Onder Cornelis de Houtm an,
1595-1597 (Rouffer & Ijzerman, 1915: 104). Dalam berita ini disebutkan
bahwa Tubagus Angke sudah tua. Ketika ia diganti putranya, Pangeran
Wijaya, J ayakarta mulai menghadapi VOC dan mengadakan perjanjian
dengan Gubernur Jenderal Pieter Both melalui Jaques Hermite pada 10-13
November 1610 M (Uka Tjandrasasmita, 1977: 17).
Tetapi ketika menghadapi VOC di bawah Jan Pieterzoon Coen, dengan
keras Pangeran Jakarta Wijayakrama melarang VOC mendirikan benteng.
Akibat nya, terjadi peperangan setelah J.P. Coen kembali dari Ambon. Dalam
pe perangan yang terjadi pada tanggal 30 Mei 1619 itu, Jayakarta dapat di�taklukkan VOC. Tetapi jauh hari sebelumnya, Pangeran Wijayakrama sudah di�ambil oleh Mangkubumi Banten melalui Pontang (Ijzerman, 1917: 558-679).
Pada waktu serangan VOC, sebagian orang-orang Jayakarta mundur ke
dae rah Pulo Gadung, kini daerah Jatinegara Kaum. Di tempat inilah terdapat �makam para pangeran keturunan Pangeran Wijayakrama. Sedangkan makam
Pangeran Wijayakrama sendiri ada di Kampung Katengahan Banten (Uka
Tjandrasasmita, 1970). Setelah berhasil direbut VOC, nama Jayakarta diganti
menjadi Batavia oleh J.P. Coen.
Demikianlah terjadinya pergeseran politik pada masa Jayakarta dan ba�gai mana kehidupan masyarakat di wilayah Jakarta waktu itu yang dapat di�ketahui dari babad dan berita asing. Dari Sejarah Banten, Carita Purw aka
Caruban Nagari, dan berita asing, diketahui nama Fadhillah, Tubagus Angke,
dan Pangeran Wijayakrama.
Tempat kediaman Tubagus Angke mungkin ada kaitannya dengan
nama Kampung Angke sekarang. Tetapi pada masa pemerintahan Pangeran
Wijayakrama, pembangunan keraton dengan lingkungan masjid, alun-alun,
dan penempatan para pejabatnya, seperti terdapat dalam sketsa, menunjukkan
denah kota yang menyerupai pola kota-kota Muslim, terutama Kerajaan
Islam di Jawa: keraton di bagian selatan, alun-alun masjid di bagian barat,
pasar di bagian timur-laut atau utara (Uka Tjandrasmita, 200: 45-47; J.R.
van Diessen, 1989: 16).
Kehidupan keagamaan Islam makin berkembang. Perdagangan regional
dan internasional juga makin berkembang, terlebih setelah adanya hubungan
dagang dengan orang-orang dari Arab, Persia, Turki, Mesir, dan negeri�negeri lainnya di Timur Tengah. Hubungan perdagangan juga terjadi dengan
orang-orang Barat, Jepang, Tionghoa, dan lainnya. Para pedagang asing itu
menempati perkampungan tersendiri di Pecinan, Pakojan, Bali, Bandan, dan
lainnya.
Jumlah populasi Jayakarta makin banyak. Mereka terdiri dari berbagai
etnis: Sunda, J awa, Bali, Ambon, Banda, Banjar, Bugis, dan lainnya. Dan,
karena adanya hubungan dengan para pedagang dari Tiongkok, Belanda,
Inggris, Jepang, Turki, Iran, Arab, Abessinia, India, Portugis, dan lain-lain,
maka sejak saat itu, Jayakarta menjadi kota yang bersifat internasional.
Bahasa untuk komunikasi, yaitu bahasa Melayu, sudah dipergunakan.
Bahkan ketika memarahi orang-orang Belanda, di antaranya Pieter van de
Broek, penguasa dari benteng VOC, Pangeran Wijayakrama menggunakan
bahasa Melayu: “Orang ollanda pitsiara keras, condati dialo m au berkeji
juga, m au m ufakat m ufakat lagi,” demikian bunyi bait bahasa Melayu dalam
perjanjian antara VOC dengan Pangeran Wijayakrama tahun 1610 Bahasa Melayu itu juga dipakai di
samping bahasa Belanda, dan waktu itu masih menimbulkan perbedaan
penafsiran (J.R. van Diessen, 1989: 22).
Lapisan penduduk Jayakarta ialah orang Sunda bercampur dengan orang
J awa. Terutama sejak adanya hubungan antara Cirebon, Demak, Banten,
dan kota J ayakarta. Terdapat juga orang-orang dari berbagai pulau serta�kelompok pedagang dari negeri-negeri di Asia Tenggara-Melayu: Patani�Thailand, Birma, Kamboja; dan dari Timur Tengah seperti Arab, Persia,
Turki, Irak, Mesir, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan Portugis.
Pendeknya, sejak abad ke-16 hingga 17 M, J akarta sudah cukup ber�kembang sebagai kota dan pelabuhan ditinjau dari segi demograi dan juga
dari segi kegiatan dalam bidang politik, perekonomian dan perdagangan, ke�agamaan dan kebudayaan.
Penduduk yang terdiri dari berbagai etnis dalam sebuah kota yang ber�sifat internasional itu memerlukan bahasa komunikasi, yaitu Melayu. Seperti
telah dikemukakan bahwa ketika pemimpin J ayakarta, yaitu Pangeran
Wijayakrama, marah kepada Pieter van den Broek, ia telah menggunakan
ba hasa Melayu. Apakah bahasa Melayu itu dalam bentuk bahasa Melayu
Betawi atau bukan, dibutuhkan penelitian segera, terutama oleh ahli di
bidang linguistik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, letak
geograis daerah Jakarta yang strategis dengan ekologis yang subur serta
memiliki Muara Ciliwung yang berfungsi sebagai pelabuhan penting, sangat
sesuai dengan daya tarik masyarakat yang berkembang dari masa ke masa
untuk mencari kehidupan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan.
Kedua, kehidupan masyarakat dengan berbagai aspeknya di mulai
dari suatu pemukiman sampai kehidupan perkotaan dari masa prasejarah,
masa Indonesia Hindu-Buddha dengan Kerajaan Taruma, Sunda Pajajaran,
J ayakarta, sampai terbentuknya Batavia, dapat digambarkan peninggalan
arkeologisnya berdasarkan berbagai sumber, baik lokal maupun asing.
Ketiga, penduduk utama masa Pelabuhan Sunda Kelapa, ialah suku
Sunda. Tetapi sejak Kalapa menjadi Jayakarta, penduduknya bercampur de�ngan suku Jawa, terutama sejak dibawa Fadhillah dalam penaklukan Sunda�Kalapa dari Demak dan Cirebon. Dalam perkembangan selanjutnya, Jakarta
didatangi orang-orang dari berbagai suku lainnya di Nusantara, seperti Bali,
Banda, Ambon, Ternate, Tidore, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan,
bahkan Sumatera.
Keem pat, setelah Jayakarta menjadi Batavia karena banyak menghadapi
ke lompok dari berbagai daerah dan bangsa, mereka membutuhkan eksis�tensinya sebagai orang Betawi yang mungkin asalnya dari sebutan Batavia
sejak abad ke-17 M, yang bagi masyarakat umum, terutama di Jakarta dan
se ki tarnya, menyebut Batavia dengan sebutan Betawi. Sebelum disebut
Batavia, orang Belanda pada masa kedatangan pertamanya – masa Tubagus
Angke dan Pangeran Wijayakrama – masih menyebut dengan sebutan Conick �van Jaccatra. Yang jelas, pada zaman Hidia-Belanda, sebutan Betawi makin
di kenal dengan adanya Kota Betawi, orang Betawi, dan bahasa Betawi.
Di bidang politik, pada masa Hindia-Belanda, Mohammad Husni Tamrin
(Tamrin, 1996) menyatakan dirinya sebagai rakyat Betawi, melalui pidatonya
dalam Gem eenteraad, 29 oktober 1919, yang diucapkan kepada Van der Zee:
“Toean kepala, saja doedoek dalam kota boekan sebagai w akil dari K.P.M
tetapi sebagai w akil ra’jat Betaw i, m aka toean djangan loepa bahw a saja
bagian dari ra’jat itu”
Langganan:
Postingan
(
Atom
)