Home » All posts
Alam semesta adalah fana. Ada penciptaan, proses dari ketia-daan menjadi ada, dan
akhirnya hancur. Di antaranya ada pen-ciptaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di sana
berlang-sung pula ribuan, bahkan jutaan proses fisika, kimia, biologi dan proses-proses lain
yang tak diketahui.
Dalam buku Penciptaan Alam Raya karya Harun Yahya ini penulis memperkokoh
keyakinan akan terintegrasinya pemahaman Islam dan pemahaman manusia (ilmuwan)
tentang asal muasal alam semesta. Adapun pertemuan pemahaman ayat Al Quran dan sains
astronomi adalah bahwa alam semesta ini berawal dan berakhir; dan Al Quran lebih jauh
memberi petunjuk bahwa alam semesta mempunyai Dzat Pencipta (Rabbul alamin).
Fenomena ini diharapkan menjadi pembuka jalan dan pemicu integrasi Islam dalam
kehidupan manusia.
Dimulai dari planet Bumi: sebuah wahana yang ditumpangi oleh ber-miliar manusia.
Kecerdasan spiritual manusialah yang akan memberi makna perjalanan di alam semesta ini;
perjalanan antargenerasi selama bermiliar tahun tanpa tujuan akhir yang diketahui pasti,
yang gratis dan tak berujung, hingga waktu kehancurannya tiba.
Namun Bumi masih terlalu kecil dibandingkan Matahari, sebuah bola gas pijar
raksasa, lebih dari 1.250.000 kali ukuran Bumi dan bermassa 100.000 kali lebih besar. Bumi
yang tak berdaya, tertambat oleh gravitasi, terseret Matahari mengelilingi pusat Galaksi
lebih dari 200 juta tahun untuk sekali edar penuh. (Lalu apa rencana secercah kehidupan
kita dalam pengembaraan panjang ini? Sangat sayang bila kita tidak sempat melihat kosmos
hari ini. Sangat sayang kita tidak berencana sujud dan berserah kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.)
Pengiring Matahari lainnya adalah planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus,
Uranus, Neptunus, Pluto, asteroid, komet dan sebagai-nya. Ragam wahana dalam tata surya
itu berupa sosok bola gas, bola beku, karang tandus yang sangat panas; semuanya tak
terpilih seperti planet Bumi. (Lalu, mengapa wahana yang tersebar di alam semesta yang
sangat luas itu tak semuanya mudah atau layak dihuni oleh kehidupan?)
Putaran demi putaran waktu berlalu, kehancuran wahana bermiliar manusia akan
menghampiri perlahan tapi pasti. Namun, berbagai perta-nyaan manusia tentang misteri
alam semesta masih belum atau tak ber-jawab. Berbagai upaya rasionalitas manusia telah
dikerahkan dan penge-tahuan bertambah, namun misteri alam semesta itu terus menjadi
warisan bagi generasi berikutnya.
Penjelajahan akal manusia mendapatkan fakta-fakta penyusun alam semesta, mulai
dari dunia atom, planet, tata surya, hingga galaksi dan ruang alam semesta yang berbatas
galaksi-galaksi muda. Dengan itu, pengetahuan manusia merentang dalam dimensi panjang
10-13 hingga 1026 meter, yang merupakan batas fakta-fakta yang dapat diperoleh dalam
dunia sains. Pada abad ke-21 manusia masih berambisi untuk menyelami dunia 10-35 meter
(skala panjang Planck) atau 10-20 kali lebih kecil dari pe-nemuan skala atom pada dekade
pertama abad ke-20. Begitu pula dimen-si lainnya seperti waktu, energi, massa, rentangnya
meluas dari yang le-bih kecil dan lebih besar.
Tentang rentang waktu alam semesta, manusia mendefinisikan berba-gai zaman (dan
zaman transisi di antaranya): Zaman Primordial, ketika usia alam semesta antara 10-50
hingga 105 tahun, Zaman Bintang, (106 - 1014 tahun), Zaman Materi Terdegenerasi, (1015
- 1039 tahun), Zaman Black Hole, (1040 - 10100tahun), Zaman Gelap ketika alam semesta
menghampiri kehan-curannya (10101 - 10??? tahun) dan Zaman Kehancuran Alam Semesta
(10200???? tahun), ketika materi meluruh. Tanpa fakta-fakta dan ilmu yang diketahui
manusia (atas izin Allah), akhirnya manusia hanya bisa berspekulasi dan tak bisa
mendefenisikan berbagai keadaan, misalnya sebelum kelahiran alam semesta dan setelah
kehancuran.
Penjelajahan akal manusia bisa menggapai penaksiran hal-hal berikut: jumlah partikel
(di Matahari 1060 atau di Bumi 1050), energi ikat (antara Bumi dan Matahari sebesar 1033
Joule), energi radiasi matahari sebesar 1026 watt, energi Matahari yang diterima Bumi
sebesar 1022 Joule, energi yang diperlukan manusia per tahun sebesar 1020 Joule, energi
penggabungan inti atom, fissi 1 mol Uranium sebesar 1013 Joule, energi yang dihasilkan 1
kg bensin sebesar 108 Joule. Sebuah anugerah yang besar bagi manusia, walaupun melalui
proses yang panjang.
Deskripsi dan Model Alam Semesta
Kesan umum luas dan megahnya alam semesta diperoleh penghuni Bumi dengan
memandang langit malam yang cerah tanpa cahaya Bulan. Langit tampak penuh taburan
bintang yang seolah tak terhitung jumlah-nya. Struktur dan luas alam semesta sangat sukar
dibayangkan manusia, dan progres persepsi dan rasionalitas manusia tentang itu
memerlukan waktu berabad-abad.
Deskripsi pemandangan alam semesta pun beragam. Dulu alam se-mesta dimodelkan
sebagai ruang berukuran jauh lebih kecil dari realitas seharusnya. Ukuran diameter Bumi
(12.500 km) baru diketahui pada abad ke- 3 (oleh Eratosthenes), jarak ke Bulan (384.400
km) abad ke-16 ( Tycho Brahe, 1588), jarak ke Matahari (sekitar 150 juta km) abad ke-17
(Cassini, 1672), jarak bintang 61 Cygni abad ke-19 , jarak ke pusat Galaksi abad ke-20
(Shapley, 1918), jarak ke galaksi-luar (1929), Quasar dan Big Bang (1965). Perjalanan
panjang ini terus berlanjut antargenerasi.
Benda langit yang terdekat dengan bumi adalah bulan. Gaya gravitasi bulan
menggerakkan pasang surut air laut di bumi, tak henti-hentinya selama bermiliar tahun.
Karena periode orbit dan rotasi Bulan sama, manusia di Bumi tak pernah bisa melihat salah
satu sisi permukaan Bulan tanpa bantuan teknologi untuk mengorbit Bulan. Rahasia sisi
Bulan lainnya, baru didapat dengan penerbangan Luna 3 pada tahun 1959.
Pada siang hari, pemandangan langit sebatas langit biru dan matahari atau bulan
kesiangan; sedang di saat fajar dan senja, langit merah di kaki langit timur dan barat.
Interaksi cahaya matahari dengan angkasa Bumi melukiskan suasana langit yang berwarna
warni.
Matahari sendiri adalah satu di antara beragam bintang di Galaksi. Ada bintang yang
lebih panas dari Matahari (suhu permukaan Matahari 5.800o K), seperti bintang panas (bisa
mencapai 50.000oK) yang memancarkan lebih banyak cahaya ultraviolet—cahaya yang
berbahaya bagi kehidupan. Ada bintang yang lebih dingin, lebih banyak memancar-kan
cahaya merah dan inframerah dibandingkan cahaya tampak yang banyak dipergunakan
manusia.
Manusia bisa mencapai batas-batas pengetahuan alam semesta yang luas, mengenal
ciptaan Allah yang tidak pernah dikenali di muka bumi seperti Black Hole, bintang Netron,
Pulsar, bintang mati, ledakan bintang Nova atau Supernova, ledakan inti galaksi dan
sebagainya. Akan tetapi, berbagai fenomena yang sangat dahsyat itu tak mungkin
didekatkan dengan mahluk hidup yang rentan terhadap kerusakan. Walau demi-kian, ada
jalan bagi yang ingin bersungguh-sungguh menekuninya.
Dengan Sains Menangkap Realitas Alam Semesta
Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan seluruh pengetahuan di
bumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum da-lam sains (seperti ketidakpastian
Heisenberg tentang pengukuran simul-tan dimensi ruang dan waktu), serta berbagai aturan
untuk keperluan praktis. Melalui sebuah kerangka besar gagasan yang menghubungkan
berbagai fenomena (teori relativitas umum, teori kinetik materi, teori relativitas khusus)
coba dikemukakan satu penjelasan. Berbagai hipotesa, gagasan awal atau tentatif
dikemukakan untuk menjelaskan fenomena. Tentu gagasan ini masih perlu diuji
kebenarannya untuk dapat dikatakan sebuah hukum.
Dunia fisika membahas konsep energi, hukum konservasi, konsep gerak gelombang,
dan konsep medan. Pembahasan Mekanika pun sangat luas, dari Mekanika klasik ke
Mekanika Kuantum Relativistik. Mekanika Kuantum Relativistik mengakomodasi
pemecahan persoalan mekanika semua benda, Mekanika kuantum melayani persoalan
mekanika untuk semua massa yang kecepatannya kurang dari kecepatan cahaya. Mekani-ka
Relativistik memecahkan persoalan mekanika massa yang lebih besar dari 10-27 kg dan
bagi semua kecepatan. Mekanika Newton (disebut juga mekanika klasik) menjelaskan
fenomena benda yang relatif besar, dengan kecepatan relatif rendah, tapi juga bisa
dipergunakan sebagai pendekatan fenomena benda mikroskopik.
Mekanika statistik (kuantum klasik) adalah suatu teknik statistik untuk interaksi
benda dalam jumlah besar untuk menjelaskan fenomena yang besar, teori kinetik dan
termodinamik. Dalam penjelajahan akal ma-nusia di dunia elektromagnet dikenal
persamaan Maxwell untuk mendes-kripsikan kelakuan medan elektromagnet, juga teori
tentang hubungan cahaya dan elektromagnet. Dalam pembahasan interaksi partikel, ada
prinsip larangan Pauli, interaksi gravitasi, dan interaksi elektromagnet. Medan
memicu gaya; medan-gravitasi memicu gaya gravita-si, medan-listrik
memicu gaya listrik dan sebagainya. Demikianlah, metode sains mencoba dengan
lebih cermat menerangkan realitas alam semesta yang berisi banyak sekali benda langit (dan
lebih banyak lagi yang belum ditemukan).
Pengetahuan tentang luas alam semesta dibatasi oleh keberadaan ob-jek berdaya
besar, seperti Quasar atau inti galaksi, sebagai penuntun tepi alam semesta yang bisa
diamati; selain itu juga dibatasi oleh kecepatan cahaya dan usia alam semesta (15 miliar
tahun). Itulah sebabnya ruang alam semesta yang pernah diamati manusia berdimensi 15-20
miliar tahun cahaya. Namun, banyak benda langit yang tak memancarkan caha-ya dan tak
bisa dideteksi keberadaannya, protoplanet misalnya. Menurut taksiran, sekitar 90% objek di
alam semesta belum atau tak akan terdeteksi secara langsung. Keberadaannya objek gelap
ini diyakini karena secara dinamika mengganggu orbit objek-objek yang teramati, lewat
gravitasi.
Berbicara tentang daya objek, dalam kehidupan sehari-hari ada lampu penerangan
berdaya 10 watt, 75 watt dan sebagainya; sedangkan Ma-tahari berdaya 1026 watt dan
berjarak satu sa* dari Bumi, menghangatinya. Jika kita lihat, lampu-lampu kota dengan
daya lebih besarlah yang tam-pak terang. Menurut hukum cahaya, terang lampu akan
melemah seban-ding dengan jarak kuadrat, jadi sebuah lampu pada jarak 1 meter tampak 4
kali lebih terang dibandingkan pada jarak 2 meter, dan apabila dilihat pada jarak 5 meter
tampak 25 kali lebih redup.
Maka, kemampuan mata manusia mengamati bintang lemah terbatas. Ukuran
kolektor cahaya juga akan membatasi skala terang objek yang bisa diamati. Untuk
pengamatan objek langit yang lebih lemah dipergu-nakan kolektor atau teleskop yang lebih
besar. Teleskop yang besar pun mempunyai keterbatasan dalam mengamati obyek langit
yang lemah, walaupun berhasil mendeteksi obyek langit yang berjuta atau bermiliar kali
lebih lemah dari bintang terlemah yang bisa dideteksi manusia. Pertanyaan lain muncul:
Apakah semua objek langit bisa diamati melalui teleskop? Berapa banyak yang mungkin
diamati dan dihadirkan sebagai pengetahuan?
Makin jauh jarak galaksi, berarti pengamatan kita juga merupakan pengamatan masa
silam galaksi ini . Cahaya merupakan fosil infor-masi pembentukan alam semesta yang
berguna, dan manusia berupaya menangkapnya untuk mengetahui prosesnya hingga takdir
di masa de-pan yang sangat jauh, yang akan dilalui melalui hukum-hukum alam ciptaan-
Nya. Pengetahuan kita tentang hal ini sangat bergantung pada pengetahuan kita
tentang hukum alam ciptaan-Nya; sudah lengkap dan sudah sempurnakah, ataukah baru
sebagian kecil, sehingga mungkin bisa membentuk ekstrapolasi persepsi yang salah?
Sampai di batas mana manusia bisa membayangkan dan menjangkau-nya?
Bagaimana kondisi awal, bagaimana kondisi sebelumnya, bagai-mana kondisi 5 miliar
tahun ke depan, bagaimana kondisi 50 miliar tahun ke depan dan seterusnya? Apakah
pengetahuan agama akan memberi jawaban atas berbagai pertanyaan ini ? Alam
semesta yang megah akan runtuh, akan hancur, tapi entah bagaimana prosesnya, dan ada
apa setelah kehancuran itu? Kita kembali kepada Allah untuk mencari jawaban-Nya, karena
Dia adalah zat Maha Mengetahui atas segala ciptaan-Nya, dan manusia hanya diberi
pengetahuan-Nya sedikit.
Begitulah, melalui sains manusia mencoba dideskripsikan apa dan bagaimana proses
fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen dan pengamatan, dengan parameter
yang bisa diamati dan diukur. Aga-ma memperluas spektrum makna alam semesta bagi
manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta, kehidupan dan manusia. Jawaban
singkat tentang pertanyaan Siapa pencipta alam semesta beserta hukum-hukum alamnya:
Allah adalah zat yang Maha Pencipta. Agama memper-luas pengetahuan yang dicakup oleh
metodologi sains dan rasionalitas manusia seperti berkenalan dengan alam gaib, akhirat dan
sebagainya. Namun begitu, rupanya berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam
semesta di sekitar planet Bumi masih banyak yang belum terjawab atau mungkin tak
berjawab hingga kehancuran Bumi.
Keruntuhan Ilmiah Materialisme
Materialisme tidak dapat lagi dinyatakan sebagai filsafat ilmiah.
Arthur Koestler, Filsuf Sosial terkenal
Bagaimanakah alam semesta tak berbatas tempat kita tinggal ini terbentuk?
Bagaimanakah keseimbangan, keselarasan, dan ke-teraturan jagat raya ini berkembang?
Bagaimanakah bumi ini menjadi tempat tinggal yang tepat dan terlindung bagi kita?
Aneka pertanyaan seperti ini telah menarik perhatian sejak ras ma-nusia bermula.
Para ilmuwan dan filsuf yang mencari jawaban dengan kecerdasan dan akal sehat mereka
sampai pada kesimpulan bahwa rancangan dan keteraturan alam semesta merupakan bukti
keberadaan Pencipta Mahatinggi yang menguasai seluruh jagat raya.
Ini adalah kebenaran tak terbantahkan yang dapat kita capai dengan menggunakan
kecerdasan kita. Allah mengungkapkan kenyataan ini dalam kitab suci-Nya, Al Quran, yang
telah diwahyukan empat belas abad yang lalu sebagai penerang jalan bagi kemanusiaan.
Allah menya-takan bahwa Dia telah menciptakan alam semesta dari ketiadaan, untuk suatu
tujuan khusus, serta dilengkapi dengan semua sistem dan keseimbangannya yang dirancang
khusus untuk kehidupan manusia.
Allah mengajak manusia untuk mempertimbangkan kebenaran ini dalam ayat berikut:
“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah
membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu me-nyempurnakannya. Dan Dia
menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan
bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” (QS. An-Naazi’aat, 79: 27-30) !
Pada ayat lain dalam Al Quran dinyatakan pula bahwa manusia harus melihat dan
mempertimbangkan semua sistem dan keseimbangan di alam semesta yang telah diciptakan
Allah untuknya, serta memetik pelajaran dari pengamatannya:
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang memahami (nya).” (QS. An-Nahl, 16: 12) !
Dalam ayat Al Quran lainnya , ditunjukkan:
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam
malam dan menundukkan matahari dan bulan, dan masing-masing berjalan menurut
waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-
Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mem-
punyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Faathir, 35: 13) !
Kebenaran nyata yang dipaparkan Al Quran juga ditegaskan oleh se-jumlah penemu
penting ilmu astronomi modern, Galileo, Kepler, dan Newton. Semua menyadari bahwa
struktur alam semesta, rancangan tata surya, hukum-hukum fisika, dan keadaan seimbang,
semuanya dicipta-kan Tuhan, dan para ilmuwan itu sampai pada kesimpulan dari pene-litian
dan pengamatan mereka sendiri.
Materialisme: Kesalahan Abad ke-19
Realitas penciptaan yang kita bicarakan telah diabaikan atau diing-kari sejak dahulu
oleh sebuah pandangan filosofis tertentu. Pandangan itu disebut “materialisme”. Filsafat ini,
yang semula dirumuskan di kalangan bangsa Yunani kuno, juga telah muncul dari waktu ke
waktu dalam budaya lain, dan dikembangkan pula secara perorangan. Menurut materialisme,
hanya materi yang ada, dan begitu-lah adanya sepanjang waktu yang tak terbatas. Dari
pendirian itu, diklaim bahwa alam semesta juga “selalu” ada dan tidak diciptakan.
Sebagai tambahan bagi klaim mereka; bahwa alam semesta ada dalam waktu yang
tidak terbatas, penganut materialisme juga menge-mukakan bahwa tidak ada tujuan atau
sasaran di dalam alam semesta. Mereka menyatakan bahwa semua keseimbangan,
keselarasan, dan keteraturan yang tampak di sekitar kita hanyalah peristiwa kebetulan.
“Peristiwa kebetulan” juga diajukan ketika muncul pertanyaan tentang bagaimana manusia
terjadi. Teori evolusi, dikenal luas sebagai Darwin-isme, adalah aplikasi lain materialisme
pada dunia alam.
Baru saja disebutkan bahwa sebagian pendiri sains modern adalah orang yang
beriman, yang sepakat bahwa alam semesta diciptakan dan diatur oleh Tuhan. Pada abad
ke-19, terjadi perubahan penting dalam sikap dunia ilmiah mengenai masalah ini.
Materialisme dengan sengaja dimasukkan dalam agenda ilmu alam modern oleh pelbagai
kelompok. Karena keadaan politik dan sosial abad ke-19 membentuk basis kuat bagi
materialisme, filsafat ini diterima luas dan tersebar ke seluruh dunia ilmiah.
Akan tetapi, temuan sains modern secara tak terbantahkan menun-jukkan betapa
kelirunya pernyataan materialisme.
Temuan-Temuan Sains Abad ke-20
Mari kita tinjau lagi dua pandangan materialisme tentang alam semesta:
1. Alam semesta telah ada sejak waktu yang tak terbatas, dan karena tidak
mempunyai awal atau akhir, alam semesta tidak diciptakan.
2. Segala sesuatu dalam alam semesta hanyalah hasil peristiwa kebe-tulan dan
bukan produk rancangan, rencana, atau visi yang di-sengaja.
Kedua pandangan ini dikemukakan dengan berani dan dibela mati-matian oleh
materialis abad ke-19, yang tentu saja tidak punya jalan lain kecuali bergantung kepada
pengetahuan ilmiah zaman mereka yang terbatas dan tidak canggih. Kedua pendapat itu
telah dibantah sepe-nuhnya dengan penemuan-penemuan sains abad ke-20.
Yang terkubur pertama kali adalah pendapat bahwa alam semesta sudah ada sejak
waktu yang tak terbatas. Sejak tahun 1920-an, telah mun-cul bukti tegas bahwa pendapat ini
tidak mungkin benar. Para ilmuwan sekarang merasa pasti bahwa jagat raya tercipta dari
ketiadaan, sebagai hasil suatu ledakan besar yang tak terbayangkan, yang dikenal sebagai
“Dentuman Besar (Big Bang)”. Dengan kata lain, alam semesta terbentuk, atau tepatnya,
diciptakan oleh Allah.
Abad ke-20 juga menyaksikan kehancuran klaim materialis yang kedua: bahwa
segala sesuatu di jagat raya adalah hasil dari kebetulan dan bukan rancangan. Riset yang
diadakan sejak tahun 1960-an dengan konsisten menunjukkan bahwa semua keseimbangan
fisik alam semesta umumnya dan bumi kita khususnya dirancang dengan rumit untuk
memungkinkan kehidupan. Ketika penelitian ini diperdalam, di-temukan bahwa setiap
hukum fisika, kimia, dan biologi, setiap gaya-gaya fundamental seperti gravitasi dan
elektromagnetik, dan setiap detail struktur atom dan unsur-unsur alam semesta sudah diatur
dengan tepat sehingga manusia dapat hidup. Ilmuwan masa kini menyebut de-sain luar
biasa ini “prinsip antropis”. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap detail alam semesta telah
dirancang dengan cermat untuk me-mungkinkan manusia hidup.
nya, filsafat yang disebut materialisme telah ditolak oleh sains modern.
Dari posisinya sebagai pandangan ilmiah yang dominan pada abad ke-19, materialisme
telah jatuh menjadi cerita fiksi pada abad ke-20.
Bagaimana tidak? Seperti yang ditunjukkan Allah:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada antara
keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir,
maka celakalah orang-orang kafir itu karena me-reka akan masuk neraka.” (QS.
Shaad, 38: 27) !
Adalah keliru untuk menganggap alam semesta diciptakan dengan sia-sia. Filsafat
yang benar-benar keliru seperti materialisme dan sistem-sistem yang berdasarkan pada
paham itu telah ditakdirkan untuk gagal sejak awal sekali.
Penciptaan adalah sebuah fakta. Dalam buku ini kita akan mengkaji bukti kenyataan
ini . Kita akan melihat bagaimana materialisme telah runtuh di hadapan sains modern
dan juga menyaksikan betapa menakjubkan dan sempurna alam semesta dirancang dan
diciptakan oleh Allah.
Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa
semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua
bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa
yang memberikan perintah?
Andre Linde, Profesor Kosmologi 2
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan
para ahli astronomi. Alasannya adalah peneri-maan umum atas gagasan bahwa alam
semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan berang-
gapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mem-punyai awal. Tidak ada
momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul.
Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal
dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno,
menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada
sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk
berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad
Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemun-duran karena pengaruh filsafat gereja
Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan
luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap
filsafat Yunani kuno.
Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung
kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa
setiap probabilitas, betapapun mus-tahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus
mempertahan-kan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada
awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal— bahwa tidak
pernah ada momen ketika jagat raya di-ciptakan—secara luas diterima. Pandangan ini diba-
wa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dia-lektik seperti Karl Marx dan Friedrich
Engels.
Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sa-ngat sesuai dengan ateisme. Tidak
sulit melihat alas-annya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mem-punyai permulaan, bisa
berarti bahwa ia di-ciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan.
Jauh lebih mudah dan aman untuk menghin-dari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa
“alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk
membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang mendukung dan memper-tahankan
gagasan ini dalam buku-bukunya yang di-terbitkan pada awal abad ke-20, adalah
pendukung setia Marxisme dan Materialisme.
Dengan mempercayai kebenaran model “jagat raya tanpa batas”, Politzer menolak
gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fonda-mentaux de Philosophie ketika dia
menulis:
Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat
raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk
mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam
semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa
diterima sains,
Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pem-belaan-nya terhadap
gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya
sungguh-sungguh mempunyai per-mulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri,
jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya.
Pengembangan Alam Semesta
dan Penemuan Dentuman Besar
Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan as-tronomi modern.
Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang
menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun
mungkin cukup untuk memicu struktur keseluruhan mengembang atau mengerut
menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari
apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre,
menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang
sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat
radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu”
itu.
Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak per-hatian dan barangkali
akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan
dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang
bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting
dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya,
dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum,
dan bahwa per-geseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi.
Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu.
Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik
observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik
observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika
kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut
hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian, Hubble
membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka
juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam
semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan
konstan “mengembang”.
Hubble menemukan bukti pengamatan untuk sesuatu yang telah “diramalkan” George
Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini
hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan
bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan ber-dasarkan
teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan
Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan “konstanta kosmologis” pada
persamaannya agar muncul “jawaban yang benar”, karena para ahli astronomi meyakinkan
dia bah-wa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persa-maannya
sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa
konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.
Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memuncul-kan model lain yang
tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika
alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam
semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan
mengerut dan bertemu pada satu titik. yang harus diturun-kan dari model ini
adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa
satu titik yang mempunyai “volume nol” karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam
semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini
mendapat sebutan “Dentuman Besar” dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan
dengan bukti pengamatan.
Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa
sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu “tidak
ada”. Seluruh alam semesta dicip-takan dari “ketidakadaan” ini. Dan lebih jauh, alam
semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengata-
kan bahwa “alam semesta sudah ada selamanya”.
Hipotesis “Keadaan-Stabil”
Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-
bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada
gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar
dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka
dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, “Secara filosofis,
pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keter-aturan alam sekarang ini bertentangan
denganku.”
Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle.
Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya
“keadaan-stabil”, yang tak lebih suatu per-panjangan gagasan abad ke-19 tentang alam
semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat
raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi
maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-
menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap
berada dalam “keadaan-stabil”. Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma “materi sudah
ada sejak waktu tak terbatas”, yang merupakan basis filsafat mate-rialis, teori ini mutlak
bertentangan dengan “teori Dentuman Besar”, yang menyatakan bahwa alam semesta
mempunyai permulaan. Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang
Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka.
Kemenangan Dentuman Besar
Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre
lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta
terbentuk dalam sebuah ledakan be-sar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu
radiasi yang ditinggalkan dari ledakan ini . Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih
jauh, harus sama di selu-ruh alam semesta.
Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965,
dua peneliti ber-nama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang
selama ini tidak teramati. Dise-but “radiasi latar belakang kosmik”, radiasi ini tidak seperti
apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak
dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di
seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang
masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar ini . Gamov telah
mengamati bahwa frekuen-si radiasi hampir mempu-nyai nilai yang sama dengan yang telah
di-perkirakan oleh para ilmu-wan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadi-ah
Nobel untuk penemuan mereka.
Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke
luar angkasa. Sebuah in-strumen sensitif yang disebut “Cosmic Background Emission
Explorer” (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi
dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara pasti
menun-jukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan
alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap
sisa-sisa Dentuman Besar.
Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya
berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan
menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan
teoretis dari apa yang seharus-nya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan
tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan
tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium.
Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia
ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American
menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan
pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya.
Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama
menggambarkan dilema mereka di hadapan bukti Den-tuman Besar. Dia berkata bahwa
semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui
bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.5
Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan?
Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis “alam semesta tanpa batas”, yang
membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tum-pukan sampah sejarah. Namun
bagi materialis, muncul pula dua perta-nyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada
sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah memicu Dentuman Besar
sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya?
Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai.
Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini:
Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan
mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis
dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kos-mologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa
yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta
mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya
tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa
keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling
mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa
teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk
mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.6
Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan
mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli
astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala
dimensi fisik, sebagai:
Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi.
Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan
alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ru-ang-waktu, maka sebab alam semesta
haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir
lebih dulu dibandingkan di-mensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden,
bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam
semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.7
Penolakan terhadap Penciptaan dan
Mengapa Teori-Teori Itu Bercacat
Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan
dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berke-hendak. Mengenai fakta ini, beberapa
ahli astronomi dan fisika materialis telah mencoba mengemukakan penjelasan alternatif
untuk membantah kenyataan ini. Rujukan sudah dibuat dari teori keadaan-stabil dan
ditunjukkan ke mana kaitannya, oleh mereka yang tidak merasa nyaman dengan pendapat
“penciptaan dari ketiadaan” meskipun bukti berbicara lain, sebagai usaha mempertahankan
filsafat mereka.
Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima
teori Dentuman Besar namun mencoba melepaskannya dari gagasan penciptaan. Salah
satunya adalah model alam semesta “ber-osilasi”; dan yang lainnya adalah “model alam
semesta kuantum”. Mari kita kaji teori-teori ini dan melihat mengapa keduanya tidak
berdasar.
Model alam semesta berosilasi dikemukakan oleh para ahli astro-nomi yang tidak
menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah per-mulaan alam semesta. Dalam model
ini, dinyatakan bahwa pengem-bangan alam semesta sekarang ini pada akhirnya akan
membalik pada suatu waktu dan mulai mengerut. Pengerutan ini akan menyebab-kan segala
sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai
pengembangan babak baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas.
Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta sudah mengalami transformasi ini tak
terhingga kali dan akan terus demikian selamanya. Dengan kata lain, alam semesta ada
selamanya namun mengembang dan runtuh pada interval berbeda dengan ledakan besar
menandai setiap siklusnya. Alam semesta tempat kita tinggal merupakan salah satu alam
semesta tanpa batas itu yang sedang melalui siklus yang sama.
Ini tak lebih dari usaha lemah untuk menyelaraskan fakta Dentuman Besar terhadap
pandangan tentang alam semesta tanpa batas. Skenario ini tidak didukung oleh hasil-
hasil riset ilmiah selama 15-20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang
berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih jauh, hukum-hukum fisika tidak bisa me-
nerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke
dalam satu titik tunggal: ia harus tetap seperti apa ada-nya. Hukum-hukum fisika juga tidak
bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengembang harus mulai mengerut lagi.8
Bahkan kalaupun kita menerima bahwa mekanisme yang mem-buat siklus mengerut-
meledak-mengembang ini benar-benar ada, satu hal penting adalah bahwa siklus ini tidak
bisa berlanjut selamanya, seperti anggapan mereka. Perhitungan untuk model ini
menunjukkan bahwa setiap alam semesta akan mentransfer sejumlah entropi kepada alam
semesta berikutnya. Dengan kata lain, jumlah energi berguna yang ter-sedia menjadi
berkurang setiap kali, dan setiap alam semesta akan ter-buka lebih lambat dan mempunyai
diameter lebih besar. Ini akan me-nyebabkan alam semesta yang terbentuk pada babak
berikutnya menjadi lebih kecil dan begitulah seterusnya, sampai pada akhirnya menghilang
menjadi ketiadaan. Bahkan jika alam semesta “buka dan tutup” ini dapat terjadi, mereka
tidak bertahan selamanya. Pada satu titik, akan diperlu-kan “sesuatu” untuk diciptakan dari
“ketiadaan”.9
Singkatnya, model alam semesta “berosilasi” merupakan fantasi tanpa harapan yang
realitas fisiknya tidak mungkin.
“Model alam semesta kuantum” adalah usaha lain untuk member-sihkan teori
Dentuman Besar dari implikasi penciptaannya. Pendukung model ini mendasarkannya pada
observasi fisika kuantum (subatomik). Dalam fisika kuantum, diamati bahwa partikel-
partikel subatomik mun-cul dan menghilang secara spontan dalam ruang hampa.
Menginterpre-tasikan pengamatan ini sebagai “materi dapat muncul pada tingkat kuantum,
ini merupakan sebuah sifat yang berkenaan dengan materi”, beberapa ahli fisika mencoba
menjelaskan asal materi dari ketiadaan selama penciptaan alam semesta sebagai “sifat yang
berkenaan dengan materi” dan menyatakannya sebagai bagian dari hukum-hukum alam.
Dalam model ini, alam semesta kita diinterpretasikan sebagai partikel subatomik di dalam
partikel yang lebih besar.
Akan tetapi, silogisme ini sama sekali tidak mungkin dan bagai-manapun tidak bisa
menjelaskan bagaimana alam semesta terjadi. William Lane Craig, penulis The Big Bang:
Theism and Atheism, menjelas-kan alasannya:
Ruang hampa mekanis kuantum yang menghasilkan partikel materi adalah jauh dari
gagasan umum tentang “ruang hampa” (yang berarti tidak ada apa-apa). Melainkan, ruang
hampa kuantum adalah lautan partikel yang terus-menerus terbentuk dan menghilang, yang
meminjam energi dari ruang hampa untuk keberadaan mereka yang singkat. Ini bukan
“ketiadaan”, sehingga partikel materi tidak muncul dari “ketiadaan”.
Jadi, dalam fisika kuantum, materi “tidak ada kalau sebelumnya tidak ada.” Yang
terjadi adalah bahwa energi lingkungan tiba-tiba men-jadi materi dan tiba-tiba pula
menghilang menjadi energi lagi. Singkatnya, tidak ada kondisi “keberadaan dari ketiadaan”
seperti klaim mereka.
Dalam fisika, tidak lebih sedikit dibandingkan yang ada dalam ca-bang-cabang ilmu
alam lain, ada ilmuwan-ilmuwan ateis yang tidak ragu menyamarkan kebenaran dengan
mengabaikan titik-titik kritis dan detail-detail dalam usaha mereka mendukung pandangan
materialis dan mencapai tujuan mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting mempertahan-kan
materialisme dan ateisme dibandingkan mengungkapkan fakta-fakta dan kenyataan ilmiah.
Dihadapkan pada realitas yang disebutkan di atas, kebanyakan ilmu-wan membuang
model alam semesta kuantum. C.J Isham menjelas-kan bahwa “model ini tidak diterima
secara luas karena kesulitan-kesulitan yang dibawanya.” Bahkan sebagian pencetus
gagasan ini, seperti Brout dan Spindel, telah meninggalkannya.
Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta
kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of
Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari
ketiadaan. Alih-alih “tiada waktu” sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep
“waktu imajiner”. Menurut Haw-king, hanya ada selang waktu imajiner 1043 detik sebelum
Dentuman Besar terjadi dan waktu “nyata” terbentuk setelah itu. Harapan Hawking ha-
nyalah untuk mengabai-kan kenyataan “ketiada-an waktu” (timelessness) sebelum
Dentuman Besar dengan gagasan waktu “imajiner” ini.
Sebagai sebuah konsep, “waktu imajiner” sama saja dengan nol atau se-perti “tidak
ada”nya jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Di sini
Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar
kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada
artinya. Ahli matematika, Sir Herbert Dingle, menyebut kemungkinan memalsukan hal-hal
imajiner sebagai hal nyata dalam matematika sebagai:
Dalam bahasa matematika, kita bisa mengatakan kebohongan di samping kebenaran,
dan dalam cakupan matematika sendiri, tidak ada cara yang mungkin untuk membedakan
satu dengan lainnya. Kita dapat membedakan keduanya hanya dengan pengalaman atau
dengan penalaran di luar matematika, yang diterapkan pada hubungan yang mungkin antara
solusi matematika dan korelasi fisiknya.
Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung
konsekuensi benar atau nyata. Menggunakan sifat yang hanya dimiliki matematika,
Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan
yang mendorongnya melakukan ini? Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model
alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini “mengisyaratkan
penciptaan ilahiah”, dan model-model seperti itu dirancang untuk ditentang.l
Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti
keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum,
kenyataannya timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan-penemuan ilmiah telah
menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahkan dapat menjelaskan “keberadaan dari
ketia-daan”. Dan ini merupakan bukti sangat kuat bahwa alam semesta diciptakan oleh
Allah, satu hal yang mentah-mentah ditolak materialis.
Sebuah contoh penolakan Dentuman Besar bisa ditemukan dalam esai oleh John
Maddox, editor majalah Nature (majalah materialis), yang muncul pada tahun 1989. Dalam
“Down with the Big Bang”, Maddox menyatakan Dentuman Besar tidak dapat diterima
secara filosofis karena teori ini membantu teologis dengan menyediakan dukungan kuat
untuk gagasan-gagasan mereka. Penulis itu juga meramalkan bahwa Dentuman Besar akan
runtuh dan bahwa dukungan untuknya akan menghilang dalam satu dekade.15 Maddox
hanya bisa merasa semakin resah karena penemuan-penemuan selama sepuluh tahun
berikutnya memberikan bukti semakin kuat akan keberadaan Dentuman Besar.
Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini.
Materialis Inggris, H.P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun “tidak dengan
senang hati”, ketika dia berkata:
Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan
radiasi, bagaimana dia muncul?.... Namun saya pikir, kita ha-rus... mengakui bahwa satu-
satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat
dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak
kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya.
Sebagai kesimpulan, kebenaran yang terungkap oleh ilmu alam adalah: Materi dan
waktu telah dimunculkan menjadi ada oleh pemilik kekuatan besar yang mandiri, oleh
Pencipta. Allah, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan mutlak, telah menciptakan
alam semesta tempat tinggal kita.
Tanda-Tanda Al Quran
Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempu-nyai implikasi
penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam
telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.
Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan
dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai
penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan
segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.
Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya
utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping
bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun
diungkapkan 14 abad yang lalu.
Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran
sebagai berikut:
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia
tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al An’aam, 6: 101) !
Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum
penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah
bahwa ketika diciptakan, alam semes-ta menempati volume yang sangat kecil:
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dibandingkan air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiyaa’, 21: 30) !
Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam
bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai “suatu yang padu” yang
berarti “bercampur, bersatu” dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk
dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa “Kami pisahkan” diterjemahkan dari kata kerja
bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi de-ngan memisahkan
atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan
yang meng-gunakan kata kerja ini.
Mari kita tinjau lagi ayat ini dengan pengetahuan ini di benak kita. Dalam ayat
itu, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Me-reka dipisahkan (fatk) dengan satu
muncul dari yang lainnya. Mena-riknya, para ahli kosmologi berbicara tentang “telur
kosmik” yang me-ngandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar. De-
ngan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur
kosmik ini meledak dengan dahsyat memicu materinya menjadi fatk dan dalam proses
itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.
Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengem-bangan jagat raya
yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah
dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya
Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47) !
Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebe-naran yang
dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan
bahwa semua itu “kebetulan”, namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi
sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang
asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita.
Filsuf Jerman, Immanuel Kant adalah orang pertama yang mengajukan pernyataan
“alam semesta tanpa batas” pada Zaman Baru. Tetapi penemuan ilmiah menggugurkan
pernyataan Kant.
Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta mengembang. Pada akhirnya dia
menemukan bukti “Ledakan Besar”, peristiwa besar yang penemuannya memaksa ilmuwan
meninggalkan anggapan alam semesta tanpa batas dan abadi.
Pernyataan Sir Arthur Eddington bahwa “pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba
dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku,” adalah pengakuan bahwa
Ledakan Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan materialis.
Radiasi Latar Belakang Kosmik yang ditemukan oleh Penzias dan Wilson dianggap
sebagai bukti Ledakan Besar yang tak terbantahkan oleh dunia ilmiah.
Stephen Hawking juga mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan
Besar selain Penciptaan seperti yang dilakukan ilmuwan materialis lainnya dengan
mengandalkan kontradiksi dan konsep keliru.
Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang
nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu,
namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.
Paul Davies, Profesor Fisika Teoretis.
Dalam bab pertama, kita mempelajari penciptaan alam semesta dari ketiadaan sebagai
hasil ledakan dahsyat. Mari kita kaji implikasi dari kenyataan ini. Para ilmuwan
memperkirakan di seluruh alam semesta ada 300 miliar galaksi. Galaksi-galaksi ini me-
miliki beberapa bentuk berbeda (spiral, elips, dan lain-lain) dan masing-masing memiliki
bintang kira-kira sebanyak jumlah galaksi di alam se-mesta. Salah satu bintang ini, Matahari,
memiliki sembilan planet utama yang mengitarinya dalam keserasian yang luar biasa.
Seluruh manusia hidup di planet ketiga dihitung dari matahari.
Perhatikan sekitar Anda: Apakah yang Anda lihat tampak seperti sebaran materi yang
berserakan tidak karuan? Tentu saja tidak. Namun, bagaimana materi membentuk galaksi-
galaksi yang teratur seandainya materi itu tersebar secara acak? Mengapa materi berkumpul
di satu titik dan membentuk bintang? Bagaimana keseimbangan yang begitu indah pada tata
surya dapat muncul dari ledakan yang dahsyat? Ini adalah per-tanyaan-pertanyaan penting
dan menuntun kita pada pertanyaan yang sesungguhnya yaitu bagaimana alam semesta
tersusun setelah Dentuman Besar.
Jika Dentuman Besar benar-benar ledakan yang maha menghancur-kan, maka masuk
akal untuk memperkirakan bahwa materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak.
Namun ternyata tidak demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun menjadi planet,
bintang, galaksi, kluster, dan superkluster. Seolah-olah sebuah bom meledak dalam
lumbung dan menjadikan seluruh gandum terisikan ke dalam karung, dan tersusun rapi di
atas truk, siap untuk dikirimkan, bukannya tersebar acak-acakan ke seluruh penjuru. Fred
Hoyle, penentang setia teori Den-tuman Besar, mengemukakan keterkejutannya sendiri
akan keteraturan ini:
Teori Dentuman Besar menyatakan alam semesta dimulai dengan ledakan tunggal.
Namun seperti terlihat pada bagian berikut, sebuah ledakan hanya akan membuat materi
terlontar secara acak, namun Dentuman Besar secara misterius memberikan hasil
berlawanan dengan materi terkumpul dalam bentuk galaksi-galaksi.18
Bahwa materi yang dihasilkan Dentuman Besar membentuk susun-an yang begitu
rapi dan teratur memang suatu hal yang luar biasa. Terbe-ntuknya keserasian yang luar
biasa ini menuntun kita kepada kenyataan bahwa alam semesta merupakan ciptaan
sempurna Allah.
Pada bab ini kita akan mengkaji dan merenungkan kesempurnaan luar biasa ini.
Kecepatan Ledakan
Orang yang mendengar teori Dentuman Besar namun tidak memi-kirkan masalah ini
dengan saksama, tidak akan menyadari rencana yang luar biasa di balik ledakan ini .
Karena bagi kebanyakan orang, ledakan tidak mengimplikasikan keserasian, rencana, atau
keteraturan. Kenyataannya ada sejumlah aspek yang sangat membingungkan pada
keteraturan yang rumit dalam Dentuman Besar.
Salah satu teka-teki berhubungan dengan percepatan yang ditimbul-kan oleh ledakan.
Ketika ledakan terjadi, materi pasti mulai bergerak dengan kecepatan luar biasa tinggi ke
segala arah. Namun ada hal lain yang harus diperhatikan dalam hal ini. Pasti ada gaya tarik
yang begitu besar di awal ledakan: gaya tarik yang cukup kuat untuk mengumpulkan
seluruh alam semesta pada satu titik.
Dua kekuatan berbeda dan saling berlawanan bekerja di sini. Keku-atan dari ledakan,
melontar-kan materi ke luar dan men-jauh, serta kekuatan dari gaya tarik, mencoba
menahan kekuatan dari ledakan dan menarik semua materi untuk kembali menyatu. Alam
se-mesta terbentuk karena dua kekuatan ini dalam keseim-bangan. Jika kekuatan gaya tarik
lebih besar dibandingkan kekuatan ledakan, alam se-mesta hancur bertubrukan. Jika terjadi
sebaliknya, materi akan berpencar ke segala penjuru dan tidak mungkin menyatu kembali.
Lantas, seberapa peka keseimbangan ini? Berapa banyak “selisih” yang mungkin ada
di antara dua kekuatan ini?
Ahli fisika matematis, Paul Davies, Profesor dari Universitas Adelai-de di Australia,
melakukan perhitungan panjang terhadap keadaan yang harus ada pada saat Dentuman
Besar terjadi dan meng-hasilkan angka yang hanya dapat digambarkan sebagai
mencengang-kan. Menurut Davies, jika laju pengembangan hanya berbeda lebih dari 10-18
detik saja (satu detik dibagi satu miliar kemudian dibagi satu miliar lagi), alam semesta
tidak akan terbentuk. Davies menjelaskan kesimpulannya:
Pengukuran yang teliti menempatkan laju pengembangan sangat dekat pada nilai
kritis sehingga alam semesta dapat bebas dari gaya gravitasi dirinya dan mengembang
selamanya. Sedikit lebih lambat maka alam semesta akan hancur bertubrukan, sedikit lebih
cepat maka materi kosmik sudah menyebar secara acak sejak dulu. Sangat menarik untuk
menanya-kan dengan pasti seberapa rumit laju pengembangan ini telah disesuaikan dengan
tepat untuk berada pada batas tipis dua kehancuran dahsyat. Jika pada waktu I S (pada saat
pola waktu pengembangan telah terbentuk) laju pengembangan berbeda lebih dari 10-18
detik dari semestinya, maka sudah cukup untuk memorak-porandakan keseimbangan yang
rumit ini . Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan
ketepatan yang nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman Besar jelas bukanlah sembarang
ledakan di masa lalu, namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.19
Bilim ve Teknik (majalah ilmiah Turki) mengutip sebuah artikel yang muncul dalam
majalah Science. Dalam artikel ini , keseimbangan fenomenal yang dicapai dalam fase
awal alam semesta dinyatakan:
Jika kekerapan alam semesta hanya sedikit lebih tinggi, dalam hal ini, menurut teori
relativitas Einstein, alam semesta tidak akan mengembang akibat gaya-gaya tarik partikel-
partikel atom, namun mengerut, dan pada akhirnya lenyap pada satu titik. Jika kekerapan
awal sedikit lebih kecil, maka alam semesta akan dengan cepat mengembang, namun dalam
hal ini, partikel-partikel atom tidak akan tertarik satu sama lain dan tidak ada bintang dan
tidak ada galaksi akan pernah terbentuk. Akibatnya, manusia tidak akan pernah muncul!
Menurut perhitungan, perbedaan antara kera-patan awal alam semesta yang sesungguhnya
dan kerapatan kritisnya, yang tidak mungkin terjadi, adalah kurang dari 10-17. Ini sama saja
dengan memberdirikan pensil pada ujung tajamnya bahkan selama miliaran tahun… lebih
jauh, ketika alam semesta mengembang, keseimbangan ini menjadi lebih rumit.20
Bahkan Stephen Hawking, yang berusaha keras menjelaskan pencip-taan alam
semesta sebagai rangkaian kebetulan dalam A Brief History of Time, mengakui
keseimbangan luar biasa dalam laju pengembangan:
Jika laju pengembangan satu detik setelah Dentuman Besar lebih kecil bahkan dari
satu bagian per seratus ribu juta juta, alam semesta akan hancur sebelum pernah mencapai
ukurannya sekarang.
Lalu, apa yang diindikasikan keseimbangan yang begitu luar biasa ini? Satu-satunya
jawaban rasional untuk pertanyaan itu adalah bahwa keseimbangan itu merupakan bukti
rancangan sadar dan tidak mungkin ketidaksengajaan. Dr. Davies mengakui sendiri hal ini,
meskipun kecen-derungannya tetap mengarah pada materialisme:
Sulit untuk menolak bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang tam-pak begitu
sensitif terhadap perubahan kecil dalam angka, telah dipikirkan dengan saksama.... nilai-
nilai numerik ajaib yang disuguhkan alam untuk konstanta-konstanta dasarnya tetap
merupakan bukti yang paling kuat bagi unsur rancangan kosmik.
Empat Gaya
Kecepatan Dentuman Besar merupakan salah satu keadaan keseim-bangan yang luar
biasa pada momen awal penciptaan. Segera setelah Dentuman Besar, gaya-gaya yang
menopang dan mengatur alam seme-sta tempat kita tinggal harus “tepat benar” secara
numerik, karena kalau tidak, alam semesta tidak akan terbentuk.
Ada “empat gaya dasar” yang dikenali fisika modern. Semua struk-tur dan gerakan
dalam alam semesta diatur dengan keempat gaya ini, yang dikenal sebagai gaya gravitasi,
gaya elektromagnetik, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah. Gaya nuklir kuat dan lemah
bekerja hanya pada skala atom. Kedua gaya lainnya—gaya gravitasi dan gaya elektro-
magnetik—mengatur kumpulan atom, dengan kata lain “materi”. Keem-pat gaya dasar ini
langsung bekerja setelah Dentuman Besar terjadi dan menghasilkan pembentukan atom-
atom dan materi.
Perbandingan keempat gaya yang menunjukkan nilai-nilai mereka saling berbeda. Di
bawah ini keempat gaya ini dinyatakan dalam satuan standar internasional:
Gaya nuklir kuat : 15
Gaya nuklir lemah : 7,03 x 10-3
Gaya elektromagnetik : 3,05 x 10-12
Gaya gravitasi : 5.90 x 10-39
Perhatikan betapa besar perbedaan kekuatan keempat gaya dasar ini. Selisih antara
yang terkuat (gaya nuklir kuat) dan yang terlemah (gaya gravitasi) adalah sekitar 25 diikuti
dengan 38 nol! Mengapa bisa demi-kian?
Ahli biologi molekuler, Michael Denton menanggapi pertanyaan ini dalam bukunya,
Nature's Density:
Jika, misalnya, gaya gravitasi satu triliun kali lebih kuat, maka alam semesta akan
jauh lebih kecil dan sejarah hidupnya jauh lebih pendek. Sebuah bintang rata-rata akan
mempunyai massa satu triliun lebih kecil dari matahari dan masa hidup sekitar satu tahun.
Di lain pihak, jika gravitasi kurang kuat, tidak ada bintang atau galaksi yang akan pernah
terbentuk. Hubungan dan nilai-nilai lain tidak kurang kritisnya. Jika gaya nuklir kuat sedikit
lebih lemah saja, satu-satunya unsur yang akan stabil hanya hidrogen. Tidak ada atom lain
yang bisa terbentuk. Jika gaya nuklir kuat ini sedikit lebih kuat dalam kaitannya
dengan elektromagnetisme, maka inti atom yang terdiri dari dua proton menjadi yang paling
stabil di alam semesta, yang berarti tidak akan ada hidrogen, dan jika ada bintang atau
galaksi yang terbentuk, mereka akan sangat berbeda dari bentuknya sekarang. Jelas sekali,
jika semua gaya dan konstanta ini tidak mempunyai nilai tepat demikian, tidak akan ada
bintang, supernova, planet-planet, atom, dan kehidupan.
Paul Davies berkomentar tentang bagaimana hukum-hukum fisika menyediakan
kondisi ideal untuk kehidupan manusia:
Kalau saja alam memilih serangkaian angka yang sedikit berbeda, dunia akan
menjadi tempat yang sangat berbeda. Barangkali kita tidak akan ada untuk melihatnya….
Penemuan baru tentang kosmos primitif mewajibkan kita me-nerima bahwa alam semesta
yang mengembang telah diatur dalam geraknya dengan suatu ketelitian yang menakjubkan.
24
Arno Penzias, yang pertama mendeteksi radiasi latar belakang kosmik bersama
Robert Wilson, (keduanya menerima hadiah Nobel tahun 1965 untuk penemuan ini),
mengomentari rancangan indah alam semesta:
Astronomi mengarahkan kita pada sebuah peristiwa unik, alam semesta yang
diciptakan dari ketiadaan, alam semesta dengan keseimbangan sangat rumit yang diperlukan
untuk menyediakan kondisi tepat bagi kehidupan, dan alam semesta yang mempunyai
rencana dasar (bisa dikatakan “super-nasional”).
Ilmuwan-ilmuwan yang baru saja dikutip telah menarik kesimpulan penting dari
pengamatan mereka. Mengkaji dan memikirkan keseimbangan luar biasa dan keteraturan
yang indah dalam ran-cangan alam semesta tak pelak lagi mengarahkan seseorang pada
kebenaran: Di alam semesta, ada rancangan unggul dan keselarasan sempurna. Tidak
diragukan lagi, Pembuat rancangan dan keselarasan ini adalah Allah, yang telah mencipta-
kan segalanya tanpa cacat. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menarik perhatian kita pada
keteraturan penciptaan alam semesta, yang direnca-nakan, dan diperhi-tungkan dalam setiap
detail:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai
anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya) dan Dia telah
menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-
rapinya.” (QS. Al Furqan, 25: 2) !
Matematika Probabilitas
Meruntuhkan Teori “Kebetulan”
Penjelasan sejauh ini menunjukkan keseimbangan luar biasa antara gaya-gaya yang
memungkinkan manusia hidup di alam semesta ini. Ke-cepatan ledakan Dentuman Besar,
nilai gaya-gaya dasar, dan semua variabel lain yang akan kita bahas dalam bab-bab
selanjutnya, yang kesemuanya vital untuk keberadaan alam semesta, telah diatur dengan
ketepatan luar biasa.
Mari kita menyimpang sebentar dari pokok bahasan dan mem-pertimbangkan teori
kebetulan materialisme. Kebetulan adalah sebuah istilah matematika dan peluang terjadinya
sebuah peristiwa dapat dihitung menggunakan matematika probabilitas. Mari kita lakukan.
Dengan mempertimbangkan variabel-variabel fisik, bagaimana peluang alam semesta
yang memberi kita kehidupan terbentuk secara kebetulan? Satu dalam miliar miliar? Atau
triliun triliun triliun? Atau lebih?
Roger Penrose, seorang ahli matematika Inggris terkenal dan teman dekat Stephen
Hawking, memikirkan pertanyaan ini dan mencoba mem-perhitungkan kemungkinannya.
Dengan memasukkan semua variabel yang dianggapnya perlu bagi manusia untuk muncul
dan hidup di planet bumi, dia menghitung probabilitas untuk lingkungan ini muncul di
antara semua hasil yang mungkin dari Dentuman Besar.
Menurut Penrose, peluang untuk kejadian seperti itu adalah 1 banding 1010123 .
Membayangkan arti angka itu saja sudah sulit. Dalam matematika, nilai 10123 berarti
1 diikuti dengan 123 nol (angka ini jauh lebih besar dari jumlah total atom yang diyakini
ada di seluruh alam semesta, 1078). Namun jawaban Penrose jauh lebih besar lagi: yaitu 1
diikuti 10123 angka nol.
Atau pikirkan ini: 103 berarti 1.000, seribu. 10103 adalah angka 1 yang diikuti 1.000
nol. Jika ada enam nol, disebut satu juta; jika sembilan, satu miliar; jika dua belas, satu
triliun dan seterusnya. Bahkan tidak ada nama untuk angka 1 diikuti 10123 nol.
Untuk praktisnya, dalam matematika, probabilitas 1 dalam 1050 berarti “probabilitas
nol”. Angka Penrose lebih besar dibandingkan triliun triliun triliun kali angka ini . Dengan
kata lain, angka Penrose menyatakan bahwa pembentukan alam semesta kita merupakan
“kebe-tulan” atau “ketidaksengajaan” adalah tidak mungkin.
Mengenai angka yang membingungkan ini, Roger Penrose berko-mentar:
Angka ini menunjukkan betapa tepatnya maksud Pencipta, yaitu ketelitian satu dalam
1010123. Angka ini sangat luar biasa. Orang bahkan tidak mungkin menuliskan angka itu
dalam bentuk penuhnya: yang berarti satu diikuti 10123 nol. Bahkan jika kita menuliskan
sebuah nol pada setiap proton dan setiap neutron di seluruh jagat raya—dan kita bisa
menggunakan partikel-partikel lain selebihnya—kita tetap saja kekurangan tempat untuk
menuliskan semua nol yang diperlukan. 26
Angka-angka yang menentukan rancangan dan rencana keseim-bangan alam semesta
memainkan peranan penting dan melampaui pemahaman manusia. Mereka membuktikan
bahwa alam semesta bukan hasil peristiwa kebetulan, dan menunjukkan “betapa tepatnya
maksud Pencipta” seperti yang dinyatakan Penrose.
Bahkan, untuk menyadari bahwa alam semesta bukan “hasil peristiwa kebetulan”,
seseorang tidak benar-benar membutuhkan per-hitungan ini sama sekali. Hanya dengan
melihat sekelilingnya, manusia dapat dengan mudah menang-kap fakta penciptaan bahkan
dalam suatu detail terkecil. Bagaimana mungkin alam semesta seperti ini, sempurna dalam
sistemnya, matahari, bumi, manusia, ru-mah, mobil, pohon, bunga, se-rangga, dan segala
hal lain di dalamnya, dapat terbentuk ka-rena atom-atom secara kebetul-an bertemu setelah
sebuah ledakan? Setiap detail yang kita lihat menunjukkan bukti keber-adaan Allah dan
kekuatan Ma-habesar-Nya. Hanya orang yang merenungkannya yang dapat melihat tanda-
tanda ini .
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan
malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(ada ) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS. Al Baqarah, 2:164) !
Melihat Kebenaran Nyata
Sains abad ke-20 telah menunjukkan bukti mutlak bahwa alam semesta diciptakan
oleh Allah. Prinsip antropi yang telah disebutkan sebelumnya mengungkapkan bahwa setiap
detail alam semesta telah dirancang bagi manusia untuk hidup di dalamnya dan bahwa tidak
mungkin itu terjadi secara kebetulan.
Yang menarik adalah bahwa orang-orang yang menemukan semua ini dan sampai
pada kesimpulan bahwa alam semesta tidak mungkin terbentuk tanpa sengaja adalah orang-
orang yang sama dengan yang mempertahankan filsafat materialisme. Ilmuwan seperti Paul
Davies, Arno Penzias, Fred Hoyle, dan Roger Penrose bukanlah orang-orang yang taat
beragama dan mereka tentu saja tidak bertujuan membuktikan keberadaan Allah ketika
mereka melakukan pekerjaan mereka. Orang dapat membayangkan bahwa mereka
mencapai kesimpulan tentang rancangan alam semesta karena kehendak Mahakuasa yang
tidak mereka sadari.
Ahli astronomi Amerika, George Greenstein, mengakui ini dalam bukunya The
Symbiotic Universe:
Bagaimana ini bisa terjadi (bahwa hukum-hukum fisika menyesuaikan diri dengan
kehidupan)?... Setelah kami meninjau semua bukti, suatu pemikiran berkeras muncul bahwa
suatu kekuatan supranatural—atau tepatnya, Keku-atan—pasti terlibat. Mungkinkah bahwa
tiba-tiba, tanpa diniatkan, kami mendapatkan bukti ilmiah akan kehadiran Zat Mahaagung?
Apakah itu Tuhan yang turun tangan dan berkenan menciptakan kosmos untuk keun-tungan
kita?
Sebagai seorang ateis, Greenstein mengabaikan kebenaran nyata; wa-laupun dia tidak
bisa mencegah dirinya bertanya-tanya. Di lain pihak, ilmuwan lain yang tidak begitu
berprasangka, langsung mengakui bahwa alam semesta pasti telah dirancang khusus untuk
umat manusia agar hidup di dalamnya. Ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross mengakhiri
artikelnya “Design and the Anthropic Principle” dengan kata-kata ini:
Pencipta yang transenden dan cerdas pasti telah menciptakan alam semesta. Pencipta
yang transenden dan cerdas pasti telah merancang alam semesta. Pencipta yang transenden
dan cerdas pasti telah merancang planet bumi. Pencipta yang transenden dan cerdas pasti
telah merancang kehidupan.28
Jadi, ilmu pengetahuan membuktikan penciptaan. Tentu saja ada Allah dan Dia
menciptakan segalanya di sekeliling kita, terlihat maupun tidak. Dia adalah Pencipta
tunggal keseimbangan yang luar biasa men-cengangkan dan rancangan langit dan bumi.
Telah sampai pada satu waktu bahwa sekarang materialisme tak lebih dari sistem
kepercayaan takhyul, tidak ilmiah. Ahli genetik Amerika Robert Griffiths dengan bercanda
menyatakan “Jika kita me-merlukan seorang ateis untuk berdebat, saya akan pergi ke
jurusan filsafat. Jurusan fisika tidak berguna sedikit pun.”
Sebagai ringkasan: Setiap hukum fisika dan setiap konstanta fisik dalam alam
semesta telah secara spesifik dirancang untuk memungkin-kan manusia ada dan hidup.
Dalam bukunya The Cosmic Blueprint, Davies menyatakan kebenaran ini di paragraf
terakhir, “Kesan adanya Rancang-an sangat mendalam.”
Tak diragukan lagi, rancangan alam semesta adalah bukti perwujud-an kekuatan
Allah. Keseimbangan tepat dan semua manusia dan makhluk lainnya adalah bukti kekuatan
agung Allah dan penciptaan. Hasil yang ditemukan oleh ilmu modern hanyalah pengerjaan
ulang dari kebenaran yang telah diungkapkan empat belas abad lalu dalam Al Quran:
“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha-suci Allah Tuhan semesta
alam.” (QS. Al A’raaf, 7:54) !
Paul Davies: "Bukti ini cukup kuat untuk mengakui keberadaan suatu desain kosmik
yang sadar"
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 47)
Ahli biologi molekuler, Michael Denton, membahas topik penting dalam bukunya,
Nature's Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe. Menurut
Denton alam semesta diciptakan dan dirancang khusus untuk memungkinkan kehidupan
manusia.
PROBABILITAS TERJADINYA ALAM SEMESTA YANG
MEMUNGKINKAN KEHIDUPAN TERBENTUK
Perhitungan ahli matematika Inggris, Roger Penrose, menunjukkan bahwa
probabilitas bagi terbentuknya alam semesta yang kondusif untuk kehidupan secara
kebetulan adalah 1 dalam 1010123. Frase “sangat mustahil” tidak cukup untuk
menggambarkan peluang ini.
10100000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
0000000000000000000
Roger Penrose: Angka ini menunjukkan betapa tepatnya maksud Pencipta.
Jika pemikiran paling cemerlang di dunia hanya dapat dengan susah payah
menguraikan kerja alam yang misterius, bagaimana mungkin kerja alam itu hanya
merupakan suatu kebetulan tanpa pemikiran, atau sebuah produk peristiwa acak?
Paul Davies, profesor Fisika Teoretis
Ilmuwan sepenuhnya sepakat bahwa, berdasarkan perhitungan, Dentuman Besar
terjadi sekitar 17 ribu miliar yang lalu. Semua mate-ri yang membentuk alam semesta
diciptakan dari ketiadaan, namun dengan rancangan luar biasa, seperti yang kita bicarakan
pada dua bab pertama. Akan tetapi, alam semesta yang muncul dari Dentuman Besar bisa
saja berbeda dengan alam semesta yang sudah terbentuk alam semesta kita.
Misalnya, andaikan nilai keempat gaya dasar berbeda, alam semesta akan hanya
terdiri dari radiasi dan menjadi jaringan cahaya tanpa bin-tang, galaksi, manusia, atau lain-
lainnya. Berkat keseimbangan sempurna ke-empat gaya ini , “atom-atom” bahan
pembangun untuk apa yang disebut “materi” terbentuk.
Para ilmuwan juga bersepakat bahwa dua unsur pertama yang paling sederhana—
hidrogen dan helium—mulai terbentuk dalam empat belas detik pertama setelah Dentuman
Besar. Kedua unsur itu terbentuk seba-gai hasil reduksi/pengurangan dalam entropi alam
semesta yang menye-babkan materi tersebar ke mana-mana. Dengan kata lain, pada
awalnya alam semesta hanya sebuah kumpulan atom hidrogen dan helium. Jika tetap seperti
itu, lagi-lagi tidak akan ada bintang, planet, batu, tanah, pohon, atau manusia. Alam semesta
akan menjadi jagat raya tanpa kehidupan, yang terdiri hanya dari kedua unsur itu.
Karbon, unsur dasar kehidupan, adalah unsur yang jauh lebih berat dibandingkan hidrogen
dan helium. Bagaimana unsur ini terbentuk?
Ketika mencari jawaban untuk pertanyaan itu, para ilmuwan ter-sandung pada sebuah
penemuan paling mengejutkan di abad ini.
Struktur Unsur-Unsur
Kimia adalah ilmu alam yang mempelajari senyawa, struktur, dan sifat-sifat zat dan
perubahan yang mereka alami. Dasar kimia modern adalah tabel periodik unsur. Pertama
kali diperkenalkan oleh ahli kimia Rusia, Dmitry Ivanovich Mendeleyev, unsur-unsur dalam
tabel periodik disusun menurut struktur atom mereka. Hidrogen menempati posisi pertama
dalam tabel karena hidrogen adalah unsur paling sederhana, yang terdiri dari hanya satu
proton dalam nukleus/intinya dan satu elek-tron yang mengitarinya.
Proton adalah partikel subatomik yang membawa muatan listrik po-sitif dalam
nukleus atom. Helium, dengan dua proton, menempati posisi kedua dalam tabel periodik.
Karbon mempunyai enam proton dan oksi-gen mempunyai delapan proton. Semua unsur
mengandung jumlah pro-ton berbeda-beda.
Partikel lain yang ada di dalam inti atom adalah neutron. Tidak seperti proton,
neutron tidak membawa muatan listrik: dengan kata lain mereka bermuatan netral, sehingga
diberi nama neutron.
Partikel dasar ketiga yang membangun atom adalah elektron, yang bermuatan negatif.
Dalam setiap atom, jumlah proton sama dengan jumlah elektron. Namun, tidak seperti
proton dan neutron, elektron tidak berlokasi dalam nukleus. Alih-alih, mereka bergerak
mengelilingi nukle-us dengan kecepatan tinggi sehingga muatan positif dan negatif atom
tetap terpisah.
Perbedaan dalam struktur atom (jumlah proton/elektron) adalah yang membuat unsur-
unsur berbeda satu sama lain.
Aturan penting dalam kimia (klasik) adalah bahwa unsur-unsur tidak bisa berubah
menjadi unsur lain. Mengubah besi (dengan 26 proton) menjadi perak (18 proton) akan
mengharuskan penyingkiran delapan proton dari nukleus. Namun proton terikat jadi satu
oleh gaya inti/nuklir yang kuat dan jumlah proton dalam nukleus hanya bisa diubah dengan
reaksi nuklir. Tetapi reaksi yang terjadi pada kondisi bumi adalah reaksi kimia yang hanya
bergantung pada pertukaran elektron dan tidak mempengaruhi nukleus.
Pada Abad Pertengahan muncul “sains” yang disebut alkimia (alche-my)—cikal
bakal kimia modern. Ahli alkimia, yang tidak mengetahui tabel periodik atau struktur atom
unsur-unsur, mengira bahwa mengu-bah satu unsur menjadi unsur lain bisa saja dilakukan.
(Tujuan yang pa-ling disukai, untuk alasan yang jelas, adalah mencoba mengubah besi
menjadi emas.) Kita tahu sekarang bahwa yang dilakukan para ahli alki-mia tidak mungkin
tercapai di bawah kondisi normal seperti kondisi di bumi: Suhu dan tekanan yang
diperlukan agar perubahan seperti itu terja-di terlalu besar untuk dicapai di laboratorium
bumi. Namun perubahan itu mungkin jika Anda punya tempat yang tepat untuk
melakukannya.
Dan tempat yang tepat, ternyata, di jantung bintang-bintang.
Laboratorium Alkimia di Alam Semesta:
Raksasa Merah
Suhu yang diperlukan untuk melawan keengganan inti atom ber-ubah adalah
mendekati 10 juta derajat Celsius. Inilah yang memicu alkimia hanya mungkin terjadi
di bintang. Dalam bintang berukuran sedang seperti Matahari, energi luar biasa banyaknya
yang dipancarkan berasal dari hidrogen yang bergabung menjadi helium.
Dengan mengingat ulasan singkat ilmu kimia unsur ini, mari kita kaji kembali efek
yang terjadi sesaat setelah Dentuman Besar. Telah disebut-kan bahwa hanya atom hidrogen
dan helium yang ada di alam semesta setelah Dentuman Besar. Para ahli astronomi percaya
bahwa bintang seje-nis matahari terbentuk dari nebula (awan kosmis) yang terdiri dari
hidro-gen dan helium yang dimampatkan sampai reaksi termonuklir hidrogen-menjadi-
helium terjadi. Jadi, sekarang kita memiliki bintang-bintang. Namun alam semesta masih
tanpa kehidupan. Untuk kehidupan, unsur yang lebih berat—khususnya, oksigen dan
karbon—diperlukan. Diper-lukan proses lain untuk mengubah hidrogen dan helium menjadi
unsur lain lagi.
“Pabrik pengolahan” unsur-unsur berat ini ternyata adalah raksasa-raksasa merah
jenis bintang yang lima puluh kali lebih besar dibandingkan matahari.
Raksasa merah jauh lebih panas dibandingkan bintang jenis matahari dan sifat ini
menjadikan mereka berkemampuan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan bintang
lain: mengubah helium menjadi karbon. Bahkan, ini juga tidak mudah bagi raksasa merah.
Seperti diungkapkan oleh ahli astronomi Greenstein: “Bahkan sekarang, setelah jawaban
(se-perti untuk pertanyaan bagaimana mereka melakukannya) diketahui, metode yang
diperlukan begitu mencengangkan.”
Nomor atom helium adalah 2: yaitu memiliki dua proton dalam inti-nya. Nomor atom
karbon adalah 6. Dalam suhu yang begitu tinggi pada raksasa merah, tiga atom helium
bergabung menjadi atom karbon. Inilah “alkimia” yang menyediakan unsur lebih berat bagi
alam semesta setelah Dentuman Besar.
Namun seperti kami sebutkan, ini tidaklah mudah. Hampir tidak mungkin untuk
menggabungkan dua atom helium, dan sangat tidak mungkin menggabungkan tiga atom.
Lantas, bagaimana enam proton yang diperlukan karbon dapat bergabung?
Ini adalah proses dua langkah. Pertama, dua atom helium berfusi menjadi unsur
antara yang memiliki empat proton dan empat neutron. Selanjutnya, helium ketiga berfusi
dengan unsur antara ini untuk mem-bentuk karbon dengan enam proton dan enam neutron.
Unsur antara ini adalah berilium. Berilium biasa ditemukan di bumi, namun
berilium yang ada di raksasa merah berbeda dalam hal yang sangat penting: terdiri dari
empat proton dan empat neutron, sementara berilium di bumi memiliki lima neutron.
“Berilium raksasa-merah” merupakan jenis yang berbeda. Inilah yang disebut “isotop”
dalam ilmu kimia.
Sekarang muncullah kejutan sesungguhnya. Isotop ini rupa-nya sama sekali
tidak stabil. Para ilmuwan telah meneliti isotop ini bertahun-tahun dan mendapati bahwa
setelah terbentuk, isotop ini akan meluruh dalam waktu 0,000000000000001 (satu per-juta-
miliar) detik.
Bagaimana isotop berilium yang begitu tidak stabil, yang terbentuk dan meluruh
dalam waktu sangat singkat, mampu bergabung dengan helium menjadi atom karbon? Ini
seperti meletakkan batu bata ketiga di atas dua lainnya yang akan berpencar dalam waktu
satu per-juta-miliar detik jika mereka sempat saling bertumpuk dalam susunan tertentu.
Bagaimana proses ini berlangsung di raksasa merah? Para ahli fisika telah berusaha
memecahkan teka-teki ini selama beberapa dekade tanpa jawab-an. Ahli astrofisika
Amerika, Edwin Salpeter, akhirnya menemu-kan petunjuk untuk misteri ini dalam konsep
“resonansi atomik”.
Resonansi dan Resonansi Ganda
Resonansi didefinisikan sebagai frekuensi (getaran) selaras dari dua materi yang
berbeda.
Contoh sederhana dari pengalaman sehari-hari akan menjelaskan apa yang disebut
para ahli fisika sebagai “resonansi atomik”. Bayangkan, Anda bermain ayunan bersama
anak Anda di taman bermain. Si kecil duduk di atas ayunan dan Anda mendorongnya untuk
memulai ayunan. Untuk menjaga ayunan terus mengayun, Anda harus mendorongnya dari
belakang. Namun, waktu memberikan dorongan ini sangat penting. Se-tiap kali ayunan
mendekat, Anda harus memberikan dorongan tepat pada waktunya: ketika ayunan berada
pada titik tertinggi dari gerakan-nya menuju Anda. Jika Anda mendorong terlalu awal,
hasilnya adalah tabrakan yang mengganggu irama ayunan; jika Anda terlambat mendo-rong,
usaha ini akan sia-sia karena ayunan telah bergerak menjauh. Dengan kata lain,
frekuensi dorongan harus selaras dengan frekuensi ayunan menuju Anda.
Para ahli fisika menyebut “keselarasan frekuensi” seperti itu sebagai “resonansi”.
Ayunan memiliki frekuensi: misalnya mendekati Anda setiap 1,7 detik. Anda mendorong
ayunan setiap 1,7 detik juga. Tentu saja jika Anda menghendaki, Anda dapat mengubah
frekuensi gerakan ayunan, namun jika demikian, Anda harus mengubah frekuensi dorongan
juga, jika tidak, ayunan tidak akan berayun dengan nyaman.33
Seperti halnya dua benda atau lebih yang bergerak dapat beresonan-si, resonansi juga
dapat terjadi ketika satu benda bergerak memicu gerakan pada benda lain. Resonansi
jenis ini sering terlihat pada alat musik dan disebut “resonansi akustik”. Ini dapat terjadi,
misalnya, di antara dua biola yang telah disetel selaras. Jika salah satu dari biola ini
dimainkan di dalam satu ruangan dengan biola yang lain, senar biola kedua akan bergetar
walaupun tidak ada seorang pun yang menyen-tuhnya. Karena kedua alat musik telah
disesuaikan dengan teliti sampai pada frekuensi yang sama, getaran pada satu biola
memicu getaran pada biola yang lain. 34
Resonansi dalam kedua contoh di atas adalah bentuk resonansi yang sederhana dan
mudah untuk dipahami. Ada bentuk resonansi lain dalam ilmu fisika yang tidak sederhana,
dan dalam kasus inti atom, resonansi dapat begitu rumit dan peka.
Setiap inti atom memiliki tingkat energi alamiah yang telah berhasil diketahui setelah
penelitian panjang para ahli fisika. Tingkat energi ini sangat berbeda antara satu atom dan
atom yang lain, namun dalam beberapa kejadian yang sangat jarang dapat di-amati adanya
resonansi di antara bebe-rapa inti atom. Ketika resonansi ini terjadi, gerakan inti atom
saling selaras seperti halnya pada contoh ayunan dan biola. Hal yang penting dari kejadian
ini adalah resonansi mendorong reaksi nuklir yang mempengaruhi inti atom.
Ketika menyelidiki bagaimana kar-bon dibuat oleh raksasa merah, Edwin Salpeter
menyarankan adanya resonansi antara inti atom helium dan berilium yang mendorong
reaksi ini . Reso-nansi ini, menurutnya, membuat atom-atom helium lebih mudah
berfusi menja-di berilium, dan ini memicu reaksi di raksasa merah. Namun, penelitian
se-lanjutnya gagal untuk mendukung gagasan ini.
Fred Hoyle adalah ahli astronomi kedua yang menjawab pertanyaan ini. Hoyle
mengembangkan gagasan Salpeter lebih lanjut, dengan memper-kenalkan gagasan
“resonansi ganda”. Hoyle menyebutkan harus ada dua resonansi: satu yang
memicu dua helium berfusi menjadi berilium, dan satu lagi memicu helium
ketiga bergabung dengan formasi yang tidak stabil ini. Tak seorang pun percaya kepada
Hoyle. Gagasan resonansi selaras yang terjadi sekali saja sudah sulit untuk diterima; apalagi
resonansi ini terjadi dua kali, sama sekali tidak terpikirkan. Hoyle menekuni
penelitiannya selama ber-tahun-tahun, dan pada akhirnya dia membuktikan bahwa
gagasannya benar: Sungguh-sungguh terjadi resonansi ganda pada raksasa merah. Tepat
pada saat dua atom helium beresonansi untuk bergabung, atom berilium muncul dalam satu
per-juta-miliar detik yang diperlukan untuk menghasilkan karbon. George Greenstein
menjelaskan mengapa resonansi ganda meru-pakan mekanisme yang luar biasa:
ada tiga struktur yang sama sekali terpisah dalam cerita ini—helium, berilium
dan karbon—dan dua resonansi yang sama sekali terpisah. Sulit untuk melihat mengapa
inti-inti atom ini harus bekerja sama dengan mu-lus... Reaktor nuklir lain tidak berlangsung
dengan serangkaian kebetulan yang luar biasa... Ini seperti menemukan resonansi yang
dalam dan rumit antara mobil, sepeda, dan truk. Mengapa struktur yang sama sekali berbeda
dapat bersatu dengan begitu sempurna? Keberadaan kita, dan seluruh ben-tuk kehidupan di
alam semesta, bergantung pada proses ini.
Pada tahun-tahun berikutnya, ditemukan bahwa unsur lain seperti oksigen juga
terbentuk dari resonansi yang begitu mengagumkan. Temu-an penganut materialis tulen
Fred Hoyle atas “transaksi luar biasa” ini memaksanya untuk mengakui dalam bukunya
Galaxies, Nuclei and Quasar, bahwa resonansi ganda seperti itu pastilah hasil rancangan dan
bukan kebetulan. Dalam makalah lain, dia menulis:
Jika Anda ingin menghasilkan karbon dan oksigen dalam jumlah yang hampir sama
dengan cara sintesis-inti bintang, ini adalah dua tingkat yang harus Anda tetapkan, dan
penetapan Anda harus tepat pada tingkat di mana tingkat ini ditemukan.... Penafsiran yang
masuk akal atas fakta ini menyarankan bahwa kecerdasan super telah mempermalukan para
ahli fisi-ka, juga ahli kimia dan biologi, dan bahwa tidak ada kekuatan buta yang layak
disebutkan di alam. Angka yang dihitung dari fakta itu begitu menyesakkan saya sehingga
hampir tidak mungkin mengeluarkan kesimpulan ini.
Hoyle menyatakan bahwa kesimpulan yang tak terpungkiri dari kebenaran nyata ini
jangan sampai diabaikan oleh ilmuwan lain.
Saya tidak percaya ilmuwan yang mempelajari kenyataan ini akan gagal menarik
kesimpulan bahwa hukum fisika nuklir telah dirancang dengan sengaja dengan
memperhatikan konsekuensi-konsekuensi yang mereka hasilkan di dalam bintang.
Kebenaran nyata ini telah disebutkan dalam Al Quran 1400 tahun yang lalu. Allah
menunjukkan keserasian dalam penciptaan langit dalam ayat:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan langit
bertingkat-tingkat?” (QS. Nuh, 71: 15) !
Laboratorium Alkimia yang Lebih Kecil: Matahari
Perubahan helium menjadi karbon yang telah dijelaskan merupakan alkimia raksasa
merah. Di dalam bintang yang lebih kecil seperti matahari kita, bentuk alkimia yang lebih
sederhana terjadi. Matahari mengubah hidrogen menjadi helium dan reaksi ini merupakan
sumber energinya.
Reaksi ini tidak kurang penting bagi keberadaan kita dibandingkan dengan reaksi di
raksasa merah. Lebih lanjut, reaksi nuklir di matahari juga merupakan proses yang
dirancang, seperti halnya di raksasa merah.
Hidrogen, unsur masukan reaksi ini, adalah unsur paling sederhana di alam semesta
dengan hanya memiliki proton tunggal dalam intinya. Inti helium memiliki dua proton dan
dua neutron. Proses yang terjadi di matahari adalah penggabungan empat atom hidrogen
menjadi satu atom helium.
Sejumlah besar energi dilepaskan dari proses ini. Hampir semua energi panas dan
cahaya yang mencapai bumi merupakan hasil dari reaksi nuklir matahari ini.
Seperti reaksi yang terjadi di raksasa merah, reaksi nuklir matahari ternyata
melibatkan sejumlah aspek yang mengejutkan yang tanpanya re-aksi ini tidak akan
berjalan. Anda tidak dapat begitu saja mencam-pur empat atom hidrogen menjadi sebuah
atom helium. Agar hal ini terjadi, diperlukan proses dua tahap, seperti yang terjadi di
raksasa me-rah. Pada langkah pertama, dua atom hidrogen bergabung membentuk inti
antara yang disebut deuteron terdiri dari sebuah proton dan sebuah neutron.
Gaya apa yang cukup besar untuk menghasilkan deuteron dengan mencampurkan dua
inti bersama? Gaya ini disebut “gaya nuklir kuat”, salah satu dari empat gaya dasar alam
semesta yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Ini adalah gaya fisik yang paling kuat
di seluruh alam semesta dan besarnya bermiliar-miliar-miliar-miliar kali lebih besar
dibandingkan gaya gravitasi. Hanya gaya ini, bukan lainnya, yang mampu menyatukan dua inti
seperti ini.
Sekarang, hal paling aneh dari peristiwa ini adalah penelitian telah menunjukkan
bahwa, sebegitu kuatnya gaya nuklir kuat ini, namun ha-nya cukup kuat untuk melakukan
tepat apa yang selama ini telah dila-kukannya. Jika hanya sedikit lebih lemah, maka gaya ini
tidak mampu menyatukan dua inti. Sebaliknya, dua proton yang saling berdekatan akan
segera saling menjauh, dan reaksi di matahari akan berhenti sebe-lum dimulai. Dengan kata
lain, matahari tidak akan ada sebagai bintang yang memancarkan energi. Tentang hal ini,
Greenstein menyatakan “An-dai saja gaya nuklir kuat sedikit lebih lemah, cahaya bagi
dunia tidak akan pernah menyala.” 40
Bagaimana jika sebaliknya, gaya nuklir kuat sedikit lebih kuat? Un-tuk menjawabnya,
mula-mula kita harus mempelajari proses perubahan dua inti hidrogen menjadi inti deuteron
dengan lebih terperinci. Pertama, salah satu proton membuang muatannya untuk menjadi
neutron. Neu-tron ini bergabung dengan proton menjadi deuteron. Gaya yang menye-
babkan penyatuan ini disebut “gaya nuklir kuat”; gaya yang mengubah proton menjadi
neutron adalah gaya yang berbeda yang disebut “gaya nuklir lemah”. Tetapi lemah hanya
dalam perbandingan, dan memer-lukan sepuluh menit untuk melakukan pengubahan. Pada
tingkat atom, ini adalah waktu yang begitu lama dan berakibat memperlambat laju reaksi di
matahari.
Mari kita kembali ke pertanyaan kita: Apa yang akan terjadi jika gaya nuklir kuat
sedikit lebih kuat? Jawabannya adalah reaksi di matahari akan jauh berubah sebab gaya
nuklir lemah akan lenyap dari reaksi.
Jika gaya nuklir kuat lebih kuat dari yang ada, ini akan mampu meng-gabungkan dua
proton seketika tanpa menunggu sepuluh menit yang diperlukan bagi proton untuk berubah
menjadi neutron. Hasilnya akan terbentuk sebuah inti dengan dua proton bukannya deuteron.
Ilmuwan menyebut inti seperti itu sebagai diproton. Sejauh ini, diproton adalah unsur
teoretis sebab belum pernah teramati terjadi secara alamiah. Namun jika gaya nuklir kuat
lebih kuat dibandingkan sesungguhnya, maka akan terbentuk diproton nyata di matahari. Lantas
apa? Dengan meng-hilangkan perubahan proton menjadi neutron, kita akan menghilangkan
“penyumbatan” yang menjaga “mesin” matahari bekerja selambat seka-rang. George
Greenstein menjelaskan apa yang akan terjadi:
Matahari akan berubah, sebab tahap pertama dalam pembentukan helium bukan lagi
pembentukan deuteron. Ini akan menjadi pembentukan di-proton. Dan reaksi ini sama sekali
tidak memerlukan pengubahan proton menjadi neutron. Peran gaya nuklir lemah akan
berakhir, dan hanya gaya nuklir kuat yang terlibat... dan sebagai hasilnya, bahan bakar
matahari tiba-tiba akan menjadi sangat ampuh. Matahari dalam keadaan ini akan begitu kuat,
begitu reaktif sehingga matahari dan setiap bintang yang lain akan meledak seketika. 41
Ledakan matahari akan memicu dunia dan isinya terbakar, membuat planet biru
kita beserta isinya hangus dalam beberapa detik. Disebabkan gaya nuklir kuat yang telah
disesuaikan dengan tepat untuk tidak lebih kuat atau lebih lemah, laju reaksi nuklir matahari
melambat dan matahari mampu memancarkan energi untuk bermiliar-miliar tahun.
Penyesuaian yang teliti ini memungkinkan manusia untuk hidup. Jika ada sedikit saja
penyimpangan dalam pengaturan ini, bintang-bintang (termasuk matahari) tidak akan
terbentuk, kalaupun terbentuk akan segera meledak.
Dengan kata lain, struktur matahari bukanlah kebetulan atau ketidaksengajaan.
Sungguh kebalikannya: Matahari telah diciptakan bagi kehidupan manusia, sebagaimana
dinyatakan dalam ayat:
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahmaan, 55:
5) !
Proton dan Elektron
Sejauh ini kita telah mengkaji hal-hal yang terkait dengan gaya yang mempengaruhi
inti atom. ada keseimbangan lain dalam atom yang harus diperhatikan: keseimbangan
antara inti dan elektron.
Dalam bahasa paling sederhana, elektron mengitari inti. Penyebab-nya adalah muatan
listrik. Elektron memiliki muatan negatif dan proton memiliki muatan positif. Muatan yang
berlawanan saling tarik, sehingga elektron sebuah atom akan tertarik ke inti. Namun
elektron juga berputar dengan kecepatan sangat tinggi yang dalam keadaan normal akan
melontarkannya dari inti atom. Dua gaya ini (saling tarik dan daya lontar) seimbang
sehingga elektron bergerak pada orbit mengitari inti.
Atom juga seimbang dalam hal muatan listrik: Jumlah elektron yang mengorbit sama
dengan jumlah proton dalam inti (misalnya, oksigen memiliki delapan proton dan delapan
elektron.). Dengan cara ini gaya listrik dalam atom seimbang, dan dari sisi listrik, atom
bermuatan netral.
Sejauh ini, begitu banyak perihal kimia dasar. Namun ada satu hal dalam struktur
yang kelihatan sederhana ini yang diabaikan banyak orang. Proton jauh lebih besar dibandingkan
elektron dari sisi ukuran dan berat. Seandainya elektron adalah biji kacang, maka proton
akan sebesar manusia. Secara fisik mereka jauh berbeda.
Namun muatan listrik mereka besarnya sama!
Meskipun muatan mereka (elektron negatif, proton positif) berla-wanan, besarnya
sama. Tidak ada alasan jelas kenapa hal ini terjadi. Lebih meyakinkan (dan “masuk akal”)
jika sebuah elektron memiliki muatan yang jauh lebih kecil.
Jika hal ini benar, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Apa yang akan terjadi adalah setiap atom dalam alam semesta akan bermuatan positif
bukannya netral. Dan karena muatan yang sama saling tolak, setiap atom di alam semesta
akan mencoba dan menolak setiap atom yang lain. Alam seperti yang kita ketahui tidak
akan ada.
Apa yang akan terjadi jika hal itu tiba-tiba terjadi sekarang? Apa yang akan terjadi
jika setiap atom mulai saling tolak?
Hal yang sangat luar biasa akan terjadi. Mari kita mulai dari per-ubahan tubuh kita
sendiri. Begitu hal ini terjadi, tangan dan lengan yang memegang buku ini akan seketika
berantakan. Dan tidak hanya tangan, melainkan juga kaki, mata, gigi, dan setiap bagian
tubuh akan meledak dalam kurang dari satu detik.
Ruangan tempat Anda duduk dan dunia sekitar akan meledak dalam sesaat. Seluruh
lautan, gunung, planet dalam tata surya, bintang serta galaksi di alam semesta akan
berantakan menjadi debu atom. Dan tidak akan ada sesuatu pun di alam semesta yang dapat
diamati. Alam semesta akan menjadi sekumpulan atom tak beraturan yang saling tolak.
Seberapa besar perbedaan muatan listrik antara proton dan elektron untuk menjadikan
hal mengerikan ini terjadi? Satu persen? Seper-sepuluh persen? George Greenstein
menjawab pertanyaan ini dalam buku The Symbiotic Universe:
Benda kecil seperti batu, manusia, dan sebagainya akan terbang berantakan jika
kedua muatan berbeda sekecil satu bagian dalam 100 miliar. Struktur lebih besar seperti
bumi dan matahari memerlukan keseimbangan yang lebih sempurna untuk keberadaan
mereka sampai satu bagian dari semiliar-miliar.
Ini adalah keseimbangan lain yang dengan tepat disesuaikan, yang membuktikan
bahwa alam semesta dengan sengaja dirancang dan dicip-takan untuk tujuan tertentu.
Seperti diungkapkan John D. Barrow dan Frank J. Tipler dalam buku “The Anthropic
Cosmological Principle”, “terda-pat rancangan besar dalam alam semesta yang
memungkinkan per-kembangan makhluk hidup berkecerdasan”.
Tentu saja setiap rancangan membuktikan keberadaan “perancang” dengan kesadaran.
Dialah Allah, “Penguasa seluruh alam”, dijelaskan dalam Al Quran sebagai satu-satunya
Kekuatan yang menciptakan alam semesta dari kehampaan, merancang, dan membentuknya
atas kehen-dak-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:
“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah
membinanya. Dia meninggikan bangunannya lalu me-nyempurnakannya.” (QS. An-
Naazi’aat, 79: 27-28) !
Berkat keseimbangan luar biasa yang kita pelajari dalam bab ini, materi mampu
bertahan dengan stabil, dan kestabilan ini merupakan bukti kesempurnaan ciptaan Allah
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:
“Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya
hanya kepada-Nya tunduk.” (QS. Ar-Rum, 30: 26)
Raksasa merah adalah bintang-bintangyang sangat besar, sekitar lima puluh kali lebih
besar dibandingkan matahari. Jauh di tengah raksasa-raksasa ini berlangsung proses yang luar
biasa.
Fred Hoyle adalah orang pertama yang menemukan keseimbangan luar biasa pada
reaksi nuklir yang terjadi di raksasa merah. Meskipun ateis, Hoyle mengakui bahwa
keseimbangan ini tidak dapat dijelaskan sebagai kebetulan dan merupakan sebuah
pengaturan yang disengaja.
Matahari adalah reaktor nuklir raksasa yang terus-menerus mengubah atom hidrogen
menjadi atom helium dan menghasilkan panas dari proses ini . Namun yang penting
untuk proses ini adalah ketepatan luar biasa yang membuat reaksi-reaksi ini seimbang di
dalam matahari. Perubahan sedikit saja pada salah satu gaya yang mengatur reaksi ini akan
memicu kegagalan reaksi atau ledakan berkelanjutan yang menghancurkan.
REAKSI KRITIS DI MATAHARI
1. Atas: Empat atom hidrogen di matahari bergabung menjadi sebuah atom
helium.
2. Bawah: Ini adalah proses dengan dua langkah. Mula-mula dua atom hidrogen
berfusi mem-bentuk sebuah deuteron. Perubahan ini sangat pelan dan yang membuat
matahari terbakar terus-menerus.
Jika gaya nuklir sedikit lebih kuat, sebuah di-proton akan terbentuk bukannya sebuah
deuteron. Tetapi, reaksi seperti itu tidak dapat dipertahankan untuk waktu lama: Ledakan
berkelanjutan yang menghancurkan akan terjadi hanya dalam beberapa detik.
Baik massa maupun volume sebuah proton jauh lebih besar dibandingkan elektron, namun
anehnya, kedua partikel ini memiliki muatan listrik yang besarnya sama (meskipun
berlawanan). Karena kenyataan ini, atom bermuatan listrik netral.
....Sesuatu yang lain pasti berada di belakang segalanya, mengarahkan. Dan itu, bisa
disebut, semacam bukti matematika atas ketuhanan.
Guy Murchie, Penulis Sains dari Amerika
Pada malam tanggal 4 Juli 1054, para ahli astronomi Cina menyak-sikan kejadian
luar biasa: Sebuah bintang yang sangat terang muncul secara tiba-tiba di sekitar gugusan
Taurus. Begitu terang sehingga dapat disaksikan bahkan pada siang hari. Pada malam hari,
bintang ini lebih terang dibandingkan bulan.
Apa yang diamati para ahli astronomi Cina adalah salah satu fenome-na astronomis
yang paling menarik dan bencana paling besar di alam se-mesta. Itulah supernova.
Supernova adalah sebuah bintang yang hancur oleh ledakan. Sebuah bintang raksasa
menghancurkan diri dalam ledakan dahsyat, dan materi intinya bertebaran ke seluruh
penjuru. Cahaya yang dihasilkan dalam peristiwa ini ribuan kali lebih terang dibandingkan
keadaan normal.
Para ilmuwan masa kini menganggap bahwa supernova memainkan peran penting
dalam penciptaan alam semesta. Ledakan ini menyebab-kan unsur-unsur berbeda berpindah
ke bagian lain alam semesta. Diasumsikan bahwa materi yang dilontarkan ledakan ini
kemudian ber-gabung untuk membentuk galaksi atau bintang baru di bagian lain alam
semesta. Menurut hipotesis ini, tata surya kita, matahari dan planetnya termasuk bumi,
merupakan produk supernova yang terjadi dahulu kala.
Meskipun supernova tampak seperti ledakan biasa, pada kenyataan-nya sangat
terstruktur dalam setiap detailnya. Dalam Nature's Destiny, Michael Denton menulis:
Jarak antarsupernova dan bahkan antar semua bintang sangat penting untuk alasan
yang lain. Jarak antarbintang dalam galaksi kita adalah sekitar 30 juta tahun cahaya. Jika
jarak ini lebih dekat, orbit planet-planet akan tidak stabil. Jika lebih jauh, maka debu hasil
supernova akan tersebar begitu acak sehingga sistem planet seperti tata surya kita tidak
mungkin pernah terben-tuk. Jika alam semesta menjadi rumah bagi kehidupan, maka
kedipan super-nova harus terjadi pada laju yang sangat tepat dan jarak rata-rata di antara-
nya, dan bahkan antarseluruh bintang, harus sangat dekat dengan jarak yang teramati
sekarang.
Perbandingan antara supernova dan jarak antarbintang hanyalah dua detail lain yang
sangat selaras pada alam semesta yang penuh keaja-iban. Mengamati lebih teliti alam
semesta, pengaturan yang kita lihat be-gitu indah, baik dalam perancangan maupun susunan.
Mengapa Begitu Banyak Ruang Kosong?
Marilah kita rangkum apa ya
Langganan:
Postingan
(
Atom
)