Home » All posts
berfungsi sebagai ibukota
kesultanan, meski ada juga yang pada abad ke-16 dan 17 M sudah mengalami
kehilangan fungsinya. Kota-kota itu memiliki pasar dengan bandarnya untuk
melakukan impor dan ekspor komoditas yang diperlukan. Kota-kota Muslim
dari masa pertumbuhan dan perkembangannya dengan berbagai kegiatan
yang berkenaan dengan bandar, komoditas pasar, sudah didiskusikan dalam
Pertum buhan dan Perkem bangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari
Abad XIII sam pai XVIII Masehi . Dengan
kedatangan Portugis dan penguasaan Malaka tahun 1511, maka kesultanan
seperti Demak, Cirebon, Banten, dan lainnya, berupaya meneruskan jaringan
perdagangannya melalui Selat Sunda-Lautan Hindia sepanjang pesisir barat
Sumatera sampai ke Aceh, dan selanjutnya ke daerah-daerah Ceylon, India,
dan terus ke Timur Tengah.
Dengan kedatangan VOC, walaupun J.P. Coen berhasil merebut Jayakarta
dari tangan Pangeran J ayakarta Wijayakrama serta mengganti nama
J ayakarta menjadi Batavia pada 30 Mei 1619 , namun beberapa kesultanan
seperti Banten, Mataram, Cirebon, Ternate, Tidore, Gowa, Banjar, bahkan �
kesultanan besar dan kuat seperti Aceh Darussalam, masih terus melakukan
perdagangan regional dan internasionalnya. Dengan ambisinya, VOC ber�usaha menerapkan monopoli dengan cara memerangi dan menanamkan
politik devide et em pera-nya. Akibatnya, VOC mendapat perlawanan dan
pem berontakan dari beberapa kesultanan. Sampai VOC berakhir sekitar tahun
1799, banyak kesultanan telah masuk ke dalam sistem kolonialisme Belanda,
se hingga jaringan perdagangan sebagian besar kesultanan di Indonesia
praktis berada di tangan VOC. Perluasan kolonialisme Belanda masih terus
di lakukan hingga masa Hindia-Belanda, di mana kesultanan-kesultanan satu
demi satu jatuh di bawah kekuasaan Hindia-Belanda, misalnya kesultanan di
Maluku, Kesultanan Mataram Solo dengan Yogya, Kesultanan Banten, Ke�sultanan Cirebon, serta kesultanan di Sulawesi Selatan, Kutai, Kalimantan
Selatan, Siak, Kampar, Rokan, Palembang, dan lainnya.
Kesultanan Aceh adalah yang paling sulit ditaklukkan. Hindia-Belanda te�rus mengarahkan kekuatan militernya sejak Perang Aceh tahun 1873, namun
kesultanan itu tidak mudah dikuasai. Setelah gugurnya panglima-panglima
perang Aceh, Tengku Umar dan Panglima Polim, dan diakhiri dengan me�nyerah nya Sultan Alauddin Muhammad Daud Shah pada 20 Januari 1903,
secara resmi Aceh berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda .
Bandar dan Komoditas Ekspor-Impor
Telah ditegaskan bahwa kerajaan atau kesultanan yang tergolong sebagai
negara-kota yang terlibat dalam kegiatan perdagangan regional dan inter�nasional, memerlukan bandar sebagai tempat ekspor dan impor komoditas
yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kesultanan yang bersangkutan. Di
samping mempunyai ibukota yang sekaligus berfungsi sebagai kota-bandar,
juga terdapat beberapa kesultanan yang masih meneruskan beberapa kota�bandar dari masa sebelumnya, seperti Kesultanan Banten. Kecuali bandar
utama nya di Surosowan yang semula merupakan bandar pada masa Banten
di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran, Kesultanan Banten juga mempunyai
bandar Pontang, Tangerang, Ciguede, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon.
Di Kesultanan Demak, yang berfungsi sebagai kota-bandar adalah Jepara,
dan bandar-bandar yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit,
seperti Tuban, Gresik, J aratan Sedayu, Surabaya, dan lainnya di daerah
Madura. Kesultanan-kesultanan besar maupun kecil di Maluku memiliki
kota-bandar penting yang juga berfungsi sebagai ibukota pemerintahan, se�perti Ternate, Tidore, Hitu, Ambon, Banda, Bacan, Makian, Jailolo, dan lain�lain. Kesultanan Samudera Pasai, yang ibukotanya berfungsi sebagai pusat
ke kuasaan dan kota-bandar, juga memliki beberapa bandar lain yang ada di
pe sisir Selat Malaka. �
Demikian pula Kesultanan Aceh Darussalam, yang bandarnya disebut
Lambri, setelah kesultanan itu menjadi besar dan meluas, maka kota-kota
bandar, baik yang ada di Selat Malaka maupun di Sumatera Barat, seperti
Pariaman dan kota-kota di pesisir barat lain, seperti Barus, Singkil sampai
Meulaboh, berada di bawah Kesultanan Aceh. Kesultanan-kesultanan yang
ibukotanya di daerah aliran sungai besar dan mempunyai bandar ada�lah Kesultanan J ambi, Kesultanan Siak-Indragiri, Kesultanan Kutai, dan
Kesultanan Tenggarong. Sementara kesultanan di Sulawesi Selatan, bandar
besarnya adalah di Gowa-Tallo, Luwuk. Demikian juga kesultanan di
Kalimantan Selatan, kota bandarnya adalah di Banjarmasin, dan di pedalaman
di aliran sungai, seperti Martapura dan Nagara.
Meskipun terdapat kota bandar, namun kota bandar yang berfungsi
melakukan ekspor dan impor komoditas yang diperlukan kesultanan, pada
umumnya adalah kota bandar besar, terutama yang juga berfungsi sebagi
ibukota pusat pemerintahan dan terletak di pesisir, misalnya Banten,
Jayakarta, Cirebon, Jepara, Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin,
Malaka, Samudera Pasai, dan Banda Aceh. Kesultanan Jambi dan Palembang,
kota bandarnya masing-masing berada di J ambi, di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Batanghari, dan di Palembang di DAS Musi. Adapun Kesultanan
Mataram dari abad ke-16 sampai ke-18 M, meskipun terletak di pedalaman,
dengan kekuasaan meliputi sebagian besar Pulau J awa yang merupakan
hasil ekspansi Sultan Agung, juga mempunyai kota bandar seperti J epara,
Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya .
Pemerintahan kota bandar biasanya diserahkan kepada putra-putra sultan
yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati yang membawahi para
syahbandar yang diangkat oleh sultan, di antaranya terdapat pula orang asing
seperti syahbandar di Banten pada tahun 1604, yakni orang Keling, Gujarat,
Tionghoa, India (di Aceh), Tionghoa (di Makassar atau Gowa), Jepang (di
Batavia), dan orang Tionghoa (di Cirebon). Pengangkatan orang asing sebagai
syahbandar mungkin berkaitan dengan pengetahuan dan pengalamannya
yang luas tentang perdagangan dan kepandaian bahasanya, sehingga me mu�dah kan komunikasi dengan para nakhoda asing. Fungsi syahbandar bukan
hanya meliputi urusan perdagangan dengan pihak asing saja, tetapi juga
hubungan antarnegara, dan semua urusan yang bersifat internasional, misal�nya dalam bidang legalisasi, yudikasi, kepolisian, dan administrasi . Dari bandar-bandar penting dan
besar, dilakukan ekspor dan impor komoditas untuk kepentingan jaringan
perdagangan regional dan internasional.
Untuk komoditas perdagangan yang diekspor dan diimpor, diperlukan
pasar terutama pasar besar yang berfungsi sebagai pasar di kota pusat kerajaan�
dan di kota bandar. Seusai proses pengumpulan komoditas ekspor atau juga
impor yang bergantung pada pelaksanaan pelayaran serta angin muson yang
harus menunggu waktu lama, terbentuklah perkampungan para pedagang
asing, seperti Kampung Pacinan, Kampung Keling, Pakojan, dan kampung�kampung lain yang berasal dari daerah asal yang jauh dari kota-kota yang
dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon,
atau Kampung Bali di Jakarta .
Komoditas ekspor untuk perdagangan regional maupun internasional
yang dapat diambil sebagai contoh dari Kesultanan Samudera Pasai adalah
sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires bahwa kesultanan ini, setiap tahun
dapat menghasilkan 8 sampai 10 ribu bahar lada, meskipun kualitas nya ber�beda dari lada yang dihasilkan Kocin; menghasilkan sutera dan kapur barus,
dan banyak lagi komoditas lain, karena Pasai merupakan tempat menghimpun
komoditas ekspor.
Sebagai contoh adalah komoditas yang dihasilkan dari Aru berupa kapur
barus, emas, kayu yang mengandung obat-obatan, rotan, dan perak yang
dibuat mata-uang untuk alat pembelian atau alat tukar. Tetapi Tome Pires
tidak merinci komoditas impor untuk Pasai, kecuali menyebutkan barang�barang yang diperdagangkan di Gujarat, Keling, Bengal, Pegu, Siam, Kedah,
dan Birma. Pedagang-pedagang tersebut juga ada di Pedir dan Malaka .
Komoditas ekspor yang dihasilkan di negeri lain di Sumatera pesisir timur,
seperti Aru, Rokan, Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, hingga Palembang, adalah
terutama hasil-hasil hutan seperti lada, kapur barus, kayu gaharu, madu,
lilin, pinang, emas sebagai hasil penambangan, dan lain-lain yang diekspor
dan diperdagangkan di Malaka . Sebaliknya, negeri-
negeri tersebut membeli komoditas dari negeri asing seperti jenis-jenis kain
dari India, porselen dan sutera dari Tiongkok, wangi -wangian dari Timur�Tengah, dan dari pedagang asing di Malaka.
Tome Pires memberitakan pula komoditas ekspor dan impor dari kota�kota bandar pada awal abad ke-16 M yang terletak di pesisir utara J awa,
se perti Banten sampai Demak, Jepara, Tuban, Gresik, hingga ke Surabaya
dan daerah lain. Dari Bandar Kalapa, yang pada awal abad ke-16 masih da�lam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, diekspor komoditas seperti lada,
asam, beras, daging, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Komoditas hasil
bumi itu juga diekspor untuk jaringan perdagangan regional dengan bandar�bandar di Indonesia sendiri. Karena bandar Kalapa berhubungan dagang
de ngan Sumatera, Palembang, Lawe, Makassar, Malaka, J awa, Madura,
dan daerah lainnya. Hubungan perpagangan internasional Sunda Pajajaran
melalui bandar Kalapa tidak hanya dengan Malaka, tetapi juga dengan India,
Maladewa, dan Tiongkok. Komoditas yang diekspor dari daerah pedalaman�di angkut melalui jalan sungai maupun darat menuju bandar utama, yaitu
Kalapa (Uka Tjandrasasmita, 1998).
Komoditas yang diimpor pada masa itu adalah berbagai jenis kain ber�warna putih, belacu, dril, katechu, dan lain-lain dari Keling dan Cambay
. Demikian juga barang-barang dari Tiongkok,
terutam a keram ik seperti banyak yang ditem ukan pada m asa Sung,
Ming, Ching, dan lainnya di bandar Banten .
Komoditas ekspor dari bandar-bandar di J awa seperti beras, sampai pada
masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, merupakan monopoli
perdagangan Mataram dan diekspor melalui kota-bandar Jepara, Tegal, dan
Kendal .
Di Kota Banten, yang menarik perhatian adalah bahwa ketika orang�orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman datang di Bandar
Banten tahun 1596, diceritakan tentang barang-barang yang diimpor dan
di ekspor oleh kelompok pedagang yang sedang melakukan transaksi jual
beli. Pedagang Tionghoa menjual beragam sutera berwarna indah, laken
sutera, beludru, satin, benang emas, piring porselen, taplak meja, bejana
dan panci-panci berukuran kecil dan besar dari tembaga, air raksa, peti
yang indah, kertas tulis berwarna, cermin, sisir, kaca mata, pedang buatan
Tiongkok, akar-akaran, kipas angin, payung, dan lainnya. Demikian pula
dengan pedagang dari Gujarat, mereka menjual komoditas yang dibawa dari
negerinya seperti bahan-bahan kaca, gading, dan permata yang berharga
dari Cambay. Pedagang-pedagang dari Gujarat, Bengal, Arab, dan Persia,
masing-masing menjual barang dagangan atau komoditas yang berasal dari
negerinya .
J aringan perdagangan yang sudah ada sejak abad ke-16 di Banten
lebih ditingkatkan lagi baik secara regional maupun internasional di bawah
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. J aringan perdagangan dengan
kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, dan Ternate di Maluku yang bertujuan
mendapatkan komoditas rempah-rempah meskipun dihalangi oleh VOC,
tetap diusahakan demi menambah bahan ekspor Banten ke negeri-negeri
asing. Berdasarkan Daghregister Belanda, Kesultanan Banten mengadakan
perdagangan dengan negeri-negeri di Timur Tengah, di Eropa dengan
Denmark, Perancis, Inggris, di Timur Jauh dengan Tiongkok, Jepang, dan de�ngan negeri-negeri di Asia Tenggara termasuk Filipina . Hubungan perdagangan itu bukan hanya didasarkan data
historis, tetapi juga data arkeologis, dengan ditemukannya sejumlah pecahan
keramik dari Tiongkok, Jepang, dan beberapa negeri di Eropa.
Jaringan perdagangan regional dan internasional di Kesultanan Banten
sejak akhir abad ke-17 hingga abad 18, berhenti karena larangan yang dibuat �
oleh VOC dengan kenyataan kekuasaan kolonialnya sudah tertanam di
Banten sejak pemerintahan Sultan Abdul Kahar Abunasar atau Sultan Haji , Hingga akhirnya pada masa G.G. Daendels,
pada awal abad ke-19, kesultanan tersebut dihancurkan dan dihapuskan, dan
menjadi kabupaten-kabupaten di bawah Hindia-Belanda. Berbagai kegiatan
perdagangan, sejak abad ke-18, mulai bergeser ke Batavia sebagai pusat
kolonial VOC.
Demikian pula jaringan perdagangan antara kesultanan di Cirebon
dan Mataram dengan daerah pesisir utara J awa yang dikuasai oleh VOC
sejak abad ke-18, maka kota-kota bandar sebagai tempat ekspor dan impor
komoditas dari Bandar Cirebon, Tegal, Kendal, Semarang, J epara, Tuban
dan lainnya, jatuh dan dikendalikan oleh kolonial Belanda, sejak masa VOC
Hindia-Belanda. Selain itu, jaringan perdagangan kesultanan di Maluku
Utara sejak kekalahan Portugis, Spanyol di Ternate dan Tidore, lebih-lebih
setelah dikuasai VOC dan Hindia-Belanda, jaringan perdagangan regional
dan internasional kesultanan-kesultanan di daerah itu jatuh ke tangan sistem
monopoli VOC dan pemerintahan Hindia-Belanda.
Kejadian itu juga dialami oleh jaringan perdagangan dari kesultanan di
Sulawesi Selatan dan di Kalimantan Selatan, Timur, dan Barat yang mulai
runtuh pada abad ke-8 sampai 19 M dengan berhasilnya penguasaan VOC,
dan yang akhirnya berada di tangan kekuasaan Hindia-Belanda. J aringan
per dagangan beberapa kesultanan di daerah Sumatera mengalami nasib yang
sama, kecuali Kesultanan Aceh. Sekalipun demikian, sejak abad ke-17 sampai
abad ke-19, akibat politik penjajahan dan politik ekonominya, di berbagai
daerah secara regional dan nasional, muncul perlawanan dan pemberontakan,
gerakan sosial, dan gerakan keagamaan .
Sebagaimana dikatakan di atas, Kesultanan Aceh Darussalam adalah yang
paling bertahan, karena persatuan antara pemimpin dan ulama sangat terjaga.
Selain itu perkembangan politiknya selalu dikendalikan dan diarahkan oleh
sultan-sultan Aceh dari mulai Sultan Ali Mughayat Shah (tahun 1521-1530)
yang berhasil melepaskan diri dari Pedir; Pasai juga berhasil mengembangkan
Kesultanan Aceh Darussalam, memajukan politik dan perdagangan Bandar
Pedir yang kaya akan komoditas ekspor seperti lada, kayu gaharu, kapur
barus, lak, timah untuk membuat kapal, dan emas yang didatangkan dari
pedalaman. Pasai juga mempunyai komoditas ekspor yang dibeli oleh
para pedagang dari berbagai negeri seperti dari Cathai, Gujarat, Cambay,
Coromandel, Bengal, Pegu, Tenaserin, Kedah, Turki, Arab, Persia, Keling,
Bengal, Siam, Bruas . Kedatangan para pedagang ini
sudah tentu untuk menjual komoditasnya dan membuktikan adanya upaya
pengem bangan jaringan perdagangan internasional.�
Pengembangan politik dan ekonomi Kesultanan Aceh Darussalam di�terus kan oleh pengganti Sultan Ali Mughayat Shah, yakni Sultan Alauddin
Riayat Shah al-Kahar yang terkenal gigih dalam upaya meluaskan kekuasaan
dan jaringan perdagangan (1537-1571) yang mengembangkan angkatan perang
dengan membantukan pasukan-pasukan dari Turki, Cambay, Malabar, dan
Abessenia. Selain itu, ia memajukan dan menguatkan jaringan perdagangan
regional dan internasional dengan menyebarkan kekuasaan terhadap ber�bagai kota bandar. Fakta politik dan ekonomi perdagangan tersebut saling
me nunjang untuk kemajuan dan kemakmuran Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejak abad ke-17 M, para pedagang dari Inggris, Belanda, dan Perancis
datang ke Aceh untuk mengadakan perjanjian perdagangan. Utusan dari
peda gang Belanda tidak diterima karena tidak ada kesepahaman. Setelah
di ketahui bahwa VOC telah menguasai Batavia (1619) dan akan menguasai
Malaka (1641), Belanda malah menjadi musuh utama Aceh sampai awal abad
ke-20.
Dengan munculnya pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
Aceh semakin barkembang bahkan mencapai masa kejayaannya baik di bi�dang politik, militer, perekonomian-perdagangan, dan keagamaan. Hasil
penelitian yang memberikan gambaran tentang ekspansi politik Kesultanan
Aceh pada masa Iskandar Muda, politik perdagangan serta para pedagang dari
berbagai negeri, seperti Tiongkok, India, Jawa, Siam, India, Turki, Perancis,
Inggris, Belanda yang datang ke Aceh, hasil sastra dan para ulamanya, ke�beradaan istana bahkan tentang sosok pribadi Sultan Iskandar Muda, telah
diterbitkan sebagai disertasi oleh Denys Lombard .
Komoditas ekspor dari Aceh antara lain kayu candana, sapan, gandarukem
(resin), damar, getah perca (laban), obat-obatan, dan parfum seperti kamian
putih dan hitam, kapur, pucuk, rasmala, bunga lawang, lada, gading, lilin,
tali sabuk, dan sutera.
Untuk komoditas yang diimpor antara lain beras, minyak barang, guci,
gula (sakar), sakar lumat, anggur, korma, timah putih dan hitam, bijih besi,
besi upam, besi lantak, tekstil dari katun Gujarat, Masulipatan, dan Keling,
batik mori dari Malabar, kain cinde dari Gujarat, guci dari pegu, pinggan
batu, mangkuk batu, kipas, kertas, opium, kopi, tile, tembakau, air mawar
pati, dan lainnya, yang masih disebut-sebut dalam kitab tentang adat Aceh
. Menurut Dasgupta, sebelum kedatangan Inggris
dan Belanda, Aceh memiliki kedudukan yang mapan dalam perdagangan
Asia. Setelah orang Inggris dan Belanda turut serta dalam perdagangan Aceh,
terjadi perubahan baik dalam sistem atau dalam pola umum perdagangan.
Dengan kedatangan orang Inggris dan Belanda, cara berdagang dilakukan
melalui perantara, mengingat mereka tidak paham cara-cara perdagangan
setempat .�
Setelah Iskandar Muda wafat, Kesultanan Aceh mulai mengalami ke�munduran dalam jaringan perdagangan, lebih-lebih pada abad ke-19 sejak
perang Aceh dilancarkan oleh Hindia-Belanda. Sebabnya adalah sumber
daya Aceh habis untuk peperangan, lebih-lebih setelah Aceh jatuh ke tangan
ke kuasaan Hindia-Belanda. Dengan penyerahan kekuasaan dari Sultan
Muhammad Daud Shah tahun 1903, segala kegiatan perekonomian dan per�dagangan menjadi monopoli pemerintah Hindia-Belanda.
Berdasarkan uraian di atas, pertumbuhan dan perkembangan kesultanan
di Indonesia, seperti Samudera Pasai, Malaka, Aru, Kampar, Siak, Malaka,
J ambi, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Ternate, Tidore,
Gowa-Tallo, Kutai, Banjar, Pontianak, dan lainnya, berperan penting dalam
menjalankan pelayaran dan perdagangan melalui kota-kota bandarnya,
baik pelayaran antarkesultanan di Indonesia yang membentuk jaringan
perdagangan regional maupun jaringan perdagangan internasional dengan
bangsa dari berbagai negeri di bagian Asia Tenggara, Tiongkok, Jepang, India,
Ceylon, Timur Tengah, dan Eropa. Upaya membentuk jaringan perdagangan
jelas meningkatkan tingkat kemakmuran ekonomi, meski sistem perdagangan
masa itu menerapkan prinsip m erchantilism dan com m enda.
Bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis dengan tujuan politik
dan semboyan “gold, glory dan gospel”, atau “feitoria, fortaleza, dan igreja”
yang dapat diartikan ‘perdagangan’, ‘penguasaan militer’, dan ‘penginjilan’
di mana Malaka mulai dikuasai, maka jaringan perdagangan kesultanan�kesultanan di Indonesia, antara lain Samudera Pasai, Aceh, Demak,
Cirebon, Banten, Ternate, Tidore dan lain-lain, mulai merasa terancam. Oleh
karenanya, kesultanan-kesultanan tersebut berupaya melakukan serangan
ter hadap Portugis di Malaka, namun gagal. Demikian juga setelah VOC
ber kuasa di Batavia dan menjadikannya sebagai pusat kolonial, dengan pe�nye baran politik pemaksaan atau monopoli perdagangannya, lambat laun
ke merdekaan kesultanan di Indonesia jatuh ke tangan kolonial, dan tak
berdaya untuk melakukan perdagangan baik regional maupun internasional.
Dengan demikian, patahlah jaringan perdagangan yang sejak lama dibina
antar bangsa tersebut.�
SEJUMLAH deinisi kota telah diajukan oleh para sarjana dari berbagai disiplin
ilmu, seperti sejarah, perencanaan kota, geograi sosial, ekonomi, sosiologi,
ekologi manusia, morfologi, teknologi, arkeologi, demograi, dan seterusnya , Karena beragamnya arti kota, artikel ini
akan memfokuskan diskusi pada kota-kota pelabuhan dari sudut pandang
ekonomi, khususnya mengenai perdagangan internasional dan regional dalam
kaitannya dengan fungsi kota-kota pelabuhan.
Sebelum kedatangan Portugis di Indonesia, ada beberapa kota pelabuhan
yang masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha dan Islam.
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha tersebut, antara lain Majapahit dengan
pusat politiknya yang terletak di Trowulan, Jawa Timur, dan Sunda Pajajaran
dengan pusat politiknya di Bogor, J awa Barat ,Kota-kota pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan kerajaan
Islam di antaranya adalah Samudera Pasai di Aceh Utara yang berdiri pada
abad ke-13 dan mengalami keruntuhan pada abad ke-16, Aceh Darussalam
yang berdiri pada permulaan abad ke-16 dan mengalami kemunduran pada
awal abad ke-20, Demak yang berdiri pada akhir abad ke-15, Cirebon yang
berdiri pada abad ke-15, Banten yang berdiri pada permulaan abad ke-16,
Ternate dan Tidore di Maluku yang berdiri pada abad ke-15, Gowa-Tallo dan
kerajaan-kerajaan Islam lain di Sulawesi yang muncul pada permulaan abad
ke-17, dan Banjar di Kalimantan Selatan sebagai kerajaan Islam yang muncul
sejak pertengahan abad ke-16 .
Ada juga kota-kota yang berfungsi sebagai ibukota kerajaan dan sebagai
pelabuhan seperti Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Cirebon, Banten, �
Ternate, Tidore, Gowa, dan Banjar. Ibu kota Majapahit letaknya agak ke
daerah pedalaman Trowulan sekitar 65 km dari Surabaya, sedangkan ibukota
Sunda Pajajaran berlokasi di Bogor sekitar 60 km dari J akarta ,. Kota-kota pelabuhan
Kerajaan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Sedayu, J aratan, dan Canggu
yang terletak di pesisir utara Jawa Timur. Kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa
Barat, hingga masa kemundurannya mempunyai kota-kota pelabuhan yang
terletak di pesisir utara, yakni Banten, Pontang, Ciguede, Tangerang, Kalapa,
Cimanuk, dan Cirebon – yang ketika Tome Pires mendatanginya sekitar
tahun 1513 M, kota pelabuhan Cirebon telah berada di bawah pengawasan
Demak , Tome Pires dalam Sum a Oriental
menyebutkan beberapa kota di sepanjang pesisir Sumatera yang telah berada
di bawah kontrol kerajaan-kerajaan Muslim dan kerajaan-kerajaan yang
masih di bawah kekuasaan non-Muslim atau yang belum beragama ,
Kota-Kota Pelabuhan Hindu-Buddha di Indonesia
Telah disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit yang beribukota di Trowulan
mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan, dan
Canggu, di pantai utara Jawa Timur. Gambaran dari kota-kota tersebut dapat
dilihat dalam literatur-literatur berbahasa Jawa, misalnya Nagarakertagam a,
Pararaton, Kidung Hariw ijaya, dan Kidung Ranggalaw e ,. Cerita Tionghoa Ying-Yai-Sheng�Lan (The Overall Survey of the Ocean’ Shores), ditulis pada 1433 oleh Ma
Huan yang ikut serta dalam perjalanan Ceng Ho ke beberapa negara di Laut
Cina Selatan dan negara-negara di Timur Tengah, membenarkan keberadaan
kota-kota pelabuhan tersebut . Temuan-temuan
berupa mata uang logam, pecahan keramik, beberapa alat timbangan, dan
sebagainya, dari situs-situs arkeologis di Trowulan yang menjadi ibukota
Kerajaan Majapahit, menunjukkan adanya aktivitas perdagangan internasional
Kerajaan Majapahit ,
Majapahit sebagai kerajaan maritim-agraris mengembangkan perdagangan
internasionalnya dengan disokong oleh dua sungai besar, Kali Brantas dan
Bengawan Solo, yang berfungsi sebagai jalur perairan utama untuk mengirim
semua jenis komoditas dari daerah pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Dari
Kerajaan Majapahit, barang-barang komoditas tersebut diekspor melalui
kota-kota pelabuhan seperti Canggu, Sedayu, Gresik, dan terutama Tuban.
Di antara komoditas ekspor tersebut adalah beras yang diekspor ke Maluku
dan Tiongkok, lada dari Pacitan yang dibawa ke kota pelabuhan Tuban dan
kemudian dikirim ke Tiongkok, dan komoditas lainnya yang dibawa melalui
Tuban seperti garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, emas, perak, �kayu cendana, tebu, pisang, kelapa, kapuk, kain katun, sutera, belerang, dan
lain-lain .
Menarik untuk dicatat bahwa pada abad ke-14, ketika Majapahit mencapai
puncak kekuasaannya, pedagang-pedagang Muslim telah m em bentuk
hubungan perdagangan dengan Majapahit. Hal itu dibuktikan oleh temuan
batu nisan di situs-situs Troloyo dekat Trowulan, ibukota Majapahit ,Barang komoditas yang diimpor dari negara asing adalah
keramik dari Tiongkok, Annam, Thailand, Vietnam, Persia, Khmer; sutera,
uang logam, obat-obatan dari Tiongkok; jubah dan pakaian dari India untuk
tujuan ibadah ritual. Namun demikian, ketika Majapahit mulai mengalami
kemunduran, kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, dan
Jaratan, mengubah fungsinya sebagai kota pelabuhan yang berada di bawah
pengawasan Kerajaan Muslim Demak di J awa Tengah. Tome Pires dalam
Sum a Oriental, memberikan informasi yang jelas mengenai situasi kultural,
politik, dan ekonomi kegiatan perdagangan pada periode transisi di J awa,
khususnya di sepanjang wilayah pesisir utara ,
Ketika Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran dan jatuh
sekitar akhir abad ke-16, di Jawa Barat Kerajaan Sunda Pajajaran masih berdiri
hingga 1579. Ibukota Kerajaan Pajajaran adalah Pakuan dan diperkirakan
berlokasi di Bogor. Pakuan Pajajaran merupakan sebuah negara-kota (city�state) yang mempunyai potensi penting dalam perkembangan perdagangan
internasional untuk memperoleh pendapatan .
Karena kedudukannya tersebut, Kerajaan Sunda Pajajaran mempunyai kota�kota pelabuhan penting terutama di pantai utara seperti Banten, Pontang,
Ciguede, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Menurut laporan Tome
Pires yang datang ke Cirebon sekitar tahun 1513, kota-kota itu tidak termasuk
ke dalam wilayah Sunda, tetapi Jawa.
Dari laporan Tome Pires dalam Sum a Oriental-nya, dapat dicatat hal
penting bahwa kerajaan Sunda pada permulaan abad ke-16 masih mempunyai
kekuasaan di J awa Barat. Kerajaan ini mempunyai kota-kota pelabuhan
yang penting, terutama Kalapa sebagai pelabuhan terbesar, di mana barang�barang dagangan dari seluruh kerajaan datang ke sana . Sebagai kota pelabuhan terbesar dari kerajaan Sunda, Kalapa
mem punyai peranan penting dalam kegiatan perdagangan regional maupun
internasional.
Barang-barang dagangan dari daerah pedalaman dibawa ke kota pe�labuhan melalui jalur perairan dan juga melalui jalan darat. Barang-barang
komoditas untuk perdagangan internasional maupun regional adalah bahan
ma kanan seperti beras, sayuran, daging, babi, kambing, domba, sapi dalam
jum lah yang banyak, anggur, buah-buahan, dan yang lainnya. Namun de��mikian, di antara komoditas tersebut, yang paling penting untuk diekspor
oleh kerajaan adalah lada, beras, dan tamarin (asam jawa). Komoditas impor
yang disebutkan oleh Tome Pires di antaranya adalah synabaffs besar dan
kecil, synavas, pacauelezes, balachos, atobalachos (kain putih), kain Keling,
enrolado, ladrilho, pachak, catechu, seeds dari Cambay, turias, tirikandies,
caydes, dan lain-lain , Sebagian besar dari
barang dagangan tersebut adalah kain atau katun yang dijahit. Barang�barang dagangan yang disebutkan kebanyakan diimpor dari India, sementara
keramik, uang logam, dan sutera, diimpor dari Tiongkok.
Perdagangan internasional tidak hanya terjadi antara kerajaan Sunda
dengan negara-negara tersebut, tetapi juga dengan Kesultanan Malaka
dan Pulau Maladewa. Menarik untuk dicatat bahwa Raja Sunda, pada 21
Agus tus 1522, melakukan suatu negoisasi dengan Gubernur Portugis di
Malaka, menyangkut hubungan antara keduanya di mana Kerajaan Sunda
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan 1.000 bahar lada setiap tahun
dan memberikan sebuah wilayah untuk membangun benteng. Pada sisi
lain, Portugis memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membantu
Kerajaan Sunda dari ancaman umat Islam,
Tetapi sebenarnya perjanjian ini tidak dapat diwujudkan, karena pada
tahun 1527, Kalapa sebagai kota pelabuhan utama kerajaan, ditaklukkan oleh
umat Islam di bawah pimpinan Falatehan – berdasarkan laporan De Barros.
Hoesein Djajadiningrat menyebut Faletehan dengan Sunan Gunung Jati, Syarif
Hidayatullah, atau Tagaril. Sedangkan Atja, dalam catatan sejarah Cirebon
Carita Purw aka Caruban Nagari, menyebut Faletehan dengan Fadhillah
Khan , Sejak permulaan abad
ke-16 M situasi budaya, ekonomi, dan politik, berubah karena pembentukan
dan ekspansi kerajaan-kerajaan Muslim seperti Demak, Cirebon, dan Banten,
termasuk Jayakarta di sepanjang wilayah pesisir utara, suatu wilayah di mana
kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia mulai mengalami kejatuhannya.
Kota-Kota Pelabuhan Muslim di Indonesia
Telah disebutkan di atas bahwa sebelum kedatangan Portugis di Indonesia,
ada banyak kota pelabuhan yang telah berada di bawah kontrol kerajaan
Muslim. Dari data sejarah dan arkeologis ditemukan bahwa, pembentukan
pertama kerajaan Islam terjadi sejak abad ke-13 di Samudera Pasai dengan
Sultan Malik as-Salih sebagai sultan pertama yang meninggal pada 696
H/ 1297 M. Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan dan pusat ibukota
Samudera Pasai diketahui melalui temuan-temuan batu nisan dan dari
gambaran yang disebutkan dalam riwayat lokal, yakni Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu , �Selain sumber yang memberikan data dan fakta sejarah tersebut, laporan
asing seperti dari Marco Polo, Tiongkok, Ibnu Batuta, dan dari Tome Pires,
harus mendapat perhatian yang luas karena sumber-sumber tertulis tersebut
dapat memberikan gambaran peristiwa-peristiwa sejarah dalam bidang politik,
ekonomi, dan juga budaya. Catatan Ibnu Batuta dalam Rihlah-nya yang
ditulis pada tahun 1512-1515 M, memberikan informasi yang jelas tentang
situasi kota, kebiasaan kaum bangsawan, kehidupan ekonomi dan produk
kerajaan, perdagangan internasional dan regional, pembuatan uang logam,
dan pasar-pasar ,
Berdasarkan laporan Tome Pires, Pasai sebagai kota pelabuhan telah
didiami oleh tidak kurang dari dua puluh ribu penduduk atau warga kota.
Barang dagangan dari Pasai adalah lada, sutera, kapur barus, dan seterusnya.
Tome Pires menyatakan bahwa sejak Malaka mengalami kekalahan dalam
perang, Kerajaan Pasai menjadi makmur dan kaya dengan kedatangan
para pedagang dari berbagai negara seperti Bangsa Moor dan Keling yang
melakukan suatu persetujuan dagang yang besar. Di antaranya yang paling
penting adalah pedagang-pedagang dari Bengal, Roma, Turki, Arab, Persia,
Gujarat, Keling, Melayu, Jepang, dan Siam,
Samudera Pasai, sejak abad ke-13 dan 16 M, bukan hanya sebagai ke�sultanan Muslim pertama di Asia Tenggara, tetapi juga sebuah pusat bagi
proses islamisasi dan perkembangan kegiatan perdagangan di Asia Tenggara . Pasai menghasilkan emas urai, perak, dan
timah untuk membuat uang logam: dirham – koin yang sangat kecil terbuat
dari emas yang memuat nama sultan yang sedang memerintah. Sembilan
koin berharga satu cruzado, dan tiap-tiap koin nilainya sama dengan uang
lima ratus. Tome Pires juga menyebutkan uang logam kecil yang terbuat
dari perak dan timah, dan dia menambahkan informasi bahwa ada beberapa
penukar uang yang biasa duduk menunggu di sisi jalan dekat pasar. Pasai
memiliki hak untuk satu m az atas setiap bahar barang dagangan yang keluar
dan menarik pajak pelabuhan berdasarkan apakah barang dagangannya
sebuah kapal atau barang. Mereka tidak membayar bahan makanan dan
hanya memberi hadiah, tetapi terhadap barang dagangan lain yang datang
dari Barat mereka membayar 6 persen, dan bagi setiap budak yang mereka
bawa ke sana untuk dijual, 5 m az emas; dan semua barang dagangan yang
mereka ambil apakah itu lada atau sesuatu yang lain, mereka membayar satu
maz per bahar ,
Masih ada banyak kota pelabuhan di sepanjang Selat Malaka yang
membawa barang dagangan dan melakukan aktivitas penjualan yang di�sebutkan oleh Tome Pires. Di antaranya adalah Aru, Kampar, Siak, Indragiri,
Tungkal, J ambi, Palembang, dan Malaka sebagai kota pelabuhan terbesar.
Kerajaan-kerajaan dan kota-kota pelabuhannya itu tumbuh sebagai kerajaan��
kerajaan Muslim sejak permulaan abad ke-16, kecuali Malaka yang telah
berdiri sebagai kerajaan Islam pada permulaan abad ke-15 karena ada
hubungan yang erat dengan Samudera Pasai dalam bidang diplomatik maupun
dalam bidang ekonomi. Hubungan antara dua kerajaan Islam ini dapat
dikuatkan pembuktiannya dengan data historis yang diambil dari Sejarah
Melayu, laporan Tome Pires, dan data arkeologis. Tipe dari batu nisan Sultan
Malaka tahun 1475-1511 M yang oleh Othman Mohd. Yatim diklasiikasikan
sebagai tipe A-B, menunjukkan kemiripan dengan batu nisan lama yang telah
ditemukan di Samudera Pasai ,
Bentuk koin emas “dirham” dari Samudera Pasai telah diperkenalkan
Sultan Malaka pada abad ke-15 , Dalam catatannya, Tome
Pires menyebutkan bahwa terjadi pernikahan antara puteri dari Pasai dan
Paramisora, Raja Malaka pada 1414, agar sang raja memeluk agama Islam
.Hubungan antara Samudera Pasai dan Malaka ber�langsung pada periode Saquem Dara atau Muhamad Iskandar Shah. Tetapi
kemudian, dalam persaingan yang berlangsung antara dua kerajaan ini,
Kerajaan Malaka menjadi lebih dan terus berkembang dalam perdagangan
regional maupun internasional.
Tome Pires menyebutkan bahwa orang-orang yang berdagang ke kota
Malaka berasal dari Moor, Kairo, Mekkah, Aden, Abessinia, Kilwa, Malindi,
Ormuz, Persia, Turki, Turkoman, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabhol,
Gowa, Kerajaan Deccan, Malabari, Keling, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan,
Pegu, Siam, Kedah, Malay, Pahang, Patani, Camboja, Campa, Cochin Cina,
Tiongkok, Lequeos, Brunei, Locoes, Tanjungpura, Lawu, Bangka, Lingga,
Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, J awa, Sunda, Palembang, J ambi,
Tungkal, Indragiri, Kapatta, Minangkabau, Siak, Arqua (Arcat), Aru, Bata,
Negari Tamjano, Pasai, dan Pedir Maladewa. Tome Pires menyebutkan bah�wa setelah pedagang dari setiap negara itu datang ke Malaka dengan barang
dagangannya, mereka kembali ke negara mereka dengan membawa barang�barang dagangan seperti cengkeh, porselen, musk, kapur barus, emas, timah,
sutera putih, damas putih, burung-burung, dan lain-lain .
Sebab-sebab keberhasilan Malaka sebagai kerajaan Islam yang terkenal
dengan kota pelabuhan yang terbesar dan paling penting di Asia Tenggara dari
abad ke-15 hingga 16 M, telah dikemukakan oleh Barbara Watson Andaya dan
Leonard Y. Andaya dalam buku A History of Malaysia. Sebab-sebab tersebut
di antaranya: (1) undang-undang disusun sebagai bagian dari perlengkapan
administratif dan hukum yang eisien menyediakan hal-hal dasar yang
mungkin diperlukan untuk rencana lama atas pedagang asing, (2) keadilan
raja-raja Malaka ditunjukkan oleh seorang sultan yang lebih senang berada
di kota Malaka dibandingkan pergi berburu agar dia dapat mendengar dan �mengambil keputusan terhadap penyalahgunaan dan tirani yang Malaka tim�bulkan karena posisi pentingnya, (3) untuk memuaskan kebutuhan isik dari
para pedagang, Malaka diperlengkapi secara mengagumkan dengan membuat
gudang barang di bawah tanah di mana para pedagang dapat menyimpan
barang-barang mereka sambil menunggu barang yang baru masuk. Fasilitas�fasilitas tempat penyimpanan ini menyediakan perlindungan dari api,
kerusakan, atau pencurian. Lebih jauh, suatu susunan administaratif baru
diperkenalkan untuk menampung keperluan dari komunitas perdagangan
yang berkembang. Dan empat syahbandar (kepala pelabuhan) diangkat,
masing-masing mereka mewakili sebuah kelompok negaranya.
Dari semua upaya Kerajaan Malaka yang disebutkan di atas, Andaya me�nyebutkan bahwa Malaka memiliki reputasi dalam bidang keamanan, sebuah
pemerintahan yang sangat tertib dan tempat pemasaran yang kosmopolit
dan dilengkapi dengan fasiltas-fasilitas yang baik. Tujuan raja-rajanya
menciptakan kondisi tersebut adalah untuk menunjukkan kepedulian bagi
kegiatan perdagangan yang aman dan menguntungkan ,
Pertumbuhan dan perkembangan Samudera Pasai dan Malaka di
sepanjang selat memberikan pengaruh yang kuat bagi pertumbuhan dan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan tempat-tempat lain di
kepulauan Indonesia. Pada tahun 1478, Demak sebagai ibukota kerajaan dan
J epara sebagai kota pelabuhan mulai tumbuh dan berkembang di bawah
pemerintahan Raden Patah atau mungkin Pate Rodim seperti disebutkan oleh
Tome Pires. Menurutnya, Pate Unus, kakak ipar dari Pate Rodim yang yang
memerintahkan serangan melawan Malaka pada 1512, dibunuh . Raja ketiga Demak adalah Trenggono yang selalu berjuang
melawan Portugis ketika melanjutkan ekspansi politik kerajaan hingga bagian
timur dan juga bagian barat Jawa. Ketika menguasai Blambangan, dia dibunuh
dan meninggal pada 1546 .
Menarik bahwa Tome Pires dalam Sum a Oriental-nya, menguraikan
proses historis Kerajaan Demak selama periode transisi dari situasi budaya
dan sosial, politik, dan ekonomi di wilayah pesisir utara J awa. Area ini
telah berada di bawah kontrol politik Demak dan pengikutnya, sementara
di wilayah pedalaman masih berada di bawah Kerajaan Hindu-Buddha yang
beribukota di Daha (Kediri) dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, dan di Pakuan
(Bogor) untuk sisa Kerajaan Pajajaran Sunda. Menurut Tome Pires, kota
Demak merupakan sebuah ibu kota kerajaan dengan sekitar delapan atau
sepuluh ribu rumah (kepala keluarga), sedangkan kota pelabuhannya adalah
Jepara.
Sejak berdirinya, Demak sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar dan
sebagai negara-kota, raja-rajanya selalu mengembangkan kekuasaan politik,�di samping perdagangan regional dan internasional yang termasuk sebagai
faktor penting bagi pandapatan negara dan kemakmuran penduduknya.
Perdagangan internasional tidak hanya dilakukan melalui kota pelabuhan
utama Jepara, tetapi juga melalui kota pelabuhan lain seperti Tuban, Gresik,
Sedayu, dan lain-lain di Jawa Timur, manakala semua wilayah ini telah berada
di bawah kontrol Kerajaan Demak. Dikatakan oleh Tome Pires bahwa, “Jepara
memang muncul sebagai rohnya Pulau Jawa, karena terletak pada inti dan
berada di tengah-tengahnya Pulau Jawa, dan jarak dari Jepara ke Cherimon
sama seperti ke Grisee. Jepara merupakan wilayah dagang yang besar karena
Jepara merupakan sebuah pelabuhan dan para pedagang biasanya menyebar
ke tempat-tempat lain.”
Kegiatan perdagangan regional dan internasional Demak dan pengikutnya
selalu diadakan dengan beberapa negara, kecuali dengan Malaka yang di�kuasai oleh Portugis. Barang dagang yang diekspor dari kota pelabuhan
kerajaan biasanya berupa beras, lada panjang, tamarin, sapi-sapi jantan,
lembu, domba, kambing, kerbau, dan jenis-jenis makanan. Sedangkan barang
dagang yang diimpor adalah semua jenis kain dari Cambay, Keling, Bengal,
dan keramik dari Tiongkok. Ke Gresik sebagai pelabuhan dagang yang besar,
datang para pedagang dari Gujarat, Calicut (Kalkuta), Bengal, Siam, Tiongkok,
dan Liu-Kiu.
Seperti telah saya sebut di atas bahwa Kerajaan Demak sejak Pate Rodim
atau Raden Patah, diikuti oleh Pate Unus, kemudian Pangeran Trenggono,
meluaskan kekuasaan politik sampai ke wilayah pantai utara J awa Barat
sampai Cirebon dan Banten yang muncul sebagai Kerajaan Islam meskipun
kedua kerajaan ini termasuk sebagai pengikutnya Demak. Berdasar pada
catatan Tome Pires, Cirebon mulai menjadi pusat ibukota pelabuhan Islam
sekitar tahun 1473, sedangkan menurut riwayat lokal Carita Purw aka
Caruban Nagari lebih awal , Ketika Tome tiba di Cirebon
sekitar tahun 1513, Cirebon termasuk ke dalam wilayah Jawa dan menjadi
pengikut Pate Rodim dari Demak. Dikatakan bahwa Cherimon (Cirebon)
pasti telah memiliki ribuan penduduk di mana Pate Quider – salah seorang
yang memberontak di Upeh – tinggal di tempat ini. Cirebon memiliki banyak
beras dan bahan makanan lainnya ,
Kerajaan Islam lainnya di Jawa Barat adalah Banten yang sejak tahun
1526 telah didirikan oleh Sunan Gunung Jati bersama-sama dengan anaknya,
Maulana Hasanuddin, yang termasuk sebagai sultan pertama Banten. Ketika
Tome Pires mendatangi Banten dan kota pelabuhannya, Banten masih berada
di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran dan ibukotanya masih di Banten Girang
(sekarang kota Serang). Disebutkan oleh Tome Pires bahwa dari pelabuhan
ini diekspor barang dagang terutama pala. Terjadi juga hubungan dagang
antara Banten dan Pulau Maladive (Maladewa). �Sejak Banten menjadi ibu kota dan pelabuhan kerajaan Islam, aktivitas
perdagangan regional maupun internasional lebih berkembang hingga
menjadi negara-kota yang terkenal. Ketika bangsa Belanda datang pertama
kali ke Indonesia, khususnya ke Banten pada 1596, kota pelabuhan ini telah
berkembang dan dikunjungi oleh banyak saudagar dari beberapa tempat
di Indonesia dan dari negara asing. Para pedagang pribumi yang datang
di Banten adalah dari Maluku, Ambon, Banda, Solo, Makassar, Sumbawa,
J aratan, Gresik, Pati, Yuwana, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan
pedagang-pedagang asing yang datang adalah dari Tiongkok, Arab, Persia,
India, Cambay, Bengal, dan lain-lain. Para pedagang dan barang dagangannya
disebutkan secara jelas oleh Willem Lodewijcksz yang membuat catatan tentang
perjalanan pertama Belanda ke India Timur (Indonesia) di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman (1595-1597). Willem Lodewijcksz menyebutkan semua
jenis komoditas yang didagangkan oleh pedagang pribumi dan orang asing
di pasar-pasar kota, terutama kota paling besar dekat pelabuhan ,
Peranan Banten sebagai ibu kota kerajaan dan sebagai kota pelabuhan
tidak hanya dibuktikan oleh data-data historis seperti riwayat lokal – di
antaranya Sejarah Banten dan laporan asing yang disebutkan di atas, tetapi
juga oleh temuan-temuan arkeologis seperti keramik dari Tiongkok, Annam,
Sawangkalok (Thailand), dan bahan-bahan dari Timur Tengah dan Eropa .
Di kota pelabuhan ini ada juga tempat tinggal khusus bagi saudagar
asing, yakni Pecinan untuk orang Tionghoa, Pakojan untuk pedagang
Muslim dari Gujarat, Bengal, Persia, Arab, Abessinia; orang Belanda juga
mem punyai tempat tinggal tersendiri yang dibuatkan pagar untuk antisipasi
terhadap serangan melalui jalan darat. Menarik juga bahwa ada suatu tempat
tinggal untuk orang Portugis dekat tempat tinggal orang Tionghoa di bagian
barat pantai. Orang Portugis tinggal di Banten sebelum kedatangan Bangsa
Belanda. Sebagaimana disebutkan Willem Lodewijcksz bahwa ketika kapal
Belanda tiba dekat pelabuhan, salah seorang dari orang Portugis dimintai
oleh gubernur Banten yang bertindak sebagai raja, menjadi penerjemah
dalam komunikasi antara penguasa Banten dengan orang Belanda. Pedagang
pribumi dari Malay (Melayu), Maluku, Banda, Kalimantan, dan yang lain,
juga diberikan tempat tinggal khusus.
Pertumbuhan Kota Banten yang berfungsi sebagai ibu kota kerajaan dan
sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-16 telah mencapai kemajuan bahkan
puncak kedaulatannya pada abad ke-17 di bawah kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1683). Sultan Ageng Tirtayasa sangat aktif mengembangkan
per dagangan regional maupun internasional, dan dia juga sangat kuat dalam
melawan pengaruh politik VOC ,�Namun demikian, Banten, sejak abad ke-16 telah membangun sebuah kegiatan
jual-beli yang baik untuk mendapatkan rempah-rempah dan yang lain, yang
selanjutnya diekspor bersama dengan hasil produksinya. Hubungan dagang
antara Banten dan Maluku diperkuat hubungan politik yang telah dilakukan
Kerajaan Demak sejak abad ke-16, terutama dengan Kerajaan Ternate dan
Tidore.
Menurut sumber-sumber lokal, Maluku telah dikunjungi umat Islam
sejak abad ke-14 ketika Ternate dipimpin oleh raja ke-12, Molomateya (1350-
1357). Muslim Arab yang datang ke Ternate telah memberikan petunjuk dalam
pembuatan kapal. Setelah kepemimpinan Marhum, kemudian datang Maulana
Husein dari Jawa yang ahli dalam menulis teks Arab dan membaca al-Quran,
sehingga dia menarik otoritas dari rakyat Maluku. Namun demikian, raja
yang terkenal memeluk Islam adalah Zainal Abidin yang dipanggil dengan
sebutan Bulawa (raja rempah-rempah) yang memimpin dari 1468-1500
dan mengunjungi Sunan Giri-Gresik dengan ditemani oleh Pendeta Jamilu.
Sekembalinya dari J awa, raja ini ditemani oleh seorang pendeta bernama
Tuhubahahul.
Sumber-sumber sejarah lain, yaitu Sum a Oriental yang ditulis oleh Tome
Pires (1512-1515) dan A Treatise on the Moluccas-Historia das Moluccas yang
ditulis oleh Antonio Galvao sekitar tahun 1544, memberikan pendapat yang
sama bahwa raja-raja di Maluku memeluk Islam sekitar 1460-1465 , Menurut Tome Pires, Raja Ternate yang
memeluk Islam adalah Sultan Ben Acorala dan hanya Raja Ternate ini yang
menggunakan gelar sultan, sementara raja-raja lain dipanggil sebagai raja
atau kolano. Selain Ternate dan Tidore, Tome Pires juga menyebutkan bahwa
umat Islam telah ditemukan di Banda, Haruku, Makian, Motir, dan Bacan .
Barang dagang dari pulau-pulau Maluku – yang terkenal sebagai Pulau
Rempah – adalah cengkeh, pala, bunga pala, pohon sagu, anggur, dan bahan
makanan lain yang dibutuhkan penduduk. Tidak disebutkan bahwa cengkeh,
pala, bunga pala, diekspor ke Jawa dan Malaka untuk kegiatan perdagangan
internasional. Barang-barang dagang asing yang diimpor adalah beragam
jenis kain dari Bengal, Gujarat, dan Banua Keling. Hubungan dagang ti�dak hanya dilakukan antarpulau-pulau Maluku tetapi juga dengan J awa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan juga dengan Malaka yang menjadi
bagian perdagangan internasional.
Kota pelabuhan lain yang penting sebelum dan sesudah kedatangan
Kerajaan Islam adalah Gowa di Sulawesi Selatan. Tome Pires menyatakan
bah wa di Makassar masih banyak penduduk yang belum memeluk agama
sam a sekali. Mereka m elakukan perdagangan dengan Malaka, J awa,
Kalimantan, Siam, Pahang, dan dengan tempat-tempat antara Siam dan �
Pahang. Meskipun sejak abad ke-16 pedagang-pedagang Muslim telah datang
ke Makassar, tetapi Islam baru dipeluk secara resmi oleh Raja Tallo dan
Gowa tepat pada awal abad ke-17, pada 22 September 1605 ,. Pedagang-pedagang ini mempunyai kapal-kapal besar yang berisi
penuh dengan barang-barang dagangan seperti beras dan emas. Mereka
membawa beberapa kain dari Cambay, bretangis, dan barang dagangan lain
yang dibutuhkan. Makassar juga melakukan perdagangan dengan Maluku,
terutama dengan Ternate dan Tidore, untuk rempah-rempah yang selanjutnya
dibawa ke Malaka sebagai salah satu kota pelabuhan dagang internasional
terbesar di Asia Tenggara.
Di antara kota-kota pelabuhan yang mengadakan hubungan secara erat
dengan rute dagang dari Malaka ke Maluku tidak hanya Makassar atau Gowa,
tetapi juga Banjar di Kalimantan Selatan dan Tanjungpura serta Lawe di
Kalimantan Barat sebagaimana disebutkan Tome Pires. Penduduk wilayah�wilayah ini, menurut Tome, belum beragama dan mereka tidak hanya ber da�gang ke Malaka, tetapi juga hampir ke seluruh daerah Jawa. Barang dagang
yang berasal dari tempat ini adalah berlian, emas, madu, lilin, dan be berapa
bahan makanan. Sedangkan barang dagangan yang diimpor di an taranya
adalah kain dari Cambay, Keling, bretangis hitam dan merah, dan kain putih
bernilai murah dari Bengal. Sementara Banjar, Tanjungpura, dan lawe, setelah
mengalami islamisasi, aktivitasnya sebagai kota dagang tetap dilanjutkan dengan
Malaka, Jawa, dan tempat-tempat lain di sepanjang jalur-jalur perdagangan.
Menurut laporan Tome Pires, pelabuhan-pelabuhan dagang dari kerajaan�kerajaan kecil di sepanjang pesisir timur Sumatera seperti Tungkal, Rokan,
Kampar, Siak, Indragiri, Arcat, dan seterusnya, komoditas mereka dibawa ke
Malaka sebagai pusat dagang terbesar dan pasar internasional untuk menjual
dan membeli barang-barang dagang bernilai tinggi. Situasi dari kota-kota
pelabuhan lain seperti Tiko, Pariaman, Minangkabau di daerah pedalaman,
dan Barus di pesisir barat Sumatera, sebagaimana disebutkan Pires, kaya
dengan bahan makanan yang menjadi barang dagang bernilai tinggi. Pariaman
dengan banyak kuda yang dijual ke Kerajaan Sunda, Minangkabau, Tiko, dan
Barus, kaya dengan barang dagang seperti emas, kapur barus, sutera, lilin,
dan madu .
Jadi, sebelum kedatangan bangsa Portugis, semua kota-kota pelabuhan di
Indonesia, baik besar maupun kecil, sangat aktif dalam kegiatan perdagangan
regional maupun internasional, terutama kota-kota pelabuhan yang memiliki
fungsi ganda, yakni sebagai ibukota dan negara-kota. Ketika Portugis datang
dan bahkan merebut Malaka pada tahun 1511, kota-kota yang menjadi ibu�kota kerajaan Islam dengan kota-kota pelabuhannnya tersebut, yang masih
aktif dan terus mengembangkan kegiatan perdagangan regional dan in�ternasionalnya adalah Demak, Banten, dan Aceh.�
Pengaruh Kedatangan Portugis bagi Kota-Kota Pelabuhan Muslim
Bagian ini akan mendiskusikan kapan, bagaimana, dan di mana Portugis da�tang, serta apa pengaruhnya bagi kerajaan-kerajaan, terutama aktivitas kota�kota pelabuhan dalam perdagangan regional dan internasional.
Motif ekspansi Portugis masih debatable di antara para sarjana. Charles
R. Boxer, dalam bukunya The Portuguese Seaborne Em pire: 1415-1825, me�nga takan bahwa ada empat motif utama yang mendorong para penguasa
Portugis (apakah itu raja, pangeran, kaum bangsawan, atau para saudagar)
melakukan ekspansi, di mana motif-motif tersebut saling melengkapi: (1)
semangat perang atau penjajahan melawan umat Islam, (2) hasrat untuk
Guinea gold, (3) mencari Prester John, (4) menguasai rempah-rempah dari
Asia. Sarjana ini mengatakan bahwa ada satu faktor yang turut mendukung,
yakni situasi politik di negara-negara lain di Eropa Barat selama abad ke-15
yang diletupkan oleh pihak luar ataupun oleh perang sipil dan lain-lain dan
karena adanya sebuah persaingan antara orang Spanyol dan bangsa Portugis
Paramita R. Abdurrahman mempunyai pendapat bahwa ekspansi
Portugis tidak dapat dihubungkan dengan satu faktor saja, tetapi harus dilihat
sebagai susunan dari banyak motivasi. Dinyatakannya bahwa tiga tujuan atau
motif dari ekspansi Portugis dicantumkan dalam kebijakan berupa feitoria,
fortaleza, igreja atau perdagangan, dominasi militer, dan agama, yang juga
di terjemahkan dan disebut sebagai gold, glory , dan gospel .
Ketika bangsa Portugis memulai ekspansi luar negeri pada tahun 1415,
mereka merebut Ceuta, sebuah pusat jual beli, pangkalan angkatan laut
Muslim dan sekaligus pangkalan jembatan untuk invasi melewati Selat
Gibraltar. Ceuta mengekspor komoditas dari daerah pedalaman dan termasuk
pelabuhan terminal bagi perdagangan emas. Kedudukan Ceuta bagi bangsa
Portugis dijadikan kemungkinan untuk memperoleh informasi sekitar daratan
Negro, daratan tinggi Nigeria, dan sungai-sungai Senegal di mana sumber
emas berasal. Kehendak perang dari bangsa Portugis yang penting adalah
semata-mata diarahkan terhadap Muslim Maroko dan untuk mencari Guinea
gold. Portugis akhirnya berhasil dalam mencari Guinea dan menancapkan
pengaruh kekuasaannya serta membawa emas dan para budak sebagai barang
dagangan yang penting. Dengan kesuksesan ini, Dom J oao II mempunyai
obsesi dan posisi untuk meneruskan pencarian atas Prester John.
Raja Dom J oao II memutuskan untuk mengirimkan sebuah ekspedisi
un tuk mencari Prester John dan rempah-rempah dengan melalui jalan darat
dan laut pada pertengahan 1480, di mana perjalanan ini dikomandoi oleh
Bartholomeus Diaz yang meninggalkan Lisbon pada tahun 1487. Dia pertama�tama mengitari Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), pada awal tahun 1455, �dan setelah menempuh jarak perjalanan yang begitu jauh dari pantai Afrika
Selatan, dia kembali melalui rute laut menuju India yang terbentang dengan
jelas. Sebagian besar wakil yang dikirim melalui jalan darat tampak gagal,
tetapi salah seorang dari mereka bernama Pero de Covilha yang meninggalkan
Lisbon pada tahun yang sama seperti Bartholomeus Diaz, berhasil mencapai
pantai barat India pada tahun 1488. Pero kemudian mengunjungi Teluk
Persia, Pantai Swahili Afrika Timur, sampai Sofala Selatan. Namun demikian,
perjalanan petualangannya memberinya ide yang sangat bagus mengenai
perdagangan dari Benua India secara umum, dan perdagangan rempah secara
khusus. Dalam perjalanannya kembali ke Portugal, dia mengunjungi Kairo
dan Etiopia di mana kehadirannya diterima oleh kaisar tapi tidak diizinkan
untuk meninggalkan Kerajaan Etiopia dengan diberi seorang istri dan tanah
hingga kematiannya setelah tiga puluh tahun kemudian. Untungnya, berdasar
laporan Covilha, ia pernah sampai di Portugal pada tahun 1490-1491 .
Berdasarkan catatan Bartholomeus Diaz, enam tahun setelah Christopher
Columbus menemukan New W orld (Amerika atau Dunia Bagian Barat) pada
1492, Vasco da Gama mengelilingi Tanjung Harapan pada 18 Mei 1498
dengan armada kecilnya yang dikemudikan oleh pengemudi kapal India,
menyeberangi lautan lepas dari Afrika Timur, berlabuh sebelum Calicut
(Kalkuta), pusat perdagangan Malabar. Setelah Vasco da Gama kembali ke
Lisbon dan mencapai Tagus pada J uli 1499, Raja Manuel menulis sebuah
surat kepada Ferdinand dan Isabella dari Benteng Aragon, memberitahukan
bahwa para penemu telah mencapai tujuan mereka dan telah menemukan
rempah-rempah dalam jumlah yang besar, kayu manis, rempah lain selain
batu delima, semua jenis batu permata, dan sebagainya. Dia kemudian
mem beritahukan bahwa perjalanan dan pencarian barang penemuan yang
berikut nya akan mengambil kekuasaan perdagangan rempah di Benua India
dari tangan umat Islam, dengan bantuan orang-orang Kristen India. Namun
demikian, menurut Charles R. Boxer, susunan kata dari surat Raja Manuel
ke pada Raja Spanyol dan kepausannya pada suatu ketika di mana tidak
ada sebuah kapal Portugis di wilayah itu, menunjukkan secara jelas dua
hal. Pertama, bahwa dia ditetapkan untuk membangun kekuasaan terhadap
per dagangan rempah di Asia dengan kekuatan tentara; dan kedua bahwa
dia mengharapkan bantuan persahabatan orang-orang Kristen India untuk
me lakukan hal yang sama. Untuk premis yang terakhir ia keliru, meskipun
akhir nya terjadi kontak secara singkat dengan Prester John sebelum kematian
Raja Manuel .
Alfonso de Albuquerque yang menjadi Gubernur Portugis kedua atau
Raja Muda dari Estado da India, kerajaan Asia untuk Portugal, merupakan
arsitek dasar ekspansi Portugis di Asia. Selama masa jabatannya (1509-1515), �
Alfonso de Albuquerque berupaya menguasai hal-hal pokok dalam jaringan
dagang umat Islam melalui perdagangan rempah-rempah dari Asia sampai
ke Eropa. Untuk yang terakhir dia merengkuh Pulau Goa, pesisir barat India
pada tahun 1510 dan membuat Goa sebagai markas besar di mana dia men�dapat dukungan dari umat Hindu.
Menurut Tome Pires, Alfonso de Albuquerque sendiri memimpin sebuah
ekspedisi melawan Malaka dan tiba pada awal bulan J uli 1511 dengan 15
armada nya, besar dan kecil, dengan sekitar seribu lima ratus orang prajurit.
Pada waktu itu Malaka mempunyai seratus ribu orang tentara yang direkrut
dari Kuala Tinggi sampai daerah pedalaman dan Kasang, beberapa kapal
Gujarat yang siap untuk bertempur , Dikatakan
bahwa, segera setelah Albuquerque tiba dengan armadanya, dia menghabiskan
beberapa hari untuk mengirimkan pesan perdamaian, tetapi Raja Malaka
dan pengikutnya menolak hasrat untuk berdamai. Lalu Albuquerque dan
armadanya mengepung Malaka pada 10 Agustus 1511, sementara Sultan
Mahmud Shah dan putranya Sultan Ahmad Shah, keduanya melarikan diri
ke daerah pedalaman dan ke Muar, Pahang, kemudian menetap di Pulau
Bintan, kepulauan Lingga-Riau.
Setelah itu sultan dibunuh. Sedangkan ayahnya, Mahmud Shah, memilih
Bintan sebagai lokasi untuk ibukota yang baru. Tetapi, pada 1526, wilayah ini
dihancurkan oleh Portugis dan Sultan Mahmud Shah melarikan diri ke Kampar
di pesisir timur Sumatera, tempat dia meninggal. Keberhasilan Portugis
dalam merebut Malaka, salah satu dari kota pelabuhan dagang internasional
yang terpenting di Asia bagian selatan pada tahun 1511, merebut Goa pada
tahun 1510, Hormuz pada 1515, memastikan Portugis untuk menguasai rute
utama perdagangan rempah di Benua India, menyelamatkan Laut Merah,
dan beberapa pusat perdagangan lain dari Sofala di Afrika Selatan hingga
Malaka.
Klaim atas kedaulatan yang utuh di Samudera Indonesia, dinyatakan
melalui upaya untuk menyingkirkan perdagangan umat Islam ke Laut Merah
dan Afrika Timur, serta memaksa pedagang-pedagang yang melewati Laut
India untuk membeli cartazes atau surat izin pelayaran dari para pejabat
Portugis. Selain itu, dilakukan juga pengalihan perdagangan rempah dan
lada dari Alexandria dan Venice ke Lisbon dan Antwerp. Dalam hal ini, KN
Chaudhuri menyatakan bahwa, “Tentu saja kedatangan Portugis di Benua
Hindia (Indonesia) mengakhiri dengan tiba-tiba sistem pelayaran laut yang
damai yang menjadi ciri-ciri yang menandai kawasan ini .
Setelah membangun kekuasaannya di Malaka, bangsa Portugis melanjut�kan ekspedisinya dengan dikomandoi oleh nakhoda Ismail untuk menemukan
Maluku, pulau rempah itu. Rute perjalanan dimulai dari pantai bagian selatan �
Sumatera menuju pantai utara J awa, Bali, dan rangkaian pulau di daerah
Sunda. Dari sana mereka menyeberangi Banda yang mereka temukan pada
awal bulan Desember 1511. D’Abreu kembali ke Malaka dengan kapal yang
dimuati rempah-rempah, sementara Serrao meneruskan perjalanannya dan
kemudian mencapai pesisir Hitu di Pulau Ambon pada J anuari 1512. Dia
tiba di dusun Hitu dan diterima dengan baik oleh Ampay Perdana. Portugis
membuat perjanjian dengan para raja di mana Portugis diizinkan untuk
mendirikan sebuah pusat perdagangan sementara. Tidak berlangsung lama,
terjadi serangan dari kampung-kampung Seram Barat yang sedang berperang,
tetapi dengan bantuan Portugis serangan itu dapat diatasi. Setelah itu orang�orang Ternate dan raja-raja Tidore mengirim utusan untuk mengundang
Serrao dan kelompoknya untuk datang ke Ternate dan Tidore.
Undangan dari Ternate, saudara raja yang lebih muda, Kaichil Koliba,
tiba dan diterima oleh Serrao. Selanjutnya Serrao meninggalkan Ternate di
mana dia diterima dengan baik oleh Raja atau Kolano Magira yang dikenal
dengan Bayan Sirullah. Portugis dibolehkan untuk membangun pusat da�gang sementara (feitoria) dan memonopoli perdagangan cengkeh. Serrao dan
pengikutnya diizinkan untuk bertempat tinggal, dan akhirnya Serrao men jadi
penasihat Kolano atas persoalan militer. Kebijakan Kulano Ternate menjadi
sebuah persoalan yang bersifat persaingan bagi Kulano Tidore dalam mem�perkuat posisi politik dan ekonominya. Setelah kedatangan bangsa Spanyol di
Tidore pada 1521, Kulano Tidore, Kaichil Mansur, membuat sebuah perjanjian
dan memberikan Spanyol izin untuk membangun benteng dan kekuasaannya
atas perdagangan rempah. Namun demikian, persahabatan Spanyol dan
Kolano Tidore menyebabkan perselisihan antara Portugis dan Spanyol yang
akhirnya dapat diselesaikan melalui Perjanjian Saragossa pada 1529, di mana
Spanyol menjual harta bendanya kepada Portugal untuk 350.000 emas ducat ,
Persahabatan antara bangsa Portugis dan Kerajaan Ternate mulai ber�ubah sejak adanya beberapa penyelewengan dari perjanjian yang telah
dibuat oleh kedua pihak. Kebijakan monopoli dari keseluruhan kegiatan
per dagangan menghasilkan penyelundupan cengkeh ke pulau-pulau lain,
pertama di Hoamoal, lalu Ambon, dan pulau-pulau yang berbatasan. Lebih
dari itu, Portugis mencampuri urusan internal Ternate, misalnya melantik
po sisi sultan, kemudian digantikan lagi oleh kandidat simpatik dari Portugis,
meng asingkan raja-raja terdahulu dengan melakukan desakan tertentu.
Sebagai contoh, pada 1529 penguasa Ternate (saudara laki-laki Bayan
Sirullah) yang berkuasa bersama-sama dengan Ratu Nyai Chili Boki Raja,
dipenggal kepalanya atas desakan Portugis.
Dia digantikan oleh keponakan laki-lakinya, tetapi dia segera meninggal
de ngan sebab yang tidak diketahui dan diikuti oleh saudara laki-laki yang �
lebih muda yang juga dengan cepat dibuang bersama dengan para bangsawan
ke Halmahera. Saudara ketiga, Tabarija, kemudian naik tahta, tetapi dia juga
dituduh berencana melawan kapten Portugis. Dia dipenjarakan bersama
dengan ibunya, Nyai Chili dan Perdana Menteri Patih Serang, dan setelah
dua tahun menderita akhirnya dikirim ke Malaka dan ke Gowa untuk diadili.
Penggantinya adalah Hairun, saudaranya Tabarija, meski setelah itu nasibnya
tidak mujur karena dia juga diasingkan ke Malaka dan Gowa. Suatu hari
setelah Hairun meninggalkan Gowa, Tabarija yang kembali ke Maluku jatuh
sakit karena racun dan meninggal.
Di Ternate, pemimpin Portugis, Freitas mengangkat Nyai Chili Boki
Raja sebagai ratu penguasa. Selama masa itu kekacauan politik terjadi, tidak
ada kedamaian dan ketertiban. Pada masa itulah Antonio Galvao (1536-
1539) datang ke Maluku menggantikan Freitas, memulihkan kedamaian dan
ketertiban untuk kepentingan politik, perdagangan, dan juga untuk kehidupan
baru dari kedua kerajaan, Ternate dan Tidore, rakyatnya, dan juga untuk ma�syarakat Portugis. Sebuah kelompok para pendeta Kristen yang datang dengan
Antonio Galvao memulai kerja missionaris mereka dan cukup berhasil, bahkan
para bangsawan dibaptis. Beberapa perubahan juga dilakukan di pulau-pulau
lain. Dari benteng-benteng, unsur-unsur kebudayaan Portugis berkembang
dan mempengaruhi kaum bangsawan Maluku dan rakyatnya.
Pada tahun 1547, Hairun kembali dari pembuangannya di Gowa dan
kembali menjadi Sultan Ternate. Selama kekuasaannya, terjadi suatu konlik
pada 1570 ketika kapten Portugis mencoba lagi untuk memunculkan isu hasil
panen cengkeh dari Makian. Perang meletus dan Hairun terbunuh dan ini
merupakan isyarat bagi raja-raja Maluku untuk bersatu dan mengumumkan
perang suci melawan Portugis. Benteng-benteng Portugis di Ternate dikepung
oleh rakyat Ternate sehingga Portugis pergi ke Tidore dan meminta izin
dari Kolano Tidore untuk membangun benteng. Di Ternate, anak Hairun,
Babullah menggantikan ayahnya. Dia menjadi raja, seorang pejuang, dan
Muslim yang taat. Dia mengumumkan diri sebagai raja bagi keseluruhan
pulau-pulau Maluku dan kekuasaannya meluas ke Mindanao dan Sulawesi
Utara, bahkan pulau-pulau lain di bagian selatan Maluku.
Ternate (1570-1610) menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar di ke�pulauan Indonesia. Dia mengundang guru-guru agama dari Mekkah dan
men jalin hubungan yang erat dengan kerajaan Islam lain terutama dengan
Demak, Banten, dan Melayu. Ketika Babullah meninggal pada 1583 dan di�gantikan oleh anaknya Said yang meneruskan kebijakan ekspansi Babullah,
kegiatan-kegiatan Portugis pindah dan berpusat di Ambon. Tetapi setelah
itu, untuk menghindari serangan terus-menerus yang dilakukan penduduk
Hitu, Portugis pindah lagi ke Soya dan membangun benteng pada 1576.
Mereka juga menemukan dusun di Hatiwi, Leitimor, di mana mereka mulai �
membangun gereja dan sekolah. Pada periode ini, kapal Inggris di bawah
pemimpinnya, Francis Drake, tiba di Ternate pada 1579 dan dia diterima
dengan baik oleh Babullah, kemudian diikuti oleh kedatangan kapal Belanda
di bawah Jacob van Neck, Wijbrand van Warwick, Jacob van Heemskerck
yang tiba di Hitu pada 1599. Kedatangan kapal-kapal Eropa di kepulauan
Maluku dengan tujuan menguasai perdagangan rempah, bahkan untuk ke�pentingan kekuasaan mereka, menyebabkan persaingan di antara mereka di
mana akhirnya bangsa Belanda dapat membangun pengaruh politik dan eko�nomi di kepulauan Maluku.
Setelah mendiskusikan situasi politik dan ekonomi di Maluku sejak ke�datangan Portugis, sekarang muncul pertanyaan: bagaimana situasi kota-kota
pelabuhan di bagian lain Indonesia? Ketika bangsa Portugis datang pertama
kali di Malaka pada 1511, mereka berhasil merebut kota pelabuhan terpenting
di Asia bagian selatan dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke kepulauan
Maluku demi monopoli atas perdagangan rempah. Kerajaan-kerajaan Islam
lain di Jawa dan tempat lain masih mempertahankan dan mengembangkan
ekspansi politik dan ekonomi, di antaranya pengembangan perdagangan
regional dan internasional.
Sebagaimana telah digambarkan secara singkat mengenai situasi politik
dan ekonomi Kerajaan Islam Demak dan pengikutnya di Cirebon, Jayakarta,
dan Banten di pesisir utara J awa Barat dan beberapa kota pelabuhan di
pesisir utara J awa Timur, kita dapat berpendapat bahwa Demak dan pen�duduknya dapat mempertahankan dan membangun kekuasaannya melawan
pengaruh Portugis yang membangun kekuasaannya di Malaka pada 1511 dan
meneruskan pengaruhnya di kepulauan Maluku, meskipun mereka tidak
dapat menghindari beberapa perlawanan dari Raja Ternate seperti Hairun
dan Babullah beserta rakyatnya.
Banten yang mempunyai kedudukan ganda sebagai ibu kota negara-kota
dan kota pelabuhan sejak 1526, dapat mengembangkan kekuatan politiknya
dengan ditopang oleh perdagangan regional dan internasional hingga akhir
abad ke-17. Meskipun Mataram sebagai wilayah pedalaman kerajaan (abad
ke-16 sampai 17) dengan kota-kota pelabuhannya di pesisir utara Jawa Tengah
seperti Jepara, Semarang, Tegal, dan sebagainya, tidak pernah dikuasai oleh
kekuatan politik Portugis. Ekspedisi Portugis ke Kerajaan Sunda pada 1527
di kalahkan oleh tentara Muslim di bawah kepemimpinan Fadhillah Khan,
seperti telah dijelaskan di atas.
Kerajaan Islam Aceh yang dibangun sejak awal abad ke-16 di bawah
ke kuasaan Sultan Ali Mughayat Shah dan raja-raja pengganti berikutnya
dari Kesultanan Aceh selalu berjuang melawan Portugis. Bagaimanapun,
setelah Portugis merebut Malaka, mereka secara berangsur-angsur mencoba
memperluas kekuasaan di Aceh. Mereka membangun sebuah benteng di �
Pasai. Setelah Aceh di bawah Ali Mughayat Shah menggabungkan Pedir dan
Pasai pada 1528, Ali Mughayat Shah berencana untuk menyerang Malaka,
tetapi tidak berhasil karena Syahbandar Malaka yang berjanji membantu
serangan itu diketahui oleh Portugis dan diasingkan sampai kematiannya.
Pada 1530, Ali Mughayat Shah meninggal diracun oleh istrinya.
Raja berikutnya dari Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Shah al-Kahar
(1537-1571). Salah satu dari gapaian utamanya adalah perluasan angkatan
bersenjata Aceh. Menurut laporan pelaut Portugis, Mendez Pinto, dasar dari
kekuatan militer Aceh adalah tempat penyimpanan kekayaan emas yang
dimiliki dan memungkinkan sultan-sultan untuk menyewa prajurit-prajurit
terlatih dari luar negeri hampir secara terus-menerus, dan perdagangan Aceh
yang maju menghasilkan pendapatan pokok bagi kerajaan di mana para sultan
dapat mengembangkan perencanaan ekspedisi militernya. Tentara Aceh juga
berisikan kesatuan besar dari Turki, Cambay, Malabar, dan tentara Abessinia.
Adakalanya Aceh juga mempunyai tentara-tentara dari Luzon dan Borneo .
Faktor lain yang memperkuat posisi Aceh di pertengahan abad ke-
16 adalah jaringan internasionalnya serta hubungan yang dekat dengan
Pasha Kairo, Turki, dan Abessinia. Pada tahun 1563, Raja Aceh mengirim
perwakilan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan melawan Portugis.
Setelah menunggu dua tahun, dua kapal dengan persediaan dan teknisi
militer dikirim ke Aceh. Selanjutnya, Aceh menyerang Malaka pada 1568.
Aceh membuat usaha untuk meluaskan perserikatan Islam, di antaranya
ke Kerajaan J awa, J epara, di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat. Malaka
diserang oleh Aceh dua kali pada 1573 dan 1575.
Aceh selalu mengembangkan perdagangan internasionalnya dengan
Timur Tengah melalui Laut Merah. Tetapi akibatnya Portugis menganggap
Aceh sebagi musuh terbesar dan sebagai rintangan utama bagi monopoli
mereka atas perdagangan rempah di Asia. Ada anjuran dari pendeta Gowa,
Jorge Temudo, kepada rajanya untuk menghadang Aceh, di antaranya agar
menghalangi kapal-kapal Turki melalui Laut Merah yang bertujuan mem�bantu Aceh. Strategi Portugis tidak dapat terwujud, malah sebaliknya Malaka
diserang oleh tentara militer Aceh. Hubungan persahabatan dengan kota�kota pelabuhan di sepanjang wilayah pesisir barat Sumatera, misalnya Barus,
Pariaman, dan kemudian di Jawa dengan kerajan besar Islam Banten, me�mungkinkan Aceh membangun perdagangan internasionalnya.
Selama kekuasaan Sultan Alauddin Shah (1588-1604), situasi ekonomi
dan politik di Aceh mengalami kemunduran karena kelemahan raja. Tetapi
sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa, Kesultanan Aceh (1607-1636) memulai
lagi perjuangan lama melawan Portugis di Malaka. Iskandar Muda membuat
Aceh jadi terkenal dengan lautan dan daratannya. Mengusir Portugis dari �
Malaka dan menguasai Selat Malaka, merupakan tujuan besar kebijakannya.
Mengenai motivasi komersial atas ekspansi Aceh telah banyak disebutkan.
Beragam sumber penghasilan dari kerajaaan yang luas, digunakan terutama
untuk tujuan militer. Tidak dapat diragukan bahwa Iskandar Muda senang
me miliki kekayaan demi kas pribadinya. Raja mempunyai penghasilan yang
baik dari pelabuhan-pelabuhan kerajaannya dan juga dari kegiatan per�dagangan ,
Aceh merupakan salah satu kota paling padat penduduknya di Indonesia.
Aceh memiliki sekitar tujuh atau delapan ribuan kepala rumah tangga pada
akhir dekade abad ke-17. Pada masa Iskandar Muda, kota dan wilayah�wilayah yang berdampingan cukup padat penduduknya untuk memudahkan
raja dalam membentuk 40.000 orang tentara .
Di kota ini ada sejumlah masjid, beberapa sekolah, dan dua pasar utama.
Terdapat juga para pedagang asing yang datang dari Konstantinopel, Venesia,
Aleppo, area Laut Merah dan Arab, Gujarat, Dabul, Malabar, Coromandel,
Bengal, Arakan, dan Pegu. Pedagang lainnya datang dari Semenanjung Malaya,
Siam, Tiongkok, Borneo, Makassar, Jawa, dan tempat lain di Sumatera .
Kerajaan Aceh memiliki banyak beras, daging, ikan, dan anggur. Ko�moditas yang penting untuk diekspor adalah lada, sutera, kapur barus,
kendi, batu bara, kayu, kapur barus, sulfur, minyak tanah, emas, timah, dan
gading. Komoditas tersebut asli dari pribumi yang dikirim ke luar negeri.
Komoditas yang berasal dari luar Aceh adalah kayu manis, cengkeh, pala,
bunga pala, dan kayu cendana, pakaian India dan porselen Tionghoa juga
dibawa oleh pedagang-pedagang asing di Aceh; dari semua produk yang ber�asal dari pribumi, produk yang paling penting diekspor adalah lada , Jadi, situasi politik dan ekonomi Kerajaan Aceh pada
zaman Iskandar Muda menjadi semakin kuat dan kaya. Perjuangan melawan
Portugis diteruskan oleh pengganti Iskandar Muda, meskipun pada 1641
Portugis diusir dari Malaka oleh kompeni Belanda (VOC).
Berdasarkan diskusi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertam a, se�belum kedatangan Portugis, terdapat kota-kota pelabuhan, besar dan kecil,
kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan Islam yang memiliki kedudukan ganda
sebagai ibu kota kerajaan maupun sebagai kota pelabuhan saja. Kerajaan�kerajaan tersebut membangun perdagangan regional dan internasional serta
kota-kota pelabuhan dari negara-kota, karena fungsinya dalam menghasilkan
pendapatan kerajaan.
Kedua, aktivitas perdagangan internasional kerajaan Hindu-Buddha
maupun kerajaan Islam melalui benua India dilakukan dengan lancar, damai, dan aman. Ketiga, di kota-kota pelabuhan di mana pedagang asing datang,
ada kelompok-kelompok berdasarkan etnis mereka, seperti Pecinan, Pakojan,
dan sebagainya. Keem pat, kedatangan Portugis dengan kebijakannya yang
dimuati oleh tiga faktor: feitoria, fortaleza, igreja atau perdagangan, dominasi
militer, dan agama, membawa implikasi-implikasi politik, konlik, bahkan
perang, antara kerajaan-kerajaan Indonesia melawan Portugis. Perang terjadi
ketika orang asing mulai mencampuri politik kerajaan dan memaksakan
monopoli dagang mereka.
Kelim a, ketika Portugis berhasil menguasai Malaka sebagai tempat
untuk dasar dan strategi dagang mereka di Asia Selatan, mereka selalu ber�hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha untuk negoisasi politik
dan perdagangan. Keenam , dominasi terhadap jalur perdagangan di India
dengan menguasai perdagangan rempah Asia, dilakukan oleh Portugis dari
Afrika Selatan hingga Calicut dan Malaka untuk menguasai aktivitas dagang
internasional yang dilakukan sebagian besar kerajaan Islam. Ketujuh, ada
beberapa aspek kebudayaan Portugis yang diadaptasi oleh penduduk, seperti
kata serapan dari bahasa Portugis, kesenian Portugis, dan tentu saja agama
Kristen yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh pemuka-pemuka Kristen
yang mengunjungi Indonesia pertama kali, khususnya kepulauan Maluku. �
SUMBER-SUMBER yang memfokuskan pada pedagang Arab di Indonesia pada
masa awal, yang bersandar pada sumber-sumber historis Indonesia seperti
hikayat atau cerita lokal, masih jarang dan tidak lengkap. Oleh karena itu,
untuk merekonstruksi sejarah pedagang-pedagang Arab yang datang ke
Indonesia dan menjalin jaringan perdagangan dengan orang Indonesia,
harus didukung oleh sumber-sumber historis lain, misalnya laporan-laporan
asing: Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, dan lain-lain. Data arkeologis
seperti nisan-nisan kubur dan benda-benda temuan lain di negara ini juga
bermanfaat untuk memperkuat sumber-sumber sejarah tersebut.
Ada beberapa naskah (manuskrip) yang ditulis dalam beberapa bahasa,
seperti bahasa Arab, Melayu, Sunda, J awa, Bugis, Makassar, Sasak, dan
lain-lain, yang telah terdaftar dalam beberapa katalog yang diterbitkan oleh
beberapa lembaga . Naskah-naskah
tersebut dapat dipilih dan dipelajari untuk merekonstruksi sejarah Islam
di Indonesia, khususnya dalam sejarah intelektual, sejarah sosial, sejarah
politik, sejarah budaya, sejarah ekonomi dan seterusnya. Setelah diseleksi
dan dikritisi baik secara internal maupun eksternal berdasarkan metodologi
sejarah, maka naskah-naskah tersebut dapat digunakan untuk historiograi
tertentu tergantung pada tema yang dibutuhkan. Selain itu, jika sumber�sumber historis ini dapat ditinjau dari pendekatan ilmu pengetahuan sosial
yang biasa dinamakan pendekatan mazhab Annales .
maka hasil sejarah yang ditulis akan bersifat komprehensif dan memadai bagi
pembaca yang tertarik pada sejarah�Karena sejarah dibatasi oleh masa, dalam artikel ini saya akan membahas
berlangsungnya perdagangan Arab dengan Indonesia dari abad ke-7 hingga
abad ke-16/ 17 M ketika ekspansi politik Portugis dengan tiba-tiba mengakhiri
hubungan dagang pedagang-pedagang Arab dan kesultanan-kesultanan di
Indonesia. Meski data atau sumber historis dan arkeologis masih terbatas,
artikel ini akan mendiskusikan tema tersebut.
Pelayaran dan hubungan perdagangan memang mempunyai keterkaitan
yang erat. Kepulauan Indonesia dengan beberapa pulau yang terletak antara
dua benua, Asia dan Australia, mempunyai posisi geograis yang strategis
bagi perkembangan pelayaran sepanjang jalur laut hingga menuju rute
perdagangan internasional sepanjang laut India dan Tiongkok. Sejak abad
pertama Masehi, perdagangan internasional antara India dan Indonesia
melalui Selat Malaka dan sepanjang Laut Cina sampai Timur J auh, telah
terjadi . Sejak abad ke-7 dan 8 M, rute perdagangan
internasional melalui Selat Malaka itu makin berkembang hingga tumbuh
dan berkembangnya tiga dinasti yang berkuasa, yakni Dinasti Umayyah (660-
749 M) di Asia Barat, Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7-14) di bagian barat
Indonesia di Asia Tenggara, dan Dinasti Tang di Tiongkok (618-907), Asia
Timur .
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para pedagang Arab sebelum
abad ke 7 datang ke Ceylon untuk membeli berbagai komoditas, terutama
sutera yang dibawa oleh kapal-kapal Tionghoa. Setelah itu, mereka ikut
ambil bagian dalam perdagangan internasional dengan menggunakan Selat
Malaka dan mengunjungi kawasan pantai di Asia Tenggara dan Cina Selatan.
Menurut salah satu tradisi Tionghoa, orang Muslim pertama kali datang ke
Tiongkok pada masa kekuasaan Tai Tsung (627-650 M), raja kedua Dinasti
Tang. Mereka berjumlah empat orang. Satu dari mereka membuat tempat
kediaman di Canton dan orang yang kedua di kota Yang Chow. Sementara
yang ketiga dan keempat pergi ke kota Chuang Chow dan tinggal di sana.
Adalah Saad bin Abi Waqqas yang membuat fondasi Masjid Canton
yang sekarang dikenal sebagai Wai Shin Zi yaitu Masjid Peringatan Nabi.
Dalam buku Chee Chea Sheehuzoo (Riwayat Kehidupan Nabi), seorang
pengarang Muslim abad ke-18, Lui Tshich, menulis: “Ketika Saad ibn Abi
Waqqas kembali ke Arab setelah tinggal lama di Canton, Khalifah Usman
mengirim dia kembali sebagai utusan ke kaisar Tionghoa. Namun demikian,
dia tidak dapat kembali ke Arab untuk kedua kalinya dan akhirnya meninggal
di Canton.” ..
Keempat pionir Islam yang datang ke kota-kota di Cina Selatan itu
mungkin ditemani oleh para pedagang Arab. Sebuah sumber sejarah, yakni
Hsin Tang Shu, yang sering dihubungkan dengan kedatangan pertama
pedagang Arab di Indonesia, menyebutkan orang Ta-Shih yang mempunyai �rencana menyerang Kerajaan Ho-Ling yang dikuasai oleh Ratu Sima
sekitar 674 M. Karena Ratu Sima sangat kuat dan berkuasa, orang Ta-Shih
membatalkan ren cananya. Dalam hal ini, W.P Groeneveldt mengganggap
dan menyamakan Ta-Shih dengan orang Arab dan perkampungan mereka
berlokasi di pantai barat Sumatera . Sumber�sumber sejarah menyebutkan orang-orang Ta-Shih tidak hanya datang
pada abad ke-17 tetapi juga abad-abad setelahnya. Sebagai contoh, sumber�sumber dari Jepang dari 748 M menyebutkan terdapat sejumlah besar kapal�kapal Ta-Shih Kuo dan Po-Sse yang berlabuh di Canton. Sumber-sumber
Tionghoa Chau Ju Kua yang berasal dari Chau Kau Fei, juga menyebutkan
perkampungan para pedagang Ta-Shih dan Po-Sse di kota pelabuhan Canton
pada tahun 1178 M. Jika Groeneveldt mengidentiikasi Ta-Shih sebagai orang
Arab, Rita Rose Di Meglio menyetujui Groeneveldt dan mengatakan bahwa
orang Ta-Shih pada abad ke-17 atau 18 dapat dianggap sebagai orang Arab
dan orang Persia, bukan sebagai umat Islam yang lain .
Terdapat perbedaan pendapat antara W.P. Groeneveldt dan Paul Wheatle
me ngenai lokasi perkampungan orang-orang Ta-Shih. Menurut Groeneveldt,
perkampungan orang Ta-Shih berlokasi di pantai barat Sumatera. Sedangkan
Wheatle berpendapat bahwa tempat tinggal orang Ta-Shih terdapat di Kuala
Barang sekitar 25 mil dari Sungai Trengganu .
Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan pendapat lain. Ia menganggap
perkampungan orang Ta-Shih atau orang Arab mestinya berlokasi di Sumatera
Selatan, Palembang . Namun demikian,
dari perbedaan itu, dapat kita ambil kesamaan bahwa perkampungan orang
Ta-Shih dan orang Arab sesungguhnya berada di Asia Tenggara yang tidak
dapat dipisahkan dari peran Selat Malaka sebagai jalur perdagangan in�ternasional.
Hubungan dagang antara orang Arab dan Persia dengan Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-18 dapat diperkuat keterangannya oleh dua surat
yang dikirim oleh Kerajaan Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah. Surat
per tama diberikan oleh al-Jahiz (Amir al-Bahr, 163-255 H/ 753-869 M) dan
berdasarkan cerita surat itu ditujukan kepada Khalifah Muawiyah. Sedangkan
surat kedua dengan isi yang sama dijaga keamanannya oleh Ibn Abd al�Rabbih (244-329/ 860-940 M). Surat tersebut dikirimkan maharaja Sriwijaya
kepada Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H/ 717-720 M) yang berisi
hadiah sebagai tanda persahabatan (Azyumardi Azra, 1994: 41).
Pedagang Arab (Ta-Shih) dan Persia (Po-Sse) yang datang ke J ambi
dapat dibuktikan dengan catatan Tionghoa abad ke-9, yakni Pei Hu Lu ta�hun 875 M, yang menyebutkan kedatangan Ta-Shih dan Po-Sse ke Chan Pei
untuk membeli buah pinang. Kedatangan orang Arab maupun orang Persia�
ke Jambi terjadi sejak abad ke-9 M, meskipun pada waktu itu Islam belum
berkembang secara luas di kawasan ini. Menurut cerita lokal Jambi, Islam baru
berkembang secara luas ketika berada di bawah kekuasaan Orang Kayo Hitam,
salah satu sultan yang terkenal dari Jambi yang berkuasa sejak permulaan
abad ke-16 ,
Perkembangan perdagangan dan pelayaran orang Arab dan Persia de�ngan Asia Tenggara disebabkan perkembangan kota-kota pelabuhan di Timur
Tengah. Dengan munculnya Abbasid, Suhar, pusat paling penting di Oman,
tidak hanya menjadi kota paling indah di seluruh Teluk Persia, tetapi juga
sebuah pusat komersial terkemuka dengan penduduk campuran Arab dan
Persia. Masqat menjadi pusat penting di mana kapal memuat persedian
air tawar dan daging domba, sebelum diberangkatkan melalui perjalanan
panjang, menyeberangi Samudera Hindia menuju India dan Tiongkok.
De ngan Baghdad sebagai pusatnya, beberapa pusat penting perdagangan
berkembang di sebelah utara Teluk seperti Basrah, Kufah, Wasit dan al�Ubulla. Selama periode Buyid (952-1044 M), Siraf menjadi pelabuhan paling
berpengaruh di kawasan ini dan penduduk Arab dan Persia diajak bekerja
sama dalam kegiatan perdagangan dengan India dan Tionghoa ,
Semenjak masa Dinasti Buyid pusat jual beli yang lain telah berkembang
di daerah yang sama. Hormuz, sebagaimana Siraf, mempunyai penduduk
campuran Arab dan Persia. Beberapa negara di Timur Tengah di sepanjang
Laut Merah dan Arabia Selatan menjadi lebih berkembang dan maju sebagai
pusat perdagangan. Aktivitas perdagangan di Arabia Selatan khususnya
Yaman, menandai kembalinya supremasi Arab di kawasan ini. Aden menjadi
gudang barang paling penting, jalurnya melalui rute dari Mesir dan negeri�negeri Mediterania. Pedagang Mesir dan orang Yaman di bawah Mamluk
Baybar (1260-1277) menjadi bertambah maju di mana para pedagang dari
kedua negara mengadakan perjalanan ke India dan Timur Jauh.
Pusat-pusat perdagangan lain di sepanjang Laut Merah adalah Jeddah
yang sangat aktif dalam melakukan kegiatan dagang dengan pelabuhan�pelabuhan India. Beberapa pedagang Arab dari Jeddah berangkat ke beberapa
pelabuhan di Asia Tenggara dan Timur Jauh, sehingga tak diragukan bahwa
orang Arab memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan dengan
negara-negara lain yang jauh selama periode tertentu dari sejarahnya (Rita
Rose Di Meglio, 1970: 108). Kegiatan perdagangan dan pelayaran bangsa
Arab dan Persia dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Timur J auh
tidak hanya diketahui dari sumber-sumber sejarah Tionghoa tetapi juga dari
laporan Arab yang ditulis oleh sejarawan dan ahli geograi Arab. Laporan�laporan Arab tersebut misalnya dari Ibn Khurdabih (850 M), al-Mas’ud
(947 M), al-Maqdisi (986 M), Ibn al-Faqih dan Ibn Rusd (sekitar 903 M) �
yang selalu menyebutkan kegiatan dagang melalui Selat Malaka dan peran
pedagang-pedagang Muslim serta beberapa tempat aktivitas dagang di pesisir
Selat. J adi, laporan-laporan Arab di atas menjadi sumber-sumber historis
penting yang menceritakan keberadaan perdagangan internasional selama
beberapa waktu melalui Selat Malaka.
Jaringan dagang dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Asia
Tenggara, dan Timur Jauh dari abad ke-7 sampai abad ke-12, mempunyai
pengaruh besar bagi pertumbuhan Samudera Pasai sebagai kesultanan
pertama di Indonesia atau di Asia Tenggara sejak abad ke-13. Pertumbuhan
dan perkembangan Samudera Pasai dapat dibuktikan dari cerita lokal,
misalnya Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai dan juga dari nama�nama sultan di Arab yang tertulis di batu nisan mereka. Di antaranya adalah
nisan kubur Sultan Malik as-Salih yang meninggal pada 696 H atau 1297 M . Batu nisan Sultan Malik as-Salih sebagai sumber
data arkeologis ini digunakan oleh J.P. Moquette sebagai salah satu argumen
untuk mendukung teori Snouck Hurgronje mengenai kedatangan Islam ke
Indonesia yang berpendapat bahwa awal kedatangan Islam di Indonesia
adalah pada abad ke-13 M dan kedatangannya tidak langsung dari Arab,
melainkan dari Gujarat-India. Hingga sekarang, teori ini ditolak oleh beberapa
sejarawan yang berpendapat bahwa Islam datang untuk pertama kalinya ke
Indonesia sejak abad ke-7 M atau pertama Hijriah, dan datang langsung dari
Mekkah dibawa oleh orang Arab ,
Snouck Hurgronje, dalam hal ini, tidak menggunakan data historis maupun
arkeologis yang ada sebelum abad ke-13 M.
Menarik untuk dicatat bahwa pada abad ke-11, sebelum pertumbuhan
Ke sultanan Samudera Pasai, kawasan pantai J awa Timur telah didatangi
oleh pedagang-pedagang Muslim yang bertempat tinggal di Leran, dekat
Gresik. Hal ini dibuktikan oleh temuan sebuah batu nisan yang bertuliskan
ba hasa Arab dan tulisan Kui yang menyebutkan Fatimah binti Maimun bin
Hibatullah yang meninggal pada 475 H/ 1082 M ,N.A Baloch berpendapat bahwa Fatimah Binti Maimun bin Hibatullah
adalah seorang puteri Dinasti Hibatullah dari Leran yang dapat ditemukan
pada abad ke-10 M ,. Saya tidak sependapat dengan
Baloch karena tidak ditemukan kata “sultanat” sebelum namanya. Oleh
karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan
da pat dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan
fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara
Jawa Timur.
Berdasarkan gaya Kui pada perhiasan Kui atau Kui Timur yang mencapai
puncak perkembangan dari abad ke-11 hingga 12 di bawah kepemimpinan
Sultan Saljuk, kekhalifahan Abbasiah yang terakhir, saya berpendapat bahwa �
di antara umat Muslim yang datang ke kawasan pantai ini, terdapat umat
Muslim dari Timur Tengah dan mereka juga merupakan pedagang. Nisan-nisan kubur dengan
gaya Kui sebagaimana di Leran ditemukan di Phanrang-Campa Selatan.
Nama dari orang yang meninggal adalah Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu
Arradah Rahdar alias Abu Kamil yang meninggal pada tahun 431 H/ 1039
M. Temuan dua nisan kubur dari abad ke-11 ini memberi bukti bagi kita
bahwa terdapat hubungan antara dua komunitas Muslim di Indonesia dan
Campa. Denys Lombard mengatakan bahwa terdapat garis yang konstan bagi
hubungan dagang pada abad ke-11 di antara komunitas Muslim pantai di
bagian selatan Tiongkok, India, dan Timur Tengah serta terdapat poros yang
menghubungkan Campa-Jawa Timur. Poros ini mungkin telah berlangsung
sejak ekspedisi Yuan yang terkenal dan yang terjadi pada abad ke-14 dan 15
M ,
Setelah dua atau tiga abad sejak kedatangan para pedagang Muslim ke
Leran, kota-kota pelabuhan kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, seperti Tuban,
Gresik, Sedayu, Jaratan, dan sebagainya, dikunjungi oleh beberapa pedagang
Muslim dari Arab, Persia, Turki, Mesir, Gujarat, dan Muslim Tionghoa. Ke�datangan para pedagang tersebut diterima oleh Kerajaan Majapahit yang
masih berkuasa di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada
Langganan:
Postingan
(
Atom
)