Home » All posts
sebagai Perdana Menteri Majapahit pada abad ke-14. Toleransi kerajaan
ini dibuktikan oleh penerimaan terhadap para pedagang Muslim yang juga
diberikan tempat tinggal khusus di Troloyo, di pusat ibukota Trowulan. Di
perkampungan Muslim ditemukan data arkeologis dalam bentuk beberapa
nisan kubur dengan prasasti Arab, di antaranya dengan tanggal Saka Jawa
lama (abad 14-15 M). Prasasti berbahasa Arab tersebut bertuliskan syahadat
dan beberapa ayat al-Quran (Surat Ali-Imran ayat 18) . Berdasarkan pada gaya dan dekorasi dari pra-Islam
(Hindu-Buddha) dan unsur-unsur Islam yang ada, kita dapat mengatakan
bahwa nisan-nisan kuburan ini merupakan hasil proses akulturasi antara
Muslim dan J awa. Komunitas Muslim lain juga memiliki perkampungan
khusus di kota-kota pelabuhan sebagaimana dikatakan oleh laporan Tionghoa
Ma Huan dalam Ying-Yai Sheng-Lan (1433) ,. Banyak cerita lokal menyebutkan komunitas Muslim tersebut dan
aktivitas mereka di kota-kota pelabuhan. Batu nisan Maulana Malik Ibrahim
(meninggal pada 822 H/ 1419 M) yang mana gaya, bentuk, dan bahannya
mirip dengan batu nisan di Pasai dan di Cambay-Gujarat, merupakan fakta
yang menunjukkan adanya hubungan umat Muslim dengan India Selatan
dan Indonesia. J .P. Moquette menggolongkan batu nisan dari Gresik dan
Pasai itu adalah batu yang dibuat di Cambay ,�
Dari abad ke-15 hingga 16, sepanjang kawasan pesisir utara Jawa Timur,
J awa Tengah, dan J awa Barat, selalu sibuk dengan kegiatan perdagangan
re gional maupun internasional. Tome Pires dalam Sum a Oriental-nya men�ceritakan situasi dan kondisi ekonomi, sosial, dan politik di Jawa. Pada waktu
kedatangan Tome Pires, situasi politik masih dalam keadaan transisi di mana
sebagian besar kawasan pantai berada di bawah kontrol kerajaan Islam. Di
an taranya adalah Demak yang berdiri di bawah kepemimpinan Sri Pate
Rodim, yang dikenal dengan Raden Patah. Tome Pires mengatakan: “Pada
waktu itu, sepanjang pesisir laut jawa, telah diramaikan oleh para pedagang.
Mereka berasal dari Persia, Arab, Gujarat, Bengali, Melayu, dan negeri lain.
Di antara para pedagang itu, terdapat pedagang dari bangsa Moor. Mereka
berhasil membangun masjid, mendatangkan para mullah, dan mengumpulkan
kekayaan….” (footnote)
Tome Pires tidak hanya menceritakan situasi di Jawa tetapi juga ka was�an pantai di Sumatera, Maluku, Sulawesi, dan Malaka yang pada waktu itu,
tahun 1515, telah didominasi oleh Portugis. Menarik bahwa dia juga men�ceritakan beragam jenis dagangan yang diekspor dari Jawa ke luar, misalnya
beras, sapi, lembu, biri-biri, kambing, kerbau, babi, emas, lada, tamarin, dan
kain Jawa yang dibawa ke Malaka untuk dijual. Sedangkan barang-barang
dagang yang diimpor adalah kain dari Cambay, enrolados Keling atau ladrilho
berukuran besar dan kecil, taforio, topitis, dan jenis-jenis pakaian lain dari
Bengal, sinabaff dari semua jenis yang disuplai dari Malaka, buntut sapi
putih dan lembu yang berasal dari Bengal dan Gujarat
Bagaimana dengan barang dagangan dari Pasai? Tome Pires me nyebut�kan: “Ribuan bahar dari lada, sutera, kapur barus, dan semua jenis barang
da gangan dari semua pulau, dikumpulkan di sana.” Tome Pires menyebutkan
bahwa para saudagar yang berdagang di Pasai adalah orang-orang dari
Gujarat, Keling, Bengal, Menof, Pegu, Siam, Kedah, Bruas. Mereka disebar
ke beberapa tempat, beberapa di Pasai dan di Pedir dan sisanya di Malaka.
Se telah Malaka dan Pedir menderita karena kalah perang, Kerajaan Pasai
menjadi maju dan kaya dengan banyaknya saudagar yang datang dari negara
Moor dan Keling, Bengal, Roma, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa,
dan Siam ,
Sejak awal abad ke-15, Malaka menjadi sebuah kesultanan yang ber�kembang karena posisi geograisnya sebagai pusat perdagangan internasional.
Tome Pires menyebutkan beberapa pedagang yang datang ke Malaka,
misal nya: Moor, Kairo, Mekkah, Aden, Abessinia, Kilwa, Malindi, Ormuz,
Persia, Roma, Turki, Turkoman, Kristen Armenia, Gujarat, Ghaul, Dabhol,
Gowa, Orissa, Deccan, Malabar dan Keling, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu,
Siam, Kedah, Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cochin, Tiongkok, �
Legu, Brunei, Luko, Tanjungpura, Lawe, Bangka, Linga, Maluku, Banda,
Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tungkal, Indragiri,
Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Bata, Tomjano, Pasai, Pedir, dan Maladewa ,
Dari Mekkah, dibawa opium dalam jumlah besar, minyak mawar, dan
storax. Dari Aden dan Gujarat dibawa sejumlah besar opium, kismis, madder,
nila, minyak mawar, perak, dan butiran mutiara. Malaka sebagai pusat per�da gangan internasional yang penting di Asia Tenggara dikunjungi oleh be�be rapa pedagang dari beberapa pulau di Indonesia. Dari kota pelabuhan
ini, beberapa saudagar menggunakan rute laut menuju J awa dan lebih
lanjut ke Maluku menuju pusat perdagangan rempah, ke Hitu, Ternate, dan
Tidore. Tome Pires dan Antonio Galvao menceritakan bahwa kedatangan
para pedagang Arab dan negara-negara lain menuju Maluku adalah untuk
mem beli cengkeh, pala, dan sebagainya. Kegiatan perdagangan Kesultanan
Ternate dan Tidore diganggu oleh monopoli sistem asing sejak kedatangan
bangsa Portugis dan Spanyol.
Para pedagang yang datang dari Maluku pulang ke negeri mereka me�lalui pantai Sulawesi, Kalimantan-Malaka, dan melalui Selat Malaka. Sejak
abad ke-17, Sulawesi Selatan menjadi lebih berkembang. Islam dipeluk
secara resmi oleh Sultan sejak 1605 M. Sejak kesultanan Malaka jatuh ke
tangan kekuasaan Portugis pada 1511, jaringan perdagangan melalui Malaka
terganggu oleh upaya Portugis dengan ekspansinya. Oleh karena itu, rute
laut melalui Malaka dihindari, dan kemudian memanfaatkan rute laut
melalui Selat Sunda. Kesultanan Demak, Banten, Gowa, Aceh Darussalam,
Ternate, Tidore, dan yang lain tumbuh dan berkembang dalam menghadapi
kolonialisme Portugis. Untuk perkembangan politik dan ekonomi mereka,
kesultanan-kesultanan ini terus membuat jaringan perdagangan dengan
negara-negara di Timur Tengah melalui Samudera Hindia.
Dengan merebut Malaka pada 1511, Goa pada 1510, dan Hormuz pada
1515, Portugis memastikan kontrolnya terhadap rute utama perdagangan rem�pah di laut Hindia. Untuk menegaskan kekuasaannya di Laut Hindia, Portugis
menyingkirkan perdagangan Muslim ke Laut Merah dan Afrika Timur, serta
memaksa pedagang-pedagang Muslim yang ingin melalui Laut Hindia supaya
memiliki dan membeli surat pelayaran yang disebut “cartazes” dari pegawai
Portugis. Selain itu, perdagangan lada dan rempah dari Alexandria dialihkan
ke Lisbon dan Antwerp. K.N. Chaudhuri menyatakan bahwa kedatangan
bangsa Portugis secara tiba-tiba di Laut India mengakhiri dan mengubah
sis tem pelayaran laut yang penuh kedamaian yang merupakan ciri dan ke is�ti mewaan yang menandai kawasan ini ,
Kita telah membahas jaringan perdagangan dan pelayaran yang dilakukan
oleh orang Arab dan para pedagang Muslim lain dengan masyarakat Indonesia �
dari masa-masa awal abad ke-7 hingga abad ke-16/ 17 yang dengan tiba-tiba
terganggu oleh ekspansi politik Portugis. Berdasarkan pembahasan di atas,
tiga hal yang bisa disimpulkan adalah:
Pertam a, sumber-sumber historis untuk rekonstruksi jaringan per da�gang an Arab dengan Indonesia dari masa lampau masih jarang dan terpisah�pisah atau belum lengkap. Oleh karena itu, harus diperkaya oleh data yang
di kumpulkan dari kedua belah pihak, yakni Arab, khususnya Yaman, dan
Indonesia.
Kedua, jaringan perdagangan Arab yang telah terjadi sejak abad ke-7
hing ga abad ke-16/ 17 dapat dianggap sebagai faktor penting untuk kemajuan
pemahaman kita yang saling menguntungkan dalam bidang komersial
maupun dalam bidang kebudayaan di masa sekarang dan akan datang.
Ketiga, kita berharap studi-studi historis mengenai Arab dan Indonesia
dapat diusahakan secara terus-menerus dengan pertukaran informasi mengenai
sumber-sumber historis yang dapat ditemukan dari kedua negara.�
Jauh sebelum ekspedisi armada yang dipimpin Laksamana Besar Cheng Ho
ke berbagai negeri di Laut Selatan (termasuk Nusantara) dan barat Tiongkok
awal abad ke-15 M, para pedagang Tionghoa pada abad-abad pertama sudah
banyak mendatangi beberapa daerah Kepuluan Indonesia dalam rangka
melakukan hubungan perdagangan. Selain dengan Tiongkok, hubungan
beberapa daerah di Indonesia juga dilakukan dengan India, terutama dalam
hubungan perdagangan internasional yang menghubungkan daerah Asia
Barat, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok.
Lalu lintas hubungan pelayaran dan perdagangan internasional yang
menghubungkan negeri-negeri yang berada di wilayah Asia Barat, Asia
Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur Jauh melalui Selat Malaka, telah di�diskusikan oleh beberapa peneliti, antara lain O.W. Wolters (1967), J.C. van
Leur (1995), M.A.P. Meilink-Roelofsz (1970), G.F. Hourani (1951), dan Rita
Rose Di Meglio (1970).
Hubungan pelayaran dan perdagangan antarnegeri di wilayah-wilayah
tersebut didorong oleh berkembangnya tiga kerajaan besar sejak abad ke-7 M,
yaitu Dinasti Tang di Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah
di Asia Barat (Timur Tengah)
Dari berita Tionghoa, diketahui tentang kunjungan musair Buddha,
I-Tsing, ke India. Sekembali nya dari India, ia singgah di Shih-Li-Fo-Shih
atau San-Fo-Tsi atau Fo-Shih yang oleh G. Coedes diidentiikasikan dengan
Sriwijaya, seperti dikenali dalam prasasti tertua Kadatuan Sriwijaya yang ter�dapat di Kedukan Bukit Palembang, yang menyebutkan bahwa Dapunta Hyan ��
dengan tentaranya membuat kota (marwuat wanua) Sriwijaya pada tanggal
5 Asada 604 Saka (16 Juni 682 M).
Kota inilah yang dianggap sebagai ibukota Shih-Li-Fo-Shih atau San�Fo-Tsi atau Fo-Shih dan yang kemudian menjadi kota Palembang ,. Selain orang-orang Tionghoa,
orang-orang India – dan menurut sebuah sumber juga orang-orang Arab
dan Persia – telah datang di ibukota Kadatuan Sriwijaya pada tahun 671 M.
Da lam pelayarannya ke India, I-Tsing singgah di ibukota Shih-Li-Fo-Shih
dan menetap beberapa tahun untuk mempelajari kitab-kitab agama Buddha
dan juga mempelajari gramatika bahasa Sansekerta. Kapal yang ditumpangi
I-Tsing adalah kapal orang-orang Ta-Shih dan Po-Sse (Arab dan Persia)
Sumber Tionghoa lainnya dari awal abad ke-8 M (717 M) menyebutkan
bahwa 35 kapal Po-Sse (Persia) sampai pula di kota Palembang. Bahkan,
terjadi hubungan politik dan diplomatik antara Sriwijaya dengan khalifah di
Timur Tengah sekitar abad ke-7 sampai 8 M, sebagaimana dibuktikan oleh
surat-surat yang dikirimkan Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Muawiyah
(661 M) yang bagian pendahuluan surat tersebut telah dikutip oleh al-Jahiz
(Amr al-Bahr, 165-255 H/ 783-869 M) dalam karyanya, Kitab al-Hayaw an.
Selain itu, ada surat kedua yang isinya hampir serupa, tetapi lebih lengkap,
dan surat ini diselamatkan oleh Ibn Abd al-Rabbih (246-329 H/ 860-940 M).
Dalam karyanya, Al-Ikd al-Farid, surat tersebut dialamatkan kepada Khalifah
Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H/ 717-720 M) .. Hubungan
antara negeri-negeri Timur Tengah dengan Kadatuan Sriwjaya terus-menerus
dilakukan, selain menjelang akhir abad ke-12 M, juga menjelang abad ke-
13 M. Hal itu mungkin disebabkan adanya pengaruh kekuasaan politik
kerajaan-kerajaan di Jawa, antara lain Singasari, yang sekitar tahun 1275 M
mengirimkan ekspedisinya yang terkenal dengan nama Pamalayu, Karena, ketika itu juga terjadi pengaruh politik kekuasaan
kekaisaran Tiongkok di bawah Kubilai Khan ke daratan Asia Tenggara.
Hubungan khusus antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara, baik dalam hal perdagangan maupun persahabatan, banyak di�berita kan dalam sumber Tionghoa, yang antara lain pernah dipetik dan
dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Historical Notes on Indonesia and
Malaya Com piled from Chinese Sources, yang terbit pertama kali pada tahun
1880, dan diterbitkan lagi tahun 1960 . Dalam Sejarah
Ming, diceritakan bahwa tahun 1379 terjadi hubungan antara Tiongkok
dengan kerajaan di bagian timur Sumatera yang disebut San-Bo-Tsai, suatu
nama yang diidentiikasikan dengan Palembang.
Ekspedisi Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dilakukan
sejak pemerintahan Dinasti Ming di bawah Kaisar Cheng-Tsu (1403-1424), �
se te lah pendahulunya, Hwui-Ti, diusir dari tahtanya. Karena itu, ekspedisi
Laksamana Cheng Ho bertujuan untuk tetap meyakinkan kerajaan-kerajaan
di wilayah Laut Selatan dan Barat yang semula mengakui kekaisaran Tiongkok
de ngan pengiriman upeti dan utusan ke Tiongkok. Beberapa ekspedisi di
bawah pimpinan Cheng Ho diberitakan lebih lengkap dalam laporan Ma
Huan, Ying-Yai Sheng-Lan, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh
J.V.G. Mills (1970).
Dalam laporan itu, Mills membicarakan secara lengkap kehidupan Cheng
Ho, garis besar ekspedisinya dari yang pertama sampai yang ketujuh (1405-
1407, 1407-1409, 1409-1411, 1413-1415, 1417-1419, 1421-1422, 1431-1433),
tempat-tempat yang disinggahi, rute pelayaran, kapal-kapal, dan pegawai�pegawainya. Demikian pula tentang Ma Huan dan bukunya, dibicarakan
dengan jelas dan disertai sumber-sumber kontemporer lainnya. Informasi
tentang kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Palembang didasarkan pada
ekspedisi yang diberitakan dalam laporan Ma Huan, Hikayat Dinasti Ming,
dan sumber Ying-Yai Sheng-Lan sendiri.
Nama asli Cheng Ho adalah Ma Ho. Ia hidup dengan keluarganya di
bagian K-Un yang terletak di ujung barat daya danau Tien-Chih di Provinsi
Yunnan. Nama keluarganya Ma dengan tambahan Haji, menunjukkan bahwa
ia adalah seorang Muslim yang pernah menjalankan haji ke Mekkah. Cheng
Ho dilahirkan sekitar tahun 1371. Ia merupakan anak kedua dengan empat
orang putri yang dalam pertumbuhan kehidupannya menunjukkan perilaku
yang aneh. Dalam usianya yang kedua puluh, ia masuk sebagai pegawai pada
Putra Mahkota Yen, yaitu Chu Ti, putra keempat Kaisar Hung Wu, yang
menguasai daerah yang luas di Timur Laut dan pada tahun 1403 menjadi
Kaisar Cheng-Tsu. Ma Ho adalah orang yang berpendidikan, tetapi ia juga
mem pelajari pengetahuan seni perang, dan ia membela dirinya sendiri da�lam penumpasan pemberontakan di Yunnan. Pada tahun 1404, ia menjadi
perhatian Kaisar, yang memberikan julukan Cheng padanya. Ia kemudian
di angkat sebagai laksamana besar dan menjadi pengawas para laksamana
Karena kehebatan Cheng Ho dalam bekerja, Kaisar Cheng Tsu atau Yung
Lo, menunjuknya untuk memimpin armada dan menjadi komandan enam kali
ekspedisi yang mulai berlayar di wilayah Laut Barat antara tahun 1405-1421.
Ini adalah pertama kali Laksamana Cheng Ho secara resmi ditunjuk sebagai
komandan pasukan militer. Pada ekspedisi pertama tahun 1405-1407, dimulai
11 Juli 1405 dan diikuti teman-teman sejawatnya, antara lain Ching Huang,
Cheng Ho melawat ke San-Fo-Tsi (Sriwijaya/ Palembang). Sekembalinya
dari ekpedisi pertamanya, armada Cheng Ho berhasil menangkap pimpinan
pe rompak, Chen Tsu I, dan membunuh lima ribu orang pasukannya ser�ta merampas tujuh belas kapalnya. Kemudian, pimpinan perompak itu di��
kirim kan kepada Kaisar di Nanking. Karena menumpas para perompak itu,
ia mengalami keterlambatan selama tiga bulan, sehingga baru tiba di ibukota
Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407.
Pada ekspedisi kedua tahun 1407-1409, Cheng Ho disertai oleh laksamana
lainnya, yaitu Wang Ching Hung dan Hu Hsien. Dalam ekspedisi kedua ini,
dari nama-nama negeri yang dilawat, Palembang tidak disebut. Pada eks�pedisi ketiga tahun 1409-1411, tidak disebut pula bahwa ia mengunjungi
Palembang. Baru pada ekspedisinya yang keempat tahun 1413-1415 Cheng
Ho melawat lagi ke Palembang setelah mengunjungi Campa, Kelantan,
Pahang, Jawa, kemudian San-Fo-Tsi (Palembang) dan terus ke Malaka, Aru,
Samudera, Lambri, Ceylon, Kayal, Kepulauan Maladewa, Cochin, Calicut,
dan Hormuz. Perlu dicatat bahwa pada ekspedisi keempat inilah, Ma Huan
pertama kalinya turut serta dengan tugasnya sebagai juru bicara, penerjemah,
dan pembuat laporan. Ma Huan dapat berbahasa Arab dan ia benar-benar
seorang Muslim.
Pada ekspedisi kelima tahun 1417-1419, Cheng Ho yang disertai Ma
Huan sempat juga melawat ke Palembang setelah Campa, Pahang, Jawa, dan
seterusnya. Sedangkan pada ekspedisi Cheng Ho yang keenam (1421-1422),
di mana Ma Huan juga turut serta sebagai juru bicara, armada Cheng Ho
tidak mengunjungi Palembang. Mengenai ekpedisi yang ketujuh (1431-1433), �
berita Ma Huan dilengkapi oleh sumber Hsia Hsi yang ditulis oleh Chu Yun
Ming, termasuk buku berjudul Chien W en Chi. Dalam ekspedisi terbesar ini
disebutkan jumlah orang dalam armadanya dari berbagai pekerjaan meliputi
27.550 orang, dan lebih dari 100 kapal besar.
Waktu itu, yang mengikuti ekspedisi bukan hanya Ma Huan, tetapi juga
Fei Hsin dan Kung Chen. Dalam ekspedisi ketujuh itu, Cheng Ho melawat
pula ke Palembang. Yang menarik, dalam ekspedisi ketujuh ini, Ma Huan
menceritakan tentang pelayarannya dan tentang Mekkah. Dalam daftar tempat�tempat yang dikunjungi Cheng Ho, pelabuhan lama Palembang disebut Chiu�Chiang (Mills, 1970). Menarik bahwa nama yang diidentiikasikan sebagai
Palembang – kecuali yang telah disebut di atas – juga disebut San-Bo-Tsai
(dalam Hikayat Dinasti Sung, 960-1279), Ku-Kang dalam Hikayat Dinasti
Ming dan dalam Ying-Yai Sheng-Lan sendiri. Cheng Ho juga terkadang
disebut dengan nama Laksamana Sam Pau, yang dalam bahasa Tionghoa
Fukien disebut Sam Po ,
Bila di atas telah diceritakan bahwa pada tahun 1405 Palembang sudah
berada di bawah pengaruh kekuasaan dari Jawa (Majapahit), kemudian lebih
dijelaskan lagi dalam berita Ying-Yai Sheng-Lan ,
Dari sumber-sumber Tionghoa tersebut, terutama dari Ying-Yai Sheng�Lan karya Ma Huan, jelas sekali dari tujuh kali ekpedisi Laksamana Besar
Cheng Ho, lawatannya ke Palembang adalah sebanyak empat kali, yakni
pada ekspedisi pertama, keempat, kelima, dan ketujuh. Dari uraian di atas,
berdasarkan berita asing, terutama Tionghoa sejak abad ke-7 M, I Tsing sudah
memberitakan Shih-Li-Fo-Shih yang diidentiikasikan sebagai Sriwijaya dalam
prasasti-prasasti abad ke-7 M. Palembang disebut dengan nama San-Bo-Tsai
dan Ku-Kang berdasarkan kronik Sung, Ming, dan Ying-Yai Sheng-Lan.
Kota Palembang sudah banyak didatangi orang-orang Tionghoa, baik karena
hubungan perdagangan maupun hubungan persahabatan dengan Tiongkok.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Palembang antara lain berasal dari
Kuang Tung, Chuang Chou, dan daratan Tiongkok Selatan, dua tempat yang
sebagian pendudukanya Muslim, seperti daerah sekitar Yunnan tempat asal
Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan yang sudah banyak memeluk agama
Islam. Maka, orang-orang Tionghoa yang datang dan kemudian bermukim di
Palembang, kemungkinan sebagian merupakan komunitas Tionghoa-Muslim.
Dugaan tersebut dianalogikan dengan komunitas Tionghoa-Muslim di
pesisir utara J awa Timur seperti di Tuban, Sedayu, dan Gresik yang di�kunjungi Laksamana Cheng Ho, yang diberitakan Ma Huan dalam dalam
Ying-Yai Sheng-Lan . Demikian pula adanya pemukiman
komunitas Muslim di Semarang dan di Cirebon, berdasarkan sumber-sumber
dari Kelenteng Sam-Po-Kong Semarang dan Talang di Cirebon, yang anehnya
tidak dimasukkan secara resmi dalam laporan Ma Huan, Ying-yai Sheng�
lan . Saya menduga, tidak adanya pemberitaan
komunitas Tionghoa Muslim di Semarang dan Cirebon dalam Ying-Yai Sheng�Lan adalah karena laporan Tionghoa ini tidak digolongkan sebagai kunjungan
resmi. Padahal, untuk Kaisar Tionghoa, laporan Ma Huan termasuk laporan
resmi.
Selain terdapat komunitas Tionghoa Muslim, juga terdapat orang�orang Muslim dari Arab dan negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Dapat di�simpulkan bahwa, orang-orang Muslim dengan kapal-kapalnya, antara lain
dari Arab dan Persia (Ta-Shih dan Po-Sse), sudah sampai di kota Palembang.
Demikian pula utusan-utusan dari negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang
sampai ke Kadatuan Sriwijaya.
Setelah berdirinya kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai abad ke-
13-16 M dan Malaka awal abad 15-16 M, hubungan antara Palembang de ngan
kedua kerajaan Islam tersebut tak dapat dimungkiri kebenarannya. Pada
waktu itu, kedua kerajaan tersebut merupakan pusat perdagangan dan pe�nyebaran Islam ke berbagai daerah di Nusantara, karena pada awal abad ke-
16, menurut Tome Pires dalam Sum a Oriental (1512-1515), Pasai dan Malaka
merupakan pusat perdagangan yang didatangi berbagai kapal dagang dari
negeri-negeri Timur-Tengah dan juga India (Gujarat dan Cambay) ,Demikian pula Samudera Pasai dapat dipandang
sebagai pusat penyebaran Islam ke berbagai tempat di Asia Tenggara .
Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa pada masa ekspedisi-ekspedisi
yang dipimpin Laksamana Cheng Ho yang sempat melawat ke Palembang,
di kota itu sudah terdapat komunitas Muslim yang datang dari berbagai
ne geri. Beberapa pemukiman para pendatang asing di Kota Palembang,
seperti Tiongkok, Arab, Persia, Turki, dan orang-orang dari daerah-daerah
di Nusantara dan negeri-negeri sekitarnya, disesuaikan asal masing-masing
komunitasnya. Karenanya ada Pecinan, Kampung Arab, Kampung Pakojan,
Kampung Keling, Kampung Bugis , Oleh
karena itu, pemukiman-pemukiman yang kini masih ada di kota Pelembang,
sebagaimana pernah dibicarakan oleh Mujib , perlu
diteliti lebih mendalam. Penelitian kota Palembang dari masa ke masa akan
memberikan gambaran sejarahnya secara komprehensif dari segi morfologi,
struktur sosial, ekonomi, dan kebudayaannya ,
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan, maka lawatan Lak sa�mana Cheng Ho ke Palembang dalam beberapa ekspedisinya, mempunyai
arti penting dan pengaruh bagi pemerintahan dan masyarakatnya. Dengan
kehidupan Cheng Ho sejak kecil sampai dewasa hingga diangkat Kaisar
Tiongkok untuk jabatan tertinggi dalam angkatan laut sampai berhasil me�mimpin sejumlah besar armada dengan personilnya yang bermacam-macam �agama, pekerjaan, dan keahliannya, menunjukkan bahwa Cheng Ho adalah
seorang tokoh pemimpin yang sangat disiplin, dan mempunyai kemampuan
manajemen yang luar biasa. Semua itu merupakan karakter seorang pemimpin
yang sangat berwibawa dan mungkin sekali karena dilandasi oleh sikap atau
perilaku keagamaannya.
Kong Yuan Zhi dalam bukunya, Sam Po Kong dan Indonesia, mem�beri kan gambaran bahwa Cheng Ho adalah seorang Muslim yang taat akan
agamanya, Islam. Ia giat memajukan penyebaran agama Islam baik di
Tiongkok maupun di negeri-negeri asing. Kegiatan-kegiatannya yang penting
di bidang agama Islam antara lain adalah menziarahi kuburan pendahulu�pendahulu Islam dan sembahyang di masjid-masjid, antara lain di Masjid
Bukit Jiu-Ri di Nan-An (Quan-Zhou). Selain itu, Cheng Ho juga banyak men�dukung kegiatan keagamaan lainnya, misalnya agama Buddha dan Tao ,
Dengan adanya lawatan Laksamana Cheng Ho, baik pada ekspedisi per�tama (14015-1407) maupun pada ekspedisi keempat (1413-1415) di mana
Ma Huan pertama kalinya ikut, ekspedisi kelima (1417-1419), dan ekspedisi
ketujuh (1431-1433), pemerintah dan masyarakat setempat tentu mendengar
atau melihat perilaku Laksamana Cheng Ho yang dikagumi, berwibawa, serta
dianggap sebagai seorang Muslim yang taat. Pada ekspedisi pertama saja,
ketika Cheng Ho mengadakan lawatan ke kota Palembang, ia menghadapi
perompakan oleh bajak laut pimpinan Chen Tsui, membunuh 5.000 orang,
membakar dan merampas tujuh belas kapalnya, dan Chen Tsui ditangkap
ke mudian dikirimkan ke Kaisar di Nanking untuk diberi hukuman . Tindakan Laksamana Cheng Ho dalam
penumpasan bajak laut itu, dengan sendirinya merupakan jasa pengamanan
bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan keluar masuk kota pelabuhan dan
kota Palembang. Karenanya, pemimpin dan masyarakat daerah itu sangat
ber terimakasih dan menghargai jasa Laksamana Cheng Ho. J ika lawatan
Laksamana Cheng Ho ke negeri dan daerah lainnya, antara lain ke pesisir
utara J awa Timur seperti bandar Tuban, Sedayu, Gresik, dan lainnya untuk mengunjungi komunitas Tionghoa Muslim dan
memberikan dorongan semangat, maka tidak mustahil juga dilakukan Cheng
Ho terhadap masyarakat Palembang, baik komunitas Tionghoa maupun ko�munitas Islam umumnya. Lawatan Cheng Ho itu menjadi dorongan bagi
per kembangan masyarakat Palembang, sehingga pada suatu waktu Islam di
Palembang makin kuat dan akhirnya timbul Kesultanan Palembang.
Melalui pemberitaan Ma Huan dalam Ying -Yai Sheng-Lan tentang
lawatan Cheng Ho, dapat diketahui tentang besarnya kota Palembang (Po-Lin�Pang), batas-batas wilayahnya, kedatangan kapal-kapal dari berbagai tempat,
penduduk dan daerah asal orang-orang Tionghoa, perumahan dan tempat �tinggal rakyat, bangsawan dan para pejabat, kesuburan dan kemakmuran
kehidupan, hasil-hasil bumi, dan adat kebiasaannya yang disebutkan bersaing
dengan masyarakat Jawa. Selain itu, Ma Huan menceritakan tentang bajak
laut yang ditumpas di mana pemimpinnya dikirimkan ke Nanking untuk
men dapat hukuman dari Kaisar
Tome Pires (1512-1515) memberitakan tentang peralihan kekuasaan po�litik dari yang bercorak Hindu kepada Islam di bawah penguasaan Kerajaan
Islam Demak pada masa pemerintahan Pate Rodim. Dikatakan bahwa
Palembang berpenduduk kurang lebih 10.000 orang. Pada waktu Pati Unuz
me nyerang Malaka, Palembang juga turut membantu. Karena itu, banyak di
antara mereka yang mati. Tome Pires juga menceritakan adanya perdagangan
dari Palembang ke Malaka yang menjual barang-barang hasil daerahnya, seperti
rotan, emas, getah damar, kapas, dan lain-lain. Mereka memasukkan jenis�jenis pakaian dari Keling dan Gujarat ,
Sumber-sumber babad, antara lain Babad Tanah Jaw i, menceritakan
ketika Palembang berada di bawah pengaruh kekuasaan Jawa (Majapahit).
Cerita itu antara lain tentang Brawijaya dari Majapahit yang mengirimkan
istrinya, seorang wanita Tionghoa Muslim yang sedang hamil kepada
gubernurnya di Palembang, Aria Damar alias Swan Liong. Pada tahun 1453
M, Putri Tionghoa yang dihadiahkan kepada Ario Damar itu melahirkan se�orang putra yang dikenal dengan nama Raden Patah yang dijuluki Adipati
J in Bun . Setelah dewasa, ia pergi ke J awa
untuk belajar agama Islam kepada Sunan Rahmat atau Sunan Ampel Denta.
Selanjutnya, Raden Patah menyerang Majapahit. Tetapi, atas nasihat Sunan
Ampel, bersama sejumlah pengikutnya, ia pergi ke Gelagah Wangi yang kelak
menjadi ibukota Kerajaan Islam Demak dan menjadi kerajaan Islam pertama
di Jawa dari awal abad ke-16 M. Meskipun demikian, Palembang lambat laun
lepas dari pengaruh Kerajaan Demak, terlebih setelah Trenggono wafat tahun
1546 dan pusat Kerajaan Demak menjadi kacau akibat terjadi perebutan
kekuasaan sehingga pusat pemerintahan pindah ke Pajang.
Palembang, dalam perkembangannya, setelah menjadi kesultanan sejak
abad ke-16 sampai abad ke-18 dan 19 M, mengalami pasang surut. Para sultan
akhirnya mengalami penjajahan oleh Hindia-Belanda. Tetapi kita akui, pada
abad ke-18 M, beberapa ulama banyak menghasilkan naskah-naskah Islam
yang isinya memberi pengetahuan ke islaman dalam berbagai aspek. Di antara
ulama di Palembang – pada masa kesultanan – yang tak dapat diragukan lagi
ketenarannya adalah Abd al-Shamad al-Palimbani yang besar pengaruhnya,
terutama melalui karya-karyanya yang beredar luas di Nusantara ,
Kehadiran dan Perkembangan Etnik Tionghoa di Tatar Sunda
Kapan awal kehadiran etnik Tionghoa di Tatar Sunda, belum diketahui de�ngan pasti. J.C. van Leur berpendapat bahwa hubungan perdagangan antara
India dengan Indonesia berlangsung lebih awal (abad pertama Masehi)
dari Tiongkok. Karena perhatian imperium Tionghoa sekitar abad tersebut
baru sampai pesisir Cina Selatan dan Tonkin. Pengaruh kekuasaan politik
terhadap daerah-daerah perbatasan itu berlangsung hingga masa kekejaman
pemerintahan Chin Shih Huang Ti serta timbulnya imperium periode pertama
Dinasti Han yang menguasai daerah Shansi – Shansi dan Honan dan daerah�daerah yang tetap dikuasai ialah dataran rendah Hwang dan Yangtze. Oleh
karena itu, J .C. van Leur berpendapat bahwa sebagian perdagangan dan
pelayaran di Laut Cina Selatan dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan
barangkali juga oleh orang-orang dari barat, yaitu orang India. Sebagai bukti
adalah ketika utusan dari Roma, Marcus Aurelius, datang ke Tiongkok tahun
166 M dan utusan dari India dan Indonesia juga datang ke “Kerajaan Langit”
itu ).
Hubungan perdagangan Tionghoa melalui Laut Cina Selatan dengan Asia
Barat, termasuk perdagangan dari India dan Indonesia, menurut Wolters,
bukti pertama-kalinya baru sekitar abad ke-3 dan abad ke-5 M. Tetapi bukti
yang pasti mengenai pelayaran antara Tiongkok dan Indonesia pada abad
ke-5 M itu adalah adanya berita kedatangan Fa Hien dan Gunawarman,
pendeta beragama Buddha ,
Kedatangan Fa Hien di Ye-Po-Ti tahun 414 M dan Gunawarman di Cho�Po, meski sering diidentiikasikan dengan Jawa, tetapi jelas pada waktu itu�
kerajaan tertua di Jawa ialah Tarumanagara, seperti terbukti dari prasasti�prasasti yang berada di daerah Bogor, J akarta, dan Banten Selatan, yang
berdasarkan paleograinya sekurang-kurangnya dari pertengahan abad ke-5
M, sebagaimana hasil yang ditunjukkan beberapa ahli epigrai, seperti R.M.
Ng. Poerbatjaraka, P. Vogel, dan lainnya. Berita-berita Tionghoa Dinasti Tsui
dan T’ang juga selalu memberitakan tentang adanya utusan dari To-Io-Mo
tahun 528, 535, 666 dan tahun 669 M. Dari segi fonetik, nama To-Io-Mo
sesuai dengan Taruma,
Kedatangan utusan-utusan tersebut, selain karena hubungan diplomatik,
juga karena perdagangan. Hubungan antara Tiongkok dan berbagai dinasti
setelah T’ang, seperti dinasti Song (Sung), Yuan, Ming, serta dinasti seterusnya
dengan kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam,
bahkan zaman kolonial VOC dan Hindia-Belanda pun dapat diketahui dari
berbagai sumber, baik dari Tionghoa maupun sumber asing dan beberapa
hikayat atau babad lokal. Berita-berita tersebut, baik mengenai perdagangan,
diplomatik, peristiwa-peristiwa politik dan kebudayaan, seringkali dijadikan
rujukan sejarawan, sastrawan, dan para ahli lainnya. Kedatangan orang�orang Tionghoa ke Nusantara, termasuk ke negeri-negeri lain di Asia Teng�gara dengan berbagai kegiatan dalam perekonomian dan perdagangan,
ke budayaan, kepercayaan atau keagamaan, serta kebudayaan material seperti
bangunan dan ragam hias, sudah banyak dikemukakan oleh para ahli dalam
seminar-seminar nasional maupun internasional.
Dalam sejarah hubungan antara Tiongkok dengan daerah-daerah di
Tatar Sunda (dahulu meliputi Banten, Jayakarta, dan sekarang Jawa Barat),
yang penting dibicarakan adalah tentang Laksamana Besar Cheng Ho yang
juga telah banyak dibicarakan dalam berbagai buku sejarah serta dalam
seminar-seminar baik nasional maupun internasional. Sumber-sumber utama
tentang pelayaran ekspedisi-ekspedisi Cheng He (Ho) terdapat dalam laporan
Ma Huan Ying-Yai Sheng-Lan (The Overall Survey Of the Ocean’s Shores)
(1433) dan sebagian berita Dinasti Ming oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes
on the Malay Archipelago and Malacca Com piled from Chinese Sources
(1880, 1960). Beberapa ahli Indonesia juga telah menulis buku tentang
Cheng Ho antara lain H.M. Hembing Wijayakusuma, penyunting buku Prof.
Kong Yuanzhi Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di
Nusantara, 2000.
Selain itu, cerita pelayaran Cheng Ho seringkali didengar dari cerita
rakyat di daerah-daerah pesisir, antara lain di Semarang dan Cirebon yang
dikait kan dengan cerita Sam Po Kong, Sam Po Toalang, dan Dampu Awang,
yang dihubungkan pula dengan Kelenteng Gunung Batu di Semarang dan
Kelenteng Talang di Kota Cirebon. Bahkan, cerita yang dihubungkan dengan
ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho itu juga dikenal di Singapura dan negeri�
negeri lain di Asia Tenggara. Persoalan kunjungan Cheng Ho ke Semarang
dan Cirebon makin mencuat dalam penulisan sejarah dengan terbitnya buku,
Peranan Orang-Orang Tionghoa Islam Hanai di dalam Perkembangan
Agam a Islam di Pulau Djaw a (1411-1564) karya Ir. Mangaraja Onggang
Parlindungan yang bersumberkan dokumen dari Kelenteng Sam Po Kong
dan Talang.
Buku ini kemudian mendapat sambutan Prof. Slamet Mulyana, sehingga
ia menerbitkan buku Runtuhnya Kerqjaan Hindu Djaw a dan Tim bulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. Kedua penerbitan itu pernah dikomentari
oleh H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud yang awalnya menganggap Hikayat
Melayu (Malay Annals) dari Sam Po Kong dan Talang tersebut tak ada
nilai historisnya. Tetapi dalam analisisnya yang dimuat pada buku Chinese
Muslim s in Java the 15th and 16th Centuries, kedua sejarawan Belanda itu
berpendapat bahwa teks dari Sam Po Kong itu, mungkin sebagian ditulis
secara kurang sempurna oleh komunitas Tionghoa sebuah kongsi pedagang
komunitas Tionghoa dan awak kapal yang sudah Islam. Menyoal cerita-cerita
yang menunjuk kepada perluasan pelayaran maritim pada zaman Ming,
Graaf dan Pigeaud mengatakan: “Berisi informasi yang dapat dipercaya.”
Ihwal bab-bab yang berkenaan dengan sejarah Kerajaan Majapahit, Demak,
dan Cirebon, dikatakan: “Kurang dapat dipercaya karena kadangkala memuat
informasi yang tidak faktual.” ,
Demikian juga karya Prof. Slamet yang banyak merujuk pada karya
Parlindungan, sete1ah membandingkan dengan cerita dalam babad-babad
lokal dan mengacu kepada nama Raden Patah yang disebut dengan nama
Tionghoa, Dipati J im Bun, ia menggeneralisasikan bahwa semua wali
di J awa ialah keturunan Tionghoa dan memakai nama-nama Tionghoa.
Tapi jika kita teliti berdasarkan babad-babad lokal itu, jelas nama-nama
Wali Sanga, sebagai contoh Sunan Gunung J ati, tak pernah disebut “Tah
Abo” dalam Babad Cirebon, Purw aka Caruban Nagari, dan lainnya. Ia
senantiasa dihubungkan dengan putranya Nyai Lara Santang atau namanya
setelah Muslim, Syarifah Muda’im, saudara Pangeran Cakrabuwana atau
Syekh Duliman yang kesemuanya merupakan keturunan Prabu Siliwangi,
Raja Pajajaran. Demikian juga para wali lainnya, tidak semuanya dapat
dihubungkan dengan asal Tionghoa – kecuali Sunan Ampel yang di dalam
babad disebutkan berasal dari Campa yang kini masuk Vietnam – belum
tentu Tionghoa ,
Kembali pada Cheng Ho, ia telah melaksanakan ekspedisi tujuh kali
ke berbagai negeri di seberang lautan selatan dan barat negeri Tiongkok
atas perintah Kekaisaran Ming, mulai dari Kaisar Yung Lo dan seterusnya.
Ke tujuh ekspedisi tersebut ialah: (1) 1405-7, (2) 1407-9, (3) 1409-11, (4)
1413-15, (5) 1417-19, (6) 1421-2, (7) 1431-33 (J .V.G. Mills, 1970: 8). Pada�
ekspedisi pertamanya, Cheng Ho mengunjungi Jawa, Samudera, Lambri, dan
Palembang. Kunjungan Cheng Ho yang disertai Ma Huan ke Jawa antara lain
adalah ke Jepara, Lasem, Tuban, Gresik, Canggu, Majapahit, setelah kembali
melewati Demak, Pekalongan, Cirebon, Sunda Kelapa, Lampung, Tulang
Bawang, dan Palembang. Anehnya kunjungan ke Semarang tidak disinggung
sama sekali dalam laporan Ma Huan (Ying-Yai Sheng-Lan) itu. Apabila
terjadi kunjungan Cheng Ho ke Semarang, mungkin karena laporan tersebut
bersifat resmi dan untuk Kaisar Tionghoa, sehingga tidak dimasukkan ke
dalam laporannya (Uka Tjandrasasmita, Seminar Internasional).
Demikian pula tentang pendapat beberapa ahli bahwa Cheng Ho
melakukan dakwah Islam, tidak dijelaskan oleh Ma Huan, kecuali cerita
kunjungan Cheng Ho ke Tuban, Gresik, dan Surabaya, di mana sudah banyak
Tionghoa perantau antara lain dari Provinsi Guangdong dan Zhangzhou
(Fujian Selatan) dan kelompok mereka itu sudah banyak menganut agama
Islam dengan berdagang sebagai penghasilan utama , Jadi, pada sekitar abad ke-15, masyarakat etnik
Tionghoa sudah banyak tinggal di beberapa pelabuhan pesisir utara J awa
dari bagian timur sampai bagian barat, yaitu di Tatar Sunda: Cirebon, Kelapa
(Jayakarta), dan Banten.
Perlu dicatat bahwa kedatangan orang Tionghoa di Cirebon yang dapat
dihubungkan dengan ekspedisi Cheng Ho, terdapat dalam Carita Purw aka
Caruban Nagari, karya Pangeran Arya Cirebon tahun 1720. Diceritakan
bahwa, pelabuhan awal Dukuh Pasambangan yang terletak di kaki Bukit
Sembung dan Amparan J ati telah ramai disinggahi kapal-kapal para
pedagang asing seperti Tionghoa, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik,
Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Pada waktu itu penguasa atau
juru labuhannya ialah Ki Gedeng Djumadjan Djati.
Diceritakan pula bahwa pelabuhan Pasambangan tersebut disinggahi
Panglima Tionghoa, yaitu Wai Ping dan Te Ho dengan banyak pengiring
selama tujuh hari. Mereka sebenarnya dalam pelayaran menuju Majapahit.
Mereka membuat mercusuar dan oleh juru labuhan Ki Gedeng Djumadjan
Djati diberikan imbalan perbekalan garam, terasi, beras tumbuk, rempah�rempah, dan kayu jati. Mungkin yang disebut dengan nama Te Ho ialah
Laksmana Cheng Ho yang disertai Ma Huan dan Feh Tsin ),
seperti diceritakan pula oleh Ma Huan dalam Ying-Yai Sheng-Lan (1433).
Dalam perkembangannya, migrasi orang-orang Tionghoa itu akhirnya
membentuk perkampungan (sub-urban) di kota-kota pelabuhan yang biasa
disebut ‘Pecinan’. Di samping juga terdapat perkampungan etnik lain, misalnya
Pakojan: para pedagang Muslim dari Gujarat, Persia, Arab, dan lainnya ,Yang juga menarik perhatian, dalam Carita Purw aka
Tjaruban Nagari, diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung �Jati (tahun 1481 M) memperistri seorang putri Tionghoa bernama Ong Tien
yang usianya tidak lama karena meninggal. Ong Tien dikuburkan di tingkat
9 di sebelah barat di luar cungkup Sunan Gunung Jati ,Sejak abad ke-16 M, migrasi orang-orang
Tionghoa ke kota-kota pusat kerajaan, terutama dengan tujuan perdagangan,
makin banyak. Bahkan setelah Jayakarta dikuasai VOC dan menjadi Batavia
pada 30 Mei 1619 dan dalam rangka pembangunan Batavia menjadi pusat
kolonial Belanda itu, orang-orang Tionghoa telah berdatangan, terlebih dengan
sengaja pemerintah VOC mendatangkan mereka secara besar-besaran untuk
berbagai kegiatan seperti perdagangan, pertanian tebu dan penggilingannya,
bertempat di daerah Angke.
VOC membentuk kelompok etnik Tionghoa itu dengan dipimpin oleh
seorang kapten, yakni So Bing Kong. Tetapi lambat laun, dari masa ke masa
hingga abad ke-18, VOC merasa tersaingi sehingga pada masa pemerintahan
G.G. Adrian Valckenier, diputuskan untuk mengurangi orang-orang etnik
Tionghoa itu dengan cara dikapalkan kembali ke Sri Lanka dan Afrika
Selatan yang berakibat terjadinya pemberontakan Tionghoa tahun 1740 di
mana terjadi pembantaian secara massal terhadap mereka. Akhirnya, orang�orang Tionghoa itu ditempatkan di luar benteng kota yang kini dikenal
sebagai Glodok , Hingga kini sebutan Cina Benteng masih
terdengar di daerah Tangerang dan Ciampea.
Meski demikian, kedatangan orang-orang Tionghoa masih berjalan terus
walau dalam jumlah terbatas sampai abad ke-20 M. Pada masa itu, pemerintah
Hindia Belanda secara politik membagi warga Hindia Belanda ke dalam tiga
golongan: (1) golongan Eropa, (2) golongan Vreem de Oosterlingen (Timur
Asing) yang kebanyakan keturunan Tionghoa, dan (3) golongan pribumi ,Dari segi perdagangan, orang-orang etnik
Tionghoa tetap menonjol dibanding dengan pribumi. Mereka, orang-orang
Tionghoa keturunan itu, terlebih yang memeluk agama Kristen, dianggap
gelijk gesteld (kedudukannya sama). Akibatnya, sedikit sekali orang Tionghoa
yang memeluk agama Islam. Pada tahun 1938, H. Abdul Karim (Oey Cheng
Hien), sahabat Bung Karno di Bengkulu, terus berupaya agar teman-teman
Tionghoa masuk Islam. Dalam sejarahnya, etnik Tionghoa yang totok dan
keturunan, memang ada kalanya memperlihatkan perbedaan sikap. Satu
kelompok cenderung bersikap keindonesiaan, dan yang lain masih cenderung
bersikap asing dengan ketionghoaannya.
Sejak Indonesia merdeka, sebenarnya sudah ada upaya-upaya kerjasama
pemerintah Indonesia dengan masyarakat Tionghoa. Akhir Desember 1977,
dibentuk Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa)
untuk sama-sama merintis kedekatan hubungan pribumi dengan keturunan
Tionghoa yang diketuai oleh K. Sindhunatha, SH (Ong Tjong Hay) yang sejak�
tahun 1960-an memimpin gerakan asimilasi. Selanjutnya, kelompok etnik
Tionghoa Muslim membentuk PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau
Pembina Iman Tauhid Islam) sebagai kerjasama dengan Bakom PKB. Bentuk
upaya asimilasi antara etnik Tionghoa keturunan dengan orang-orang pribumi,
antara lain adalah kegiatan pengislaman mereka yang makin banyak.
J ika pada masa-masa awal kehadiran orang-orang etnik Tionghoa –
misal nya abad -abad ke-15 hingga 17 M – lebih berkonsentrasi di pusat�pusat perdagangan di pesisir Cirebon, Jakarta, dan Banten, maka pada abad
seterusnya mereka mulai menempati kota-kota di daerah pedalaman di Tatar
Sunda, antara lain di kota-kota yang sekarang ini menjadi ibukota kabupaten,
bahkan juga di kecamatan. Demikianlah, kehadiran dan perkembangan etnik
Tionghoa yang ada di Tatar Sunda. Mereka di antaranya sudah melakukan
perkawinan dengan penduduk pribumi dan juga menjadi Muslim.
Budaya Etnik Tionghoa dan Pengaruhnya di Tatar Sunda
Budaya suatu masyarakat dalam arti luas meliputi tujuh unsur budaya
universal: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem
peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem
religi, (7) kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 203- 204).
Bahasa
Bahasa orang-orang etnik Tionghoa, terlebih yang sudah lama bergaul dengan
masyarakat pribumi, biasanya memakai bahasa keakraban, yaitu bahasa
daerah setempat, seperti bahasa Sunda, Melayu, Jawa, Madura, Bali, Minang,
dan Mkassar. Namun, dengan bahasa keakraban setempat yang mengenal
tingkatan-tingkatan, orang-orang Tionghoa umumnya menggunakan bahasa
tingkat rendah yang memang menjadi ciri atau identitas etnik Tionghoa.
Meski demikian, di kalangan etnik Tionghoa itu sendiri terdapat ciri
khas, yaitu masing-masing menggunakan bahasa dialek regional Tionghoa
(Hokkian, Tenciu) dan dialek-dialek Min lainnya seperti Hakka dan Kanton
serta bahasa Mandarin. Dengan berbahasa Tionghoa itulah, mereka dicirikan
sebagai orang asing. Orang-orang Tionghoa peranakan dari lapis atas biasanya
menggunakan bahasa keakraban bahasa Melayu. Secara historis, mereka
bergaul dengan pihak Belanda untuk kegiatan perdagangan dan lainnya.
J adi, orang-orang Tionghoa yang menggunakan bahasa dialek�dialek Tionghoa, menunjukkan ciri keasingan sebagai Tionghoa Asing.
Sedangkan yang memakai bahasa Melayu atau Indonesia, menunjukkan ke�indonesiaannya; orang-orang Tionghoa yang memakai bahasa Belanda, me�nandakan lebih dekatnya mereka ke Barat, yakni Belanda (). Sehingga, tidak mengherankan apabila orang-orang etnik Tionghoa
peranakan lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang pribumi �
di kota-kota Tatar Sunda. Tidak mengherankan juga apabila orang-orang
Tionghoa di daerah Sumedang, Garut, Tasik, Bandung, Purwakarta, Cianjur,
Sukabumi, Bogor, daerah bagian selatan Banten, dan lainnya, menggunakan
bahasa Sunda. Klan di daerah lainnya, misalnya di Cirebon dan Banten,
menggunakan dialek Jawa Cirebon dan Banten. Sementara di daerah Jakarta
dan sekitarnya menggunakan bahasa Melayu Betawi.
Kepercayaan Keagamaan
Orang-orang etnik Tionghoa di Indonesia ada yang mempunyai kepercayaan:
(a) Taoisme, (b) Konfusianisme, (c) Budhisme, (d) Islam, (e) Kristen. Yang akan
dibicarakan di sini adalah mengenai keagamaan atau kepercayaan Taoisme,
Konfusianisme, dan Budisme – Islam dan Kristen akan disinggung pula.
Taoisme dan Konfusianisme ialah kepercayaan yang aslinya tumbuh dan
berkembang di Tiongkok. Namun tradisinya dibawa pula ke Indonesia oleh
migrasi orang-orang Tionghoa dari negeri asalnya. Taoisme, Konfusianisme,
dan Budhisme, oleh orang-orang Tionghoa dipahami sebagai tiga ajaran yang
berkaitan satu sama lain dan disebut San Jiao atau Sam Kauw.
Taoisme
Taoisme merupakan ajaran pertama di Tiongkok dari Lao Tze tahun 604 SM
di Propinsi Hunan. Lao Tze mengarang kitab ajarannya dalam Tao Te Ching
yang menjadi dasar ajaran penganut Taoisme. Kitabnya itu memuat ajaran
bahwa seharusnya manusia itu mengikuti geraknya (hukum alam), yaitu dengan
menilik kesederhanaan hukum alam. Hariyono berkesimpulan bahwa, pada
dasarnya ilsafat Taoisme dibangun atas tiga kata: pertam a, Tao Te (Tao ialah
kebenaran, hukum alam dan kebajikan). Jadi, Tao Te berarti hu kum alam yang
merupakan irama atau kaidah yang mengatur bagaimana se harusnya manusia
menata hidupnya. Kedua, Tzu-Yan, artinya wajar. Yaitu bah wa manusia
seharusnya hidup secara wajar dan selaras dengan bekerjanya alam. Ketiga, Wu�Wei, berarti tidak campur tangan dengan alam. Manusia ti dak boleh mengubah
yang sudah diatur alam
Konfusianisme
Di antara kepercayaan tradisional Tionghoa, Konfusianisme menjadi ajaran
paling berpengaruh dan mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari
mayoritas orang-orang Tionghoa. Konfusius atau Konghuchu mulai dikenal
di Tiongkok melalui pemikiran -pemikiran cemerlang yang disebarkan pada
zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir tahun 551 SM. Ia berasal
dari kota Lu, Provinsi Shadong, pada masa Dinasti Chou tengah kehilangan
kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian
wilayah Tiongkok. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya, karena sudah �kehilangan ayahnya ketika masih berusia 3 tahun. Ketika dewasa, ia bekerja
sebagai pegawai pada bangsawan Thou di mana ia mengikuti semua upacara -
upacara keagamaan dan akhirnya ia menjadi seorang ahli dalam ritual agama
kuno. Dengan demikian, ia mempunyai banyak pengikut untuk berguru
kepadanya.
Konfusianisme adalah humanisme, dan tujuan yang hendak dicapai
ialah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan
masyarakatnya. Kodrat manusia, menurut Konghuchu, ialah pemberian langit.
Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh
karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah petunjuk sentral bagi
moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh alam semesta. Bagi
Konfusius, manusia adalah bagian konstitutif dari alam semesta dan manusia
harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan alam di luarnya.
Ungkapan yang paling terkenal dan menjadi inti dari ajarannya ialah: “Tidak
berbuat kepada orang lain apa yang tidak disukai orang lain”.
Secara praktis, ajaran Konfusianisme dapat disimpulkan dalam tiga
pokok. Pertam a, pemujaan terhadap Tuhan (Thian). Thian menjadi awal
dan sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Ia menekankan perlunya
mengadakan sembahyang terhadap Thian atau Shangdi atau Shiang Te (dialek
Hokkian). Kedudukan Thian di tempat paling agung, sedangkan para dewa
dan malaikat membantu menjalankan roda pemerintahan di alam semesta
ini sesuai dengan fungsinya masing-masing. Karena itu juga, hal tersebut
merupakan cermin dari prinsip Yin dan Yang yang diwujudkan dalam bentuk
pemerintahan di dunia dan pemerintahan di surga yang dilakukan oleh para
dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya bahwa pemerintahan
di surga sama dengan pemerintahan di dunia. Dalam kaitan dengan hal
itulah, Kaisar Hungdi yang di bumi merasa perlu memuja Shangdi yang
kedudukannya di surga untuk memohon petunjuk dalam menjalankan roda
pemerintahan di dunia agar selalu selaras dengan pemerintahan Shangdi
(Shang=di atas; dan di=tanah).
Kedua, pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan terhadap leluhur adalah
mengingat kembali asal-usulnya bahwa manusia berasal dari leluhurya.
Upacara terhadap leluhur itu menggunakan sesaji. Sebagian besar aktivitas
rumah tangga dalam keluarga Tionghoa selalu berhubungan dengan roh
leluhur. Pemujaan terhadap leluhur dipandang sebagai wujud bakti anak
terhadap orang tua dan leluhurnya (Kyao). Upacara leluhur dipimpin oleh
ayah sebagai kepala keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki penting untuk
meneruskan garis keturunan.
Ketiga, penghormatan terhadap Konfusius. Bagi orang Tionghoa, ke�wajiban mereka menghormati Konghuchu yang dianggap sebagai guru besar,
sama halnya dengan penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap �berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai kini masih
berkembang. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan
masyarakat Tionghoa, membuat ajaran Konghuchu lebih banyak ditujukan
kepada manusia sebagai makhluk hidup.
Budhisme
Ajaran ini bukan berasal dari Tiongkok, tetapi dari lndia dan masuk ke
Tiongkok pada abad ke-3 M, pada zaman pemerintahan Dinasti Han.
Budhisme kemudian memberikan pengaruh cukup signiikan bagi kehidupan
orang-orang Tionghoa. Budhisme di Tiongkok mengalami perkembangan
sendiri dan mendapat pengaruh dari kepercayaan sebelumnya, yaitu Taoisme
dan Konfusianisme. Yang paling kentara dari percam puran itu ialah sekte
San yang juga muncul di Jepang dan dinamakan Zen. Dewa-dewa Buddha
seperti Awalokiteswara, Maetreya, dan sebagainya, yang berubah menjadi
Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im) yang sangat populer sekali di
kalangan orang Tionghoa, merupakan tempat memohon pertolongan dalam
kesukaran, mohon keturunan, dan lain-lain. Dewi Kwan Im mempunyai 33
wujud, di antaranya yang paling populer adalah Kwan Im yang berbaju putih
yang membawa air suci dan bertangan seribu.
Selain Awalokiteswara, Maetreya juga mempunyai wujud lain di Tiongkok,
yaitu Mi Le Fo, seorang yang bertubuh gemuk dengan raut muka selalu
tertawa, dan dewa ini dikenal sebagai Dewa Pengobatan. Selain itu, orang�orang Tionghoa mengenal tiga golongan dewa dalam Budhisme. Pertam a,
Dewa Penguasa Alam Semesta yang mempunyai kekuasaan di langit. Para
dewata golongan ini dipimpin dewa tertinggi, yaitu Yu Huang Da Di, Yuan
Shi Tian Sun, dan termasuk di antaranya Dewa Bintang, Dewa Kilat, dan
Dewa Angin. Kedua, Dewata Penguasa Bumi. Walaupun mereka termasuk
malaikat langit, kekuasaan mereka meliputi dunia dan manusia, termasuk
akhirat. Mereka disebut para dewata dan dewa Wu Xing yang menguasai
5 unsur: kayu, api, logam, air, dan tanah. Ketiga, Dewa-dewa penguasa
manusia yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti mengurus
jodoh, kematian, usia, rezeki, kekayaan, dan kepangkatan.
Mengenai orang-orang etnik Tionghoa di Indonesia, seperti telah diurai
di atas, dari abad ke-15 sampai 16 Masehi, sudah banyak yang masuk Islam
seperti di Tuban, Gresik, Semarang, dan Cirebon. Sejak kemerdekaan Indonesia,
mereka masuk agama Islam dengan jumlah lebih bertambah. Bah kan di antara
mereka ada yang sudah menjadi haji sebagaimana banyak dike mukakan
dalam publikasi yang dibuat oleh H. Yunus Yahya. Orang-orang Tionghoa di
Indonesia, terutama zaman Hindia-Belanda, banyak me meluk agama Kristen.
Terlebih setelah pemerintah Hindia-Belanda memasukkan etnik Tionghoa,
terutama peranakannya, dalam golongan W ester Oosterlingen.
�
Upacara-Upacara Kepercayaan Keagamaan
Erat hubungannya dengan kepercayaan keagamaan, termasuk perealisasian
ritualnya, ialah berbagai upacara yang telah turun-temurun dilaksanakan
oleh orang-orang Tionghoa. Di antara upacara-upacara tersebut adalah:
Imlek atau Yin Li (Tahun Baru)
Kegiatan ini diselenggarakan setiap tanggal 1 bulan 1 penanggalan Tionghoa
yang mengikuti gerak bulan. Upacara ini merupakan upacara tradisional
terbesar dan biasanya dimulai sejak petang menjelang tanggal satu. Dengan
dipimpin oleh ayahnya, mereka mengadakan sembahyang dan minum�minum untuk leluhurya, membersihkan rumah agar bersih dari segala hal
buruk dalam kehidupan. Pada malam hari, ada kebiasaan membunyikan
petasan untuk menyambut kedatangan tahun baru Imlek. Pagi-pagi tanggal
1 tersebut, semua pintu dan jendela dibuka, dengan kepercayaan untuk
menyambut dewa keberuntungan. Mereka menerima kunjungan atau mereka
berkunjung ke saudara-saudara atau kerabatnya. Pemberian amplop yang
berisi uang atau perhiasan, yang disebut angpau, dilakukan untuk anak- anak
dan remaja yang belum menikah dan kepada fakir miskin.
Cap Go Meh atau Goan Siao atau Teng Chieh
Dilakukan untuk menyambut datangnya malam tanggal 15 bulan 1 penanggalan
Tionghoa, tepatnya bulan purnama, dan biasanya dilakukan pesta lentera.
Ceng Beng atau Ching Ming
Yakni upacara yang dilaksanakan setiap bulan kedua Penanggalan Tionghoa.
Pada hari itu, keluarga-keluarga masyarakat Tionghoa berziarah ke makam�makam leluhurnya dengan membawa dupa, lilin, kertas sembahyang, dan
juga membawa sesaji. Tetapi sebelum upacara sembahyang, makam itu di�bersihkan terlebih dahulu.
Phe Cun atau Toan Yang
Yaitu upacara dengan pesta atau festival Perahu Naga yang diselenggarakan
tanggal 5 bulan 5 penanggalan Tionghoa. Tujuannya untuk memperingati
Chu Yuan, seorang menteri, tokoh legendaris yang menenggelamkan diri di
Sungai Mi Lo, Provinsi Hunan, karena tidak tega melihat negaranya hancur
diserang musuh. Setiap tanggal tersebut mereka berbondong-bondong ke
sungai dan melemparkan sekepal nasi dibungkus daun bambu serta sering
diisi daging babi. Bungkusan sekepal nasi dengan daging babi itu disebut
bacang, artinya kue cang.
�
Cioko
Upacara ini dikenal juga sebagai “sembahyang rebutan”. Upacara ini dilakukan
pada bulan ketujuh penanggalan Tionghoa untuk memberi makanan ke pada
banyak roh yang tidak sempat atau tidak lagi disembahyangkan keluarganya.
Berbagai upacara itu, terutama kegiatan sembahyang, berdampak kepada
kebutuhan pendirian bangunan, yang dikenal sebagai “kelenteng”. Di wilayah
Tatar Sunda, terdapat kelenteng-kelenteng termasuk yang kuno, dan hingga
kini masih dipergunakan.
Kelenteng-Kelenteng
Kelenteng merupakan tempat persembahyangan orang Tionghoa di Tatar
Sunda. Di antara sarjana-sajana Barat yang menaruh perhatian pada masalah
kelenteng, terutama yang berada di Jakarta dari abad ke-17 sampai 20 M,
ialah Denys Lombard dan istrinya, Salmon (Sinolog), dalam Les Tem ples
Chineis de Jakarta et Vie Collective, yang telah diterjemahkan ke dalam ba�hasa Indonesia. Sebutan kelenteng- kelenteng yang semula sebagai tempat
peribadatan kepercayaan Taoisme dan Konghuchu sejak beberapa dekade di
Indonesia, berganti dengan sebutan wihara dalam agama Buddha.
Kelenteng-kelenteng, baik yang berada di Jakarta (24 bangunan) maupun
di Jawa Barat (3 kelenteng), telah dicatat dan dikaji oleh suatu tim ahli dari
Direktorat Purbakala yang waktu itu dipimpin oleh Drs. Nunus Supardi. Di
antara kelenteng atau wihara di Jakarta yang seringkali dihubungkan dengan
persinggahan Cheng Ho ialah Kelenteng Da Bo Gong (Kelenteng Ancol atau
Wihara Bahtera Bhakti). Di antara sejumlah kelenteng di Jawa Barat, yang
terkenal adalah Kelenteng Talang, juga dihubungkan dengan Cheng Ho,
seperti halnya Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Kelenteng-kelenteng
yang berada di Jakarta dan di Jawa Barat (katakanlah dahulunya di Tatar
Sunda) tersebut, juga telah dikaji dan digambarkan latar belakang sejarahnya,
bentuk atau arsitekturnya, ornamen-ornamennya, patung-patung, dan benda�benda lainnya yang ada di kelenteng dengan simbol-simbolnya. Lebih lengkap
lagi disertai gambar, foto, bahkan peta lokasi kelenteng atau wihara itu.
Dalam kepercayaan orang Tionghoa, cara-cara pembuatan bangunan
se perti kelenteng dan tempat tinggal, berpedoman pada apa yang disebut
Fengsui, agar tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan bagi yang memakai atau
menempatinya. Dari beberapa unsur bangunan dan ornamen kelenteng-ke�lenteng itu, juga ada pengaruhnya terhadap arsitektur dan ornamen ba ngun�an-bangunan masyarakat Indonesia sekarang, terutama dalam ben tuk atap nya
yang dihiasi ornamen seperti naga dan burung. Bahkan jika di ban ding kan
dengan rumah-rumah di Jepara, Demak, Kudus pada masa Islam, dan lebih
jauh dengan bangunan yang disebut m eru dan gaya arsitektur dalam relief-relief
percandian zaman Majapahit, tampak sekali adanya pengaruh Tionghoa.
�
Ragam Hias dan Seni Bangunan
Ragam hias dan seni bangunan sudah kita kenali pengaruh pemakaiannya
untuk bangunan dan benda-benda lainnya seperti di keraton-keraton Cirebon
(Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan), baik yang masih dipakai maupun yang
sudah menjadi puing- puing. Pengaruh budaya Tionghoa di kota itu sangat
menarik perhatian, misalnya pemakaian piring -piring Tionghoa dari zaman
Ming yang digunakan untuk menghiasi tembok-tembok Sitinggil, gerbang
keraton, dan sebagainya. Bahkan dalam Keraton Kasepuhan, terutama pada
dinding Dalem Agung, terdapat hiasan-hiasan berwarna indah dengan gaya �budaya Tionghoa. J ika kita perhatikan ragam-hias yang disebut padasan,
sebenarnya gambaran sisi awan yang merupakan ciri khas ragam hias
Cirebon, bukan hanya pada tembok saja tetapi juga pada benda-benda
lainnya bahkan pada batik yang sekarang contohnya adalah Batik Trusmi.
Ragam hias batik yang memakai gambaran burung Feniks juga merupakan
pengaruh dari budaya etnik Tionghoa. Batik Jelaprang dari pesisir utara juga
mengingatkan kita kepada ragam hias sisi awan. Yang menarik perhatian
kita adalah Gua Sunyaragi yang bentuk dan bahannya terbuat dari bata�bata dan batu, menurut berita setempat juga dibuat orang Tionghoa. Tetapi �
berdasarkan Daghregister tahun 1703, jika dibandingkan dengan bangunan
di Beijing, khususnya di istana yang disebut Forbidden City, juga terdapat
persamaannya.
Demikian pula, ketika mengunjungi Provinsi Shia di barat-laut Beijing,
saya dapat melihat bangunan masjid kuno yang berasal dari zaman Tang
dan mendapat perbaikan pada zaman Ming. Bentuknya yang beratap tiga
dengan tiang-tiang saka-gurunya yang berbentuk bundar, mengingatkan kita
kepada bentuk Masjid Agung Demak. Masjid Agung Cipta Rasa di Cirebon,
seperti dibicarakan dalam Tjarita Purw aka Nagari, sebenarnya asalnya
beratap tiga. Tetapi karena tersambar petir, konon atap ketiganya tidak boleh
diperbaiki lagi. Dalam upacara-upacara kesenian, baik di Cirebon maupun
di tempat-tempat lainnya yang ada komunitas etnik Tionghoanya, terutama
Tionghoa peranakan, beserta masyarakat di sekitarnya turut menyaksikan
upacara-upacara tradisional Tionghoa itu. Anak-anak pribumi juga senang
menyaksikan permainan Barongsai dan akrobat-akrobat serta bentuk kesenian
lainnya.
Seni Sastra
Yang tidak kalah penting adalah seni sastra yang pernah dibuat sastrawan�sastrawan Tionghoa Indonesia (peranakan). Hal ini telah dibicarakan oleh
beberapa ahli dan telah dihimpun serta dikaji oleh Henri Chambert-Loir
dalam Sastra Introduction à La Litérature Indonésienne Contem poraine. Di
dalamnya dibicarakan karya-karya sastra dengan judul-judul bahasa Melayu
dan dengan huruf Latin hasil ciptaan orang -orang Tionghoa peranakan dan
diperuntukkan untuk bacaan kalangan etnik Tionghoa tersebut. Beberapa
contoh ialah Syair Boeroeng dan Syair Mengim pie (1882) karya Tan Kit
Tjoan, Syair Tjerita Siti Akbari (1884) karya Li Kim Hok, Syair Binatang
Koeda dan Sapi (1889) karya Boen Sing Hoe Taboo, dan masih banyak lagi.
Selain itu, banyak juga karya seni-sastra yang bersifat prosa, antara lain karya
The Tiang Ek: Terboeroe Napsoe (1926), Goedang Cerita (1930), dan Kiam
Hiap (1931). Selain itu, banyak orang Tionghoa peranakan yang bergerak
di bidang pers dengan me nulis cerita-cerita atau pemberitaan dalam bahasa
Melayu.
Jenis Makanan
Pengaruh Tionghoa dalam jenis makanan terhadap masyarakat, baik di
Tatar Sunda maupun di daerah lainnya, tidak dapat diragukan lagi bahkan
masih dapat dirasakan sampai sekarang. Beberapa contohnya misalnya tauco,
kecap, tauge, tahu (taufu), siomai, tauji, bakso, mie, dan masih banyak lagi,
yang pada suatu saat perlu didaftar serta dikaji secara seksama. Demikian
pula nama-nama jenis obat-obatan dan ramuan jamu-jamuan yang dapat �
kita kenali dan kita beli, serta cara makan dengan menggunakan cupit dari
bambu, seringkali kita ikuti dalam restoran-restoran Tionghoa.
Mata Uang
Sejak zaman kerajaan-kerajaan Indonesia kuno, kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia dan kolonial Belanda, berdasarkan berita-berita asing, mata
uang kepeng Tionghoa berlaku pula di masyarakat. Di Cirebon, pada
zaman kesultanan, pembuatan mata uang pernah diberikan kepada seorang
Tionghoa, di samping jabatan Syahbandar (Uka Tjandrasasmita, 2000: 151-
163). Selain itu, beberapa jenis nisan kubur Tionghoa perlu diperhatikan pula
dari segi arkeologis, apakah ada saling pengaruh atau tidak dengan nisan�nisan kubur Muslim. Hal ini menarik karena ada nisan-nisan kubur Tionghoa
yang telah diteliti oleh Claudine Salmon di situs Pecinan Banten di mana
bentuk dasarnya ada persamaan dengan nisan kubur Muslim. Selain itu,
penting diteliti – dari sudut nama-namanya – bagaimana kaitannya dengan
sejarah.
Keramik
Keramik perlu didiskusikan secara khusus, karena dari sisi keilmuan sejarah
bukan hanya penting dari segi arkeologi, tetapi juga bagi rekonstruksi sejarah
perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok. Sebagai contoh, selain keramik
yang dipakai sebagai penghias tembok-tembok di Keraton Kasepuhan
dan di makam Sunan Gunung J ati – keduanya di Cirebon – juga pernah
ditemukan keramik di situs-situs kuno di Banten dan di tempat lainnya.
Ibukota Kesultanan Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa, terutama
dengan Tiongkok, jelas telah dibuktikan oleh temuan keramik di Kampung
Sukadiri dan di sekitar ibukota Banten Lama, Surasowan, yang kebanyakan
berasal dari zaman Dinasti Ming, serta ada juga dari Dinasti Sung. Hasil-hasil
temuan arkeologis itu kini banyak disimpan di museum situs di sana dan
juga telah dikaji ahli-ahli.
Selain itu, menarik bahwa adanya perdagangan yang bersifat internasional
itu bukan hanya berdasarkan berita-berita saja, tetapi juga berdasarkan sketsa
pasar dan kota Banten Lama oleh Willem Lodewijksz dalam kunjungannya
ke kota itu pada tahun 1596 yang mengikuti pelayaran pertama orang-orang
Belanda ke Oost-Indie (1595-1597) di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.
Diceritakan apa yang diperdagangkan oleh orang-orang Tionghoa itu dan
pedagang asing lainnya �
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, kedatangan
orang Tionghoa sejak awal abad-abad pertama sampai abad-abad kemudian
ke Indonesia, antara lain ke daerah Tatar Sunda, Cirebon, Kalapa, Jayakarta,
Banten, dan lainnya, terlebih juga ke kota-kota di pedalaman, umumnya
bertujuan untuk dagang. Lambat laun mereka mempunyai tempat pemukiman
sendiri yang disebut Pecinan, mereka menjadi Tionghoa peranakan bahkan
kini sebagian besar sudah menjadi WNI. Kedua, dalam sejarah perkembangan
kedatangan dan pemukiman etnik Tionghoa itu, mereka bukan hanya menjadi
pedagang kecil sampai menjadi konglomerat, tetapi juga di antara mereka
ada yang menjadi pejabat birokrasi. Bahkan, sejak kemerdekaan, ada yang
menjabat sebagai menteri. Lalu, ada pula di antara mereka yang menjadi
ilmuwan dan agamawan.
Ketiga, sesuai dengan proses sejarahnya, masyarakat Tionghoa ada yang
memeluk Taoisme, Konfusianisme, Budhisme, dengan melaksanakan berbagai
ritualnya dalam bentuk kesenian, upacara peringatan hari-hari besarnya, dan
lain-lain. Demikian juga sejak abad ke-15 sampai 16 M, banyak orang dari
etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam dan Kristen. Dengan sendirinya,
baik konsep ketuhanan maupun ritual mereka, lebih dekat pada tradisi
keagamaan Islam dan Kristen. Keem pat, untuk keperluan upacara keagamaan,
etnik Tionghoa mendirikan kelenteng-ke lenteng atau wihara-wihara dari yang
kuno sampai yang baru di daerah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, di mana
dahulunya daerah-daerah itu disebut Tatar Sunda. Bangunan kelenteng dan
berbagai ornamen serta benda-bendanya mempunyai pengaruh terhadap seni
bangun dan ornamen terutama keraton-keraton dan lingkungannya.
Kelim a, pembentukan organisasi tergantung pada kepentingan etnik
Tionghoa, terutama yang telah menjadi WNI dan pemeluk Islam, dengan
tujuan asimilasi atau pembauran, bukan hanya menggunakan nama-nama
Indonesia tetapi juga membentuk organisasi Bakom BPK, PITI, dan lainnya.
Keenam , orang-orang Tionghoa dari lapisan umum cepat menyesuaikan
dirinya di tempat -tempat mereka bermukim dengan masyarakat pribumi
dengan mengguna kan bahasa keakraban, yaitu bahasa-bahasa lokal seperti
Sunda, Jawa, dan lainnya.
Selain itu, berdasarkan pada temuan-temuan arkeologis terkait ke�budayaan Tionghoa ini, beberapa hal perlu dicatat di sini. Pertam a, mengingat
fungsi museum sebagai tempat pemeliharaan dan tempat pendidikan budaya
serta ilmu pengetahuan, maka perlu ada upaya penginventarisasian dan
pen dokumentasian peralatan-peralatan atau benda -benda yang berkaitan
de ngan tradisi budaya etnik Tionghoa, baik yang mungkin masih dimiliki
komunitasnya maupun perorangan. Bisa jadi, oleh pemiliknya, benda�benda itu dititipkan dan dihadiahkan kepada museum. Kedua, inventarisasi �dan dokumentasi bukan hanya terhadap benda bergerak saja, tetapi juga
ter hadap bangunan serta tradisi-tradisi kesenian, upacara, dan lainnya,
untuk kepentingan penyusunan latar belakang, arah, dan budaya dari
benda -benda yang dipamerkan. Ketiga, hasil-hasil seni sastra karya-karya
Tionghoa peranakan WNI maupun non Tionghoa, perlu dihimpun sebagai
dokumentasi, misalnya surat kabar, cerpen, syair, prosa, novel, dan lainnya,
yang berhubungan dengan kehidupan etnik Tionghoa, terutama hubungannya
dengan pribumi di daerah Tatar Sunda. Keem pat, perlu dibentuk kemitraan
dalam rangka sosialisasi tradisi-tradisi budaya etnik Tionghoa Peranakan
atau WNI untuk pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.�
�
Langganan:
Postingan
(
Atom
)