Home » All posts
Di antara para sarjana yang membuat deinisi arkeologi adalah Grahame
Clark, Stuart Piggot dan James Deetz. Grahame Clark, dalam Archaeology
and Society menyatakan, “Arkeologi merupakan suatu studi yang sistematik
tentang benda-benda kuno sebagai suatu alat untuk merekonstruksi masa
lampau.” Clark menambahkan bahwa meski bidang kajian arkeologi ter�gantung pada artefak, mengklasifikasikan dan mengartikan suatu per�kembangan gayanya, arkeologi juga perlu memberikan gambaran lebih luas
tentang bentuk, tekstur dan artistiknya. Sehingga ahli arkeologi itu dapat
membedakan berbagai produk budaya yang terpisah, menentukan tahap
per kembangan sejarahnya, atau mendeteksi interaksi berbagai tradisi yang
berbeda-beda. Clark juga mengatakan bahwa selain merekonstruksi kehidupan
masyarakat pembuat artefak-artefak yang dikajinya itu, ahli arkeologi juga
perlu menghubungkan sistem kehidupan ekonomi masyarakat, bahkan
lingkungan alamnya
Dalam Approach to Archaeology, Stuart Piggot mengatakan, “Arkeologi
me rupakan suatu disiplin yang mempelajari peristiwa yang tidak disadari dan
di buktikan oleh peninggalan benda-benda yang masih ada, apakah hasil-hasil �ke kunoan itu produk dari sebuah masyarakat dengan menggunakan catatan
tertulis atau tanpa tulisan.”
Di Amerika, arkeologi dianggap bagian dari antropologi, sebagaimana
di deinisikan oleh James Deetz dalam Invitation to Archaeology . Deetz
me nyatakan bahwa, “Arkeologi merupakan disiplin yang memusatkan per�hatian nya terhadap tipe tertentu dari ahli antropologi. Kita tidak dapat
men deinisikan arkeologi kecuali dalam hubungannya dengan antropologi,
suatu disiplin di mana arkeologi menjadi bagiannya. Antropologi merupakan
sebuah studi tentang manusia dalam pengertian yang lebih luas, termasuk
aspek psikologis dan isiknya dan hubungan timbal balik antarkeduanya.
Per hatian antropologi terhadap manusia di masa lalu, telah menjadikannya
sebagai disiplin yang mempelajari makhluk yang telah punah” , Karena itu pula dapat disebut antropologi-arkeologi.
Arkeologi yang berhubungan dengan masa prasejarah biasanya disebut
sebagai prehistorical archaeology, yaitu arkeologi yang memusatkan kajiannya
pada artefak-artefak sebagai produk kebudayaan masyarakat prasejarah
yang belum mengenal tulisan. Sedangkan arkeologi yang memusatkan
konsentrasinya kepada artefak atau benda-benda lainnya sebagai produk
kebudayaan masyarakat yang sudah mengenal tulisan, lazim disebut historical
archaeology atau arkeologi sejarah.
Jika studi arkeologi prasejarah dapat dilakukan dengan ilmu bantu antro�pologi, maka arkeologi sejarah ilmu bantunya adalah ilmu sejarah itu sendiri
yang menggunakan sumber-sumber tertulis. Contoh yang termasuk arkeologi
prasejarah di Nusantara, di mana dalam urutan periodisasinya tergolong ke
dalam zaman prasejarah Indonesia, adalah zaman Indonesia sebelum men�dapat pengaruh Hindu-Buddha. Sedangkan yang termasuk arkeologi sejarah
ialah masa Indonesia ketika mengalami pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha
dan masa Indonesia ketika mengalami pertumbuhan dan perkembangan
Islam, yang lazim disebut sebagai arkeologi Islam Indonesia. Demikian be�berapa deinisi arkeologi. Selanjutnya akan ditelusuri deinisi sejarah yang
diambil dari beberapa ahli.
Saya akan memulai dengan deinisi dari sejarawan Indonesia Sartono
Kartodirdjo. Dalam Metode Pendekatan Sejarah, Sartono mengatakan, “Se�jarah dapat dideinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman
kolektif di masa lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai
suatu aktualisasi atau pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan
suatu kejadian ialah cara membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa
tersebut dalam pengungkapan verbal
Sementara itu, sejarawan Perancis Henri Pirenne mengatakan, “Sejarah
ialah cerita tentang peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan manusia yang
hi dup dalam masyarakatnya” . Ibnu �
Khaldun, sejarawan juga sosiolog terkenal abad ke-14, mengatakan dalam
Mukaddim ah-nya bahwa sejarah mencakup berbagai aspek kehidupan ma�sya rakat manusia, yaitu aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan
Dari beragam deinisi kedua bidang keilmuan tersebut, sebenarnya tujuan
utama dari arkeologi dan sejarah tidaklah berbeda, yaitu merekonstruksi
kehidupan masyarakat masa lampau dalam berbagai aspek, seperti sosial,
eko nomi, kebudayaan dan keagamaan. Namun, berbeda dengan sejarah, bagi
arkeologi, rekonstruksi masyarakat masa lampau tidaklah mudah. Hal itu
dikarenakan perbedaan dalam hal sumber atau datanya. Bila dalam menyusun
kembali atau merekonstruksi kehidupan masyarakat masa lampau, arkeologi
lebih mengacu kepada sumber atau data artefak termasuk itur, maka sejarah
dapat menggunakan sumber-sumber tertulis, seperti dokumen, arsip dan
lain nya, yang mengandung gambaran sejarah politik. Meski artefak dan itur,
baik yang berasal dari zaman prasejarah atau sejarah, dipandang dari segi
sumber nya, termasuk juga sebagai sumber sejarah
Berdasarkan deinisi dan tujuan ilmu arkeologi dan sejarah di atas, tam�pak adanya hubungan timbal-balik. Menurut Nugroho, pembagian kedua
disiplin itu dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan masing-masing
manusia untuk melakukan penelitian terhadap masa lampau masyarakatnya.
Sejarah hanya “mengerjakan” bagian-bagian masa lampau manusia yang me�ninggalkan tulisan, sedangkan bagian masa lampau yang hanya benda-benda
semata, diserahkan kepada disiplin arkeologi
Meski terdapat hubungan erat antara dua bidang keilmuan itu, tetap dapat
diadakan tinjauan sampai sejauh mana pendekatan arkeologi (archaeological
approach) diperlukan dalam penelitian sejarah. Sebagaimana dikatakan di
atas, pendekatan arkeologi dalam penelitian sejarah dalam arti luas atau se�bagai ilmu bantu adalah untuk merekonstruksi: sejarah kebudayaan, hal-hal
tertentu dari sejarah sosial, hal-hal tertentu sejarah ekonomi perdagangan
dan hal-hal tertentu sejarah keagamaan.
Pendekatan arkeologi untuk merekonstruksi sejarah politik sangatlah
mi nim. Pendekatan arkeologi bagi penelitian sejarah kebudayaan, sudah
umum dilakukan. Contohnya, arkeologi melalui studi benda-benda (artefak)
dan bangunan (itur) dapat mengklasiikasikan teknologi pembuatannya
yang mencakup bahan atau material yang dipakainya, klasiikasi gaya atau
corak dan perkembangannya menurut periodisasinya, meneliti nilai-nilai
seni atau estetika yang terkandung dalam artefak atau itur, meneliti fungsi
peng gunaan apakah bersifat ekonomis atau religius, dan meneliti lingkungan
ekologis benda-benda temuan dan situsnya. �
Melalui penelitian arkeologi, dapat dijelaskan lapisan budaya (cultural
layers) yang terdapat dalam suatu daerah atau beberapa daerah kebudayaan
dengan kontak-kontak budaya.
Pendekatan arkeologi dapat pula diterapkan dalam penelitian hal-hal
tertentu dalam sejarah sosial. Sebab, penelitian arkeologi juga dapat mem�berikan sumbangan bagi penelitian sejarah mobilitas sosial dari suatu daerah
ke daerah lainnya dan penelitian status sosial.
Dewasa ini, di berbagai negara, termasuk Indonesia, sejarawan sudah
banyak menggunakan metodologi sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu
sosial (social sciences approach) yang terkenal sebagai Mazhab Annales
yang dimulai di Prancis sejak tahun 1929 dan dipelopori Lucien Febvre,
Marc Bloch, Albert Demagleon, G. Espinas dan lain-lain
Di Indonesia, pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dipelopori
oleh Sartono Kartodirdjo sejak tahun 1957 melalui disertasinya The Peasant
Revolt of Banten in 1888; Its Condition, Course and Sequel: A Case Study
of Social Movem ent in Indonesia, ‘S-Gravenhage, 1996.
Ilmu arkeologi, meski lebih terlambat dari pendekatan sejarah dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial, perkembangannya sudah mulai menggembirakan.
Sebagai contoh, di Inggris, Evans telah melakukan studi arkeologi dengan
pendekatan lingkungan (environm ental archaeology ), terutama dalam
hubungan pembentukan lapisan tanah atau sedimentasi yang terjadi pada
masa prasejarah (Evans, 1960).
Di Indonesia, Mundardjito m em pelajari penem patan situs pada
masa Hindu-Buddha di daerah Yogyakarta dengan pendekatan ekologis
. Seperti digambarkan di atas, pendekatan arkeologi
dari berbagai disiplin lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu budaya,
sosiologi, ekonomi perdagangan dan religius atau keagamaan, memang me�rupa kan hal penting yang juga telah dilakukan beberapa arkeolog dalam
penelitian sejarah.
Pendekatan arkeologi dalam penelitian sejarah kebudayaan, sebagai
contoh misalnya penelitian bentuk atau gaya atau corak artefak dan itur,
biasa nya menunjukkan zamannya, termasuk memberikan gambaran ba�gai mana terjadinya proses akulturasi dari zaman prasejarah ke zaman
Hindu-Buddha, dari zaman Hindu-Buddha ke zaman pertumbuhan dan
perkembangan Islam, serta zaman berikutnya di mana mulai tumbuh dan
ber kembang kebudayaan yang berunsur budaya Barat (kebudayaan Indis)
dan seterusnya. Gaya percandian dan seni bangunan Hindu-Buddha di
J awa Tengah, berakulturasi dengan yang ada di J awa Timur, begitu juga
seni patung atau arca dari Zaman Megalitik dengan zaman Hindu-Buddha
di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
�
Perkembangan teknologi pembuatan peralatan hidup dari zaman
prasejarah, zaman Hindu-Buddha, zaman pertumbuhan dan perkembangan
Islam, dan zaman kebudayaan Indis, dapat diteliti berdasarkan pendekatan
arkeologi-prasejarah dan arkeologi sejarah. Beragam hiasan yang terdapat
pada berbagai artefak dan bangunan dapat dirunut sejarah perkembangannya
dari zaman ke zaman, dan proses percampurannya akibat proses akulturasi
yang terjadi dari zaman ke zaman. Demikian pula sejarah seni bangunan,
da pat dipelajari dari tinggalan arkeologis dari zaman ke zaman, misalnya
arsitektur percandian dan bangunan masjid dari zaman pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia.
Sejarah perkotaan dapat menggunakan pendekatan arkeologi-perkotaan
(urban archaeology), terutama dari segi morfologinya. Meski, pendekatan
tersebut dapat memberikan analisa struktur sosial dan ekonomi perkotaan.
Lebih jauh, tentunya dapat menggunakan dokumen, arsip, babad, hikayat atau
berita-berita asing .
Pendekatan arkeologi dalam penelitian sejarah yang berkaitan dengan
mobilitas sosial, terutama yang horizontal (horizontal social m obility), ber�dasarkan data arkeologis ada persamaannya. Berdasarkan teknologi pe�nyusunan bata pada arsitektur, misalnya susunan tembok dari batu-bata yang
tidak diberi lapisan dari situs bekas peninggalan Majapahit, situs Islam di
Demak, Kudus, Cirebon dan tempat lainnya, dapat dianalisa adanya mobilitas
sosial kepala tukang atau tukang-tukang dari suatu tempat dan suatu masa
ke tempat lainnya dari masa berikutnya .
Contoh lainnya adalah lokasi pemakaman dengan bentuk kuburan pada
masa Islam yang ditempatkan di atas bukit, seperti makam Sunan Gunung
J ati, Sunan Muria, Sunan Giri, makam sultan-sultan Yogyakarta dan Solo
di Imogiri, dan makam Sunan Sendang di Sendangduwur. Semua itu
menunjukkan bahwa makam yang ditempatkan paling atas, merupakan ma�kam yang paling suci. Demikian pula jika tempatnya di dataran, orang-orang
yang dianggap suci, makamnya ditempatkan di halaman paling belakang,
yaitu halaman ketiga. Demikian pula makam bentuk nisan dan kijingnya
yang tinggi berundak, biasanya menunjukkan kedudukan atau status sosial
yang tertinggi.
Yang menarik perhatian, dari pendekatan arkeologi dapat ditemui ada�nya penempatan letak kubur-kubur para raja, yang karena peristiwa politik di
masa kehidupannya, diletakkan terpisah-pisah atau bersebelahan, misalnya
makam sultan-sultan Kasepuhan dan Kanoman (Makam Gunung J ati),
sultan-sultan Yogyakarta dan Solo di Imogiri.
Dari studi arkeologi, dapat diketahui bentuk peralatan yang mempunyai
fungsi sakral. Belum lagi bila diteliti bentuk-bentuk rumah dengan berbagai
lam bangnya, maka akan diperoleh keterangan yang kuat bagaimana stratiikasi �sosial dan status masyarakat pemiliknya, terlebih jika diarahkan terhadap
objek-objek dari masyarakat kerajaan tradisional.
Contoh sumbangan pendekatan arkeologi dalam penelitian sejarah
perdagangan, dapat dilihat dari misalnya jenis-jenis batu nisan Aceh yang di�te mukan di daerah Malaysia, seperti di Malaka, Johor, Negeri Sembilan dan
sebagainya, yang berasal dari Aceh karena hubungan perdagangan
Bentuk nisan makam Ibrahim yang wafat pada 822 H (1419 M) dan
makam Sultanah Nahrisyah (wafat 1428 M) di Kutakrueng di Samudera Pasai
yang menunjukkan persamaan bentuk lukisan, cara penulisan dan bahan
marmer seperti makam Muhammad Ibnu Umar al-Kazaruni (wafat 1333 M)
di Cambay Gujarat, mungkin juga merupakan pesanan dari satu pabrik di
sana, yang juga berarti menunjukkan telah adanya kegiatan perdagangan ,Terutama lagi pendekatan arkeologi dalam
penelitian mata uang seperti di Samudera Pasai dan Aceh, dapat memberikan
pe tunjuk bagi penguatan data penelitian sejarah kerajaan-kerajaan pada
masa pemerintahannya, di samping menunjukkan kaitannya dalam penelitian
ekonomi perdagangan kerajaan-kerajaan waktu itu.
Temuan keramik dari situs arkeologis melalui penelitian khusus arkeologi
terhadap keramik atau keramikologi, seperti terdapat di bekas ibu kota
Kesultanan Banten, Aceh, Goa, jelas dapat melengkapi data dalam penelitian
sejarah perekonomian dan perdagangan antarbangsa, misalnya perdagangan
dengan Tiongkok, Thailand, Jepang, Eropa, Timur Tengah dan lainnya.
Pendekatan arkeologis dalam penelitian sejarah keagamaan sangatlah
penting. Sebagai contoh, penelitian arsitektur yang sifatnya sakral dapat
memberikan penjelasan sejarah perkembangan keagamaan, misalnya dari
masa prasejarah, masa Indonesia Hindu-Buddha, masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam, dan masa kebudayaan Indis; menjelaskan sejarah
perkembangan keagamaan sampai terjadinya kontinuitas, sinkretisme, atau
toleransi dalam sejarah perkembangan keagamaan di Nusantara.
Demikian juga penelitian persenjataan tradisional yang diteliti dari
segi arkeologi, bukan hanya dapat menguatkan atau melengkapi penelitian
sejarah persenjataan dalam peperangan yang terjadi di beberapa kerajaan
di Indonesia. Begitu juga, pendekatan arkeologi dalam penelitian regalia di
beberapa kerajaan di Nusantara, yang antara lain juga sering diceritakan
dalam berbagai naskah kuno, misalnya Babad Tanah Jaw i yang masih
tersimpan di keraton-keraton tertentu sebagai pusaka.
Sebenarnya, masih banyak contoh bagaimana pentingnya pendekatan
arkeologi dalam penelitian sejarah, baik sejarah kebudayaan, sejarah sosial,
sejarah ekonomi perdagangan, sejarah keagamaan, maupun tema-tema lain
dalam sejarah.�Selain itu, karena arkeologi dan sejarah mempunyai kesamaan tujuan,
maka keduanya perlu saling mengisi dan saling melengkapi, dan masing�masing juga perlu diperkaya dengan metode pendekatan ilmu-ilmu yang
relevan. Karena pada dasarnya, kehidupan manusia dalam masyarakat tidak
terlepas dari kaitannya dengan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, ke�budayaan dan keagamaan. Penelitian suatu bidang keilmuan dengan pen�dekatan ilmu lainnya, bukanlah hanya dengan ilmu-ilmu sosial saja, tetapi
juga dengan pendekatan ilmu-ilmu eksakta. Saya pernah mengatakan bahwa,
dalam hal-hal tertentu, arkeologi dapat dipandang sebagai ilmu eksakta,
dan dalam bagian lain, termasuk salah satu di antara ilmu-ilmu sosial dan
humaniora�
DATA historis dan arkeologis menyangkut topik ini masih sangat terbatas
dan tak lengkap. Dalam hal ini, saya berharap kita semua memiliki keinginan
untuk menggambarkan dan menganalisa masalah sejarah ini. Keinginan ter�sebut setidaknya didorong oleh sejumlah pernyataan para sejarawan seperti
Louis Gottschalk dan David Hackett Fischer.
Gottschalk mengatakan bahwa sejarah sebagai sebuah ilmu selalu dibatasi
oleh kurangnya rekaman. Objek yang dipelajari tidak lengkap dan banyak
berubah-ubah bersamaan dengan rekaman yang hilang Sementara, Fischer mengatakan bahwa sejarawan hanya bisa
berharap mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Setiap pernyataan historis
yang benar merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sejarawan.
Bukan jawaban atas pertanyaan tentang segala sesuatu, tapi pertanyaan�pertanyaan tentang suatu hal ,
Diskusi artikel ini akan dipusatkan dan ditekankan pada proses islamisasi.
Ini akan lebih penting daripada hanya mendiskusikan tanggal kedatangan
Islam di sejumlah bagian di dunia Melayu semata. Jika diskusi ini lebih di�dasarkan pada data yang diperoleh di Indonesia daripada di wilayah lain di
dunia Melayu, ini berarti bahwa data tersebut masih harus terus dihimpun
dan dipelajari.
Kedatangan dan Penyebaran Islam
Tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya
Islam mulai masuk dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa
di bagi ke dalam dua kategori. Ada yang mengatakan bahwa kedatangan �Islam adalah pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Teori kategori
pertama ini dikedepankan oleh W.P. Groeneveldt, T.W. Arnold, Syed Naguib
al-Attas, George Fadlo Hourani, J.C. van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita
dan lainnya. Dan ada yang mengatakan bahwa kedatangan Islam dimulai
pada abad ke-13 M. Teori kategori kedua ini dikedepankan oleh C. Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, R.A. Kern, Haji Agus Salim dan lainnya.
Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari dinasti T’ang yang
salah satunya menyebutkan sejumlah orang dari Ta-shih yang membatalkan
niatnya untuk menyerang Kerajaan Ho-ling di bawah rezim Ratu Sima (674
M) karena kuatnya kekuasaan Ratu Sima ,Kata ”Ta-shih” diidentiikasi oleh Groeneveldt sebagai
”orang-orang Arab” yang menetap di pantai barat Sumatera , Ta-shih bahkan disebutkan dalam catatan lain yang lebih akhir seperti
catatan J epang yang menceritakan tentang perjalanan biarawan Kanshin
(748 M) yang menemukan Ta-shih-Kuo dan perahu-perahu Po-sse di Khanfu
(Kanton). Menurut Rita Rose Di Meglio, Po-sse boleh diidentiikasi sebagai
ras keturunan Melayu, tapi Ta-shih hanya orang-orang Arab dan Persia. Dan
tidak ada pada sekitar masa itu (abad ke-7 dan 8 M) orang Muslim yang lain,
seperti Muslim India
Tatsuro Yamamoto berpendapat bahwa dalam Ling-W ai-tai-ta yang
ditulis tahun 1178 M oleh Chou-Chu-Fei, disebutkan bahwa negeri-negeri
Ta-shih beserta ibukotanya Ma-li-pa atau Merbat di pantai Hadramaut
secara geograis termasuk ke dalam kelompok ketiga negara-negara yang
ada di bawah Langit Barat , Selain teori
Groeneveldt tentang lokasi Ta-shih di pantai barat Sumatera, ada teori
lain yang mengatakan bahwa Ta-shih terletak di Palembang atau Kuala
Brang, 25 mil dari Sungai Trengganu .
Meski masih ada perbedaan pendapat tentang lokasi Ta-shih, boleh
dikatakan bahwa pada abad ke-7 dan ke-8 M bukan tidak mungkin orang
Muslim, baik itu orang Arab, Persia, atau India, mulai datang di tempat�tempat tertentu di dunia Melayu, khususnya sekitar Selat Malaka. Mereka
berkomunikasi dengan orang-orang di wilayah tersebut dan dengan itu ajaran
Islam menyebar secara bertahap kepada masyarakat non-Muslim.
Menurut Syed Naguib al-Attas, masyarakat Muslim yang menetap di
Kanton pada abad ke-7 M telah menunjukkan kesalehan dalam beragama
dan telah memiliki hukum yang otonom. Mereka dapat mempertahankan
pe mukiman dan organisasi mereka di Kedah dan Palembang setelah terlibat
dalam pemberontakan melawan otoritas T’ang di bawah Kaisar Hi-Tsung
(878-889 M) .
Kedatangan Islam sejak abad ke-7 dan ke-8 dipicu oleh perkembangan
hubungan dagang laut antara bagian timur dan barat Asia, terutama setelah
kemunculan dan perkembangan tiga dinasti kuat, yaitu Kekhalifahan Umayah
(660-749 M) di Asia Barat, dinasti T’ang (618-907 M) di Asia Timur dan
Kerajaan Sriwijaya (7-14 M) di Asia Tenggara .
Kategori kedua dari teori tentang kedatangan Islam menyebutkan
bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia pada awal abad ke-13 M.
Pelopor teori ini adalah C. Snouck Hurgronje. Ia menghubungkannya dengan
penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulagu pada tahun
1258 .Teorinya diperkuat
oleh J.P. Moquette berdasarkan temuan arkeologis, yaitu batu nisan Sultan
Malik as-Salih yang meninggal pada 696 H (1297 M) di Gampong Samudera,
Lhokseumawe. Data arkeologis ini dianggap sebagai batu nisan tertua yang
mencantumkan nama sultan pertama di wilayah ini. Untuk menjustiikasi
teorinya, Moquette membandingkannya dengan data historis yang lain, yaitu
catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah
ini pada 1292 M, yaitu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai.
Berdasarkan data-data tersebut, Moquette menyimpulkan bahwa kedatangan
Islam pertama di Samudera adalah pada 1270-1275 M .Teori tersebut telah banyak mempengaruhi para sejarawan dan juga
buku-buku sejarah untuk siswa-siswa di berbagai jenjang sekolah.
Tidak mengejutkan jika pada tahun 1963 sebuah seminar tentang ”Ke�datangan Islam di Indonesia” diselenggarakan di Medan. Seminar itu me�nyimpulkan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia pada abad
ke-7 M atau abad pertama Hijriah, langsung dari Arab . Lima tahun kemudian, yaitu tahun 1968, ada sebuah ulasan
dari Drewes dalam artikelnya “Cahaya Baru Tentang Kedatangan Islam ke
Indonesia”, yang intinya dia tetap setuju dengan teori C. Snouck Hurgronje.
Drewes akhirnya menyebutkan hal berikut:
”Penyelidikan telah dibuka kembali, tapi tanpa data baru nampaknya
hasil nya akan tetap sedikit. Pembukaan kembali penelitian arkeologis di
Sumatera Utara dan kajian Islam yang cermat di India Selatan – di mana
pengetahuan terperinci tentang Tamil tak bisa digantikan – adalah keharusan
utama, sama halnya dengan perluasan dan perbaikan edisi catatan-catatan
Groeneveldt dari sumber-sumber Tionghoa.”
Komentar dan masukan Drewes menarik Kenneth R. Hall yang pada
tahun 1977 mempelajari organisasi perdagangan penduduk pribumi dan pe�labuhan dagang di India Selatan dari abad ke-10 hingga 13 M. Berdasarkan �
penelitiannya, dia setuju dengan Drewes dan menekankan bahwa pelayaran
dan perdagangan antara India Selatan dan Asia Tenggara mungkin menguatkan
teori kedatangan Islam dari wilayah tersebut Karena
itu, kedatangan Islam di dunia Melayu masih menarik untuk didiskusikan.
Sejak tahun 1975-1976 saya menuliskan dalam Sejarah Nasional Indonesia
III, bahwa Islam datang ke Indonesia dan sejumlah bagian Asia Tenggara
sejak abad ke-7 dan ke-8 M berdasarkan data historis yang diturunkan dari
catatan Tionghoa, Arab dan Persia.
Sejak itu, proses islamisasi terjadi. Persentuhan pedagang Muslim
dengan penduduk setempat telah terjadi di sana untuk sekian lama hingga
se buah kerajaan Muslim berdiri pada abad ke-13 M, Samudera Pasai.
Pendirian kerajaan tersebut bisa dihubungkan dengan kelemahan kerajaan
Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana dituturkan oleh Chou�Chu-Fei dalam catatan Ling W a-Tai-ta (1178 M). Situasi dan kondisi politik
Sriwijaya saat itu dipengaruhi oleh tekanan Kerajaan Singasari dari J awa
yang mengirimkan Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 ke Sumatera. Karena
itu, kelemahan Sriwijaya menyebabkan ketidakmampuan mereka untuk
mengontrol rute perdagangan internasional di sekitar selat Malaka .
Selat Malaka termasuk rute pelayaran dan perdagangan penting sejak
abad pertama. J adi, rute sepanjang pantai barat Sumatera mungkin juga
digunakan oleh pedagang Muslim, bahkan sebelum abad ke-13 M. Pada abad
ke-11 M di pantai barat Sumatera, Barus, telah ada gudang penyimpanan
milik pedagang Tamil. Disebutkan juga dalam Prasasti Tanjore (1030 M)
bahwa Raja Colamandala telah menyerang Panai, sebuah tempat di wilayah
itu .
Menarik untuk dicatat bahwa pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset
Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu nisan di
situs Tuanku Batu Badan di Barus. Yang terpenting dari temuan-temuan itu
adalah sebuah nisan yang mencantumkan nama seorang perempuan, Tuhar
Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar 602 H sebagaimana ditafsirkan oleh
Ahmad Cholid Sodrie dari Pusat Riset Arkeologi Nasional.
Temuan ini sebenarnya pernah dilaporkan oleh Asisten Residen Tarutung,
D.W.N. de Boer dan Gezaghebber Barus, J.L. Plas, kepada Museum Batavia
pada tahun 1929, tapi setelah dibandingkan ada perbedaan penafsiran.
Mereka membaca ”Tuhan Amarsura” yang meninggal pada 19 Safar 972 M.
Terpisah dari batu nisan yang disebutkan di atas, ada juga batu nisan
Syekh Muhammad yang waktu meninggalnya masih belum pasti. Namun
dari temuan arkeologis di Barus, dapat dikatakan bahwa batu nisan Tuhar
Amsuri tertanggal 602 H lebih awal dari batu nisan Sultan as-Salih yang �
tertanggal 696 H. Ini berarti jauh sebelum pendirian Kerajaan Samudera
Pasai, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat
di sekitar pantai barat Sumatera. Bagaimana ini bisa dihubungkan dengan
hipotesis W.P. Groeneveldt tentang pemukiman Ta-shih pada abad ke-7 M?
Ini bukan berarti persoalan tersebut membutuhkan penyelidikan lebih lanjut
di Barus dan sekitarnya. Asumsi tentang hubungan antara kedatangan Islam
dan orang-orang Tamil ke India Selatan, sebagaimana dikemukakan Drewes,
menimbulkan perhatian Kenneth R. Hall untuk mengkaji lebih lanjut tentang
kegiatan perdagangan yang dijalankan oleh orang-orang India Selatan yang
hasilnya mendukung teori sebelumnya .
Rute perdagangan saudagar Muslim yang melalui Selat Malaka dan
Semenanjung Malaya hingga ke Tiongkok berdampak adanya kontak langsung
dengan pantai utara Jawa. Adanya kontak dan kedatangan Islam di wilayah
pantai utara J awa dibuktikan oleh temuan batu nisan di Leran, Gresik.
Keseluruhan karakter huruf di batu nisan tersebut adalah huruf kui dan
mencantumkan nama Fatimah binti Maimun bin Abdullah yang meninggal
pada 495 H (1102 M).
Ada keraguan tentang
tanggal, bisa jadi ia meninggal pada 475 H (1082 M) sebagaimana telah
dibaca Ravaisse yang lebih banyak diterima
Meski asal batu nisan tersebut masih diperdebatkan, tak ada keraguan bahwa
batu nisan ini adalah yang tertua yang ditemukan di Indonesia. N.A. Baloch
beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran
yang dibangun pada abad ke-10 M. Anggapannya didasari oleh keindahan
tulisan kaligrai kui ,Apapun anggapannya, ini
merupakan sebuah bukti bahwa pada abad ke-11 M telah ada masyarakat
Muslim di pantai utara Jawa.
Temuan arkeologis makam Malik Ibrahim tertanggal 822 H (1419 M)
di Gresik dan lainnya di Troloyo, Trowulan, Jawa Timur yang mana salah
satunya tertanggal 1379 Çaka (1457) menunjukkan bahwa saat Kerajaan Majapahit masih
berkuasa, telah ada masyarakat Muslim di dekat ibukota Majapahit dan
sekitarnya. Berdasarkan kemiripan jenis dan sistem penulisan serta bahan
batu pualam yang sama, batu nisan Malik Ibrahim (822 H), batu nisan
tertanggal 822 H dan 831 H dari Samudera Pasai dan juga batu nisan Umar
bin al-Kazurani tertanggal 754 H (1333 M) dari Cambay, yang telah dianalisa
oleh J.P. Moquette, diduga adalah buatan pabrik yang sama di Cambay w,Kemiripan batu nisan ini dapat
juga dihubungkan dengan perkembangan hubungan dagang antara Gujarat,
Samudera Pasai dan pantai utara J awa Timur yang sudah merupakan
daerah sibuk pada saat itu. Kemajuan pedagang Muslim yang didukung oleh
mubaligh berkaitan erat dengan perkembangan perdagangan internasional �
lewat Selat Malaka sejak abad ke-7 dan ke-8 M sehingga sejumlah tempat di
Semenanjung Malaya boleh jadi telah dikunjungi oleh pedagang-pedagang
Muslim.
Ibnu Khurdadhbih dalam karyanya Kitab Akbar menyebutkan bahwa
Kalah Bar (mungkin Kedah) adalah sebuah pelabuhan yang dikunjungi
pedagang Muslim dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad ke-9 M.
Menurut Wolters, Ligor dan Kedah telah digunakan pedagang Arab sebagai
pusat perdagangan , Dari tempat-tempat tersebut, sejumlah pedagang Muslim berlayar ke
Sumatera dan Jawa, dan kebanyakan dari mereka melanjutkan perjalanannya
ke Tiongkok. Khurdadhbih menjelaskan pelayaran lewat Selat Malaka
(salabit) ke Pulau Tiuman, kemudian berlanjut ke Indocina, singgah di
pelabuhan Sanf, Kerajaan Campa, kemudian ke Sanf Fulaw. Dari sini mereka
beranjak ke Teluk Tonkin kemudian ke Hanoi yang diketahui sebagai Luqin,
sebelum mencapai Khanfu (Kanton), tempat koloni Muslim berada. Rute-rute
perdagangan laut di antara tempat-tempat tersebut dan durasi pelayaran juga
disebutkan oleh Khurdadhbih. Dari Masqat ke Kulam Mali membutuhkan 29-
30 hari, dari Kulam ke Kalah Bar (Kedah) satu bulan, dari Kalah Bar ke Sanf
Fulaw satu bulan dan dari Sanf Fulaw ke Khanfu (Kanton) satu bulan. Jadi,
secara keseluruhan mereka membutuhkan waktu 120 hari termasuk transit
Kunjungan pedagang Muslim ke
Campa dapat dibuktikan oleh penemuan batu nisan dengan tanggal 431 H
(1039 M) ditulis dalam tulisan kui yang menggambarkan masyarakat Muslim
di wilayah ini .
Dengan adanya dua makam di Campa dan Leran di J awa Timur,
Lombard menyimpulkan bahwa hubungan antara masyarakat Muslim di
pantai selatan Tiongkok, India dan Timur Tengah adalah sebagai ”poros
pelayaran” Champa-Jawa Timur mungkin telah memainkan peranan dalam
ekspedisi Yuan yang terkenal yang mencapai puncaknya pada abad ke-14 dan
15 M. Hubungan antara Champa dan Jawa Timur dapat dikaitkan dengan
sebuah legenda yang menyebutkan perkawinan antara putri Campa dengan
Raja Majapahit. Kuburan putri Campa dikatakan berada di kuburan Muslim
kuno di Trowulan yang bertanggal 1370 Çaka (1448/ 9 M) .
Sebelum Malaka muncul sebagai kerajaan yang dikenal, baik di awal
abad ke-15 M di Dunia Melayu, Trengganu mungkin telah dikunjungi oleh
pedagang Muslim dan mungkin juga mubaligh. Di samping tradisi dan catatan
asing, ada temuan arkeologis yaitu batu tulis Trengganu yang terkenal, ditulis
dalam tulisan J awi (Melayu-Arab) yang bertanggal J umat 4 Rajab, tahun
Sharatan 702 H (atau Jumat 22 Februari 1303 M). Prasasti tersebut telah
diumumkan secara publik sebagai Jumat 25 Rajab 702 H. Bulan Rajab adalah �
salah satu bulan suci menurut al-Quran karena Isra-Mi’raj Nabi terjadi di
bulan Rajab .
Meski Prasasti Trengganu dianggap sebagai prasasti tertua dalam bahasa
Melayu di Semenanjung Malaya, pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di
Malaka pada awal abad ke-15 M. Hal ini ditunjukkan oleh Raja Parameswara
yang menurut Tome Pires memeluk Islam saat dia menikah dengan putri
Pasai. Setelah itu Parameswara memperoleh gelar sultan baru, yaitu Sultan
Megat Iskandar Shah (1413 M). Semenjak itu Malaka berkembang sebagai
pusat kerajaan Islam dan pusat penyebaran Islam ke berbagai wilayah di
dunia Melayu, khususnya ketika diperintah oleh Sultan Mudzaffar Shah (1459
M) dan Sultan Mansyur Shah (1459-1477 M).
Tipologi batu nisan raja-raja Malaka dan lainnya di Malaysia yang
memiliki kemiripan dengan yang ada di Samudera-Pasai, khususnya yang
disebut Othman tipe A dan B dari 1475-1488 M dan 1495-1511/ 12 M,
membuktikan adanya kontak antara Samudera Pasai dan Malaka termasuk
wilayah lain di Malaysia . Pengaruh lain
dari Samudera Pasai di Malaka dapat juga dilihat dalam bentuk koin emas
(dirham) yang dibuat di kerajaan ini (T. Ibrahim Alian, 1979: 9). Data historis
menyangkut pendirian dan perkembangan Malaka di antaranya adalah
Sejarah Melayu dan khususnya catatan Tome Pires, Sum a Oriental, dari
1512-1515 M. Hubungan yang berkaitan dengan kedatangan dan penyebaran
Islam terjadi tidak hanya di antara masyarakat Samudera Pasai, Malaka,
Jawa dan Maluku tapi lebih-lebih hingga Patani, bagian utara Malaysia dan
bagian selatan Thailand.
Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa pelopor pertama yang telah
memperkenalkan Islam di Patani adalah seorang pria dari Pasai bernama
Syekh Said. Sebagaimana dikatakan, hal ini terjadi setelah Raja Patani, Paya
Tu Nagpu disembuhkan dari sakitnya. Raja ini diislamkan oleh Syekh Sai dan
ia memberinya nama dan gelar Sultan Ismail Shah Zillullah Filalam. Ketiga
anaknya juga masing-masing diberi nama, yang tertua Sultan Mudhaffar Shah,
yang kedua Sitti Aisyah dan yang termuda Sultan Mansur Shah. Ketika Sultan
Mudhaffar Shah memerintah Patani, seorang mubaligh, Syekh Saifuddin
datang dan mendirikan sebuah masjid hingga Patani menjadi lebih ramai
dengan masyarakat Muslimnya.
Masih banyak temuan arkeologis lainnya seperti makam Batu Aceh yang
telah dipelajari oleh Wayne A. Bougas. Di situs kuno Patani ada makam�makam dengan Kubo Tok Pake yang dipercaya menyimpan jasad Syekh Said,
Kubo (Toh) Barahom dan Kubo Nang Chaye, Kubo Dato, Kubo Toh J awa
dan lain-lain .Dari data historis dan arkeologis
tersebut, sudah sangat jelas bahwa Samudera Pasai dengan lokasinya yang
strategis dalam rute perdagangan di sekitar Selat Malaka memiliki peranan �
penting dalam penyebaran Islam dan prosesnya di sejumlah wilayah seperti
Malaka, Patani, J awa, dan mungkin wilayah-wilayah lain di dunia Melayu .
Berkenaan dengan kedatangan dan penyebaran Islam di Brunei
Darussalam, erat kaitannya dengan situasi geograisnya yang berada dalam
rute perdagangan internasional yang membentang dari Arabia, Asia Barat,
Asia Tenggara (dunia Melayu) dan Tiongkok di Asia Timur. Sebagaimana yang
telah didiskusikan di awal bahwa perdagangan laut internasional telah di mulai
sejak abad ke-7 dan berlanjut di abad-abad selanjutnya, tapi tak di ke tahui
pasti kapan Islam pertama kali datang di Brunei dan dari mana. Me nu rut teori
lama, Islam datang dan menyebar di Brunei lewat bagian barat Asia Tenggara,
dari India, Sumatera Utara dan Malaka sejak awal abad ke-16. Barbara Watson
dan Leonard Y. Andaya mempunyai asumsi sebagai berikut:
”Lama menjadi bagian jaringan perdagangan internasional, Brunei sering
di kunjungi oleh pedagang-pedagang Muslim dan karena itu bersinggungan
dengan ajaran Islam. Kepergian dari banyak pedagang Muslim dan bahkan
mungkin sejumlah pejabat Melayu setelah penaklukannya oleh Portugis
tahun 1511 meletakkan dasar bagi peralihan Brunei. Penguasa Brunei ak�hir nya mengadopsi Islam beberapa waktu antara 1514 dan 1521.” .
Pendapat mereka pada kenyataannya berlawanan dengan data historis
yang membuktikan bahwa kedatangan dan penyebaran Islam di Brunei lebih
awal dari abad ke-16. Ini juga bisa dihubungkan dengan sejarah Selasilah
atau Tersilah Brunei yang menyebutkan bahwa sultan pertama disebut
Alak ber Tata (Aluk/ Ahlok Batatar) yang memerintah pada abad ke-15 M
Disebutkan bahwa Alak ber Tata
dan pengikutnya Patih Berbi dari Brunei mengirim ekspedisi ke J ohor
pada periode Sultan Brunei untuk menyatakan keislaman. Tradisi yang lain
mengatakan bahwa Alak ber Tata terpikat putri Johor saat ia berada di sana,
dia memeluk agama Islam dan menikahinya dengan sebuah perjanjian. Dia
kemudian diberi nama Sultan Muhammad.
Alak ber Tata mempunyai 5 koloni: Kalaka, Saribo, Sadang, Samarahan
dan Sarawak. Merujuk pada sebuah legenda, Awang Alak Batatar menjadi
Muslim di Malaka pada 1414 M setelah kembali dari Tiongkok dan diberi
nama Sultan Muhammad I. Hubungannya dengan Malaka meningkat pada
abad ke-15 M di bawah Sultan Syarif Ali .
Kenyataan bahwa Islam datang ke Brunei beberapa abad sebelum
abad ke-15 dan 16 M tentu mengejutkan pengetahuan kita. Hal ini dapat
dibuktikan dengan penemuan batu nisan Sultan Abdul Majid bin Muhammad
Shah al Sultan tertanggal 440 H atau 1048 M di pekuburan Muslim di Jalan
Penduduk, Bandar Seri Begawan. Temuan lain adalah batu nisan Tuan Pu�Kung Chih Mu tertanggal 1264 M yang dipercaya merupakan seorang Muslim
dan penemuan situs prasasti Tionghoa di pekuburan Muslim di Ranggas,
Bandar Seri Begawan. Ditemukan juga sebuah batu nisan di pekuburan
Muslim di Ujong Bukit, Bandar Seri Begawan yang memuat prasasti Arab
tertanggal 1418-19 M.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut bisa dikatakan bahwa Islam telah
datang dan menyebar di Brunei sebelum abad ke-11 M, periode yang sama
sebagaimana di Jawa Timur yang dibuktikan oleh penemuan Prasasti Leran
tertanggal 1082 M dan penemuan Prasasti Campa tertanggal 1039 M.
Suatu riwayat mengatakan bahwa ada pelopor Islam bernama Sayid
Abu Bakar dan Syarif Muhammad Kabungsuwan yang datang dari Sumatera
dan mendakwahkan Islam di Sulu, Mindanao, Maguindanao dan Buayan .
Dalam sebuah tarsilah sultan-sultan Sulu yang diterbitkan oleh Saluby
tahun 1907, dalam bab ”Sejarah Sulu” disebutkan bahwa ada 17 sultan mulai
dari Abu Bakar (Sultan Syarif) hingga sultan ke-17, Muhammad Alimuddin
II atau Sultan Aminuddin, 1808. Dengan merujuk Tarsilah Sulu, Cesar Adib
Majul menjelaskan sejarah kedatangan Islam di Filipina, khususnya Sulu .
Sayid Abu Bakar mengumumkan dirinya sebagai keturunan istri sultan
pertama, yaitu putri Raja Baginda yang bernama Sultan Syarif. Dia tinggal
di perbukitan Bukit Tumang Tangis seberang kuburan Bwansa, yang hingga
kini kuburan tersebut masih dipelihara baik. Sayangnya, hanya ada sedikit
data tentangnya. Batu nisan di dekatnya dihubungkan dengan sultan kedua,
yaitu Kamaluddin. Menurut catatan rakyat Spanyol tahun 1638, tentara�tentara telah menghancurkan batu nisan di Bwansa. Sultan Syarif, Sultan
Kamaluddin dan Sultan Maharjo Uno yang disebutkan dalam tarsilah sultan�sultan Sulu tidak diidentiikasi oleh orang Spanyol. Tapi sultan keempat dari
yang 17 dapat diidentiikasi karena mereka juga disebutkan dalam manuskrip�manuskrip Eropa, seperti Pangeran Budiman, sultan keempat yang dikenal
Spanyol tahun 1578 M sebagai saudara ipar Sultan Seiin-Rijal dari Brunei.
Sultan ke 5, Pangeran Tengah (Sultan Tanga) dan ke-6, Sultan Bungsu
disebutkan juga oleh Jesuit Fransisco Combes. Cesar Adib Majul menduga
Karim al Makhdum tiba di Sulu pada 10 tahun terakhir Raja Baginda, yaitu
pada 1380 M sebagaimana disebutkan juga dalam semua tarsila. Tanggal itu
juga diakui oleh Saluby. Tuan Mashaikh (nama panggilan dan bukan nama
asli) tiba di Sulu setelah cucu-cucunya menjadi kepala Maimbung saat Raja
Baginda datang ke Bwansa sekitar 1397 M. Dia mungkin merupakan yang
pertama yang datang ke Maimbung, tapi tidak di Sulu. Kenyataan ini dapat �
dihubungkan dengan batu nisan asing di Bud Dato, dekat Jolo, tertanggal
710 H (1310 M). Batu nisan tersebut dihubungkan dengan Tuan Maqbalu,
mungkin nama asli dari Tuan Mashaikh .
Dalam buku lain berjudul Moro: Pejuang Muslim dari Filipina Selatan,
disebutkan bahwa kedatangan dan penyebaran Islam dapat dihubungkan de�ngan sui-sui yang datang dari Iran dan India sejak ibu kota Baghdad di�hancurkan Mongol pada 1258 M. Mereka keluar dari Iran dan India dan
me lanjutkan perjalanan ke Semenanjung Malaya dan Asia Tenggara. Meraka
berasal dari kelompok Muhajirin. Kelompok baru yang disebut ”kelompok
Makhdum” telah lahir dan kebanyakan dari mereka mungkin mendarat di
Sulu. Batu nisan dari orang Makhdum dapat dilihat di Sulu .
Releksi atas Proses Islamisasi
Diskusi tentang kedatangan dan penyebaran Islam tidak bisa dilakukan
tanpa mereleksi proses islamisasi. Mendiskusikan proses islamisasi selalu
mengandung sejumlah pertanyaan tentang kelompok yang memperkenalkan
dan menerima Islam, negeri asal mereka, dan jaringan yang digunakan. Jangka
waktu antara kedatangan dan penyebaran Islam, khususnya kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam merupakan proses panjang yang bertahun-tahun.
Proses Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang secara alamiah
menguntungkan masing-masing pihak, yaitu bagi orang Muslim yang datang
dan menyebarkan Islam ke berbagai tempat di dunia Melayu dan bagi
orang-orang yang menerima atau beralih ke Islam di wilayah ini. Secara
ga ris besar, penyebaran Islam beserta prosesnya dapat dilakukan melalui
jalur yang beragam seperti: perdagangan, perkawinan, birokrasi, pendidikan
(pesantren), suisme, seni dan lainnya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kedatangan Islam ke
beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti rute pelayaran dan perdagangan
dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok. Meskipun peran pedagang
Muslim adalah menjual dan membeli barang dagangan, mereka dapat juga
menyebarkan atau memperkenalkan ajaran-ajaran Islam kepada orang-orang
di wilayah-wilayah asing. J .C. van Leur menyatakan bahwa Islam adalah
doktrin kenabian yang menyingkap jalan menuju keselamatan dan penebusan
dengan menunjukkan doktrin kewahyuan Yahudi dan Kristen sebagai con�toh. Dan lewat asal-usul eskatologis dan soteriologisnya, ia mengandung
karak teristik yang mirip dengan agama misionaris. Islam tidak mempunyai
rahib ekslusif yang memiliki kharisma magis seperti dalam kekristenan
Katolik dalam artian Kristen awal. Karena sifat ekspansif dan misioner dari
Islam, setiap Muslim adalah seorang propagandis keyakinan. Inilah mengapa
pedagang dari dunia Muslim merupakan sosok ”misionaris” paling umum di �wilayah asing. Inilah mengapa dalam hal ini keimanan mengikuti jalur-jalur
per dagangan .
Kalimat terakhir yang disebutkan di atas sebenarnya berkaitan dengan
prinsip-prinsip pengajaran Islam yang dinyatakan dalam al-Quran surat
16, ayat 125-128
Ayat 125 tersebut berbunyi:
”Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan
pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik, se�sungguhnya Tuhanmu-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan siapa yang memperoleh petunjuk.” Sementara ayat 128:
”Sesungguhnya Tuhan beserta orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat
kebaikan.”
Pedagang Muslim yang datang ke pusat perdagangan di wilayah-wilayah
yang asing kemungkinan besar tak bisa kembali dengan segera. Mereka me�nunggu barang dagangan mereka terjual agar bisa membeli barang da gangan
setempat dan membawanya kembali ke negeri mereka. Selain itu, pelayaran
kembali mereka tergantung pada musim. Karena itu, dalam banyak hal proses
ini menghabiskan waktu berbulan-bulan sebelum mereka bisa berangkat. Biasa�nya mereka tinggal berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota.
Perkampungan jenis ini sering disebut ”Pakojan” yang berarti sebuah kam�pung pedagang Muslim yang datang dari Arab, Persia, India, Tamil dan lain�lain. Kampung Pakojan masih ditemukan dengan topo-nya (ilmu nama-nama
tempat) dan juga dengan tempat-tempat nyata di sejumlah kota-kota sejarah
seperti Banten, Jayakarta dan lainnya
Hubungan antara kelompok pedagang Muslim dan komunitas lokal
diwujudkan secara bertahap. Lewat komunikasi jenis inilah proses islamisasi
terjadi. Lebih-lebih ketika perkawinan terjadi antara pedagang Muslim
dan penduduk lokal sehingga keluarga Muslim yang besar terbentuk. Kita
mempunyai sebuah contoh dari catatan Tome Pires menyangkut kebiasaan
perkawinan yang terjadi di antara masyarakat Malaka. Dia menyebutkan
sebagai berikut:
”Setiap orang memiliki satu atau dua orang istri dan juga gundik sebanyak
yang ia sukai; mereka hidup bersama dengan damai. Dan negara mengamati
ke biasaan ini: penyembah berhala menikah dengan perempuan Moor atau
pria Moor dengan perempuan penyembah berhala dengan upacara mereka;
dan dalam pesta dan kegembiraan mereka minum banyak anggur. Beginilah
pria maupun wanita di Jawa.”
Keinginan anggota komunitas lokal untuk memulai pernikahan dengan
pedagang Muslim pada waktu itu tidaklah mengejutkan. Dilihat dari su�dut pandang ekonomi, pedagang Muslim asing memperoleh status atau �
ke dudukan yang tinggi. Karena itu bangsawan dan raja-raja cenderung
menginginkan pernikahan antara putri mereka dengan pedagang Muslim.
Dalam sejarah Indonesia disebutkan bahwa perkawinan silang terjadi. Babad
Tanah Jaw i, misalnya menyebut perkawinan antara putri Campa dan Raja
Majapahit, Brawijaya. Disebut juga bahwa Maulana Ishak menikahi putri
Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri, serta perkawinan
antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Gede Manila, putri
Tumenggung Wilwatikta atau Majapahit
Babad Cerbon juga menyebutkan perkawinan antara Sunan Gunung Jati
dengan putri Kawung Anten, dan Sejarah Tuban menceritakan tentang per�kawinan putri Raden Ayu Teja, putri Aria Ikara dari Tuban, dengan seorang
Arab bernama Syekh Ngabdurrahman yang memiliki seorang putra bernama
Syekh Jali Tom Pires dalam catatannya menyebutkan
perkawinan antara putri Raja Pasai dengan raja kedua Malaka, Xaquem Darxa
(Muhammad Iskandar Shah) yang berusia 72 tahun dan menjadi seorang
Muslim. Ia mengatakan bahwa saat itu Raja Malaka tak hanya beralih menjadi
Moor saja tapi juga membuat seluruh rakyatnya melakukan hal yang sama
dengannya. Dalam hal ini raja menjadi Moor dan seterusnya sampai peristiwa
perebutan Malaka. Dia hidup dalam ikatan perkawinan selama delapan tahun
dengan dikelilingi para mullah. Dia juga meninggalkan sekelompok anak dari
istri pertamanya yang juga menjadi Moor, yang mewarisi kerajaan dan diberi
nama Modafarxa .
Penemuan Prasasati Trengganu yang bertanggal 1303 M adalah bukti
historis bagi berdirinya masyarakat Muslim di wilayah ini. Penyebaran dan
prosesnya mungkin terjadi sebelum abad ke-14, dipengaruhi perkembangan
perdagangan dengan negeri-negeri tetangga seperti Samudera Pasai, Malaka
dan lainnya. Kedatangan dan penyebaran Islam dari Malaka ke wilayah�wilayah tetangga di Semenanjung Malaya seperti Pahang, Perak, J ohor,
Kedah dan lainnya, mungkin terjadi sebelum berdirinya Kerajaan Malaka.
Tapi proses islamisasi di wilayah-wilayah tersebut hingga menjadi negeri�negeri Islam tak diragukan lagi dipicu oleh perkawinan silang antara raja-raja
Malaka, khususnya selama pemerintahan Sultan Mudzaffar Shah dan Sultan
Mansyur Shah (Joginder Singh Jessy, 1986: 22).
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya bahwa penyebaran Islam
di Patani, sebuah wilayah di bagian selatan Thailand, dapat direkonstruksi
oleh data yang diturunkan dari Hikayat Patani dan catatan Tome Pires.
Tidak diketahui secara pasti kapan Patani ditemukan. Tome Pires yang
menuliskan perjalanannya pada 1512-1515, membicarakan Patani seolah
tempat itu telah ada untuk waktu yang lama, mungkin sejak 1390, meski ini
masih tetap diidentiikasi oleh pelaut-pelaut Tionghoa sebagai Langkasuka �
pada saat pelayaran Admiral Cheng Ho (1403-1433). Menurut A. Teeuw &
D.K. Wyatt, data penemuannya mungkin sebaiknya dilihat antara pertengahan
abad ke-14 dan 15 pada saat meluasnya perdagangan dan meningkatnya
kepenting an Thai di Semenanjung dan penyebaran Islam .
Tradisi Patani lokal menghubungkan perubahan penguasa dengan orang�orang dari Pasai yang hadir di Patani sebagai komunitas dagang. Hikayat
Patani menyebutkan nama Syekh Said yang datang dari Pasai, mengajak
Raja Patani untuk memeluk Islam setelah memulihkan sakit sang raja.
Dengan menyebutkan Shahadat, Raja Patani menjadi Muslim. Syekh Said
memberikan nama dan gelar kepada Raja Patani sebagai Sultan Ismail Shah
Zillullah Fil alam. Setelahnya Syekh juga memberikan nama kepada tiga
pangeran dan putrinya: yang tertua dengan nama Sultan Mudzaffar Shah,
yang kedua dengan nama Siti Aisyah, dan yang paling muda dengan nama
Sultan Mansur. Setelah memberikan nama kepada putra dan putri raja,
Syekh Said kembali ke kampungnya di Pasai. Sejak itu dengan dukungan
raja, Islam menyebar kepada orang-orang Patani dan wilayah sekitarnya .
Perkawinan yang seringkali terjadi antara raja dan anak dari raja lainnya
bisa merupakan sebuah jenis perjanjian lunak antara dua atau lebih kerajaan.
Merujuk pada sejarah Brunei, sebuah perkawinan terjadi antara Raja Brunei,
Awang Alak Batatar, dengan salah satu putri Sultan Malaka, pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Shah, sehingga sang raja beralih memeluk
Islam .
Tradisi lainnya menyebutkan bahwa Raja Brunei, Awang Alak Batatar
menikahi putri Sultan Johor .Tapi
proses islamisasi di Brunei Darussalam, berdasarkan bukti arkeologis yaitu
batu nisan putri Sultan Abdul Majid bin Sultan Muhammad Shah tertanggal
440 H atau 1048 M, lebih awal daripada waktu pemerintahan Awang Alak
Batatar di permulaan abad ke-15. Penemuan arkeologis yang lebih awal ini
dianggap sebagai hasil dari proses islamisasi di kota Brunei dari abad ke-
11. Penyebaran Islam di kota ini dianggap sebagai tanggung jawab utama
pedagang Arab dan Persia dan pendakwah iman Islam. Pedagang-pedagang
tersebut datang lewat jalan Tiongkok, Indocina, dan Semenanjung Malaya.
Penyebaran Islam selanjutnya ke daerah terpencil Brunei, yaitu wilayah
pedalaman Tutung, Belait dan Temburong, dibawa oleh penduduk lokal
(Melayu) dari ibukota yang telah memeluk Islam lebih awal. Persentuhan
antara Muslim ibukota yang kebanyakan merupakan Melayu dan pedalaman
Dusun, Murut, Belait, dan penduduk lainnya membuat penyebaran Islam
menjadi kenyataan di wilayah pedalaman. Persentuhan terjadi melalui proses�proses yang beragam seperti perkawinan silang, sosialisasi, perdagangan, dan �dakwah informal (Pameran Sejarah Perkembangan Islam di Brunei, Dewan
Bandaran Bandar Seri Begawan Brunei, 21 November 1979 bertajuk ”Sejarah
Kedatangan Islam ke Brunei”).
Kedatangan dan penyebaran Islam dan prosesnya di pulau-pulau Sulu dan
Filipina Selatan dekat sekali dengan rute perdagangan yang menghubungkan
Malaka dan Filipina. Berdasarkan temuan arkeologis seperti batu nisan di
Filipina Selatan, sejak abad ke-13 M banyak Muslim yang menetap di wilayah
ini, khususnya di Pulau J olo. Data ini diperkuat oleh temuan batu nisan
Tuan Miqbal, Muslim dari luar Filipina tapi hingga kini tak seorang pun
dapat mengidentiikasi apakah ia seorang Muslim Arab, Persia, atau India.
Di samping sosok ini, sejarah lokal telah mencatat pelopor Islam lain, yaitu
Tuan Mashaikh .
Menurut salah satu tradisi lokal, pembawa masuk pertama Islam di
Filipina adalah seorang Arab, Sharif Karim al Makhdum, yang dianggap
mencurahkan dirinya pada pengobatan dan sihir, keahlian keluarga pada
saat itu. Dia dikatakan tinggal di ibu kota lama, Bwansa, di mana orang
membangun sebuah masjid untuknya atas keinginan mereka. Banyak yang
berduyun-duyun ke masjid dan satu atau dua ketua beralih memeluk Islam.
Dia mengunjungi pulau lain juga dan makamnya dianggap ada di Sibutu
Pengajar Islam selanjutnya dikatakan adalah seorang Arab, Abu Bakar,
yang berkiprah di Malaka di bawah Sultan Mansur Shah (1458-1477), dia
dianggap telah mencapai Sulu lewat Palembang dan Brunei. Dia menikahi
putri Pengeran Bwansa, Raja Baginda, yang baru saja menjadi Muslim
dan mungkin juga perebut kekuasaan dari Minangkabau: ayah mertuanya
menetapkannya sebagai ahli warisnya. Dengan keyakinan diri yang tinggi, dia
kemudian memerintah rakyatnya, menyebut dirinya sendiri sebagai sultan.
Merujuk pada silsilah keluarga di Mindanao, diketahui nama Muhammad
Kabungsuwan dengan anggota-anggota keluarga Kesultanan Malaka, datang
ke Mabalac, wilayah Aranum, tempat ia mendirikan kerajaan Islam dengan
dukungan Samel, kepala lokal, pada 1520 M. H.J . De Graaf berpendapat
bahwa Muhammad Syarif Kabungsuwan berasal dari J ohor, anak dari
seorang Arab yang mengaku merupakan keturunan Muhammad, dan ibu
Melayu. Datu Mindanao selanjutnya menyatakan diri sebagai keturunannya.
Dia dikatakan menginginkan lahan hanya setelah orang-orang telah pindah
ke Islam. Banyak yang memeluk keyakinan, setelah disucikan dulu .
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa di samping pedagang-pedagang
yang datang dan menyebarkan Islam kepada orang-orang di dunia Melayu,
pengajar-pengajar agama khusus atau mubaligh, juga memainkan peranan
penting dalam proses islamisasi. Tome Pires dalam catatannya menyebutkan �
bahwa para mullah yang menyertai pedagang-pedagang datang ke beberapa
pelabuhan di Malaka, Jawa dan lainnya. Dia mengatakan bahwa pada masa
pemerintahan Raja Xaquem Darxa (Muhammad Iskandar Shah), Malaka
memperdagangkan barang dagangan. Banyak Moor dan mullah yang
mencoba dengan keras untuk membuat raja yang tadi disebutkan beralih
ke Moor, dan Raja Pasai sangat berhasrat akan hal ini. Raja Saquem Arxa
kenyataannya ingin menunjuk pengajar yang disebutkan tadi dan menyukai
mereka .
Tome Pires juga menyebutkan bagaimana penguasa-penguasa Jawa di
pesisir pantai menjadi Muslim. Dia mengatakan bahwa di sana banyak pe da�gang yang biasa datang: Persia, Arab, Gujarat, Bengali, Melayu dan ke bang sa�an lainnya. Makin banyak orang Moor di tengah-tengah mereka. Mereka mu lai
berdagang di negeri itu dan mulai kaya. Mereka berhasil mem buat mas jid, dan
mullah datang dari luar. Mereka datang dalam jum lah yang terus tum buh.
Anak-anak Moor menganggap mereka adalah orang Jawa dan kaya ka rena
mereka telah berada di daerah tersebut selama sekitar 70 tahun. Di be be�ra pa tempat, penguasa-penguasa Jawa penyembah berhala beralih men jadi
pengikut Muhammad, dan mullah beserta pedagang-pedagang Moor meng�ambil kepemilikan tempat-tempat tersebut .
Pelopor Muslim yang telah memperkenalkan dan menyebarkan Islam
kepada raja-raja, bangsawan dan rakyat di wilayah-wilayah di dunia Melayu
memiliki sejumlah gelar seperti mullah, syekh, makhdum dan gelar setempat
seperti kiai, sunan, khatib, datu atau dato, wali dan lain-lain. Sejumlah nama
pelopor Islam dengan gelar-gelar tersebut, diambil dari hikayat, sejarah
dan catatan asing: seperti Syekh Said yang datang ke Patani dari Pasai dan
mengajarkan Islam di kampungnya (Kampung Pasai, di Patani) dan kemudian
diundang oleh Raja Patani untuk mengobati sakitnya raja, dan setelah ia
mengobati sang raja dengan cara supernatural, raja kemudian memeluk
Islam; Syekh Ngabdurrahman di Tuban (Jawa Timur) yang menikahi putri
Aria Teja, Tuan Mashaikh yang datang ke Sulu dan berhasil memperkenalkan
Islam kepada masyarakat di wilayah tersebut; Maulana Ibrahim yang telah
mendakwahkan Islam di Gresik dan sekitarnya; Maulana Ishak yang menikahi
putri Raja Blambangan; Makhdum Jati atau Sunan Gunung Jati yang telah
mengislamkan penduduk di Pulau J awa; Syarif Karim al Makhdum di
Bwansa di Kepulauan Sulu; Syekh Mansur yang telah mengislamkan raja dan
masyarakat Tidore; Ijreli Lijatu yang menjadi Muslim dan mengubah namanya
menjadi Jamaluddin; dan Datu Mulia Hussein yang telah memperkenalkan
Islam kepada Raja Ternate dan rakyatnya dengan membaca al-Quran dengan
suaranya yang merdu .
Tiga mubaligh yang dikenal secara kolektif sebagai Dato’ Tallu di Makassar,
atau Datu’ Tellu di Bugis, bernama: Dato’ri Bandang (namanya adalah Abdul �
Makmur dan panggilannya Khatib Tunggal), Dato’ ri Pattimang (Sulaiman alias
Khatib Sulung) dan Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Ketiganya
memiliki peranan penting dalam islamisasi di Sulawesi Selatan.
Menurut sumber setempat, mereka telah mengislamkan Raja atau Datu
La Patiware Daeng Parabung yang pada 15 dan 16 Ramadhan 1013 H (4 atau
5 Februari 1605 M) mengucapkan Shahadat dan mengambil nama Sultan
Muhammad. Setelah itu mereka mengislamkan Raja Gowa dan Tallo, yaitu
Karaeng Matoaya I Malingkang Daeng Manyonri’ Karaeng Katangka, penguasa
Tallo dan Perdana Menteri Gowa. Ia memeluk Islam beserta sejumlah
anggota keluarganya dengan mengucapkan Shahadat pada Jumat 9 Jumadil
awal 1014 H (22 September 1605 M) dan mengubah nama menjadi Sultan
Abdullah .Raja Gowa dan Tallo beralih ke
Islam diikuti oleh rakyatnya. Dari Goa, Tallo dan Luwu, Islam menyebar ke
tempat-tempat lain di Sulawesi Utara. Cerita ini beserta sejumlah legenda
lokal tentang kedatangan pertama ketiga dato’ dan perangai mereka yang
terpuji membawa kesan bahwa bahwa perjalanan wilayah utama Sulawesi
Selatan menuju Islam sangatlah pesat.
Di J awa, peran islamisasi ada pada tangan sembilan orang suci yang
lebih dikenal sebagai Wali Sanga. Pelopor-pelopor islamisasi tersebut, Wali
Sanga, yaitu Sunan Ampel (Sunan Rahmat), Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Gunung J ati, Sunan Muria, Sunan Kali J aga, Sunan Drajat, Sunan
Kudus dan Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti J enar. Kegiatan-kegiatan
mereka dalam mengislamkan raja-raja atau penguasa dan mayarakat Jawa,
khususnya di wilayah pantai utara, sering kali dituturkan oleh hikayat,
sejarah dan tradisi lokal. Di antara ke sembilan wali, Sunan Kali Jaga selalu
disebut peranannya dalam proses islamisasi lewat perangainya yang terpuji
dengan pendekatan budaya yang ia lakukan. Merujuk pada legenda, ia
memperkenalkan Islam dengan pertunjukan wayang, memainkan gamelan
dan sebagainya .
Di antara para pedagang, mubaligh, atau pengajar agama khusus, ada
juga sejumlah sui yang mengajarkan Islam lewat suisme. Dalam hal ini
A.H. Johns berpendapat bahwa suisme merupakan kategori fungsional
dan perlambang dalam kesusastraan Indonesia antara abad ke-13 dan 18
Sui dilibatkan secara langsung dalam proses
penyebaran Islam ke Indonesia dan mungkin juga bagian-bagian lain di
dunia Melayu. Sui memainkan bagian yang penting dalam organisasi sosial
kota-kota pelabuhan Indonesia. Sifat khusus suisme adalah memfasilitasi
penyerapan komunitas non-muslim ke dalam ikatan Islam. A.H. Jones lewat
hipotesisnya menekankan kepentingan dan keunikan pengajar sui dalam pe�nye baran Islam ke Indonesia. Dengan menguji kembali hikayat-hikayat Jawa
dan Melayu seperti Sejarah Banten, Babad Tanah Jaw i, Hikayat Raja��
Raja Pasai, Sejarah Melayu dalam kaitanya dengan hal ini, dia dapat me�rumuskan gambaran yang lebih memuaskan tentang proses tersebut. Hal ini
memungkinkan untuk melihat sifat artiisial dan superisial dari teori-teori
yang menghubungkan penyebaran Islam dengan pedagang dan faktor yang
pa ling berkontribusi terhadap penyebaran Islam.
Golongan sui berkembang di Indonesia sebagaimana di tempat lainnya.
Sebagai fenomena urban yang canggih, dia memiliki peranan khusus dalam
pusat Muslim internasional. Sebuah gambaran tentang tasawuf, sui dan
peranan mereka ditemukan dalam catatan-catatan sejarah, hikayat dan cerita
rakyat setempat. Di Aceh, Hamzah Fansuri dan Shams al-Din al-Sumatrani
dikenal baik. Di Jawa ada Syekh Lemah Abang (Siti J enar) yang menganut
doktrin realis. Dia kemudian ditentang oleh Nur al-Din al-Raniri, Abdul Rauf
dari Singkel dan Sunan Bonang dari Jawa yang mengetahui bahwa doktrin
w ahdatul w ujud memisahkan konsep makhluk
Syed Muhammad Naguib al-Attas memuji al-Raniri sebagai seorang
sui, teolog, sejarawan, seniman dan misioner par excellence. Pengaruhnya
di dunia Melayu sangat besar hingga tak pernah diduga dan diketahui se�belumnya. Tidak ada orang lain di dunia Melayu yang menyumbangkan
begitu banyak dalam lapangan ilmu dan pembelajaran Islam daripada al�Raniri. Dari perspektif islamisasi dia memainkan peranan paling besar dalam
menyatukan agama di antara orang-orang Melayu dan mengenalkan kualitas
kehidupan spiritual dan intelektual mereka yang kekal. Al-Raniri merupakan
salah satu dari tokoh-tokoh terbesar Islam di dunia Melayu .
Menarik untuk dicatat bahwa sejumlah prasasti yang ditemukan di Batu
Aceh (batu nisan jenis Aceh) mengandung pesan tersirat suisme. Pesan itu
menyangkut pandangan hidup sui, kematian, dan perjalanan mistis jiwa
menuju ”singgasana Tuhan” untuk berkomunikasi dengan-Nya. Contoh-contoh
dari batu nisan tersebut antara lain batu nisan Marhum Bardarah Puteh di
Pagoh-Muar, batu nisan Sultan Alauddin Ri’ayat Shah (meninggal 1488) dari
Malaka, batu nisan Raja Fatimah dan Raja Jamil, Makam Nibong, dan lain�lain. Othman Yatim berpendapat bahwa jika mistik dari istana Pasai dan
Malaka menunjukkan doktrin mereka dalam tulisan, kata-kata tersebut tidak
bertahan. Dia percaya prasasti yang ada di batu nisan penguasa awal Pasai dan
Malaka, meski terbatas, memberikan titik terang bahwa keberadaan elemen
suistik sudah ada pada awal abad ke-9 .
Peran sui yang menggunakan jalur tasawuf dalam proses islamisasi
sangat besar. Dalam sejarah suisme terkadang seorang sui tergantung pada
dukungan raja-raja dalam mengajarkan ajaran mereka. Ada catatan tentang
nasib Hamzah Fansuri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda �
dibandingkan pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Doktrin Hamzah
Fansuri didukung oleh Iskandar Muda tapi tidak didukung oleh Sultan
Iskandar Tsani. Doktrin tasawufnya ditentang oleh al-Raniri yang didukung
oleh Iskandar Tsani (Hoesein Djajadiningrat, 1913: 186).
Sebagaimana yang telah dicatat di atas bahwa di antara pedagang-pe�dagang Muslim, mubaligh, mungkin sui-sui tertentu, selama masa tinggal
mereka di daerah pinggiran kota, di pelabuhan kota besar atau kota kecil,
mereka menikah dengan putri-putri raja atau bangsawan. Perkawinan anta�ra pedagang-pedagang Muslim, mubaligh dengan anggota bangsawan dapat
meningkatkan proses islamisasi. Secara tidak langsung peristiwa ini memiliki
dampak yang menguntungkan bagi masing-masing pihak. Dari sudut pandang
masyarakat setempat, peringkat sosial Muslim ditingkatkan oleh kualitas
karismatik bangsawan. J ika raja-raja mereka, gubernur, dan bangsawan
mengadopsi agama baru, yaitu Islam, mereka siap diikuti oleh masyarakat,
sebagaimana dalam tradisi mereka dan dalam derajat berbeda raja atau
sultan-sultan dianggap sebagai perwakilan Tuhan di dunia. Tradisi ini,
hingga kini masih ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia sebagaimana
di bagian lain dunia Melayu, meski kini dipengaruhi dan dimodiikasi oleh
budaya Barat (H.J. de Graaf, 1954: 62-82; Robert Heine Geldern, 1956; Uka
Tjandrasasmita, 1985: 10).
Penggunaan gelar seperti panembahan, susuhunan, sunan, dan pangeran
pa da faktanya adalah bentuk pengakuan masyarakat terhadap kekuatan
ketuhanan dari sultan atau raja-raja mereka. Jika pedagang atau mubaligh
menikah dengan anggota bangsawan atau adipati setempat, mereka punya
kesempatan untuk menjadi anggota bangsawan yang selanjutnya bisa diangkat
sebagai anggota birokrat kerajaan. Ini bukan berarti bahwa saluran birokrasi
ini juga digunakan untuk melancarkan kepentingan ekonomi sebagaimana
kepentingan agama.
Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren. Siswa agama di�sebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau ajengan.
Me rujuk pada tradisi setempat, Sunan Giri mendirikan pesantren di Giri,
Gresik, yang mana murid-muridnya datang juga dari Maluku. Syekh Abdul
Kahi membangun pesantrennya di Gunung Jati di Cirebon. Syekh Kuro
men dirikan pesantren di Karawang. Murid diambil dari berbagai tempat
dan setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke tempat masing-masing
untuk menjadi kiai dan mendirikan pesantren baru. J adi, pesantren sebagai
pusat pendidikan tradisional dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses
islamisasi. Ia memiliki peran yang lebih luas dan jangkauan geograis yang
lebih besar saat siswa atau santrinya berasal dari tempat-tempat jauh terpencil
(Uka Tjandrasasmita, 1985: 19; 1976: 124).�
Dari gambaran dan analisis di atas, tidak dapat ditentukan dengan pasti
dari negara mana orang Muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah�wilayah di dunia Melayu untuk pertama kalinya. Sebab, hingga kini tidak
ditemukan sumber historis otentik untuk menjelaskan dan memecahkan
masalah ini. Karena itu, akan lebih baik untuk mengatakan bahwa sekelompok
Muslim yang datang dan menyebarkan Islam pertama kali kepada masyarakat
di dunia Melayu adalah dari Arab, Persia, India, dan mungkin juga dari
Tiongkok. Mereka bisa jadi merupakan pedagang, mubaligh atau pengajar
agama, dan sui.
Berdasarkan pada sejumlah sumber historis, proses islamisasi di daerah�daerah tersebut tak hanya dilaksanakan oleh Muslim asing, tapi juga oleh
pelopor-pelopor dari negeri pribumi. Peran dari pelopor pribumi sangat
penting karena mereka memiliki pengalaman tentang masyarakat mereka,
dan mereka tahu lebih banyak dibandingkan para pendatang asing tentang
situasi dan kondisi budaya mereka. Faktor ini sangat penting karena proses
islamisasi dapat dipercepat oleh pendekatan-pendekatan budaya, dengan
jalan damai dan persuasif.
Proses islamisasi ini makin pesat dengan dukungan dan seruan dari
raja-raja mereka dengan memberikan konsep tradisional kepada masyarakat
tentang raja mereka sebagai wakil Tuhan di dunia. Konsep tradisional
masyarakat ini berjalin dengan gelar-gelar yang diberikan kepada raja se�bagai pangeran, sunan, susuhunan, panembahan, dan lain-lain. Karena itu,
penyebaran Islam beserta prosesnya tak hanya dilalui lewat bangsawan tapi
juga lewat masyarakat secara keseluruhan (Uka Tjandrasasmita, 1985: 19;
1975: 39). Dengan kata lain, Islam bukan hanya eksklusif bagi bangsawan
dan raja tapi terbuka juga bagi masyarakat secara umum sejalan dengan sifat
Islam yang tidak mengakui perbedaan status dan derajat.
Saluran-saluran islamisasi melalui perdagangan, perkawinan, birokrasi,
lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) dan suisme telah didiskusikan.
Ada juga saluran kesenian dalam berbagai bentuk. Salah satu contoh adalah
arsitektur Islam yang direleksikan masjid. Kebanyakan masjid tua di Indonesia
dan di Malaysia dari abad ke-16 dan 18 menunjukkan karakteristik yang
berbeda dari yang ditemukan di negara-negara Muslim lainnya, khususnya
di Saudi Arabia, Timur Tengah, dan India. Elemen arsitektur yang paling
penting ditunjukkan oleh atap bertingkat dengan dua, tiga, empat atau lebih
tingkat, menuju atas. Contoh-contoh dari masjid-masjid dengan jenis atap
seperti ini antara lain Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten, Masjid
Agung Cirebon, Masjid Agung Palembang, dan Masjid Agung Ternate (Uka
Tjandrasasmita, 1976: 236-242).
Di Malaysia juga ditemukan sejumlah masjid tua dengan atap bertingkat
seperti di Indonesia: masjid tua di Kampung Laut, Nilam Puri, Kota Bharu �
(Kelantan), masjid di Ampangan Negeri Sembilan, Masjid Air Baloi dan
Kampung Merlong di Johor, Masjid Terengkera, Peringgit, Kampung Keling,
Kampung Hulu di Malaka, Masjid Kampung Masjid Tinggi Bagan Serai di
Perak, dan sejumlah masjid tua di tempat-tempat lain di Malaysia (Abdul
Halim Nasir, 1984: 19-47).
Masjid-masjid tua di Indonesia dan di Malaysia telah dipugar selama
beberapa waktu namun prinsip arsitekturnya tetap dipertahankan. Masjid�masjid tua tersebut kadang dihiasi oleh dekorasi-dekorasi yang diambil dari
motif tradisional yang telah digunakan sebelum kedatangan dan penyebaran
Islam. Karena itu, arsitektur dan dekorasi jenis ini dapat ditelusuri ke be�lakang hingga elemen-elemen yang dimiliki arsitektur agama sebelumnya,
yaitu pura Hindu yang melambangkan m eru (gunung suci dalam Hinduisme)
yang masih dapat diakui dari relief-relief sejumlah pura di Jawa Timur dan
Bali (Uka Tjandrasasmita, 1985: 20).
Lalu, apa latar belakang dari arsitektur dan dekorasi jenis ini dalam
masjid-masjid tua? Menurut pendapat saya, perawatan tradisi arsitektur
agama beserta dekorasinya memiliki makna yang dalam untuk menarik
non-Muslim agar memeluk Islam sebagai keyakinan mereka. J ika mereka
memasuki masjid-masjid jenis tersebut, mereka tidak akan mengalami ke�tegangan budaya (cultural shock). Dengan kata lain, seni arsitektur dan
dekorasi dapat dianggap sebagai salah satu saluran dalam proses islamisasi.
Seni dekoratif juga dapat ditemukan dalam bentuk kaligrai yang sering
ditemukan pada batu nisan, dinding masjid, dan dalam beberapa papan kayu
atau logam. Di Brunei, seni kreatif kaligrai dan perancangan (seni ukir)
memainkan peranan yang penting dalam penyebaran Islam. Kaligrai dan seni
lukis Arab dapat dilihat pada batu nisan tua di Brunei seperti batu nisan Sultan
Bolkiah. Kaligrai-kaligrai Arab dan Melayu (Jawi) tersebut mewakili bukti
awal kedatangan Islam di Brunei (Pameran Sejarah Perkembangan Islam di
Brunei, 21 November 1979). Di Malaysia, seni dekoratif juga digunakan untuk
menyebarkan Islam (Abdul Halim Nasir, 1986, Uka Tjandrasasmita, 1975:
93-98). Penggunaan kata-kata Arab diambil dari ayat al-Quran atau hanya
Shahadat, sementara tulisan Arab untuk ini ada dua jenis, yaitu nasta’iq dan
kui (Uka Tjandrasasmita, 1978: 27). Di dunia Melayu, penggunaan tulisan
nasta’iq lebih populer dibanding penggunaan tulisan qui.
Seni jenis lain yang digunakan para pelopor Islam dalam arti islamisasi
adalah seni pertunjukan. Saya telah menjelaskan penggunaan pertunjukan
wayang oleh Sunan Kali Jaga. Menurut legenda setempat, Sunan Kali Jaga
menciptakan wayang, meski diketahui bahwa wayang telah populer dan
diturunkan dari Mahabharata dan Ramayana beberapa abad sebelum pe�nyebaran Islam di Jawa. Untuk mencapai tujuannya, Sunan Kali Jaga meng�ganti sejumlah pahlawan Mahabharata dengan pahlawan-pahlawan Islam �
seperti Ali, Umar, Amir Hamzah, dan lain-lain. Penggunaan pertunjukan
wayang ditujukan sebagai alat tradisional untuk mengantarkan ajaran agama
dan moral baik kepada masyarakat. Dabus, menurut sejumlah pendapat, juga
digunakan dalam proses islamisasi di tempat-tempat tertentu. Hingga kini
Dabus masih dipertunjukkan seperti di Banten, Garut, Aceh, Maluku (Uka
Tjandrasasmita, 1976: 1246; J. Vredenbreght, 1973: 302-319).
Masih banyak lagi jenis kesenian yang dapat dipelajari dan dianalisa
dalam hubungannya dengan proses islamisasi di dunia Melayu. Sebagai
tambah an, saya pikir kesusastraan, khususnya dari periode peralihan, juga
di guna kan sebagai saluran islamisasi sejak ditemukan makna sebaik katanya,
karena tulisan-tulisan itu digunakan secara tidak langsung dalam semangat
Islam. Kesusastraan agama tersebut secara bertahap beralih menjadi prinsip�prinsip keyakinan Islam. Karena itu, kesusastraan dari periode islamisasi juga
penting untuk dipelajari agar dapat diketahui secara psikologis dan secara
pedagogis sejauh mana pelopor-pelopor Islam menggunakan kesusastraan
untuk penyebaran iman kepada masyarakat.
kedatangan
Islam pertama kali ke beberapa tempat tertentu di dunia Melayu diduga pada
abad ke-7 M atau awal abad ke-8 M hanya berdasarkan pada data historis
yang terbatas, yaitu hikayat Tionghoa dan sejumlah catatan-catatan Arab dan
Persia. Kedua, pembawa Islam ke daerah-daerah tersebut adalah pedagang
Muslim, mubaligh atau pengajar agama khusus, dan sui yang datang dari
berbagai tempat: Arab, Persia, India, dan mungkin juga dari Tiongkok.
Ketiga, penerima Islam adalah raja-raja, bangsawan, dan masyarakat secara
keseluruhan. Tapi di antara mereka ada yang menjadi penyebar ajaran Islam
ke beberapa tempat seperti, Wali Sanga atau sembilan orang suci, maulana,
syekh, kiai atau ulama, dato, dan sebagainya. Kepesatan proses islamisasi
dipercepat oleh dukungan dan seruan dari raja.
Keem pat, kedatangan dan penyebaran Islam dilakukan lewat berbagai
saluran: perdagangan, perkawinan, sistem birokrasi, lembaga pendidikan
(pesantren), suisme, dan seni. Pelopor-pelopor Islam dalam menjalankan
kewajiban mereka sebagai da’i menghadapi beberapa daerah dengan situasi
dan kondisi sosial-budaya dan sosial-politiknya. Beberapa dari daerah tersebut
dipengaruhi oleh Hindu atau Buddha dan beberapa masih tetap utuh bebas
dari pengaruh budaya luar. Dan, di beberapa negara terdapat perpecahan
politik disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang memberi jalan
pada proses islamisasi. Kelim a, akibat pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam,
proses islamisasi memperoleh pijakan yang makin ajeg, dan di saat yang
bersamaan, pusat kota besar atau kota kecil menjadi pusat budaya Islam.�
ARTIKEL ini mendiskusikan dua hal: jalur pelayaran dan jaringan perdagangan
regional dan internasional, serta bandar dan komoditas ekspor-impor.
Topik tersebut tak dapat dipisahkan dari metodologi sejarah sosial-ekonomi
sebagaimana pernah dibicarakan antara lain oleh J.C. van Leur dalam bukunya
Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Econom ic History
(1955). Suatu kajian sistematik yang memberikan gambaran kehidupan
masa lampau sosial-ekonomi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Kajian ini
mem punyai peranan penting bagi Indonesia. Berbagai kepulauan dengan
lautan yang berfungsi sebagai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan antar�suku bangsa dengan bangsa lain, mempunyai kedudukan penting dalam
menentukan jalannya sejarah ekonomi Indonesia.
Sejarah jalur lautan mempunyai arti penting bagi sejarah awal Indonesia
dan masa-masa berikutnya, karena mengandung episode penting dalam
sejarah politik dan sejarah kebudayaan yang terkait erat dengan perdagangan
dan jalur perdagangan (Leur, 1955: 6-7, 36).
Kajian sejarah sosial -ekonomi yang dihubungkan dengan lingkungan
geografi (geo-history ) Lautan Tengah (Mediterania), pernah dipelopori
Fernand Braudel dalam La Mediterranēe et le Monde Mediterranēen ā
l’ēpoque de Philippe II (1949), terutama di bagian pertamanya. Fernand
Braudel ialah salah seorang sejarawan pengganti Lucien Febvre tahun 1956
dari Mazhab Annales (Burke, 1990: 36-37; Marwick, 1971:109).
Geo-history Braudel diikuti oleh K.N. Chaudhuri yang menghubungkan
per dagangan dan kebudayaan dengan Lautan Hindia melalui bukunya, Trade �and Civilization in the Indian Ocean: An Econom ic History from the Rise
of Islam to 1750 (1985). Sartono Kartodirdjo, dalam pengantar buku Denys
Lombard, Nusa Jaw a: Silang Budaya (jilid 1, 2 dan 3), menerangkan bahwa
Lombard mengikuti Mazhab Annales, di antaranya dengan mengkaitkan geo�history 3 Laut Jawa (Lombard, 1996: xii-xvii).
Jalur Pelayaran dan Jaringan Perdagangan Regional-Internasional
Dengan pulau dan lautan yang lebih luas dari daratannya, Indonesia
mempunyai letak yang strategis dan potensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan
tersebut antara lain didorong faktor lautan yang menjadi jalur pelayaran
antarpulau dan juga jalur pelayaran internasional. Dengan jalur pelayaran
tersebut, terjadilah jaringan perdagangan antarpulau dan antar-suku bangsa
yang kemudian berkembang menjadi jaringan perdagangan internasional
atau perdagangan antarbangsa. Sejak abad- abad pertama sampai akhir abad
ke-16 Masehi yang ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan�kerajaan bercorak Hindu-Buddha, jaringan perdagangan internasional sudah
terjadi antara lain dengan India dan Tiongkok. Di antara kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu-Buddha yang sangat menonjol peranannya dalam
jaringan perdagangan internasional adalah kerajaan maritim Sriwijaya dan
kerajaan agraris- maritim Majapahit. Peran kerajaan tersebut didasarkan
pada terutama berita-berita asing seperti Tionghoa, Arab, dan Portugis yang
tentunya menguatkan sumber-sumber dalam negeri.
Kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu-Buddha yang mempunyai jaringan
perdagangan internasional, biasanya merupakan kerajaan yang memiliki
bandar-bandar besar dan ibu kota yang berfungsi sebagai negara-kota (city�state). Hal ini karena perdagangan regional dan internasional merupakan
salah satu faktor penting bagi pertumbuhan negara-kota, di samping faktor
pengawasan pekerja dan hasil tanah, dan faktor legitimasi kekuasaan raja Sriwijaya dan Majapahit, dengan negara-kota sebagai pu�sat pemerintahan – begitupun Kerajaan Sunda Pajajaran, dengan Pakuan�Pajajaran sebagai ibukota – berdasarkan data historis termasuk negara-kota .
Jaringan perdagangan melalui jalur pelayaran antara kerajaan-kerajaan
Indonesia Hindu-Buddha dengan India dan Tionghoa, baik berdasarkan data
arkeologi seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita
asing, antara lain berita Tionghoa, sudah dimulai sejak abad-abad pertama
Masehi .Jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan
Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Tiongkok,
terutama berdasarkan berita-berita Tionghoa, telah dikaji antara lain oleh
O.W. Wolters (1967).�
Demikian pula catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang
dihimpun dari sumber-sumber Tionghoa oleh W.P. Groeneveldt memberikan
gambaran adanya jaringan perdagangan antara kerajaan di daerah-daerah
tersebut dengan berbagai negeri, terutama Tiongkok, sejak abad-abad
pertama Masehi sampai abad ke-16 . Berdasarkan
sumber-sumber sejarah, baik berupa berita-berita Tionghoa, Arab, Persia,
dan negeri-negeri lain di Timur Tengah, juga bukti berupa nisan-nisan kubur,
ternyata sejak abad ke-7 atau 8 M dan abad-abad selanjutnya, para pedagang
Muslim sudah berperan dalam jaringan perdagangan internasional melalui
Selat Malaka. Ahli-ahli sejarah yang telah membicarakan jalur pelayaran
dan jaringan perdagangan dari abad ke 7 dan 8 sampai abad ke-16 M, di
antaranya adalah O.W. Wolters, J .C. van Leur, dan Rita Rose Di Meglio .
Dengan adanya jalur pelayaran sejak masa awal itu, terjadilah jaringan
perdagangan dan pertum buhan serta perkem bangan kota-kota pusat
kesultanan, dengan kota-kota bandarnya (abad ke-13 sampai 18 M) seperti
Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, J ambi, Palembang, Siak Idrapura,
Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai,
Banjar, dan lainnya yang terletak di pesisir. Daerah pedalaman kepulauan
Indonesia seperti Mataram, Wajo, Sopeng, Bone, dan daerah lain juga
mengalami perkembangan yang sama .
Khusus mengenai pusat-pusat pelayaran dan perdagangan dengan teknologi,
polanya, serta pelabuhan pada masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan di Indonesia, dapat dibaca dalam buku Sejarah Nasional lndonesia
III .
Sumber-sumber Tionghoa yang memberikan gambaran jalur pelayaran
dan jaringan perdagangan internasional sekitar abad ke-15 M, dapat diperoleh
dari Ma Huan dalam Ying-Yai Sheng-Lan (1433). Ma Huan yang berfungsi
penerjemah, menyertai laksamana Cheng Ho dalam beberapa ekspedisi
armada ke negeri-negeri di bagian selatan dan barat. Jalur pelayaran yang juga
membentuk jaringan perdagangan adalah ekspedisi pertama tahun 1405-1407,
ekspedisi kedua tahun 1407-1409, ekspedisi ketiga tahun 1409-1411, ekspedisi
keempat tahun 1413-1415, ekspedisi kelima tahun 1417-1419, ekspedisi keenam
tahun 1421-1422, dan ekspedisi ketujuh tahun 1431-1433. Banyak sekali tempat
atau negeri yang dikunjungi Cheng Ho yang dapat digolongkan sebagai jalur
pelayaran dan jaringan perdagangan. Meskipun, masih agak diragukan, apakah
selama ekspedisi terhadap lebih kurang 37 negeri dengan berbagai tempat
yang daftarnya terdapat dalam Hikayat Ming atau Ming Shih, semuanya
dikunjungi Cheng Ho, seperti negeri-negeri kepulauan Filipina , Kalimantan,
Jawa, Malaka, Sumatera (Palembang, Aru, Samudera Pasai, Lambri), Ceylon,
India, Kepulauan Nikobar, Aden, Hormuz, dan Afrika Timur.�
Dalam kunjungan ke berbagai negeri tersebut, Cheng Ho memberikan
hadiah kepada raja atau penguasa negeri yang mengakui kekuasaan Tiongkok
masa Ming, berupa sutera dan lainnya . Dari daftar nama�nama negeri atau tempat yang dikunjungi Cheng Ho, yang telah menjadi
kerajaan bercorak Islam atau kesultanan antara lain adalah Samudera Pasai
dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 M sampai 15
M. Sedangkan dalam berita Ma Huan juga diberitakan adanya komunitas�komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur.
Berita Tome Pires dalam Sum a Oriental (1512-1515), cukup memberikan
gambaran keberadaan jalur pelayaran dan jaringan perdagangan kesultanan,
baik regional maupun internasional, yang sudah tumbuh dan berkembang
sekitar abad ke-16, seperti Samudera Pasai, Malaka, Demak, Cirebon, Ternate,
Tidore, dan juga beberapa daerah yang masih berada di bawah kerajaan
bercorak Hindu-Buddha. Tome Pires menceritakan tentang lalu lintas dan
kehadiran para pedagang di Samudera Pasai yang berasal dari Bengal, Turki,
Arab, Persia, Gujarat, Keling, Melayu, J awa, dan Siam. Diceritakan pula
kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abessinia,
Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Roma, Turki, Kristen Armenia, Gujarat,
Chaul, Dabbol, Gowa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal,
Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Kocin
Cina, Tiongkok, Lequeos, Brunei, Lucus, Tanjungpura, Lawe, Bangka, Lingga,
Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, J awa, Sunda, Palembang, J ambi,
Tungkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Bata, Tamjano,
Pasai, Pedir, dan Maladiva .
Tome Pires juga menceritakan kehadiran para pedagang di pesisir utara
J awa yang berasal dari Persia, Arab, Gujarat, Bengal, Melayu, dan bangsa
lainnya, bahkan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Maluku Dengan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai
negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan di bandar-bandar di
pesisir utara Jawa, sebagaimana diceritakan Tome Pires, dapat disimpulkan
bahwa terdapat jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa
kesultanan di Nusantara yang bersifat regional dan internasional. Untuk
gambaran jalur pelayaran dan jaringan perdagangan regional dan internasional
di daerah Indonesia bagian timur, terutama di Maluku sebagai tempat dan
pusat rempah- rempah seperti pala dan cengkeh, dapat diketahui dari, selain
berita Tome Pires juga dari berita Antonio Galvao
dalam A Treatise on the Moluccas Historia das Moluccas (sekitar 1544) yang
menceritakan berbagai hal tentang hasil bumi, jenis burung, adat kebiasaan
masyarakat dan raja-raja, pembuatan berbagai jenis kapal, peperangan, dan
lainnya, termasuk kedatangan para pedagang dari Arab, Persia, Melayu,
Tiongkok, dan lainnya yang terutama bertujuan mengambil komoditas �
perdagangan seperti cengkeh dan pala ,Jalur
pelayaran tersebut membentuk jaringan perdagangan dengan berbagai negeri
di bagian timur Indonesia, dari Malaka melalui Jawa, Banda, dan Maluku,
juga melalui pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi .Dengan demikian, kedua berita asing itu menunjukkan adanya jaringan
perdagangan baik regional maupun internasional.
Selain itu, jalur pelayaran dan jaringan perdagangan, di antaranya
terdapat pulau yang disebut Caleiciram, dapat diketahui dari beberapa peta
kuno, misalnya peta yang dibuat J orge Reinel tahun 1510 yang disebut
Cantino Planis Phere tentang perjalanan Joao da Nova (1501-1502). Pulau
Caleiciram menghasilkan cengkeh yang oleh Louis Filipe F.R. Thomaz
diidentiikasikan sebagai Maluku dan juga Pulau Ceram . Kerajaan dan masyarakat kepulauan Maluku,
sebelum menjadi perhatian bangsa-bangsa Barat, telah melakukan pelayaran
dan membentuk jaringan perdagangan dengan J awa, Sumatera, Malaka,
Tiongkok, Arab, dan negeri-negeri di Timur Tengah lainnya, seperti diketahui
dari peta abad ke-15 M, khususnya dari peta Shung Feng: Shiang Sung, yang
merupakan ringkasan untuk pelayaran, yang oleh J. Needham diperkirakan
berasal dari tahun 1430.
Mengenai jalur pelayaran bagian timur, disebut secara berturut-turut dari
Chuan-Chou ke kepulauan Pascadores lalu menyusur pesisir Taiwan, Lu-Sung
(Luzon), Lu-Peng (Lubang), Ma-Li-Lu (Nindore); dari jalan sebelah selatan
Mondoro ada jalan lintas ke Mindanao dan terus ke Mei-Lo-Chu (Maluku).
Dari jalur pelayaran timur ini diteruskan ke Busuanga, dan dari sini terdapat
jalan lintas ke Sulu dan Donggala .Dari kitab Nagarakertagam a, juga diketahui adanya jalur pelayaran
dan jaringan perdagangan, baik dengan daerah kepulauan Maluku maupun
dengan daerah-daerah di Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Tiongkok.
Hikayat-hikayat setempat seperti Hitu, Banjar, Kutai, Sajarah Banten,
Sajarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan lain-lain, memberi bukti
bahwa kerajaan Islam telah memiliki jaringan perdagangan yang bersifat
regional dan internasional.
Berita -berita asing, ditunjang peta-peta kuno, hikayat, babad lokal, dan
data arkeologis, cukup menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah tumbuh
dan berkembangnya kesultanan di Indonesia, seperti Samudera Pasai, Banda
Aceh, Malaka, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo dan
lainnya di Sulawesi Selatan, Banjar di Kalimantan Selatan, bahkan kesultanan
yang pusatnya di pedalaman seperti Mataram, telah berlangsung kegiatan
pelayaran yang membentuk jaringan perdagangan baik bersifat regional
maupun internasional. Bahkan, ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511,
kegiatan perdagangan kesultanan di Indonesia masih tetap berjalan, antara �
lain di Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, serta kesultanan di
Maluku yang menghubungkan jalur pelayaran dan jaringan perdagangan dari
Maluku ke pesisir utara Jawa melalui Selat Sunda, menelusuri pesisir Laut
Hindia di bagian barat Sumatera sampai ke Aceh dan terus ke negeri-negeri
di Ceylon, India, Persia, Arab dan negeri-negeri lainnya di Timur Tengah,
meskipun terdapat gangguan dari pihak Portugis di Lautan Hindia terhadap
para pedagang Muslim.
Bahkan, menurut K.N. Chaudhuri, kedatangan Portugis di Benua India
telah mengakhiri sistem pelayaran laut yang damai, yang menandai kawasan
ini. Dalam menghalangi pelayaran dan perdagangan kaum Muslim dari
Malaka sampai Sofala di Afrika Tenggara, Portugis melakukan perintah agar
semua kapal yang melalui lautan Hindia harus memiliki surat jalan pelayaran
yang disebut “Cartazes”.
Berita Tionghoa dan Arab dari sekitar abad ke-7 atau 8 M juga memberi
bukti adanya pelayaran dan jaringan perdagangan di mana pedagang�pedagang Arab dan Persia telah berperan dalam jaringan perdagangan
internasional melalui Selat Malaka terus ke Tionghoa. Dampaknya sangat
jelas bagi kehadiran dan perkembangan Islam yang kemudian menyebabkan
tumbuhnya kota-kota Muslim di Indonesia dan di Asia Tenggara. Sejumlah
kesultanan, mulai dari Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Cirebon,
Banten, Ternate-Tidore, Gowa-Tallo, Banjar, Kutai, Mataram, dan lainnya
dari abad ke-13 sampai abad ke-18, ternyata masih melakukan pelayaran
dan perdagangan dan memiliki bandar yang juga berfungsi
Langganan:
Postingan
(
Atom
)